Anda di halaman 1dari 34

Journal Reading

Rinitis Alergi dan Non Alergi

Pembimbing:
dr. Kote Noordhianta, Sp. THT-KL, M. Kes

Presentan:
Christine Tjahjadinata 201706010149

Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta
RSUD Syamsudin, S.H., Sukabumi
Periode 21 Oktober 2019 – 23 November 2019
JOURNAL READING
Hubungan antara Reversibilitas Peak Nasal Flow dan
Transportasi Mukosiliar pada Rinitis Alergi

Objektif/Hipotesis : Reversibilitas aliran udara hidung setelah diberikan terapi dekongestan


yang diukur dengan rinomanometri berhubungan dengan tingkat keparahan
inflamasi alergi. Puncak aliran udara hidung adalah metode alternatif yang
mudah dilakukan untuk mengukur patensi hidung. Tujuan studi ini adalah
untuk mengevaluasi hubungan antara peak nasal flow saat inspirasi dan
ekspirasi (PNEF dan PNIF) setelah dekongesti dan waktu transportasi
mukosiliar hidung (NMCCT).
Desain studi : Satu pusat studi, studi potong lintang prospektif
Metode : 101 pasien rinitis alergi terdaftar. Gejala hidung dan NMCCTs terukur.
PNEF dan PNIF dilakukan sebelum dan sesudah dekongesti. Hubungan
antara perubahan PNEF dan PNIF setelah dekongesti dan NMCCTs telah
dianalisa. 1½ standar deviasi dari nilai dasar peak nasal flow digunakan
untuk mengestimasi perbedaan klinis minimal yang penting (MCID) dan
membedakan pasien dengan mukosa yang reversibel dan ireversibel.
Hasil : PNEF menunjukan lebih banyak perbaikan peak flow setelah dekongesti
apabila dibandingkan dengan PNIF. Perubahan PNEF memiliki korelasi
negatif yang lebih baik pada NMCCTs dibandingkan PNIF (p = -0.49,
P<.001 dan p = - 0.034, P<.001). Nilai MCID pada PNEF dan PNIF adalah
27.93 dan 19.74. Pada perbandingan NMCCTs antara pasien dengan atau
tanpa MCID setelah dekongesti, PNEF memiiliki kemampuan yang lebih
baik untuk membedakan dibandingkan dengan PNIF (P=.003 dan P=0.26).
Kesimpulan : Keterbatasan reversibilitas yang diukur oleh peak nasal flow bisa secara
tidak langsung menandakan afeksi dari inflamasi mukosiliar seperti yang
diindikasikan oleh NMCCTs. PNEF lebih sensitif untuk mengukur
perubahan peak nasal flow setelah dekongesti apabila dibandingkan
dengan PNIF.
Kata Kunci : Rinitis alergi, tes dekongesti, waktu transportasi mukosiliar hidung, peak
nasal flow, reversibilitas
Introduksi
Rinitis alergi adalah alergi yang dimediasi IgE dan berhubungan dengan intensitas
inflamasi hidung yang bervariasi. Beberapa pedoman rinitis alergi didesain dengan pendekatan
bertahap berdasarkan keparahan gejala, meskipun terapi yang disarankan berdasarkan
pedoman tidak efektif untuk semua pasien. Respon yang bervariasi dapat dijelaskan oleh
variasi yang terdapat pada inflamasi mukosa yang tidak selalu berhubungan dengan tingkat
keparahan gejala dan sulit untuk dikualifikasi secara langsung berdasarkan pemeriksaan fisik,
sehingga pengukuran yang objektif dibutuhkan.
Kongesti hidung adalah gejala yang umum terjadi pada rinitis alergi dan terjadi karena
2 sebab utama, yaitu kongesti vaskular dan inflamasi mukosa. Pemberian α-adrenergic
receptor agonists relive nasal congestion secara topikal berhubungan dengan rinitis alergi
sebagai akibat dari konstriksi sinusoid vena. Tes dekongesti hidung adalah metode prognostik
yang dapat menilai secara tidak langsung signifikansi afeksi dari mukosa hidung. Beberapa
studi menemukan adanya perubahan aliran udara hidung setelah penggunaan dekongestan yang
diukur dengan rinomanometri cenderung memiliki hubungan yang terbalik dengan tingkat
inflamasi alergi, seperti yang diukur berdasarkan berbagai cara seperti tingkat eosinofil hidung,
interleukin (IL)-4 dan IL5. Aliran udara hidung setelah dekongesti tanpa faktor perancu
kongesti vaskular dapat menggambarkan tingkat keparahan inflamasi mukosa yang mendasari.
Hal ini dapat mengekspektasikan pasien rinitis alergi dengan perubahan patensi hidung yang
terbatas dan limitasi aliran udara hidung yang reversibel akan mengalami inflamasi mukosa
yang lebih berat.
Rinomanometri telah diterima secara umum sebagai teknik objektif standard yang
digunakan untuk mengukur patensi hidung, meskipun alatnya mahal dan tidak portabel, serta
membutuhkan operator yang berpengalaman. Peak nasal flow adalah alat ukur yang murah,
cepat, dan mudah digunakan untuk menggambarkan perubahan patensi hidung dalam praktik
klinik. Pemeriksaan ini mencakup pengukuran peak nasal expiratory flow (PNEF) dan peak
nasal inspiratory flow (PNIF). Baik PNEF maupun PNIF menunjukan hubungan yang baik
dengan rinomanometri dan telah didemonstrasikan sebagai pengukuran yang sahih untuk nilai
absolut aliran udara hidung. Hal ini menunjukan reversibilitas pada kedua teknik peak nasal
flow setelah dekongesti dapat digunakan sebagai metode tidak langsung dalam mengukur
derajat inflamasi mukosa yang mendasari. Untuk menguji hipotesis ini, studi ini dilakukan pada
pasien rinitis alergi. Waktu transportasi mukosiliar hidung (NMCCT) digunakan untuk
menunjukan efek jaring dari keparahan penyakit yang berhubungan dengan derajat inflamasi
alergi yang mendasari. Pertama-tama, penelitian ini mengevaluasi dan membandingkan
hubungan antara perubahan PNIF dan PNEF setelah dekongesti dan NMCCT, dan selanjutnya
peneliti menentukan perubahan klinis minimal yang penting setelah dekongesti dalam PNIF
dan PNEF yang berhubungan dengan NMCCT.

Materi dan Metode


Desain studi
Satu pusat studi, studi potong lintang prospektif dilaksanakan di Departemen Otolaringologi,
Fakultas Kedokteran, Prince of Songkla University, Hat Yai, Thailand, sejak Januari 2010 hingga Juni
2013. Protokol penelitian ini telah diterima oleh institutional review board of Prince of Songkla
University. Persetujuan tertulis untuk mengikuti penelitian ini telah didapatkan dari semua pasien
sebelum penelitian ini didaftarkan.

