Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyakit alzheimer Adalah suatu penyakit yang ireversibel, progresif, pada otak
yang berkaitan dengan perubahan sel-sel saraf dan kematian sel-sel saraf pada
otak. Alzheimer terjadi secara bertahap dan bukan merupakan bagian normal dari
proses penuaan serta merupakan penyebab umum dementia.1

Alzheimer merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi pada usia lanjut.


Asosiasi Alzheimer melaporkan terdapat 13% dari populasi usia lanjut yang
terkena penyakit Alzheimer di negara berkembang. WHO memperkirakan pada
dekade selanjutnya angka terjadinya Alzheimer dapat mencapai 114 juta di tahun
2050.1

Dari data perbandingan lansia yang dipanti jompo dan yang tinggal di rumah,
jumlah pendetita dementia lebih tinggi pada penghuni panti jompo. Lebih dari
setengah penghuni panti jompo menderita dementia. Dementia adalah yang paling
umum diantara penduduk usia 85 tahun dan lebih tua. Dari data yang didapat,
penduduk usia 85 tahun telah mengalami dementia yaitu 54% dibandingkan
dengan penduduk usia 65-74 tahun yaitu 37% dan hingga sepertiga dari penghuni
panti jompo mungkin memiliki penyakit alzheimer.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Alzheimer merupakan salah satu tipe dementia terbanyak. Penyakit ini

mempengaruhi daya ingat, kemampuan berpikir dan intelektual, dan personalitas.


Gejala umumnya timbul perlahan dan bertambah parah dengan bertambahnya
waktu hingga dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Dementia menyebabkan
gangguan satu atau lebih gangguan kognitif termasuk afasia, afraksia, agnosia,
dan fungsi eksekutif.

2.2 Epidemiologi

Konsensus Delphi memperkirakan jumlah orang dengan demensia di Asia


Tenggara akan meningkat dari 2,48 juta di tahun 2010 menjadi 5,3 juta pada tahun
2030. Data dari BAPPENAS tahun 2013 angka harapan hidup di Indonesia (laki-
laki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015 menjadi 72,2
tahun pada periode 2030-2035. WHO mencatat 47,5 juta orang di dunia
mengalami demensia dan diperkirakan meningkat menjadi 75,6 juta orang di
tahun 2030. Kasus baru demensia terjadi setiap empat detik dan setiap tahun
kejadian demensia terjadi sebanyak 7,7 juta kasus baru. Indonesia memiliki angka
prevalensi penderita demensia mencapai 606. 100 penderita pada tahun 2005, dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 1.016.800 pada tahun 2020 dan 3.042. 000
pada tahun 2050.1

Alzheimer merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi pada usia lanjut.


Asosiasi Alzheimer melaporkan terdapat 13% dari populasi usia lanjut yang
terkena penyakit Alzheimer di negara berkembang (Sultan et al., 2018) WHO
memperkirakan pada dekade selanjutnya angka terjadinya Alzheimer dapat
mencapai 114 juta di tahun 2050.2

2.3 Etiologi
Penyebab penyakit Alzheimer belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian
telah menyatakan bahwa sebanyak 40% pasien mempunyai riwayat keluarga
menderita demensia tipe Alzheimer sehingga faktor genetik dianggap berperan
dalam penyakit ini.3
Berdasarkan hasil riset, penyakit alzheimer menunjukan adanya hubungan
antara kelainan neurotransmitter dan enzim-enzim yang memetabolisme
neurotransmitter tersebut. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari
degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan
gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya
defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian
selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang
diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler, kegagalan metabolisme
energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal
yang non spesifik.4

2.4 Patofisiologi
Observasi makroskopis neuroanatomik klasik pada otak dengan Alzheimer adalah
atrofi difus dengan pendataran sulkus kortikal dan pembesaran ventrikel serebral.
Temuan mikroskopis patognomonis Alzheimer adalah bercak senilis (amyloid
plaques), kekusutan neurofibriler (neurofibrilary tangles), hilangnya neuronal, dan
degenerasi granulovaskuler pada neuron. Neuron yang banyak berkurang pada
Alzheimer terutama neuron kolinergik. Kerusakan saraf paling banyak terjadi
pada daerah limbik dan korteks otak sehingga mengakibatkan gangguan emosi
dan memori.3
Kelainan neurotransmiter juga menjadi salah satu faktor yang berperan
dalam patogenesis dan patofisiologi penyakit Alzheimer. Neurotransmiter yang
paling berperan adalah asetilkolin dan norepinefrin. Apabila terdapat penurunan
aktivitas pada kedua neurotransmiter utama tersebut maka dapat menyebabkan
penyakit ini. Data lain yang mendukung patogenesis penyakit ini adalah
penurunan konsentrasi enzim asetilkolinesterase di dalam otak. Kolin
asetiltransferase adalah enzim kunci untuk sintesis asetilkolin. Penurunan
epinefrin pada penyakit Alzheimer diperkirakan karena adanya penurunan neuron
yang mengandung norepinefrin di dalam lokus sereleus. Dua neurotransmiter
lainnya yang berperan adalah somatostastin dan kortikotropin.3
Teori lain yang mendukung kausatif dari penyakit Alzheimer adalah
adanya kelainan pengaturan metabolisme fosfolipid membran yang menyebabkan
membran kekurangan cairan sehingga menjadi lebih kaku.3

