Anda di halaman 1dari 20

1.

Cara Penimbangan Berat Badan dan Panjang / Tinggi Badan Bayi dan Balita
 BERAT BADAN
Ada 2 macam timbangan:
 Tipe Salter spring balance:
 Timbangan gantung (Posyandu)
 Maksimum berat 25 kg dengan ketelitian 100 g
 Tipe Bathroom scale:
 Untuk anak yang sudah bisa berdiri sendiri, atau
 Menimbang anak bersama ibunya
 Maksimum berat 100 kg dengan ketelitian 100 g
Cara pengukuran berat badan :
I. Anak bisa berdiri
1. Ketika alat timbang sudah menunjukkan angka 00.00 mintalah anak tersebut
untuk berdiri di tengah-tengah alat timbang.
2. Pastikan posisi badan anak dalam keadaan berdiri tegak, mata/kepala lurus ke
arah depan, kaki tidak menekuk. Pewawancara dapat membantu anak tersebut
berdiri dengan baik di atas timbangan dan untuk mengurangi gerakan anak yang
tidak perlu yang dapat mempengaruhi hasil penimbangan.
3. Setelah anak berdiri dengan benar, secara otomatis alat timbang akan
menunjukkan hasil penimbangan digital. Mintalah anak tersebut untuk turun dulu
dari timbangan dan pewawancara harus segera mencatat hasil penimbangan
tersebut.
II. Bayi/Anak belum bisa berdiri
1. Jika anak belum bisa berdiri, maka minta ibu/pengasuh untuk menggendong
tanpa selendang. Ketika alat timbang sudah menunjukkan angka 00.00 mintalah
ibu dengan menggendong sang anak untuk berdiri di tengah-tengah alat timbang.
2. Pastikan posisi ibu, badan tegak, mata lurus ke depan, kaki tidak menekuk dan
kepala tidak menunduk ke bawah. Sebisa mungkin bayi/anak dalam keadaan
tenang ketika ditimbang.
3. Setelah ibu berdiri dengan benar, secara otomatis alat timbang akan menunjukkan
hasil penimbangan digital. Mintalah ibu tersebut untuk turun dulu dari timbangan
dan pewawancara harus segera mencatat hasil penimbangan tersebut
4. Ulangi proses pengukuran, kali ini hanya ibu saja tanpa menggendong anak
5. BB anak = (Berat badan ibu dan anak) – BB ibu

 PANJANG / TINGGI BADAN


Ada 2 macam alat ukur:
 Baby length board:
 Untuk bayi dan anak kurang 2 tahun
 Mengukur crown-heel length dengan ketelitian 0,1 cm
 Vertical measures (microtoise):
 Untuk anak yang sudah bisa berdiri sendiri (2 tahun atau >)
 Mengukur tinggi badan dengan ketelitian 0,1 cm
Cara pengukuran panjang / tinggi badan :
a. Usia kurang dari 2 tahun :
1. Siapkan papan atau meja pengukur. Apabila tidak ada, dapat digunakan pita
pengukur (meteran)
2. Baringkan anak telentang tanpa bantal (supinasi), luruskan lutut sampai
menempel pada meja (posisi ekstensi)
3. Luruskan bagian puncak kepala dan bagian bawah kaki (telapak kaki tegak
lurus dengan meja pengukur) lalu ukur sesuai dengan skala yang tertera.
4. Apabila tidak ada papan pengukur, hal ini dapat dilakukan dengan cara
memberi tanda pada tempat tidur (tempat tidur harus rata/datar) berupa garis
atau titik pada bagian puncak kepala dan bagian tumit kaki bayi. Lalu ukur
jarak antara kedua tanda tersebut dengan pita pengukur.

b. Usia 2 tahun atau lebih :


1. Tinggi badan diukur dengan posisi berdiri tegak, sehingga tumit rapat,
sedangkan bokong, punggung dan bagian belakang kepala berada dalam satu
garis vertikal dan menempel pada alat pengukur.
2. Tentukan bagian atas kepala dan bagian kaki menggunakan sebilah papan
dengan posisi horizontal dengan bagian kaki, lalu ukur sesuai dengan skala
yang tertera.
2. Pengisian KMS (Status Gizi) dan Cara Pengkuran LILA

