Anda di halaman 1dari 13

BEBERAPA ASPEK PENILAIAN TERHADAP KUALITAS PROGRAM BERITA TELEVISI

Sofia Aunul
Fakultas Ilmu Komunikasi, Program Studi Penyiaran, Universitas Mercu Buana
Jl. Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat 11650. Telp 021-5840816.
e-mail: sophie_aunul@yahoo.com

Abstract
For some years phenomenon has shown that TV news program ratings tend to be
affected by the purpose of purely commercial as shown in some news coverage that it is
likely to be not proportional and even sensational. Sometimes TV news programs do the
dramatization: inaccurate news selection, or even violate journalism principles in order to
attract audiences. This situation can lead to misleading . One of important things in mass
media study is the effort in giving assessment to mass media performance. This writing is to
assess news quality, especially TV news, based on Denis McQuail’s perspective. McQuail
proposes a framework in giving assessment to mass media news content in five categories
as follow: diversity, freedom, equality, reality portrayal and news objectivity.
Keyword: TV News, Assessment, Performance

Abstrak
Fenomena belakangan ini menunjukkan program berita televisi cenderung terpengaruh
rating yang tujuannya adalah semata-mata komersil. Tidak mengherankan beberapa
program berita cenderung menyajikan berita secara tidak proporsional dan bahkan
sensasional. Program berita TV ada kalanya melakukan dramatisasi berlebihan, pemilihan
berita yang tidak tepat, dan bahkan kerap melanggar prinsip-prinsip jurnalistik demi
menarik perhatian penonton. Kondisi ini jika berlangsung terus tentunya akan menghasilkan
pembodohan masyarakat. Salah satu topik penting dalam studi mengenai media massa
adalah upaya memberikan penilaian (assesment) secara ilmiah terhadap kualitas kerja
(performance) media massa. Tulisan ini mencoba memberikan penilaian terhadap kualitas
berita, khususnya berita televisi, berdasarkan pandangan Denis McQuail (2000). Dalam hal
ini McQuail mengajukan suatu kerangka kerja dalam memberikan penilaian terhadap
kualitas isi berita media yang terbagi atas lima kriteria yaitu: keragaman, kebebasan,
kesetaraan, gambaran realitas dan objektivitas berita.
Kata kunci: Beita TV, Penilaian, Kualitas Kerja

PENDAHULUAN
Pemberlakuan Undang-undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 pada dasarnya memiliki
sejumlah tujuan mulia yaitu, antara lain, upaya untuk melakukan diversifikasi kepemilikan
(diversity of ownership), terwujudnya keberagaman isi atau program siaran (diversity of
content), munculnya kearifan lokal, dan adanya prinsip kesetaraan (equality) dalam
pemberitaan. Namun hingga saat ini apa yang ingin dicapai undang-undang tersebut
tampaknya masih belum dapat diwujudkan.
Belakangan ini, masyarakat melihat banyak hal penting yang patut untuk digarisbawahi
yaitu sejumlah peristiwa yang menyangkut perkembangan pers dan media di Indonesia.
Perkembangan paling menonjol adalah adanya kecenderungan konsolidasi berbagai
kekuatan politik dan ekonomi dimana kepemilikan media, khususnya televisi, makin
mengerucut di tangan segelintir orang saja.
Perkembangan ini menimbulkan pertanyaan terhadap kelangsungan dari prinsip
keragaman kepemilikan dan keragaman isi media. Apakah prinsip ini dalam kondisi
terancam ketika kepemilikan terhadap media makin mengerucut di tangan sejumlah kecil
pemilik? Apakah kelompok usaha yang menaungi sejumlah stasiun televisi akan mampu
menawarkan keragaman isi medianya?
Jika kita menengok ke belakang, sejak pemerintah mendirikan stasiun televisi pertama
TVRI maka selama 27 tahun penonton televisi di Indonesia hanya dapat menonton satu
saluran televisi saja. Siaran TVRI dilakukan pertama kali pada tahun 1962 dengan
menayangkan secara langsung upacara hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia
ke-17 pada tanggal 17 Agustus 1962. Siaran langsung itu masih terhitung sebagai siaran
percobaan.
Siaran resmi TVRI baru dimulai pada 24 Agustus 1962 jam 14.30 WIB yang menyiarkan
secara langsung upacara pembukaan Asian Games ke-4 dari stadion utama Gelora Bung
Karno.1 Setelah bertahun-tahun masyarakat hanya dapat menonton satu stasiun televisi,
barulah pada tahun 1989, pemerintah memberikan izin operasi kepada kelompok usaha
Bimantara untuk membuka stasiun televisi RCTI yang merupakan stasiun televisi swasta
pertama di Indonesia, disusul kemudian dengan pembukaan stasiun televisi SCTV,
Indosiar, ANTV dan TPI.
Gerakan reformasi pada tahun 1998 telah memicu lebih cepat perkembangan industri
media massa khususnya televisi. Seiring dengan itu, kebutuhan masyarakat terhadap
informasi juga semakin bertambah. Menjelang tahun 2000 muncul hampir secara serentak
lima stasiun televisi swasta baru (Metro, Trans, TV-7, Lativi dan Global) serta beberapa
televisi daerah yang saat ini jumlahnya mencapai puluhan stasiun televisi lokal. Tidak
ketinggalan muncul pula televisi berlangganan yang menyajikan berbagai program dalam
dan luar negeri.
Setelah undang-undang penyiaran disahkan pada tahun 2002 (UU 32/2002), jumlah
televisi baru di Indonesia terus bertambah yang terbagi dalam empat kategori yaitu televisi
swasta, publik, berlangganan dan komunitas. Kini penonton televisi Indonesia telah memiliki
banyak pilihan untuk menikmati berbagai program siaran televisi.
Televisi merupakan salah satu medium terfavorit bagi para pemasang iklan di Indonesia.
Media televisi merupakan industri yang padat modal, padat teknologi dan padat sumber
daya manusia. Industri penyiaran saat ini telah mencapai tingkat persaingan yang tajam.
Stasiun televisi menayangkan berbagai program hiburan seperti film, musik, kuis, talk show
dan sebagainya. Dari berbagai program televisi tersebut, program berita merupakan
program yang memiliki fungsi khusus bagi suatu stasiun televisi.
Program berita menjadi identitas khusus, dan bagi stasiun daerah menjadi identitas
lokal. Dengan demikian stasiun TV tanpa program berita akan menjadi stasiun tanpa
identitas. Saat ini, dua dari 11 stasiun TV yang melakukan siaran secara nasional
mengkhususkan diri untuk menayangkan berita. Metro TV dan TV One bahkan menyatakan
diri sebagai stasiun televisi berita.
Salah satu bentuk tanggungjawab stasiun TV adalah menyajikan program berita kepada
masyarakat secara bertanggungjawab. Menayangkan program berita merupakan bentuk
kewajiban dan tanggung jawab pengelola TV sebagai pengguna gelombang udara
(frekuensi) publik yang terbatas kepada masyarakat. Program berita membutuhkan reporter
atau jurnalis untuk menjalankannya, maka dari sini muncul jurnalistik televisi sebagai salah
satu cabang ilmu di bidang komunikasi.
Menayangkan berita kepada khalayak penonton (publik) tidaklah mudah seperti
tampaknya karena pekerjaaan sebagai jurnalis TV harus dipandu oleh moral dan etika
berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan. Program berita TV tidaklah sama dengan
program hiburan lainnya seperti sinetron, musik, reality show dan program hiburan lainnya

