l
Mu’minun [23]: 12-14
Artinya: Dan sungguh kami telah menciptakan manusia dari saripati (yang berasal) dari tanah (12) Kemudian
kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13) Kemudian, air mani itu
Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik (14)
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dan (agar kamu mengetahui bahwa) sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi
segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 12)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi
serta di antara keduanya agar hamba-Nya mengetahui (memiliki ilmu) bahwa Dia Maha
Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Oleh karena itu, mengenal Allah Ta’ala, melalui ilmu terhadap nama-nama dan sifat-sifat
Allah Ta’ala (tauhid asma’ wa shifat), adalah salah tujuan dari penciptaan manusia.
B. Hikmah kedua, agar manusia beribadah hanya kepada Allah Ta’ala
Hikmah ke dua ini juga telah Allah Ta’ala jelaskan dalam firman-Nya
“Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS.
Adz-Dzariyaat [51]: 56)
Transplantasi organ adalah transplantasi atau cangkok atau pemindahan seluruh atau
sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu bagian ke bagian yang lain pada
tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak
befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat
merupakan orang yang masih hidup maupun telah meninggal.
Hukum Transplantasi.
Hukum tentang transplantasi sangat bermacam-macam, ada yang mendukung dan ada pula yang
menolaknya. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan menggabungkan hukum-hukum dari
beberapa sumber yaitu dari Abuddin (Ed) (2006) dan Zamzami Saleh (2009),sebagai berikut:
a) Syarat bagi orang yang hendak menyumbangkan organ dan masih hidup:
1. Orang yang akan menyumbangkan organ adalah orang yang memiliki kepemilikan penuhatas
miliknya sehingga dia mampu untuk membuat keputusan sendiri.
2. Orang yang akan menyumbangkan organ harus seseorang yang dewasa atau usianyamencapai
dua puluh tahun.
3. Harus dilakukan atas keinginannya sendiri tanpa tekanan atau paksaan dari siapapun.
4. Organ yang disumbangkan tidak boleh organ vital yang mana kesehatan dan
kelangsunganhidup tergantung dari itu.
5. Tidak diperbolehkan mencangkok organ kelamin.
b) Syarat bagi mereka yang menyumbangkan organ tubuh jika sudah meninggal:
1. Dilakukan setelah memastikan bahwa si penyumbang ingin menyumbangkan organnyasetelah
dia meninggal. Bisa dilakukan melalui surat wasiat atau menandatangani kartu donoratau yang
lainnya.
2.Jika terdapat kasus si penyumbang organ belum memberikan persetujuan terlebih
dahulutentang menyumbangkan organnya ketika dia meninggal maka persetujuan bisa
dilimpahkankepada pihak keluarga penyumbang terdekat yang dalam posisi dapat membuat
keputusanatas penyumbang.
3.Organ atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah organ atau jaringan yang
ditentukandapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup manusia lainnya.
4.Organ yang akan disumbangkan harus dipindahkan setelah dipastikan secara prosedur
medis bahwa si penyumbang organ telah meninggal dunia.
5.Organ tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari korban kecelakaan lalu lintas
yangidentitasnya tidak diketahui tapi hal itu harus dilakukan dengan seizin hakim.
7.7 apa itu aborsi ?
Apa yang dimaksud dengan aborsi (abortion)? Secara umum, pengertian aborsi adalah suatu
tindakan yang bertujuan untuk mengakhiri masa kehamilan atau pengguguran kandungan dengan
cara mengeluarkan janin (embrio) sebelum memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di luar
rahim.
Di dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah melarang membunuh jiwa tanpa alasan yang
dibenarkan. Tentu seorang bayi telah memiliki jiwa atau ruh, sehingga keberadaannya tentu tidak
boleh sampai dibunuh, walaupun bayi tersebut belum ada di dunia. Tentu saja tidak bisa dibenarkan,
kecuali memang ada alasan yang logis, sudah dihitung dalam sudut pandang hukum, fiqih, rasional,
kesehatan, dan aspek-aspek lainnya.
