PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penyakit alzheimer Adalah suatu penyakit yang ireversibel, progresif, pada otak
yang berkaitan dengan perubahan sel-sel saraf dan kematian sel-sel saraf pada
otak. Alzheimer terjadi secara bertahap dan bukan merupakan bagian normal dari
proses penuaan serta merupakan penyebab umum dementia.1
Dari data perbandingan lansia yang dipanti jompo dan yang tinggal di rumah,
jumlah pendetita dementia lebih tinggi pada penghuni panti jompo. Lebih dari
setengah penghuni panti jompo menderita dementia. Dementia adalah yang paling
umum diantara penduduk usia 85 tahun dan lebih tua. Dari data yang didapat,
penduduk usia 85 tahun telah mengalami dementia yaitu 54% dibandingkan
dengan penduduk usia 65-74 tahun yaitu 37% dan hingga sepertiga dari penghuni
panti jompo mungkin memiliki penyakit alzheimer.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Alzheimer merupakan salah satu tipe dementia terbanyak. Penyakit ini
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
Penyebab penyakit Alzheimer belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian
telah menyatakan bahwa sebanyak 40% pasien mempunyai riwayat keluarga
menderita demensia tipe Alzheimer sehingga faktor genetik dianggap berperan
dalam penyakit ini.3
Berdasarkan hasil riset, penyakit alzheimer menunjukan adanya hubungan
antara kelainan neurotransmitter dan enzim-enzim yang memetabolisme
neurotransmitter tersebut. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari
degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan
gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya
defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian
selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang
diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler, kegagalan metabolisme
energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal
yang non spesifik.4
2.4 Patofisiologi
Observasi makroskopis neuroanatomik klasik pada otak dengan Alzheimer adalah
atrofi difus dengan pendataran sulkus kortikal dan pembesaran ventrikel serebral.
Temuan mikroskopis patognomonis Alzheimer adalah bercak senilis (amyloid
plaques), kekusutan neurofibriler (neurofibrilary tangles), hilangnya neuronal, dan
degenerasi granulovaskuler pada neuron. Neuron yang banyak berkurang pada
Alzheimer terutama neuron kolinergik. Kerusakan saraf paling banyak terjadi
pada daerah limbik dan korteks otak sehingga mengakibatkan gangguan emosi
dan memori.3
Kelainan neurotransmiter juga menjadi salah satu faktor yang berperan
dalam patogenesis dan patofisiologi penyakit Alzheimer. Neurotransmiter yang
paling berperan adalah asetilkolin dan norepinefrin. Apabila terdapat penurunan
aktivitas pada kedua neurotransmiter utama tersebut maka dapat menyebabkan
penyakit ini. Data lain yang mendukung patogenesis penyakit ini adalah
penurunan konsentrasi enzim asetilkolinesterase di dalam otak. Kolin
asetiltransferase adalah enzim kunci untuk sintesis asetilkolin. Penurunan
epinefrin pada penyakit Alzheimer diperkirakan karena adanya penurunan neuron
yang mengandung norepinefrin di dalam lokus sereleus. Dua neurotransmiter
lainnya yang berperan adalah somatostastin dan kortikotropin.3
Teori lain yang mendukung kausatif dari penyakit Alzheimer adalah
adanya kelainan pengaturan metabolisme fosfolipid membran yang menyebabkan
membran kekurangan cairan sehingga menjadi lebih kaku.3
Gejala penyakit Alzheimer bervariasi antara individu. Gejala awal yang paling
umum adalah kemampuan mengingat informasi baru secara bertahap memburuk.
Berikut ini adalah gejala umum dari Alzheimer:
a. Stadium I
Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan memori,
berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu adalah
memori baru atau lupa hal baru yang dialami.
b. Stadium II
• Disorientasi
• Gangguan bahasa (afasia)
• Penderita mudah bingung
Penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat
melakukan kegiatan sampai selesai, tidak mengenal anggota keluarganya
tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi.
Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di
lingkungannya, depresi berat prevalensinya 15-20 %.
c. Stadium III
Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun. Gejala klinisnya
antara lain :
• Penderita menjadi vegetative
• Tidak bergerak dan membisu
• Daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal
keluarganya sendiri
• Tidak bisa mengendalikan buang air besar/ kecil
• Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain
• Kematian terjadi akibat infeksi atau trauma
a. Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan bagaimana laju
progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Hampir 75% pasien penyakit
Alzheimer dimulai dengan gejala memori, tetapi gejala awal juga dapat meliputi
kesulitan mengurus keuangan, berbelanja, mengikuti perintah, menemukan kata,
atau mengemudi. Perubahan kepribadian, disinhibisi, peningkatan berat badan
atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD),
bukan penyakit Alzheimer. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular
dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit Alzheimer,
demensia multi-infark, atau campuran keduanya.5
Hasil yang akan didapatkan pada penyakit ini adalah gambaran (Kaplan et
Sadock, 2010) :
• Lewy body
• Senile plaque
• Degenerasi neuron
• Perubahan vakuoler
5) EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis
yang non spesifik.6
6) PET (Positron Emission Tomography)
Penderita alzheimer akan memberikan hasil penurunan aliran darah, metabolisme
O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional
parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan selalu dan
sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi.6
7) FDG-PET (Fluorodeoxyglucose Positron Emmision Tomography)
Berguna untuk pengukuran kuantitatif metabolisme glukosa pada neuron. Pada
penyakit Alzheimer terdapat penurunan metabolisme glukosa yang menyebabkan
neuronal injury. Pitsburg compound (PiB) PET digunakan untuk distribusi amiloid
di otak.6
2.7. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah
mengobati penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi
yang nyaman dan mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya. Bila pasien
cenderung depresi ketimbang demensia, maka depresi harus diatasi dengan
adekuat. Anti depresi yang mempunyai efek samping minimal terhadap fungsi
kognitif, seperti serotonin selective receptors inhibitor (SSRI), lebih dianjurkan
pada pasien demensia dengan gejala depresi.1 Imobilisasi, asupan makanan yang
kurang, nyeri, konstipasi, infeksi, dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor
yang dapat mencetuskan gangguan perilaku,dan bila diatasi maka tidak perlu
memberikan obat-obatan antipsikosis.
