HASIL PENELITIAN
Oleh :
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
i
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
I. PENDAHULUAN
A. `Latar Belakang 1
B. `Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Tanaman Pala 5
B. Pala Hutan (M. fatua) 6
C. Etnobotani Tanaman Pala 7
D. Kandungan Senyawa Kimia Tanaman pala 9
E. Metode Isolasi Senyawa Bahan Alam 11
1. Pemilihan Pelarut 11
2. Penyiapan Sampel 12
3. Ekstraksi 12
4. Kromatografi 13
5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) 13
6. Identifikasi KLT 14
7. Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG) 14
8. Rekristalisasi 16
F. Elusidasi Struktur 16
1. Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) 17
2. Spektrometer 1H-NMR dan 13C-NMR 18
iii
G. Diabetes Melitus 20
H. Pengobatan Diabetes Melitus 21
1. Enzim α-Glukosidase 22
ii
2. Mekanisme inhibisi α-Glukosidase 23
I. Uji Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase 24
J. Uiji Toksisitas Metode Meyer 24
3. METODELOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian 26
B. Alat dan Bahan 26
C. Prosedur Penelitian 27
4. HASIL PENELITIAN
A. Ekstraksi dan Partisi
B. Uji Bioaktivitas Ekstrak
1. Uji toksisitas BSLT
2. Uji penghambatan enzim α-glukosidase
C. Pemisahan dan Pemurnian
D. Identifikasi Struktur Senyawa Isolat
E. Uji Bioaktivitas Senyawa Isolat
1. Uji toksisitas BSLT
2. Uji penghambatan enzim α-glukosidase
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 41
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Taksonomi pala hutan M. fatua Houtt
2. Komponen minyak atsiri fuli dan biji pala hutan M. fatua Houtt
3. Nilai-nilai polaritas dan titik didih pelarut
4. Perkiraan nikai-nilai pergeseran kimia untuk proton-proton non
aromatik
5. Pergeseran kimia pada atom 13C-NMR
6. Hasil uji BSLT ekstrak daun M. fatua Houtt
7. Hasil penghambatan enzim α-glukosidase esktrak daun M. fatua
Houtt
8. Data perbadingan eluen pada KKG dari fraksi etil asetat daun M.
fatua serta eluat gabungan yang diperoleh
9. Data perbandingan IR senyawa isolat X dengan senyawa β-
sitosterol
10. Data pergeseran kimia 1H-NMR dan 13C-NMR senyawa isolat X
11. Perbandingan data 1H-NMR dan 13C-NMR isolat dengan β-
sitosterol
12. Hasil pengujian BSLT senyawa β-sitosterol
13. Hasil uji penghambatan enzim α-glukosidase senyawa β-
sitosterol
v
DAFTAR GAMBAAR
Gambar Halaman
1. Daun Pala Hutan M. fatua Houtt
2. Skema spectrometer NMR
3. Pemisahan menggunakan KKG
4. Kromatogram fraksi gabungan dengan eluen n-heksana:etil
asetat (8:2)
5. Kromatogram isolat X dan eluat F3 dengan eluen n-heksana-etil
asetat (7:3)
6. Spektrum Infrared senyawa isolat
7. Spektrum 13C-NMR senyawa isolat
8. Spektrum 1H-NMR senyawa isolat
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
termasuk satu dari tujuh negara megabiodiversity yang kaya akan keanekaragaman
hayati flora dan fauna. Keanekaragaman tersebut berkaitan erat dengan kondisi iklim
dan kondisi fisik wilayah. Secara garis besar, flora Indonesia terdiri atas empat
kawasan flora, yaitu Flora Sumatra-Kalimantan, Flora Jawa- Bali, Flora Kepulauan
Wallacea, dan Flora Irian Jaya (Papua) (Hartono, 2009). Salah satu provinsi yang
termasuk dalam wilayah Wallacea adalah Sulawesi Tenggara yang terkenal dengan
tinggi dan beragam. Berdasarkan hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh ICBG
fauna, maupun mikroba yang unik dan belum ada rekaman hasil penelitian
sebelumnya. Selain itu juga ada temuan fauna maupun flora endemik. Dari 427
spesies flora, 8 diataranya adalah spesies baru yang berpotensi sebagai bahan obat
Pemakaian bahan baku obat yang bersumber dari alam memiliki resiko efek
samping yang lebih ringan serta tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan obat sintetis yang berasal dari bahan kimia murni. Sehingga beberapa dari
1
2
fitofarmaka dan sebagai sumber obat yang baru seperti tanaman asli kepulauan
Wallacea yakni Pala hutan Myristica fatua Houtt (Jamal dan Agusta, 2004).
Palah hutan lebih banyak dikenal pada jaman dahulu digunakan sebagai bahan
bangunan. Selain itu pala diketahui sebagai rempah utama dunia dan berpotensi
alam. Pala telah digunakan dalam pengobatan Cina tradisonal dan sebagai bahan baku
sekunder yang berbeda-beda, bahkan mungkin satu jenis senyawa metabolit sekunder
hanya ditemukan pada satu spesies dalam suatu kingdom. Senyawa ini juga tidak
selalu dihasilkan, tetapi hanya pada saat dibutuhkan saja atau pada fase-fase tertentu.
(Rani dan Khullar, 2004), dan berpotensi sebagai antidiabetes (Sailesh dan
umun di seluruh dunia dengan angka kejadian 1-8%. Di Indonesia pada tahun 2013,
jumlah penderita diabetes sebanyak 8,5 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2035
3
meningkat hingga 14,1 juta jiwa. Provinsi di Indonesia yang memiliki penderita
diabetes terbesar adalah Sulawesi Tengah sebesar 3,7% sedangkan untuk daerah Jawa
Penyakit DM muncul ketika insulin tidak cukup di produksi atau insulin tidak
dengan memberikan obat antidiabees secara oral, akan tetapi dapat menimbulkan efek
samping yang besar (Lau et al., 2008). Alternatif lain dalam pengobatan DM tipe 2
kinerja enzim α-glukosidase yang terletak pada dinding usus halus. Enzim ini
Salah satu tanaman yang telah dilaporkan memiliki potensi sebagai obat
antidiabetes adalah pala. Sailesh dan Padmanabha (2014) melaporkan bahwa ekstrak
pala dapat menurunkan kadar glukosa darah. Untuk melihat bioaktivitas sebagai
skrining awal suatu senyawa kimia atau ekstrak tanaman, dapat dilakukan dengan uji
toksisitas secara in vitro dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach atau
dikenal dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Dari penelusuran literatur,
eksplorasi tanaman pala spesies M. fatua belum banyak diketahui sehingga perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan senyawa metabolit sekunder dan
mengetahui toksisitasnya tehadap larva udang Artemia salina Leach dan aktivitas
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian
1. Senyawa metabolit sekunder apakah yang dapat diisolasi dari daun pala hutan
M. fatua Houtt?
C. Tujuan Penelitian
2. Mengetahui toksisitas ekstrak dan senyawa hasil isolasi terhadap larva udang A.
salina Leach.
