Disusun oleh :
Vania Puspitasari
G0005202
Pembimbing :
DR. dr. Noer Rachma, Sp.RM
I. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Brangkal 09/05 Wedi, Klaten
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal Masuk : 10 Februari 2010
Tanggal Periksa : 17 Februari 2010
No RM : 99 46 28
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama : Batuk
ROM Aktif
Regio Ekstremitas Inferior
Dextra Sinistra
Flexi 0-1350 0-1350
Extensi 0-300 0-300
Hip
Abduksi 0-450 0-450
Adduksi 45-00 45-00
Flexi 0-1300 0-1300
Knee
Extensi 0-50 0-50
Dorsoflexi 0-300 0-300
Ankle
Plantarflexi 0-300 0-300
Ekstremitas Inferior
Dex Sin
Fleksor M. Psoas mayor 5 5
Ekstensor M. Gluteus maximus 5 5
Hip
Abduktor M. Gluteus medius 5 5
Adduktor M. Adduktor longus 5 5
Fleksor Hamstring muscle 5 5
Knee
Ekstensor Quadriceps femoris 5 5
Dorso fleksi M. Tibialis 5 5
Ankle
Plantar fleksi M. Soleus 5 5
V. ASSESSMENT
Abses paru kanan e/c non spesifik dengan bekas TB.
VII. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Paru
1. Infus RL 20 tpm
2. Cefotaxim 1 g/12 jam
3. Gentamisin 2 amp/24 jam
4. Metronidazol 500 mg/8 jam
5. Ambroxol 30 mg 3 X 1
6. Vit B plex 3 X 1
7. Chest fisioterapi
VIII. PLANNING
Planning Diagnostik
Tes BTA 3 kali (-)
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
XI. GOAL
A. Memperbaiki keadaan umum sehingga mempersingkat perawatan
B. Meminimalkan impairment, disabilitas dan handicap yang dialami.
C. Semaksimal mungkin memperbaiki faal paru
D. Mencegah agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan atau
komplikasi yang lebih buruk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ABSES PARU
DEFINISI
Abses Paru diartikan sebagai kematian jaringan paru-paru dan
pembentukan rongga yang berisi sel-sel mati atau cairan akibat infeksi
bakteri. Lesi pada paru ini bersifat supuratif disertai nekrotisasi jaringan
didalamnya.
ETIOLOGI
Abses paru dapat terjadi,sebagai akibat lanjut dari : Aspirasi
Pneumonia, obstruksi bronkus oleh benda asing, tumor dan sekret atau
mukus, pneumonia bakterial, emboli paru, infark paru, trauma toraks.
Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia aspirasi
akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki
masalah periodontal (jaringan di sekitar gigi).
Sejumlah bakteri yang berasal dari celah gusi sampai ke saluran
pernafasan bawah dan menimbulkan infeksi. Tubuh memiliki sistem
pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya terjadi jika
sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan pada:
- seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar atau sangat mengantuk
karena pengaruh obat penenang, obat bius atau penyalahgunaan alkohol
- penderita penyakit sistem saraf.
Jika bakteri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh mekanisme
pertahanan tubuh, maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-
14 hari kemudian berkembang menjadi nekrosis (kematian jaringan), yang
berakhir dengan pembentukan abses. Mekanisme pembentukan abses paru
lainnya adalah bakteremia atau endokarditis katup trikuspidalis, akibat
emboli septik pada paru-paru.
Pada 89% kasus, penyebabnya adalah bakteri anaerob. Yang paling
sering adalah Peptostreptococcus, Bacteroides, Fusobacterium dan
Microaerophilic streptococcus. Organisme lainnya yang tidak terlalu sering
menyebabkan abses paru adalah:
- Staphylococcus aureus
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumoniae
- Klebsiella pneumoniae
- Haemophilus influenzae
- spesies Actinomyces dan Nocardia
- Basil gram negatif.
Penyebab non-bakteri juga bisa menyebabkan abses paru, diantaranya:
- Parasit (Paragonimus, Entamoeba)
- Jamur (Aspergillus, Cryptococcus, Histoplasma, Blastomyces,
Coccidioides
- Mycobacteria.
INSIDENS
Angka kejadian Abses Paru berdasarkan penelitian Asher et al tahun
1982 adalah 0,7 dari 100.000 penderita yang masuk rumah sakit hampir
sama dengan angka yang dimiliki oleh The Children’s Hospital of eastern
ontario Kanada sebesar 0,67 tiap 100.000 penderita anak-anak yang MRS.
Dengan rasio jenis kelamin laki-laki banding wanita adalah 1,6 : 1. Angka
kematian yang disebabkan oleh Abses paru terjadi penurunan dari 30 – 40 %
pada era preantibiotika sampai 15 – 20 % pada era sekarang.