1 Mila Day, Buku Pinter Televisi, Penerbit Trilogos Library, Jakarta, 2004. Hal 16.
yang sangat berorientasi pada laporan peringkat program (rating) untuk menarik pemasang
iklan.
Namun sayangnya, berdasarkan pengamatan sementara belakangan ini, beberapa
program berita televisi menunjukkan kecenderungan terpengaruh rating yang tujuannya
adalah semata-mata komersil sebagaimana program hiburan. Tidak mengherankan
beberapa program berita cenderung menyajikan berita secara tidak proporsional dan
bahkan sensasional. Program berita TV ada kalanya melakukan dramatisasi berlebihan,
pemilihan berita yang tidak tepat, dan bahkan kerap melanggar prinsip-prinsip jurnalistik
universal demi menarik perhatian penonton. Kondisi ini jika berlangsung terus menerus
tentunya akan menghasilkan pembodohan masyarakat.
Salah satu topik penting dalam studi mengenai media massa adalah upaya untuk
memberikan penilaian (assesment) secara ilmiah terhadap kualitas kerja (performance)
media massa, dalam hal ini program berita TV. Serangkaian pertanyaan muncul di benak
kita: Seberapa baikkah kualitas program berita TV saat ini? Parameter atau indikator apa
yang dapat kita gunakan untuk mengukur kualitas program berita? Bagaimana cara
mengukur kualiats dimaksud dan sebagainya?
Penilaian terhadap kualitas berita TV dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Dalam hal ini
McQuail (2000) mengajukan suatu kerangka kerja dalam memberikan penilaian terhadap
kualitas media (framework for assesment) yang terbagi atas lima kriteria yaitu: 1)
keragaman berita (diversity); 2) kebebasan media (freedom); 3) kesetaraan (equality); 4)
gambaran realitas dan; 5) objektivitas berita.2 Tulisan ini bertujuan memberikan analisa
terhadap tingkat kinerja (performance) atau kualitas program berita TV berdasarkan
pandangan McQuail.
Kualitas berita TV dapat dinilai berdasarkan, misalnya, prinsip keragaman berita
(diversity) yaitu upaya media untuk menyajikan berita yang lengkap dengan menggunakan
prinsip keadilan (fairness). Dalam hal ini, prinsip keadilan atau fairness dinilai berdasarkan
pada principle of proportional representation (prinsip keterwakilan secara proporsional).
Media harus menyajikan berita secara proporsional berdasarkan topik-topik yang relevan
bagi masyarakat, atau dengan kata lain pemberitaan TV harus mampu mencerminkan
keragaman kebutuhan atau minat audien terhadap berita.
Keragaman merupakan isu penting terutama dalam konteks Indonesia yang memiliki
masyarakat beragam yang mencakup berbagai macam aspek, baik itu budaya, suku, ras,
etnis, agama, dan seterusnya. Keragaman tadi sayangnya seringkali diabaikan oleh media
massa. Dapat kita lihat secara sekilas bahwa media massa di Indonesia acap kali tidak
memberikan ruang yang cukup dalam memberitakan kelompok-kelompok minoritas, dan
kalaupun ada bagaimana mereka membahasakan dan membingkai keragaman tadi
dirasakan kurang adil.
Selain keragaman berita, prinsip penting lainnya adalah prinsip kesetaraan. Prinsip ini
menegaskan bahwa dalam hubungan dengan kekuasaan politik, prinsip kesetaraan tidak
menghendaki adanya perlakuan khusus terhadap pemangku kekuasaan politik. Prinsip
kesetaraan juga menghendaki adanya akses yang sama antara pihak penguasa dan pihak
oposisi. Perbedaan pandangan atau perspektif harus dihargai dan harus diberi akses yang
sama terhadap media, artinya media harus memberitakan perbedaan pandangan tersebut
secara berimbang. Selain itu, media harus memberikan perlakuan yang sama terhadap
rekan bisnis yaitu para pemasang iklan, misalnya tingkat pembayaran dan syarat yang
sama. Kesetaraan menuntut prinsip-prinsip pasar yang wajar harus dijalankan dengan
bebas dan adil.