3. Mengetahui aktivitas ekstrak dan senyawa hasil isolasi dalam menghambat enzim
D. Manfaat Penelitian
Pala telah dikenal sejak lama sebagai komoditas rempah yang diperdagangkan
dari jaman Belanda berupa biji atau fuli. Di Indonesia terdapat sembilan spesies
marga Myristica (Heyne, 1987) yang distribusinya meliputi Irian, Maluku, Sumatera,
dan Jawa. Spesies tersebut adalah Myristica argentea Warb. (henggi, Irian), M. fatua
(pala utan, Maluku), M. fragrans (pala, Maluku), M. iners Bl. (penara, Sumatra), M.
littoralis Miq. (Ki Mokla, Sunda), M. schefferi Warb. (pala onin, Maluku), M.
tesmannii Miq. (durenan, Jawa). Di antara marga Myristica, hanya M. fragrans yang
Pala memiliki nilai historis penting dalam sejarah penjajahan Indonesia. Pala
merupakan bahan rempah-rempah yang banyak diburu dan dicari oleh saudagar
karena memiliki nilai jual yang tinggi. Tumbuhan rempah-rempah ini dari pulau
Banda, Maluku. Meskipun areanya hanya sekitar 40 mil persegi, pulau Banda
menjadi tujuan penting bagi banyak Negara yang berharap untuk menguasai pasar
rempah-rempah Eropa. Pulau Banda memiliki curah hujan 2210-3667 mm per tahun,
beriklim tropik, kaya akan tanah vulkanik, menjadikan pulau ini habitat yang
Orang Portugis merupakan bangsa Eropa yang pertama kali menemukan pohon pala
di Pulau Banda Indonesia (Pulau Rempah-rempah) pada tahun 1512. Pada permulaan
6
7
1. Taksonomi
2. Morfologi
daun tunggal berseling dengan permukaan bawah daun agak kasar, pangkal daun
meruncing, dan ujung daun runcing. Bunga terdapat pada ketiak daun, terdiri dari 2-4
bunga, berumah satu, dua atau lebih. Bunga jantan, perhiasan bunga berbentuk tabung
dengan bagian luar berbulu halus kecoklatan, terdiri dari tiga ruang (kadang 2-4),
keseluruhan bunga jantan berupa kolum dengan benang sari berjumlah 8-30. Bunga
betina lebih besar dari bunga jantan, ovarium gundul atau berbulu halus, dan putik
berupa ruang. Buah bulat sampai agak lonjong dengan panjang antara 1-10 cm dan
8
berdaging tipis sampai agak tebal. Biji dengan kulit yang keras dan diselubungi olehS
salut biji (arilus) bersifat aromatik dengan kandungan senyawa utama Myristicin
(Arrijani, 2005).
Pohon pala mulai berbuah dari tahun ketujuh atau lebih dini dan terus berbuah
bertahun-tahun. Pala menghasilkan buah sepanjang tahun, tetapi masa panen utama
baik sebagai pohon dekat rumah dan juga di perkebunan tua. Buahnya dipungut dari
tanah atau dipetik dari pohon dengan suatu ‘gai-gai’, atau tongkat panjang yang
ditempelkan pengait dan keranjang. Umumnya hanya buah yang telah masak yang
mengenai tumbuhan) adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan antara
9
manusia dan tumbuhan. Ilmu etnobotani yang berkisar pada pemanfaatan tumbuh-
daya hidup manusia (Kandowangko et al., 2011). Kajian etnobotani dapat dipandang
dari dua sisi. Pertama, etnis atau bangsa yang memanfaatkan tumbuhan tertentu untuk
berbagai tujuan. Kedua, suatu tumbuhan dimanfaatkan oleh satu atau lebih etnis
tertentu.
Etnobatani dari tanaman pala telah banyak dikaji, diantaranya sebagai rempah
dan pengawet bahan makanan. Biji dan fuli yang berasal dari buah yang cukup tua
dimanfaatkan sebagai rempah, sedangkan yang berasal dari buah yang muda
dimanfaatkan sebagai bahan baku minyak pala karena kandungan minyak atsirinya
yang jauh lebih tinggi daripada biji yang berasal dari buah yang tua (Rismunandar,
1990).
Minyak atsiri yang berasal dari biji dan fuli pala juga digunakan untuk industri
obat-obatan, parfum dan kosmetik. Aroma minyak pala melalui sistem sirkulasi
udara berfungsi untuk meningkatkan kualitas udara dan lingkungan. Untuk tujuan
yang sama akhir-akhir ini banyak dijumpai penggunaannya dalam bentuk lain yaitu
dalam bentuk potpourri, lilin beraroma, atomizer dan produk-produk pewangi lainnya
(Rismunandar, 1990).
Tanaman pala juga sering digunakan sebagai obat tradional. Dikalangan peracik
jamu tradisional, biji pala digunakan sebagai analgesik pencegah nyeri perut mulas
yang bisa timul karena masuk angin ( Setiawan, 1999). Pala hutan secara empirik
tidak digunakan sebagai bahan psikoaktif atau rempah seperti halnya pala biasa.
10
Tetapi secara tradisional buah pala M. fatua Houtt ini sering digunakan sebagai obat
syahwat (aprodisiak) sehingga dikenal juga dengan nama pala jantan. Selain sebagai
aprodisiak tumbuhan ini hanya digunakan sebagai bahan bangunan dan minyaknya
sebagai minyak lampu (Heyne, 1987: Perry, 1980). Menurut Wulandari (2009) biji
metabolismee hormon.
Pada prinsipnya komponen dalam biji pala dan fuli terdiri dari minyak atsiri,
minyak lemak, protein, selulosa, pentosan, pati, resin dan mineral-mineral. Biji pala
mengandung minyak atsiri sekitar 2-16% dengan rata-rata pada 10% dan fixed oil
(minyak lemak) sekitar 25-40%., karbohidrat sekitar 30% dan protein sekitar 6%.
Setiap 100 g daging buah pala mengandung air sekitar 10 g, protein 7 g, lemak 33 g,
15%), aromatik eter (2-18% seperti Miristisin, safrol) (Zachariah et al., 2008).
Senyawa kariofilena, salah satu komponen utama dari minyak atsiri fuli dan biji pala
senyawa yang memiliki cukup banyak aktivitas biologi, antara lain sebagai aldose
terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan sel kanker kulit A-357. Minyak atsiri biji
dan p-hidroksifenil yang memiliki aktivitas tehadap sel tumor manusia KB.
Tabel 2. Komponen minyak atsiri fuli dan biji pala M. fatua Houtt
No. Komponen Komposisi %
Fuli Biji
1 α- pinena 2,58 -
2 β- pinena 1,20 -
3 β- mirsena 0,38 -
4 3- Karena 7,52 -
5 Ylangena 0,76 0,79
6 (-) α- Kopaena 36,11 29,81
7 (-) δ- Kadinol (Tipe II) 1,32 0,59
8 α- Kopaena 2,46 0,66
9 6-Furfurilidina-2,2-dimetil sikloheksanon 1,36 0,71
10 β-Kadinena 5,65 2,94
11 Guaiol asetat 1,05 -
12 β-Linalol - 1,38
13 (+) Sabinena - 0,63
14 Guaiol 0,53 0,76
15 Karifolena 18,05 34,62
(Jamal dan Agusta, 2004)
12
yang didasarkan pada sifat fisik maupun kimianya. Teknik isolasi biasa dilakukan
1. Pemilhan pelarut
Untuk mengisolasi senyawa bahan alam perlu dilakukan pemilihan pelarut yang
sesuai dengan sifat kepolaran suatu sampel. Pelarut adalah zat yang digunakan
sebagai media untuk melarutkan zat lain (Ncube et al., 2008). Sifat pelarut yang baik
untuk esktraksi yaitu toksisitas rendah , mudah menguap ada suhu yang rendah, dapat
Pemilihan pelarut juga akan tergantung pada senyawa uang ditargetkan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut adalah jumlah senyawa yang akan
2. Penyiapan sampel
Jaringan segar yang diperoleh, disimpan kering dalam kantong plastik. Penyaringan
kimia yang terlalu banyak. Bahan dikeringkan tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih
baik dengan aliran udara yang cukup. Setelah kering, tumbuhan dapat disimpan
3. Ekstraksi
diperlukan pemecahan atau penghancuran dinding sel atau membran sel secara fisik,
kimia yang terdapat dalam suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu
(Harborne, 1996). Menurut Sudjaji (1988) pelarut yang digunakan harus dapat
mengikuti prinsip “like dissolves like” yang berarti bahwa senyawa polar akan mudah
Jenis ekstraksi yang sering digunakan adalah ekstraksi panas dan ekstraksi
dingin. Ekstraksi secara panas dilakukan dengan refluks, sokhletasi dan destilasi uap,
dilakukan dengan cara merendam serbuk sampel dalam pelarut selama beberapa hari
14
pada temperatur kamar dan terlindung cahaya. Metode maserasi digunakan untuk
efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam
pelarut akibat kontak langsung dan waktu yang cukup lama dengan sampel.