Jika membunuh jiwa diharamkan, tentu saja aborsi adalah diharamkan. Tidak sama dengan bayi
yang belum lahir di dunia tidak memiliki kehidupan atau jiwa yang menghidupinya. Potensi
tersebut sudah ada hanya saja belum lengkap atau sempurna sebagaimana manusia yang asudah di
dunia.
Hukumnya adalah "Mubah;boleh" yaitu diperbolehkan menggugurkan kandungan (tanpa sebab ada
'udzur) selagi belum ada tanda-tanda kehidupan, dan belum mencapai usia kandungan setelah
berumur 120 hari, sebab janin yang belum mencapai usia ini belum dikatakan manusia, karena
belum adanya ruh pada janin. Ada pendapat sebahagian ulama Madzhab ini hukumnya adalah
"Makruh" jika menggugurkannya tanpa sebab ada 'udzur. Namun jika dalam penggugurannya tanpa
sebab 'udzur malah mendatangkan mudorat maka hukumnya adalah berdosa.
Sebab-sebab 'udzur diantaranya, dikhawatirkan karena mengancam kesehatan ibu sebab penyakit
yang ganas, atau dapat menyebabkan janin cacat, dan sebagainya. Sebagian ulama ini pula
menyatakan mutlak hukumnya adalah "Mubah ; boleh" jika menggugurkan kandungan karena sebab
'udzur (darurat).
Menurut Imam Ar-Ramli (Imam Syamsuddin Ar-Ramli ulama Madzhab Imam Syafi'I asal Mesir, w:
1004H/1596M, diantara karya beliau "Nihayah Aalmuhtaj Ila Syarh Almuhtaj"): "Boleh
menggugurkan kandungan selama janin belum ada ruh. Dan mutlak hukumnya adalah "Haram" jika
menggugurkan janin yang sudah memiliki ruh". Pendapat ini sama dengan Madzhab Imam Hanafi.
Menurut Imam Al Ghazali (Abu Hamid Muhammad Alghazali ulama Madzhab Imam Syafi'I, W:
505H/1111M): "Menggugurkan kandungan mutlak hukumnya adalah "Haram", ini sama dengan
perbuatan pidana pembunuhan terhadap bakal calon janin manusia"
Pendapat madzhab Hanabilah sama dengan pendapat Madzhab Imam Hanafi. Mereka perpegang
bolehnya menggugurkan kandungan selama masa 4 bulan pertama (120 hari) dari awal kehamilan.
Namun jika janin berusia sudah mencapai lebih dari 120 hari atau sudah ada ruh (tanda-tanda
kehidupan) hukumnya adalah "Haram". (lihat dalam kitab, Bujairimi Alkhatib, Syarah Shahih
Muslim, Nihayah Almutaj, Tuhfatul Muhtaj Ibnu Hajar, Ihya' Ulumuddin Imam Al-Ghazali, Alfiqhu
Alislami Wa-Adillatuhu, dll)
Otoritas Negara harus dapat menjamin perlindungan dan kemaslahatan bagi rakyatnya. Dan rakyat
harus patuh terhadap Negara dan seluruh perangkat undang-undang yang telah ditetapkan yang
tidak bertentangan dengan hukum syari'at Islam yang telah disepakati oleh lembaga ulama yang
berkompeten. Allah Swt mengisyaratkan didalam firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (para ulama
& pemerintah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya"
(QS. Annisa' [4] : 59)
Begitu juga di dalam Ayat lain diwajibkannya rakyat untuk patuh terhadap keputusan ulama dan
pemerintah, sebagaimana Firman Allah Swt sebagai berikut,
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri (Para ulama &
pemerintah) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan para ulama & pemerintah]). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil
saja (di antaramu)" (QS. Annisa' [4] : 83)
Dari Ayat Alqur'an di atas maka jelaslah, diantara syarat diperbolehkannya menggugurkan
kehamilan jika undang-undang Negara (undang-undang kesehatan) yang membolehkan aborsi tidak
bertentangan dengan keputusan dari kesepakatan fatwa ulama yaitu dari lembaga ulama yang
berkompeten. Jika undang-undang Negara (undang-undang kesehatan) bertentangan dengan hasil
keputusan lembaga ulama yang berkompeten maka mutlak hukumnya adalah "Haram".