2 Denis McQuail, McQuail's Mass Communication Theory, 4th Edition, Sage Publication, London. Hal 166.
ANALISIS
Banyak sekali definisi yang dibuat orang tentang berita atau news. Andrew Boyd (2001)
dalam bukunya Broadcast Journaslim memuat sejumlah definisi mengenai berita. Ia antara
lain mengutip definisi dari Ben Bradlee yang menyebutkan News is the first rough draft of
history (berita adalah rancangan kasar pertama mengenai sejarah). Boyd juga mengutip
definisi dari Freda Morris dari stasiun TV NBC yang menyatakan News is the immediate, the
important, the thing that have impact on our live (berita adalah hal yang segera atau
penting, hal yang memiliki dampak pada kehidupan kita).3
Pandangan lain dikemukakan oleh Charles Dana mengenai berita bahwa When dog bites
a man, that is not news, but when a man bites a dog, that is news (ketika anjing menggigit
manusia, itu bukan berita, tetapi ketika manusia menggigit anjing itu baru berita) atau
definisi dari Arthur McEwen yang menyatakan bahwa "News is anything that makes a reader
say "Gee Whiz!" (berita adalah segala hal yang membuat pembaca mengatakan "astaga!"). 4
Berbagai definisi tentang berita tersebut sebenarnya dapat diringkas atau
disederhanakan bahwa berita adalah segala informasi yang penting dan/atau menarik bagi
khalayak audien.5 Dalam hal ini, penting bagi kita untuk menentukan tolok ukur atau
standar yang lebih kurang sama mengenai apa yang dimaksud dengan kata 'penting' dan
'menarik' itu. Hal ini diperlukan agar kita tidak terjebak menggunakan standar kita masing-
masing.
Manusia pada dasarnya memiliki sifat ingin tahu yang besar. Mereka ingin tahu apa yang
terjadi di tengah masyarakat. Pengelola program berita TV dapat mengeksplorasi rasa ingin
tahu orang ini untuk menarik sebanyak mungkin audien melalui berbagai jenis programnya.
Jenis program TV pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitu program hiburan
(sinetron, film, musik, dll) dan program informasi.
Program informasi di televisi, sesuai dengan namanya, memberikan banyak informasi
untuk memenuhi rasa ingi tahu penonton terhadap sesuatu hal. Program informasi adalah
segala jenis siaran yang tujuannya untuk memberikan tambahan pengetahuan (informasi)
kepada khalayak audien. Daya tarik program ini adalah informasi, dan informasi itulah yang
‘dijual’ kepada audien. Dengan demikian, program informasi tidak hanya melulu program
berita dimana presenter atau penyiar membacakan berita tetapi segala bentuk penyajian
informasi termasuk juga talk show (perbincangan) misalnya wawancara dengan artis, orang
terkenal atau dengan siapa saja. Program informasi dapat dibagi menjadi dua bagian besar
yaitu berita keras (hard news) dan berita lunak (soft news).
Berita keras atau hard news dapat didefinisikan sebagai "new and important information
about events of significance"6 (informasi penting dan baru mengenai peristiwa yang
berarti). Definisi lain dari berita keras adalah segala informasi penting dan/atau menarik
yang harus segera disiarkan oleh media penyiaran karena sifatnya yang harus segera
ditayangkan agar dapat diketahui khalayak audien secepatnya.7 Peran televisi sebagai
sumber utama hard news bagi masyarakat cenderung untuk terus meningkat. Stasiun TV
adalah media yang paling cepat dalam menyiarkan berita kepada masyarakat. Dalam
berita-berita mengenai konflik, televisi menjadi medium informasi yang paling dipercaya.
Hal ini disebabkan televisi menyajikan gambar yang menjadi bukti yang tak terbantahkan.
Stasiun televisi besar biasanya menyajikan program berita beberapa kali dalam satu
hari, misalnya pada pagi, siang, petang dan tengah malam. Bahkan ada televisi yang

3 Andrew Boyd, Broadcast Journalism: Techniques of Radio and Television News, Fifth Edition, Focal
Press, 2001. Hal 18.
4 Andrew Boyd, Broadcast Journalism, Ibid.
5 Morissan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Prenada Media, Jakarta, 2008. Hal 7-10. Lihat juga Horea

Salajan, Russell Peasgood, Imelda Reynolds, ABC Paket Berita TV, PJTV-Internews Indonesia, Desember
2001.
6 Andrew Boyd, Broadcast Journalism, OpCit, Hal 68.
7 Morissan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Prenada Media, 2008. Hal 25.
menyajikan program berita dalam setiap jam walaupun durasinya cukup singkat (kurang
dari 5 menit). Media televisi biasanya menyajikan berita keras secara reguler yang
ditayangkan dalam suatu program berita.
Berita keras disajikan dalam suatu program berita yang berdurasi mulai dari beberapa
menit saja (misalnya breaking news) hingga program berita yang berdurasi 30 menit,
bahkan satu jam. Suatu program berita terdiri atas sejumlah berita keras atau dengan kata
lain suatu program berita merupakan kumpulan dari berita keras. Dalam hal ini berita keras
dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk berita yaitu: straight news, features dan
infotainment.
Straight news berarti berita ‘langsung’ (straight), maksudnya suatu berita yang singkat
(tidak detail) dengan hanya menyajikan informasi terpenting saja yang mencakup 5W + 1H
(who, what, where, when, why dan how) terhadap suatu peristiwa yang diberitakan. Berita
jenis ini sangat terikat waktu (deadline) karena informasinya sangat cepat basi jika
terlambat disampaikan kepada audien.
Program berita dapat menampilkan berita-berita ringan misalnya informasi mengenai
tempat makan yang enak atau tempat liburan yang menarik, dan berita semacam ini
disebut feature. Dengan demikian, feature adalah berita ringan namun menarik. Pengertian
‘menarik’ disini adalah informasi yang lucu, unik, aneh, menimbulkan kekaguman dan
sebagainya. Pada dasarnya berita-berita semacam ini dapat dikatakan sebagai softnews
karena tidak terlalu terikat dengan waktu penayangan, namun karena durasinya singkat
(kurang dari lima menit) dan ia menjadi bagian dari program berita maka feature masuk ke
dalam kategori hard news.
Namun ada kalanya suatu feature terkait dengan suatu peristiwa penting, atau dengan
kata lain terikat dengan waktu, dan karena itu harus segera disiarkan dalam suatu program
berita. Feature semacam ini disebut dengan news feature yaitu sisi lain dari suatu berita
straight news yang biasanya lebih menekankan pada sisi human interest dari suatu berita.
Misalnya, suatu peristiwa besar yang penting biasanya memiliki sisi human interest yang
dapat disajikan dalam suatu laporan terpisah. Sebagai contoh, peristiwa sidang umum MPR
selain menampilkan berbagai berita straight news setiap harinya (misalnya terpilihnya
presiden baru), juga menyajikan berita features misalnya cerita mengenai kesibukan atau
suka duka panitia mempersiapkan persidangan atau cerita mengenai para pedagang
dadakan atau hadirnya tukang pijat yang muncul di kompleks gedung MPR.
Kata ‘infotainment’ berasal dari dua kata yaitu information yang berarti informasi dan
entertainment yang berarti hiburan, namun infotainment bukanlah berita hiburan atau
berita yang memberikan hiburan. Infotainment adalah berita yang menyajikan informasi
mengenai kehidupan orang-orang yang dikenal masyarakat (celebrity), dan karena
sebagian besar dari mereka bekerja pada industri hiburan seperti pemain film/sinetron,
penyanyi dan sebagainya maka berita mengenai mereka disebut juga dengan infotainment.
Infotainment adalah salah satu bentuk berita keras karena memuat informasi yang harus
segera ditayangkan. Program berita reguler terkadang menampilkan berita mengenai
kehidupan selebritis yang biasanya disajikan pada segmen akhir suatu program berita.
Namun dewasa ini infotainment disajikan dalam program berita sendiri yang terpisah dan
khusus menampilkan berita-berita mengenai kehidupan selebritis.
Berita lunak atau soft news adalah segala informasi yang penting dan menarik yang
disampaikan secara mendalam (indepth) namun tidak bersifat harus segera ditayangkan.
Berita yang masuk kategori ini ditayangkan pada satu program tersendiri di luar program
berita. Program yang masuk ke dalam kategori berita lunak ini adalah: magazine, current
affair, dokumenter dan talk show.
Current affair adalah program yang menyajikan informasi yang terkait dengan suatu
berita penting yang muncul sebelumnya namun dibuat secara lengkap dan mendalam. Dari
namanya, pengertian current affair adalah ‘persoalan kekinian.’ Dengan demikian current
affair cukup terikat dengan waktu dalam hal penayangannya namun tidak seketat hard
news, batasannya adalah bahwa selama isu yang dibahas masih mendapat perhatian
khalayak maka current affair dapat disajikan. Misalnya program yang menyajikan cerita
mengenai kehidupan masyarakat setelah ditimpa bencana alam dahsyat, misalnya gempa
bumi atau tsunami.
Magazine adalah program yang menampilkan informasi ringan namun mendalam atau
dengan kata lain magazine adalah feature dengan durasi yang lebih panjang. Diberi nama
magazine karena topik atau tema yang disajikan mirip dengan topik-topik atau tema yang
terdapat dalam suatu majalah (magazine). Magazine ditayangkan pada program tersendiri
yang terpisah dari program berita. Magazine lebih menekankan pada aspek menarik suatu
informasi ketimbang aspek pentingnya. Suatu program magazine dengan durasi 30 menit
atau satu jam dapat terdiri atas hanya satu topik atau beberapa topik.
Dokumenter adalah program informasi yang bertujuan untuk pembelajaran dan
pendidikan namun disajikan dengan menarik. Misalnya program dokumenter yang
menceritakan mengenai suatu tempat, kehidupan atau sejarah seorang tokoh atau
kehidupan atau sejarah suatu masyarakat (misalnya suku terasing) atau kehidupan hewan
di padang rumput dan sebagainya. Gaya atau cara penyajian dokumenter sangat beragam
dalam hal teknik pengambilan gambar, teknik editing dan teknik penceritaannya; mulai dari
yang sederhana hingga yang tersulit. Suatu program dokumenter ada kalanya dibuat
seperti membuat sebuah film sehingga sering disebut dengan film dokumenter.
Program talk show atau perbincangan adalah program yang menampilkan satu atau
beberapa orang untuk membahas suatu topik tertentu yang dipandu oleh seorang pembawa
acara (host). Mereka yang diundang adalah orang-orang yang berpengalaman langsung
dengan peristiwa atau topik yang diperbincangkan atau mereka yang ahli dalam masalah
yang tengah dibahas.

