Anda di halaman 1dari 67

i

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA METABOLIT SEKUNDER


DAUN PALA Myristica fatua Houtt DAN UJI BIOAKTIVITASNYA
TERHADAP ENZIM α-Glukosidase

HASIL PENELITIAN

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana

Oleh :

ANDI FIKRAH AULIYA PAMENTA


FICI 12 027

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

i
ii

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
I. PENDAHULUAN
A. `Latar Belakang 1
B. `Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Tanaman Pala 5
B. Pala Hutan (M. fatua) 6
C. Etnobotani Tanaman Pala 7
D. Kandungan Senyawa Kimia Tanaman pala 9
E. Metode Isolasi Senyawa Bahan Alam 11
1. Pemilihan Pelarut 11
2. Penyiapan Sampel 12
3. Ekstraksi 12
4. Kromatografi 13
5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) 13
6. Identifikasi KLT 14
7. Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG) 14
8. Rekristalisasi 16
F. Elusidasi Struktur 16
1. Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) 17
2. Spektrometer 1H-NMR dan 13C-NMR 18
iii

G. Diabetes Melitus 20
H. Pengobatan Diabetes Melitus 21
1. Enzim α-Glukosidase 22
ii
2. Mekanisme inhibisi α-Glukosidase 23
I. Uji Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase 24
J. Uiji Toksisitas Metode Meyer 24
3. METODELOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian 26
B. Alat dan Bahan 26
C. Prosedur Penelitian 27
4. HASIL PENELITIAN
A. Ekstraksi dan Partisi
B. Uji Bioaktivitas Ekstrak
1. Uji toksisitas BSLT
2. Uji penghambatan enzim α-glukosidase
C. Pemisahan dan Pemurnian
D. Identifikasi Struktur Senyawa Isolat
E. Uji Bioaktivitas Senyawa Isolat
1. Uji toksisitas BSLT
2. Uji penghambatan enzim α-glukosidase
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 41
iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Taksonomi pala hutan M. fatua Houtt
2. Komponen minyak atsiri fuli dan biji pala hutan M. fatua Houtt
3. Nilai-nilai polaritas dan titik didih pelarut
4. Perkiraan nikai-nilai pergeseran kimia untuk proton-proton non
aromatik
5. Pergeseran kimia pada atom 13C-NMR
6. Hasil uji BSLT ekstrak daun M. fatua Houtt
7. Hasil penghambatan enzim α-glukosidase esktrak daun M. fatua
Houtt
8. Data perbadingan eluen pada KKG dari fraksi etil asetat daun M.
fatua serta eluat gabungan yang diperoleh
9. Data perbandingan IR senyawa isolat X dengan senyawa β-
sitosterol
10. Data pergeseran kimia 1H-NMR dan 13C-NMR senyawa isolat X
11. Perbandingan data 1H-NMR dan 13C-NMR isolat dengan β-
sitosterol
12. Hasil pengujian BSLT senyawa β-sitosterol
13. Hasil uji penghambatan enzim α-glukosidase senyawa β-
sitosterol
v

DAFTAR GAMBAAR

Gambar Halaman
1. Daun Pala Hutan M. fatua Houtt
2. Skema spectrometer NMR
3. Pemisahan menggunakan KKG
4. Kromatogram fraksi gabungan dengan eluen n-heksana:etil
asetat (8:2)
5. Kromatogram isolat X dan eluat F3 dengan eluen n-heksana-etil
asetat (7:3)
6. Spektrum Infrared senyawa isolat
7. Spektrum 13C-NMR senyawa isolat
8. Spektrum 1H-NMR senyawa isolat
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu pusat penyebaran tumbuhan tropika dan

termasuk satu dari tujuh negara megabiodiversity yang kaya akan keanekaragaman

hayati flora dan fauna. Keanekaragaman tersebut berkaitan erat dengan kondisi iklim

dan kondisi fisik wilayah. Secara garis besar, flora Indonesia terdiri atas empat

kawasan flora, yaitu Flora Sumatra-Kalimantan, Flora Jawa- Bali, Flora Kepulauan

Wallacea, dan Flora Irian Jaya (Papua) (Hartono, 2009). Salah satu provinsi yang

termasuk dalam wilayah Wallacea adalah Sulawesi Tenggara yang terkenal dengan

Pegunungan Mekongga. Kekayaan hayati di kawasan Pegunungan Mekongga sangat

tinggi dan beragam. Berdasarkan hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh ICBG

(International Cooperative Biodiversity Group) Indonesia, ditemukan beberapa flora,

fauna, maupun mikroba yang unik dan belum ada rekaman hasil penelitian

sebelumnya. Selain itu juga ada temuan fauna maupun flora endemik. Dari 427

spesies flora, 8 diataranya adalah spesies baru yang berpotensi sebagai bahan obat

(Gunawan dan sugiarti, 2013).

Pemakaian bahan baku obat yang bersumber dari alam memiliki resiko efek

samping yang lebih ringan serta tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan obat sintetis yang berasal dari bahan kimia murni. Sehingga beberapa dari

tumbuhan tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi sediaan

1
2

fitofarmaka dan sebagai sumber obat yang baru seperti tanaman asli kepulauan

Wallacea yakni Pala hutan Myristica fatua Houtt (Jamal dan Agusta, 2004).

Palah hutan lebih banyak dikenal pada jaman dahulu digunakan sebagai bahan

bangunan. Selain itu pala diketahui sebagai rempah utama dunia dan berpotensi

menghasilkan sumber senyawaan (metabolit) untuk obat-obatan yang berasal dari

alam. Pala telah digunakan dalam pengobatan Cina tradisonal dan sebagai bahan baku

obat internasional ( Van Gills and Cox, 1994).

Pemanfaatan pala dalam bidang kesehatan khususnya bahan obat

berhubungan dengan metabolit sekunder yang terkandung di dalamnya. Metabolit

sekunder adalah senyawa yang digunakan organisme untuk berinteraksi dengan

lingkungannya. Setiap organisme biasanya menghasilkan senyawa metabolit

sekunder yang berbeda-beda, bahkan mungkin satu jenis senyawa metabolit sekunder

hanya ditemukan pada satu spesies dalam suatu kingdom. Senyawa ini juga tidak

selalu dihasilkan, tetapi hanya pada saat dibutuhkan saja atau pada fase-fase tertentu.

Fungsi metabolit sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi

lingkungan yang kurang menguntungkan (Veerpote, 2000).

Metabolit sekunder dari pala dimanfaatkan sebagai antiangiogenic dan

antioksidan (Perumal et al., 2012), antikarsigonik (Chung et al., 2006), antifungal

(Rani dan Khullar, 2004), dan berpotensi sebagai antidiabetes (Sailesh dan

Padmanabha, 2014). Diabetes Melitus (DM) merupakan sindrom metabolik paling

umun di seluruh dunia dengan angka kejadian 1-8%. Di Indonesia pada tahun 2013,

jumlah penderita diabetes sebanyak 8,5 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2035
3

meningkat hingga 14,1 juta jiwa. Provinsi di Indonesia yang memiliki penderita

diabetes terbesar adalah Sulawesi Tengah sebesar 3,7% sedangkan untuk daerah Jawa

Timur sebesar 2,5% (Kemenkes, 2014).

Penyakit DM muncul ketika insulin tidak cukup di produksi atau insulin tidak

dapat berfungsi dengan baik (Brahmachari, 2011). Pengobatan DM tipe 2 dilakukan

dengan memberikan obat antidiabees secara oral, akan tetapi dapat menimbulkan efek

samping yang besar (Lau et al., 2008). Alternatif lain dalam pengobatan DM tipe 2

adalah menggunakan obat α-glukosidase inhibitor yang bekerja dengan menginhibisi

kinerja enzim α-glukosidase yang terletak pada dinding usus halus. Enzim ini

berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida

lainnya sehingga menyebabkan penghambatan absorbsi glukosa dan menurunkan

keadaan hiperglikemia setelah makan (Mataputun, 2013).

Salah satu tanaman yang telah dilaporkan memiliki potensi sebagai obat

antidiabetes adalah pala. Sailesh dan Padmanabha (2014) melaporkan bahwa ekstrak

pala dapat menurunkan kadar glukosa darah. Untuk melihat bioaktivitas sebagai

skrining awal suatu senyawa kimia atau ekstrak tanaman, dapat dilakukan dengan uji

toksisitas secara in vitro dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach atau

dikenal dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Dari penelusuran literatur,

eksplorasi tanaman pala spesies M. fatua belum banyak diketahui sehingga perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan senyawa metabolit sekunder dan

mengetahui toksisitasnya tehadap larva udang Artemia salina Leach dan aktivitas

antidiabetesnya terhadap penghambatan enzim α-glukosidase.


4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian

ini antara lain sebagai berikut :

1. Senyawa metabolit sekunder apakah yang dapat diisolasi dari daun pala hutan

M. fatua Houtt?

2. Bagaimanakah tokisisitas ekstrak daun M. fatua Houtt dan senyawa yang

diisolasi terhadap larva udang A. salina Leach?

3. Bagaimana aktivitas ekstrak dan senyawa yang diisolasi dalam menghambat

enzim α-glukosidase sebagai antidiabetes ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengisolasi dan mengidentifikasi struktur senyawa metabolit sekunder daun

Pala hutan M.fatua Houtt.

2. Mengetahui toksisitas ekstrak dan senyawa hasil isolasi terhadap larva udang A.

salina Leach.

3. Mengetahui aktivitas ekstrak dan senyawa hasil isolasi dalam menghambat enzim

α-glukosidase sebagai antidiabetes.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:


5

1. Menambah pengetahuan dan keahlian dalam mengisolasi senyawa metabolit

sekunder dari bahan alam khususnya tanaman pala hutan.

2. Memberikan data struktur, toksisitas dan aktivitas antidiabet terhadap enzim α-

glukosidase dari senyawa metabolit sekunder M.fatua Houtt.


6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Tanaman Pala

Pala telah dikenal sejak lama sebagai komoditas rempah yang diperdagangkan

dari jaman Belanda berupa biji atau fuli. Di Indonesia terdapat sembilan spesies

marga Myristica (Heyne, 1987) yang distribusinya meliputi Irian, Maluku, Sumatera,

dan Jawa. Spesies tersebut adalah Myristica argentea Warb. (henggi, Irian), M. fatua

(pala utan, Maluku), M. fragrans (pala, Maluku), M. iners Bl. (penara, Sumatra), M.

littoralis Miq. (Ki Mokla, Sunda), M. schefferi Warb. (pala onin, Maluku), M.

speciosa Warb (muskat, Maluku), M. succedanea Bl. (pala maba, Maluku), M.

tesmannii Miq. (durenan, Jawa). Di antara marga Myristica, hanya M. fragrans yang

telah dibudidayakan (de Guzman dan Siemonsma 1999).

Pala memiliki nilai historis penting dalam sejarah penjajahan Indonesia. Pala

merupakan bahan rempah-rempah yang banyak diburu dan dicari oleh saudagar

karena memiliki nilai jual yang tinggi. Tumbuhan rempah-rempah ini dari pulau

Banda, Maluku. Meskipun areanya hanya sekitar 40 mil persegi, pulau Banda

menjadi tujuan penting bagi banyak Negara yang berharap untuk menguasai pasar

rempah-rempah Eropa. Pulau Banda memiliki curah hujan 2210-3667 mm per tahun,

beriklim tropik, kaya akan tanah vulkanik, menjadikan pulau ini habitat yang

sempurna bagi pertumbuhan pala yang memerlukan lingkungan maritim kepulauan.

Orang Portugis merupakan bangsa Eropa yang pertama kali menemukan pohon pala

di Pulau Banda Indonesia (Pulau Rempah-rempah) pada tahun 1512. Pada permulaan

6
7

abad ke-17, Belanda dan kekuatannya V.O.C mengontrol Pulau Rempah-rempah,

mereka memonopoli perdagangan rempah-rempah sampai pada akhir abad ke-18

(Van Gils dan Cox, 1994).