CARA PENGUKURAN LILA

 Tentukan lokasi lengan yang diukur. Pengukuran dilakukan pada lengan bagian kiri,
yaitu pertengahan pangkal lengan dan siku. Pemilihan lengan kiri tersebut dengan
pertimbangan bahwa aktivitas lengan kiri lebih pasif dibandingkan dengan lengan
kanan sehingga ukurannya lebih stabil.
 Lingkarkan alar pengukur pada lengan bagian atas seperti pada gambar ( dapat
digunakan pita pengukur). Hindari penekanan pada lengan yang diukur saat
pengukuran.
 Tentukan besar lingkar lengan sesuai dengan angka yang tertera pada pita pengukur
 Catat hasil pada KMS

Stunting

Balita pendek (Stunting) adala status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U
dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuan tersebut
berada pada ambang batas (Z-score) dari WHO. stunting dapat terjadi mulai janin masih
dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun.

Klasifikasi status gizi yang berdasarkan indikator tinggi badan per umur (TB/U).
I. Sangat pendek : Zscore < -3,0
II. Pendek : Zscore <-2,0 SD s/d ≥ -3,0
III. Normal : Zscore ≥ -2,0
Dan dibawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikatt TB/U
dan BB/TB.
I. Pendek kurus : Zscore TB/U <-2,0 dan Zscore BB/TB <-2,0
II. Pendek Normal : Zscore TB/U <-2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0
III. Pendek gemuk : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0

Ciri-ciri Stunting pada anak

3. Pengisian buku KIA


1. Kesehatan Ibu
- Ibu hamil
- Ibu bersalin
- Ibu nifas
- Keluarga berencana
- Catatan kesehatan ibu hamil
- Catatan kesehatan ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir
- Keterangan lahir
2. Kesehatan Anak
-catatan kesehatan bayi baru lahir atau neonatus
-catatan imunisasi anak
-catatan pertumbuhan dan perkembangan anak dan usia 29 hari - 6tahun
-kartu menuju sehat
Pemeriksaan stemulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang (SDIDTK)
4. Pengisian buku posbindu
1. Identitas
2. Kunjungan pertama (riwayat penyakitt tidak menular pada keluarga dan pada diri
sendiri)
3. kunjungan berkala (Faktor resiko perilaku penyakit tidak menular, dan hasil
pengukuran secara berkala dan tindak lanjut)

a. Cara menimbang berat badan


1. Digunakan pakaian biasa (usahakan dengan pakaian minimal), subjek tidak
menggunakan alas kaki.
2. Dikalibrasi alat yang akan digunakan sebelum pengukuran.
3. Dipastikan timbangan berada pada penunjukkan skala dengan angka 0,0.
4. Subjek berdiri di atas timbangan dengan berat yang tersebar merata pada
kedua kaki dan posisi kepala dengan pandangan lurus ke depan diusahakan
tetap tenang.
5. Dibaca berat badan dengan tampilan skala 0,1 kg terdekat.

b. Cara mengukur tinggi badan


1. Diposisikan subjek tetap di bawah mikcrotoice denga tidak mengenakan alas
kaki
2. Kaki rapat, lutut lurus, tumit, pantat, dan bahu menyentuh dinding vertikal.
3. Subjek dengan pandangan lurus ke depan, kepala tidak perlu menyentuh
dinding vertikal. Tangan lepas ke samping badan dengan telapak tangan
mengahadap paha.
4. Diminta subjek untuk menarik nafas panjang dan berdiri tegak tanpa
mengangkat tumit untuk membantu menegakkan tulang belakang usahakan
bahu tetap santai .
5. Ditarik mikcrotoice hingga menyentuh ujung kepala, dipegang secara
horizontal. Pengukuran tinggi badan di ambil pada saat menarik nafas
maksimum. Dengan mata pengukur sejajar dengan alat penunjuk angka untuk
menghindari kesalahan penglihatan . catatan tinggi badan pada skala 0.1 cm
terdekat.