Populasi Studi
Pasien berusia 15-60 tahun merupakan subjek penelitian ini. Semua pasien memiliki gejala
rinitis dan tes tusuk kulit yang positif terhadap salah satu aeroalergen yang terdiri dari tungau debu
(Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides pteronyssinus), jamur (Alternaria species, campuran
Aspergillus, Candida albicans, Cladosporium sphaerospermum, campuran Fusarium dan Penicillium),
binatang (kucing, anjing, dan campuran bulu), serangga (kecoak Amerika, kecoak Jerman), pohon
(akasia, kapuk), rumput liar, dan rerumputan (Bermuda, Johnson) dengan hasil reaksi alergi berdiameter
> 3 mm apabila dibandingkan dengan kontrol. Endoskopi hidung dan radiografi sinus (posisi Caldwell
dan Waters) dilakukan pada semua pasien untuk mengeksklusi penyakit sinonasal. Pasien dengan hasil
endoskopi hidung atau radiografi sinus berupa sugestif gambaran deviasi septum berat, polip nasi,
neoplasma, dan atau rhinosinusitis akan dieksklusi. Pasien yang perokok atau pernah operasi sinonasal
atau imunoterapi juga dieksklusi. Pasien yang telah menggunakan dekongestan, antihistamin, atau
kortikosteroid nasal/inhalasi/sistemik dengan periode pembersihan obat sebelum studi juga
dieksklusikan.
Usia, jenis kelamin, gejala hidung, dan penyakit penyerta pasien dicatat. Riwayat asma
didefinisikan sebagai riwayat gejala pernafasan yang rekuren seperti mengi, sesak napas, sesak dada,
dan radiografi dada normal. Kongesti hidung, rinorea, bersin, dan gatal pada hidung masing-masing
diberi nilai dalam 7 poin skala Likert dari 0-6 (0 : tidak, 1-2 : gejala menetap namun dapat ditoleransi
dengan baik, 3-4 : gejala sulit ditoleransi, 5-6 : gejala sangat buruk hingga pasien tidak bisa beraktivitas
sepanjang waktu).
Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung
Tes sakarin yang dideskripsikan pertama kali oleh Andersen et al dan dimodifikasi oleh
Rutland dan Cole dipakai untuk mengukur NMCCT. Selama pengukuran, pasien dalam posisi
duduk dengan kepala di depan dan diminta untuk tidak bersin, terisak, atau meniup hidung
mereka. Saat endoskopi hidung, 1-2 mm partikel arang-sakarin diletakan pada permukaan
medial dari konka inferior hidung, 1 cm di belakang ujung anterior konka. Setelah persepsi
pertama untuk rasa manis dicatat, dinding faring diperiksa pada interval 15 detik untuk
tampilan seperti arang. Waktu untuk mendeteksi tampilan seperti arang dicatat sebagai
NMCCT. Tes dilakukan pada kedua kavum nasi dan rata-rata nilai dari kedua sisi dicatat
sebagai NMCCT pada masing-masing subjek penelitian.

Peak Nasal Flow


Mini-Wright Peak Expiratory Flow Meter (Clement Clarke International, Harlow,
United Kingdom) digunakan untuk mengukur PNEF, sedangkan In-check inspiratory flow
meter (Clement Clarke International) digunakan untuk mengukur PNIF. Peak nasal flow
diukur pada posisi duduk tegak menggunakan peak flow meter yang terhubung dengan tight
fitting anesthetic mask yang menutupi hidung dan mulut. Dengan 15 menit waktu istirahat antar
pengukuran, pasien diinstruksikan untuk melakukan maximal forced expiratory flow melalui
hidung setelah inspirasi maksimal pada PNEF dan maximal forced inspiratory flow melalui
hidung setelah ekspirasi maksimal pada PNIF dalam kondisi mulut pasien tertutup.
Pemeriksaan ini diulang hingga didapatkan 3 hasil memuaskan untuk maximal forced
expiratory and inspiratory di PNIF, dengan variasi hasil kurang dari 10% pada setiap
pengukuran peak flow yang didapatkan dan hasil tertinggi diambil sebagai true peak flow.

Tes Dekongesti Hidung


Setelah pengukuran nilai dasar peak nasal flow, masing-masing nostril akan diberikan
2 semprot oxymetazoline 0.05%. PNEF dan PNIF dievaluasi ulang 10 menit setelah aplikasi
dekongestan tersebut. Perubahan pada peak nasal flow setelah dekongesti dihitung dengan
mengurangi peak nasal flow setelah dekongesti dengan sebelum dekongesti.

Analisa Statistk
Data demografi dirangkum sebagai data angka, rata-rata, dan rentang angka. Nilai
gejala hidung disajikan dalam data median dan rentang interkuartil (IQR). Tes Kolmogorov-
Smirnov dilakukan untuk verifikasi distribusi data PNEF, PNIF, dan NMCCT. Berhubungan
Dengan distribusi data yang tidak normal, maka data peak flow rates dan NMCCT disajikan
dalam data median (IQR). Peak flow rates antara sebelum dan sesudah dekongesti dianalisa
dengan Wilcoxon signed rank test. Hubungan antara perubahan peak nasal flow setelah
dekongesti dan NMCCT dianalisa menggunakan Spearman rank correlation coefficients. 1½
standar deviasi (SD), ekuivalen dengan ambang batas yang dihitung untuk ukuran efek sedang,
dari nilai dasar peak nasal flow digunakan untuk mengestimasi perbedaan klinis minimal yang
penting (MCID) dari peak nasal flow. MCID adalah perubahan terkecil dalam peak nasal flow
yang bermakna secara klinis dan digunakan untuk membedakan pasien dengan dan tanpa
reversibilitas mukosa. NMCCT antara pasien dengan dan tanpa MCID dari peak nasal flow
setelah dekongesti pada setiap pengukuran peak flow dibandingkan dengan Mann-Whitney U
test. Signifikansi data diukur menggunakan two tailed alternatives. Nilai P dua sisi <0.05
dianggap signifikan secara statistik.

Hasil
Karakteristik Pasien
Total 101 pasien dengan rinitis alergi termasuk dalam studi ini, yang terdiri dari 30 laki-
laki dan 71 perempuan. Rata-rata usianya 30.5 tahun (16-59 tahun) dan rata-rata durasi gejala
rinitisnya 9.9 tahun (6-35 tahun). Delapan pasien memiliki riwayat asma. Median (IQR)
kongesti hidung, rinorea, bersin, dan gatal pada hidung sebesar 3.0 (3.0-5.0), 3.0 (3.0-4.0), 3.0
(3.0-4.0), dan 3.0 (2.0-4.0). Median (IQR) NMCCT sebesar 17.3 (14.3-23.7).
PNEF menunjukan lebih banyak perbaikan peak flow setelah dekongesti apabila
dibandingkan dengan PNIF. Perubahan PNEF memiliki korelasi negatif yang lebih baik pada
NMCCTs dibandingkan PNIF (p = -0.49, P<.001 dan p = - 0.034, P<.001). Nilai MCID pada
PNEF dan PNIF adalah 27.93 dan 19.74. Pada perbandingan NMCCTs antara pasien dengan
atau tanpa MCID setelah dekongesti, PNEF memiiliki kemampuan yang lebih baik untuk
membedakan dibandingkan dengan PNIF (P=.003 dan P=0.26).
PNEF dan PNIF Sebelum dan Sesudah Dekongesti Hidung
PNEF dan PNIF pada nilai dasar dan 10 menit setelah dekongesti dapat dilihat pada
Tabel 1. PNEF memiliki derajat perubahan yang lebih tinggi setelah dekongesti bila
dibandingkan dengan PNIF.

