Anda di halaman 1dari 35

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Persepsi

Kehidupan individu tidak dapat lepas dari lingkungannya, baik

lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya. Sejak individu dilahirkan,

sejak itu pula individu secara langsung berhubungan dengan dunia sekitarnya.

Mulai saat itu pula individu secara langsung menerima stimulus dari luar

dirinya, dan ini berkaitan dengan persepsi.

1. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses

penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu

melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu

tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan

proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Oleh karena itu proses

persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan, dan proses

penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi (Bimo

Walgito 2004 : 87-88).

Persepsi merupakan proses yang terintegrated dalam diri individu

terhadap stimulus yang diterimanya (Mozkowitz dan Orgel, 1969 dalam

Bimo Walgito 2004 : 88). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa

persepsi itu merupakan pengorganisasian, penginterprestasian terhadap

17
stimulus yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan

merupakan respon yang terintegrated dalam diri individu. Oleh karena itu

dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan

dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek (Branca, 1964 dalam

Bimo Walgito 2004 : 88).

Persepsi adalah proses mengatur dan mengartikan informasi

sensoris untuk memberikan makna. Menemukan pola-pola bermakna dari

informasi sensoris inilah yang disebut dengan persepsi. Menurut David

Mark (1982), tujuan persepsi adalah perwakilan internal dari dunia luar

(Laura A.King, 2010: 225-227).

Persepsi adalah suatu proses konstruktif dimana orang melewati

stimulus yang secara fisik ada dan berusaha untuk membentuk suatu

interpretasi yang berguna (Robert S.Feldman, 2010: 152).

Menurut Stephen P.Robbins (2003: 169) persepsi adalah proses

yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka

dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Meski

demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan

obyektif.

Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan di

sekitarnya dan juga keadaan diri sendiri (Davidoff, 1981 dalam Bimo

Walgito 2004 : 88).

18
Oleh karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam

diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam

persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat

dikemukakan karena perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-

pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu

stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan

individu lain. Persepsi itu bersifat individual (Davidoff, 1981; Rogers,

1965 dalam Bimo Walgito 2004 :89).

Menurut Stephen P. Robbins (2003: 124-130), indikator-indikator

persepsi ada dua macam, yaitu :

a. Penerimaan.

Proses penerimaan merupakan indikator terjadinya persepsi dalam

tahap fisiologis, yaitu berfungsinya indera untuk menangkap

rangsang dari luar.

b. Evaluasi

Rangsang-rangsang dari luar yang telah ditangkap indera,

kemudian dievaluasi oleh individu. Evaluasi ini sangat subjektif.

Individu yang satu menilai suatu rangsang sebagai sesuatu yang

sulit dan membosankan. Tetapi individu yang lain menilai

rangsang yang sama tersebut sebagai sesuatu yang bagus dan

menyenangkan.

19
Jadi persepsi merupakan kesan, tanggapan/pandangan atau

pemahaman sesorang tentang obyek di luar diri individu.

2. Faktor-faktor yang Berperan dalam Persepsi

Menurut Bimo Walgito (2004:89-90), ada tiga faktor yang berperan dalam

persepsi, yaitu :

a. Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.

b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Di

samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk

meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf,

yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan

respon diperlukan syaraf motoris.

c. Perhatian

Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya

perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan

dalam rangka mengadakan persepsi.

Menurut Stephen P.Robbins (2003: 170-171) sejumlah faktor berperan

dalam membentuk dan kadang memutar balik persepsi. Faktor-faktor ini dapat

berada dalam pihak pelaku persepsi, dalam obyek atau target yang

dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu dibuat.

20
Gambar 2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Faktor pada pemersepsi

• Sikap
• Motif
• Kepentingan
• Pengalaman
• Pengharapan

Faktor dalam situasi

• Waktu Persepsi
• Keadaan/
Tempat Kerja
• Keadaan Sosial

Faktor pada target

• Hal baru
• Gerakan
• Bunyi
• Ukuran
• Latar Belakang
• Kedekatan

3. Proses terjadinya Persepsi

Proses terjadinya persepsi dalam Bimo Walgito (2004:90-92) dapat

dijelaskan sebagai berikut. Objek menimbulkan stimulus, dan stimulus

mengenai alat indera atau reseptor. Perlu dikemukakan bahwa antara objek

dan stimulus itu berbeda, tetapi ada kalanya bahwa objek dan stimulus itu

21
menjadi satu, misalnya dalam hal tekanan. Benda sebagai objek langsung

mengenai kulit, sehingga akan terasa tekanan tersebut.

Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman

atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh

syaraf sensoris ke otal. Proses ini yang disebut sebagai proses fisiologis.

Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga

individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa

yang diraba. Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran

inilah yang disebut sebagai proses psikologis. Dengan demikian dapat

dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu

menyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau

apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses

ini merupakan proses terakhir dari persepsi dan merupakan persepsi

sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh

individu dalam berbagai macam bentuk.