Kualitas Berita
Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal, salah satu topik penting dalam studi
mengenai media massa adalah upaya untuk memberikan penilaian (assesment) secara
ilmiah terhadap kualitas kerja (performance) media massa, dalam hal ini program berita TV.
Serangkaian pertanyaan muncul di benak kita; seberapa baikkah kualitas program berita TV
kita, hal apa yang dapat kita gunakan sebagai ukuran atau indikator kualitas program berita
sebagai baik atau buruk, bagaimana cara mengukur kualitas dimaksud dan sebagainya?
Penilaian terhadap kualitas pemberitaan TV dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Dalam
hal ini McQuail (2000) mengajukan suatu kerangka kerja dalam memberikan penilaian
terhadap kualitas media (framework for assesment) yang terbagi atas empat kriteria yaitu:
1) kebebasan media (media freedom); 2) kesetaraan media (media equality) 3) keragaman
berita (diversity); 4) objektivitas berita, dan 5) gambaran realitas. 8 Kita akan meninjau
masing-masing kriteria tersebut

Kebebasan Media. Kebebasan media telah menjadi faktor terpenting dalam menilai atau
mengukur kualitas pemberitaan media massa. Sebagaimana dikemukakan McQuail bahwa
kebebasan media merupakan prinsip dasar dari setiap teori mengenai komunikasi publik.
Kebebasan media juga menjadi sumber manfaat media massa lainnya. Kebebasan media
mengacu terutama pada hak-hak untuk menyatakan sesuatu secara bebas (free expression)
dan kebebasan dalam membentuk opini (the free formation of opinion).9
Namun demikian untuk dapat mewujudkan kekebasan media harus terdapat akses bagi
masyarakat menuju ke berbagai saluran informasi dan juga kesempatan untuk menerima
berbagai jenis informasi. Dalam hal ini, kebebasan komunikasi memiliki dua aspek yaitu:

8 Denis McQuail, McQuail's Mass Communication Theory, 4th Edition, Sage Publication, London. Hal 318-
324.
9 McQuail, McQuail's Mass Communication Theory, Ibid, hal 166
pertama, media dalam pemberitaannya harus dapat menyajikan informasi yang mewakili
berbagai suara atau pandangan yang beragam dan; kedua, memberikan tanggapan
terhadap berbagai keinginan atau kebutuhan yang beragam.
Dalam hal ini, menurut McQuail, kriteria yang dapat kita jadikan tolok ukur dalam
menilai kebebasan media adalah:10
 Tidak adanya praktek sensor, perijinan atau berbagai bentuk kontrol oleh pemerintah
sehingga tidak menghambat hak masyarakat untuk menerbitkan atau menyebarluaskan
berita dan opini dan tidak adanya kewajiban untuk mempublikasikan sesuatu yang tidak
dikehendaki untuk dipublikasikan (kriteria yang sangat tegas).
 Hak yang sama bagi seluruh masyarakat untuk menerima secara bebas dan
mendapatkan akses ke sumber-sumber berita, opini, pendidikan dan budaya (juga sangat
tegas).
 Kebebasan bagi media untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber yang relevan
(kurang tegas). Dalam arti bahwa sumber-sumber yang relevan juga punya hak untuk
menolak
 Tida adanya pengaruh tersembunyi dari pemilik media atau pemasang iklan dalam hal
pemilihan berita dan opini (kurang tegas, karena sulit diukur).
 Kebijakan redaksi berita yang aktif dan kritis dalam menyampaikan berita dan opini
(sesuatu yang diinginkan tetapi bersifat pilihan).