B. Pala Hutan Myristica fatua Houtt

1. Taksonomi

Table 1. Taksonomi pala hutan M. fatua Houtt


Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyte
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Magnolildae
Ordo : Magnoliales
Family : Myristicaceae
Genus : Myristica
Spesies : Myristica fatua Houtt
(www.plantamor.com)

2. Morfologi

Ciri utama dari Myristica adalah tumbuhan pohon, percabangan monopodial,

daun tunggal berseling dengan permukaan bawah daun agak kasar, pangkal daun

meruncing, dan ujung daun runcing. Bunga terdapat pada ketiak daun, terdiri dari 2-4

bunga, berumah satu, dua atau lebih. Bunga jantan, perhiasan bunga berbentuk tabung

dengan bagian luar berbulu halus kecoklatan, terdiri dari tiga ruang (kadang 2-4),

keseluruhan bunga jantan berupa kolum dengan benang sari berjumlah 8-30. Bunga

betina lebih besar dari bunga jantan, ovarium gundul atau berbulu halus, dan putik

berupa ruang. Buah bulat sampai agak lonjong dengan panjang antara 1-10 cm dan
8

berdaging tipis sampai agak tebal. Biji dengan kulit yang keras dan diselubungi olehS

salut biji (arilus) bersifat aromatik dengan kandungan senyawa utama Myristicin

(Arrijani, 2005).

Gambar 1. Daun pala M.fatua Houtt (sumber: www.biotik.org)

Pohon pala mulai berbuah dari tahun ketujuh atau lebih dini dan terus berbuah

bertahun-tahun. Pala menghasilkan buah sepanjang tahun, tetapi masa panen utama

biasanya berlangsung di bulan April dan November. Di Banda, pala ditumbuhkan

baik sebagai pohon dekat rumah dan juga di perkebunan tua. Buahnya dipungut dari

tanah atau dipetik dari pohon dengan suatu ‘gai-gai’, atau tongkat panjang yang

ditempelkan pengait dan keranjang. Umumnya hanya buah yang telah masak yang

mana kulit buahnya retak yang dikumpulkan (Barceloux, 2009).

C. Etnobotani Tanaman Pala

Etnobotani (dari “etnologi” – kajian mengenai budaya, dan “botani” – kajian

mengenai tumbuhan) adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan antara
9

manusia dan tumbuhan. Ilmu etnobotani yang berkisar pada pemanfaatan tumbuh-

tumbuhan oleh orang-orang di sekitarnya, pada aplikasinya mampu meningkatkan

daya hidup manusia (Kandowangko et al., 2011). Kajian etnobotani dapat dipandang

dari dua sisi. Pertama, etnis atau bangsa yang memanfaatkan tumbuhan tertentu untuk

berbagai tujuan. Kedua, suatu tumbuhan dimanfaatkan oleh satu atau lebih etnis

tertentu.

Etnobatani dari tanaman pala telah banyak dikaji, diantaranya sebagai rempah

dan pengawet bahan makanan. Biji dan fuli yang berasal dari buah yang cukup tua

dimanfaatkan sebagai rempah, sedangkan yang berasal dari buah yang muda

dimanfaatkan sebagai bahan baku minyak pala karena kandungan minyak atsirinya

yang jauh lebih tinggi daripada biji yang berasal dari buah yang tua (Rismunandar,

1990).

Minyak atsiri yang berasal dari biji dan fuli pala juga digunakan untuk industri

obat-obatan, parfum dan kosmetik. Aroma minyak pala melalui sistem sirkulasi

udara berfungsi untuk meningkatkan kualitas udara dan lingkungan. Untuk tujuan

yang sama akhir-akhir ini banyak dijumpai penggunaannya dalam bentuk lain yaitu

dalam bentuk potpourri, lilin beraroma, atomizer dan produk-produk pewangi lainnya

(Rismunandar, 1990).

Tanaman pala juga sering digunakan sebagai obat tradional. Dikalangan peracik

jamu tradisional, biji pala digunakan sebagai analgesik pencegah nyeri perut mulas

yang bisa timul karena masuk angin ( Setiawan, 1999). Pala hutan secara empirik

tidak digunakan sebagai bahan psikoaktif atau rempah seperti halnya pala biasa.
10

Tetapi secara tradisional buah pala M. fatua Houtt ini sering digunakan sebagai obat

syahwat (aprodisiak) sehingga dikenal juga dengan nama pala jantan. Selain sebagai

aprodisiak tumbuhan ini hanya digunakan sebagai bahan bangunan dan minyaknya

sebagai minyak lampu (Heyne, 1987: Perry, 1980). Menurut Wulandari (2009) biji

pala mampu merangsang sistem pertahanan tubuh, mencegah penggumpalan keping-

keping darah (trombosit), menghambat sintesa kolestrol di hati, meningkatkan

metabolismee hormon.

D. Kandungan Senyawa Kimia Pala

Pada prinsipnya komponen dalam biji pala dan fuli terdiri dari minyak atsiri,

minyak lemak, protein, selulosa, pentosan, pati, resin dan mineral-mineral. Biji pala

mengandung minyak atsiri sekitar 2-16% dengan rata-rata pada 10% dan fixed oil

(minyak lemak) sekitar 25-40%., karbohidrat sekitar 30% dan protein sekitar 6%.

Setiap 100 g daging buah pala mengandung air sekitar 10 g, protein 7 g, lemak 33 g,

minyak yang menguap (minyak atsiri) dengan komponen utama monoterpen

hidrokarbon (61 - 88% seperti α-pinena, β- pinena, sabinena), asam monoterpen (5 -

15%), aromatik eter (2-18% seperti Miristisin, safrol) (Zachariah et al., 2008).

Senyawa kariofilena, salah satu komponen utama dari minyak atsiri fuli dan biji pala

M. fatua Houtt dengan kadar masing-masing 18,05% dan 34,62%, merupakan

senyawa yang memiliki cukup banyak aktivitas biologi, antara lain sebagai aldose

reductase inhibitor, antibakteri, antijerawat/acne, antiasthma, anticarogenic,

antiedemic, antistaphylococcic, antistreptococcic, antiradang, antitumor,


11

antispasmodik, antifeedant dan lain-lain. Juga disebutkan bahwa senyawa kariofilena

dimanfaatkan sebagai bahan parfum disamping sebagai fungisida (Duke, 2004).

Helen et al. (2012) melaporkan spesies M. fragnans memiliki aktivitas

terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan sel kanker kulit A-357. Minyak atsiri biji

M. fatua Houtt memiliki aktivitas penghambtan terhadap bakteri Xanthomonas

campestris pada brokoli yang sakit (Kusumaningrum, 2003). Dari spesies M.

maingayi, Pham (2000) telah mengisolasi senyawa Malabaricon A, promalabaricon,

dan p-hidroksifenil yang memiliki aktivitas tehadap sel tumor manusia KB.

Tabel 2. Komponen minyak atsiri fuli dan biji pala M. fatua Houtt
No. Komponen Komposisi %
Fuli Biji
1 α- pinena 2,58 -
2 β- pinena 1,20 -
3 β- mirsena 0,38 -
4 3- Karena 7,52 -
5 Ylangena 0,76 0,79
6 (-) α- Kopaena 36,11 29,81
7 (-) δ- Kadinol (Tipe II) 1,32 0,59
8 α- Kopaena 2,46 0,66
9 6-Furfurilidina-2,2-dimetil sikloheksanon 1,36 0,71
10 β-Kadinena 5,65 2,94
11 Guaiol asetat 1,05 -
12 β-Linalol - 1,38
13 (+) Sabinena - 0,63
14 Guaiol 0,53 0,76
15 Karifolena 18,05 34,62
(Jamal dan Agusta, 2004)
12

E. Metode Isolasi Senyawa Bahan Alam

Isolasi merupakan proses pemisahan suatu komponen kimia dari campuran

yang didasarkan pada sifat fisik maupun kimianya. Teknik isolasi biasa dilakukan

dengan cara ekstraksi, fraksinasi dan kromatografi (Harborne, 1996).

1. Pemilhan pelarut

Untuk mengisolasi senyawa bahan alam perlu dilakukan pemilihan pelarut yang

sesuai dengan sifat kepolaran suatu sampel. Pelarut adalah zat yang digunakan

sebagai media untuk melarutkan zat lain (Ncube et al., 2008). Sifat pelarut yang baik

untuk esktraksi yaitu toksisitas rendah , mudah menguap ada suhu yang rendah, dapat

mengekstraksi komponenen senyawa dengan cepat, dapat mengawetkan dan tidak

menyebabkan ekstrak terdisosiasi (Tiwari et al., 2011).

Tabel 3. Nilai-nilai Polaritas dan Titik didih pelarut


Indeks
No Pelarut Td (oC.1 atm)
Polaritas
1. n-heksana 0 68,7
2. Kloroform 3,4 61,2
3. Etil asetat 4,3 77,1
4. Aseton 5,4 56,3
5. Metanol 6,6 64,7
6. Butanol 4,0 117,7
(Khasani, 2003)

Pemilihan pelarut juga akan tergantung pada senyawa uang ditargetkan. Faktor-

faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut adalah jumlah senyawa yang akan

diekstraksi, laju ekstraksi, keragaman senyawa yang akan diekstraksi, kemudahan

dalam penanganan ekstrak untuk perlakuan berikutnya (Tiwari et al., 2011).


13

2. Penyiapan sampel

Analisis fitokimia menggunakan jaringan tumbuhan yang masih segar.

Jaringan segar yang diperoleh, disimpan kering dalam kantong plastik. Penyaringan

harus dilakukan dalam keadaaan terawasi untuk mencegah terjadinya perubahan

kimia yang terlalu banyak. Bahan dikeringkan tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih

baik dengan aliran udara yang cukup. Setelah kering, tumbuhan dapat disimpan

sebelum digunakan untuk analisis (Harborne, 1996).

3. Ekstraksi

Menurut Judoamidjojo (1990) ekstraksi adalah proses penarikan kandungan

senyawa metabolit dalam jaringan tumbuhan. Untuk mengesktrak suatu senyawa

diperlukan pemecahan atau penghancuran dinding sel atau membran sel secara fisik,

mekanik atau kimiawi. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen-komponen

kimia yang terdapat dalam suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu

(Harborne, 1996). Menurut Sudjaji (1988) pelarut yang digunakan harus dapat

mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi

mengikuti prinsip “like dissolves like” yang berarti bahwa senyawa polar akan mudah

larut dalam pelarut polar dan begitupun sebaliknya.

Jenis ekstraksi yang sering digunakan adalah ekstraksi panas dan ekstraksi

dingin. Ekstraksi secara panas dilakukan dengan refluks, sokhletasi dan destilasi uap,

sedangkan ekstraksi secara dingin dilakukan dengan maserasi (Harborne, 1996).

Menurut Manjang (2004), maserasi merupakan cara ekstraksi sederhana yang

dilakukan dengan cara merendam serbuk sampel dalam pelarut selama beberapa hari
14

pada temperatur kamar dan terlindung cahaya. Metode maserasi digunakan untuk

mengekstrak senyawa metabolit sekunder dari sampel tumbuhan dengan pelarut.

Pemilihan pelarut yang digunakan untuk proses maserasi akan memberikan

efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam

pelarut akibat kontak langsung dan waktu yang cukup lama dengan sampel.

4. Kromatografi

Kromatografi merupakan metode pemisahan untuk memisahkan campuran

senyawa berdasarkan perbedaan waktu huni komponen campuran dalam sistem fase

diam dan fase gerak (Hostettman et al., 1995). Fase gerak membawa zat terlarut

melalui fase diam dengan kecepatan tergantung pada daya ikat setiap zat terlarut

terhadap kedua fase. Zat terlarut yang lebih kuat terikat pada fase gerak dari fase

diam. Fase diam bertindak sebagai zat penjerap seperti alumina, silika gel, dan resin

penukar ion atau bertindak melarutkan zat terlarut seperti pada kromatografi kertas

(Harborne, 1996).

5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fisikokimia.

Lapisan yang memisahkan terdiri dari fase diam yang ditempatkan pada penyanga

berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok (Sudjadi, 1983). Larutan

campuran senyawa yang akan dipisahkan diteteskan atau ditotolkan pada plat KLT

kira-kira 1,5 cm dari bagian bawah plat tersebut dengan menggunakan pipet kapiler.

Zat pelarut yang terdapat pada sampel yang diteteskan tersebut kemudian diuapkan

terlebih dahulu. Selanjutnya plat kromatografi tersebut dikembangkan dengan


15

mencelupkannya pada chamber yang berisi campuran sistem pelarut (solvent sistem)

atau eluen (Adnan, 1997). Pengembangan masing-masing komponen senyawa dalam

sampel akan bergerak ke atas dengan kecepatan berbeda. Perbedaan kecepatan

gerakan ini merupakan akibat terjadinya pengaruh proses KLT.