B. Warga Desa/Masyarakat

Dalam bahasa Inggris masyarakat disebut society, asal katanya socius

yang berarti kawan. Adapun kata “masyarakat” berasal dari bahasa Arab,

yaitu syirk artinya bergaul. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk

aturan hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai perseorangan,

melainkan oleh unsur-unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang

merupakan kesatuan. Para ahli seperti MacIve, J.L Gillin, dan J.P. Gillin

22
sepakat, bahwa adanya saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai-

nilai, norma-norma, cara-cara, dan prosedur yang merupakan kebutuhan

bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang

berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu, yang bersifat kontinyu

dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Munandar Soelaeman, 2008:

122).

Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari berapa

manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan

pengaruh mempengaruhi satu sama lain (Hassan Shadily, 1983: 47).

Masyarakat adalah suatu kesatuan yang selalu berubah yang hidup

karena proses masyarakat yang menyebabkan perubahan itu. Masyarakat

adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono

Soekanto, 1970: 54).

Istilah Community dapat diterjemahkan sebagai "masyarakat

setempat", istilah mana menunjuk pada warga-warga sebuah desa, sebuah

kota, suku atau suatu bangsa. Apabila anggota-anggota sesuatu kelompok,

baik kelompok itu besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa

sehingga mereka merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi

kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut

masyarakat setempat. Masyarakat setempat menunjuk pada bagian masyarakat

yang bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-

batas tertentu di mana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi

23
yang lebih besar di antara anggota-anggotanya, dibandingkan dengan interaksi

mereka dengan penduduk diluar batasnya. Maka dapat disimpulkan secara

singkat bahwa masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial

yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial yang tertentu (Soerjono

Soekanto, 1970: 116).

Warga-warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang

erat dan lebih mendalam daripada hubungan mereka dengan warga

masyarakat pedesaan lainnya, diluar batas-batas wilayahnya. Sistem

kehidupannya biasanya berkelompok, atas dasar sistem kekeluargaan

(Soerjono Soekanto , 1970: 119).

Jadi warga desa yaitu anggota-anggota suatu kelompok yang hidup

bersama karena suatu kepentingan bersama, berada pada suatu wilayah

dengan batas-batas tertentu.

C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Tindak Kekerasan

Tindak kekerasan merupakan salah satu tindak pidana. Perbuatan

yang oleh hukum Pidana dilarang dan diancam dengan pidana, untuk

singkatnya disebut perbuatan pidana, tindak pidana atau delik.

Wirjono Projodikoro menyatakan bahwa tindak pidana adalah

suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana

(Adamichazawi, 2007:75). Moeljatno menggunakan istilah perbuatan

24
pidana, yang didefinisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh

suatu aturan hukum yang larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”

(Adamichazawi, 2007:71).

Van Apeldoorn menggunakan istilah peristiwa pidana. Peristiwa

pidana dilihat dari sudut obyektif, maka peristiwa pidana adalah suatu

tindakan (berbuat atau lalai berbuat) yang bertentangan dengan hukum

positif-jadi yang bersifat tanpa hak-yang menimbulkan akibat yang oleh

hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Unsur yang perlu sekali untuk

peristiwa pidana (ditilik dari sudut obyektif) adalah sifat tanpa hak

(onrechtmatigheid), yakni sifat melanggar hukum. Dimana tak terdapat

unsur tanpa hak (onrechtmatigheid), tak ada peristiwa pidana (Van

Apeldoorn, 2005: 326).

Pada dasarnya bentuk-bentuk kekerasan ini dapat ditemui dan

terkait pada bentuk perbuatan pidana tertentu, seperti pembunuhan,

penganiayaan, perkosaan dan pencurian. Mula-mula pengertian kekerasan

dapat kita jumpai pada Pasal 89 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana

(KUHP) yang berbunyi:

“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan


menggunakan kekerasan.”

Pasal tersebut tidak menjelaskan bagimana cara kekerasan tersebut

dilakukan. Demikian juga tidak dijelaskan bagaimana bentuk-bentuk

25
kekerasan tersebut, sedangkan pengertian “tidak berdaya” adalah tidak

mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat

mengadakan perlawanan sedikit pun. Akan tetapi, pada pasal-pasal dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seringkali kekerasan dikaitkan

dengan ancaman. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kekerasan

dapat berbentuk fisik dan nonfisik (ancaman kekerasan).

Istilah kekerasan digunakan untukmenggambarkan perilaku, baik

yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baikyang bersifat

menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai

penggunaan kekuatan kepada orang lain (Jack D. Douglas dalam Thomas

Santoso, 2002:11). Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat

diidentifikasi:

a. kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, sepertiperkelahian;

b. kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan

langsung, seperti perilaku mengancam;

c. kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan,

tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan;

d. kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan

perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensif bisa

bersifat terbuka atau tertutup.