Gambaran Realitas. Pada masa lalu, yaitu pada masa sebelum berkembangnya teknologi
media massa, sebagian besar informasi yang ingin diketahui individu mengenai masyarakat
relatif masih terbatas. Kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi dari berbagai sumber yang
letaknya tidak terlalu jauh dari lingkungan hidup masyarakat. Namun pada era modern
dewasa ini, perkembangan masyarakat telah menjadi semakin kompleks dan muncul situasi
saling ketergantungan diantara berbagai kelompok masyarakat yang letaknya saling
berjauhan.
Kehidupan masyarakat sering kali sangat terpengaruh dengan berbagai kekuatan
ekonomi dan politik yang letaknya jauh di luar lingkungan komunitasnya. Kita dapat
mengatakan bahwa sebagian besar peristiwa di dunia berada di luar jangkaun kita, dan
karenanya informasi yang kita peroleh harus diperantarai (mediated) oleh media massa
yang menyampaikan informasi kepada kita.
Media massa memiliki posisi sangat strategis dalam membangun gambaran realitas
dunia di kepala setiap orang. Hal ini menimbulkan pertanyaan seberapa tepat media massa
dapat memberikan gambaran mengenai realitas dunia kepada masyarakat. Isi media bisa
jadi menggambarkan apa yang terjadi di dunia, tetapi media akan memilih dan memberikan
penekanan pada beberapa aspek atau elemen-elemen tertentu dari suautu peristiwa dan
mengabaikan elemen peristiwa lainnya.
Media dapat menggunakan logikanya sendiri ketika mereka menggabungkan berbagai
elemen realitas dalam berbagai cara. Televisi dapat memberikan gambaran visual yang
tidak utuh melalui pengambilan gambar dengan kamera yang menggunakan berbagai sudut
pandang (angle) yang berbeda atau teknik gambar lainnya.
Media dapat menciptakan bias terhadap realitas dengan memberikan sebutan tertentu
untuk memberikan gambaran kepada seorang tokoh, misalnya ’pejuang kebebasan’ atau
’teroris’. Menurut Shoemaker dan Reese, salah satu cara yang paling nyata bagaimana isi
media menciptakan suatu gambaran realitas simbolik (symbolic environment) adalah
dengan memberikan perhatian yang lebih besar, misalnya dengan memberikan waktu,
tempat dan perhatian yang lebih besar bagi peristiwa, orang, kelompok dan tempat tertentu
dibandingkan dengan peristiwa, orang, kelompok dan tempat lainnya.
Bias pada pemberitaan mengacu pada hal-hal seperti terjadinya penyimpangan (distorsi)
terhadap realitas, memberikan gambaran negatif terhadap kelompok-kelompok minoritas,

10 McQuail, Ibid hal 167


mengurangi atau mengabaikan peran wanita dalam masyarakat, atau mendukung partai
politik atau filosofi tertentu. Berita yang mengandung bias pada akhirnya akan menjadi
berita bohong atau propaganda sebagaimana sebuah cerita fiksi.11

Objektivitas Berita. Kebebasan media, kesamaan perlakuan dan keragaman berita


sebagaimana telah dijelaskan belum cukup untuk dapat menghasilkan pemberitaan yang
berkualitas dan profesional jika media tidak memiliki sumber daya manusia yang memiliki
pengetahuan dan terlatih di bidangnya. Konsep penting dalam hubungannya dengan
kualitas berita adalah sifat objektif suatu berita. Objektivitas adalah suatu tindakan atau
sikap tertentu terkait dengan pekerjaaan mengumpulkan, mengolah dan menyebarluaskan
informasi.
Pada dasarnya tidaklah mudah untuk membuat kriteria mengenai pemberitaan yang
objektif atau sebaliknya. Westerstahl (1983) dalam penelitiannya di Swedia mengemukakan
kriteria objektif dalam upayanya untuk mengukur derajat objektivitas media massa di
negara itu12. Menurutnya pemberitaan yang objektif harus memiliki dua kriteria yaitu
faktual yang berarti media dalam menulis berita harus berdasarkan fakta (factuality), dan
tidak berpihak (impartiality).
Sifat faktual (faktualitas) mengacu pada bentuk laporan berupa peristiwa atau
pernyataan yang dapat diperiksa kebenarannya kepada narasumber berita dan tidak
memasukkan komentar ke dalam laporan berita, atau setidaknya audien dapat
membedakan dengan jelas antara fakta dan komentar. Sifat faktual juga melibatkan kriteria
kebenaran lainnya yaitu kelengkapan penjelasan terhadap fakta yang disampaikan yang
terdiri dari what, where, when, who, why dan how (5W1H), akurasi berita, dan tidak
berupaya untuk membelokkan atau menekan informasi lain yang berhubungan.13
Faktualitas mengacu pada teks yang terdiri dari sejumlah unit informasi yang dapat
dibedakan satu sama lainnya yang diperlukan untuk memahami suatu peristiwa yang
bernilai berita. Dalam istilah jurnalistik adalah memberikan jawaban yang tepat terhadap
pertanyaan apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana?
McQuail mengemukakan sejumlah tindakan atau sikap yang dapat digunakan sebagai
patokan penilaian pemberitaan yang objektif sebagaimana skema yang dikemukakan
Westerstahl tersebut. Menurut McQuail, kualitas berita oleh media dapat dilakukan antara
lain dengan melakukan analisa terhadap kelengkapan dan akurasi berita yang disampaikan.
Namun untuk melakukan analisa terhadap kualitas berita perlu dipersiapkan sejumlah
kriteria yang cermat, sebagaimana dikemukakan McQuail:

"For analysing news quality, however, one needs more refined criteria. In
particular, one asks if the facts given are accurate and whether they are
sufficient to constitute an adequate account of the criterion of
completeness".14 (Untuk melakukan analisa terhadap kualitas berita,
orang memerlukan kriteria yang lebih matang. Khususnya dalam hal,
seseorang bertanya jika fakta yang disampaikan sudah akurat dan apakah
fakta-fakta tersebut sudah cukup memberikan penjelasan yang memadai
agar dapat memenuhi kriteria kelengkapan berita).