2.5. Gambaran Klinis

Gejala penyakit Alzheimer bervariasi antara individu. Gejala awal yang paling
umum adalah kemampuan mengingat informasi baru secara bertahap memburuk.
Berikut ini adalah gejala umum dari Alzheimer:

a) Hilangnya ingatan yang mengganggu kehidupan sehari-hari.


b) Sulit dalam memecahkan masalah sederhana.
c) Kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang akrab di rumah, di tempat kerja
atau di waktu luang.

d) Kebingungan dengan waktu atau tempat.


e) Masalah pemahaman gambar visual dan hubungan spasial.
f) Masalah baru dengan kata-kata dalam berbicara atau menulis.
g) Lupa tempat menyimpan hal-hal dan kehilangan kemampuan untuk
menelusuri kembali langkah-langkah.

h) Penurunan atau penilaian buruk.


i) Penarikan dari pekerjaan atau kegiatan sosial.
j) Perubahan suasana hati dan kepribadian, termasuk apatis dan depresi.

Gambaran klinis Alzheimer berdasarkan stadiumnya :

a. Stadium I
Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan memori,
berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu adalah
memori baru atau lupa hal baru yang dialami.

b. Stadium II

Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebut stadium demensia. Gejalanya :

• Disorientasi
• Gangguan bahasa (afasia)
• Penderita mudah bingung
Penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat
melakukan kegiatan sampai selesai, tidak mengenal anggota keluarganya
tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi.
Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di
lingkungannya, depresi berat prevalensinya 15-20 %.

c. Stadium III
Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun. Gejala klinisnya
antara lain :
• Penderita menjadi vegetative
• Tidak bergerak dan membisu
• Daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal
keluarganya sendiri
• Tidak bisa mengendalikan buang air besar/ kecil
• Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang lain
• Kematian terjadi akibat infeksi atau trauma

2.6. Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan


pemeriksaan fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang
tepat. Untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh
the National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke
(NINCDS) dan the Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association
(ADRDA). (Tabel 1)

a. Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan bagaimana laju
progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Hampir 75% pasien penyakit
Alzheimer dimulai dengan gejala memori, tetapi gejala awal juga dapat meliputi
kesulitan mengurus keuangan, berbelanja, mengikuti perintah, menemukan kata,
atau mengemudi. Perubahan kepribadian, disinhibisi, peningkatan berat badan
atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD),
bukan penyakit Alzheimer. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular
dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit Alzheimer,
demensia multi-infark, atau campuran keduanya.5

b. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motork


kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial,
hemiparesis, parkinsonisme,mioklonus,atau berbagai gangguan motorik lain
umumnya timbul pada FTD, Demensia dengan Lewy Body (DLB),atau demensia
multi-infark.5

c. Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik

Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan


fungsi kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE), yang dapat
pula digunakan untuk memantau perjalanan penyakit. Penggunaan MMSE
berfungsi untuk membagi penyakit Alzheimer menjadi: ringan, sedang, dan berat.
Pembagian tersebut berdasarkan skor yang didaptkan, apabila skor 21-26
dikategorikan ringan, 10-20 dikategorikan moderate, 10-14 dikategorikan
moderate severe, dan kurang dari 10 tergolong severe.5
Penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik, category
generation (menyebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit), dan
kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori
episodik visual sering merupakan abnormalitas neuropsikologis awal yang terlihat
pada penyakit Alzheimer,dan tugas yang membutuhkan pasien untuk
menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu
akan menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer. 5
Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan
dampak kelainan terhadap memori pasien,hubungan di komunitas,hobi,penilaian,
berpakaian,dan makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-
hari akan membantu mengatur pendekatan terapi dengan keluarga. 5