Korelasi antara Perubahan Peak Flow Setelah Dekongesti dan NMCCT


Spearman rank correlation coefficients menunjukan korelasi negatif yang signifikan
antara perubahan peak flow pada kedua pengukuran peak nasal flow setelah dekongesti dan
NMCCT. Perubahan PNEF setelah dekongesti memiliki korelasi negatif yang lebih baik
dengan NMCCT apabila dibandingkan dengan PNIF.
MCID Peak Nasal flow dan Perbedaan Klinis yang Relevan pada NMCCT
Nilai MCID dari PNEF dan PNIF berdasarkan pada nilai dasar SD 0.5 adalah sebesar
27.93 dan 19.74. MCID dari peak nasal flow digunakan untuk membedakan pasien dengan
mukosa reversibel dan mukosa ireversibel. NMCCT pada pasien dengan mukosa ireversibel
secara signifikan lebih lama apabila dibandingkan dengan mukosa reversibel. Dalam
perbandingan NMCCT antara pasien dengan dan tanpa MCID dari peak nasal flow setelah
dekongesti, PNEF memiliki kemampuan membedakan yang lebih baik apabila dibandingkan
dengan PNIF.

Diskusi
Dekongesti hidung memberikan bukti mengenai reversibilitas dari limitasi aliran udara
hidung setelah penggunaan obat vasokonstriktor intranasal yang diukur dengan rinomanometri
dan bagaimana tingkat penurunan reversibilitas berhubungan dengan tingkat keparahan
inflamasi alergi. Peak nasal flow lebih cocok sebagai metode skrining untuk mengevaluasi
patensi hidung dalam praktik klinis karena mudah, cepat, mudah diproduksi, dan berhubungan
dengan nilai absolut rinomanometri hidung. Berdasarkan hal tersebut, limitasi dari
reversibilitas peak nasal flow setelah dekongesti harus juga dihubungkan dengan tingkat
inflamasi mukosa yang mendasarinya. Dalam studi ini, NMCCT digunakan untuk
mengindikasikan tingkat keparahan inflamasi mukosa yang mendasarinya.
Dalam studi, peneliti pertama-tama membandingkan korelasi antara pengukuran peak
nasal flow setelah dekongesti dengan NMCCT. Penemuan dalam penelitian ini menunjukan
perubahan pada kedua peak nasal flow memiliki korelasi negatif dengan NMCCT, namun
perubahan PNEF memiliki korelasi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan PNIF. Aliran
udara hidung termasuk mukosa dan katup hidung, serta komponen paru. Inflamasi mukosa
adalah penyebab primer dari limitasi peak flow, namun kolaps katup hidung dan usaha paru
adalah 2 faktor perancu utama yang dapat menyebabkan pengukuran aliran udara hidung
menjadi tidak akurat. Kolaps alar dan atau katup hidung selama inspirasi maksimal dapat
menciptakan tekanan negatif dan memberikan hasil pengukuran yang salah berupa aliran udara
yang rendah. Derajat kolaps tergantung pada kelemahan yang terjadi pada kerangka yang
menyokong. Baik PNEF maupun PNIF merupak tes yang bergantung pada usaha pasien. Hasil
yang bervariasi dapat pula berhubungan dengan adanya rasa lelah setelah tes yang berulang,
namun kelelahan ini lebih sering muncul pada PNIF daripada PNEF. Pada teknik yang tepat
lebih sulit untuk mendapatkan inspirasi maksimal dan membutuhkan lebih banyak latihan
dapipada ekspirasi maksimal untuk memdapatkan nilai yang akurat. Faktor perancu ini dapat
menjelaskan mengapa perubahan pada PNIF lebih tidak spesifik sebagai indikator inflamasi
mukosa apabila dibandingkan dengan PNEF. Namun, kelemahan utama dari PNEF adalah
kemungkinan adanya ekspulsi sekresi pada masker yang digunakan pada forced expiration,
sehingga keuntungan kebersihan dari PNIF lebih tinggi apabila dibandingkan dengan PNEF
sehingga PNIF lebih diapresiasi dalam praktik klinik sehari-hari.
MCID adalah perubahan terkecil yang memiliki signifikansi klinis untuk
menginterpretasikan hasil data penelitian. 1 ½ SD dari nilai dasar peak nasal flow digunakan
untuk memperkirakan MCID dari decongestable peak flow. Nilai MCID dari PNEF dan PNIF
dalam penelitian ini adalah 27.93 dan 19.74. MCID dari PNIF setelah septorinoplasti menurut
Timperley et al adalah 20L/menit dengan metode berbasis jangkar dan 18L/menit dengan
metode berbasis distribusi. MCID pada PNIF dalam studi ini mirip dengan MCID yang telah
dilaporkan sebelumnya, namun PNEF lebih sensitif untuk mengalami perubahan setelah
dekongesti dalam hubungannya dengan NMCCT apabila dibandingkan dengan pengukuran
PNIF.
Studi ini memiliki beberapa limitasi. Meskipun radiografi foto polos sinus dapat
digunakan sebagai modalitas skrining dari rinosinusitis, namun memiliki keterbatasan
termasuk adanya overlapping dari struktur tulang lainnya pada daerah sinus dan tingginya
angka false negative maupun false positive dari pemeriksaan ini. Abnormalitas yang dapat
terlihat pada radiografi foto polos sinus harus diinterpretasikan bersamaan dengan hasil
pemeriksaan fisik dan endoskopi hidung. CT scan sinus memiliki hasil yang lebih baik apabila
dibandingkan dengan foto polos karena memberikan gambaran yang lebih detail pada patologi
sinonasal, namun ketersediaan dalam berbagai situasi masih terbatas pada biaya dan dosis
radiasi. Limitasi lainnya adalah kecilnya jumlah subjek populasi penelitian yang dapat
membatasi penggunaan hasil penelitian ini secara luas. Penelitian berikutnya dengan jumlah
pasien yang lebih banyak diperlukan untuk mengonfirmasi hasil penelitian ini. Namun, jumlah
sampel penelitian ini tetap memiliki kekuatan yang cukup untuk mendeteksi korelasi negatif
yang signifikan antara peak nasal flow setelah dekongesti dan NMCCT, dan hasil ini
didapatkan dari validitas klinis dengan analisa MCID dari peak nasal flow setelah dekongesti
dalam hubungannya dengan NMCCT. Pada akhirnya, terdapat beberapa faktor umum termasuk
perbedaan anatomi dan fisiologi antara anak dan dewasa, yang dapat membatasi perhitungan
dari data orang dewasa terhadap subjek pediatrik. Penelitian lebih lanjut pada populasi
pediatrik diperlukan untuk mengonfirmasi hasil penelitian ini apabila ingin digunakan secara
luas.

Kesimpulan
Perubahan pada PNEF dan PNIF setelah dekongesti menunjukan hubungan negatif
dengan NMCCT, namun perubahan pada PNEF memiliki korelasi yang lebih baik apabila
dibandingkan dengan PNIF. Nilai MCID dari PNEF dan PNIF dengan perbedaan klinis yang
relevan dalam NMCCT adalah 27.93 dan 19.74.
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Rinitis didefiniskan sebagai suatu kondisi inflamasi pada mukosa hidung. Gejala-gejala
yang sering ditemukan antara lain obstruksi nasal, hiperiritabilitas, dan hipersekresi. Rinitis
dapat disebabkan oleh alergi maupun non-alergi.
Rinitis alergi menurut WHO ARIA merupakan kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinorea, serta rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Rinitis alergi disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama, sehingga terjadi
pelepasan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut.
Rinitis alergi bukan kondisi yang berat ataupun emergensi, namun penyakit ini
meningkatkan beban biaya dan menurunkan kualitas hidup banyak pasien (penurunan kualitas
tidur, gangguan fungsi kognitif, iritabilitas, dan fatigue).