Setiap media harus mengutamakan ketepatan (akurasi) dan relevansi dari suatu berita.
Namun akurasi sendiri pada dasarnya memiliki beberapa arti atau makna karena akurasi
tidak dapat diukur atau dibaca secara langsung dengan melihat hanya pada teks berita.

11Denis McQuail, McQuail's Mass Communication Theory, Ibid.


12 Menurut Westerstahl, objektivitas media berhubungan dengan nilai-nilai (value) dan juga fakta dan
fakta juga memiliki implikasi evaluatif (lihat skema).

14 McQuail hal 320


Salah satu makna akurasi adalah adanya kesesuaian antara berita yang disampaikan
dengan sumber-sumber informasi independen lainnya yang juga memiliki catatan terhadap
peristiwa yang sama seperti dokumen, keterangan saksi mata dan media lainnya. Makna
akurasi lainnya bersifat lebih subyektif yaitu adanya ketepatan antara berita yang
disampaikan dengan persepsi sumber berita. Persoalan akurasi juga dapat muncul dari
konsistensi penulisan teks berita.
Seberapa banyak suatu berita dapat menyajikan informasi kepada publik? Pertanyaan
ini dibahas pada aspek kedua dari faktualitas berita yaitu 'relevansi' atau kelengkapan
berita (completeness). Kita dapat membandingkan kelengkapan informasi yang terdapat
dalam berita yang disampaikan satu media dibandingkan dengan media lainnya. Namun
persoalannya tidak terletak pada seberapa banyak informasi yang harus dikemukakan tetapi
pada seberapa banyak informasi yang relevan dengan apa yang diinginkan atau dibutuhkan
publik. Menurut McQuail, aspek ini pada dasarnya relatif lebih sulit untuk didefinisikan dan
dilakukan secara objektif karena lebih terkait dengan proses seleksi dari fakta yang akan
disajikan dari pada cara penyajiannya sendiri. Seleksi dilakukan menurut prinsip yang jelas
dan koheren mengenai apa yang penting dari suatu berita bagi audien. Secara umum apa
yang paling mempengaruhi masyarakat, informasi yang paling kuat dan paling segera untuk
disiarkan dipandang sebagai hal yang paling relevan.
Komponen kedua yang menentukan objektivitas berita adalah sikap tidak berpihak
(imparsialitas). Media harus memiliki sikap tidak memihak dengan cara antara lain menjaga
jarak dan bersikap netral dengan objek pemberitaan, hal ini berarti faktor subjektivitas dan
personal tidak terlibat dalam proses pemberitaan. Imparsialitas penting dalam pemberitaan
yang mengandung konflik atau pertikaian. Media tidak boleh berpihak pada salah satu
individu atau kelompok yang tengah bertikai atau menunjukkan bias pada salah satu pihak
yang terlibat konflik.
Standar umum yang digunakan untuk menilai imparsialitas media terletak pada
keseimbangan (balance) dalam pilihan narasumber dan penggunaan keterangan dari
narasumber, juga pada penyampaian berbagai pandangan yang berbeda dan adanya
netralitas ketika menyampaikan berita melalui pemisahan fakta dari opini, serta
menghindari penilaian atau penggunaan kata-kata atau gambar emosional yang akan
mengarahkan penonton untuk memberikan penilaian atau penafsiran tertentu.
Objektivitas berita juga membutuhkan prinsip kesamaan perlakuan atau 'ekualitas'
(equality) yaitu sikap adil (fair) dan non-diskriminatif terhadap narasumber dan terhadap
objek berita yang mana keduanya harus diperlakukan secara setara. Prinsip kesamaan
perlakuan oleh media massa harus diterjemahkan ke dalam pengertian yang lebih khusus.
Dalam hubungannya dengan komunikasi dan kekuasaan politik, kesamaan perlakuan
menuntut tidak boleh adanya perlakuan khusus yang diberikan kepada pemegang
kekuasaan dan bahwasanya akses ke media harus juga diberikan kepada semua pihak
(misalnya dalam pemilihan umum atau pemilu). Dalam hubungan antara media dan klien
bisnis, kesamaan perlakuan menuntut bahwa semua pemasang iklan yang sah diperlakukan
sama (tarif yang sama dengan kondisi yang sama).
Peraturan perundangan mengenai jurnalistik penyiaran televisi di Indonesia mengatur
pula prinsip objektivitas ini yang termuat dalam Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang
penyiaran dan juga dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Terkait dengan pemberitaan yang disiarkan stasiun TV maka P3SPS menyatakan bahwa
stasiun penyiaran dalam menayangkan informasi harus senantiasa mengindahkan prinsip-
prinsip jurnalistik yang terdiri atas tiga prinsip yaitu: 1) prinsip akurasi; 2) prinsip keadilan;
3) prinsip ketidakberpihakan (imparsialitas).15
Dalam program faktual lembaga penyiaran bertanggungjawab menyajikan informasi
yang akurat dan sebelum menyiarkan sebuah fakta, lembaga penyiaran harus memeriksa