Fase diam yang biasa digunakan dalam KLT adalah serbuk silica gel, alumina,

tanah diatom, selulosa dan lain-lain yang mempunyai ukuran butir sangat kecil yaitu

0,063-0,125 mm (Anwar et al., 1994). Laju pergerakan fase gerak terhadap fase diam

dihitung sebagai retardation factor (Rf). Nilai Rf diperoleh dengan membandingkan

jarak yang ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak

(Gandjar dan Rohman, 2007).

6. Identifikasi KLT

Cara mendeteksi setelah proses pengembangan cuplikan adalah mengamati

noda yang telah dipisahkan. Jika diperoleh noda yang berwarna, maka dapat diamati

langsung secara visual. Sedangkan noda yang tidak tampak, dapat dilihat dengan

menggunakan lampu Ultra Violet (UV). Jika senyawa menunjukkan penyerapan di

daerah UV gelombang pendek (254 nm) atau senyawa itu dapat dideteksi pada radiasi

UV gelombang panjang (365 nm) artinya mempunyai ikatan rangkap atau senyawa

aromatik (Stahl, 1985).

7. Kromatografi Kolom Gravitasi

Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang digunakan

untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah banyak berdasarkan adsorpsi dan

partisi (Gritter et al., 1991). Kolom kromatografi biasanya berupa pipa gelas yang
16

dilengkapi sebuah kran atau kadang-kadang juga dapat digunakan buret. Untuk

menahan penyerap didalam kolom dapat digunakan wol kaca atau kapas

(Sastrohamidjojo, 1985). Kromatografi kolom bertujuan untuk purifikasi dan isolasi

komponen dari suatu campurannya. Metode pembuatan kolom terbagi menjadi 2,

yaitu untuk metode kering, kolom pertama diisi dengan kering fase diam bubuk,

diikuti dengan penambahan fase mobile. Metode basah, sebuah bubur disiapkan dari

eluen dengan fase diam bubuk dan kemudian dengan hati-hati dituangkan ke dalam

kolom. Lapisan ini biasanya ditutupi dengan lapisan pasir kecil atau dengan kapas

atau wol kaca untuk melindungi bentuk lapisan organik dari kecepatan baru

ditambahkan eluen. Eluen perlahan-lahan melewati kolom untuk memajukan bahan

organik (Roy, 1991).

Sebagian besar prinsip pemisahan kromatografi kolom didasarkan pada

afinitas kepolaran analite dengan fase diam, sedangkan fase gerak selalu memiliki

kepolaran yang berbeda dengan fase diam. Pada sebagian besar kromatografi kolom

menggunakan fase diam yang bersifat polar dengan fase gerak yang non-polar dengan

begitu waktu retensi akan menjadi lebih singkat. Semakin cepat pergerakan fase

gerak akan meminimalkan waktu yang diperlukan untuk bergerak di sepanjang

kolom. Laju aliran kolom dapat ditingkatkan dengan memperluas aliran eluen di

dalam kolom dengan mengisi fase diam pada bagian bawah atau dikurangi dengan

mengontrol keran.

Laju aliran yang lebih baik dapat dicapai dengan menggunakan pompa atau

dengan menggunakan gas dengan kompresi (misalnya udara, nitrogen, argon) untuk
17

mendorong pelarut melalui kolom. Kolom yang terbuat dari tabung gelas diisi dengan

bahan seperti alumina, silika gel atau pati yang dicampur dengan adsorben, dan

pastanya diisikan ke dalam kolom. Larutan sampel kemudian diisikan ke dalam

kolom dari atas sehingga sampel diasorbsi oleh adsorben. Kemudian pelarut (fasa

mobil; pembawa) ditambahkan tetes demi tetes dari atas kolom. Partisi zat terlarut

berlangsung di pelarut yang turun ke bawah (fasa gerak) dan pelarut yang teradsorbsi

oleh adsorben (fasa diam). Selama perjalanan turun, zat terlarut akan mengalami

proses adsorpsi dan partisi berulang-ulang. Laju penurunan berbeda untuk masing-

masing zat terlarut dan bergantung pada koefisien partisi masing-masing zat terlarut

(Sastrohamidjojo, 2005).

8. Rekristalisasi

Senyawa metabolit sekunder berbentuk padatan kristal yang diisolasi, jarang

berbentuk murni dan biasanya terkontaminasi dengan senyawa lain. Pemurnian

senyawa tidak murni dilakukan dengan rekristalisasi dengan berbagai pelarut atau

campuran pelarut. Pelarut diharapkan tidak bereaksi dengan zat yang dimurnikan

secara kimia, tetapi hanya melarutkan kristal dan dapat membentuk kembali kristal

setelah direkristalisasi (Anwar et al., 1994).

F. Elusidasi Struktur

Elusidasi struktur umumnyaa menggunakan teknik spektroskopi klasik seperti

Inframerah (IR) dan Resonansi magnetik inti (NMR). Langkah pertama, harus

memperoleh rekaman spektrum sinar inframerah dan ultraviolet untuk menentukan


18

adanya konjugasi kelompok fungsional tertentu dalam suatu molekul (Heinrich,

2004).

1. Spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infrared)

Spektroskopi inframerah adalah sebuah metode analisis instrumentasi pada

senyawa kima yang menggunakan radiasi sinar infra merah. Spektroskopi infra merah

berguna untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat pada senyawa organik. Bila

suatu senyawa diradiasi menggunakan sinar inframerah, maka sebagian sinar akan

diserap oleh senyawa dan lainnya akan diteruskan. Serapan ini diakibatkan karena

molekul senyawa organik mempunyai ikatan yang dapat bervibrasi (Rousessac,

2000). Spektrum inframerah berada di antara daerah sinar tampak dan daerah

microwave. Daerah spektrum yang paling baik digunakan untuk berbagai keperluan

praktis dalam kimia organik adalah antara 4000-400 cm-1. Rentang bilangan

gelombang inframerah dibagi dalam tiga daerah, inframerah jauh (200-10 cm-1),

inframerah tengah (4000-200 cm-1), dan inframerah dekat (12500-4000 cm-1)

(Watson, 2009).

Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka

terdapat sejumlah fekuensi yang diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung

pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap energi tersebt

terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi rotasi. Pada suhu

kamar, molekul senyawa organik dalam keadaan diam, setiap ikatan mempunyai

frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi ulur dan vibrasi tekuk dimana

sinar inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut (Suseno dan Firdausi, 2008).
19

2. Spektrometer 1H-NMR dan 13C-NMR

Umumnya metode NMR (Nuclear Magnetic Resonance), berguna sekali

untuk mengidentifikasi struktur senyawa atau rumus bangun molekul senyawa

organik. Teknik ini bergantung pada kemampuan inti atom untuk berperilaku seperti

sebuah magnet kecil dan menyesuaikan diri dengan medan magnet eksternal. Ketika

diradiasi dengan frekuensi gelombang radio, inti dalam molekul dapat berubah sejajar

dengan medan magnet, (Khopkar, 2003).

Menurut Widodo (2007), spektroskopi NMR didasarkan pada pengukuran

adsorbsi radiasi elektromagnetik pada daerah frekuensi radio 4-600 MHz oleh

partikel (inti atom) yang berputar di dalam medan magnet. Inti atom unsur-unsur

dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni atom unsur yang mempunyai spin atau

tidak mempunyai spin. Spin inti akan menimbulkan medan magnet. Di dalam medan

magnet, inti aktif NMR (misalnya 1H atau 13C) menyerap pada frekuensi karakteristik

suatu isotop. Frekuensi resonansi, energi absorpsi dan intensitas sinyal berbanding

lurus dengan kekuatan medan magnet.

Dari resonansi magnet proton atau 1H-NMR, akan diperoleh informasi jenis

hidrogen, jumlah hidrogen dan lingkungan hidrogen dalam suatu senyawa begitu juga
13
dari resonansi magnet karbon C-NMR (Khopkar, 2003). Empat parameter yang

dapat membantu menginterpretasi spektra NMR, yaitu; (1) pergeseran kimia, (2)

penjodohan spin, (3) tetapan penjodohan dan pola penjodohan dan (4) integrasi

(Khopkar, 2003). Nilai-nilai pergeseran kimia untuk proton-proton dan karbon NMR

dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.


20

Tabel 4. Perkiraan nilai-nilai pergeseran kimia untuk proton-proton non aromatik


Gugus δH ppm Gugus δH ppm Gugus δH ppm
CH3-C 0,9 R-CH2-C 1,4 CH-C 1,5
CH3-C-O 1,3 R-CH2-C-O 1,9 CH-C-O 2,0
CH3-C=C 1,6 R-CH2-CO-N 2,2 CH-CO-N 2,4
CH3-CO 2,0 R-CH2-C=C 2,3 CH-CO 2,7
CH3-N 2,4 R-CH2-CO 2,4 CH-N 2,8
CH3-Ar 2,3 R-CH2-N 2,5 CH-Ar 3,3
CH3-O 3,3 R-CH2-Ar 2,9 CH-O 3,9
CH3-O-C-O 3,7 R-CH2-O 4,6 CH-Cl 4,0
CH-N-CO 4,2 R-CH2-O-CO 3,1 R-CH=C 4,5-6,0
(Watson, 2009)

Tabel 5. Pergeseran kimia pada atom 13C-NMR


δC δC δC
Gugus Gugus Gugus
ppm ppm ppm
H3C13-C 5-20 C- H3C13-N 35-65 (C)3C13-C-N 50-70
H3C13-C=C 15-30 C- H3C13-O 55-75 (C)3C13-C-O 70-90
H3C13-Ar 20 (C)2HC13-C 25-55 ArC13-H 115-135
H3C13-COO 20 (C)2HC13-CO 40-70 ArC13-C 137-147
H3C13-CO 22-32 (C)2HC13-Ar 40 ArC13-Cl 135
H3C13-N 25-40 (C)-(O)HC13-Ar 7-80 ArC13-CO 137
H3C13-O 45-55 (C)2HC13-O 65-85 ArC13-N 145-155
C- H3C13-C 16-46 (C)3HC13-C 35-55 ArC13-O 150-160
H3C13-CO 30-50 (C)3HC13-C-CO 45-65 C13=O 170-200
C- H3C13-Ar 30 (C)3HC13-C-Ar 45-65 O- H3C13-Ar 60-70
(Watson, 2009)
Untuk memastikan kebenaran struktur yang dianalisis, metode pertama yang

digunakan adalah DEPT (Distortionless Enhancement by Polarization Transfer).

DEPT merupakan spektrum gabungan antara APT (Attached Proton Test) dan INEPT

(Insensitive Nuclei Enhancement by Polarization Transfer). Spektrum DEPT

digunakan untuk membedakan CH3 dengan C-kuartener, CH2 dan CH. Masing-

masing sinyal karbon tersebut dapat dibedakan selain berdasarkan pergeseran

kimianya, juga karena posisi signal kearah positif dan negatif. Untuk CH3 dan CH,
21

posisi signal ke arah positif, CH2 ke arah negatif, sedangkan C-kuartener dapat

diketahui dari selisih total karbon yang ada dengan jumlah karbon, dan metilen

(Hariani, 2008). Metode DEPT ini sering dibantu dengan spektroskopi 2-D, yaitu

COSY (Correlation Spectroscopy), HMQC (Heteronuclear Multiple Quantum

Coherence), HMBC (Heteronuclear Multi Bond Coherence), dan NOESY (Nuclear

Overhauser Effect Spectroscpoy) (Silverstein, 2002).

Gambar 2. Skema Spektrometer NMR (Sternhell, 1995)

G. Diabetes Melitus (DM)

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu gangguan metabolisme yang ditandai oleh

tingginya kadar gula darah (hiperglikimia) maupun abnormalitas dalam metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein. Hal tersebut dapat terjadi karena penurunan sekresi

insulin, penurunan sensitivitas insulin atau keduanya (Welss et al., 2009).

Berdasarkan etiloginya, DM diklasifikasikan menjadi beberapa kategori diataranya

sebagai berikut :
22

1. DM tipe 1

DM tipe 1 disebabkan karena destruksi sel β pankreas sehingga terjadi

defisiensi insulin absolute (Welss et al., 2009). Namun ada pula yang disebabkan

oleh bermacam-macam virus, diataranya virus Cocksakie, Rubella, CM Virus,

Herpes, dan lain sebagainya (Depkes RI, 2005).

2. DM tipe 2

DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak

penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1. DM tipe 2 disebabkan karena sel-sel

sasaran insuln secara normal atau biasa disebut resistensi insulin. Selain itu, juga

dapat terjadi karna gangguan defisiensi insulin relative ( wells et al., 2009). Namun

etiologi DM tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan

jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan

terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak, dan rendah serat, serta

kurang olahraga (Depkes RI, 2005).