c. Cara Pengukuran Lingkar perut :


1. Untuk pengukuran ini responden di minta dengan cara yang satuan untuk
membuka pakaian bagian atas dan raba tulang rusuk terakhir responden untuk
ditetapkan titik pengukuran.
2. Ditetapkan titik batas tepi tulang rusuk paling bawah.
3. Ditetapkan titik ujung lengkung tulang pangkal paha /panggul.
4. Ditetapkan titik tengah diantara titik tulang rusuk terakhir titik ujung lengkung
tulang pangkal paha /panggul dan tandai titik tengah tersebut dengan alat tulis.
5. Diminta responden untuk berdiri tegak dan bernafas dengan normal (ekspirasi
normal).
6. Dilakukan pengukuran lingkar perut dimulai/diambil dari titik tengan
kemudian secara sejajar horizontal melingkari pinggang dan perut kembali
menuju titik tengah di awal pengukuran.
7. Apabila responden mempunyai perut yang gendut kebawah, pengukuran
mengambil bagian yang paling buncit lalu terakhir pada titik tengah tersebut
lagi.

5. Pemeriksaan IVA
JADWAL IVA
 Program Skrining Oleh WHO :
1. Skrining pada setiap wanita minimal 1X pada usia 35-40 tahun
2. Kalau fasilitas memungkinkan lakukan tiap 10 tahun pada usia 35-55 tahun
3. Kalau fasilitas tersedia lebih lakukan tiap 5 tahun pada usia 35-55 tahun (Nugroho
Taufan, dr. 2010:66)
4. Ideal dan optimal pemeriksaan dilakukan setiap 3 tahun pada wanita usia 25-60 tahun.
5. Skrining yang dilakukan sekali dalam 10 tahun atau sekali seumur hidup memiliki
dampak yang cukup signifikan.
6. Di Indonesia, anjuran untuk melakukan IVA bila : hasil positif (+) adalah 1 tahun dan,
bila hasil negatif (-) adalah 5 tahun

SYARAT MENGIKUTI TEST IVA


1. Sudah pernah melakukan hubungan seksual
2. Tidak sedang datang bulan/haid
3. Tidak sedang hamil
4. 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual
PELAKSANAAN SKRINING IVA
 Untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat
sebagai berikut:
1. Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi.
2. Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi.
3. Terdapat sumber cahaya untuk melihat serviks
4. Spekulum vagina
5. Asam asetat (3-5%)
6. Swab-lidi berkapas
7. Sarung tangan

CARA KERJA IVA


1. Sebelum dilakukan pemeriksaan, pasien akan mendapat penjelasan mengenai
prosedur yang akan dijalankan. Privasi dan kenyamanan sangat penting dalam
pemeriksaan ini.
2. Pasien dibaringkan dengan posisi litotomi (berbaring dengan dengkul ditekuk dan
kaki melebar).
3. Vagina akan dilihat secara visual apakah ada kelainan dengan bantuan pencahayaan
yang cukup.
4. Spekulum (alat pelebar) akan dibasuh dengan air hangat dan dimasukkan ke vagina
pasien secara tertutup, lalu dibuka untuk melihat leher rahim.
5. Bila terdapat banyak cairan di leher rahim, dipakai kapas steril basah untuk
menyerapnya.
6. Dengan menggunakan pipet atau kapas, larutan asam asetat 3-5% diteteskan ke leher
rahim. Dalam waktu kurang lebih satu menit, reaksinya pada leher rahim sudah dapat
dilihat.
7. Bila warna leher rahim berubah menjadi keputih-putihan, kemungkinan positif
terdapat kanker. Asam asetat berfungsi menimbulkan dehidrasi sel yang membuat
penggumpalan protein, sehingga sel kanker yang berkepadatan protein tinggi berubah
warna menjadi putih.
8. Bila tidak didapatkan gambaran epitel putih padadaerah transformasi bearti hasilnya
negative.
KATEGORI IVA
 Menurut (Sukaca E. Bertiani, 2009) Ada beberapa kategori yang dapat dipergunakan,
salah satu kategori yang dapat dipergunakan adalah:
1. IVA negatif = menunjukkan leher rahim normal.
2. IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya (polip
serviks).
3. IVA positif = ditemukan bercak putih (aceto white epithelium). Kelompok ini yang
menjadi sasaran temuan skrining kanker serviks dengan metode IVA karena temuan
ini mengarah pada diagnosis Serviks-pra kanker (dispalsia ringan-sedang-berat atau
kanker serviks in situ).
4. IVA-Kanker serviks = Pada tahap ini pun, untuk upaya penurunan temuan stadium
kanker serviks, masih akan bermanfaat bagi penurunan kematian akibat kanker
serviks bila ditemukan masih pada stadium invasif dini (stadium IB-IIA).