Epidemiologi
Prevalensi rinitis alergi di seluruh dunia diperkirakan sekitar 2-25% pada anak-anak
dan 1% hingga lebih dari 40% pada orang dewasa. Prevalensi ini terus meningkat seiring
berjalannya waktu. Insiden rinitis alergi pada anak meningkat kurang lebih 2 kali lipat dalam
satu dekade.
Rata-rata umur pasien yang didiagnosa dengan rhinitis alergi adalah antara 9 sampai 11
tahun. Meskipun kebanyakan didiagnosa sebelum usia 6 tahun, gejala muncul sekitar umur 10-
40 tahun.
Rinitis alergi juga berasosiasi dengan penyakit lainnya, seperti asma. Sekitar 15-38%
pasien rinitis alergi mengalami asma dan gejala rinitis alergi juga dialami oleh 6-85% pasien
dengan asma. Maka dari itu disimpulkan bahwa rinitis alergi merupakan faktor risiko dari asma
dan rinitis alergi yang tidak terkontrol dapat mempengaruhi kontrol dari penyakit asma.
Rhinitis alergi mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari. Pasien
dengan rinitis alergi biasanya mengeluh sulit berkonsentrasi, kelelahan, dan mengalami
gangguan dalam hubungan interpersonal. Anak dengan rinitis alergi memiliki kesulitan dalam
belajar dan mudah lelah di sekolah. Pasien dengan rinitis alergi memiliki kualitas hidup yang
lebih buruk dibandingkan dengan individu tanpa rinitis alergi.
Etiologi
Alergen adalah substansi asing yang dapat menimbulkan respon imun yang dimediasi
oleh IgE. Alergen dapat dikategorikan menjadi tipe indoor dan outdoor. Alergen outdoor
seperti serbuk sari menyebabkan rinitis alergi musiman. Sedangkan alergen indoor yang umum
adalah tungau, debu rumah, kecoa, dan bulu binatang.

Kategori alergen lain dibagi berdasarkan cara masuk alergen, yaitu:


- Alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan seperti tungau, debu rumah, kecoa,
epitel kulit binatang, rerumputan, dan jamur.
- Alergen ingestan yang masuk ke dalam saluran cerna seperti susu sapi, telur, coklat, ikan
laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.
- Alergen injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan seperti penisilin dan sengatan
lebah.
- Alergen kontaktan yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa seperti bahan
kosmetik dan perhiasan.

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko atopi, antara lain genetik (riwayat
keluarga), faktor lingkungan (debu dan jamur), paparan terhadap alergen (makanan dan serbuk
sari), serta paparan terhadap asap rokok dan asap kendaraan bermotor.

Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman.
Gejala klinis muncul pada musim tertentu, biasanya berhubungan dengan
proses penyerbukan tanaman. Gejala klinis antara lain bersin-bersin; rinorea cair; gatal
pada hidung, mata, tenggorokan, dan telinga; dan kongesti nasal. Alergen pada rinitis
musiman antara lain serbuk sari dan spora jamur. Karena tidak memiliki 4 musim, maka
tidak terdapat rinitis alergi musiman di Indonesia.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).


Gejala pada penyakit ini timbul secara intermiten atau terus menerus tanpa
dipengaruhi variasi musim. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan dan
alergen makanan. Gejala klinis pada rinitis perennial lebih ringan dibandingkan dengan
rinitis musiman, tetapi lebih persisten dan komplikasi (seperti rhinosinusitis dan otitis
media efusi) lebih sering ditemukan.

Namun demikian, kini Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) telah
membuat klasifikasi baru untuk rinitis alergi, yaitu rinitis alergi ringan intermiten, rinitis alergi
sedang-berat intermiten, rinitis alergi ringan persisten, dan rinitis alergi sedang-berat persisten.
Rinitis alergi intermiten dikarakteristikan dengan gejala yang berlangsung kurang dari 4 hari
dalam seminggu atau kurang dari 4 minggu dalam setahun. Sedangkan rinitis alergi persisten
dikarakteristikan dengan gejala yang berlangsung lebih dari 4 hari dalam seminggu atau lebih
dari 4 minggu dalam setahun.
Derajat keparahan dari rinitis tergantung pada pengaruh gejala terhadap fungsi, kualitas
tidur, dan kualitas hidup sehari-hari. Rinitis ringan adalah saat gejala tidak mengganggu ketiga
aspek tersebut. Sedangkan rinitis sedang-berat adalah saat gejala sudah mengganggu satu atau
lebih dari fungsi sehari-hari, kualitas tidur, dan kualitas hidup.

Patofisiologi
Reaksi alergi secara primer dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe 1. Respon
tersebut meliputi produksi berlebih dari antibodi IgE dan seringkali disebut sebagai reaksi
atopi. Kontak pertama dengan alergen menyebabkan produksi dari molekul IgE spesifik yang
disebut proses sensitisasi. Diawali saat makrofag dan Antigen-presenting cell (APC) lain
memproses alergen dan kemudian mempresentasikannya ke sel T-helper (Th). Th kemudian
berinteraksi dengan limfosit B dan mengakibatkan produksi IgE. Proses ini dimediasi oleh
interleukin (IL)-4 dan IL-13. Molekul IgE yang terbentuk berikatan dengan reseptor IgE yang
terdapat pada permukaan sel mast dan basofil sehingga sel mast dan basofil tersensitisasi.

Reaksi Alergi Fase Cepat


Pada individu yang tersensitisasi, paparan terhadap alergen yang sama menyebabkan
reaksi alergi fase cepat. Setelah memasuki cavum nasi, antigen berinteraksi dengan molekul
IgE spesifik pada permukaan sel mast. Hal ini menyebabkan degranulasi sel mast dan
pelepasan mediator inflamasi, yaitu histamin, prostaglandin, leukotriene, dan platelet
activating factor (PAF). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf N. Vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain itu, histamin juga
menyebabkan hipersekresi sel goblet dan kelenjar mukosa, serta meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga mengakibatkan rinorea. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Reaksi ini berlangsung sampai 1 jam setelah pemaparan.

Reaksi Alergi Fase Lambat


Saat reaksi lambat, pasien mengalami rekurensi bersin-bersin, rinorea, dan gejala yang
dominan, yaitu kongesti. Pada reaksi lambat juga terjadi peningkatan mediator inflamasi.
Substansi yang dilepaskan oleh sel mast, yaitu IL-4 yang berkontribusi dalam kaskade respon
lambat. IL-4, IL-1, atau TNF-I menyebabkan epitel nasal melepaskan VLA-4 (Very late
antigen) dan ICAM-1 (Intracellular adhesion molecule) pada permukaan sel sehingga terjadi
rekruitmen sel T, basofil, monosit, dan eosinofil. Timbulnya gejala hiperreaktif dan
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granul
eosinofil, seperti Eosinophilic Catationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain alergen,
iritasi oleh faktor non-spesifik seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan
kelembapan udara yang tinggi akan memperberat gejala. Gejala akan berlanjut selama 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam pasca pemaparan sampai 24-48 jam.
Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mencapai
diagnosis yang tepat karena rinitis alergi memiliki banyak kesamaan dengan kelainan nasal
lainnya.