H. Pengobatan Diabetes Melitus

Menurut Depkes RI (2005) pengobatan atau terapi penderita DM ada dua yaitu

tetapi tanpa obat dan menggunakan obat. Terapi tanpa obat terdiri dari dua terapi

yaitu pengaturan diet makanan dan olahraga. Pengaturan diet makanan dengan

menyeimbangkan komposisi karbohidrat (60-70%), protein (10-15%), dan lemak (20-

25%). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan status gizi, umur, stress akut,

dan kegiatan fisik. Sedangkan terapi olahraga harus dilakukan secara teratur dan rutin
23

sehingga dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Terapi

dengan menggunakan obat ada dua macam yaitu obat hipoglikmeik oral dan injeksi

insulin. Terapi injeksi insulin biasanya digunakan untuk penderita DM tipe 1 dan

disuntikkan pada daerah di bawah kulit. Sedangkan untuk obat hipoglikemik oral

biasanya digunakan pada penderita DM tipe 2, obat hipoglikemik oral ini dibagi

dalam 3 golongan yaitu:

a. Obat-obat yang menigkatkan sekresi insulin, meiputi obat hipoglikemik oral

golongan sulfonylurea dan glinida.

b. Sensitizer insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap

insulin), meliputi obat-obat hipolikemik golongan biguanida dan tiazolidindion

(TZD).

c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang

bekerja menghambat absrobsi glukosa.

Salah satu metode uji aktivitas antidiabetes yaitu metode penghambatan enzim

α-glukosidase.

1. Enzim α-glukosidase

α-glukosidase merupakan golongan enzim ekso α-glukosida yang

menghidrolisis ikatan 1,4-glikosidik dan melepasakn dari hasil akhir substrat. Reaksi

hidrolisis terjadi dengan memisahkan ikatan antara karbon anomerik dari residu

glukosil dan oksigen glukosida (C1-O). kemudian terjadi reaksi pertukaran antara

residu glukosil dan proton di kedua hidrolisis dan transglukosilasi dimana residu
24

glukosill dan proton di kedua hidrolisis dan akseptor α-glukosidase menghasilkan

produk anomer α-glukosa. Secara umum, setiap hidrolisis ikatan glikosidik oleh

glukosidase merupakan reaksi yang menghasilkan produk tetap (α-α, β-β) atau

membalikkan konfigurasi anomerik substrat (α-β, α-β) (Chiba, 1997).

2. Mekanisme inhibisi α-glukosidase

Pati atau karbohidrat dipecah oleh enzim-enzim pencernaan yaitu α-amilase

yang berada di pankreas dan α-glukosidase yang berada di usus. Proses pemecahan

ini bertujuan untuk memecah gula yang kompleks contohnya polisakarida dan

oligosakarida menjadi gula yang lebih sederhana yaitu monosakarida. Pemecahan

polimer gula dimulai didalam mulut melalui kerja enzim yaitu α-amilase yang

terdapat dalam saliva. Enzim ini melepaskan ikatan yaitu α-1,4 sehinga terbentuk

karbohidrat sederhana (oligosakarida) dan karbohidrat yang komplek (dekstran)

(Cheng dan Jose, 2004).

Kerja amilase menjadi inaktif pada pH yang lebh asam, seperti halnya

lambung. Oligosakarida dan disakarida tidak dapat diserap oleh mukosa usus halus,

dan hanya monosakarida yang dapat diserap oleh karena itu diperlukan enzim yaitu α-

glukosidase (Christopher dan Van Holde, 1980).

Hasil akhir dari pemecahan karbohidrat berbentuk monosakarida yang

diangkut melewati dinding usus, selanjutnya diserap dan masuk ke dalam aliran darah

dan jaringan lain. Kondisi ini akan merangsang kelenjar pankreas untuk

mengeluarkan hormon insulin yang berfungsi untuk menstimulasi pemasukan glukosa


25

ke dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan

glikogen di dalam sel otot dan hati (Christopher dan Van Holde, 1980).

I. Uji Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase

Uji aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase dilakukan dengan metode

spektrofotometri, menggunakan reagen larutan buffer pospat pH (7,0) larutan substrat

p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida (PNPG) pada suhu 37°C, dan larutan enzim ɑ-

glukosidase. Reaksi enzimatik diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37°C. kemudian

reaksi dihentikan dengan penambahan natrium karbonat. Pengujian dilakukan dengan

menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang sekitar 400nm dilakukan

pengulangan secara duplo.

Enzim α-glukosidase akan menghidrolisis p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida

menjadi p-nitrofenil (berwarna kuning). Pengukuran aktivitas didasarkan pada

pengukuran absorbansi p-nitrofenil (berwarna kuning) yang merupakan hasil reaski

hidrolisis p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida oleh enzim α-glukosidase selain

menghasilkan glukosa. Suatu zat dikatakan sangat aktif sebagai inhibitor α-

glukosidase jika nilai IC50 ≤ 25 μg/mL, aktif jika 25< IC50 ≤ 50, kurang aktif jika 50<

IC50 ≤ 100, dan tidak aktif jika nilai IC50>100 μg/mL (Kim et al., 2005).

J. Uji Toksisitas Metode Meyer terhadap Larva Udang A. salina Leach

Sitotoksisitas adalah sejauh mana agen memiliki tindakan destruktif

spesifik pada sel-sel tertentu. Salah satu metode awal untuk uji sitotoksik adalah
26

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), metode ini juga mudah dikerjakan, murah,

cepat, dan cukup akurat (Meyer et al., 1982).

Uji ini menggunakan naupli (larva) udang A. salina. Naupli ini diperoleh

dengan meneteskan telur udang A. salina. Dalam medium air laut buatan dan

digunakan setelah 48 jam. Cara uji Brine shrimp ini cukup sederhana untuk ekstrak

kasar, fraksi atau senyawa-senyawa murni dibuat konsentrasi 10,100, 500 dan 1000

ppm (μg/mL) pada alat uji yang mengandung 100 μL air laut (vial yang mengandung

5 mL air laut) dan 10 ekor udang dengan 3 kali pengulangan. Setelah 24 jam diamati

jumlah kematian, kemudian dihitung dengan cara regresi linier atau dimasukkan

dalam program untuk menentukan LC50 dengan batas/ limit kepercayaan 95 %.

Toksisitas suatu senyawa cukup berarti bila LC 50 ≤ 1000 μg/mL. Bioassay brine

shrimp sangat menguntungkan karena cepat hanya 24 jam, murah, sederhana karena

tidak memerlukan tehnik-tehnik aseptik, mudah dilakukan untuk pengujian dalam

jumlah banyak dan tidak perlu peralatan khusus. Sejumlah penelitian juga banyak

menggunakan bioassay brine shrimp untuk skrining ekstrak tanaman (Krishnaraju et

al., 2006).
27

III. METODELOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Juni 2016 di

Laboratorium Kimia Bahan Alam dan Farmasi, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia

(LIPI), PUSPITEK Serpong.

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Peralatan yang dipakai adalah alat maserasi, oven (Gallenkamp Civilab-

Australia), rotary vacuum evaporator (Buhcii), neraca analitik (Mettler Tuledo AB

204), plat KLT (E. Merck), corong pisah, pipet tetes berbagai ukuran, pisau,

erlenmeyer berbagai ukuran (Pyrex), chamber (Duran), cutter, mistar, kaca, pipa

kapiler, aluminium foil, gelas ukur berbagai ukuran (Pyrex), gelas kimia berbagai

ukuran (Pyrex), pipet ukur berbagai ukuran (Pyrex), pipet mikro (Eppendorf), tabung

reaksi, statif dan klem, seperangkat alat kromatografi kolom, botol kecil 5 mL

(ampul), lampu UV Shimadzu λ 254 nm dan λ 366 nm, hot plate, lampu 14 W,

spektrofotometer UV/Vis Hitachi U-2000, spektofotometer FT-IR Shimadzu IR

Prestige-21, spectrometer FT-NMR JEOL JNM ECA 500.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman Pala hutan

(Myristica fatua), pelarut organik (etil asetat teknis, n-heksana, kloroform p.a,

26
28

metanol teknis, DMSO (dimethyl sulfoxide) (E. Merck), H2SO4 10% (v/v) dalam

metanol, silica gel 60 G, silica gel 60 mesh 0,040-0,063 mm (E. Merck).

Bahan yang digunakan untuk uji penghambatan enzim α-glukosidase yaitu

sampel uji, enzim α-glukosidase, p-nitrofenil-α-D-glukosidase, buffer fosfat, Na2CO3,

air suling, DMSO, dan kuersetin. Untuk uji BSLT, bahan yang digunakan yaitu

sampel uji, telur udang, air laut, dan DMSO.

C. Prosedur Penelitian

1. Isolasi

1.1 Pengolahan sampel

Tanaman pala hutan M. fatua Houtt yang digunakan diperoleh dari hutan

Mekongga, kabupaten Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara. Tumbuhan selanjutnya

dikumpulkan, dibersihkan, dan dikeringkan pada suhu kamar, lalu dihaluskan dengan

menggunakan grender hingga menjadi serbuk dengan berat total 1,8 kilogram. Serbuk

sampel selanjutnya diproses lebih lanjut di laboratorium.

1.2 Ekstraksi

Sebanyak 1 kg serbuk sampel diekstraksi dengan cara maserasi. Sampel

dimaserasi dengan pelarut metanol selama 2x24 jam kemudian disaring dan ampas

sisa penyaringan dimaserasi kembali dengan menggunakan pelarut metanol yang baru

sebanyak 3 kali. Filtrat dari sampel yang diperoleh masing-masing digabungkan dan

dipekatkan menggunakan rotary vacum evaporator hingga diperoleh ekstrak kental

metanol daun M.fatua Houtt.


29

Sebanyak 100 g ekstrak metanol dilarutkan dengan metanol kemudian

dipartisi (fraksinasi) menggunakan n-heksana, diperoleh fraksi n-heksana.

Selanjutnya dipartisi kembali dengan etil asetat-air (1:1) dan diperoleh fraksi etil

asetat. Partisi terakhir dengan butanol-air (1:1) dan diperoleh fraksi butanol dan

residu.

2. Pemisahan dan pemurnian

2.1 Penentuan eluen dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Ekstrak hasil partisi masing-masing diuji pada kromatografi lapis tipis untuk

penentuan eluen dengan perbandingan terbaik. Eluen ini akan digunakan dalam

pemisahan sampel menggunakan Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG), eluen ini

juga akan digunakan untuk mengecek isolat hasil KKG. Pencarian eluen terbaik

dimulai dengan pelarut yang non polar selanjutnya kepolaran pelarut ditingkatkan

secara gradien.

2.2 Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG)

2.2.1 Penyiapan Kolom

Pengerjaan dimulai dengan menimbang silika gel G60 p.a. sebanyak 20 kali

berat sampel. Silika gel dicampur dalam pelarut n-heksana. Penyiapan kolom diawali

dengan sumbat menggunakan kapas kemudian silika gel dimasukkan bersama dengan

pelarut n-heksana ke dalam kolom gravitasi, sementara pelarut n-heksana dibiarkan

terus mengalir hingga kolom memadat dengan tidak adanya rongga udara.
30

2.2.2 Penyiapan Sampel

Sampel ditimbang sebanyak 30 gr lalu dilarutkan dengan aseton kemudian

digerus dengan silica gel 60 G sampai kering dan menjadi serbuk (impregnasi).

Sampel hasil impregnasi siap untuk dipisahkan menggunakan kolom kromatografi.

2.2.3 Pemisahan / Pemurnian Sampel

Hasil impregnasi lalu dimasukkan secara perlahan ke dalam kolom melalui

bagian atas kolom gravitasi. Proses elusi dapat dilakukan dengan menggunakan

pelarut yang cocok dan sesuai dengan tingkatan kepolarannya. Pelarut yang

digunakan dimulai dengan n-heksana, selanjutnya campuran n-heksana dan etil asetat

secara gradien. Proses pemisahan dimulai dengan mengelusi sampel dengan pelarut

n-heksana. Eluat yang keluar dari kolom ditampung per 150 mL kemudian

dipekatkan dengan evaporator lalu di tampung dalam botol vial dan diberi kode

sebagai fraksi pertama, eluat kedua sebagai fraksi kedua dan seterusnya. Proses ini

dilakukan terus menerus dengan meningkatkan kepolaran eluen yaitu campuran n-

heksana dan etil asetat secara gradien sampai dengan eluen paling polar.