PENATALAKSANAAN IVA
 Pemeriksaan IVA dilakukan dengan spekulum melihat langsung leher rahim yang
telah dipulas dengan larutan asam asetat 3-5%, jika ada perubahan warna atau tidak
muncul plak putih, maka hasil pemeriksaan dinyatakan negative. Sebaliknya jika leher
rahim berubah warna menjadi merah dan timbul plak putih, maka dinyatakan positif
lesi atau kelainan pra kanker.

 Namun jika masih tahap lesi, pengobatan cukup mudah, bisa langsung diobati dengan
metode Krioterapi atau gas dingin yang menyemprotkan gas CO2 atau N2 ke leher
rahim. Sensivitasnya lebih dari 90% dan spesifitasinya sekitar 40% dengan metode
diagnosis yang hanya membutuhkan waktu sekitar dua menit tersebut, lesi prakanker
bisa dideteksi sejak dini. Dengan demikian, bisa segera ditangani dan tidak
berkembang menjadi kanker stadium lanjut.

 Metode krioterapi adalah membekukan serviks yang terdapat lesi prakanker pada suhu
yang amat dingin (dengan gas CO2) sehingga sel-sel pada area tersebut mati dan
luruh, dan selanjutnya akan tumbuh sel-sel baru yang sehat (Samadi Priyanto. H,
2010)
 Kalau hasil dari test IVA dideteksi adanya lesi prakanker, yang terlihat dari adanya
perubahan dinding leher rahim dari merah muda menjadi putih, artinya perubahan sel
akibat infeksi tersebut baru terjadi di sekitar epitel. Itu bisa dimatikan atau
dihilangkan dengan dibakar atau dibekukan. Dengan demikian, penyakit kanker yang
disebabkan human papillomavirus (HPV) itu tidak jadi berkembang dan merusak
organ tubuh yang lain.

6. Cara pengisisan laporan PE

Cara pelaporan wabah :

1. Petugas Surveilans melaporkan kepada Kepala Puskesmas bahwa ada peningkatan kasus

2. Puskesmas melakukan P.E. (Penyelidikan Epidemiologi)

3. Pemegang Program bersama-sama dengan Kepala Puskesmas dan Kepala Desa memimpin
Penyelidikan Wabah

4. Puskesmas membuat laporan

5. Diteruskan ke Dinas Kes. Kabupaten

6. Kepala Dinas Kes. Kab. bersama dg Ka Seksi P2PL melapor dan melakukan advocacy kepada Bupati

7. Bupati mengadakan pertemuan dengan Ka Dinas Kes, Bappeda, Sektor terkait untuk
menentukan anggaran Pengendalian Wabah

LAPORAN MASYARAKAT KE PUSKESMAS :


