Anda di halaman 1dari 7

Nama : M.

Andrie Nur Hakim


NIM : 170351616606

Paradigma Pendidikan IPA

Paradigma secara bahasa diartikan sebagai model, teori, persepsi, asumsi


atau kerangka acuan. Dalam pengertian lain, paradigma adalah sebuah teori tentang
bagaimana cara manusia (khususnya ilmuwan) melihat dunia. Pada akhirnya
paradigma dalam perspektif keilmuan didefinisikan sebagai sebuah teori, penjelasan
atau model tertentu untuk sesuatu yang berbau ilmiah (Sumarna, 2005).

Paradigma pendidikan IPA berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Dalam IPA yang
patut dikuasai tidak hanya mengenai fakta-fakta pengetahuannya saja, melainkan
juga penguasaan keterampilan metode ilmiah dan sikap ilmiah. Oleh sebab itu, dalam
pelaksanaan pendidikan IPA ditekankan agar peserta didik menguasai keterampilan
dan sikap ilmiah tersebut seakan-akan seluruh peserta didik disiapkan untuk menjadi
ilmuwan-ilmuwan yang menguasai IPA. Dengan cara ini, untuk memperoleh fakta-
fakta sebagai produk IPA dilakukan dengan cara yang sama dengan ilmuwan yang
pertama kali mengemukakan fakta tersebut, atau disebut learning science as science
is done (belajar sains seperti saat sains ditemukan). Teknologi yang memberikan
wawasan berpikir dan proses bersistem yang dibutuhkan dalam kehidupan
bermasyarakat (awam maupun ilmiah).

Dari sekian banyak permasalahan pendidikan saat ini, setidaknya ada tiga
permasalahan menonjol di pendidikan IPA. Pertama, pembelajaran IPA masih
terpengaruh oleh paradigma pendidikan lama, yaitu yang menempatkan guru sebagai
pusat dan siswa sebagai "gelas kosong" yang harus siap diisi sesuai kemampuan guru.
Permasalahan ini biasanya satu paket dengan permasalahah kedua, yaitu masih
berlangsungnya pematematikaan IPA. Dalam proses pembelajaran, biasanya siswa
duduk dengan manis, mendengarkan dan mencatat konsep konsep abstrak yang
disampaikan guru, tanpa bisa mengkritisi apa arti konsep itu. Lalu, konsep itu yang
biasanya sudah dalam bentuk persamaan matematika, diterapkan pada kasus kasus
khusus. Saat latihan, mereka mungkin bisa mengerjakan soal-soal yang setipe dengan
yang dicontohkan guru. Namun, pada saat ada soal yang membutuhkan pemahaman
konsep, mereka pun kesulitan dalam menyelesaikannya. Ini karena mereka bukan
belajar memahami konsep, tetapi mencatat konsep.

Konsekuensi lanjutannya adalah terjadinya proses alienasi siswa dari


lingkungannya. Siswa tidak paham untuk apa IPA itu dipelajari, karena konsep
konsep IPA yang mereka pelajari tidak bisa mereka terapkan dalam kehidupan sehari-
harinya. Dengan demikian, mempelajari IPA merupakan beban bagi mereka dan
akhirnya siswa pun merasa IPA merupakan momok yang menakutkan dalam
pembelajarannya. Banyak guru yang mematematikakan IPA beralasan pembelajaran
yang mengedepankan aspek induktif membutuhkan waktu banyak dan terkadang
muncul hal-hal yang di luar dugaan semula. Padahal, mestilah disadari bahwa dari
hal -hal yang tidak terduga itu biasanya pemahaman kita akan alam menjadi lebih
komprehensif.