15 Pasal 39-41 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia.


ulang keakuratan dan kebenaran materi siaran. Dalam hal redaksi berita stasiun TV
memperoleh informasi dari pihak lain yang belum dapat dipastikan kebenarannya maka ia
harus menjelaskan pada khalayak bahwa informasi itu berdasarkan versi sumber tertentu
tersebut. Dalam hal stasiun TV menggunakan materi siaran yang diperoleh dari pihak lain,
misalnya dari kantor berita asing, maka stasiun bersangkutan wajib menjelaskan identitas
sumber materi siaran tersebut kepada khalayak.
Pada saat siaran langsung, stasiun penyiaran harus waspada terhadap kemungkinan
narasumber melontarkan pernyataan tanpa bukti atau belum bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya, dan pembawa acara (presenter) harus melakukan verifikasi atau meminta
penjelasan lebih lanjut tentang fakta yang disampaikan narasumber atau partisipan
tersebut. Stasiun TV wajib segera menyiarkan koreksi apabila mengetahui telah menyajikan
informasi yang tidak akurat.
Ketika stasiun TV menyajikan berita atau dokumenter yang didasarkan pada
rekonstruksi dari peristiwa yang sesungguhnya terjadi, materi tayangan tersebut harus
secara tegas dinyatakan sebagai hasil visualisasi atau rekonstruksi, dengan menjelaskan
bahwa apa yang disajikan tersebut adalah hasil rekonstruksi, dengan memberikan tulisan
(supercaption/superimpose) ‘rekonstruksi' di pojok gambar televisi atau dengan pernyataan
verbal di awal siaran.
Dalam rekonstruksi, tidak boleh ada perubahan atau penyimpangan terhadap fakta atau
informasi secara tidak adil yang dapat merugikan pihak yang terlibat dan stasiun TV harus
memberitahukan dengan jelas asal versi rekonstruksi peristiwa atau ilustrasi tersebut.
Dalam menyajikan informasi yang sulit untuk dicek kebenarannya secara empirik,
seperti informasi kekuatan gaib, stasiun TV harus menyertakan penjelasan bahwa mengenai
kebenaran informasi tersebut, terdapat perbedaan pandangan di masyarakat.
Lembaga penyiaran harus menghindari penyajian informasi yang tidak lengkap dan tidak
adil. Penggunaan potongan gambar dan atau potongan suara dalam sebuah acara yang
sebenarnya berasal dari program lain harus ditempatkan dalam konteks yang tepat dan adil
serta tidak merugikan pihak-pihak yang menjadi subyek pemberitaan, dan bila sebuah
program memuat potongan gambar dan atau potongan suara yang berasal dari acara lain,
stasiun TV wajib menjelaskan waktu pengambilan potongan gambar dan atau potongan
suara tersebut.
Dalam pemberitaan kasus kriminalitas dan hukum, setiap tersangka harus diberitakan
sebagai tersangka, terdakwa sebagai terdakwa, dan terhukum sebagai terhukum. Selain itu,
stasiun TV harus menyamarkan identitas (termasuk menyamarkan wajah) tersangka,
kecuali identitas tersangka memang sudah terpublikasi dan dikenal secara luas.
Jika sebuah program acara memuat informasi yang mengandung kritik yang menyerang
atau merusak citra seseorang atau sekelompok orang, pihak lembaga penyiaran wajib
menyediakan kesempatan dalam waktu yang pantas dan setara bagi pihak yang dikritik
untuk memberikan komentar atau argumen balik terhadap kritikan yang diarahkan
kepadanya.
Pada saat menyajikan isu-isu kontroversial yang menyangkut kepentingan publik,
stasiun penyiaran harus menyajikan berita, fakta, dan opini secara obyektif dan berimbang.
Dalam hal ini, pimpinan redaksi berita TV harus memiliki independensi untuk menyajikan
berita dengan obyektif, tanpa memperoleh tekanan dari pihak pimpinan, pemodal, atau
pemilik stasiun penyiaran. Dan dalam program acara yang mendiskusikan isu kontroversial
atau isu yang melibatkan dua atau lebih pihak yang saling berbeda pendapat, moderator,
pemandu acara, dan atau pewawancara harus berusaha agar semua partisipan dan
narasumber, dapat secara baik mengekspresikan pandangannya serta tidak boleh memiliki
kepentingan pribadi atau keterkaitan dengan salah satu pihak atau pandangan.
Keragaman Berita
Audien media massa merupakan pasar yang sangat heterogen yang terdiri dari berbagai
kelompok (segmen) audien yang berbeda-beda. Stasiun televisi di manapun memiliki
kecenderungan untuk menjangkau penonton seluas-luasnya, namun sering kali media
memberikan pilihan hanya kepada satu atau beberapa segmen pasar besar yang paling
potensial dalam menarik pemasang iklan. Hal ini menyebabkan media mengabaikan
kebutuhan segmen audien lainnya karena dipandang tidak potensial menjaring iklan.
Media massa dalam menyebarkan berita tidak boleh hanya memberikan perhatian pada
satu isu tertentu saja, untuk menyenangkan satu segmen audien tertentu saja. Prinsip
keragaman berita (diversity) adalah upaya media untuk menyajikan berita yang lengkap
dengan menggunakan prinsip keadilan (fairness). Dalam hal ini, prinsip keadilan atau
fairness dinilai berdasarkan pada principle of proportional representation (prinsip
keterwakilan secara proporsional).
Keragaman merupakan isu penting terutama dalam konteks Indonesia yang memiliki
masyarakat beragam yang mencakup berbagai macam aspek, baik itu budaya, suku, ras,
etnis, agama, dan seterusnya. Keragaman tadi sayangnya seringkali diabaikan oleh media
massa. Dapat kita lihat secara sekilas bahwa media massa di Indonesia acap kali tidak
memberikan ruang yang cukup dalam memberitakan kelompok-kelompok minoritas, dan
kalaupun ada bagaimana mereka membahasakan dan membingkai keragaman tadi
dirasakan kurang adil.
Media harus menyajikan berita secara proporsional berdasarkan topik-topik yang relevan
bagi masyarakat, atau dengan kata lain pemberitaan TV harus mampu mencerminkan
keragaman kebutuhan atau minat audien terhadap berita. Menurut McQuail (2000),
keragaman isi pesan media merupakan istilah yang paling sering didengar dalam wacana
mengenai kinerja media massa. Keragaman menurutnya mengacu pada tiga instrumen
utama isi pesan sebagai persyaratan yang harus dipenuhi. Sebagaimana dikemukakannya
berikut ini:

“Content diversity probably is the most frequently encountered term in the


performance discourse. It refers essentially to three main features of content
as requirements (McQuail, 2000): 1) a wide range of choice for audience, on all
conceivable dimensions of interest and preference. Media should offer relevant
choices of content at one point in time and also variety over time of a kind that
corresponds to the needs and interest of their audience; 2) Many and different
opportunities for access for voices and sources in society. Media should offer
more or less equal chances of access to the voices of various social and cultural
minorities that make up the society. Media should serve as a forum for
different interests and points of view in a society or community; 3) A true or
sufficient reflection in media of varied reality of experience in society. Media
should reflect in their structure and content the various social, economic, and
cultural realities of the societies (and communities) in which they operate, in a
more or less proportional way.”

Pernyataan di atas menekankan bahwa keragaman berita dapat dinilai berdasarkan


sejumlah kriteria sbb:
 Media dalam menyajikan isi berita harus mampu mencerminkan keragaman realitas
sosial, ekonomi dan budaya dalam masyarakat secara proporsional. Dengan kata lain,
media harus mampu dan mau memberikan berbagai pilihan berita kepada audien.
 Media harus dalam menyebarkan berita harus memberikan kesempatan yang lebih
kurang sama terhadap berbagai pandangan dalam masyarakat termasuk pihak
minoritas dalam masyarakat. Media harus bisa berfungsi sebagai forum bagi berbagai
pandangan dan kepentingan yang berbeda dalam masyarakat.
 Media harus mampu menyajikan pilihan berita yang relevan pada waktu tertentu
(dalam hal adanya peristiwa besar) dan juga keragaman berita pada waktu lainnya.