Tabel 1. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer


Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:
- Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan
pemeriksaan the mini-mental test,Blessed Dementia Scale,atau pemeriksaan
sejenis,dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis
- Defisit pada dua atau lebih area kognitif
- Tidak ada gangguan kesadaran
- Awitan antara umur 40 dan 90,umunya setelah umur 65 tahun
- Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat
menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
- Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia,apraksia,dan
agnosia
- Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
- Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama,terutama bila sudah
dikonfirmasi secara neuropatologi
- Hasil laboratorium yang menunjukkan
- Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG,seperti peningkatan
atktivitas slow-wave
- Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan
terdokumentasi oleh pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit
Alzheimer,setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
- Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
- Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi,insomnia,inkontinensia,delusi,
halusinasi,verbal katastrofik,emosional,gangguan seksual,dan penurunan berat
badan
- Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien,terutama pada penyakit tahap
lanjut,seperti peningkatan tonus otot,mioklunus,dan gangguan melangkah
- Kejang pada penyakit yang lanjut
- Pemeriksaan CT normal untuk usianya
Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak
cocok adalah:
- Onset yang mendadak dan apolectic
- Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,gangguan sensorik,defisit
lapang pandang,dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit;dan kehang atau
gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
- Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia,tanpa adanya gangguan
neurologis psikiatrik,atau sistemik alin yang dapat menyebabkan demensia,dan
adandya variasi pada awitan,gejala klinis,atau perjalanan penyakit
- Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup
untuk menyebabkan demensia,namun penyebab primernya bukan merupakan
penyabab demensia
Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
- Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
- Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat
gambaran khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer,seperti:
- Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
- Awitan sebelum usia 65 tahun
- Adanya trisomi-21
- Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Neuropatologi

Hasil yang akan didapatkan pada penyakit ini adalah gambaran (Kaplan et
Sadock, 2010) :

• Lewy body

• Neurofibrillary tangles (NFT)

• Senile plaque

• Degenerasi neuron

• Perubahan vakuoler

2) CT Scan dan MRI

Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya


penyebab demensia lainnya selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor
serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya
merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini.
Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark,
Alzheimer, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan dengan penyakit
Alzheimer. 3
Gambar 2.3 Brain Scan Alzheimer (Cummings, 2004)

Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan


beratnya gejala klinik dan hasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI
ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler
(Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi
untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi
juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala,
serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.3
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari
penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi)
dari hipokampus.
3) Laboratorium Darah

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.


Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE,
fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skrining antibody yang
dilakukan secara selektif (Kaplan et Sadock, 2010).
4) SPECT (Single Photon Emission Computered Tomography)
Pemeriksaan ini digunkan untuk mendeteksi pola metabolisme otak dalam
berbagai jenis demensia.4

5) EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis
yang non spesifik.6
6) PET (Positron Emission Tomography)
Penderita alzheimer akan memberikan hasil penurunan aliran darah, metabolisme
O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional
parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan selalu dan
sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi.6
7) FDG-PET (Fluorodeoxyglucose Positron Emmision Tomography)
Berguna untuk pengukuran kuantitatif metabolisme glukosa pada neuron. Pada
penyakit Alzheimer terdapat penurunan metabolisme glukosa yang menyebabkan
neuronal injury. Pitsburg compound (PiB) PET digunakan untuk distribusi amiloid
di otak.6

2.7. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah
mengobati penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi
yang nyaman dan mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya. Bila pasien
cenderung depresi ketimbang demensia, maka depresi harus diatasi dengan
adekuat. Anti depresi yang mempunyai efek samping minimal terhadap fungsi
kognitif, seperti serotonin selective receptors inhibitor (SSRI), lebih dianjurkan
pada pasien demensia dengan gejala depresi.1 Imobilisasi, asupan makanan yang
kurang, nyeri, konstipasi, infeksi, dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor
yang dapat mencetuskan gangguan perilaku,dan bila diatasi maka tidak perlu
memberikan obat-obatan antipsikosis.

a. Terapi Suportif

- berikan perawatan fisik yang baik, misalnya nutrisi yang bagus, alat bantu
dengar, alat proteksi ( untuk anak tangga, kompor dan obat – obatan).

- bantulah untuk pertahanan pasien alam lingkungan, jika memungkinkan


usahakan pasien dikelilingi teman – teman lamanya.