 Yang boleh melapor, semua masyarakat dewasa yang sehat,
 Nama laporan: Laporan kewaspadaan.
 Isi Laporan : Penderita/tersangka penderita; waktu kejadiannya; gejala/tanda-tanda
penyakit tersebut.
 Pembuatan/penyampaian laporan : dalam jangka waktu 24 jam setelah mengetahui
adanya penderita/ tersangka penderita KLB.
 Sarana pelaporan: formulir bebas (tidak ditentukan bentuknya), telepon,
telegram,radio, kurir, lisan.
 Pembuat laporan: perorangan, pamong desa/polisi, dokter praktek swasta, Puskesmas
Pembantu, Pemerintah/swasta, instansi, pemerintah/ swasta, kader, LSM, dan lainlain.
Sebelum dilakukan pelaporan kedinas kesehatan akan dilakukan penyelidikan
epidimiologi oleh puskesmas setempat
 Penyelidikan epidimiologi ini dilakukan Dari hasil pengamatan ataspencatatan
kejadian penyakit menular ternyata memberikan kecurigaan adanya KLBdi
suatu lokasi;
 Adanya kasus keracunan (baik makanan maupun pestisida)
 Bila ada laporan kewaspadaan ke Puskesmas yang diterima dari masyarakat.

7. Imunisasi
BCG

Kontraindikasi
• Bayi HIV positif dgn/tanpa gejala
• Bayi status HIV ? dng gejala HIV, ibu HIV +
• Keganasan (e.g leukemia, limfoma)
• Imunodefisiensi primer/sekunder
• Dapat imunisupresif *radio/kemoterapi, steroid)

• Reaksi > 2 minggu


• Bengkak, warna merah, Ø  10 mm
2. Hepatitis B
Reaksi normal
• 2 – 3 minggu kemudian  abses  ulcus  sembuh
sendiri  parut ( scar )

• Partikel permukaan antigen virus hepatitis B


• Reaksi < 2 minggu • rekombinan DNA sel ragi, tidak infeksius
Reaksi cepat • Sudah pernah terinfeksi tbc
• Dianjurkan diberikan dalam umur 12 jam, setelah vit K1
• Sudah pernah imunisasi BCG
• Kontra indikasi : alergi pada komponen vaksin (sangat
• Bengkak, merah, Ø >10 mm abses besar dan dalam : jarang)
• Strain vaksin / virulensi • Penyimpanan : 2 – 8 º C, uji kocok
Reaksi berat • Suntikan subkutan • Penyuntikan : intramuskular paha anterolateral, jangandi
• Dosis lebih gluteal
• Infeksi sekunder
• KIPI
• Axilla, supraclavicular – Reaksi lokal : kemerahan, nyeri, bengkak, demam ringan 2 hari.
Pembengkakan
• Ø < 2 cm, tidak melekat ke kulit  tak perlu diobati – Reaksi sistemik : mual muntah, nyeri kepala, nyeri otot, sendi
kel. Limf regional
• Abses  fistel  ulcus  parut (sikatrik)