(Jack D. Douglas dalam Thomas Santoso, 2002:11).

26
Perilaku mengancam jauh lebih menonjol dari kekerasan terbuka,

dan kekerasan defensif jauh lebih menonjol dari kekerasan agresif.

Perilaku mengancam mengkomunikasikan pada orang lain suatu maksud

untuk menggunakan kekerasan terbuka bila diperlukan. Orang yang

melakukan ancaman sesungguhnya tidak bermaksud melakukan

kekerasan; orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan

kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya.

Dengan mengancam, ada sedikit orang yang bisa mengontrol orang

lain. Ancaman, dianggap sebagai bentuk kekerasan, merupakan unsur

penting kekuatan (power), kemampuan untuk mewujudkan keinginan

seseorang sekalipun menghadapi keinginan yang berlawanan (Weber

dalam Thomas Santoso, 2002:11). Ancaman menjadi efektif jika

seseorang mendemonstrasikan keinginan untuk mewujudkan ancamannya.

Beberapa teoritikus yang saling berbeda pendapat (terutama

Quinneyi, 1970 dan Chambliss, 1989) berpendapat bahwa penggunaan

kekuatan dan ancaman secara resmi dianggap sebagai tindak kekerasan,

sebagaimana halnya dengan kekerasan ilegal seperti perampokan

bersenjata. Para teoritikus ini berpendapat bahwa kekeuatan resmi harus

dianggap sebagai tindak kekerasan bila melakukan tindakan yang juga

dilakukan oleh penjahat atau pelaku penyimpangan (Jack D. Douglas

dalam Thomas Santoso, 2002:12).

27
2. Pengertian Rumah Tangga

Pengertian “rumah tangga” tidak tercantum dalam ketentuan

khusus, tetapi yang dapat kita jumpai adalah pengertian “keluarga” yang

tercantum dalam Pasal 1 ayat (30) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bunyi Pasal 1 ayat

(30) sebagai berikut :

“Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai


derajad tertentu atau hubungan perkawinan”.
Dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

disebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini

meliputi :

1) Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi :


a. Suami, istri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah
tangga yang bersangkutan.

Pengertian rumah tangga atau keluarga hanya dimaksudkan untuk

memberikan gambaran tentang apa yang menjadi objek pembicaraan

tentang kekerasan terhadap perempuan. Dalam buku Munandar Soelaeman

(2006:115) keluarga diartikan sebagai suatu satuan sosial terkecil yang

dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, yang ditandai adanya kerja sama

28
ekonomi. Fungsi keluarga adalah berkembang biak, mensosialisasi atau

mendidik anak, menolong, melindungi atau merawat orang tua (jompo).

Deferensi peranan ialah fungsi solidaritas, alokasi ekonomi, alokasi

kekuasaan, alokasi integrasi (sosialisasi), dan ekspresi atau menyatakan

diri. Kesemuanya atas pertimbangan umur, perbedaan seks, generasi,

perbedaan posisi ekonomi, dan pembagian kekuasaan. Bentuk keluarga

terdiri dari seorang suami, seorang istri, dan anak-anak yang biasanya

tinggal dalam satu rumah yang sama (disebut keluarga inti).

Ragam bentuk rumah tangga mempunyai banyak pengertian bagi

interaksi keluarga. Ia membantu mempengaruhi, misalnya kesempatan

berkurang atau bertambah eratnya hubungan sosial antara anggota-anggota

kelompok, sanak saudara. Tambahan pula pola struktur mempertegas

proses tekanan dan penyesuaian diri diantara sanak. Berbagai macam

hubungan peran harus diuraikan secara terperinci, jika rumah tangga itu

mencakup sanak tertentu. Seumpama jika rumah tangga itu mencakup

seorang lelaki dan ibu mertuanya, mungkin ada peraturan-peraturan yang

menuntut banyak pegekangan atau meniadakan hubungan antara

keduanya. Pola pemasyarakatan juga dipengaruhi oleh siapa yang

termasuk dalam rumah tangga. Seorang ibu mertua dapat terus mengawasi

proses sosialisasi menantu perempuannya yang masih muda, atau seorang

anak laki-laki dapat pindah ke rumah saudara laki-laki ibunya untuk

29
dibesarkan di situ. Keluarga inti terdiri dari suami, istri, dan anak-anak

mereka.

Rumah tangga itu dapat diperbesar oleh populasi per generasi

maupun secara menyisi (laterally) dengan menambahkan keluarga-

keluarga inti lainnya. Sebutan keluarga yang diperluas (extended family)

secara lepas dipergunakan bagi sistem di mana masyarakatnya

menginginkan bahwa beberapa generasi itu hidupdi bawah satu atap.

