“KEWAJIBAN”
DOSEN PEMBIMBING
Nama Kelompok 2 :
PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Pengertian
Menurut FASB (SFAC No. 6, Prg. 35) : Kewajiban adalah pengorbanan manfaat
ekonomik masa datang yang cukup pasti yang timbul dari keharusan sekarang suatu kesatuan
usaha untuk mentransfer aset atau menyediakan/ menyerahkan jasa kepada kesatuan lain
dimasa datang sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
Menurut IASC : Liabilitas adalah kewajiban kini dari perusahaan yang timbul dari
peristiwa masa lalu, penyelesaian yang diharapkan dapat menghasilkan arus keluar dari
sumber daya peusahaan dalam mewujudkan manfaat ekonomi.
Menurut AASB (SAC No. 4) : Kewajiban adalah pengorbanan masa depan atas
potensi jasa atau manfaat ekonomi masa depan bahwa entitas saat ini wajib kepada entitas
lain sebagai akibat transaksi masa lalu atau peristiwa masa lalu lainnya.
Menurut APB : Kewajiban adalah kewajiban ekonomi perusahaan yang diakui dan
diukur sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Kewajiban juga mencakup kredit
tangguhan tertentu yang tidak kewajiban tapi yang diakui dan diukur sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum.
Menurut IFRS (PSAK 57) : Liabilitas adalah kewajiban kini dari perusahaan yang
timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaian yang diharapkan dapat menghasilkan arus
keluar dari sumber daya peusahaan dalam mewujudkan manfaat ekonomi.
Keharusan Sekarang
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu pengorbanan ekonomik masa datang
harus timbul akibat keharusan sekarang. Pengertian “sekarang” dalam hal ini mengacu pada 2
hal: waktu dan adanya.
Waktu yang dimaksud adalah tanggal pelaporan (neraca). Artinya : pada tanggal
neraca kalau perlu atau kalau dipaksakan secara yuridis, etis, atau rasional pengorbanan
sumber ekonomik harus dipenuhi karena keharusan itu telah ada.
Keharusan kewajiban mencakupi keharusan kontraktual, keharusan konstruktif atau
bentukan, keharusan demi keadilan dan keharusan bergantung atau bersyarat.
a. Keharusan Kontraktual
Keharusan yang timbul akibat perjanjian atau peraturan hukum yang di dalam nya
kewajiban bagi suatu kesatuan usaha di nyatakan secara eksplit atau implicit dan
mengikat. Contoh : utang pajak, utang bunga, utang usaha, utang wesel, dan utang obligasi.
b. Keharusan Konstruktif
Keharusan yang timbul akibat kebijakan kesatuan usaha dalam rangka menjalankan dan
memajukan usahanya untuk memenuhi apa yang disebut praktik usaha yang baik atau etika
bisnis dan bukan untuk memenuhi kewajiban yuridis.
Contoh : servis gratis sepeda motor yang dijanjikan oleh dealer sepeda motor, pengembalian
uang untuk barang yang ternyata cacat atau rusak, dan tunjangan hari raya
c. Keharusan Demi Keadilan
Keharusan yang ada sekarang yang menimbulkan kewajiban bagi perusahaan semata-
mata karena panggilan etis atau moral karena peraturan hukum atau praktik bisnis yang sehat.
Contoh : kewajiban memberikan donasi untuk badan amal tiap akhir tahun dan kewajiban
member hadiah kepada penduduk yang tinggal di sekitar pabrik karena ketidaknyamanan
yang ditimbulkannya.
d. Keharusan Bergantung atau bersyarat
Keharusan yang pemenuhannya tidak pasti karena bergantung pada kejadian masa datang
atau terpenuhinya syarat – syarat tertentu dimana datang.
Karakteristik Pendukung
FASB menyebutkan beberapa karakteristik pendukung yaitu :
1. Keharusan membayar kas
Pelunasan kewajiban pada umumnya dilakukan dengan pembayaran kas.
Esensi kewajiban lebih terletak pada pengorbanan manfaat ekonomik masa datang daripada
terjadinya pengeluaran kas. Adanya pengeluaran kas merupakan hal penting untuk
mengaplikasikan definisi kewajiban karena dua hal :
a. Sebagai bukti adanya suatu kewajiban.
b. Sebagai pengukur atribut atau besarnya kewajiban yang cukup objektif.
2. Identitas terbayar jelas
Bila identitas terbayar sudah jelas, hal tersebut hanya menguatkan bahwa kewajiban memang
ada tetapi untuk menjadi kewajiban identitas terbayar tidak harus dapat ditentukan pada saat
keharusan terjadi.
Jadi, yang penting adalah bahwa keharusan sekarang pengorbanan sumber ekonomik dimasa
datang telah ada dan bukan siapa yang harus dilunasi atau dibayar. Akan tetapi, pada saat
pelunasan kewajiban, terbayar dengan sendirinya harus teridentifikasi.