2.2.4 Analisis Hasil Pemisahan / Pemurnian

Seluruh fraksi hasil KKG kemudian di elusi bersamaan pada plat KLT dan

diberi kode fraksi pertama sampai fraksi paling polar kemudian dimasukan ke dalam

chamber yang telah berisi eluen yang sesuai. Selanjutnya, dihitung nilai Rf untuk

setiap fraksi. Hasil KLT tiap fraksi dianalisa dengan menggunakan lampu UV dan

pereaksi penampak noda, H2SO4 5% dalam metanol yang kemudian dipanaskan

diatas hot plate. Warna dan Rf dari noda diamati. Fraksi dengan nilai Rf yang sama
31

digabung dan dielusi kembali hingga diperoleh senyawa yang hampir murni.

Senyawa yang hampir murni dilakukan rekristalisasi.

2.3 Uji kemurnian

Suatu senyawa yang telah dilakukan rekristalisasi dianggap murni jika

dilakukan uji kemurnian. Uji kemurniannya dilakukan dengan analisis KLT dengan

berbagai perbandingan sistem eluen. Sampel diambil sedikit dan dilarutkan dalam

sedikit pelarut yang dapat melarutkan sampel. Selanjutnya, sampel yang telah larut

tersebut dianalisa menggunakan KLT dengan berbagai sistem perbandingan eluen.

Kemudian hasil KLT diamati dibawah sinar UV 366 nm dan UV 254 nm dan

disemprot dengan pereaksi penampak noda dan dipanaskan diatas hot plate hingga

noda pada plat KLT terlihat. Apabila noda yang dihasilkan pada plat KLT tetap

tunggal, maka sampel tersebut dapat dikatakan telah murni yang selanjutnya disebut

dengan isolat.

2.4 Identifikasi senyawa

Senyawa isolat murni yang telah diperoleh lalu ditentukan struktur senyawanya

dengan menggunakan metode spektrometri, yaitu FTIR, UV-Vis, 1H-NMR dan 13C-

NMR.

2.4.1 Pengukuran spektrofotometer UV-Visible

Pengukuran spektroskopi ultra violet-visibel dilakukan dengan melarutkan 1

mg senyawa uji dalam 10 mL pelarut metanol sehingga terbentuk larutan yang

homogen. Larutan tersebut ditentukan panjang gelombangnya pada daerah 200 - 400
32

nm. Panjang gelombang dari absorbansi maksimum adalah nilai karakteristik suatu

serapan oleh senyawa sampel dinyatakan sebagai λ max .

2.4.2 Pengukuran Spektrofotometer Infrared

Sebanyak 1 mg senyawa uji digerus dengan 50 mg KBr dalam mortal sampai

homogen selanjutnya diletakkan dalam cawan, kemudian KBr diukur pada rentang

bilangan gelombang 4000-660 cm-1.

2.4.2 Pengukuran Spektrometer NMR

Sebanyak ±10 mg senyawa uji dilarutkan dalam 0,6-0,75 mL pelarut

deuterium sampai kira-kira setinggi 4 cm. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tube dan

dilakukan pengukuran terhadap sampel. Frekuensi yang dipergunakan 500 MHz

untuk 1H-NMR dan 125 MHz untuk 13C-NMR.

2.5 Uji Bioaktivitas

Bioassay biasanya digunakan untuk menguji adanya sifat toksik sabagai

petunjuk bioaktivitas dari ekstrak atau senyawa isolat.

2.5.1 Uji toksisitas terhadap larva udang A. salina Leach

a. Penetasan telur A.salina Leach

Telur A. salina Leach ditetaskan dalam wadah yang berisi air laut yang sudah

disaring sebanyak 1000 mL. Penetasan dilakukan dengan bantuan pencahayaan

lampu 14 watt sehingga telur menetas sempurna menjadi larva dalam waktu 48 jam,

kemudian dipisahkan antara larva yang hidup dengan yang mati.


33

b. Persiapan larutan uji

Ekstrak atau fraksi-fraksi yang akan diuji dibuat seri larutan dengan

konsentrasi 1000, 500, 100, 10 µg/mL dalam air laut. Bila sampel tidak larut,

ditambahkan ±2 tetes DMSO.

c. Uji toksisitas metode Meyer

Larva udang yang hidup sebanyak 10-15 ekor dimasukkan ke dalam vial uji

yang berisi 100 μL air laut, tambahkan larutan contoh yang akan diuji masingmasing

10, 100, 500 dan 1000 μg/mL. Larutan diaduk sampai homogen, untuk setiap

konsentrasi dilakukan tiga kali pengulangan. Sebagai kontrol digunakan air laut,

kemudian didiamkan selama 24 jam, selanjutnya dihitung jumlah larva udang yang

mati dan yang masih hidup. Kemudian dihitung tingkat kematiannya atau mortalitas

dengan membandingkan antara jumlah larva yang mati dibagi dengan jumlah larva

udang. Dibuat grafik antara log konsentrasi terhadap mortalitas.

Nilai LC50 diperoleh dengan cara menghitung menurut rumus y = a +bc.

Harga y menyatakan larva udang yang mengalami kematian sejumlah 50% setelah

masa inkubasi 24 jam. Nilai a dan b diperoleh dengan perhitungan menggunakan

rumus regresi linear berdasarkan data dari empat titik konsentrasi yang digunakan.

Harga x yang diperoleh merupaltan konsentrasi larutan yang menyebabkan kernatian

terhadap 50% larva. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LC50 ≤ 1000

μg/mL. (Meyer, 1982).


34

2.5.2 Uji aktivitas penghabatan enzim α-glukosidase

Uji aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase dilakukan berdasarkan

laporan Kim et al. (2008) dan Dewi R.T et al. (2012) sebagai berikut :

a. Penyiapan larutan buffer pH 7

Sebanyak 6,95 g Natrium dihidrogen sulfat (NaH2PO4H2O) ditimbang, kemudian

dilarutkan dalam 500 mL air suling ( Larutan A). Sebanyak 17,925 g NaH2PO4H2O

ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 500 mL air suling (Larutan B). sebanyak 39

mL larutan A diambil, selanjutnya ditambah 61 mL larutan B, kemudian diencerkan

dengan air suling sampai 200 mL.

b. Larutan p-nitrofenil- α-D-glukopiranosidase (PNPG)

Sebanyak 301,0 mg p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida ditimbang, kemudian

dilarutkan dalam 50 mL buffer fosfat pH 7,0.

c. Enzim α-glukosidase

Sebanyak 1,0 mg enzim α-glukosidase ditimbang, kemudian ditambah dengan

100 mg bovine serum albumin, selanjutnya dilarutkan dalam 10 mL buffer fosfat pH

7,0. Sebanyak 1,0 mL larutan dipipet, kemudian dilarutkan dalam 14 mL buffer fosfat

pH 7,0.

d. Na2CO3 0,2 M

Sebanyak 2,12 g natrium karbonat ditimbang secara seksama, kemudian

dilarutkan dalam 100 mL air suling.


35

e. Persiapan larutan uji

Sebanyak ± 2,0 mg sampel uji ditimbang secara seksama, dilarutkan dalam 200 μL

DMSO, kemudian dilakukan pengenceran secara bertingkat yaitu masing-masing

konsentrasi menjadi setengahnya, yaitu dari larutan awal diambil 100 μL kemudian

ditambahkan 100 μL DMSO sehingga diperoleh 5 tingkatan konsentrasi larutan uji.

Kemudian terhadap seluruh konsentrasi larutan uji dilakukan pengujian baik dengan

penambahan atau tanpa penambahan larutan enzim dengan tahap-tahap sebagai

berikut:

1. Dengan penambahan larutan enzim

Sebanyak 5 μL diambil dari masing-masing konsentrasi larutan uji,

ditambahkan 250 μL larutan p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida, kemudian

ditambahkan 450 μL larutan buffer fosfat pH 7,0, larutan kemudian diinkubasi pada

suhu 37°C selama 5 menit dalam penangas air, selanjutnya ditambahkan 250 μL

larutan enzim α-glukosidase. Campuran larutan tersebut kemudian diinkubasi pada

suhu 37°C selama 15 menit dalam penangas air. Setelah inkubasi, reaksi dihentikan

dengan penambahan 1000 μL larutan Na2CO3 0,2 M. Kemudian jumlah p-nitrofenil

yang dibebaskan diukur dengan spektrofotometri UV/Vis pada λ 400 nm. Tingkatan

konsentrasi akhir yang diperoleh adalah 200,100, 50, 25, dan 12,5 μg/mL.

2. Tanpa penambahan larutan enzim

Pengujian dilakukan dengan tahap-tahap yang sama pada pengujian dengan

penambahan larutan enzim, tetapi penambahan 250 μL larutan enzim α- glukosidase

diganti dengan 250 μL larutan buffer fosfat pH 7,0. Pengujian ini dilakukan untuk
36

koreksi nilai absorbansi pada saat pengukuran absorbansi pada spektrofotometer UV-

Vis.

f. Larutan kontrol positif

Sebanyak 2,0 mg kuersetin dilarutkan dalam 200 μL DMSO, kemudian

dilakukan pengenceran secara bertingkat yaitu masing-masing konsentrasi menjadi

setengahnya sehingga diperoleh 5 variasi konsentrasi larutan kontrol positif.

Kemudian terhadap seluruh konsentrasi larutan kontrol positif dilakukan pengujian

baik dengan penambahan atau tanpa penambahan larutan enzim dengan seperti pada

tahap sebelumnya dengan konsentrasi larutan akhisr yang diperoleh adalah 200, 100,

50, 25 dan 12,5 μg/mL.

g. Larutan kontrol negatif

Pengujian terhadap larutan kontrol negatif dilakukan dengan tahap-tahap yang

sama seperti pada pengujian terhadap larutan uji tetapi tanpa penambahan larutan uji

yaitu diganti dengan 5 μL DMSO.

h. Perhitungan aktivitas penghambatan

Aktivitas penghambatan dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

(K − S)
Aktivitas 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑚𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 (%) = x 100%
K

K = Absorbansi larutan kontrol negatif

S = Absorbansi larutan uji atau larutan kontrol positif , dimana S= S1 (absorbansi

dengan penambahan enzim) – S0 (absorbansi tanpa penambahan enzim)


37

IV. HASIL PENELITIAN

A. Ekstraksi

Sampel daun tanaman pala hutan M.fatua yang telah dikumpulkan sebanyak 5

kilogram dikeringkan pada suhu ruang untuk mengurangi kadar air secara maksimal.

Daun M. fatua kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk

agar pelarut dapat berinteraksi dengan baik terhadap daun M. fatua. Serbuk daun M.

fatua sebanyak 1,37 kg dimaserasi dengan 10 Liter pelarut metanol selama dua hari

dengan 3 kali pengulangan maserasi, setiap pengulangan menggunakan pelarut

metanol yang baru untuk memaksimalkan proses ekstraksi pelarut terhadap sampel.

Maserasi dilakukan menggunakan pelarut metanol agar senyawa yang terdapat pada

daun M. fatua dapat diekstrak seluruhnya, karena pelarut metanol merupakan pelarut

yang dapat menarik senyawa polar, semi polar, maupun senyawa non polar. Metanol

adalah cairan penyari yang masuk ke dalam sel melewati dinding serbuk M, fatua.

Selama proses perendaman sampel, akan terjadi proses pemecahan dinding dan

membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel. Sehingga metabolit

sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan senyawa

akan terekstraksi sempurna (Lenny, 2006).

Hasil maserasi diuapkan menggunakan penguap vakum putar (rotary vacuum

evaporator) pada suhu 30-40°C. Tujuan dari evaporasi yaitu untuk menguapkan

pelarut metanol, sehingga yang tersisa hanya ekstrak kental metanol, hingga

diperoleh ekstrak metanol berwarna hijau tua sebanyak 89,69 gram. Ekstrak metanol
38

sebanyak 50 gram dilakukan fraksinasi menggunakan corong pisah dengan pelarut n-

heksana. Hal ini dilakukan agar zat yang bersifat non polar benar-benar terdistribusi

ke pelarut non polar (n-heksana). Fraksi yang tersisa dipartisi kembali dengan pelarut

etil asetat yang bersifat semi polar dengan perbandingan etil asetat:air (1:1).

Fraksinasi selanjutnya menggunakan pelarut bersifat polar yaitu butanol dengan

perbandingan butanol-air (1:1). Hasil fraksinasi n-heksana diperoleh 3,9 g, fraksi etil

asetat sebanyak 36,6 g, dan fraksi butanol sebanyak 7,5 g.