Keluarga besar yang diperluas tumbuh dan merosot selama

bertahun-tahun karena dipengaruhi kesuburan, perkawinan dan perceraian,

kematian, peraturan tempat tinggal, dan alternatif kesempatan yang

terbukabagi anggota-anggotanya. Keluarga yang diperluas lebih banyak

ditemukan di daerah pedusunan dan bukan daerah industri, karena bentuk

macam itu dapat memberikan layanan sosial yang biasanya tidak terdapat

pada masyarakat yang tidak mempunyai banyak badan dan organisasi

khusus. Dengan kata lain orang-orang yang hidup dalam unit seperti itu

dapat meminta bantuan pada banyak orang lain. Rumah tangga yang

diperluas, sekalipun dengan penggantiannya, lebih dapat bertahan dari

pada rumah tangga yang hanya terdiri dari suami istri.

3. Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Yahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah

tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,

30
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Sebagian besar korban kekerasan dalam rumah tangga adalah kaum

perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban

justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah

tangga itu. Pelaku atau korban kekerasan dalam rumah tangga adalah

orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan,

pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah

tangga, tinggal di rumah ini.

Adapun asas dan tujuan disusunnya Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2004 sebagai berikut :

“Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan


asas :
a. Penghormatan hak asasi manusia;
b. Keadilan dan kesetaraan gender;
c. Nindiskriminasi; dan
d. Perlindungan korban.
Jadi kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang

dilakukan oleh suami terhadap istri, anak, orang tua pasangan dan

pembantu rumah tangga, atau kekerasan yang dilakukan istri terhadap

31
suami atau anak, orang tua pasangan dan pembantu rumah tangga yang

berakibat penderitaan fisik dan psikis.

4. Bentuk Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga

Bentuk- bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 , tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal

8, dan Pasal 9, yaitu:

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa

sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004). Kekerasan fisik di antaranya berupa pemukulan anggota

badan, mengancam dengan senjata tajam semisal pisau, mengusir dari

rumah dan menyakiti (menjambak rambut). Bentuk kekerasan seperti

menyakiti badan dan mengusir dari rumah menjadi indikasi bahwa

kultur patriarkis yang menempatkan laki-laki sebagai “raja” dalam

rumah tangga masih tampak kental. Hal ini menjadi salah satu

penyebab timbulnya kekerasan terhadap perempuan (Sri Suhandjati S,

2004 : 67). Kekerasan fisik bisa muncul dalam berbagai bentuk dan

rupa, mulai dari menampar, menempeleng, memukul, membanting,

menendang, membenturkan ke benda lain sampai bisa jadi menusuk

dengan pisau bahkan membakar. Dalam banyak kasus yang terjadi,

kekerasan fisik yang dialami perempuan banyak yang mengakibatkan

32
cidera berat, cacat permanen, bahkan kehilangan nyawa. Bisa jadi,

kekerasan fisik itu tidak memiliki dampak, atau hilang bekas fisiknya,

tetapi hampir selalu memiliki implikasi psikologis dan sosial pada

korbannya (Faqihuddin AK, 2008:32).

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis yaitu segala perbuatan yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan

bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada

seseorang (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Kekerasan psikologis diantaranya berupa kata-kata kotor dan

menyakitkan, marah-marah tidak jelas alasannya, pergi berhari-hari

dari rumah tanpa pamit, dan tidak mengacuhkan atau cuek (Sri

Suhandjati S, 2004 : 67). Kekerasan non-fisik atau kekerasan mental

adalah kekerasan yang mengarah pada serangan terhadap mental/psikis

seseorang, merupakan yang paling banyak terjadi dalam kasus-kasus

yang dilaporkan lembaga-lembaga pendamping. Bisa berbentuk

ucapan-ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan,

ancaman. Perempuan dijadikan sasaran pelampiasan, bisa jadi karena

faktor-faktor yang ada di luar rumah tangga. Tidak sedikit juga, yang

justru dibalik, perempuan sebagai korban ditempatkan sebagai pelaku

oleh suami, dengan memutarbalikkan fakta. Ia mengungkapkan: “Istri

saya menyakiti saya karena berbicara dengan lakilaki lain; Ia sengaja

33
menghina saya dengan menyediakan makanan yang tidak saya sukai;

Ia sama sekali tidak menghormati saya sebagai suami”. Ini adalah

bentuk pemutarbalikan fakta, yang justru seringkali didukung budaya

dan keluarga, sehingga perempuan semakin terpuruk dan tidak

memperoleh dampingan yang memadai (Faqihuddin AK, 2008:32).

c. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang

dilakukan terhadap orang menetap dalam lingkup rumah tangga

tersebut. Selain itu juga berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap

salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain

untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004). Kekerasan seksual, yakni kekerasan

yang mengarah kepada serangan terhadap seksualitas seseorang, bisa

berupa pemaksaan hubungan seksual (perkosaan), pemukulan dan

bentuk-bentuk kekerasan lain yang menyertai hubungan intim, bisa

sebelum atau sesudah hubungan intim, pemaksaan berbagai posisi dan

kondisi hubungan seksual, pemaksaan aktivitas tertentu, penghinaan

terhadap seksualitas perempuan melalui bahasa verbal, ataupun

pemaksaan pada istri untuk terus menerus hamil atau menggugurkan

kehamilan. Kekerasan seksual yang dialami perempuan, biasanya

disertai dengan kekerasan-kekerasan lain, baik fisik, mental, maupun

ekonomi. Yang pasti tidak saja berdampak pada organ seks/reproduksi

34
secara fisik, namun juga berdampak pada kondisi psikis atau mental

(Faqihuddin AK, 2008:32-33).

d. Kekerasan Ekonomi

Kekerasan berdimensi ekonomi yang dialami perempuan,

termasuk yang terbanyak terjadi pada kasus-kasus kekerasan dalam

rumah tangga. Sekalipun dalam konstruksi masyarakat di Indonesia,

laki-laki ditempatkan sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban

untuk mencari dan memberi nafkah kepada istri, tetapi tidak sedikit

dari mereka yang menelantarkan istri dan anak-anak. Bahkan ada yang

secara sengaja mengontrol pendapatan istri, melarang istri bekerja

tetapi juga tidak memberikan uang atau pendapatan yang cukup untuk

keluarga (Faqihuddin AK, 2008:32). Penelantaran rumah tangga juga

dimasukkan dalam pengertian kekerasan, karena setiap orang dilarang

menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal

menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau

pemeliharaan kepada orang tersebut. Tindakan setiap orang yang

mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi

dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar

rumah sehingga korban berada dibawah kenadali orang tersebut (Pasal

9 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004).

35
Dari berbagai kasus yang pernah terjadi di Indonesia, bentuk-

bentuk kekerasan dalam rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi

berikut ini.

a. Kekerasan Fisik

1) Pembunuhan

a) Suami terhadap istri atau sebaliknya;

b) Ayah terhadap anak atau sebaliknya;

c) Ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan

bayi oleh ibu);

d) Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar atau sebaliknya;

e) Anggota keluarga terhadap pembantu;

f) Bentuk campuran selain tersebut di atas.

2) Penganiayaan

a) Suami terhadap istri atau sebaliknya;

b) Ayah terhadap anak atau sebaliknya;

c) Ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan

bayi oleh ibu);

d) Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar atau sebaliknya;

e) Anggota keluarga terhadap pembantu;

f) Bentuk campuran selain tersebut di atas.

3) Perkosaan:

36
a) Ayah terhadap anak perempuan; ayah kandung atau ayah tiri

dan anak kandung maupun anak tiri;

b) Suami terhadap adik/kakak ipar;

c) Kakak terhadap adik;

d) Suami/anggota keluarga laki-laki terhadap pembantu rumah

tangga;

e) Bentuk campuran selain tersebut di atas.

(Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, 1991 dalam Moerti

Hadiati S, 2010: 80-81)

b. Kekerasan Nonfisik/Psikis/Emosional, seperti:

1) Penghinaan;

2) Komentar-komentar yang dimaksudkan untuk merendahkan dan

melukai harga diri pihak istri;

3) Melarang istri bergaul;

4) Ancaman-ancaman berupa akan mengembalikan istri ke orang tua;

5) Akan menceraikan;

6) Memisahkan istri dari anak-anaknya dan lain-lain.

c. Kekerasan seksual, meliputi:

1) Pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya;

2) Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki

atau disetujui oleh istri;

37
3) Pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak menghendaki, istri

sedang sakit atau menstruasi;

4) Memaksa istri menjadi pelacur dan sebagainya.

b. Kekerasan Ekonomi, berupa:

1) Tidak memberi nafkah pada istri;

2) Memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomis untuk

mengontrol kehidupan istri;

3) Membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai

suami. Misalnya memaksa istri menjadi “wanita panggilan”.

(Moerti Hadiati S, 2010: 81-82)

Selanjutnya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan sebab

terjadinya dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu sebagai berikut.

a. Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi ledakan

emosional bertahap. Kekerasan jenis ini pertama berawal dari

kekerasan nonfisik, mulai dari sikap dan perilaku yang tidak

dikehendaki, maupun lontaran-lontaran ucapan yang menyakitkan dan

ditujukan pada anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain.