PATOFISIOLOGI
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi
kemudian proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama
dimulai dari suppurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang
menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi
terjadi mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotik.
Suatu saat abses pecah, lalu jaringan nekrosis keluar bersama batuk, kadang
terjadi aspirasi pada bagian lain bronkus terbentuk abses baru. Sputumnya
biasanya berbau busuk, bila abses pecah ke rongga pleura maka terjadi
empyema.
Garry tahun 1993 mengemukakan terjadinya abses paru disebutkan
sebagai berikut :
a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita
dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak
parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus,
maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk kedalam parenkim paru
selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau
dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum)
misal abses hepar.
b. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis
dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan
supurasi. Pada penderita emphisema paru atau polikisrik paru yang
mengalami infeksi sekunder.
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses
abses paru.
Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang
sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-
kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe
peribronkial.
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru.
Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi
peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis
sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.
MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala klinis
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala
pneumonia pada umumnya yaitu:
a. Panas badan
Dijumpai berkisar 70% – 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai
dengan temperatur > 400C.
b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga
abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang
khas (40-75%).
c. Produksi sputum yang meningkat dijumpai berkisar 40 – 75% penderita
abses paru.
d. 50% kasus Nyeri dada
e. 25% kasus Batuk darah
f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat
badan.
Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup,
suara nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta
takikardi.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan
mikrobiologi dan data penyakit dasar penderita serta kondisi yang
mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa modalitas terapi
yang diberikan pada abses paru :
1. Medika Mentosa
Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada
era antibiotika maka tingkat kkematian dan prognosa abses paru
menjadi lebih baik.
Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini
dijumpai peningkatan Abses paru yang disebabkan oleh kuman
anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif anaerob). Maka bisa
dipikrkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan
penicillin G dengan clindamycin atau dengan Metronidazole, atau
kombinasi clindamycin dan Cefoxitin.
Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase
inhibitase, pada penderita dengan pneumonia nosokomial yang
berkembang menjadi Abses paru.
Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon
radiologis penderita. Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah
bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi diberikan antibiotika
minimal 2-3 minggu.
2. Drainage
Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15
menit diperlukan untuk mempercepat proses resolusi Abses paru.
Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan dengan bronkus
maka perlu dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.
3. Bedah
Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:
a. Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika.
b. Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
c. Infeksi paru yang berulang
d. Adanya gangguan drainase karena obstruksi.
Untuk penyembuhan sempurna diperlukan antibiotik, baik intravena
(melalui pembuluh darah) maupun per-oral (melalui mulut).
Pengobatan ini dilanjutkan sampai gejalanya hilang dan rontgen
dada menunjukkan bahwa abses telah sembuh. Untuk mencapai
perbaikan seperti ini, biasanya antibiotik diberikan selama 4-6
minggu. Pada rongga yang berukuran besar (diameter lebih dari 6
cm), biasanya perlu dilakukan terapi jangka panjang.
Perbaikan klinis, yaitu penurunan suhu tubuh, biasanya terjadi dalam
waktu 3-4 hari setelah pemberian antibiotik. Jika dalam waktu 7-10
hari setelah pemberian antibiotik demam tidak juga turun, berarti
telah terjadi kegagalan terapi dan sebaiknya dilakukan pemeriksaan
diagnostik lebih lanjut untuk menentukan penyebab dari kegagalan
tersebut.
Hal -hal yang perlu dipertimbangkan pada penderita yang
memberikan respon yang buruk terhadap pemberian antibiotik
adalah penyumbatan bronkial oleh benda asing atau tumor; atau
infeksi oleh bakteri, mikobakteri maupun jamur yang resisten.
2. Prognosa
RINGKASAN
Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material
purulent dan sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses
infeksi. Abses paru timbul karena faktor predisposisi seperti gangguan
fungsi imun karena obat-obatan, gangguan kesadaran (anestesi, epilepsi),
oral higine yang kurang serta obstruksi dan aspirasi benda asing.
Pada abses paru memberikan gejala klinis panas, batuk, sputum purulen dan
berbau, disertai malaise, naspu makan dan berat badan yang turun. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan takikardia, tanda-tanda konsolidasi. Pada
pemeriksaan foto polos dada didapatkan gambaran kavitas dengan air fluid
level atau proses konsolidasi saja bila kavitas tidak berhubungan dengan
bronkus.
Diagnosis pasti bila didapatkan biakan kuman penyebab sehingga dapat
dilakukan terapi etiologis.
Pemberian antibiotika merupakan pilihan utama disamping terapi bedah dan
terapi suportif fisioterapi.
DAFTAR PUSTAKA