3. Berkekuatan hukum
Keharusan melakukan pengorbanan manfaat ekonomik masa deatang tidak harus timbul dari
desakan pihak eksternal tetapi dari minat atau kebijakan internal manajemen. Itulah sebabnya
kewajiban mencakupi pengorbanan sumber ekonomik masa depan yang timbul akibat
keharusan konstruktif dan demi keadilan. Main pihak lain seperti utang usaha tidak harus di
dukung oleh dokumen yang berkekuatan hukum atau mempunyai daya paksa secara hukum
untuk memenuhi definisi kewajiban. Akan tetapi, demi keadilam dan kewajaran, perusahaan
harus membayar utang usaha tersebut. Pendapatan sewa tak terhak, laba kotor tangguhan, dan
beberapa pos lain yang timbuk dalam penyesuaian akhir tahun memenuhi criteria sebagai
kewajiban meskipun tidak dilandasi oleh daya paksa secara hukum dan bahkan bukan
merupakan keharusan pengorbanan sumber ekonomik. Itulah sebabnya, definisi kewajiban
APB memasukkan beberapa pos kredit tangguhan yang non keharusan sebagai kewajiban.
Laba kotor tangguhan adalah contoh kredit tangguhan yang bukan keharusan. Pos kredit
tangguhan yang merupakan keharusan misalnya adalah kredit pajak tangguhan.
Pengakuan, Pengukuran, dan Penilaian
Sebagai bayangan cermin aset, kewajiban juga harus diukur dan diakui pada saat
terjadinya. Kalau aset diukur atas dasar penghargaan sepakatan (kos), demikian juga
kewajiban. Jadi, kos sebagai pengukur tidak hanya diterapkan untuk aset pada saat
pemerolehan tetapi juga untuk kewajiban pada saat terjadinya. Sebagai ketentuan umum,
pengukuran kewajiban harus sejalan dengan pengukuran aset yang berkaitan.
Kalau aset yang direprentasi oleh kos mengalami tiga tahap perlakuan (pemerolehan,
pengolahan, dan penyerahan), kewajiban sebenarnya juga mengalami tiga tahap perlakuan
yaitu: penanggungan (pengakuan terjadinya), penelusuran, dan pelunasan (penyelesaian).
Dalam hal kewajiban, penelusuran berarti penentuan status dan jumlah rupiah (kos)
kewajiban pada setiap saat. Penentuan kos setiap saat (termasuk pada tanggal neraca) dapat
disebut dengan penilaian kewajiban.
Pengakuan
Pada prinsipnya, kewajiban diakui pada saat keharusan telah mengikat akibat
transaksi yang sebelumnya telah terjadi. Mengikatnya suatu keharusan harus dievaluasi atas
dasar kaidah pengakuan (recognition rules). kriteria pengakuan lebih berkaitan dengan
pedoman umum dalam rangka memenuhi karakteristik kualitatif informasi sehingga elemen
statemen keuangan hanya dapat diakui bila kriteria definisi, keberpautan, keterandalan, dan
keterukuran dipenuhi. Kriteria umum ini tidak operasional sehingga diperlukan kaidah
pengakuan sebagai penjabaran teknis kriteria pengakuan umum. Dalam hal kewajiban, kaidah
pengakuan berkaitan dengan saat atau apa yang menandai bahwa kewajiban dapan diakui
(dibukukan). Empat kaidah pengakuan untuk menandai pengakuan kewajiban yaitu:
1. Ketersediaan dasar hukum
Kaidah ini terkait dengan kualitas keterandalan dan keberpautan informasi. Faktur pembelian
(invoice) dan tanda penerimaan barang (receiving report) merupakan dasar hukum yang
cukup meyakinkan untuk mengakui kewajiban. Telah disebutkan bahwa ketersediaan dasar
hukum yang menimbulkan daya paksa hanya merupakan karateristik pendukung definisi
kewajiban. Jadi, kaidah ini tidak mutlak sehingga kewajiban juga dapat diakui bila terdapat
bukti substantif adanya keharusan konstruktif atau demi keadilan.
2. Keterterapan konsep dasar
Kaidah ini merupakan penjabaran teknis kriteria keterandalan. Keadaan-keadaan tertentu
yang menjadikan konsep konservatisma terterapkan dapat memicu pengakuan kewajiban.
Implikasi dianutnya konsep konservatisma adalah rugi dapat segera diakui tetapi tidak
demikian dengan untung. Ini berarti kewajiban dapat diakui segera sedangkan aset tidak.
3. Ketertentuan substansi ekonomik transaksi
Kaidah ini berkaitan dengan masalah relevansi informasi. Utang sewaguna (lease obligations)
dapat diakui pada saat transaksi meskipun tidak ada transfer hak milik dalam transaksi
sewaguna tersebut. Dalam hal ini, kewajiban dapat atau bahkan harus diakui kalau secara
substantif sewaguna tersebut sebenarnya adalah pembelian angsuran (yaitu memenuhi salah
satu kriteria kapitalisasi).