B. Uji Bioaktivitas hasil Fraksinasi Ekstrak Metanol daun M.fatua

1. Uji toksisitas BSLT

Uji toksisitas BSLT mengacu pada metode meyer (1982) dilakukan pada

setiap hasil fraksinasi ekstrak metanol daun M. fatua Houtt dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 6. Hasil pengujian BSLT ekstrak daun M. fatua Houtt.

sampel Konsentrasi Log K M H AM AH Mortalitas LC50


(K) (μg/mL) (μg/mL)
Kontrol 1 0.0 0 10 0 40 0.000
3 0.5 0 10 0 30 0.000
5 0.7 0 10 0 21 0.000
7 0.8 0 10 0 10 0.000
Fraksi 1000 1.0 7 23 7 62 10.145 153.108
n-heksana 500 2.0 11 19 18 39 31.579
100 2.7 12 18 30 20 60.000
10 3.0 28 2 58 2 96.667
Fraksi 1000 1.0 3 27 3 45 6.250 83.75
Etil asetat 500 2.0 18 12 21 18 53.846
100 2.7 25 5 46 6 88.462
10 3.0 29 1 75 1 98.684
Fraksi 1000 1.0 9 21 9 51 15.000 100.93
butanol 500 2.0 17 13 26 30 46.429
100 2.7 20 10 46 17 73.016
10 3.0 23 7 69 7 90.789
39

Tabel 4 memperlihatkan bahwa larva udang pada sampel kontrol tidak ada

yang mati, hal ini membuktikan bahwa air laut yang digunakan dalam keadaan baik.

Menurut meyer ekstrak dengan nilai LC50 ≤ 1000 μg/mL dinyatakan aktif. Dari hasil

analisa terhadap ketiga fraksi diperoleh fraksi etil asetat dengan nilai LC50 paling

rendah yaitu 88,75 μg/mL kemudian fraksi butanol dengan nilai LC50 100,93 μg/mL,

dan fraksi n-heksana dengan nilai LC50 153,108 μg/mL. Hal ini berarti fraksi etil

asetat membutuhkan dosis lebih kecil untuk dapat menimbulkan toksisitas/lebih aktif

biologis terhadap larva udang A. salina Leach dibandingkan fraksi butanol dan fraksi

n-heksana.

2. Uji aktivitas penghambatan enzim α-Glukosidase

Hasil fraksinasi ektrak metanol daun M. fatua Houtt yaitu fraksi n-heksana,

fraksi etil asetat, dan fraksi butanol selanjutnya diuji aktivitasnya terhadap enzim α-

Glukosidase dengan metode spektroskopi dapat dilihat pada tabel 5.

Pengujian inhibisi enzim α-glukosidase untuk kontrol positif digunakan

kuersetin karena dari penelitian Li YQ (2009) senyawa fenolik lebih aktif

menghambat enzim α-glukosidase. Selain itu, pada pankreas kuersetin dapat

meningkatkan sekresi insulin ( Manzano, 2010). Larutan blanko dibuat sebagai faktor

koreksi untuk memastikan bahwa apakah ada absorbansi yang terbaca dari senyawa

selain p-nitrofenol, misalnya dikarenaka warna ekstrak yang berwarna yang dapat

mempengaruhi nilai serapan.


40

Tabel 7. Hasil penghambatan ekstrak daun M. fatua terhadap enzim α-Glukosidase

Sampel Konsentrasi Inhibisi (%) IC50


(μg/mL) (μg/mL)
Blanko
Kontrol Positif 0,781 12,231 5,67
1,562 29,457
3,125 43,411
6,25 51,125
12,5 58,753
Fraksi etil asetat 3,125 84.081 12,21
6,25 70.043
12,5 53.771
25 28.877
50 4.304
Fraksi butanol 3,125 96.144 11,73
6,25 65.000
12,5 58.961
25 38.503
50 1.409

Hasil pengujian (tabel 5) menunjukkan bahwa kontrol positif yakni kuersetin

memiliki efek penghambatan aktivitas α-glukosidase dengan nilai IC50 5,67 μg/mL.

Hasil pengujian pada semua fraksi menunjukkan adanya aktivitas penghambatan

enzim α-glukosidase yakni fraksi etil asetat dengan nilai IC50 12,21 μg/mL dan fraksi

butanol 11,73 μg/mL. Nilai IC50 kedua fraksi tersebut sangat aktif, dimana suatu

ekstrak dikatakan sangat aktif apabila nilai IC50 ≤ 25 μg/mL (Kim et al, 2005).

C. Pemisahan dan Pemurnian

Hasil pengujian terhadap penghambatan enzim α-Glukosidase didapatkan

fraksi etil asetat dan butanol memberikan aktivitas penghambatan, sehingga

dilakukan pemisahan senyawa terhadap fraksi etil asetat. Pemisahan senyawa


41

metabolit sekunder dilakukan dengan metode Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG)

dan diidentifikasi secara visual dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

Gambar 3. Pemisahan menggunakan Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG)

Proses pemisahan menggunakan KKG dengan sistem eluen sebagai fase gerak

yaitu n-heksana : etil-asetat : metanol dengan perbandingan secara gradien dan fase

diam menggunakan silica gel G60 (0,063-0,200 mesh). Penetapan sistem eluen yang

digunakan adalah n-heksan : etil asetat dengan berbagai perbandingan yang

kepolarannya ditingkatkan. Hal ini dilakukan agar senyawa terpisah sesuai dengan

tingkat kepolarannya.

Fraksi etil asetat sebanyak 30 g digerus dengan 10 g silika hingga menjadi

serbuk, penggerusan tersebut diharapkan dapat mempermudah dalam memasukkan

sampel kedalam kolom. Diperoleh 118 hasil eluat yang memiliki berbagai macam

warna sesuai dengan urutan pemisahannya yaitu kuning muda, kuning, jingga, ungu

muda, hijau pekat, hitam dan coklat mudah. Dari 118 eluat yang diperoleh di uji
42

menggunakan KLT untuk mengetahui pola senyawa yang terkandung pada eluat-eluat

menggunakan KLT. Diperoleh 12 eluat yang digabungkan berdasarkan kesamaan

pola pada kromatogram KLT, dapat dilihat pada gambar 4. Penggabungan eluat

bertujuan untuk mempermudah proses pemisahan selanjutnya.

Gambar 4. Kromatogram fraksi gabungan dengan eluen n-heksana : etil asetat (8:2)
43

Tabel 8. Data perbadingan eluen pada KKG dari fraksi etil asetat daun M. fatua serta
eluat gabungan yang diperoleh

Fraksi Perbandingan eluen (%) fraksi gabungan


n-heksana Etil asetat Metanol Fraksi Berat (g)
1-6 100 0 0 1 0,6670
7-11 95 5 0
12-15 90 10 0
16-17 85 15 0
18-21 80 20 0 2 0,7082
22-25 75 25 0 3 1,503
26-29 70 30 0 2 0,7082
30-37 65 35 0 4 0,9432
38-43 60 40 0 5 3,2104
44-46 55 45 0
47-49 50 50 0
50-53 40 60 0 6 0,4672
54-57 30 70 0
58-61 20 80 0 7 1,0701
62-67 10 90 0
68-76 0 100 0 8 1,8376
77-83 0 90 10 9 3,1916
85-92 0 80 20
93-97 0 70 30
98-101 0 60 40 10 0,8805
102-108 0 50 50 11 3,4836
109-113 0 40 60 12 3,5957
114-118 0 0 100

Kromatogram eluat F3 memperlihatkan pola noda yang hampir murni,

ditandai dengan terbentuknya kristal berwarna kecoklatan. Pada eluat F3 dilakukan

pemurnian dengan cara rekristalisasi menggunakan berbagai pelarut. Rekristalisasi

dilakukan berdasarkan perbedaan daya larut antara eluat yang dimurnikan dan zat

pengotornya dalam pelarut tertentu, dalam hal ini digunakan pelarut n-heksana.

Pelarut n-heksana ditetesi sedikit demi sedikit kedalam eluat kemudian dimasukkan
44

kedalam pendingin agar zat murni mengendap, karena konsentrasi total pengotor

biasanya lebih kecil dari konsentrasi yang dimurnikan. Dalam kondisi dingin

konsentrasi yang rendah tetap dalam larutan sementara zat yang berkonsentrasi tinggi

akan mengendap. Dari proses rekristalisasi diperoleh Kristal putih sebanyak 1,0203 g

selanjutnya di KLT dengan eluat F3 untuk melihat pola kemurnian isolat senyawa X

tersebut, terlihat pada gambar 5.

Gambar 5. Kromatogram isolat X dan eluat F3 eluen n-heksana:etil asetat (7:3)


a) Kromatogram eluat F3 dan isolat X
b) Kromatogram eluat F3 dan isolat X dengan UV 366 nm
c) Kromatogram eluat F3 dan isolat X dengan UV 254 nm
d) Kromatogram eluat F3 dan isolat X dengan H2SO4

Hasil kromatogram senyawa isolat X yang diamati dengan lampu UV 254 nm,

366 nm, dan H2SO4 10% dalam metanol memperlihatkan pola noda tunggal dengan

warna ungu. Warna ungu mengidentifikasikan bahwa isolat X adalah senyawa

steroid, dilakukan identifikasi struktur menggunakan teknik spektroskopi.


45

D. Identifikasi Struktur Senyawa Isolat

Senyawa isolat X dari fraksi etil asetat daun M. fatua Houtt berupa kristal

putih dan spot noda pada kromatogram KLT berpendar buram dibawah sinar UV dan

dengan penggunaan penampak noda H2SO4 10% dalam metanol menunjukkan noda

berwarna ungu terang yang mengindikasikan bahwa senyawa X adalah steroid. Untuk

menentukan struktur molekul senyawa isolat X dilakukan analisis menggunakan

metode spektrofotometri GC-MS, IR, 1H-NMR, dan 13


C-NMR. Dari hasil

identifikasi struktur senyawa isolat X menggunakan GC-MS (lampiran xx) diperoleh

berat molekul sebesar 414 dengan puncak tertinggi atau base peak yaitu pada m/z 43.

Fragmentasi karakteristik muncul pada m/z 396, 381, 329, 303, 283, 273, 255, 241,

231, 213, 199, 145, 119, 81, dan 43 (Patra et al, 2010).

C=C Alkena

O-H
C-H3

C-H2

C-H2

Gambar 6. Spektrum Infra Red

Data IR memberikan serapan pada daerah 3433 cm-1 untuk gugus hidroksil.

Serapan pada 2939 cm-1 dan 2860 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H alifatik.
46

Serta serapan tekuk yang membentuk siklik dari gugus metilen dan metil masing-

masing pada 1458 dan 1373 cm-1. Data serapan yang diamati menyerupai serapan

untuk senyawa β-sitosterol (Ahmed et al., 2013).

Tabel 9. Perbandingan senyawa isolat X dengan senyawa β-sitosterol

Panjang gelombang (cm-1) Gugus Fungsi


Senyawa isolat X Ahmed et al (2013) Bulama et al (2015)
3433.29 3421.72 3373.6 O-H
2923.52 2935.66 2940.7 C-H alifatik
2860.43 2866.22 2867.9
1654.92 1653.00 1641.6 C=C
1458.18 1458.18 1457.3 CH3
1373.32 1375.25 1381.6 CH2 siklik

Data serapan IR yang mengindikasikan keberadaan gugus fungsi diatas

diperkuat oleh data pergeseran kimia 1H-NMR dan 13C-NMR.

Gambar 7. Spektrum 13C-NMR senyawa isolat X

Pergeseran kimia karbon (δC, ppm) 13


C-NMR (gambar 7) dan DEPT 135

(lampiran xx) diperoleh data bahwa isolat X mempunyai 29 karbon terdiri dari 6
47

gugus metil (-CH3) pada pergeeseran kimia (δC, ppm) 19,23 ppm (C-19); 12,67 (C-

18); 18,97 (C-21), 12,06 (C-29), 19,60 (C-26); dan 19,22 (C-27). Ada 11 gugus

metilen (-CH2) yang mengarah kebawah pada spektrum DEPT 135, masing-masing

terletak pada daerah pergeseran kimia (δC, ppm) 42,48 (C-4); 39,96 (C-12); 37,45 (C-

1); 34,12 (C-22); 31,87 (C-2); 28,45 (C-16); 26,27 (C-23); 24,50 (C-15); 23,25 (C-

28); 31,87 (C-11); dan 20,01 (C-7). Ada 9 gugus metin (puncak DEPT 135 mengarah

ke atas) ditunjukkan pada pergeseran kimia (δC, ppm) 72,01 (C-3); 121,93 (C-6);

50,31 (C-9); 32,17 (C-8), 5,23 (C-14); 56,23 (C-17); 36,34 (C-20); dan 46,00 (C-24).