Aborsi yang diperbolehkan selagi usia kandungan belum mencapai setelah umur 120 hari dari awal
kehamilannya (sebelum adanya ruh pada janin), dan menggugurkan setelah janin berusia diatas 120
hari (sudah adanya ruh), maka hukumnya adalah 'Haram'.
Bagi pelakunya yang menggugurkan dan yang meminta digugurkan dapat dijerat dengan hukum
pidana, sama hukumnya seperti pelaku pembunuhan (menghilangkan nyawa orang lain). Di antara
Aborsi yang boleh atau tidak boleh dilakukan diantaranya sebagai berikut:
1. Malu karena hamil di luar nikah sebab perzinahan, meskipun usia wanita yang hamil masih anak
di bawah umur. Maka hukumnya mutlak adalah "Haram". Jika alasannya karena usia anak masih di
bawah umur, masih sekolah, masih labil, dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini, maka kedua orang
tua baik dari pihak laki-laki dan wanita harus ikut bertanggung jawab menjaga, memelihara dan
melindunginya. Jika kedua orang tua mereka wafat atau tidak ada, maka pemerintah wajib
memberikan perlindungan kepada mereka sampai mereka bisa mandiri. Jadi hamil sebab karena
pezinahan (suka sama suka) sama ada usianya masih di bawah umur apalagi usia sudah dewasa
(apapun alasannya), maka Haram hukumnya digugurkan. Tentang status anak hamil di luar nikah
dapat dilihat tulisan KH.Ovied. R dengan judul "Hukum Nikah Hamil di Luar Nikah/tahun 2005"
2. Malu hamil karena sebab pemerkosaan dan usia wanita yang hamil masih di bawah umur atau
sudah dewasa, maka menggugurkan kandungannya diperbolehkan dengan syarat:
a. Sebagaimana pendapat mayoritas Ulama, boleh menggugurkan kandungan selama janin belum
ada ruh (sebelum usia janin mencapai lebih 120 hari dari awal kehamilan), dan mutlak hukumnya
adalah "Haram" jika menggugurkan janin yang sudah memiliki ruh".
b. Bagi yang ingin menggugurkan kehamilannya harus ada izin dari lembaga yang berkompeten dan
payung hukum undang-undang Negara yang membolehkannya.
c. Tempat menggugurkannya (rumah sakit atau tempat bersalin) harus yang sudah mendapat izin
dan payung hukum dari pemerintah.
3. Sebab penyakit ganas (seperti penyakit HIV/AIDS, kanker, dan penyakit ganas lainnya). Namun
jika usia janin sudah berusia di atas 120 hari (sudah adanya ruh), maka tidak boleh digugurkan dan
hukumnya adalah tetap "Haram".
4. Bolehnya menggugurkan kandungan karena udzur yaitu karena alasan kesehatan, seperti dapat
menyebabkan kematian sang Ibu, jika janin yang dikandung tidak digugurkan malah keduanya akan
mati (anak dan ibunya). Kondisi ini berlaku Kidah "I'tibar Almashalih Wa Dar-ull Mafasid;
mendahulukan kemaslahatan, dan meninggalkan kerusakan". Sebab 'udzur Syar'I, maka boleh
digugurkan meskipun janin sudah ada ruh (usia janin di atas 120 hari).
Artinya:“Ya Allah Wahai Tuhan segala manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembukanlah ia.
(Hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan
dariMu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” ( HR. Bukhari, no. 5742; Muslim, no. 2191)
Sakaratul maut adalah suatu kondisi di mana pasien menghadapi kematian, yang memiliki berbagai
hal dan berharap untuk mati.
Definisi sakaratul maut adalah penghentian kondisi pernafasan, denyut nadi, dan tekanan darah
serta hilangnya menanggapi rangsangan eksternal, ditandai dengan penghentian aktivitas otak atau
penghentian fungsi jantung dan paru-paru diselesaikan.