4. Kromatografi
senyawa berdasarkan perbedaan waktu huni komponen campuran dalam sistem fase
diam dan fase gerak (Hostettman et al., 1995). Fase gerak membawa zat terlarut
melalui fase diam dengan kecepatan tergantung pada daya ikat setiap zat terlarut
terhadap kedua fase. Zat terlarut yang lebih kuat terikat pada fase gerak dari fase
diam. Fase diam bertindak sebagai zat penjerap seperti alumina, silika gel, dan resin
penukar ion atau bertindak melarutkan zat terlarut seperti pada kromatografi kertas
(Harborne, 1996).
Lapisan yang memisahkan terdiri dari fase diam yang ditempatkan pada penyanga
berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok (Sudjadi, 1983). Larutan
campuran senyawa yang akan dipisahkan diteteskan atau ditotolkan pada plat KLT
kira-kira 1,5 cm dari bagian bawah plat tersebut dengan menggunakan pipet kapiler.
Zat pelarut yang terdapat pada sampel yang diteteskan tersebut kemudian diuapkan
mencelupkannya pada chamber yang berisi campuran sistem pelarut (solvent sistem)
Fase diam yang biasa digunakan dalam KLT adalah serbuk silica gel, alumina,
tanah diatom, selulosa dan lain-lain yang mempunyai ukuran butir sangat kecil yaitu
0,063-0,125 mm (Anwar et al., 1994). Laju pergerakan fase gerak terhadap fase diam
jarak yang ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak
6. Identifikasi KLT
noda yang telah dipisahkan. Jika diperoleh noda yang berwarna, maka dapat diamati
langsung secara visual. Sedangkan noda yang tidak tampak, dapat dilihat dengan
daerah UV gelombang pendek (254 nm) atau senyawa itu dapat dideteksi pada radiasi
UV gelombang panjang (365 nm) artinya mempunyai ikatan rangkap atau senyawa
partisi (Gritter et al., 1991). Kolom kromatografi biasanya berupa pipa gelas yang
16
dilengkapi sebuah kran atau kadang-kadang juga dapat digunakan buret. Untuk
menahan penyerap didalam kolom dapat digunakan wol kaca atau kapas
yaitu untuk metode kering, kolom pertama diisi dengan kering fase diam bubuk,
diikuti dengan penambahan fase mobile. Metode basah, sebuah bubur disiapkan dari
eluen dengan fase diam bubuk dan kemudian dengan hati-hati dituangkan ke dalam
kolom. Lapisan ini biasanya ditutupi dengan lapisan pasir kecil atau dengan kapas
atau wol kaca untuk melindungi bentuk lapisan organik dari kecepatan baru
afinitas kepolaran analite dengan fase diam, sedangkan fase gerak selalu memiliki
kepolaran yang berbeda dengan fase diam. Pada sebagian besar kromatografi kolom
menggunakan fase diam yang bersifat polar dengan fase gerak yang non-polar dengan
begitu waktu retensi akan menjadi lebih singkat. Semakin cepat pergerakan fase
kolom. Laju aliran kolom dapat ditingkatkan dengan memperluas aliran eluen di
dalam kolom dengan mengisi fase diam pada bagian bawah atau dikurangi dengan
mengontrol keran.
Laju aliran yang lebih baik dapat dicapai dengan menggunakan pompa atau
dengan menggunakan gas dengan kompresi (misalnya udara, nitrogen, argon) untuk
17
mendorong pelarut melalui kolom. Kolom yang terbuat dari tabung gelas diisi dengan
bahan seperti alumina, silika gel atau pati yang dicampur dengan adsorben, dan
kolom dari atas sehingga sampel diasorbsi oleh adsorben. Kemudian pelarut (fasa
mobil; pembawa) ditambahkan tetes demi tetes dari atas kolom. Partisi zat terlarut
berlangsung di pelarut yang turun ke bawah (fasa gerak) dan pelarut yang teradsorbsi
oleh adsorben (fasa diam). Selama perjalanan turun, zat terlarut akan mengalami
proses adsorpsi dan partisi berulang-ulang. Laju penurunan berbeda untuk masing-
masing zat terlarut dan bergantung pada koefisien partisi masing-masing zat terlarut
(Sastrohamidjojo, 2005).
8. Rekristalisasi
senyawa tidak murni dilakukan dengan rekristalisasi dengan berbagai pelarut atau
campuran pelarut. Pelarut diharapkan tidak bereaksi dengan zat yang dimurnikan
secara kimia, tetapi hanya melarutkan kristal dan dapat membentuk kembali kristal
F. Elusidasi Struktur
Inframerah (IR) dan Resonansi magnetik inti (NMR). Langkah pertama, harus
2004).
senyawa kima yang menggunakan radiasi sinar infra merah. Spektroskopi infra merah
berguna untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat pada senyawa organik. Bila
suatu senyawa diradiasi menggunakan sinar inframerah, maka sebagian sinar akan
diserap oleh senyawa dan lainnya akan diteruskan. Serapan ini diakibatkan karena
2000). Spektrum inframerah berada di antara daerah sinar tampak dan daerah
microwave. Daerah spektrum yang paling baik digunakan untuk berbagai keperluan
praktis dalam kimia organik adalah antara 4000-400 cm-1. Rentang bilangan
gelombang inframerah dibagi dalam tiga daerah, inframerah jauh (200-10 cm-1),
(Watson, 2009).
terdapat sejumlah fekuensi yang diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung
pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap energi tersebt
terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi rotasi. Pada suhu
kamar, molekul senyawa organik dalam keadaan diam, setiap ikatan mempunyai
frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi ulur dan vibrasi tekuk dimana
sinar inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut (Suseno dan Firdausi, 2008).
