Arbain 17-20 Kel 55

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

HADITS ARBAIN NAWAWI 17-20

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir/hadits

Dosen Pengampu: Nanang Abdillah, M,Pd.I

Oleh Kelompok 4:

1. Ahmad Alfian z y

2. Muhammad Dimyat

3. Muhammad syaifiddin

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL - AZHAR
MENGANTI GRESIK
2019
Terjemah hadits :
Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiallahuanhu dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan baik (ihsan) atas segala sesuatu . Jika kalian
membunuh maka berlakulah baik dalam hal tersebut. Jika kalian menyembelih berlakulah baik dalam hal
itu, hendaklah kalian mengasah pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.
(Riwayat Muslim)

Hadits ini merupakan dasar agama yang sangat pentng. Memuat upaya sungguh-sungguh dalam
melaksanakan semua ajaran Islam. Karena ihsan [melakukan sesuatu dengan baik dan benar] dalam
suatu perbuatan, adalah keselarasan perbuatan itu dengan tuntunan syara’. Amal perbuatan, adakalanya
berhubungan dengan masalah kehidupan manusia di dunia, sikap terhadap keluarga, saudara dan
sesama manusia, dan adakalanya berhubungan dengan urusan akhirat, yaitu iman, yang merupakan
perbuatan hat, dan Islam yang merupakan perbuatan anggota badan. Barangsiapa yang berlaku ihsan
dalam melakukan amal perbuatan yang berhubungan dengan dunia dan akhiratnya, dengan penuh
kebenaran dan kesempurnaan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, InsyaAllah.

KANDUNGAN HADITS

1. Keharusan berlaku ihsan


Hadits ini merupakan nash [dalil] yang menunjukkan keharusan berlaku ihsan. Yaitu dengan melakukan
perbuatan dengan baik dan maksimal. ALLAH juga telah memerintahkan hal tersebut dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya ALLAH menyuruh [kamu] berlaku adil dan ihsan.” (An-Naml: 90)
Dalam ayat lain: “Dan berbuat ihsan-lah kalian, karena ALLAH menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
(Al-Baqarah: 195)

Berlaku ihsan menjadi tuntutan saat menunaikan kewajiban, meninggalkan berbagai larangan, atau
berinteraksi dengan sesama makhluk. Semua hal tersebut, dilakukan dengan sesempurna mungkin dan
menjaga seluruh adab yang bisa menjadikan kesempurnaan perbuatan yang dilakukan. Jika ini dilakukan
maka perbuatannya akan diterima ALLAH dan akan membuahkan hasil, yaitu pahala.
2. Ihsan ketka membunuh
Ini dilakukan dengan cara menajamkan alat yang dipergunakan untuk membunuh, mempercepat proses
pembunuhan dengan semudah mungkin. Adapun pembunuhan yang diperbolehkan adalah melalui
jihad, qishash atau had [hukuman].

HADIST KE 18

Dari Abu Dzar bin Junadah dan Abu Abdurrahman Muadz bin Jabal radhiyallahu’anhuma,
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, “ Bertakwalah kepada Allah di
mana pun engkau berada. Iringilah kejelakan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut
akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR.
Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits Hasan Shahih)
Penjelasan:

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “ Bertakwalah kepada Allah” adalah fi’il ‘amr
(kata perintah) dari kata at taqwa. Takwa adalah membuat perlindungan dari siksa Allah, yaitu
dengan melaksanakan perintah-perintahNya, dan menjauhi larangan-laranganNya. Inilah
yang disebut takwa. Dan ini adalah batasan yang terbaik untuk mengartikan kata “takwa”.

 (Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada), yakni di tempat di mana pun
engkau berada. Engkau tidak hanya bertakwa kepada Allah di tempat yang di sana orang-
orang melihatmu saja. Dan tidak hanya bertakwa kepadaNya di tempat-tempat yang
engkau tidak dilihat oleh seorang pun, karena Allah senantiasa melihatmu, di tempat
manapun engkau berada. Oleh karena itu, bertakwalah di mana pun engkau berada.

 (Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya),
yakni jadikanlah kebaikan itu mengiringi kejelekan. Jadi, jika engkau melakukan
kejelekan, maka iringilah dengan kebaikan. Dan termasuk dalam hal itu –yakni
mengiringi kejelekan dengan kebaikan-, adalah engkau bertaubat kepada Allah dari
kejelekan tersebut, karena taubat adalah suatu kebaikan.