Pertama; wajib bagi orang yang sakit untuk bersuci dengan air yaitu dia wajib berwudhu ketika
terkena hadats ashgor (hadats kecil). Jika terkena hadats akbar (hadats besar), dia diwajibkan untuk
mandi wajib.
Kedua; jika tidak mampu bersuci dengan air karena tidak mampu atau karena khawatir sakitnya
bertambah parah, atau khawatir sakitnya bisa bertambah lama sembuhnya, maka dia diharuskan
untuk tayamum.
Ketiga; TATA CARA TAYAMUM adalah dengan menepuk kedua telapak tangan ke tanah yang
suci dengan satu kali tepukan, lalu mengusap seluruh wajah dengan kedua telapak tangan tadi,
setelah itu mengusap kedua telapak tangan satu sama lain.[2]
Keempat; jika orang yang sakit tersebut tidak mampu bersuci sendiri, maka orang lain boleh
membantunya untuk berwudhu atau tayamum. (Misalnya tayamum), orang yang dimintai tolong
tersebut menepuk telapak tangannya ke tanah yang suci, lalu dia mengusap wajah orang yang sakit
tadi, diteruskan dengan mengusap kedua telapak tangannya. Hal ini juga serupa jika orang yang
sakit tersebut tidak mampu berwudhu (namun masih mampu menggunakan air, pen), maka orang
lain pun bisa menolong dia dalam berwudhu (orang lain yang membasuh anggota tubuhnya ketika
wudhu, pen).
Kelima; jika pada sebagian anggota tubuh yang harus disucikan terdapat luka, maka luka tersebut
tetap dibasuh dengan air. Apabila dibasuh dengan air berdampak sesuatu (membuat luka
bertambah parah, pen), cukup bagian yang terluka tersebut diusap dengan satu kali usapan. Caranya
adalah tangan dibasahi dengan air, lalu luka tadi diusap dengan tangan yang basah tadi. Jika diusap
juga berdampak sesuatu, pada saat ini diperbolehkan untuk bertayamum.
[Keterangan[3] : membasuh adalah dengan mengalirkan air pada anggota tubuh yang ingin
dibersihkan, sedangkan mengusap adalah cukup dengan membasahi tangan dengan air, lalu tangan
ini saja yang dipakai untuk mengusap, tidak dengan mengalirkan air]
Keenam; jika sebagian anggota tubuh yang harus dibasuh mengalami patah, lalu dibalut dengan
kain (perban) atau gips, maka cukup anggota tubuh tadi diusap dengan air sebagai ganti dari
membasuh. Pada kondisi luka yang diperban seperti ini tidak perlu beralih ke tayamum karena
mengusap adalah pengganti dari membasuh.
Ketujuh; boleh seseorang bertayamum pada tembok yang suci atau yang lainnya, asalkan memiliki
debu[4]. Namun apabila tembok tersebut dilapisi dengan sesuatu yang bukan tanah -seperti cat-,
maka pada saat ini tidak boleh bertayamum dari tembok tersebut kecuali jika ada debu.
Kedelapan; jika tidak ditemukan tanah atau tembok yang memiliki debu, maka tidak mengapa
menggunakan debu yang dikumpulkan di suatu wadah atau di sapu tangan, kemudian setelah itu
bertayamum dari debu tadi.
Kesembilan; jika kita telah bertayamum dan kita masih dalam keadaan suci (belum melakukan
pembatal) hingga masuk waktu shalat berikutnya, maka kita cukup mengerjakan shalat dengan
menggunakan tayamum yang pertama tadi, tanpa perlu mengulang tayamum lagi karena ini masih
dalam keadaan thoharoh (suci) selama belum melakukan pembatal.
Kesepuluh; wajib bagi orang yang sakit untuk membersihkan badannya dari setiap najis. Jika dia
tidak mampu untuk menghilangkannya dan dia shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah
dan tidak perlu diulangi.
Kesebelas; wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat dengan pakaian yang suci. Jika pakaian
tersebut terkena najis, maka wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Jika dia tidak
mampu untuk melakukan hal ini dan shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak
perlu diulangi.