19
organik. Teknik ini bergantung pada kemampuan inti atom untuk berperilaku seperti
sebuah magnet kecil dan menyesuaikan diri dengan medan magnet eksternal. Ketika
diradiasi dengan frekuensi gelombang radio, inti dalam molekul dapat berubah sejajar
adsorbsi radiasi elektromagnetik pada daerah frekuensi radio 4-600 MHz oleh
partikel (inti atom) yang berputar di dalam medan magnet. Inti atom unsur-unsur
dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni atom unsur yang mempunyai spin atau
tidak mempunyai spin. Spin inti akan menimbulkan medan magnet. Di dalam medan
magnet, inti aktif NMR (misalnya 1H atau 13C) menyerap pada frekuensi karakteristik
suatu isotop. Frekuensi resonansi, energi absorpsi dan intensitas sinyal berbanding
Dari resonansi magnet proton atau 1H-NMR, akan diperoleh informasi jenis
hidrogen, jumlah hidrogen dan lingkungan hidrogen dalam suatu senyawa begitu juga
13
dari resonansi magnet karbon C-NMR (Khopkar, 2003). Empat parameter yang
dapat membantu menginterpretasi spektra NMR, yaitu; (1) pergeseran kimia, (2)
penjodohan spin, (3) tetapan penjodohan dan pola penjodohan dan (4) integrasi
(Khopkar, 2003). Nilai-nilai pergeseran kimia untuk proton-proton dan karbon NMR
DEPT merupakan spektrum gabungan antara APT (Attached Proton Test) dan INEPT
digunakan untuk membedakan CH3 dengan C-kuartener, CH2 dan CH. Masing-
kimianya, juga karena posisi signal kearah positif dan negatif. Untuk CH3 dan CH,
21
posisi signal ke arah positif, CH2 ke arah negatif, sedangkan C-kuartener dapat
diketahui dari selisih total karbon yang ada dengan jumlah karbon, dan metilen
(Hariani, 2008). Metode DEPT ini sering dibantu dengan spektroskopi 2-D, yaitu
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu gangguan metabolisme yang ditandai oleh
karbohidrat, lemak dan protein. Hal tersebut dapat terjadi karena penurunan sekresi
sebagai berikut :
22
1. DM tipe 1
defisiensi insulin absolute (Welss et al., 2009). Namun ada pula yang disebabkan
2. DM tipe 2
sasaran insuln secara normal atau biasa disebut resistensi insulin. Selain itu, juga
dapat terjadi karna gangguan defisiensi insulin relative ( wells et al., 2009). Namun
jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan
terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak, dan rendah serat, serta
Menurut Depkes RI (2005) pengobatan atau terapi penderita DM ada dua yaitu
tetapi tanpa obat dan menggunakan obat. Terapi tanpa obat terdiri dari dua terapi
yaitu pengaturan diet makanan dan olahraga. Pengaturan diet makanan dengan
25%). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan status gizi, umur, stress akut,
dan kegiatan fisik. Sedangkan terapi olahraga harus dilakukan secara teratur dan rutin
23
sehingga dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Terapi
dengan menggunakan obat ada dua macam yaitu obat hipoglikmeik oral dan injeksi
insulin. Terapi injeksi insulin biasanya digunakan untuk penderita DM tipe 1 dan
disuntikkan pada daerah di bawah kulit. Sedangkan untuk obat hipoglikemik oral
biasanya digunakan pada penderita DM tipe 2, obat hipoglikemik oral ini dibagi
(TZD).
Salah satu metode uji aktivitas antidiabetes yaitu metode penghambatan enzim
α-glukosidase.
1. Enzim α-glukosidase
menghidrolisis ikatan 1,4-glikosidik dan melepasakn dari hasil akhir substrat. Reaksi
hidrolisis terjadi dengan memisahkan ikatan antara karbon anomerik dari residu
glukosil dan oksigen glukosida (C1-O). kemudian terjadi reaksi pertukaran antara
residu glukosil dan proton di kedua hidrolisis dan transglukosilasi dimana residu
24
produk anomer α-glukosa. Secara umum, setiap hidrolisis ikatan glikosidik oleh
glukosidase merupakan reaksi yang menghasilkan produk tetap (α-α, β-β) atau
yang berada di pankreas dan α-glukosidase yang berada di usus. Proses pemecahan
ini bertujuan untuk memecah gula yang kompleks contohnya polisakarida dan
polimer gula dimulai didalam mulut melalui kerja enzim yaitu α-amilase yang
terdapat dalam saliva. Enzim ini melepaskan ikatan yaitu α-1,4 sehinga terbentuk
Kerja amilase menjadi inaktif pada pH yang lebh asam, seperti halnya
lambung. Oligosakarida dan disakarida tidak dapat diserap oleh mukosa usus halus,
dan hanya monosakarida yang dapat diserap oleh karena itu diperlukan enzim yaitu α-
diangkut melewati dinding usus, selanjutnya diserap dan masuk ke dalam aliran darah
dan jaringan lain. Kondisi ini akan merangsang kelenjar pankreas untuk
ke dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan
glikogen di dalam sel otot dan hati (Christopher dan Van Holde, 1980).
glukosidase. Reaksi enzimatik diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37°C. kemudian
glukosidase jika nilai IC50 ≤ 25 μg/mL, aktif jika 25< IC50 ≤ 50, kurang aktif jika 50<
IC50 ≤ 100, dan tidak aktif jika nilai IC50>100 μg/mL (Kim et al., 2005).
spesifik pada sel-sel tertentu. Salah satu metode awal untuk uji sitotoksik adalah
26
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), metode ini juga mudah dikerjakan, murah,
Uji ini menggunakan naupli (larva) udang A. salina. Naupli ini diperoleh
dengan meneteskan telur udang A. salina. Dalam medium air laut buatan dan
digunakan setelah 48 jam. Cara uji Brine shrimp ini cukup sederhana untuk ekstrak
kasar, fraksi atau senyawa-senyawa murni dibuat konsentrasi 10,100, 500 dan 1000
ppm (μg/mL) pada alat uji yang mengandung 100 μL air laut (vial yang mengandung
5 mL air laut) dan 10 ekor udang dengan 3 kali pengulangan. Setelah 24 jam diamati
jumlah kematian, kemudian dihitung dengan cara regresi linier atau dimasukkan
Toksisitas suatu senyawa cukup berarti bila LC 50 ≤ 1000 μg/mL. Bioassay brine
shrimp sangat menguntungkan karena cepat hanya 24 jam, murah, sederhana karena
jumlah banyak dan tidak perlu peralatan khusus. Sejumlah penelitian juga banyak
al., 2006).
27
Laboratorium Kimia Bahan Alam dan Farmasi, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia
1. Alat
204), plat KLT (E. Merck), corong pisah, pipet tetes berbagai ukuran, pisau,
erlenmeyer berbagai ukuran (Pyrex), chamber (Duran), cutter, mistar, kaca, pipa
kapiler, aluminium foil, gelas ukur berbagai ukuran (Pyrex), gelas kimia berbagai
ukuran (Pyrex), pipet ukur berbagai ukuran (Pyrex), pipet mikro (Eppendorf), tabung
reaksi, statif dan klem, seperangkat alat kromatografi kolom, botol kecil 5 mL
(ampul), lampu UV Shimadzu λ 254 nm dan λ 366 nm, hot plate, lampu 14 W,
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman Pala hutan
(Myristica fatua), pelarut organik (etil asetat teknis, n-heksana, kloroform p.a,
26
28
metanol teknis, DMSO (dimethyl sulfoxide) (E. Merck), H2SO4 10% (v/v) dalam
air suling, DMSO, dan kuersetin. Untuk uji BSLT, bahan yang digunakan yaitu
C. Prosedur Penelitian
1. Isolasi
Tanaman pala hutan M. fatua Houtt yang digunakan diperoleh dari hutan
dikumpulkan, dibersihkan, dan dikeringkan pada suhu kamar, lalu dihaluskan dengan
menggunakan grender hingga menjadi serbuk dengan berat total 1,8 kilogram. Serbuk
1.2 Ekstraksi
dimaserasi dengan pelarut metanol selama 2x24 jam kemudian disaring dan ampas
sisa penyaringan dimaserasi kembali dengan menggunakan pelarut metanol yang baru
sebanyak 3 kali. Filtrat dari sampel yang diperoleh masing-masing digabungkan dan
Selanjutnya dipartisi kembali dengan etil asetat-air (1:1) dan diperoleh fraksi etil
asetat. Partisi terakhir dengan butanol-air (1:1) dan diperoleh fraksi butanol dan
residu.