Anamnesis
Rhinitis dikarakteristikan dengan gejala berikut, yaitu gatal pada hidung, bersin-bersin,
obstruksi atau kongesti nasal, rinorea (anterior atau posterior), dan penurunan fungsi penghidu
(hiposmia). Pada paparan dengan alergen, gejala rhinitis alergi muncul dalam hitungan menit
dan dapat bertahan sampai 1-2 jam sebelum perbaikan.
Selain gejala nasal, pasien juga
sering mengeluh gatal pada mata,
gatal pada ternggorokan, dan batuk.
Beberapa gejala lainnya adalah
peningkatan lakrimasi dan
hiperemis pada mata. Namun
demikian, gejala-gejala tersebut
tidak spesifik dan tidak selalu ada
pada rinitis alergi.
Pada anamnesa, penting untuk
ditanyakan mengenai paparan
terhadap kemungkinan alergen
sebelum terjadinya gejala. Selain itu, harus dicari tahu mengenai terapi sebelumnya, respon
terhadap terapi, dan adanya komplikasi. Riwayat rinitis alergi pada keluarga meningkatkan
kemungkinan pasien memiliki alergi.

Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid,
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior akan tampak
hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena stasis vena periorbital akibat obstruksi kronik nasal. Gejala ini disebut
allergic shiners. Selain dari itu sering juga tampak anak sering menggosok-gosok hidung
karena gatal. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama
kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah yang disebut allergic crease.

Rhinoskopi Anterior pada Rhinitis Alergi


Pemeriksaan Penunjang
Pada rinitis alergi dapat dilakukan tes alergi untuk mengetahui secara pasti adanya atopi
pada pasien. Tes tersebut juga dapat menentukan alergen penyebab yang dapat membantu
dalam rekomendasi terapi spesifik. Tes alergi yang tersedia antara lain tes kulit dan tes serum
in vitro. Tes kulit dapat berupa tes tusuk kulit (skin prick test) atau intradermal testing (IDT).
1. Tes Kulit
Tes kulit adalah metode in vivo efektif untuk memeriksa sensitivitas seseorang
terhadap suatu alergen. Tes ini mengevaluasi antibodi spesifik IgE pada sel mast di
kulit, reaktivitas sel mast, dan reaksi pelepasan mediator. Tes ini memiliki
sensitivitas yang tinggi dan hasil tes dapat diperoleh dengan cepat dan murah,
namun tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan dermatografisme, ekzema
yang ekstensif, dan pada pasien yang mengkonsumsi antihistamin.
Tes kulit diawali dengan meneteskan ekstrak alergen pada kulit, lalu kulit
ditusuk sehingga dermis terpapar dengan alergen. Respon positif didapat setelah
10-15 menit bila terjadi indurasi dan eritema di sekitarnya.
2. Pemeriksaan in Vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan yang
lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Allergo
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). RAST atau
ELISA berguna untuk pasien dengan dermografisme, dermatitis atopik berat, atau
pasien yang tidak bisa atau tidak mau menghentikan penggunaan antihistamin.
Namun demukian, hasil dengan RAST dan ELISA baru bisa didapat setelah
beberapa hari dan tergolong mahal. Dari hasil test tersebut, apabila ditemukan
eosinofil maka menunjukkan alergi inhalan, basofil menunjukkan alergi makanan,
dan sel PMN menunjukkan infeksi bakteri.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinitis alergi antara lain: (1) rinitis infeksius (akut dan kronik), (2)
rinitis vasomotor, (3) rinitis hormonal (hamil, hipotiroid), (4) rinitis medikamentosa, (5)
deformitas anatomi, (6) tumor atau korpus alienum.

Tatalaksana
Pendekatan terapi yang berhasil untuk rhinitis alergi harus meliputi edukasi pasien,
farmakoterapi, dan pertimbangan imunoterapi.
Edukasi Pasien
Pasien harus diedukasi mengenai penyakit alergi, progresi penyakit, dan pentingnya
terapi yang mungkin perlu dilakukan dalam jangka panjang dan reguler. Informasi tentang
tujuan terapi maupun keuntungan dan kemungkinan efek samping harus diberikan untuk
mencegah ekspektasi palsu dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Selain itu, mengurangi paparan terhadap alergen dapat mengurangi gejala rinitis alergi
secara signifikan. Untuk mengontrol tungau debu jamur, dan bulu binatang dapat dilakukan
menurunkan humiditas rumah di bawah 50%, mencuci sprei dengan air panas, dan
memindahkan karpet dan binatang peliharaan dari tempat tidur. Untuk alergen inhalan seperti
bulu binatang dapat digunakan pembersih udara.