Padahal, semestinya proses pembelajaran IPA dimulai dari mengamati


fenomena-fenomena alam secara terstruktur. Lalu menyimpulkan penyebab
fenomena-fenomena alam tersebut. Setelah itu, barulah memprediksikan fenomena
alam yang akan terjadi berdasarkan simpulan tadi. Dengan kata lain, proses
pembelajaran yang bersifat induktiflah yang ditekankan di sini, walaupun sifat
deduktif tidak diabaikan

IPA merupakan wahana untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,


sikap, dan nilai serta tanggungjawab sebagai seorang warga negara yang
bertanggungjawab kepada lingkungan, masyarakat, bangsa, negara yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. IPA berkaitan dengan cara mencari tahu
dan memahami tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya
penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-
prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA
diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan
alam sekitarnya.

Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung.


Karena itu, siswa perlu dibantu untuk mengembangkan sejumlah keterampilan proses
supaya mereka mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar. Keterampilan
proses ini meliputi keterampilan mengamati dengan seluruh indera, mengajukan
hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu
mempertimbangkan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan,
menafsirkan data dan mengkomunikasikan hasil temuan secara beragam, menggali
dan memilah informasi faktual yang relevan untuk menguji gagasan-gagasan atau
memecahkan masalah sehari-hari. Pada dasarnya, pembelajaran IPA berupaya untuk
membekali siswa dengan berbagai kemampuan tentang cara “mengetahui” dan cara
“mengerjakan” yang dapat membantu siswa untuk memahami alam sekitar secara
mendalam.

Sesuai hakikatnya, IPA adalah ilmu pengetahuan yang terdiri dari


sekumpulan konsep, prinsip, hukum, dan teori yang dibentuk melalui proses kreatif
yang sistematis melalui inkuiri yang dilanjutkan dengan proses observasi (empiris)
secara terus menerus. IPA menggambarkan upaya manusia yang meliputi aspek
mental, keterampilan, dan strategi memanipulasi dan menghitung, yang dapat diuji
kembali kebenarannya, serta dilandasi oleh sikap keingintahuan (curiosity),
keteguhan hati (courage), dan ketekunan (persistence) yang dilakukan oleh individu
untuk menyingkap rahasia alam semesta.

Pokok bahasan IPA adalah alam dengan segala isinya; hal–hal yang
dipelajari adalah sebab-akibat, atau hubungan kausal dari kejadian-kejadian yang
terjadi di alam. Karena aktivitas dalam IPA selalu berhubungan dengan percobaan-
percobaan yang membutuhkan keterampilan, kerajinan dan ketekunan, maka materi
dalam mata pelajaran ini tidak cukup diberikan sebagai kumpulan pengetahuan
tentang benda tak hidup dan makhluk hidup saja, tetapi menyangkut cara kerja, cara
berpikir, dan cara memecahkan masalah. Sebagaimana para ilmuwan IPA, siswa yang
belajar IPA diharapkan dapat menjadi tertarik untuk memperhatikan dan mempelajari
gejala dan peristiwa alam dengan selalu ingin mengetahui apa, bagaimana, dan
mengapa tentang gejala dan peristiwa tersebut, berikut hubungan kausalnya.

Pembelajaran IPA adalah aktivitas kegiatan belajar mengajar dalam


mengembangkan kemampuan bernalar, berpikir sistematis, dan kerja ilmiah, selain
kemampuan deklaratif yang selama ini dikembangkan. Hal ini berarti, belajar IPA
tidak hanya belajar dalam wujud pengetahuan deklaratif berupa fakta, konsep,
prinsip, hukum, tetapi juga belajar tentang pengetahuan prosedural berupa cara
memperoleh informasi, cara IPA dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan
keterampilan berpikir. Belajar IPA memfokuskan kegiatan pada penemuan dan
pengolahan informasi melalui kegiatan mengamati, mengukur, mengajukan
pertanyaan, mengklasifikasi, memecahkan masalah, dan sebagainya. Ciri utama yang
membedakan pelajaran IPA dengan kebanyakan mata pelajaran yang lain adalah
sifatnya yang menuntut siswa untuk terlibat di dalam kegiatan metode ilmiah, dan
dengan demikian mengembangkan sikap ilmiah. Esensi pembelajaran IPA adalah
keterampilan proses. Jelas bahwa hal ini menuntut perlunya pelajaran IPA didukung
oleh kegiatan-kegiatan percobaan dan pengamatan benda dan gejala alam yang dapat
memperjelas konsep-konsep yang ingin disampaikan.