Ekstrak hasil partisi masing-masing diuji pada kromatografi lapis tipis untuk
penentuan eluen dengan perbandingan terbaik. Eluen ini akan digunakan dalam
juga akan digunakan untuk mengecek isolat hasil KKG. Pencarian eluen terbaik
dimulai dengan pelarut yang non polar selanjutnya kepolaran pelarut ditingkatkan
secara gradien.
Pengerjaan dimulai dengan menimbang silika gel G60 p.a. sebanyak 20 kali
berat sampel. Silika gel dicampur dalam pelarut n-heksana. Penyiapan kolom diawali
dengan sumbat menggunakan kapas kemudian silika gel dimasukkan bersama dengan
terus mengalir hingga kolom memadat dengan tidak adanya rongga udara.
30
digerus dengan silica gel 60 G sampai kering dan menjadi serbuk (impregnasi).
bagian atas kolom gravitasi. Proses elusi dapat dilakukan dengan menggunakan
pelarut yang cocok dan sesuai dengan tingkatan kepolarannya. Pelarut yang
digunakan dimulai dengan n-heksana, selanjutnya campuran n-heksana dan etil asetat
secara gradien. Proses pemisahan dimulai dengan mengelusi sampel dengan pelarut
n-heksana. Eluat yang keluar dari kolom ditampung per 150 mL kemudian
dipekatkan dengan evaporator lalu di tampung dalam botol vial dan diberi kode
sebagai fraksi pertama, eluat kedua sebagai fraksi kedua dan seterusnya. Proses ini
heksana dan etil asetat secara gradien sampai dengan eluen paling polar.
Seluruh fraksi hasil KKG kemudian di elusi bersamaan pada plat KLT dan
diberi kode fraksi pertama sampai fraksi paling polar kemudian dimasukan ke dalam
chamber yang telah berisi eluen yang sesuai. Selanjutnya, dihitung nilai Rf untuk
setiap fraksi. Hasil KLT tiap fraksi dianalisa dengan menggunakan lampu UV dan
diatas hot plate. Warna dan Rf dari noda diamati. Fraksi dengan nilai Rf yang sama
31
digabung dan dielusi kembali hingga diperoleh senyawa yang hampir murni.
dilakukan uji kemurnian. Uji kemurniannya dilakukan dengan analisis KLT dengan
berbagai perbandingan sistem eluen. Sampel diambil sedikit dan dilarutkan dalam
sedikit pelarut yang dapat melarutkan sampel. Selanjutnya, sampel yang telah larut
Kemudian hasil KLT diamati dibawah sinar UV 366 nm dan UV 254 nm dan
disemprot dengan pereaksi penampak noda dan dipanaskan diatas hot plate hingga
noda pada plat KLT terlihat. Apabila noda yang dihasilkan pada plat KLT tetap
tunggal, maka sampel tersebut dapat dikatakan telah murni yang selanjutnya disebut
dengan isolat.
Senyawa isolat murni yang telah diperoleh lalu ditentukan struktur senyawanya
dengan menggunakan metode spektrometri, yaitu FTIR, UV-Vis, 1H-NMR dan 13C-
NMR.
homogen. Larutan tersebut ditentukan panjang gelombangnya pada daerah 200 - 400
32
nm. Panjang gelombang dari absorbansi maksimum adalah nilai karakteristik suatu
homogen selanjutnya diletakkan dalam cawan, kemudian KBr diukur pada rentang
deuterium sampai kira-kira setinggi 4 cm. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tube dan
Telur A. salina Leach ditetaskan dalam wadah yang berisi air laut yang sudah
lampu 14 watt sehingga telur menetas sempurna menjadi larva dalam waktu 48 jam,
Ekstrak atau fraksi-fraksi yang akan diuji dibuat seri larutan dengan
konsentrasi 1000, 500, 100, 10 µg/mL dalam air laut. Bila sampel tidak larut,
Larva udang yang hidup sebanyak 10-15 ekor dimasukkan ke dalam vial uji
yang berisi 100 μL air laut, tambahkan larutan contoh yang akan diuji masingmasing
10, 100, 500 dan 1000 μg/mL. Larutan diaduk sampai homogen, untuk setiap
konsentrasi dilakukan tiga kali pengulangan. Sebagai kontrol digunakan air laut,
kemudian didiamkan selama 24 jam, selanjutnya dihitung jumlah larva udang yang
mati dan yang masih hidup. Kemudian dihitung tingkat kematiannya atau mortalitas
dengan membandingkan antara jumlah larva yang mati dibagi dengan jumlah larva
Harga y menyatakan larva udang yang mengalami kematian sejumlah 50% setelah
rumus regresi linear berdasarkan data dari empat titik konsentrasi yang digunakan.
terhadap 50% larva. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LC50 ≤ 1000
laporan Kim et al. (2008) dan Dewi R.T et al. (2012) sebagai berikut :
dilarutkan dalam 500 mL air suling ( Larutan A). Sebanyak 17,925 g NaH2PO4H2O
ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 500 mL air suling (Larutan B). sebanyak 39
c. Enzim α-glukosidase
7,0. Sebanyak 1,0 mL larutan dipipet, kemudian dilarutkan dalam 14 mL buffer fosfat
pH 7,0.
d. Na2CO3 0,2 M
Sebanyak ± 2,0 mg sampel uji ditimbang secara seksama, dilarutkan dalam 200 μL
konsentrasi menjadi setengahnya, yaitu dari larutan awal diambil 100 μL kemudian
Kemudian terhadap seluruh konsentrasi larutan uji dilakukan pengujian baik dengan
berikut:
ditambahkan 450 μL larutan buffer fosfat pH 7,0, larutan kemudian diinkubasi pada
suhu 37°C selama 5 menit dalam penangas air, selanjutnya ditambahkan 250 μL
suhu 37°C selama 15 menit dalam penangas air. Setelah inkubasi, reaksi dihentikan
yang dibebaskan diukur dengan spektrofotometri UV/Vis pada λ 400 nm. Tingkatan
konsentrasi akhir yang diperoleh adalah 200,100, 50, 25, dan 12,5 μg/mL.
diganti dengan 250 μL larutan buffer fosfat pH 7,0. Pengujian ini dilakukan untuk
36
koreksi nilai absorbansi pada saat pengukuran absorbansi pada spektrofotometer UV-
Vis.
baik dengan penambahan atau tanpa penambahan larutan enzim dengan seperti pada
tahap sebelumnya dengan konsentrasi larutan akhisr yang diperoleh adalah 200, 100,
sama seperti pada pengujian terhadap larutan uji tetapi tanpa penambahan larutan uji
(K − S)
Aktivitas 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑚𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 (%) = x 100%
K
A. Ekstraksi
Sampel daun tanaman pala hutan M.fatua yang telah dikumpulkan sebanyak 5
kilogram dikeringkan pada suhu ruang untuk mengurangi kadar air secara maksimal.
agar pelarut dapat berinteraksi dengan baik terhadap daun M. fatua. Serbuk daun M.
fatua sebanyak 1,37 kg dimaserasi dengan 10 Liter pelarut metanol selama dua hari
metanol yang baru untuk memaksimalkan proses ekstraksi pelarut terhadap sampel.
Maserasi dilakukan menggunakan pelarut metanol agar senyawa yang terdapat pada
daun M. fatua dapat diekstrak seluruhnya, karena pelarut metanol merupakan pelarut
yang dapat menarik senyawa polar, semi polar, maupun senyawa non polar. Metanol
adalah cairan penyari yang masuk ke dalam sel melewati dinding serbuk M, fatua.