Farmakoterapi
1. Antihistamin
Antihistamin seringkali menjadi terapi lini pertama untuk rinitis alergi.
Antihistamin bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Antihistamin
dibagi menjadi 2 generasi. Antihistamin generasi pertama efektif dalam terapi rinitis alergi,
tetapi bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan memiliki efek
samping sedasi yang menurunkan performa kerja dan akademis. Antihistamin generasi
kedua bersifat lipofobik sehingga tidak menembus sawar darah otak dan tidak memiliki
efek samping sedasi. Contoh antihistamin generasi pertama adalah difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, dan yang dapat diberikan secara topikal adalah
azelatin. Sedangkan antihistamin generasi kedua contohnya adalah astemisol, terfenadin,
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
Antihistamin paling efektif untuk gejala bersin-bersin, pruritus nasal dan okular,
serta rinorea, tetapi memiliki efek kecil atau tidak ada efek pada kongesti nasal. Maka dari
itu, pemberian antihistamin sering dikombinasikan dengan dekongestan oral.
2. Dekongestan
Dekongestan bekerja dengan stimulasi reseptor alfa adrenergik. Reseptor ini
terdapat pada pembuluh darah. Peningkatan stimulasi simpatis menyebabkan
vasokonstriksi sehingga mengurangi kongesti nasal.
Dekongestan topikal efektif dalam mengurangi kongesti nasal. Namun demikian,
pemakaian dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan rinitis medikamentosa, yaitu
penurunan durasi efek dekongestan dan rebound kongesti nasal. Contoh dekongestan
antara lain pseudoefedrin (oral) dan oxymetazoline (intranasal).
3. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal merupakan farmakoterapi simptomatik yang paling
efektif dalam meredakan gejala rinitis alergi seperti bersin, gatal, rinorea, dan kongesti
nasal. Kortikosteroid intranasal dapat digunakan untuk rinitis sedang-berat, bahkan untuk
anak-anak.
Kortikosteroid topikal bekerja dengan mengurangi jumlah sel mast pada mukosa
hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktivitas
limfosit, dan mencegah peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen. Kortikosteroid topikal juga
efektif dalam mengurangi gejala konjungtival. Contoh kortikosteroid topikal yang sering
dipakai adalah beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan
triamsinolon. Efek samping lokal dari kortikosteroid intranasal antara lain mukosa hidung
menjadi kering dan mudah mengalami epistaksis.
4. Kortikosteroid sistemik
Selain itu terdapat kortikosteroid sistemik yang dapat digunakan pada gejala rinitis
alergi yang berat dan tidak kunjung membaik. Kortikosteroid sistemik dapat diberikan
secara oral atau injeksi intramuskular. Efek sampingnya antara lain supresi aksis HPA.
5. Antikolinergik topikal
Antikolinergik topikal berguna untuk mengatasi rinorea karena mengakibatkan
inhibisi pada reseptor kolinergik di permukaan sel efektor. Contoh obat yang sering
digunakan adalah ipratropium bromida.
6. Imunoterapi
Imunoterapi bertujuan untuk merubah sistem imun pasien rinitis alergi. Pengobatan
ini digunakan apabila pengobatan lain tidak memberikan respon. Sebelum imunoterapi
dimulai, diagnosis atopi dan alergen penyebab spesifiknya harus ditetapkan.
Imunoterapi subkutan dilakukan dengan injeksi berulang ekstrak alergen dengan
peningkatan dosis gradual sampai gejala sistemik sedang atau gejala lokal berat muncul.
Terapi ini digunakan untuk pasien dengan rinitis alergi berat yang gejalanya tidak dapat
dikontrol dengan farmakoterapi atau mendapat efek samping obat. Meskipun imunoterapi
alergen subkutan efektif, tetapi risiko menginduksi reaksi alergi sistemik mungkin terjadi
pada 0,1% pasien yang diterapi, sehingga dikontraindikasikan bagi pasien anak-anak,
penderita asma, dan pasien yang berisiko tinggi mengalami anafilaktik. Karena adanya
risiko efek samping sistemik yang buruk, pasien harus diobservasi selama 60 menit setelah
injeksi, dan injeksi hanya boleh diberikan di tempat yang memiliki peralatan resusitasi dan
tenaga medis yang kompeten.
Imunoterapi sublingual lebih aman dari imunoterapi subkutan karena efek samping
biasanya hanya terjadi pada saluran napas atas dan traktus gastrointestinal, jarang
menimbulkan episode anafilaktik, dan tidak pernah ada kasus kematian yang dilaporkan.
Metode SLIT dilakukan dengan pemberian antigen spesifik di bawah lidah untuk
menginduksi toleransi imunologis. Efek imunologis dan klinis dari imunoterapi sublingual
menetap sampai 3 tahun setelah penggunaan berulang, sama dengan imunoterapi subkutan.
Dalam AIRA ditentukan pula beberapa dasar pengambilan keputusan untuk pasien, klinisi,
dan tenaga medis lainnya dalam melakukan pengobatan rinitis alergi, yaitu:
1. Apakah kombinasi antihistamin H1 oral (OAH) dan kortikosteroid intranasal (INCS)
atau INCS saja dapat digunakan untuk tatalaksana rinitis alergi (AR)?
 Rekomendasi 1A: Pada pasien dengan SAR (seasonal allergic rhinitis),
direkomendasikan pemberian antara kombinasi INCS + OAH atau INCS saja
 Rekomendasi 1B: Pada pasien dengan PAR (perennial allergic rhinitis),
direkomendasikan pemberian INCS saja dibandingkan dari INCS + OAH
2. Apakah kombinasi antihistamin H1 intranasal (INAH) dan kortikosteroid intranasal
(INCS) atau INCS saja dapat digunakan untuk tatalaksana rinitis alergi (AR)?
 Rekomendasi 2A: Pada pasien dengan SAR (seasonal allergic rhinitis),
direkomendasikan pemberian antara kombinasi INCS + INAH atau INCS saja
 Rekomendasi 2B: Pada pasien dengan PAR (perennial allergic rhinitis),
direkomendasikan pemberian antara kombinasi INCS + INAH atau INCS saja
3. Apakah kombinasi antihistamin H1 intranasal (INAH) dan kortikosteroid intranasal
(INCS) atau INAH saja dapat digunakan untuk tatalaksana rinitis alergi (AR)?
 Rekomendasi 3A: Pada pasien dengan SAR (seasonal allergic rhinitis),
direkomendasikan pemberian dengan kombinasi INCS + INAH dibandingkan
dengan INAH saja
4. Apakah antagonis reseptor leukotriene (LTRA) atau antihistamin H1 oral (OAH) dapat
digunakan untuk tatalaksana rinitis alergi (AR)?
 Rekomendasi 4A: Pada pasien dengan SAR (seasonal allergic rhinitis),
direkomendasikan pemberian antara kombinasi LTRA atau OAH
 Rekomendasi 4B: Pada pasien dengan PAR (perennial allergic rhinitis),
direkomendasikan pemberian OAH dibandingkan dengan LTRA
5. Apakah antihistamin H1 intranasal (INAH) atau kortikosteroid intranasal (INCS) dapat
digunakan untuk tatalaksana rinitis alergi (AR)?
 Rekomendasi 5A: Pada pasien dengan SAR (seasonal allergic rhinitis),
direkomendasikan pemberian INCS dibandingkan INAH
 Rekomendasi 5B: Pada pasien dengan PAR (perennial allergic rhinitis),
direkomendasikan pemberian INCS dibandingkan INAH
6. Apakah antihistamin H1 intranasal (INAH) atau antihistamin H1 oral (OAH) dapat
digunakan untuk tatalaksana rinitis alergi (AR)?
 Rekomendasi 6A: Pada pasien dengan SAR (seasonal allergic rhinitis),
direkomendasikan antara pemberian INAH atau OAH
 Rekomendasi 6B: Pada pasien dengan PAR (perennial allergic rhinitis),
direkomendasikan antara pemberian INAH atau OAH

Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat rinitis alergi adalah otitis media, disfungsi
tuba eustachius, serta sinusitis akut dan sinusitis kronik.
Rinitis Non Alergi
Penemuan pada anamnesa yang dapat membedakan rinitis alergi dengan rinitis non alergi,
antara lain:
 Pasien dengan rinitis non alergi lebih sering mengeluhkan hidung tersumbat dan pilek
daripada bersin dan gatal yang merupakan gejala utama dari rinitis alergi.
 Pasien dengan rinitis non alergi gejalanya cenderung timbul pada usia lanjut.
 Pemicu umum rinitis non alergi adalah perubahan cuaca dan suhu, makanan, parfum, bau,
dan asap. Paparan dengan hewan tidak menyebabkan gejala.
 Pasien dengan rinitis non alergi memiliki beberapa keluhan berupa gejala konjungtivitis
alergi seperti gatal, berair, kemerahan, dan bengkak pada mata.
 Banyak pasien dengan rinitis non alergi menyatakan bahwa pengobatan menggunakan
antihistamin tidak memiliki manfaat. Mereka juga tidak memiliki penyakit atopik lain
seperti eksim atau alergi makanan dan tidak memiliki riwayat keluarga atopi.

Penemuan pada pemeriksaan fisik yang dapat membedakan rinitis alergi dengan rinitis non
alergi, antara lain:
 Pasien yang sudah lama menderita rinitis alergi mungkin tampak allergic crease.
 Pada rinitis alergi, konkha terlihat pucat, lembab, dan mukosanya berwarna kebiruan.
 Temuan seperti deviasi septum nasi, perubahan warna sekret hidung, atrofi mukosa hidung,
atau polip hidung merupakan beberapa subtipe dari rinitis non alergi.