Faktor yang berperan penting dalam melindungi hak asasi manusia dan membangun
demokrasi adalah kesetaraan yang bisa diwujudkan jika ada penghormatan terhadap hak
setiap orang untuk didengar, untuk bersuara dan berpartisipasi dalam kehidupan politik dan
sosial. Prinsip ini mendorong negara untuk mengambil langkah guna mendukung
keberagaman dan pluralisme, mempromosikan keterbukaan akses terhadap saluran
komunikasi dan untuk menjamin hak masyarakat atas informasi.
Prinsip ini juga mengakui pentingnya media dan saluran komunikasi publik untuk
mewujudkan kebebasan berekspresi. Media dan saluran komunikasi publik merupakan
instrumen penting untuk membangun kesetaraan dengan cara membuka akses yang setara.
Prinsip-prinsip kesetaraan antara lain: perlindungan hukum terhadap kesetaraan dan
kebebasan berekspresi; hak untuk didengar dan hak untuk berbicara; mempromosikan rasa
saling memahami antar budaya; dan kebebasan berekspresi. 16
Dalam upaya, untuk memenuhi hak atas kebebasan berekspresi dan kesetaraan, negara
harus menyediakan landasan positif (mulai dari konstitusi, undang-undang, hingga produk
kebijakan lainnya). Negara juga tidak boleh melakukan intervensi terhadap praktek-praktek
kebebasan berekspresi, mencegah kelompok atau individu yang menghambat pelaksanaan
secara damai kebebasan berpendapat, bahkan ketika pendapat tersebut bersifat kritis
terhadap pemerintah atau kebijakan-kebijakannya, serta melakukan langkah penegakan
hukum bila terjadi pelanggaran (HAM) atas kategori hak ini.
Menurut McQuail (2000: 169), prinsip kesetaraan (equality) harus diterjemahkan ke
dalam makna yang lebih khusus ketika prinsip ini diterapkan pada media massa khusunya
dalam relasi dengan kekuatan politik dalam suatu negara. Dalam hal ini McQuail
menyatakan sebagai berikut:

“In relation to communication and political power, equality requires that no special
favor be given to power holders and that access to media should be given to
contenders for office and, in general, to oppositional or deviant opinions,
perspective or claims. In relation to business clients of the media, equality requires
that all legitimate advertisers be treated on the same basis (the same rates and
condition). Equality implies, in such matters, that the normal principles of the
market should operate freely and fairly”.

Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam hubungan dengan kekuasaan politik, prinsip
kesetaraan tidak menghendaki adanya perlakuan khusus terhadap pemangku kekuasaan
politik. Prinsip kesetaraan juga menghendaki adanya akses yang sama antara pihak
penguasa dan pihak oposisi. Perbedaan pandangan atau perspektif harus dihargai dan harus
diberi akses yang sama terhadap media, artinya media harus memberitakan perbedaan
pandangan tersebut secara berimbang. Selain itu, media harus memberikan perlakuan yang
sama terhadap rekan bisnis yaitu para pemasang iklan, misalnya tingkat pembayaran dan
syarat yang sama. Kesetaraan menuntut prinsip-prinsip pasar yang wajar harus dijalankan
dengan bebas dan adil. Selanjutnya McQuail mengatakan:

“Equality supports policies of universal provision in broadcasting and


telecommunication and of sharing out the costs of basic services. Equality will
support the expectation of fair access, on equivalent term, for alternative voices. It

16 Indria Fernida (2011), Media dan Hak Azasi Manusia (artikel pada Serikat Jurnalis untuk
Keberagaman). Website: sejuk.org/kolom/hak-asasi-manusia/60-media-dan-hak-asasi-manusia.html
calls for an absence of discrimination or bias in the amount and kind of access
available to senders or receivers, as far as is practicable”.

Pernyataan ini menekankan bahwa prinsip kesetaraan menuntut adanya penyediaan


jasa penyiaran dan telekomunikasi dasar untuk semua orang, serta keadilan dalam
pembiayaan jasa pelayanan komunikasi dasar. Kesetaraan menuntut akses yang adil bagi
berbagai pandangan alternatif, perlakuan yang sama tanpa adanya diskriminasi, atau bias
dalam jumlah dan jenis akses yang tersedia bagi pengirim dan penerima pesan, sejauh hal
tersebut dapat diterapkan.

KESIMPULAN
 Salah satu topik penting dalam studi mengenai media massa adalah upaya untuk
memberikan penilaian (assesment) secara ilmiah terhadap kualitas kerja (performance)
media massa.
 Kebebasan media mengacu terutama pada hak-hak untuk menyatakan sesuatu secara
bebas (free expression) dan kebebasan dalam membentuk opini (the free formation of
opinion).
 Bias pada pemberitaan mengacu pada hal-hal seperti terjadinya penyimpangan (distorsi)
terhadap realitas, memberikan gambaran negatif terhadap kelompok-kelompok
minoritas, mengurangi atau mengabaikan peran wanita dalam masyarakat, atau
mendukung partai politik atau filosofi tertentu.
 Media massa dalam menyebarkan berita tidak boleh hanya memberikan perhatian pada
satu isu tertentu saja, untuk menyenangkan satu segmen audien tertentu saja. Prinsip
keragaman berita (diversity) adalah upaya media untuk menyajikan berita yang lengkap
dengan menggunakan prinsip keadilan (fairness).

DAFTAR PUSTAKA
Boyd, Andrew. Broadcast Journalism: Techniques of Radio and Television News, Fifth
Edition, Focal Press, 2001.
Day, Mila. Buku Pinter Televisi, Penerbit Trilogos Library, Jakarta, 2004.
Fernida, Indria (2011), Media dan Hak Azasi Manusia (artikel pada Serikat Jurnalis untuk
Keberagaman). Website: sejuk.org/kolom/hak-asasi-manusia/60-media-dan-hak-asasi-
manusia.html
McQuail, Denis. McQuail's Mass Communication Theory, 4th Edition, Sage Publication,
London.
Morissan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Prenada Media, Jakarta, 2008. Hal 7-10. Lihat juga
Salajan, Horea, Russell Peasgood, Imelda Reynolds, ABC Paket Berita TV, PJTV-
Internews Indonesia, Desember 2001.

Anda mungkin juga menyukai