Selama proses perendaman sampel, akan terjadi proses pemecahan dinding dan
membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel. Sehingga metabolit
sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan senyawa
evaporator) pada suhu 30-40°C. Tujuan dari evaporasi yaitu untuk menguapkan
pelarut metanol, sehingga yang tersisa hanya ekstrak kental metanol, hingga
diperoleh ekstrak metanol berwarna hijau tua sebanyak 89,69 gram. Ekstrak metanol
38
heksana. Hal ini dilakukan agar zat yang bersifat non polar benar-benar terdistribusi
ke pelarut non polar (n-heksana). Fraksi yang tersisa dipartisi kembali dengan pelarut
etil asetat yang bersifat semi polar dengan perbandingan etil asetat:air (1:1).
perbandingan butanol-air (1:1). Hasil fraksinasi n-heksana diperoleh 3,9 g, fraksi etil
Uji toksisitas BSLT mengacu pada metode meyer (1982) dilakukan pada
setiap hasil fraksinasi ekstrak metanol daun M. fatua Houtt dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa larva udang pada sampel kontrol tidak ada
yang mati, hal ini membuktikan bahwa air laut yang digunakan dalam keadaan baik.
Menurut meyer ekstrak dengan nilai LC50 ≤ 1000 μg/mL dinyatakan aktif. Dari hasil
analisa terhadap ketiga fraksi diperoleh fraksi etil asetat dengan nilai LC50 paling
rendah yaitu 88,75 μg/mL kemudian fraksi butanol dengan nilai LC50 100,93 μg/mL,
dan fraksi n-heksana dengan nilai LC50 153,108 μg/mL. Hal ini berarti fraksi etil
asetat membutuhkan dosis lebih kecil untuk dapat menimbulkan toksisitas/lebih aktif
biologis terhadap larva udang A. salina Leach dibandingkan fraksi butanol dan fraksi
n-heksana.
Hasil fraksinasi ektrak metanol daun M. fatua Houtt yaitu fraksi n-heksana,
fraksi etil asetat, dan fraksi butanol selanjutnya diuji aktivitasnya terhadap enzim α-
meningkatkan sekresi insulin ( Manzano, 2010). Larutan blanko dibuat sebagai faktor
koreksi untuk memastikan bahwa apakah ada absorbansi yang terbaca dari senyawa
selain p-nitrofenol, misalnya dikarenaka warna ekstrak yang berwarna yang dapat
memiliki efek penghambatan aktivitas α-glukosidase dengan nilai IC50 5,67 μg/mL.
enzim α-glukosidase yakni fraksi etil asetat dengan nilai IC50 12,21 μg/mL dan fraksi
butanol 11,73 μg/mL. Nilai IC50 kedua fraksi tersebut sangat aktif, dimana suatu
ekstrak dikatakan sangat aktif apabila nilai IC50 ≤ 25 μg/mL (Kim et al, 2005).
Proses pemisahan menggunakan KKG dengan sistem eluen sebagai fase gerak
yaitu n-heksana : etil-asetat : metanol dengan perbandingan secara gradien dan fase
diam menggunakan silica gel G60 (0,063-0,200 mesh). Penetapan sistem eluen yang
kepolarannya ditingkatkan. Hal ini dilakukan agar senyawa terpisah sesuai dengan
tingkat kepolarannya.
sampel kedalam kolom. Diperoleh 118 hasil eluat yang memiliki berbagai macam
warna sesuai dengan urutan pemisahannya yaitu kuning muda, kuning, jingga, ungu
muda, hijau pekat, hitam dan coklat mudah. Dari 118 eluat yang diperoleh di uji
42
menggunakan KLT untuk mengetahui pola senyawa yang terkandung pada eluat-eluat
pola pada kromatogram KLT, dapat dilihat pada gambar 4. Penggabungan eluat
Gambar 4. Kromatogram fraksi gabungan dengan eluen n-heksana : etil asetat (8:2)
43
Tabel 8. Data perbadingan eluen pada KKG dari fraksi etil asetat daun M. fatua serta
eluat gabungan yang diperoleh
dilakukan berdasarkan perbedaan daya larut antara eluat yang dimurnikan dan zat
pengotornya dalam pelarut tertentu, dalam hal ini digunakan pelarut n-heksana.
Pelarut n-heksana ditetesi sedikit demi sedikit kedalam eluat kemudian dimasukkan
44
kedalam pendingin agar zat murni mengendap, karena konsentrasi total pengotor
biasanya lebih kecil dari konsentrasi yang dimurnikan. Dalam kondisi dingin
konsentrasi yang rendah tetap dalam larutan sementara zat yang berkonsentrasi tinggi
akan mengendap. Dari proses rekristalisasi diperoleh Kristal putih sebanyak 1,0203 g
selanjutnya di KLT dengan eluat F3 untuk melihat pola kemurnian isolat senyawa X
Hasil kromatogram senyawa isolat X yang diamati dengan lampu UV 254 nm,
366 nm, dan H2SO4 10% dalam metanol memperlihatkan pola noda tunggal dengan
Senyawa isolat X dari fraksi etil asetat daun M. fatua Houtt berupa kristal
putih dan spot noda pada kromatogram KLT berpendar buram dibawah sinar UV dan
dengan penggunaan penampak noda H2SO4 10% dalam metanol menunjukkan noda
berwarna ungu terang yang mengindikasikan bahwa senyawa X adalah steroid. Untuk
berat molekul sebesar 414 dengan puncak tertinggi atau base peak yaitu pada m/z 43.
Fragmentasi karakteristik muncul pada m/z 396, 381, 329, 303, 283, 273, 255, 241,
231, 213, 199, 145, 119, 81, dan 43 (Patra et al, 2010).
C=C Alkena
O-H
C-H3
C-H2
C-H2
Data IR memberikan serapan pada daerah 3433 cm-1 untuk gugus hidroksil.
Serapan pada 2939 cm-1 dan 2860 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H alifatik.
46
Serta serapan tekuk yang membentuk siklik dari gugus metilen dan metil masing-
masing pada 1458 dan 1373 cm-1. Data serapan yang diamati menyerupai serapan
(lampiran xx) diperoleh data bahwa isolat X mempunyai 29 karbon terdiri dari 6
47
gugus metil (-CH3) pada pergeeseran kimia (δC, ppm) 19,23 ppm (C-19); 12,67 (C-
18); 18,97 (C-21), 12,06 (C-29), 19,60 (C-26); dan 19,22 (C-27). Ada 11 gugus
metilen (-CH2) yang mengarah kebawah pada spektrum DEPT 135, masing-masing
terletak pada daerah pergeseran kimia (δC, ppm) 42,48 (C-4); 39,96 (C-12); 37,45 (C-
1); 34,12 (C-22); 31,87 (C-2); 28,45 (C-16); 26,27 (C-23); 24,50 (C-15); 23,25 (C-
28); 31,87 (C-11); dan 20,01 (C-7). Ada 9 gugus metin (puncak DEPT 135 mengarah
ke atas) ditunjukkan pada pergeseran kimia (δC, ppm) 72,01 (C-3); 121,93 (C-6);
50,31 (C-9); 32,17 (C-8), 5,23 (C-14); 56,23 (C-17); 36,34 (C-20); dan 46,00 (C-24).