Gugus metun (karbon kuarterner) ditunjukkan pada pergeseran kimia (δC, ppm) 36,34

(C-10); 42,48 (C-13); dan 1 buah metun ikatan rangkap (-C=) pada (δC ppm)140,96

(C-5). (Tukiran et al, 2009).

Terdapat Peak pada pergeseran kimia (δC ppm) 140.96 ppm dan δC 121.92

ppm menunjukkan adanya C olifenik pada C-5 dan C-6, pergesaran kimia δC 72.02

ppm merupakan gugus karbon yang terikat dengan gugus hidroksil (C-OH) pada C-3

( Ahmed et al., 2013). Adanya gugus hidroksil ini didukung oleh spektrum IR dengan

serapan pada 3433.29 cm-1.


48

Gambar 8. Spektrum 1H-NMR senyawa isolat X

Pergeseran kimia H (δH, ppm) 1H-NMR (CDCl3, 500 MHz) gambar 8

menunjukkan adanya 6 gugus metil dengan multiplitas yang berbeda-beda

ditunjukkan pada pergeseran kimia (δH, ppm) 0,6758 (s, 3H); 0,8249 (m, 3H); 0,8483

(m, 3H), 0,8016 (m, 3H); 0,9235 (d, 3H), dan 1,0052 (s, 3H). Sebuah proton multiplet

pada δH 2,28 ppm dengan 3H yang merupakan pergeseran kimia khas untuk inti

steroid. Didukung adanya pergeseran kimia 1 proton multiplet pada δH 5,34 ppm

dengan 6H yang merupakan kerangka dari steroid (Bulama et al, 2015). Kemudian

pada pergeseran kimia δH, 1,9901 ppm menunjukkan adanya 2 proton multiplet yang

mengindikasikan adanya gugus metilen dan 2 proton multiplet dengan 2H pada δH

2,2842 ppm juga mengindikasikan adanya gugus metilen.

Spektrum menunjukkan pergeseran kimia (δH, ppm) 1,4970 dan 1,1948

dengan intensitas masing-masing 3H yang berikatan dengan 2 metil tersier pada C-18

dan C-18. Selain itu, adanya pergeseran kimia 1 proton multiplet dengan 1H pada δH
49

3,5399 ppm diduga gugus metin yang berikatan dengan dengan gugus hidroksi (-

OH). Adanya gugus hidroksil tersebut menyebabkan nilai pergeseran kimianya

menjadi downfield karena atom O yang bersifat elektromagnetik, maka terjadi

penarikan elektron oleh atom O. Akibatnya kerapatan elekton disekitar O membesar

sedangkan sekitar atom H kerapatan elektronnya mengecil sehingga tidak terlindungi.

Posisi downfield juga terjadi pada pergeseran kimia δH 5,3481 ppm menunjukkan

adanya 1 proton multiplet dengan intensitas 1H yang berikatan dengan gugus alkena

(-C=CH) (Rahman et al, 2009).


50

Tabel 10. Data pergeseran kimia 1H-NMR dan 13C-NMR senyawa isolat X
1 13
Posisi C H-NMR (δH, ppm) C-NMR(δC, ppm) Jenis karbon
1 37,45 CH2
2 31,82 CH2
3 3,53 (m, 1H) 72,01 HC-OH
4 42,48 CH2
5 140,96 Cq
6 5,34 (m, 1H) 121,93 C=CH
7 27,11 CH2
8 32,17 CH
9 50,31 CH
10 36,34 Cq
11 21,28 CH2
12 39,96 CH2
13 42,48 Cq
14 56,23 CH
15 24,50 CH2
16 28,45 CH2
17 56,23 CH
18 0,67 (s, 3H) 12,19 CH3
19 1,00 (s, 3H) 19,23 CH3
20 36,34 CH
21 0,92 (m, 3H) 18,97 CH3
22 34,12 CH2
23 26,27 CH2
24 46,00 CH
25 19,00 CH
26 0,83 (d, 3H) 29,31 CH3
27 0,79 (m, 3H) 19,22 CH3
28 23,35 CH2
29 0,84 (m, 3H) 12,06 CH3

Dari data 1H-NMR dan 13


C-NMR yang diperoleh, dapat diperkirakan rumus

molekul senyawa isolat X yaitu C29H50O dengan 1 ikatan rangkap yang berasal dari

gugus alkena dan sebuah gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom C-3. Data

tersebut memiliki kemiripan dengan senyawa β- sitosterol.


51

Tabel 11. Perbandingan data 1H-NMR dan 13C-NMR isolat dengan β- sitosterol

NO. δC Isolat δC β-sitosterol Posisi H δHIsolat δH β- sitosterol


C (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) (Ahmed,
(Ahmed,3013) 2013)
1 37,45 37,29 H-3 3,53 (m, 1H) 3,51 (m, 1H)
2 31,82 31,95 H-6 5,34 (m, 1H) 5,34 (m, 1H)
3 72,01 71,84 H-18 0,67 (s, 3H) 0,67 (s, 3H)
4 42,48 42,36 H-19 1,00 (s, 3H) 1,00 (s, 3H)
5 140,96 140,80 H-21 0,92 (m, 3H) 0,92 (m, 3H)
6 121,93 121,73 H-26 0,83 (d, 3H) 0,83 (d, 3H)
7 27,11 31,71 H-27 0,79 (m, 3H) 0,79 (m, 3H)
8 32,17 31,95 H-29 0,84 (m, 3H) 0,85 (m, 3H)
9 50,31 50,19
10 36,34 36,18
11 21,28 21,12
12 39,96 39,82
13 42,48 42,36
14 56,23 56,11
15 24,50 24,33
16 28,45 28,26
17 56,23 56,11
18 12,19 11,88
19 19,23 19,41
20 36,34 36,54
21 18,97 19,07
22 34,12 34,00
23 26,27 26,16
24 46,00 45,89
25 19,00 29,23
26 29,31 19,83
27 19,22 18,81
28 23,35 23,12
29 12,06 12,01

Perbandingan data di atas menunjukkan keidentikan spektrum 1H-NMR dan

C-NMR senyawa isolat dengan senyawa β-sitosterol yang telah diisolasi


13

sebelumnya. Dari data spektrometri IR, 1H-NMR, 13C-NMR, dan perbandigan


52

dengan senyawa β-sitosterol yang telah diisolasi menunjukkan keidentikkan serta

didukung data pengukuran GC-MS dengan berat molekul 414, senyawa isolat X dari

fraksi etil asetat daun M. fatua adalah β-sitosterol (Stigmast-5-en-3β-ol).

E. Uji Bioaktivitas Senyawa Isolat

1. Uji BSLT

Hasil uji BSLT senyawa β-sitosterol, hasil isolasi dari fraksi etil asetat daun

M. fatua dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 12. Hasil pengujian BSLT senyawa β-sitosterol

Sampel Konsentrasi Log M H AM AH Mortalitas LC50


(K) (μg/mL) K (μg/mL)
Kontrol 1 0.0 0 10 0 40 0.000
3 0.5 0 10 0 30 0.000
5 0.7 0 10 0 21 0.000
7 0.8 0 10 0 10 0.000
β-sitosterol 10 1.0 10 20 10 44 18.519 72.28
100 2.0 14 16 24 24 50.000
500 2.7 26 4 50 8 86.207
1000 3.0 26 4 76 4 95.000

Senyawa β-sitosterol memiliki daya toksisitas dengan nilai LC50 sebesar 72,28

μg/mL. Suatu senyawa menunjukkan aktivitas ketoksikan dalam BSLT jika ekstrak

dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji pada konsentrasi kurang dari 1000

μg/mL. Berdasarkan pernyataan di atas, maka senyawa I.2 bersifat toksik. Menurut

Restasari et al. (2009), suatu senyawa yangmemiliki harga LC50 antara 0-30 μg/mL

berpotensisebagai antikanker, LC50 antara 30-200 μg/mL berpotensi sebagai

antibakteri, sedangkan LC50 antara 200-1000 μg/mL berpotensi sebagai pestisida.


53

Berdasarkan keterangan tersebut, maka senyawa yang didapatkan diduga memiliki

potensi sebagai antibakteri.

2. Uji penghambatan enzim α-Glukosidase

Hasil uji senyawa β-sitosterol, hasil isolasi dari fraksi etil asetat daun M.

fatua terhadap penghambatan enzim α-glukosidase dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 13. Hasil uji penghambatan enzim α-glukosidase senyawa β- sitosterol

Sampel Konsentrasi Inhibisi (%) IC50 (μg/mL)


(μg/mL)
Kontrol Positif 0,781 12,231 5,67
1,562 29,457
3,125 43,411
6,25 51,125
12,5 58,753
β-sitosterol 3,125 -12,826
6,25 -8,094
12,5 -6,350
25 -0,872
50 -6,166

Berdasarkan tabel diatas senyawa β-sitosterol memiliki nilai IC50 xxxx yang

menunjukkan nilai yang jaug jauh dari kuersetin sebagai kontrol positif. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa senyawa β-sitosterol tidak aktif dalam menghambat enzim α-

glukosidase. Menurut Kim et al. (2005) Suatu zat dikatakan sangat aktif sebagai

inhibitor α-glukosidase jika nilai IC50 ≤ 25 μg/mL, aktif jika 25< IC50 ≤ 50, kurang

aktif jika 50< IC50 ≤ 100, dan tidak aktif jika nilai IC50>100 μg/mL. Hal tersebut

dikarenakan senyawa β-sitosterol hanya memiliki 1 gugus hidroksil yang terikat pada

atom C-3, sementara dalam proses penghambatan enzim α-glukosidase jumlah gugus
54

hidroksil mempengaruhi inhibisi (Indrianingsih et al., 2015). Berbeda dengan

kuersetin yang merupakan senyawa fenolik memiliki 4 gugus hidroksil.


55

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka dapat


disimpulkan bahwa :

1. Hasil Isolasi menggunakan teknik kromatografi kolom gravitasi (KKG) dengan

fase diam silika gel G.60, eluen campuran (n-heksana:etil asetat:metanol) secara

gradient, uji kromatografi lapis tipis (KLT) dan identifikasi menggunakan

spektrofotometer IR, GC-MS dan NMR 1-D (1H-NMR dan 13


C-NMR) serta

dengan membandingkan data dari pustaka, menunjukkan bahwa senyawa

metabolit sekunder yang berhasil diisolasi dari daun M. fatua Houtt adalah

senyawa β-sitosterol (Stigmast-5-en-3β-ol) dengan rumus struktur senyawa

C29H50O berbentuk kristal berwarna putih.

2. Uji toksisitas menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)

memperlihatkan bahwa fraksi n-heksana, fraksi etil asetat, dan fraksi butanol dari

ekstrak metanol daun M. fatua Houtt bersifat toksik terhadap larva udang A.

salina Leach dengan nilai LC50 secara berturut-turut adalah 153,108 μg/mL; 83,75

μg/mL; 100,93 μg/mL. Uji toksisitas senyawa isolat terhadap larva udang A.

salina memperlihatkan senyawa bersifat toksik, diperoleh nilai LC50 sebesar 72.28

μg/mL.

3. Uji aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase secara in vitro dai fraksi etil

asetat dan fraksi butanol daun M. fatua Houtt memiliki nilai IC50 sebesar 12,21
56

μg/mL dan 11,73 μg/mL yang menunjukkan nilai penghambatan. Uji aktivitas

senyawa isolat tidak menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap enzim α-

glukosidase yang disebabkan karena struktur molekul senyawa yang hanya

memiliki 1 gugus hidroksil.

B. Saran

Untuk mendukung data penelitian ini , hendaknya dilakukan penelitian lebih

lanjut dengan melakukan isolasi dan karakterisasi senyawa aktif sehingga tanaman

pala hutan M.fatua Houtt dimungkinkan untuk menjadi fitofarmaka penyakit diabetes

mellitus tipe 2.
57

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. (1997). Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit


Andi, Yogyakarta.

Ahmed, Y., Rahman, S., Akhtar, P., Islam, F., Rahman, M., and Yakoob, Z., 2013.
Isolation of steroids fromm n-hekxane extract of the leaves of saurauia
roxburghii. IFRJ,20(5), 2939-2943.