a. Terapi Suportif
- berikan perawatan fisik yang baik, misalnya nutrisi yang bagus, alat bantu
dengar, alat proteksi ( untuk anak tangga, kompor dan obat – obatan).
- hindari suasana yang remang – remang, terpencil, juga hindari stimulasi yang
berlebihan.
b. Terapi Simtomatik
• Ansietas akut, kegelisahan. Agresi, agitasi : haloperidol 0, 5 mg peroral 3
kali sehari (atau kurang ), risperidon 1mg peroral sehari. Hentikan setelah
4 -6 minggu
• Ansietas non psikotik , agitasi : diazepam 2 mg peroral 2 kali sehari ,
venlafaxin XR . hentikan setelah 4 -6 minggu
• Agitasi kronik : SSRI (fluoxetine ) 10 mg – 20 mg / hari atau buspiron 15
mg 2 kali sehari, juga pertimbangankan beta bloker dosis rendah
• Depresi pertimbangkan SSRI dan antidepresaan baru lainnya dahulu
dengan trisklik mulai perlahan dan tingkatkan sampai ada efek desipramin
75 – 150 mg peroral sehari.
• Insomnia!Perlu hipnotik atau antidepresan yang bersifat sedatif. 10
c. Terapi Khusus
Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti
tinggi efektivitasnya. Selain mengatasi gejala perubahan tingkah lau dan
membangun “rapport” dengan pasien, anggota keluarga, dan pramuwerdha, saat
ini fokus pengobatan adalah pada defisit sistem kolinergik.
Tidak
Absorpsi
dipengaruhi Tidak Ya Ya
makanan
60- 80
5-7
Metabolisme
1x5mg 2x1,5 mg
2x4 mg 2x 5 mg
1x10mg 2x6 mg
Dosisi (inisiasi / 2x12mg 2x 10mg
maksimal)
Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik
adalah alfa tokoferol (vitamin E). Pemberian vitamin E pada satu penelitian dapat
memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah
banyak digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan penyakit
Alzheimer dan demensia tipe lain karena harganya murah dan dianggap aman.
Dengan mempertimbangkan stres oksidatif sebagai salah satu dasar proses menua
yang terlibat pada patofisiologi penyakit Alzheimer, ditambah hasil yang didapat
pada beberapa studi epidemiologis, vitamin E bahkan digunakan sebagai
pencegahan primer demensia pada individu dengan fungsi kognitif normal.
Namun suatu studi terakhir gagal membuktikan perbedaan efek terapi antara
vitamin E sebagai obat tunggal dan plasebo terhadap pencegahan penurunan
fungsi kognitif pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi kognitif ringan. Efek
terapi vitamin E pada pasien demensia maupun gangguan kognitif ringan
tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasikan dengan kolinesterase inhibitor.1
Memantin adalah obat yang saat ini juga telah disetujui oleh FDA sebagai
terapi pada demensia sedang dan berat, suatu antagonis N-metil-D-aspartat. Efek
terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity
dan fungsi neuron di hipokampus. Bila memantin ditambahkan pada pasien
Alzheimer yang telah mendapat kolinesterase inhibitor dosis tetap, didapatkan
perbaikan fungsi kognitif, berkurangnya penurunan status fungsional,dan
berkurangnya gejala perubahan perilaku baru bila dibandingkan penambahan
plasebo.2
Dengan adanya bukti bahwa proses inflamasi pada jaringan otak terlibat
pada patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer, maka beberapa penelitian
mencoba mendapatkan manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal
pencegahan maupun terapi demensia Alzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda
dengan plasebo) ditunjukkan baik pada prednison, refocoxib, maupun naproxen,
sehingga sampai saat ini tidak ada data yang mendukung penggunaan obat
antiinflamasi dalam pengelolaan pasien demensia. Selain itu,walaupun beberapa
studi epidemiologik menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin dapat
mengurangi insidensi demensia, namun penelitian klinis menunjukkan ternyata
tidak ada manfaatnya pada perempuan menopause. Beberapa obat lain yang dari
beberapa studi pendahuluan nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan
sebagai pencegahan dan pengobatan demensia diantaranya ginko biloba, huperzin
A (kolinesterase inhibitor), imunisasi/vaksinasi terhadap penyakit ayloid, dan
beberapa pendekatan yang bersifat neuroprotektif. 3
2.8. Prognosis
Nilai prognostik Alzheimer tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling
mempengaruhi prognostik penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit alzheimer
mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan
biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.6
BAB III
KESIMPULAN
Alzheimer adalah suatu penyakit yang ireversibel, progresif, pada otak
yang berkaitan dengan perubahan sel-sel saraf dan kematian sel-sel saraf pada
otak. Alzheimer terjadi secara bertahap dan bukan merupakan bagian normal dari
proses penuaan serta merupakan penyebab umum dementia.