Dan sabdanya, “ Niscaya akan menghapuskan” , yakni kebaikan itu jika dilakukan
setelah kejelekan, maka ia akan menghapuskannya.
Oleh karena itu, Allah subhanahu wata’ala berfirman,

‫ت‬ ‫ت ييبذتهببئن ال س‬
‫سـَّييئئاَ ت‬ ‫إتسن ابلئح ئ‬
‫سئناَ ت‬

“Sesungguhnya perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang


buruk.” (Huud: 114).

Hadits ini mengandung beberapa faedah, di antaranya adalah:


1. Perhatian yang besar dari Nabi terhadap umatnya dengan memberikan arahan
kepada mereka pada hal-hal yang mengandung kebaikan dan kemanfaatan.
2. Wajibnya bertakwa kepada Allah di manapun juga. Di antaranya adalah wajibnya
bertakwa baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian, berdasarkan
sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.”
3. Isyarat bahwa bila kejelekan itu diiringi dengan kebaikan, maka kebaikan itu
akan menghapuskannya dan menghilangkannya secara keseluruhan. Hal ini
sifatnya umum, dalam kebaikan dan kejelekan, jika kebaikan itu berupa taubat.
Karena taubat akan meruntuhkan apa-apa yang sebelumnya. Adapun jika
kebaikan itu selain taubat, (misalnya saja) orang itu berbuat kejelekan, kemudian
ia melakukan amalan shaleh, maka amalannya akan ditimbang.

Jika amalan baiknya lebih banyak dari amalan jeleknya, maka akan hilanglah pengaruhnya,
sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,

‫شبيئئاَ ئوتإن ئكاَئن تمبثئقاَئل ئحبسلة يمبن ئخبرئدلل أئتئبيئناَ بتئهاَ ئوئكئفىَ بتئناَ ئحاَ ت‬
‫ستبيئن‬ ‫سطئ لتيئبوتم ابلقتئياَئمتة فئئل تيبظلئيم نئبف س‬
‫س ئ‬ ‫ضيع ابلئمئواتزيئن ابلقت ب‬
‫ئونئ ئ‬

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seorang
barang sedikit pun. Dan jika( amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan
(pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (Al Anbiyaa’:47).

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Dan bergaullah dengan mereka dengan
akhlak yang baik.”.

Yaitu berinteraksilah dengan mereka dengan akhlak yang baik, baik dengan ucapan
maupun dengan perbuatan, karena hal itu adalah kebaikan. Perintah di atas, bisa jadi hukumnya
wajib, bisa jadi hanya merupakan perkara yang dianjurkan saja, sehingga dapat ditarik faedah
pula dari sini; disyari’atkannya bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. Nabi
menyebutkan secara umum bagaimana cara bergaul (dengan sesama). Dan hal itu bervariasi
sesuai dengan keadaan dan kondisi orang perorangan.
Karena boleh jadi suatu hal baik bagi seseorang, akan tetapi tidak baik bagi orang yang
lainnya. Orang yang berakal dapat mengetahui dan menimbangnya.

Terjemah hadits :
Dari Abu Al Abbas Abdullah bin Abbas radhiallahuanhuma, beliau berkata : Suatu saat saya
berada dibelakang nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda : Wahai ananda,
saya akan mengajarkan kepadamu beberapa perkara: Jagalah ALLAH ), niscaya dia akan
menjagamu, Jagalah ALLAH niscaya Dia akan selalu berada dihadapanmu ). Jika kamu
meminta, mintalah kepada ALLAH, jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan
kepada ALLAH. Ketahuilah sesungguhnya jika sebuah umat berkumpul untuk mendatangkan
manfaat kepadamu atas sesuatu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun
kecuali apa yang telah ALLAH tetapkan bagimu, dan jika mereka berkumpul untuk
mencelakakanmu atas sesuatu , niscaya mereka tidak akan mencelakakanmu kecuali kecelakaan
yang telah ALLAH tetapkan bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering ) .
(Riwayat Turmuzi dan dia berkata : Haditsnya hasan shahih).

Riwayat lain menyebutkan, “Jagalah ALLAH, pasti kamu selalu bersama-Nya. Kenalilah
ALLAH saat kamu lapang, pasti Dia mengenalimu saat kamu susah. Ketahuilah, apa yang luput
darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah,
kemenangan seiring dengan kesabaran, kalan keluar seiring dengan cobaan, dan kemudahan
seiring dengan kesulitan.”