Anwar C., Purwono, B., Paranomo, H., D., Wahyuningsih, dan Tutik, D., 1994,
Penuntun Praktikum Kimia Organik. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Arrijani. 2005. Biologi dan konservasi marga myristica di Indonesia. Biodiversitas


6(2):147-151.

Barceloux DG. 2009. Nutmeg (Myristica fragrans Houtt.). Dis Moon 55: 373-379.

Brahmachari, G., 2011, Bio- Flavonoids With Promising Antidiabetic Potentials: A


Critical Survey, Research Signpost., 2, 187-212

Bulama, JS., Dangoggo, SM., and Mathias, SN., 2015. Isolation and characterization
of Beta-Sitosterol from ethyl acetat extract of root bark of Terminalia. IJSRP,
5(3), 2250-3153.

Cheng, A.Y.Y., and Josse, R.G. (2000). Intestinal Absorption Inhibitor for Type 2
Diabetes Mellitus: Prevention and Ttreatment. Drug Discovery Today:
Therapeutic Strategies., 1(2), 201-206.

Chiba, S. 1997. Reviewer : Molecular Mechanism in Alpha-gligosidase and


glucoamylase. Bioscience Biotechnology Biochemistry., 61 (8): 1233-1239

Christopher, M.K. and Van Holde, K.E. (1980). Biochemistry 2nd. Toronto: The
Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc., 471-475.
Chung, J.Y., Choo, J.H., Lee, M.H., Hwang J.K., 2006. Anticarsiogenic activity of
Macelignans Isolated from Myrisica fragnans (nutmeg) Againts Streptococcus
mutans.. Phytomedicine., 13, 261-266.

Dewi, R.T., Tachibana, S., Darmawan, A., 2012. Antidiabetic and Antioxidative
Activities of Butyrolactone I from Aspergillus terreus MC751. International
Scholarly and Scientific Research & Innovation, 6(10), 929-934.
58

Duke JA, 2004. Phytochemical and Ethnobotanical Database, USDA-ARS-NGRL.


Beltsville Agricultural Research Center, Beltsville, Maryland.

de Guzman, C.C. and J.S. Siemonsma. 1999. Plant Resources of South East Asia No.
13: Spices. PROSEA. 400 p.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes


Melitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Depkes RI, Jakarta.

Gunawan, H. dan Sugiarti. 2013. MEKONGGA: Harapan Baru Bagi Pelestarian


Keragaman Hayati Sulawesi. Makalah disampaikan pada Seminar Ilmiah
Nasional Ekologi dan Konservasi, Makassar 20-21 November 2013,
diselenggarakan atas kerjasama antara TN. Bantimurung Bulusaraung dengan
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Gritter Rj., bobit JM., Syhwarting AE., 1991. Pengantar Kromatografi. Terjemahan
Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung.

Gandjar, G.H., dan Rohman, A., (2007). Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumuhan. Penerbit ITB, Bandung.

Hartono. 2009. Gegrafi 2 jelajah bumi dan Alam Semesta. Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Helen, Mary P.A., Tina Ann V., Jeeja Kumari., Abiramy M.R., Sajina N., Jaya Sree.,
2012. Photochemical analysis and anticancer activity of essential oil fro
Myristica fragnans. IJCPR., 2(4), 188-198.

Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid 3. Yayasan Sarana Wana Jaya,
Jakarta

Heinrich, M. 2004. 2004. Fundamental of Pharmacognosy and Phtotheraphy.


Penerbit Elsevier, Phladelpia.

Hostettman, K., Maerston., Hostettman M., 1995. Preparative Chomatoghrapy


Technique : Applicatian in Natural Poduct Isolation. Penerbit ITB. Bandung.
59

Indrianingsih, AW., Tachiban, S., Dewi, RT., Itoh, K., 2015. Antioxidant and α-
glucosidase inhibitor activities of natural compounds isolated from Qurcus
gilva Blume leaves. APJTB, 5(9), 722-728.
Jamal, Y., dan Agusta, A., 2004. Komposisi Kimia Minyak Atsiri Pala Wegio
(Myristica fatua Houtt). Berita Biologi., 7(3), 155-158.

Kandowangko NY, Solang M, Ahmad J. 2011. Kajian etnobotani tanaman obat oleh
masyarakat Kabupaten Bonebolango Provinsi Gorontalo. Laporan Penelitian.
Universitas Negeri Gorontalo.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Situasi Analisis Diabetes. Infodatin, Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Krishnaraju, A.V., Rao, T.V.N., Sundararaju, D., Vanisree, M., Tsay, H-S.,
Subbaraju, G.V. (2006). Biological Screening of Medicinal Plants Collected
from Eastern Ghats of India Using Artemia salina (Brine Shrimp Test).
International Journal of Applied Science and Engineering., 4(2), 115-125.
Khopkar, S. M., 2003, Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia. Jakarta.

Kim, K.Y., Nam, H., and Kim, S.M.. 2008. Potent α-glucosidase inhibitors purified
from the red alga Grateleupia elliptica. Phytochemistry, 69, 2820-2825.

Kim,Y.M., Jeong, Y.K., Wang, M.H., Lee, W.Y., and Rhee, H.I. (2005). Inhibitory
Effect of Fine Extract on a Glucosidase Activity and Postprandial
Hyperglycemia. Nutrition. 21: 756–761.

Kumar dan Padmanabha., 2014. A Comparative Study of the Anti Diabetic Effect of
Oral Administration of Cinnamon, Nutmeg and Peppermint in Wistar Albino
Rats. IJHRS., 4 (2), 61-67.

Kusumaningrum, G.S., Suranto., Ratna, Setyaningsih., 2003. Aktivitas Penghambatan


Minyak Atsiri dan Ekstrak Kasar Biji Pala (Myristica fragnans Houtt dan
Myristica fattua Houtt) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Xantomonas
campestris oamml asal Tanaman Brokoli. Biofarmasi., 1(1), 20-24.

Lau, Harper, W., A. Hanna, V. Woo, K.G. Dawson, J. François, L. MacCallum, M.


Clement, S. Simpson, dan M. Hopkins. 2008. Pharmacologic Management of
Type 2 Diabetes. Canadian Journal of Diabetes 32, 158–162.

Lenny, Sovia. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoida dan Alkaloida. Karya


Ilmiah. Medan: Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan, Universitas Sumatera Utara.
60

Li YQ, Zhou FC, Gao F, Bian JS, Shan F., 2009. Comparative evaluation of
quercetin, isoquercetin, and rutin as inhibitors of alpha-glucosidase. J Agric
Food Chem, 57: 11463-8.

Manjang, Y. 2004. Penelitian Kimia Organik Bahan Alam, Pelestarian


dan Perkembangan Melalui Tanah Agrowisata, Workshop Peningkatan
Sumber Daya Manusia Penelitian dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang
Berkelanjutan. Ditjen Dikti Depdiknas, Jakarta.

Mataputun, S.P., Rorong, J.A., Pontoh, J., 2013. Aktibitas Inhibitor α-Glukosidase
Ekstrak Kulit Batang Matoa (Pometia pinnata, Spp.) sebagai Agen
Antihiperglikemik. Jurnal MIPA UNSRAT online., 2(2), 11-123.

Manzano S, Williamson G., 2010. Polyphenols and phenolic acids from strawberry
and apple decrease glucose uptake and transport by human intestinal Caco-2
cells. Mol Nutr Food Res, 54, 1773–1780.

Meyer B.N., Ferrigni, N.R., Putnam, J.E., Jacobsen, L.B., Nichols, D.E., Mc
Laughlin, J.L. (1982). Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay for
Active Plant Constituents. Planta Medica., 45, 31-34.

Ncube, N.S., Afolayan, A.J. and Okoh, A.I. 2008. Assessment Techniques of
Antimicrobial Properties of Natural Compounds of Plant Origin: Current
Methods and Future Trends. African Journal of Biotechnology., 7 (12), 1797-
1806.
Patra,A., Jha, S., Murthy, P.N., Manik., and, Sharone, A., 2010. Isolation and
Characterization of stigmast-5-en-3β-ol (β-sitosterol) from the leaves of
Hygrophila spinosa T. Anders. IJPSR, 1(2), 95-100.

Perry LM dan J Metzger. 1980. Medicinal Plants of East and Southeast Asia
Attributed Properties and Uses. The MIT, London.

Perumal, S., Mahmud, R., Piaru, S.P., Cai, L.W. and Ramanathan, S., 2012. Potential
Antiradical Activity and Cytotoxycity Assesment of Ziziphus mauritiana and
Syzygium polyanthum. Int.J.Pharmacol., 8 (6), 535-541.

Pham, V.C., Akino Jossang., Thierry Sevent., Bernard Bodo., 2000. Cytotoxic
Acylphenolsfrom Myristica maingayi. Tetrahedron., 5(2000), 1707-1713.

R. Verpoorte, A. W. Alfermann (2000). Metabolic engineering of plant secondary


metabolisme. Springer., ISBN 978-0-7923-6360-6, 1-3
61

Rani, P., and Khullar, N., 2004. Anti Microbal Evaluation of Some Medicinal Plants
for Theit anti-enteric Potential Againts Multi-drugs Resistant Salmonella
typhi. Phytother.,18, 670-673.

Rahman,M. S.M., Mukta, ZA., Hossain, M.A., 2009. Isolation and characterization of
β-sitosterol-D-glycoside from petroleum extract of the leaves of Ocimun
sanctum L. As. J. Food Ag-Ind. 2(01), 39-43.

Restasari, A., D. Kusrini, & E. Fachriyah. 2009. Isolasi dan identifikasi Fraksi
Teraktif dari Ekstrak Kloroform Daun Ketapang (Terminalia catappa Linn).
FMIPA Kimia UNDIP. Semarang.

Rismunandar, 1990. Budidaya dan Tataniaga pala. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rouessac, Francic dan Rouessac, Annick., 2000. Chemical Analysis Modern


Instrumentation methods and Techniques. John Wiley & sons, LTD, England.

Roy J.G, James M.B, Arthur E.S., 1991, Pengantar Kromatografi, Edisi Kedua,
Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Sastrohamidjojo, H., 1985, Kromatografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Setiawan, Dalimarta. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1. Trubus


Agrawidya, Jakarta.

Silverstein, R.M. 2002. Penyelidikan Spektrometrik Senyawa Organik Edisi 4.


Terjemahkan Hartomo. Erlangga. Jakarta.

Stahl, E., 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Penerjemah :
Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung.

Sudjadi. 1983. Penetuan Struktur senyawa organik. fakultas Farmasi UGM, Ghalia
Indonesia, Bandung.

Suseno, Jatmaiko ndo., dan Firdausi, K Sifjan. 2008. Rancang bangun Spektroskopi
FTIR (Forier Transform Infrared) untuk Penentuan Kualitas Susu Sapi.
Berkala Fisika., 11(1), 23-28.

Talukdar A.C., Niveta Jain., Shantanu De., H.G. Krisnhamoorthy., 1999. An


Isoflavone from Myristica malabarica. Phytochemistry, 53(2000), 155-157
62

Tukiran., Hamdani, BE., Mahyudi, R., Syarief, S.H., Hidayati, N., 2009. Beberapa
Senyawa Hasil Isolasi dari Kulit Batang Tumbuhan Kedoya (Dysoxylum
gaudichadianum (A. Juss) Miq. (Meliaceae). Jurnal Ilmu Dasar, 10(2), 236-
244.

Van Gils C., Cox, PA. 1994. Ethnobotany of nutmeg in the Spice Islands. Journal of
Ethnopharmacology., 42, 117-124.
Watson, D.G. 2009. Analisis Farmasi : Buku ajar untuk mahasiswa farmasi dan
praktisi kini farmasi. Penerjemah : Winny R Syarief, Edisi Kedua. EGC,
Jakarta.
Wells, B.G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T.L., & DiPiro C.V., 2009.
Pharmcotherapy Handbook Edisi ke 7. McGraw-Hill: New York.
Widodo, N., 2007, Isolasi Dan Karakterisasi Senyawa Alkaloid Yang Terkandung
Dalam Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus), Jurusan Kimia Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
Wulandari. Y. 2009. Minuman Temulawak Sebagai Pangan Fungsional. Universitas
Padjadjaran. ITB Bandung
Zachariah, John T., N K Leela., K M Maya., J Rema., P A Mathew., T M Vipin.,
Krishnamoorthy., 2008. Chemical Composition of leaf oils of Myristica
beddomeii, Myristica fragnans, and Myristica malabaria. Journal of Spices
And Aromatik Crops., 7(1), 10-15.

Anda mungkin juga menyukai