Proses yang terjadi berlanjut dari waktu ke waktu, sehingga terjadi

penimbunan kekecewaan, kekesalan dan kemarahan yang pada

akhirnya menjurus pada kekerasan fisik. Hal ini dapat terjadi sebagai

akibat ledakan timbunan emosional yang sudah tidak dapat

dikendalikan lagi. Perwujudan tindakan kekerasan tersebut bisa berupa

38
penganiayaan ringan, penganiayaan berat dan pembunuhan. Tindakan

lain yang mengiringi terkadang terjadi pengrusakan bahkan bunuh diri.

b. Kekerasan dalam rumah tangga sebagai perwujudan ekspresi ledakan

emosional spontan adalah bentuk kekerasan yang dilakukan tanpa ada

perencanaan terlebih dahulu, terjadi secara seketika (spontan) tanpa

didukung oleh latar belakang peristiwa yang lengkap. Namun fakta di

depan mata dirasa menyinggung harga diri dan martabat si pelaku,

berupa suatu situasi yang tidak diinginkan oleh pelaku. Ledakan emosi

yang timbul begitu cepat, sehingga kekuatan akal pikiran untuk

mengendalikan diri dikalahkan oleh nafsu/emosi yang memuncak.

Kemudian yang bersangkutan memberikan rekasi keras dengan

melakukan perbuatan dalam bentuk tindak pidana lain berupa

penganiayaan atau pembunuhan terhadap anggota keluarga lainnya

(Dedy Fauzy Elhakim, 1991 dalam Moerti Hadiati S, 2010: 82-83).

5. Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menurut LKBHUWK, sebuah lembaga bantuan hukum untuk

perempuan dan keluarga, penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah

tangga dapat digolongkan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku

kekerasan yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak

kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan atau

frustasi (Moerti Hadiati S, 2010: 76).

39
Faktor eksternal adalah faktor-faktor di luar diri si pelaku

kekerasan. Mereka yang tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif

dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang

menimbulkan frustasi misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan,

penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja

atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya.

Dalam buku Moerti Hadiati Soeroso (2010: 77-80) berikut

beberapa faktor pemicu/pendorong yang diperoleh dari penelitian penulis

lakukan pada tahun 1999:

a. Masalah keuangan

Uang seringkali dapat menjadi pemicu timbulnya perselisihan di

antara suami dan istri. Gaji yang tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan rumah tangga setiap bulan, sering menimbulkan

pertengkaran, apalagi kalau pencari nafkah yang utama adalah

suami.

b. Cemburu

Kecemburuan dapat juga merupakan salah satu timbulnya

kesalahpahaman, perselisihan bahkan kekerasan.

c. Masalah Anak

Perselisihan dapat semakin meruncing kalau terdapat perbedaan

pola pendidikan terhadap anak antara suami dan istri.

d. Masalah Orang Tua

40
Dalam penelitian diperoleh gambaran bahwa bagi orang tua yang

selalu ikut campur dalam rumah tangga anaknya seringkali

memicu pertengkaran yang berakhir dengan kekerasan.

e. Masalah Saudara

Campur tangan dari saudara dalam kehidupan rumah tangga,

perselingkuhan antara suami dengan saudara istri, menyebabkan

terjadinya jurang pemisah tau menimbulkan semacam jarak antara

suami dan istri.

f. Masalah Sopan Santun

Suami dan istri berasal dari keluarga dengan latar belakang yang

berbeda. Untuk itu perlu adanya upaya saling menyesuaikan diri,

terutama dengan kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari keluarga

masing-masing, kebiasaan lama yang mungkin tidak berkenan di

hati masing-masing pasangan, harus dihilangkan. Antara suami

dan istri harus saling menghormat dan saling penuh pengertian.

g. Masalah Masa Lalu

Pertengkaran yang dipicu karena adanya cerita masa lalu masing-

masing pihak berpotensi mendorong terjadinya perselisihan dan

kekerasan.

h. Masalah Salah Paham

41
Kesalahpahaman yang tidak segera dicarikan jalan keluar atau

segera diselesaikan akan menimbulkan pertengkaran dan dapat

pula memicu kekerasan.

i. Masalah Tidak Memasak

Memang ada suami yang mengatakan hanya mau makan masakan

istrinya sendiri, sehingga kalau itri tidak bisa masak akan ribut.

Sikap suami seperti ini menunjukkan sikap dominan. Oleh karena

saat ini istri tidak hanya dituntut di ranah domestik saja tetapi juga

sudah memasuki ranah publik. Perbuatan suami tersebut

menunjukkan sikap masih mengharap istri berada di ranah

domestik atau dalam rumah tangga saja. Istri yang merasa tertekan

dengan sikap ini akan melawan, akibatnya timbul pertengkaran

mulut yang berakhir dengan kekerasan.

j. Suami Mau Menang Sendiri

Dalam penelitian Moerti Hadiati dan Tri Susilaningsih (1999)

diperoleh gambaran bahwa masih terdapat suami yang merasa

“lebih” dalam segala hal dibandingkan dengan istri. Oleh karena

itu, suami menginginkan segala kehendaknya menjadi semacam

“undang-undang”, dimana semua orang yang tinggal dalam rumah

harus tunduk kepadanya. Dengan demikian kalau ada perlawanan

dari istri atau penghuni rumah yang lain, maka akan timbul

42
pertengkaran yang diikuti dengan timbulnya kekerasan (Moerti

Hadiati, 2010: 80).