Terjemah hadits :
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-
nabi terdahulu adalah : Jika engkau tdak malu perbuatlah apa yang engkau suka .
(Riwayat Bukhari)

Jika makna malu adalah mencegah dari melakukan sesuatu yang tercela, maka seruan untuk memiliki
malu, pada dasarnya adalah seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Di samping itu rasa
malu adalah ciri khas dari kebaikan, yang senantasa diinginkan oleh manusia. Mereka melihat bahwa
tdak memiliki rasa malu adalah kekurangan dan suatu aib.
Rasa malu juga merupakan bagian dari kesempurnaan iman. Sebagaimana disebutkan dalam hadits
Nabi: “Malu adalah bagian dari keimanan.” Juga haditsnya yang lain: “Rasa malu selalu mendatangkan
kebaikan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pada dasarnya, Islam dalam keseluruhan hukum dan ajarannya, adalah ajakan yang bertumpu pada
kebaikan dan kebenaran. Juga merupakan seruan untuk meninggalkan segala hal yang tercela dan
memalukan karena itulah, Imam Nawawi memilih hadits ini untuk ditempatkan dalam kitab Arba’in yang
disusunnya.

Mengenai hadits ini beliau berkata, “Siklus hukum-hukum Islam berada dalam hadits ini.” Maksudnya
perintah yang bermakna wajib atau sunnah, orang akan malu untuk tdak melaksanakannya. Sedangkan
larangan yang bermakna haram atau makruh, orang akan malu untuk melanggarnya. Sedangkan
terhadap apa-apa yang dibolehkan [mubah] maka rasa malu karena melakukannya atau sebaliknya tdak
ada masalah. Dengan demikian hadits ini mencakup lima hukum yang ada.”

KANDUNGAN HADITS

1. Warisan para Nabi.


Rasa malu adalah sumber akhlak yang terpuji, juga merupakan pendorong untuk melakukan kebaikan
dan meninggalkan kejahatan. Wajar jika ia merupakan peninggalan nabi-nabi terdahulu. Yang tdak
terhapus sebagaimana syariat yang lain. Lalu terpelihara secara turun-temurun. Diwarisi para Nabi dari
zaman ke zaman hingga akhirnya sampai kepada umat Islam. Jika rasa malu adalah warisan dari para
nabi dan rasul, juga jelas-jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, maka kita wajib memelihara rasa malu yang
telah diberikan ALLAH kepada kita. Menjadikannya akhlak, agar warisan para nabi tersebut tetap
terpelihara dan menghiasi kehidupan.

2. Pengertan hadits
Terdapat tga versi penjabaran, ketka mengartkan hadits di atas:
》. Perintah, dalam hadits ini menunjukkan ancaman. Seakan Rasulullah SAW. bersabda: “Jika kalian
tdak memiliki rasa malu maka lakukanlah sekehendakmu, dan ALLAH SWT. akan memberikan siksa yang
pedih.” Perintah semacam ini terdapat juga dalam Al-Qur’an: “Berbuatlah sesuka hat kalian.” (Fushshilat:
41)
》. Perintah, dalam hadits ini berart pemberitahuan. Seolah hadits di atas memberitakan bahwa jika
seseorang tdak memiliki rasa malu, ia akan melakukan apa saja. karena yang bisa mencegah dari
perbuatan keji adalah rasa malu. Tidak heran jika rasa malu telah tada, ia akan asyik dengan segala
bentuk perbuatan keji dan munkar.
》. Perintah, dalam hadits ini, menunjukkan ibadah [dibolehkan]. Artnya, jika kalian tdak malu untuk
melakukan suatu perbuatan yang tdak dilarang oleh syara’ maka lakukanlah. Karena pada prinsipnya,
sesuatu yang tdak dilarang oleh syara’ maka boleh dilakukan.
Namun demikian, yang paling shahih dari tga pengertan di atas adalah pengertan pertama. Meskipun
Imam Nawawi lebih memilih pengertan ketga dan Ibnu Qutaibah memilih pengertan kedua.