Saat ini terdapat 3 hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
program dan pelaksanaan pembelajaran IPA, yaitu:

A. Pengembangan IPA menjadikan siswa menguasai kecakapan hidup


secara luas, bukan sekedar menyerap produk ilmu pengetahuan alam.
B. Proses pembelajaran IPA adalah penyediaan kesempatan pengalaman
belajar kepada siswa untuk membangun sendiri kompetensi-
kompetensi yang mendukung tercapainya penguasaan kecakapan
hidup (life skills).
C. Pembelajaran IPA dirancang agar siswa mengeksplorasi isu-isu
‘salingtemas’ di lingkungan kehidupan nyata.

Berdasarkan ketiga hal di atas implementasi pembelajaran IPA dapat


menggunakan metodologi pembelajaran yang sekarang popular yaitu pembelajaran
konstruktivis dan kontekstual. Pembelajaran kontekstual memandang siswa belajar
untuk membangun kecakapannya dalam konteks kehidupan nyata. Sebagai
metodologi, karena pembelajaran kontekstual juga mengimplementasikan metode-
metode tertentu.

Menurut teori kontekstual, pembelajaran terjadi hanya apabila para siswa


memproses informasi atau pengetahuan sedemikian rupa sehingga informasi itu
bermakna bagi mereka dalam kerangka acuan mereka sendiri. Kerangka itu
bersangkut paut dengan dunia memori, pengalaman dan respon. Kontekstual
berlangsung bila siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan
mengacu pada permasalahan riil yang bersangkut paut dengan peran dan tanggung
jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa maupun pekerja.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan suatu
konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas sedikit-demi sedikit, dan
dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam
kehidupannya sebagai anggota keluarga dan masyarakat(Made,2014).

Pendidikan berbasis kontekstual adalah pendidikan yang berbasis kehidupan


nyata. Berdasarkan konsep tersebut dapat diartikan bahwa pembelajaran IPA yang
berbasis kontekstual adalah pembelajaran IPA yang berada pada konteks kehidupan
alam nyata siswa. Pada konsep tersebut dapat dikembangkan beberapa prinsip yang
perlu diikuti dalam proses pembelajaran IPA (Susanto, 2004) yaitu;

1. Pembelajaran IPA erat kaitannya dengan pengalaman alam


kehidupan nyata. Pada pembelajaran IPA siswa memecahkan
masalah secara riil dan otentik, artinya materi itu ada dan
terjangkau oleh pengalaman nyata siswa.
2. Pada pendidikan IPA guru perlu menghubungkan bahan
ajar/kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan situasi nyata.
3. Pada pendidikan IPA pengetahuan yang diajarkan hendaknya
berhubungan erat dengan pengalaman siswa yang sesungguhnya.

Konsep-konsep materi pelajaran dalam pendidikan IPA seharusnya


ditemukan sendiri oleh siswa melalui kegiatan mereka dalam proses pembelajaran.
Dengan kegiatan ini, siswa mendapatkan pengalaman dan penghayatan terhadap
konsep-konsep yang diajarkan oleh guru. Selain untuk membuktikan fakta dan
konsep, hal ini juga mendorong rasa ingin tahu siswa secara lebih mendalam sehingga
cenderung untuk membangkitkan siswa mengadakan penelitian untuk mendapatkan
pengamatan dan pengalaman dalam proses ilmiah.