Keduabelas; wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat pada tempat yang suci. Apabila
tempat shalatnya (seperti alas tidur atau bantal, pen) terkena najis, wajib najis tersebut dicuci atau
diganti dengan yang suci, atau mungkin diberi alas lain yang suci. Jika tidak mampu untuk
melakukan hal ini dan tetap shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak perlu
diulangi.
Ketigabelas; tidak boleh bagi orang yang sakit mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya
dengan alasan karena tidak mampu untuk bersuci. Bahkan orang yang sakit ini tetap wajib bersuci
sesuai dengan kadar kemampuannya, sehingga dia dapat shalat tepat waktu; walaupun badan,
pakaian, atau tempat shalatnya dalam keadaan najis dan tidak mampu dibersihkan
Sesungguhnya Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ajaran
yang lurus, toleran dan ajaran tersebut selalu mendatangkan kemudahan bagi hamba-Nya. Allah
Ta’ala berfirman,
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam agama.” (QS. Al Hajj [22]:
78
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (QS. Al
Baqarah [2]: 185
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kesanggupan kalian dan dengarlah serta ta’atlah.”
(QS. At Taghobun [64]: 16)
“Jika kalian diperintahkan dengan suatu perintah, laksanakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari
no. 7288 dan Muslim no. 1337)
Berdasarkan kaedah-kaedah penting ini, Allah Ta’ala meringankan bagi orang-orang yang kesulitan
dalam melakukan ibadah supaya melakukan ibadah sesuai dengan kondisi mereka sehingga mereka
dapat melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala, tanpa merasa sempit dan sulit.
Menurut pendapat pertama, kriteria tanah yang bisa digunakah ber-tayamum harus suci dan
mensucikan, berdebu, tidak basah. Dengan begitu, tanah yang najis dan musta’mal tidak sah
digunakan tayamum. Begitu pula tanah yang tidak berdebu karena basah, lumpur, atau benda padat
seperti batu dan pecahan marmer, maka tidak sah digunakan ber-tayamum.
Dalam kitab Al-umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa arti lafadz صعيدdalam surat Annisa’
ayat 4 adalah tanah yang berdebu. Sehingga benda padat selain tanah berdebu tidak boleh
digunakan ber-tayamum karena tidak dinamakan ص
Sedangkan menurut pendapat kedua, seluruh permukaan bumi yang bersih, baik berupa pasir,
bebatuan, tanah yang berair, lembab ataupun kering, semuanya sah digunakan tayamum.
Orang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan sebagai berikut:
Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak memungkinkan, maka
dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.
Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak
mengapa.
Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan
di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana
dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan maka,
dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika rukuk.
Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti biasa.
Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil berbaring. Shalat
sambil berbaring ada dua macam:
a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)
Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak bisa
menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak
memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan
di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana
dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan
diluruskan ke arah lutut.
Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah
kiblat.
b. mustalqiyan (telentang)
Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:
Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan
ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap kiblat. Jika tidak
memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan
diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana
dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan
diluruskan ke arah lutut.
Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah
kiblat.
3. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya (lumpuh total)
Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan mata, maka shalatnya
dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna al-imaa`. Ia kedipkan matanya sedikit
ketika takbir dan rukuk, dan ia kedipkan banyak untuk sujud. Disertai dengan gerakan lisan ketika
membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat
pun dibaca dalam hati.
Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka shalatnya
dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya gerakan-gerakan shalat yang ia kerjakan
disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu
digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati.
17. Agama Islam penuh dengan kemudahan. Semua yang diperintahkan dalam Islam disesuaikan
dengan kemampuan hamba. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” (QS. At Taghabun: 16).
Termasuk dalam ibadah shalat, ibadah yang paling agung dalam Islam. Terdapat banyak
kemudahan dan keringanan di dalamnya. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai
kemudahan dan keringanan shalat bagi orang sakit
Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf, orang yang
terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah orang yang bukan
mukallaf, yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil
hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” (HR. An Nasa-i no. 7307, Abu Daud no. 4403,
Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3513).