Dalam Komnas Perempuan (2004) disebutkan ada banyak faktor

sosial, yang melestarikan adanya kekerasan dalam rumah tangga dan

menyulitkan korban memperoleh dukungan dan pendampingan dari

masyarakat.

a. Pertama dan yang utama adalah adanya ketimpangan relasi antara laki-

laki dan perempuan, baik di rumah tangga maupun dalam kehidupan

publik. Ketimpangan ini, yang memaksa perempuan dan laki-laki

untuk mengambil peran-peran gender tertentu, yang pada akhirnya

berujung pada perilaku kekerasan. Di keluarga misalnya, kebanyakan

masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan penguasa

keluarga. Istri diposisikan seperti milik penuh suami, yang berada pada

kontrol dan pengawasannya, sehingga apapun yang dilakukan istri,

harus seizin dan sepengetahuan suami. Tidak sebaliknya ketika terjadi

kesalahan sedikit saja dari istri dalam cara pandang suami, istri harus

berhadapan dengan pengawasan dan pengontrolan dari suami. Suami

merasa dituntut untuk mendidik istri dan mengembalikannya pada

jalur yang benar, menurut cara pandang suami. Pengontrolan ini tidak

sedikit, yang pada akhirnya menggunakan tindak kekerasan.

b. Kedua, ketergantungan istri terhadap suami secara penuh. Terutama

untuk masalah ekonomi, yang membuat istri benar-benar berada di

43
bawah kekuasaan suami. Posisi rentan ini sering menjadi pelampiasan

bagi suami, ketika dia menghadapi persoalan-persoalan yang

sebenarnya berada di luar rumah tangga. Banyak penelitian yang

menunjukkan beberapa suami yang mengalami kekerasan atau

pelecehan di tempat kerja, dia lalu melampiaskannya di rumah kepada

istri atau anak-anak. Suami akan menggunakan ketergantungan

ekonomi istri, untuk mengancamnya jika tidak mengikuti apa yang

diinginkan dan memenuhi apa yang dibutuhkan. Seperti ancaman tidak

memberi nafkah sampai ancaman perceraian. Dari sini tampak bahwa

pengendalian roda kendali dan kuasa laki-laki dilakukan atas peran

gendernya yang dianggap lebih berkuasa daripada perempuan. Roda

kendali dan kuasa hampir selalu dimainkan oleh pihak yang kuat

terhadap pihak yang lemah. Dalam rumah tangga ditunjukkan dengan

kuasa ekonomi suami sebagai pihak yang kuat terhadap istri sebagai

pihak yang lemah karena bergantung dan tidak mempunyai akses

ekonomi.

c. Ketiga, sikap kebanyakan masyarakat terhadap kekerasan dalam

rumah tangga yang cenderung abai. Masyarakat pasti akan bertindak

jika melihat ada perempuan yang diserang orang tidak dikenal, tetapi

jika yang menyerang adalah suaminya sendiri, justru mereka

mendiamkannya. Jika kekerasan suami ini terjadi di luar rumah,

masyarakat hanya akan menasihati untuk dibawa ke dalam rumah saja.

44
d. Keempat, keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat

termasuk yang mungkin bersumber dari tafsir agama. Bahwa

perempuan harus mengalah, bersabar atas segala persoalan keluarga,

harus pandai menjaga rahasia keluarga, keyakinan tentang pentingnya

keluarga ideal yang penuh dan lengkap, tentang istri shalihah, juga

kekhawatiran-kekhawatiran terhadap proses perceraian dan akibat dari

perceraian. Tentu saja, keyakinan dan kepercayaan yang tumbuh di

masyarakat ini, pada awalnya adalah untuk kebaikan dan

keberlangsungan keluarga. Tetapi dalam konstruksi relasi yang

timpang, seringkali digunakan untuk melanggengkan kekerasan dalam

rumah tangga. Paling tidak, membuat istri berpikir seribu kali ketika

harus memutuskan untuk mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga

yang menimpa dirinya. Oleh karena seringkali berakibat pada

perceraian, atau minimal pengabaian dari suami dan pihak keluarga

suami.

e. Kelima, mitos tentang kekerasan dalam rumah tangga. Masyarakat

selama ini masih mempercayai berbagai mitos seputar terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga. Mitos merupakan suatu cerita dalam

sebuah kebudayaan yang dianggap mempunyai kebenaran mengenai

suatu perkara yang pernah berlaku pada suatu masa dahulu.

45
6. Perlindungan terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

Yang dimaksud dengan perlindungan dalam Pasal 1ayat (4)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga yaitu :

“Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada


korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokad, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik sementara
maupun berdasarkan penetapan pengadilan”.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah sosial, bukan

masalah keluarga yang perlu disembunyikan. Hal ini tertuang dalam

aturan yang tercantum dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 yang berbunyi :

“Pemerintah bertanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam


rumah tangga.”