3. Dua macam rasa malu.


》. Rasa malu pembawaan.
Yaitu rasa malu yang sudah dibawa manusia sejak lahir. Rasa malu ini bisa membawa pemiliknya kepada
akhlak yang mulia, yang diberikan ALLAH SWT. pada hamba-Nya. Jika rasa malu ini terus tumbuh dan
berkembang, maka seseorang tdak akan melakukan maksiat, perbuatan keji, dan berbagai perilaku yang
menunjukkan kerendahan akhlak. Karena itu, rasa malu merupakan sumber kebaikan dan salah satu
cabang dari keimanan. Rasulullah SAW. bersabda: “Rasa malu adalah salah satu cabang dari cabang-
cabang keimanan.”

Rasulullah SAW. sendiri lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitan.
Diriwayatkan bahwa Umar ra. berkata: “Barangsiapa yang merasa malu maka ia akan bersembunyi.
Barangsiapa yang bersembunyi maka akan berhat-hat, dan barangsiapa yang hat-hat maka ia akan
terjaga.”

》. Rasa malu yang diperoleh melalui usaha.


Yaitu rasa malu yang didapat seseorang setelah ia mengenal ALLAH SWT. mengetahui keagungan-Nya,
kedekatan-Nya terhadap hamba-Nya, bahwa ALLAH SWT. senantasa mengawasi hamba-hamban-Nya
dan bahwa ALLAH SWT. mengetahui apa yang tampak dan apa yang tersembunyi, sekalipun dalam hat.
Seorang muslim yang berusaha mendapatkan “rasa malu” ini, akan dapat memperoleh keimanan dan
sikap ihsan yang paling tnggi derajatnya.

Rasa malu ini, juga bisa diperoleh setelah seorang hamba menyadari betapa besar nikmat ALLAH SWT.
dan merasa bahwa ia masih teramat kurang dalam mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.

Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan secara marfu’ [bersumber dari Rasulullah SAW.] bahwa Ibnu
Mas’ud, “Merasa malu kepada ALLAH adalah dengan menjaga kepala dan apa yang dipikirkan, perut dan
apa yang ada di dalamnya, dan selalu mengingat mat dan cobaan. Barangsiapa yang menghendaki
akhirat maka ia akan meninggalkan perhiasan dunia. Dan siapapun yang melakukan hal tersebut maka ia
telah memiliki rasa malu kepada ALLAH.”

Jika dalam diri manusia, tdak ada lagi rasa malu, baik yang bersifat bawaan maupun yang diusahakan,
maka tdak ada lagi yang menghalanginya untuk melakukan perbuatan keji dan hina. Bahkan menjadi
sepert orang yang tdak memiliki keimanan sama sekali, sehingga tdak ada bedanya dengan golongan
setan.

4. Rasa malu yang tercela.


“Rasa malu” yang dapat menjadikan seseorang menghindari perbuatan keji adalah akhlak yang terpuji,
karena akan menambah sempurnanya iman dan tdak mendatangkan satu perbuatan kecuali kebaikan.
Namun rasa malu yang berlebihan hingga membuat pemiliknya senantasa dalam kekacauan dan
kebingungan serta menahan diri untuk berbuat sesuatu yang sepatutnya tdak perlu malu untuk
melakukannya, maka hal ini adalah akhlak yang tercela, karena ia merasa malu bukan pada tempatnya.

Seorang ulama berkata: “Malu bukan pada tempatnya adalah kelemahan.”


Hasan al-Bahsri berkata: “Malu ada dua macam: yang pertama adalah bagian dari iman, dan yang kedua
merupakan kelemahan.”

Bisyr bin Ka’b al-‘Adawi berkata kepada Imran bin Hushain ra. “Kami mendapat dalam beberapa catatan,
bahwa malu yang mendatangkan ketenangan dan ketakwaan kepada ALLAH SWT, dan ada yang
mendatangkan kelemahan.” Imran marah dan berkata; “Aku beritahukan kepadamu, apa yang
disabdakan oleh Rasulullah SAW., lantas kamu berbeda pendapat.”
Pendapat yang benar adalah yang dikatakan oleh Imran ra. bahwa rasa malu yang tertuang dalam sabda
Rasulullah SAW. adalah rasa malu yang menjadi pendorong untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan
keburukan. Adapun sikap meninggalkan perintah ALLAH SWT. atau perbuatan baik yang lain, bukanlah
termasuk sifat malu yang terpuji.
5. Malu bagi Muslimah
Wanita muslimah dihiasi oleh rasa malu. Mereka mendampingi laki-laki dalam menjalani kehidupan dan
mendidik anak-anak dengan fitrah kewanitaannya yang masih bersih. Hal ini sebagaimana diisyaratkan
ALLAH SWT. dalam Al-Qur’an, ketka bercerita tentang salah satu putri Nabi Syu’aib yang diperintahkan
untuk memanggil Nabi Musa, “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari wanita itu, berjalan
dengan malu-malu, ia berkata, “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan
terhadap [kebaikan]mu memberi minum [ternak] kami.” (Al-Qashash: 25)