Selain itu, konsep-konsep materi dalam pembelajaran IPA seharusnya


ditekankan pada peranannya bagi kehidupan manusia yang sehari-hari bersinggungan
dengan kehidupan siswa. Misalnya, untuk mempelajari kehidupan jamur siswa
diminta untuk mengamati proses pembuatan tempe, budidaya jamur merang dan lain-
lain. Selain untuk menumbuhkan rasa penasaran siswa, juga dapat menumbuhkan
jiwa wirausaha. Dengan mempelajarinya siswa paling tidak memiliki keterampilan
mengenai usaha yang mungkin akan berguna di masa yang akan datang saat siswa itu
telah lulus. Dia tidak perlu lagi mengemis/mencari pekerjaan, melainkan dapat
berwirausaha membuka usaha sendiri. Contoh lain, misalnya ketika mempelajari
kerusakan lingkungan, siswa diminta untuk mengumpulkan informasi tentang
kerusakan lingkungan yang terjadi di lingkungannya baik dengan mengamati
langsung ataupun dari media massa. Setelah itu, dibuat dalam bentuk laporan tertulis
dan dipresentasikan di depan kelas. Dari satu kegiatan ini, siswa dapat memiliki
banyak keterampilan sekaligus, yaitu peka terhadap perubahan lingkungan,
mengamati, melaporkan, menulis, dan berkomunikasi lisan.

Oleh karena itu didalam proses belajar mengajar perlu adanya interaksi aktif
dari guru dan siswa dalam memahami suatu pengetahuan dan salah satu bentuk
interaksi tersebut yaitu dengan diterapkannya “Learning Cycle“ atau siklus
pembelajaran Sains. “Learning Cycle“ atau siklus pembelajaran merupakan suatu
proses/metode pembelajaran yang bertujuan secara tetap dengan tidak mengubah
secara spontan cara pandang seseorang terhadap suatu ilmu pengetahuan. Setiap
orang secara reflek mengetahui bagaimana cara pembelajaran yang efektif tanpa
menimbulkan berbagai kebingungan dan kekhawatiran dan hal inilah yang ditemukan
didalam ‘siklus pembelajaran’, untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan
mereka. Melalui siklus pembelajaran seseorang dituntut untuk dapat melakukan
eksplorasi, pengenalan suatu konsep dan dapat menerapkan dan mengaplikasikan
konsep ilmu pengetahuan secara utuh. Siklus pembelajaran merupakan suatu proses
pembelajaran yang berpijak pada teori/pengetahuan yang sudah diyakini oleh siswa
sebelumnya untuk menemukan teori/pengetahuan yang baru dicapai dalam unit yang
dimaksud. Teori /pengetahuan yang baru ini akan menjadi dasar /pijakan bagi
proses/siklus belajar berikutnya sehingga proses ini membentuk siklus spiral yang
terus menerus.

Di dalam siklus pembelajaran IPA, siswa harus benar-benar diberi


kesempatan untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan melalui pemahaman konsep
yang diketahui sebelumnya dan siswa diharapkan dapat menerapkan sikap ilmiahnya
dengan melaksanakan serangkaian percobaan atau kegiatan laboratorium sehingga
mereka dapat menemukan/membuktikan konsep dan istilah yang diperkenalkan oleh
guru secara utuh.

Melalui pendekatan inquiri dan eksperimen maka dapat memotivasi siswa


untuk melaksanakan penelitian ilmiah dan pendekatan ini juga cukup efektif
diterapkan untuk siswa yang kurang berpengalaman dalam melaksanakan penelitian
ilmiah. Melalui pendekatan tersebut maka dapat menambah pengalaman siswa dan
guru hanya sedikit memberikan arahan atau instruksi tentang variable yang akan
diteliti, selebihnya siswa yang mencari jawaban atas konsep yang diperkenalkan
sehingga siswa dapat berpikir tentang apa yang mereka lakukan dan siswa harus dapat
merumuskan tujuan dan membuat suatu keputusan tentang konsep dan dapat
mengaplikasikan konsep tersebut.
Daftar Pustaka

Wena, Made. 2014. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta Timur


: Bumi Aksara.
Sumarna, C. 2005. Rekonstruksi Ilmu: dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik
Rasional Teistik. Bandung:Penerbit Benang Merah.
Susanto, P. 2004. Pembelajaran Konstruktivis dan Kontekstual sebagai
Pendekatan dan Metodologi Pembelajaran Sains dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Seminar dan Workshop Calon Fasilitator
Kolaborasi FMIPA UM-MGMP MIPA Kota Malang. Malang

Anda mungkin juga menyukai