3. Polio
(OPV=oral polio vaccine) Vaksin Polio Injeksi
(Injectable / Inactivated Polio Vaccine = IPV)

• Virus polio mati


• Virus hidup, dilemahkan • Kekebalan di mukosa usus : sedikit
– Virus poliomielitis tipe 1, 2, 3 strain Sabin
• Penyimpanan (sebelum dibuka): • Tidak digunakan selama dicurigai masih ada
– dalam suhu - 20ºC potensi sampai 2 thn transmisi virus polio liar
– dlm suhu 2 – 8ºC potensi sampai 6 bulan • Tidak ada risiko VAPP dan VDPP
• Setelah dibuka simpan dlm suhu 2 – 8ºC • Penyimpanan :
– potensi hanya sampai 7 hari – dlm suhu 2 – 8ºC stabil 3 thn (OPV 6 bln)
• Tidak beku, ada sorbitol • Serokonversi IPV > OPV (Kenya)
• Cara pemberian: polio 0: oral • Sudah digunakan di negara maju
polio 1,2,3 dan booster : OPV atau IPV sejak 2002
(minimal 1x IPV)
• Sedang diare : boleh divaksin, 4 minggu
kemudian beri 1 dosis sebagai dosis tambahan
4. Vaksin Difteri, Tetanus dan Pertusis
5. Vaksin Campak
• Difteria dan tetanus : toksoid dimurnikan
• Pertusis : bakteri mati, teradsorbsi dlm Al fosfat
• Tiap 1ml :40 Lf toksoid difteria, 24 OU pertusis, 15 Lf • Virus hidup dilemahkan, jangan kena sinar matahari
toksoid tetanus, Al fosfat 3 mg, thimerosal 0,1 mg. • Vaksin kering : simpan < 0º C atau < 8ºC, lebih baik minus 20
• Simpan dan transportasi dalam 2 – 8ºC, jangan dalam º C. Pelarut tidak boleh beku.
freezer • Setelah dilarutkan, dlm suhu 2 – 8ºC maksimum 8 jam
• Tiap 0,5 ml mengandung
• Kocok sampai homogen, bila ada gumpalan atau
– 1000 u virus strain CAM 70
endapan jangan digunakan – 100 mcg kanamisin, 30 mg eritromisin
• Indikasi kontra • Dosis 0,5 ml, subkutan, di deltoid lengan atas
- Riwayat anafilaksis
– Ensefalopati pasca DPT sebelumnya

6.Vaksin MMR (Trimovax®, MMR II ®)


Campak
• Virus campak Schwarz hidup dilemahkan dlm embrio ayam
• Data • Virus gondong Urabe dibiak dlm telur ayam
– umur 10-12 th : 50% titer antibodi di atas • Virus rubela Wistar dibiak pada sel deploid manusia
ambang pencegahan
– umur 5-7 th : 29,3% pernah menderita • PFS, vial, simpan 2 - 8º C,
campak walaupun pernah diimunisasi
• BIAS: ulangan campak saat masuk SD • Subkutan atau intra muskular
• Program: reduksi campak • Kontra indikasi
imunodepresi, hamil, pasca imunoglobulin, transfusi darah
• KIPI: Demam lebih dari 39,50C yang terjadi (tunda 6 – 12 minggu), alergi neomisin, kanamisin
pada 5-15% kasus, demam mulai dijumpai
pada hari ke 5-6 setelah imunisasi dan • Tidak ada bukti sahih berkaitan dgn Autisme
berlangsung selama 2 hari. Dapat
merangsang terjadinya kejang demam

MMR
• KIPI: malaise, demam atau ruam yang
sering terjadi 1 minggu setelah imunisasi
yang berlangsung selama 2-3 hari,
meningoensefalitis, trombositopenia
• Diperlukan untuk catch-up measles,
membentuk antibodi terhadap mumps
(gondongan), dan rubela
• MMR-2 diberikan sebelum pubertas
8. LROA
Layanan Rehidrasi Oral Aktif (LROA) merupakan salah satu bentuk layanan di
puskesmas yang didirikan sebagai upaya dalam meningkatkan pengetahuan, serta
membangun sikap dan perilaku positif masyarakat tentang diare, pecegahan dan
penanggulangannya

Pemberian oralit mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah. Bila
tidak tersedia, berikan lebih banyak cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, kuah
sup, sari buah, air teh, dan air matang. Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak), penderita
harus segera dibawa ke petugas/fasilitas kesehatan.
Cara Menyiapkan Oralit:
 Cuci tangan sebelum menyiapkan.
 Lihat kemasan dan masa berlaku oralit.
 Siapkan 1 gelas (200 cc) air matang.
 Gunting ujung pembungkus oralit.
 Masukkan seluruh isi oralit kedalam gelas yang berisi air tersebut, aduk hingga bubuk
oralit larut.
 Siap untuk diminum.
Cara Memberikan Oralit:
Anak umur <1 tahun diberikan 50-100 cc cairan oralit setiap kali buang air besar
(BAB). Anak umur >1 tahun diberikan 100-200 cc cairan oralit setiap kali BAB.