Gugus metun (karbon kuarterner) ditunjukkan pada pergeseran kimia (δC, ppm) 36,34
(C-10); 42,48 (C-13); dan 1 buah metun ikatan rangkap (-C=) pada (δC ppm)140,96
Terdapat Peak pada pergeseran kimia (δC ppm) 140.96 ppm dan δC 121.92
ppm menunjukkan adanya C olifenik pada C-5 dan C-6, pergesaran kimia δC 72.02
ppm merupakan gugus karbon yang terikat dengan gugus hidroksil (C-OH) pada C-3
( Ahmed et al., 2013). Adanya gugus hidroksil ini didukung oleh spektrum IR dengan
ditunjukkan pada pergeseran kimia (δH, ppm) 0,6758 (s, 3H); 0,8249 (m, 3H); 0,8483
(m, 3H), 0,8016 (m, 3H); 0,9235 (d, 3H), dan 1,0052 (s, 3H). Sebuah proton multiplet
pada δH 2,28 ppm dengan 3H yang merupakan pergeseran kimia khas untuk inti
steroid. Didukung adanya pergeseran kimia 1 proton multiplet pada δH 5,34 ppm
dengan 6H yang merupakan kerangka dari steroid (Bulama et al, 2015). Kemudian
pada pergeseran kimia δH, 1,9901 ppm menunjukkan adanya 2 proton multiplet yang
dengan intensitas masing-masing 3H yang berikatan dengan 2 metil tersier pada C-18
dan C-18. Selain itu, adanya pergeseran kimia 1 proton multiplet dengan 1H pada δH
49
3,5399 ppm diduga gugus metin yang berikatan dengan dengan gugus hidroksi (-
Posisi downfield juga terjadi pada pergeseran kimia δH 5,3481 ppm menunjukkan
adanya 1 proton multiplet dengan intensitas 1H yang berikatan dengan gugus alkena
Tabel 10. Data pergeseran kimia 1H-NMR dan 13C-NMR senyawa isolat X
1 13
Posisi C H-NMR (δH, ppm) C-NMR(δC, ppm) Jenis karbon
1 37,45 CH2
2 31,82 CH2
3 3,53 (m, 1H) 72,01 HC-OH
4 42,48 CH2
5 140,96 Cq
6 5,34 (m, 1H) 121,93 C=CH
7 27,11 CH2
8 32,17 CH
9 50,31 CH
10 36,34 Cq
11 21,28 CH2
12 39,96 CH2
13 42,48 Cq
14 56,23 CH
15 24,50 CH2
16 28,45 CH2
17 56,23 CH
18 0,67 (s, 3H) 12,19 CH3
19 1,00 (s, 3H) 19,23 CH3
20 36,34 CH
21 0,92 (m, 3H) 18,97 CH3
22 34,12 CH2
23 26,27 CH2
24 46,00 CH
25 19,00 CH
26 0,83 (d, 3H) 29,31 CH3
27 0,79 (m, 3H) 19,22 CH3
28 23,35 CH2
29 0,84 (m, 3H) 12,06 CH3
molekul senyawa isolat X yaitu C29H50O dengan 1 ikatan rangkap yang berasal dari
gugus alkena dan sebuah gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom C-3. Data
Tabel 11. Perbandingan data 1H-NMR dan 13C-NMR isolat dengan β- sitosterol
didukung data pengukuran GC-MS dengan berat molekul 414, senyawa isolat X dari
1. Uji BSLT
Hasil uji BSLT senyawa β-sitosterol, hasil isolasi dari fraksi etil asetat daun
Senyawa β-sitosterol memiliki daya toksisitas dengan nilai LC50 sebesar 72,28
μg/mL. Suatu senyawa menunjukkan aktivitas ketoksikan dalam BSLT jika ekstrak
dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji pada konsentrasi kurang dari 1000
μg/mL. Berdasarkan pernyataan di atas, maka senyawa I.2 bersifat toksik. Menurut
Restasari et al. (2009), suatu senyawa yangmemiliki harga LC50 antara 0-30 μg/mL
Hasil uji senyawa β-sitosterol, hasil isolasi dari fraksi etil asetat daun M.
fatua terhadap penghambatan enzim α-glukosidase dapat dilihat pada tabel 11.
Berdasarkan tabel diatas senyawa β-sitosterol memiliki nilai IC50 xxxx yang
menunjukkan nilai yang jaug jauh dari kuersetin sebagai kontrol positif. Hal tersebut
glukosidase. Menurut Kim et al. (2005) Suatu zat dikatakan sangat aktif sebagai
inhibitor α-glukosidase jika nilai IC50 ≤ 25 μg/mL, aktif jika 25< IC50 ≤ 50, kurang
aktif jika 50< IC50 ≤ 100, dan tidak aktif jika nilai IC50>100 μg/mL. Hal tersebut
dikarenakan senyawa β-sitosterol hanya memiliki 1 gugus hidroksil yang terikat pada
atom C-3, sementara dalam proses penghambatan enzim α-glukosidase jumlah gugus
54
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
fase diam silika gel G.60, eluen campuran (n-heksana:etil asetat:metanol) secara
metabolit sekunder yang berhasil diisolasi dari daun M. fatua Houtt adalah
memperlihatkan bahwa fraksi n-heksana, fraksi etil asetat, dan fraksi butanol dari
ekstrak metanol daun M. fatua Houtt bersifat toksik terhadap larva udang A.
salina Leach dengan nilai LC50 secara berturut-turut adalah 153,108 μg/mL; 83,75
μg/mL; 100,93 μg/mL. Uji toksisitas senyawa isolat terhadap larva udang A.
salina memperlihatkan senyawa bersifat toksik, diperoleh nilai LC50 sebesar 72.28
μg/mL.
3. Uji aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase secara in vitro dai fraksi etil
asetat dan fraksi butanol daun M. fatua Houtt memiliki nilai IC50 sebesar 12,21
56
μg/mL dan 11,73 μg/mL yang menunjukkan nilai penghambatan. Uji aktivitas
B. Saran
lanjut dengan melakukan isolasi dan karakterisasi senyawa aktif sehingga tanaman
pala hutan M.fatua Houtt dimungkinkan untuk menjadi fitofarmaka penyakit diabetes
mellitus tipe 2.
57
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Y., Rahman, S., Akhtar, P., Islam, F., Rahman, M., and Yakoob, Z., 2013.
Isolation of steroids fromm n-hekxane extract of the leaves of saurauia
roxburghii. IFRJ,20(5), 2939-2943.
Anwar C., Purwono, B., Paranomo, H., D., Wahyuningsih, dan Tutik, D., 1994,
Penuntun Praktikum Kimia Organik. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Barceloux DG. 2009. Nutmeg (Myristica fragrans Houtt.). Dis Moon 55: 373-379.
Bulama, JS., Dangoggo, SM., and Mathias, SN., 2015. Isolation and characterization
of Beta-Sitosterol from ethyl acetat extract of root bark of Terminalia. IJSRP,
5(3), 2250-3153.
Cheng, A.Y.Y., and Josse, R.G. (2000). Intestinal Absorption Inhibitor for Type 2
Diabetes Mellitus: Prevention and Ttreatment. Drug Discovery Today:
Therapeutic Strategies., 1(2), 201-206.
Christopher, M.K. and Van Holde, K.E. (1980). Biochemistry 2nd. Toronto: The
Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc., 471-475.
Chung, J.Y., Choo, J.H., Lee, M.H., Hwang J.K., 2006. Anticarsiogenic activity of
Macelignans Isolated from Myrisica fragnans (nutmeg) Againts Streptococcus
mutans.. Phytomedicine., 13, 261-266.
Dewi, R.T., Tachibana, S., Darmawan, A., 2012. Antidiabetic and Antioxidative
Activities of Butyrolactone I from Aspergillus terreus MC751. International
Scholarly and Scientific Research & Innovation, 6(10), 929-934.
58
de Guzman, C.C. and J.S. Siemonsma. 1999. Plant Resources of South East Asia No.
13: Spices. PROSEA. 400 p.