- bantulah untuk mempertahankan rasa percaya diri pasien

- hindari suasana yang remang – remang, terpencil, juga hindari stimulasi yang
berlebihan.

b. Terapi Simtomatik
• Ansietas akut, kegelisahan. Agresi, agitasi : haloperidol 0, 5 mg peroral 3
kali sehari (atau kurang ), risperidon 1mg peroral sehari. Hentikan setelah
4 -6 minggu
• Ansietas non psikotik , agitasi : diazepam 2 mg peroral 2 kali sehari ,
venlafaxin XR . hentikan setelah 4 -6 minggu
• Agitasi kronik : SSRI (fluoxetine ) 10 mg – 20 mg / hari atau buspiron 15
mg 2 kali sehari, juga pertimbangankan beta bloker dosis rendah
• Depresi pertimbangkan SSRI dan antidepresaan baru lainnya dahulu
dengan trisklik mulai perlahan dan tingkatkan sampai ada efek desipramin
75 – 150 mg peroral sehari.
• Insomnia!Perlu hipnotik atau antidepresan yang bersifat sedatif. 10
c. Terapi Khusus

Pengobatan untuk Mempertahankan Fungsi Kognitif

Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti
tinggi efektivitasnya. Selain mengatasi gejala perubahan tingkah lau dan
membangun “rapport” dengan pasien, anggota keluarga, dan pramuwerdha, saat
ini fokus pengobatan adalah pada defisit sistem kolinergik.

Tabel 4. Obat – obatan yang dipergunakaan untuk menghambat penurunan dan


memperbaiki fungsi kognitif pada demensia dan gangguan kognitif ringan.8

karakteristik nama obat

mekanisme donepezil rivastigmin galantamin mematin


kerja
Inhibitior Inhibitior Inhibitior Antagonis
kolinesterase kolinesterase kolinesterase reseptor-
NMDA
Waktu untuk
mencapai 3- 5 0,5 – 2 0,5 – 1 3 -7
konsentrasi
maksimal (jam )

Tidak
Absorpsi
dipengaruhi Tidak Ya Ya
makanan
60- 80
5-7

Waktu paruh 70 -80 2


serum Sitokrom P-
450 Non – hepatik
( jam ) Sitokrom P- 450 Non – hepatik

Metabolisme
1x5mg 2x1,5 mg
2x4 mg 2x 5 mg
1x10mg 2x6 mg
Dosisi (inisiasi / 2x12mg 2x 10mg
maksimal)

Kolinesterase inhibitor Tacrine (tetrahydroaminoacridine), donepezil,


rivastigmin,dan galantamin adalah kolinesterasi inhibitor yang telah disetujui U.S
Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
Efek farmakologik obat-obatan ini adalah dengan menghambat enzim
kolinesterase, dengan meningkatnya kadar asetilkolin di jaringan otak. Dari
keempat obat tersebut,tacrine saat ini jarang digunakan karena efek sampingnya
ke organ hati (hepatotoksik). Donepezil dimulai pada dosis 5mg perhari,dan dosis
dinaikkan menjadi 10mg perhari setelah satu bulan pemakaian. Dosis rivastagmin
dinaikkan dari 1,5mg dua kali perhari menjadi 3mg dua kali perhari, kemudian
4,5mg dua kali perhari, sampai dosis maksimal 6mg dua kali sehari. Dosis dapat
dinaikkan pada interval antara satu sampai empat minggu, efek samping
umumnya lebih minimal bila peningkatan dosisnya dilakukan lebih lama.
Sementara galantamin diberikan dengan dosis awal 4mg dua kali perhari, untuk
dinaikkan menjadi 8mg dua kali perhari dan kemudian 12mg perhari. Seperti
rivastigmin, interval peningkatan dosis yang lebih lama akan meminimalkan efek
samping yang terjadi. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5
sampai 10mg untuk donepezil, 6 sampai 12mg untuk rivastigmin,dan 16 sampai
24mg untuk galantamin.

Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian obat-obatan kolinesterase


inhibitor ini antara lain adalah mual, muntah, dan diare, dapat pula timbul
penurunan berat badan, insomnia, mimpi abnormal, kram otot, bradikardia,
sinkop, dan fatigue. Efek-efek samping tersebut umumnya muncul saat awal
terapi,dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya diperpanjang dan dosis
rumatan diminimalkan. Efek samping pada gastrointestinal juga dapat
diminimalkan bila obat-obat tersebut diberikan bersamaan dengan makan.
Penggunaan bersama-sama lebih dari satu kolinesterase iinhibitor pada saat yang
bersamaan belum pernah diteliti dan tidak dianjurkan. Kolinesterase inhibitor
umumnya digunakan bersama-sama dengan memantin dan vitamin E.2,3

Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik
adalah alfa tokoferol (vitamin E). Pemberian vitamin E pada satu penelitian dapat
memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah
banyak digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan penyakit
Alzheimer dan demensia tipe lain karena harganya murah dan dianggap aman.
Dengan mempertimbangkan stres oksidatif sebagai salah satu dasar proses menua
yang terlibat pada patofisiologi penyakit Alzheimer, ditambah hasil yang didapat
pada beberapa studi epidemiologis, vitamin E bahkan digunakan sebagai
pencegahan primer demensia pada individu dengan fungsi kognitif normal.
Namun suatu studi terakhir gagal membuktikan perbedaan efek terapi antara
vitamin E sebagai obat tunggal dan plasebo terhadap pencegahan penurunan
fungsi kognitif pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi kognitif ringan. Efek
terapi vitamin E pada pasien demensia maupun gangguan kognitif ringan
tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasikan dengan kolinesterase inhibitor.1

Memantin adalah obat yang saat ini juga telah disetujui oleh FDA sebagai
terapi pada demensia sedang dan berat, suatu antagonis N-metil-D-aspartat. Efek
terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity
dan fungsi neuron di hipokampus. Bila memantin ditambahkan pada pasien
Alzheimer yang telah mendapat kolinesterase inhibitor dosis tetap, didapatkan
perbaikan fungsi kognitif, berkurangnya penurunan status fungsional,dan
berkurangnya gejala perubahan perilaku baru bila dibandingkan penambahan
plasebo.2

Dengan adanya bukti bahwa proses inflamasi pada jaringan otak terlibat
pada patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer, maka beberapa penelitian
mencoba mendapatkan manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal
pencegahan maupun terapi demensia Alzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda
dengan plasebo) ditunjukkan baik pada prednison, refocoxib, maupun naproxen,
sehingga sampai saat ini tidak ada data yang mendukung penggunaan obat
antiinflamasi dalam pengelolaan pasien demensia. Selain itu,walaupun beberapa
studi epidemiologik menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin dapat
mengurangi insidensi demensia, namun penelitian klinis menunjukkan ternyata
tidak ada manfaatnya pada perempuan menopause. Beberapa obat lain yang dari
beberapa studi pendahuluan nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan
sebagai pencegahan dan pengobatan demensia diantaranya ginko biloba, huperzin
A (kolinesterase inhibitor), imunisasi/vaksinasi terhadap penyakit ayloid, dan
beberapa pendekatan yang bersifat neuroprotektif. 3

2.8. Prognosis
Nilai prognostik Alzheimer tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling
mempengaruhi prognostik penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit alzheimer
mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan
biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.6
BAB III
KESIMPULAN
Alzheimer adalah suatu penyakit yang ireversibel, progresif, pada otak
yang berkaitan dengan perubahan sel-sel saraf dan kematian sel-sel saraf pada
otak. Alzheimer terjadi secara bertahap dan bukan merupakan bagian normal dari
proses penuaan serta merupakan penyebab umum dementia.

Alzheimer merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi pada usia lanjut.


Asosiasi Alzheimer melaporkan terdapat 13% dari populasi usia lanjut yang
terkena penyakit Alzheimer di negara berkembang (Sultan et al., 2018) WHO
memperkirakan pada dekade selanjutnya angka terjadinya Alzheimer dapat
mencapai 114 juta di tahun 2050.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sari et al. 2018. Description of Dementia In The Elderly Status In The


Work Area Health Center Ibrahim Adjie Bandung. Indonesian
Contempory Nursing Journal. Vol. 3(1): 1-11
2. Folch, J, Petrov, D, Ettcheto, M, Abad, S, Sanchez-Lopez, E, Garcia, M
L, Olloquequi, J, Beas-Zarate, C, Auladell, C, & Camins, A Current
Research Therapeutic Strategies for Alzheimer's Disease Treatment.
Neural Plast, 2016; 8501693.
3. Kaplan, HI et Sadock, BJ. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis Jlilid Satu. Tangerang : Binarupa Aksara
Publisher.
4. Sultan et al. 2018. An Update on Treatment of Alzheimer Disease- A
Literature Review. European Journal Pharmaceutical and Medical
Research. Vol. 5(7); 9-18
5. Panduan Praktik Klinik Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
2015. Jakarta: Perdossi.
6. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta :
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.

Anda mungkin juga menyukai