9. Tes kebugaran untuk anak sekolah


1. Tes Kebugaran Jasmani Untuk Sekolah Dasar
1.1 Tes Kesegaran Jasmani untuk Sekolah Dasar kelas 1,2 dan 3, yaitu :
a. Lari cepat 30 meter
b. Angkat tubuh (pull-up) 30 detik
c. Baring duduk (sit-up) 30 detik
d. Loncat tegak (Vertical jump)
e. Lari 600 meter

1.2 Tes Kesegaran Jasmani untuk Sekolah Dasar kelas 4,5 dan 6
a. Lari cepat 40 meter
b. Angkat tubuh (pull-up) 30 detik
c. Baring duduk (sit-up) 30 detik
d. Loncat tegak (vertical jump)
e. Lari 600 meter

2. Tes Kebugaran Jasmani untuk Sekolah Menengah Pertama


Butir-butir tesnya adalah :
a. Lari cepat 50 meter
b. Angkat tubuh (pull-up) ( 30 detik untuk puteri, 60 detik untuk putra)
c. Baring duduk (sit-up) 60 detik
d. Loncat tegak (vertical jump)
e. Lari 800 meter untuk putrid dan 1000 meter untuk putra

3. Tes Kebugaran Jasmani untuk tingkat Sekolah Menengah Atas


Butir-butir tesnya, terdiri dari :
a. Lari cepat 60 meter
b. Angkat tubuh (pull-up) ( 30 detik untuk puteri, 60 detik untuk putra)
c. Baring duduk (sit-up) 60 detik
d. Loncat tegak (vertical jump)
e. Lari 800 meter untuk putri dan 1000 meter untuk putra

Nilai Tes Kesegaran Jasmani Indonesia


Umur 10 s.d 12 tahun putra

Gantung Baring Loncat


Lari 40 Lari 600
Nilai Siku tekuk Duduk Tegak
meter meter
( dedik ) ( 30” ) Cm
5 Sd- 6.3” 51” keatas 23 keatas 46 keatas Sd 2’.09”
4 6.4”- 6.9” 31”- 50” 18- 22 38- 45 2’.10”- 2’.30”
3 7.0”- 7.7” 15”- 30” 12- 17 31- 37 2’.31”- 2’.45”
2 7.8”- 8.8” 5”- 14” 4- 11 24- 30 2’.46”- 3’.44”
1 8.9”- dst 4”- dst 0- 3 23 dst 3’.45” dst
(Sumber Depdikbud, 1995:28 )

Tabel Norma Nilai Tes Kesegaran Jasmani Indonesia

No Jumlah Klasifikasi Katagori


Nilai
1 22- 25 Baik BS
Sekali
2 18- 21 Baik B
3 14- 17 Sedang S
4 10- 13 Kurang K
5 6- 9 Kurang KS
Sekali
(Sumber Depdikbud, 1995:28 )

Norma Tes Kesegaran Jasmani Indonesia

Item Tes
Jumlah
Kesegaran Identifikasi
Nilai
Jasmani
Lari 40m 22-25 Baik sekali

Gantung siku (BS)

tekuk 18-21 Baik

Baring duduk (B)

Lompat tegak 14-17 Sedang


(S)
Lari 600m
10-13 Kurang
(K)

6-9 Kurang sekali


(KS)

(Sumber: Depdiknas, 2003: 25)

10. Cara penulisan resep nasional


 Nama dokter
 Nama pasien
 Umur pasien
 Alamat pasien
 Berat badan pasien
 Nama obat
 Jumlah obat
 Cara pemberian obat
 Dosis obat
 Bentuk sedian obat
 Resipe
 Sikna

11. Cara penyuluhan yang benar

1. Mengkaji kebutuhan kesehatan masyarakat.

2. Menetapkan masalah kesehatan masyarakat.

3. Memprioritaskan masalah yang terlebih dahulu ditangani melalui penyuluhan kesehatan


masyarakat.
4. Menyusun perencanaan penyuluhan
- Menetapkan tujuan
- Penentuan sasaran
- Menyusun materi / isi penyuluhan
- Memilih metoda yang tepat
- Menentukan jenis alat peraga yang akan digunakan
- Penentuan kriteria evaluasi.