Gritter Rj., bobit JM., Syhwarting AE., 1991. Pengantar Kromatografi. Terjemahan
Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung.
Gandjar, G.H., dan Rohman, A., (2007). Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Hartono. 2009. Gegrafi 2 jelajah bumi dan Alam Semesta. Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Helen, Mary P.A., Tina Ann V., Jeeja Kumari., Abiramy M.R., Sajina N., Jaya Sree.,
2012. Photochemical analysis and anticancer activity of essential oil fro
Myristica fragnans. IJCPR., 2(4), 188-198.
Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid 3. Yayasan Sarana Wana Jaya,
Jakarta
Indrianingsih, AW., Tachiban, S., Dewi, RT., Itoh, K., 2015. Antioxidant and α-
glucosidase inhibitor activities of natural compounds isolated from Qurcus
gilva Blume leaves. APJTB, 5(9), 722-728.
Jamal, Y., dan Agusta, A., 2004. Komposisi Kimia Minyak Atsiri Pala Wegio
(Myristica fatua Houtt). Berita Biologi., 7(3), 155-158.
Kandowangko NY, Solang M, Ahmad J. 2011. Kajian etnobotani tanaman obat oleh
masyarakat Kabupaten Bonebolango Provinsi Gorontalo. Laporan Penelitian.
Universitas Negeri Gorontalo.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Situasi Analisis Diabetes. Infodatin, Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Krishnaraju, A.V., Rao, T.V.N., Sundararaju, D., Vanisree, M., Tsay, H-S.,
Subbaraju, G.V. (2006). Biological Screening of Medicinal Plants Collected
from Eastern Ghats of India Using Artemia salina (Brine Shrimp Test).
International Journal of Applied Science and Engineering., 4(2), 115-125.
Khopkar, S. M., 2003, Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia. Jakarta.
Kim, K.Y., Nam, H., and Kim, S.M.. 2008. Potent α-glucosidase inhibitors purified
from the red alga Grateleupia elliptica. Phytochemistry, 69, 2820-2825.
Kim,Y.M., Jeong, Y.K., Wang, M.H., Lee, W.Y., and Rhee, H.I. (2005). Inhibitory
Effect of Fine Extract on a Glucosidase Activity and Postprandial
Hyperglycemia. Nutrition. 21: 756–761.
Kumar dan Padmanabha., 2014. A Comparative Study of the Anti Diabetic Effect of
Oral Administration of Cinnamon, Nutmeg and Peppermint in Wistar Albino
Rats. IJHRS., 4 (2), 61-67.
Li YQ, Zhou FC, Gao F, Bian JS, Shan F., 2009. Comparative evaluation of
quercetin, isoquercetin, and rutin as inhibitors of alpha-glucosidase. J Agric
Food Chem, 57: 11463-8.
Mataputun, S.P., Rorong, J.A., Pontoh, J., 2013. Aktibitas Inhibitor α-Glukosidase
Ekstrak Kulit Batang Matoa (Pometia pinnata, Spp.) sebagai Agen
Antihiperglikemik. Jurnal MIPA UNSRAT online., 2(2), 11-123.
Manzano S, Williamson G., 2010. Polyphenols and phenolic acids from strawberry
and apple decrease glucose uptake and transport by human intestinal Caco-2
cells. Mol Nutr Food Res, 54, 1773–1780.
Meyer B.N., Ferrigni, N.R., Putnam, J.E., Jacobsen, L.B., Nichols, D.E., Mc
Laughlin, J.L. (1982). Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay for
Active Plant Constituents. Planta Medica., 45, 31-34.
Ncube, N.S., Afolayan, A.J. and Okoh, A.I. 2008. Assessment Techniques of
Antimicrobial Properties of Natural Compounds of Plant Origin: Current
Methods and Future Trends. African Journal of Biotechnology., 7 (12), 1797-
1806.
Patra,A., Jha, S., Murthy, P.N., Manik., and, Sharone, A., 2010. Isolation and
Characterization of stigmast-5-en-3β-ol (β-sitosterol) from the leaves of
Hygrophila spinosa T. Anders. IJPSR, 1(2), 95-100.
Perry LM dan J Metzger. 1980. Medicinal Plants of East and Southeast Asia
Attributed Properties and Uses. The MIT, London.
Perumal, S., Mahmud, R., Piaru, S.P., Cai, L.W. and Ramanathan, S., 2012. Potential
Antiradical Activity and Cytotoxycity Assesment of Ziziphus mauritiana and
Syzygium polyanthum. Int.J.Pharmacol., 8 (6), 535-541.
Pham, V.C., Akino Jossang., Thierry Sevent., Bernard Bodo., 2000. Cytotoxic
Acylphenolsfrom Myristica maingayi. Tetrahedron., 5(2000), 1707-1713.
Rani, P., and Khullar, N., 2004. Anti Microbal Evaluation of Some Medicinal Plants
for Theit anti-enteric Potential Againts Multi-drugs Resistant Salmonella
typhi. Phytother.,18, 670-673.
Rahman,M. S.M., Mukta, ZA., Hossain, M.A., 2009. Isolation and characterization of
β-sitosterol-D-glycoside from petroleum extract of the leaves of Ocimun
sanctum L. As. J. Food Ag-Ind. 2(01), 39-43.
Restasari, A., D. Kusrini, & E. Fachriyah. 2009. Isolasi dan identifikasi Fraksi
Teraktif dari Ekstrak Kloroform Daun Ketapang (Terminalia catappa Linn).
FMIPA Kimia UNDIP. Semarang.
Rismunandar, 1990. Budidaya dan Tataniaga pala. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Roy J.G, James M.B, Arthur E.S., 1991, Pengantar Kromatografi, Edisi Kedua,
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Stahl, E., 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Penerjemah :
Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung.
Sudjadi. 1983. Penetuan Struktur senyawa organik. fakultas Farmasi UGM, Ghalia
Indonesia, Bandung.
Suseno, Jatmaiko ndo., dan Firdausi, K Sifjan. 2008. Rancang bangun Spektroskopi
FTIR (Forier Transform Infrared) untuk Penentuan Kualitas Susu Sapi.
Berkala Fisika., 11(1), 23-28.
Tukiran., Hamdani, BE., Mahyudi, R., Syarief, S.H., Hidayati, N., 2009. Beberapa
Senyawa Hasil Isolasi dari Kulit Batang Tumbuhan Kedoya (Dysoxylum
gaudichadianum (A. Juss) Miq. (Meliaceae). Jurnal Ilmu Dasar, 10(2), 236-
244.
Van Gils C., Cox, PA. 1994. Ethnobotany of nutmeg in the Spice Islands. Journal of
Ethnopharmacology., 42, 117-124.
Watson, D.G. 2009. Analisis Farmasi : Buku ajar untuk mahasiswa farmasi dan
praktisi kini farmasi. Penerjemah : Winny R Syarief, Edisi Kedua. EGC,
Jakarta.
Wells, B.G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T.L., & DiPiro C.V., 2009.
Pharmcotherapy Handbook Edisi ke 7. McGraw-Hill: New York.
Widodo, N., 2007, Isolasi Dan Karakterisasi Senyawa Alkaloid Yang Terkandung
Dalam Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus), Jurusan Kimia Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
Wulandari. Y. 2009. Minuman Temulawak Sebagai Pangan Fungsional. Universitas
Padjadjaran. ITB Bandung
Zachariah, John T., N K Leela., K M Maya., J Rema., P A Mathew., T M Vipin.,
Krishnamoorthy., 2008. Chemical Composition of leaf oils of Myristica
beddomeii, Myristica fragnans, and Myristica malabaria. Journal of Spices
And Aromatik Crops., 7(1), 10-15.