Rinitis non alergi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa subtype, yaitu rinitis
vasomotor, rinitis medikamentosa, rinitis infeksius, nonallergic rhinitis with eosinophilia
(NARES), rinitis akibat imun, rinitis okupasional, rinitis hormonal, rhinitis akibat struktur
anatomi, dan rinitis atrofi.
1. Rinitis Vasomotor
Adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
perubahan hormonal (kehamilan, hipotiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, β-blocker, aspirin, klorpromazin, dan dekongestan intranasal). Rinitis
vasomotor ditegakan melalui eksklusi berbagai macam etiologi yang mendasari. Pada
pemeriksaan skin test didapatkan hasil negatif terhadap alergen yang diuji, serum IgE
normal, dan tidak dijumpai adanya inflamasi pada pemeriksaan sitologi. Terdapat 3
subtipe dari rinitis vasomotor, yaitu rinitis gustatori, irritant-sensitive vasomotor
rhinitis, dan weather or temperature sensitive vasomotor rhinitis.
Rinitis gustatori memiliki gejala rinorea berwarna jernih yang dapat terjadi
secara tiba-tiba pada saat makan atau saat minum alkohol. Rinitis ini dapat dicegah
dengan menggunakan ipratropium bromida intranasal (Atrovent) sebelum makan.
Irritant-sensitive vasomotor rhinitis dipicu oleh bau yang kuat, asap rokok,
polusi udara, atau parfum. Sebagian besar pasien dapat dengan mudah mengidentifikasi
iritan mana yang dapat menimbulkan gejala.
Weather or temperature sensitive vasomotor rhinitis terjadi pada beberapa
pasien yang sensitif terhadap perubahan suhu, kelembaban, atau tekanan udara, serta
paparan udara dingin atau kering sehingga menyebabkan gejala rinitis. Rinitis ini
seringkali keliru didiagnosis sebagai rinitis alergi musiman karena perubahan cuaca
terjadi seiring dengan perubahan musim, terutama pada musim semi dan musim gugur.
Subtipe ini juga tidak merespon dengan baik terapi dengan steroid intranasal.
Pencetus alergi lainnya dari rinitis vasomotor ialah latihan, emosi, dan gairah
seksual (Honeymoon rhinitis).
Beberapa pemicu, seperti asap tembakau dan parfum dapat dengan mudah
dihindari, namun perubahan cuaca seringkali tidak dapat dihindari. Jika langkah-
langkah untuk menghindari penyebab rinitis gagal atau tidak memadai, terapi
pengobatan dapat digunakan sebagai profilaksis dan pengobatan simtomatik.
2. Rinitis Medikamentosa
Terdapat beberapa obat yang diketahui dapat menyebabkan rinitis akut maupun
kronis. Drug-induced rhinitis dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan
mekanismenya.
Tipe inflamasi lokal terjadi pada penyakit pernapasan yang diperburuk oleh
aspirin. Hal ini ditandai dengan poliposis hidung, rinosinusitis kronik, hiposmia, dan
asma persisten sedang hingga berat. Aspirin dan NSAID lainnya menyebabkan
peradangan lokal akut yang dapat menimbulkan gejala rinitis dan asma. Menghindari
penggunaan NSAID dianjurkan untuk mengurangi gejala dan desensitisasi aspirin
dapat meningkatkan kontrol gejala rinosinusitis dan asma.
Tipe neurogenik dapat terjadi pada pasien yang mengkonsumsi obat
simpatolitik seperti agonis reseptor alfa (Clonidine [Catapres]) dan antagonis reseptor
alfa (Prazosin [Minipress]). Vasodilator seperti phosphodiesterase-5 inhibitor
(Sildenafil [Viagra]) dapat pula menyebabkan gejala rinitis akut (Anniversary rhinitis).
Kokain adalah vasokonstriktor kuat. Pasien yang menggunakan kokain dapat
mengalami gejala rinitis berupa iritasi kronis, seperti sering mimisan, pengerasan kulit,
dan keropeng. Selain itu, rinitis medikamentosa biasanya disebabkan oleh terlalu sering
menggunakan dekongestan intranasal. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan mukosa
hidung yang hiperemis dan hipertrofi, namun tidak berlendir.
Masih banyak obat lain yang dapat menyebabkan rinitis, namun mekanismenya
tidak diketahui dengan jelas. Obat lainnya adalah beta-blocker, angiotensin-converting
enzyme inhibitor, calcium channel blockers, estrogen eksogen, kontrasepsi oral,
antipsikotik, dan gabapentin (Neurontin).
Terapi utama rinitis medikamentosa adalah dengan menghindari penggunaan
obat yang mencetuskan rinitis. Untuk mencegah terjadinya sumbatan hidung berulang,
dapat digunakan steroid intranasal disertai penggunaan steroid oral selama lima sampai
tujuh hari.
3. Rinitis Infeksius
Salah satu penyebab paling umum dari rinitis akut adalah infeksi saluran
pernapasan atas. Infeksi saluran pernapasan atas akut akibat virus sering menunjukan
gejala seperti rinitis, yaitu sekret hidung kental, bersin, dan hidung tersumbat yang
biasanya sembuh dalam 7 sampai 10 hari, tetapi dapat bertahan hingga 3 minggu.
Sinusitis bakteri akut dapat timbul pada kurang lebih 2% pasien dengan gejala hidung
tersumbat terus-menerus, sekret hidung yang berubah warna, nyeri wajah, batuk, dan
kadang-kadang demam.
Rinosinusitis kronis adalah sindrom dengan peradangan sinus mukosa yang
disebabkan oleh berbagai penyebab. Hal ini secara klinis didefinisikan sebagai gejala
hidung dan sinus yang persisten yang berlangsung lebih dari 12 minggu dan
dikonfirmasi dengan CT scan. Pada CT scan, pasien dengan rinosinusitis kronis dapat
memberikan gambaran penebalan lapisan rongga sinus atau gambaran opak pada
rongga sinus.
Gejala utama rinosinusitis kronik termasuk nyeri wajah, hidung tersumbat,
obstruksi saluran hidung, sekret hidung purulen, dan perubahan persepsi penciuman.
Gejala minor yang dapat ditemukan berupa batuk, sakit kepala, halitosis, demam, gejala
pada telinga, dan sakit gigi.
Pengobatan yang dapat diberikan berupa antibiotik oral dan steroid oral jangka
pendek, steroid intranasal harian, atau keduanya selama 3 minggu atau lebih. Apabila
gejala tidak berkurang atau tidak responsif terhadap terapi ini, maka pasien dapat
dirujuk ke spesialis THT, ahli alergi, atau imunologis untuk mendapatkan terapi lebih
lanjut.
4. Non-Alergic Rhinitis with Eosinophilia (NARES)
Pasien dengan NARES biasanya berumur paruh baya dan memiliki gejala
utama bersin, hidung gatal, dan rinorea dengan eksaserbasi intermiten. Terkadang dapat
pula timbul gejala hiposmia (gangguan penciuman). Diagnosis dibuat ketika terdapat
eosinofil lebih dari 5% dari keseluruhan sel pada apusan sekret hidung dan disertai
dengan hasil tes alergi negatif. Pada pasien dengan diagnosis ini dapat timbul poliposis
hidung dan sensitivitas aspirin. Karena disebabkan oleh peradangan eosinofilik, maka
rinitis non alergi ini dapat merespon dengan baik terhadap terapi steroid intranasal.