5. Pelaksanaan penyuluhan

6. Penilaian hasil penyuluhan

7. Tindak lanjut dari penyuluhan

12. Pemantauan Jentik


Program kajian yaitu dengan melakukan survei jentik pada rumah-rumah warga.
Jumantik kepanjangan dari Juru Pemantau Jentik merupakan seorang petugas khusus yang
secara sukarela mau bertanggung jawab untuk melakukan upaya pemantauan jentik nyamuk
DBD Aedes Aegypti di wilayah-wilayah dengan sebelumnya melakukan pelaporan ke
kelurahan atau puskesmas terdekat. Tugas dari Jumantik pada saat memantau wilayah –
wilayah diantaranya :
1. Menyambangi rumah-rumah warga untuk cek jentik.
2. Mengecek tempat penampungan air dan tempat yang dapat tergenang air bersih
apakah ada jentik dan apakah sudah tertutup dengan rapat. Untuk tempat air yang
sulit dikuras diberi bubuk larvasida (abate).
3. Mengecek kolam renang serta kolam ikan agar bebas dari keberadaan jentik
nyamuk.
4. Membasmi keberadaan pakaian/kain yang tergantung di dalam rumah.

Pemantauan jentik nyamuk dilakukan satu kali dalam seminggu, pada waktu pagi hari,
apabila diketemukan jentik nyamuk maka jumantik berhak untuk memberi peringatan kepada
pemilik rumah untuk membersihkan atau menguras agar bersih dari jentik-jentik nyamuk.

Selanjutnya jumantik wajib membuat catatan atau laporan untuk dilaporkan ke


kelurahan atau puskesmas terdekat dan kemudian dari Puskesmas atau kelurahan dilaporkan
ke instansi terkait atau vertikal. Selain petugas Juru Pemantau Jentik (Jumantik), tiap-tiap
masyarakat juga wajib melakukan pengawasan/pemantauan jentik di wilayahnya (self
Jumantik) dengan minimal tekhnik dasar 3M Plus, yaitu; Menguras, menutup, mengubur.
Untuk mengetahui kepadatan vektor nyamuk pada suatu tempat, diperlukan survei yang
meliputi survei nyamuk, survei jentik serta survei perangkap telur (ovitrap). Data-data yang
diperoleh, nantinya dapat digunakan untuk menunjang perencanaan program pemberantasan
vektor. Dalam pelaksanaannya, survei dapat dilakukan dengan menggunakan 2 metode
(Depkes RI, 2005), yakni :
1. Metode Single Larva

Survei ini dilakukan dengan cara mengambil satu jentik disetiap tempat-tempat yang
menampung air yang ditemukan ada jentiknya untuk selanjutnya dilakukan identifikasi lebih
lanjut mengenai jenis jentiknya.
2. Metode Visual

Survei ini dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya larva di setiap tempat genangan
air tanpa mengambil larvanya.

Setelah dilakukan survei dengan metode diatas, Terdapat beberapa indikator yang
mengindikasikan suatu kepadatan jentik nyamuk. Indikator-indikator tersebut antara lain
House Index (HI), Kontainer Index (CI) dan Breteau Index (BI).

sebagai berikut:
1. House Index (HI) adalah jumlah rumah positif jentik dari seluruh rumah yang
diperiksa.

Jumlah rumah yang positif jentik


HI = X 100 %
Jumlah rumah yang diperiksa

2. Container Index (CI) adalah jumlah kontainer yang ditemukan larva dari seluruh
kontainer yang diperiksa

Jumlah kontainer yang positif jentik


CI = X 100 %
Jumlah kontainer yang diperiksa

3. Breteu Index (BI) adalah jumlah kontainer dengan larva dalam seratus rumah.

Jumlah kontainer yang positif jentik


BI = X 100 %
100 rumah yang diperiksa

Anda mungkin juga menyukai