Puteri Syu’aib as. berjalan dengan penuh rasa iffah [kebersihan jiwa] ketka bertemu seorang laki-laki.
Berjalan dengan penuh rasa malu dan jauh dari usaha untuk menarik perhatan. Meskipun demikian, ia
tetap mampu menguasai diri dan menyampaikan apa yang harus disampaikan dengan jelas. Inilah rasa
malu yang bersumber dari fitrah yang suci.

Seorang gadis yang anggun dan shalihah, secara fitrah akan merasa malu ketka bertemu dan berbicara
dengan laki-laki. Akan tetapi karena kesucian dan keitqamahannya ia tdak sanggup, ia berbicara jelas
dan sebatas keperluan.

Adapun wanita yang senantasa bersolek, pergi tanpa muhrim, bahkan bercampur baur dengan laki-laki
yang bukan muhrimnya, tanpa ada keperluan yang dibolehkan secara syar’i, maka wanita sepert ini jelas
bukan didikan Al-Qur’an ataupun Islam. Mereka ini telah menggant rasa malu dan ketaatan kepada
ALLAH SWT. dengan rasa tdak tahu malu, kemaksiatan, dan berbagai perbuatan keji. Dengan demikian
mereka telah membantu terealisasinya keinginan musuh ALLAH SWT untuk melakukan kerusakan.

6. Buah dari rasa malu.


Rasa malu akan membuahkan iffah [kesucian diri]. Maka barangsiapa yang memiliki rasa malu, hingga
dapat mengendalikan diri dari perbuatan buruk, berart ia telah menjaga kesucian dirinya. Rasa malu
juga akan membuahkan sifat wafa’ [selalu menepat janji]. Ahnaf Ibnu Qais berkata: “Dua hal yang tdak
akan berpadu dalam diri seseorang: dusta dan harga diri. Sedangkan harga diri akan melahirkan sifat
shidiq [berkata benar], wafa’, malu dan ‘iffah.”

7. Lawan dari rasa malu.


Kebalikan dari rasa malu adalah tdak tahu malu. Ini adalah sifat tercela, karena mendorong pemiliknya
untuk melakukan kejahatan, tdak peduli dengan segala cercaan, hingga ia melakukan segala
kejahatannya dengan terang-terangan.

Rasulullah SAW. bersabda: “Semua hambaku akan dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat
dengan terang-terangan.”

Orang yang tdak memiliki rasa malu kepada ALLAH dan kepada sesama manusia, tdak akan jera dalam
melakukan kejahatannya kecuali dengan hukuman yang tegas dan keras. Karena, ada sebagian orang
yang memiliki rasa takut dan tdak memiliki rasa malu.

8. Tugas orang tua dan para pendidik


Orang tua dan para pendidik berkewajiban untuk menanamkan rasa malu secara sungguh-sungguh.
Untuk itu, hendaknya mereka menggunakan berbagai metode pendidikan yang baik, sepert: mengawasi
perilaku anak-anak dan segera meluruskannya jika melihat perbuatan yang bertentangan dengan rasa
malu, memilihkan teman bermain yang baik, memilihkan buku-buku yang bermanfaat, menjauhkan dari
berbagai tontonan yang merusak, dan menjauhkan dari ucapan yang tdak baik.

9. Rasa malu adalah kebaikan. Jadi semakin tebal rasa malu, maka semakin baik keimanannya, dan
semakin sedikit rasa malu yang dimiliki, maka semakin sedikit kebaikannya.

10. Tidak perlu ada rasa malu, saat mengajarkan masalah-masalah agama dan saat mencari kebenaran.
ALLAH SWT. berfirman: “Dan ALLAH tdak malu [menerangkan] yang benar.” (Al-Ahzab: 53)
(syarah arbain nawawi
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2432790296792891&id=2011691862236072)

Anda mungkin juga menyukai