A) non-allergic rhinitis with eosinophils (NARES); B) non-allergic rhinitis with mast cells
(NARMA); C) non-allergic rhinitis with neutrophils (NARNE); D) non-allergic rhinitis with
eosinophils and mast cells (NARESMA)
5. Rinitis akibat imun
Penyakit sistemik dapat mempengaruhi hidung dan menyebabkan berbagai
gejala pada hidung yang dapat menyebabkan kekeliruan diagnosis sebagai rinitis.
Granulomatosis Wegener, sarkoidosis, sindrom Churg-Strauss, dan amiloidosis dapat
mempengaruhi struktur hidung bahkan sebelum gejala sistemik muncul. Infeksi
granulomatosa di hidung dapat menyebabkan terjadinya pengerasan kulit, perdarahan,
dan obstruksi hidung. Kurangnya respon terhadap steroid intranasal atau antibiotik oral
mengarah pada pertimbangan diagnosis ini dan pengobatan harus disesuaikan dengan
penyakit yang mendasarinya.
6. Rinitis Okupasional
Pemaparan bahan kimia, aerosol, tepung, dan lateks dapat menyebabkan rinitis,
biasanya melalui mekanisme inflamasi. Banyak pasien rinitis yang datang dengan asma
okupasional. Gejala membaik apabila pasien tidak bekerja dan memburuk sewaktu
pasien bekerja. Gejala-gejala rinitis okupasional dapat diobati dengan menghindari
agen pemicunya.
7. Rinitis Hormonal
Rinitis hormonal adalah rinitis yang terkait dengan metabolisme endokrin,
biasanya dikarenakan kadar hormon estrogen yang tinggi, seperti pada kehamilan,
menstruasi, menarche, dan penggunaan kontrasepsi oral. Namun demikian, mekanisme
hidung tersumbat dalam kondisi ini masih belum jelas. Hanya kortikosteroid intranasal
budesonide (Rhinocort) yang tergolong kelas obat untuk kehamilan kategori B.
Selain itu, hipotiroid dan akromegali juga sering disebutkan sebagai penyebab
terjadinya rinitis non alergi, namun bukti bahwa gangguan ini menyebabkan rinitis non
alergi masih belum jelas.
8. Rinitis akibat kelainan struktur anatomi
Kelainan anatomi yang dapat menyebabkan hidung tersumbat persisten adalah
deviasi septum hidung, hipertrofi konka, pembesaran kelenjar gondok, tumor, dan
benda asing. Hal ini dapat divisualisasikan dengan pemeriksaan rinoskopi anterior,
endoskopi hidung, atau pemeriksaan radiologi. Jika penyebab struktural menyebabkan
gangguan kualitas hidup atau rinosinusitis kronis, maka harus dipertimbangkan untuk
merujuk pasien ke spesialis untuk terapi pembedahan.
Rinorea spontan yang jernih, dengan atau tanpa trauma, dapat disebabkan oleh
kebocoran cairan serebrospinal ke ruang hidung. Rasa asin dan logam di mulut dapat
menjadi petunjuk bahwa terdapat kebocoran cairan serebrospinal ke ruang hidung.
Diagnosis definitif kebocoran cairan serebrospinal dapat ditentukan dari penemuan
beta-2-transferin pada sekret hidung.
9. Rinitis Atrofi
Rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi primer
(idiopatik) ditandai dengan atrofi mukosa hidung dan mukosa sebagai akibat dari
kolonisasi Klebsiella ozaenae yang dapat diketahui dengan sekret hidung yang berbau
busuk. Gangguan ini sering terjadi pada pasien usia muda yang datang dengan keluhan
hidung tersumbat, hidung kering, pengerasan kulit hidung, dan epistaksis. Sebagian
besar pasien tersebut berasal dari daerah dengan iklim hangat seperti Timur Tengah,
Asia Tenggara, India, Afrika, dan Mediterania.
Sedangkan rinitis atrofi sekunder dapat disebabkan oleh komplikasi operasi
hidung atau sinus, trauma, granulomatosa, maupun paparan radiasi. Gangguan ini
biasanya didiagnosis dengan endoskopi hidung dan diterapi menggunakan irigasi
harian dengan atau tanpa antibiotik topikal.
Panduan Terapi Rinitis Non Alergi
Terapi Medikamentosa Rinitis Non Alergi
DAFTAR PUSTAKA

1. Kirtsreesakul V, Leelapong J, Ruttanaphol S. Correlation between peak nasal flow


reversibility and mucociliary clearance in allergic rhinitis. The Laryngoscope. 2019.
2. Dhingra, P., Dhingra, S. and Dhingra, D. (2014). Diseases of ear, nose and throat &
head and neck surgery. New Delhi, India: Elsevier.
3. Euforea.eu. (2019). ARIA | euforea. [online] Available at: https://www.euforea.eu/aria
[Accessed 18 Jan. 2019].
4. Lalwani, A. (2011). Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology--Head and Neck
Surgery, Third Edition. Blacklick: McGraw-Hill Publishing.
5. Brożek, J., Bousquet, J., Agache, I., et.al. (2017). Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma (ARIA) guidelines—2016 revision. Journal of Allergy and Clinical
Immunology, 140(4), pp.950-958.
6. Wallace DV, Dykewicz MS, Bernstein DI, et al. The diagnosis and management of
rhinitis: an updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol 2008; 122 (suppl2):S1–
S84.
7. Settipane RA, Charnock DR. Epidemiology of rhinitis: Allergic and nonallergic. Clin
Allergy Immunol.2007;19:23–34.
8. Rondón C, Doña I, Torres MJ, Campo P, Blanca M. Evolution of patients with
nonallergic rhinitis supports conversion to allergic rhinitis. J Allergy Clin
Immunol.2009;123:1098–1102.
9. Forester JP, Calabria CW. Local production of IgE in the respiratory mucosa and the
concept of entopy: does allergy exist in nonallergic rhinitis? An Allergy Asthma
Immunol.2010; 105:249–255.
10. Quan M, Casale TB, Blaiss MS. Should clinicians routinely determine rhinitis subtype
on initial diagnosis and evaluation? A debate among experts. Clin
Cornerstone.2009;9:54–60.
11. Jacobs R, Lieberman P, Kent E, Silvey M, Locantore N, Philpot EE.
Weather/temperature-sensitive vasomotor rhinitis may be refractory to intranasal
corticosteroid treatment. Allergy Asthma Proc.2009; 30:120–127.
12. Varghese M, Glaum MC, Lockey RF. Drug-induced rhinitis. Clin Exp Allergy.2010;
40:381–384.
13. Philpott CM, Robinson AM, Murty GE. Nasal pathophysiology and its relationship to
the female ovarian hormones. J Otolaryngol Head Neck Surg.2008; 37:540–546.
14. E llegård EK, Karlsson NG, Ellegård LH. Rhinitis in the menstrual cycle, pregnancy,
and some endocrine disorders. Clin Allergy Immunol.2007; 19:305–321.
15. deShazo RD, Stringer SP. Atrophic rhinosinusitis: Progress toward explanation of an
unsolved medical mystery. Curr Opin Allergy Clin Immunol.2011; 11:1–7.
16. Greiner AN, Meltzer EO. Overview of the treatment of allergic rhinitis and nonallergic
rhinopathy. Proc Am Thorac Soc.2011; 8:121–131.
17. Lieberman P, Meltzer EO, LaForce CF, Darter AL, Tort MJ. Two-week comparison
study of olopatadine hydrochloride nasal spray 0.6% versus azelastine hydrochloride
nasal spray 0.1% in patients with vasomotor rhinitis. Allergy Asthma Proc.2011;
32:151–158.
18. Harvey R, Hannan SA, Badia L, Scadding G. Nasal saline irrigations for the symptoms
of chronic rhinosinusitis. Cochrane Database Syst Rev.2007; CD006394.
19. B hattacharyya N. The role of CT and MRI in the diagnosis of chronic rhinosinusitis.
Curr Allergy Asthma Rep.2010; 10:171–174.

Anda mungkin juga menyukai