Untuk mewujudkan ketentuan Pasal 11 tersebut, pemerintah :

1) merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah


tangga.
2) menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga;
3) menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga;
4) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitive gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standard dan
akreditasi pelayanan yang sensitive gender (Pasal 12 Undang-Undang
Nommor 23 Tahun 2004).
Kemudian untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban,

pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-

masing dapat melakukan upaya:

46
1) penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
2) penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing
rohani;
3) pembuatan dan pengembangan system dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh
korban;
4) memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan
teman korban (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial bukan

merupakan masalah pribadi, oleh karena itu :

Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya


kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
(Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Salah satu terobosan hukum yang dilakukan melalui Undang-

Undang Npmor 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga adalah mengenai peran-peran aparat penegak hukum,

khususnya kepolisian, advokat, dan pengadilan dalam memberikan dan

pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga terutama sekali

dengan diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari pengadilan

demi keamanan korban (Moerti Hadiati Soeroso, 2010:68).

Berikut ini adalah peran mereka dalam melindungi dan melayani

korban, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

47
a. Peran kepolisian (Pasal 16-20)

Saat kepolisian menerima laporan mengenai kasus kekerasan

dalam rumah tangga, mereka harus segera menerangkan mengenai

hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan.

Selain itu, sangat penting pula bagi pihak Kepolisian untuk

memperkenalkan identitas mereka serta menegaskan bahwa kekerasan

dalam rumah tangga adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan

sehingga sudah menjadi kewajiban dari kepolisian untuk melindungi

korban.

Setelah menerima laporan tersebut, langkah-langkah yang

harus diambil dari Kepolisian adalah:

1) Memberikan perlindungan sementara pada korban;

2) Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

3) Melakukan penyidikan.

b. Peran Advokat (Pasal 25)

Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan bagi

korban maka advokat wajib:

1) Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi


mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk
secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya; atau
3) Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.

48
c. Peran Pengadilan

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak luput mengatur

bagaimana peran pengadilan dalam memberikan perlindungan

terhadap korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme

perintah perlindungan.

Seperti telah disebutkan di muka, bahwa Kepolisian harus

meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Maka

setelah menerima permohonan itu, pengadilan harus:

1) Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah


perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain (Pasal 28);
2) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat
mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus
yakni pembatasan gerak pelau, larangan memasuki tempat
tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau
mengintimidasi korban (Pasal 31).

d. Peran Tenaga Kesehatan

Setelah mengetahui adanya kasus kekerasan dalam rumah

tangga,maka petugas kesehatan berkewajiban untuk memeriksa

kesehatan korban, kemudian membuat laporan tertulis mengenai hasil

pemeriksaan serta membuat visum et repertum atau surat keterangan

medis lain yang memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan alat bukti.

e. Peran Pekerja Sosial

Dalam melayani korban kasus kekerasan dalam rumah tangga,

ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pekerja sosial;

49
1) Melakukan konseling untuk menguatkan korban;

2) Menginformasikan mengenai hak-hak korban;

3) Mengantarkan korban kerumah aman (shelter);

4) Berkoordinasi dengan pihak Kepolisian, dinas sosial dan lembaga

lain demi kepentingan korban.

f. Peran Pembimbing Rohani

Demi kepentingan korban, maka pembimbing rohani harus

memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan

penguatan iman serta takwa.

g. Peran Relawan Pendamping

Ada beberapa hal yang menjadi tugas dari relawan

pendamping, yakni:

1) Menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan

seorang atau lebih pendamping;

2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau

tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban agar

dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara objektif dan

lengkap;

3) Mendengarkan segala penuturan korban;

4) Memberikan penguatan kepada korban secara psikologis maupun

fisik (LBH-APIK, 2005 dalam Moerti Hadiati Soeroso, 2010 : 72).

50
Berikut akan disajikan Mekanisme Perintah Perlindungan dan

Mekanisme Pelanggaran terhadap Perintah Perlindungan :

Gambar 2.2 Mekanisme perintah perlindungan

- Tenaga
Korban Kesehatan
KDRT - Pekerja Sosial
- Relawan
Pendamping
Keluarga
- Pembimbing
Rohani

Kepolisian wajib:

- Memberikan
perlindungan
sementara pada
korban
- Meminta surat
penetapan perintah
perlindungan dari
pengadilan
- Melakukan
penyelidikan

Pengadilan wajib mengeluarkan


surat penetapan mengenai perintah
perlindungan bagi korban dan
anggota kelyarga

(Sumber : LBH-APIK dalam Moerti Hadiati Soeroso, 2010 : 72)

51

Anda mungkin juga menyukai