4. Keterukuran nilai kewajiban
Keterukuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai kualitas keterandalan informasi.
Definisi kewajiban mengandung kata cukup pasti (probable) yang mengacu tidak hanya pada
terjadinya pengorbanan sumber ekonomik masa datang tetapi juga pada jumlah rupiahnya.
Yang menjadi masalah teknis adalah kapan keempat kaidah diatas dipenuhi. hal ini
berkaitan dengan penentuan saat (timing) pengakuan kewajiban. Pada umumnya saaat
pengakuan terjadi sangat jelas karena kebanyakan kewajiban timbul dari kontrak yang
menyebutkan secara tegas saat mengikatnya kontrak, jumlah rupiah pembayaran kewajiban,
dan saat pembayaran. Akan tetapi, untuk beberapa kasus, jumlah rupiah (kos) kewajiban
bergantung pada kejadian dimasa datang meskipun cukup pasti bahwa keharusan membayar
dimasa datang tidak dapat dihindari. Saat-saat mengakui kewajiban yaitu:
a. Pada saat penandatanganan kontrak bila pada saat itu hak dan kewajiban telah
mengikat. Dalam hal kontrak eksekutori, pengakuan menunggu sampai salah satu
pihak memanfaatkan/ menguasai manfaat yang diperjanjikan atau memenuhi
kewajibannya (to perform).
b. Bersamaan dengan pengakuan biaya bila barang dan jasa yang menjadi biaya belum
dicatat sebagai aset sebelumnya.
c. Bersamaan dengan pengakuan aset. Kewajiban timbul ketika hak untuk menggunakan
barang dan jasa diperoleh.
d. Pada akhirnya periode karena penggunaan asas akrual melalui proses penyesuaian.
Pengakuan ini menimbulkan pos utang atau kewajiban akrual (accrued liabilities).
FSAB menetapkan bahwa rugi taksiran yang dapat terjadi kebergantungan rugi harus
diakru (to be accrued) dengan membebankannya ke pendapatan (sebagai biaya atau rugi) bila
kedua kondisi berikut dipenuhi:
a. Informasi yang tersedia sebelum penerbitan statemen keuangan menunjukkan bahwa
suatu aset cukup pasti telah turun nilainnya (impaired) atau suatu kewajiban cukup
pasti telah terjadi pada tanggal statemen keuangan. Pada tanggal statemen keuangan
harus sudah dapat disimpulkan bahwa kewajiban atau beberapa kejadian, yang
menegaskan adanya rugi, cukup pasti (probable) akan terjadi.
b. Jumlah rupiah rugi dapat diestimasi dengan cukup tepat (reasonably estimated).
Bila kondisi diatas tidak dipenuhi, jumlah rupiah rugi potensial harus tetap
diungkapkan dengan menjelaskan sfat dan implikasi kebergantungan tersebut. Ketentuan
tentang dpat diakrunya rugi potensial sebelum kejadian yang menegaskan terjadi dilandasi
oleh interpretasi tentang makna kewajiban dan asset serta konsep dasar penandingan
(matching) dan konservatisma.
Pengukuran
Pengakuan dilakukan setelah suatu kewajiban terukur dengan cukup pasti. Penentuan
kos kewajiban pada saat terjadi paralel dengan pengukuran asset. Terjadinya kewajiban pada
umumnya disertai dengan pemerolehan asset atau timbulmnya biaya. Pemerolehan asset
dapat berupa penguasaan barang dagangannya atau asset nonmoneter lainnya yang terjadi
dari transaksi pembelian. Pemerolehan asset dapat juga berupa kas yang terjadi dari transaksi
peminjaman (penerbitan obligasi) atau penerimaan uang muka untuk barang atau jasa. Oleh
karena itu pengukur yang paling objektif untuk menentuka kos kewajiban pada saat
terjadinya adalah penghargaan sepakatan (meansured considerations) dalam transaksi-
transaksi tersebut dan bukan jumlah rupiah pengorbanan ekonomik masa datang. Hal ini
berlaku khususnya untuk kewajiban jangka panjang.
Untuk kewajiban jangka pendek, kos penundaan dianggap tidak cukup material
sehingga jumlah rupiah kewajiban yang diakui akan sama denga jumlah rupiah pengorbanan
sumber ekonimik (kas) masa datang. Dengan kata lain, untuk kewajiban jangka pendek, kos
pendanaan (financing cost) atau kos penundaan (bunga sebagai nilai waktu uang) dianggap
material.
Penghargaan sepakatan suatu kewajiban merefleksi nilai setara tunai atau nilai
sekarang (current value) kewajiban yaitu jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik
seandainya kewajiban dilunasi pada saat terjadinya. Dengan demikian, bisnis pencatatan
kewajiban adalah nilai setara tunai bukan nilai nominal utang.
Diskon Obligasi
Diskon obligasi yang belum diamortisasi bukan merupakan suatu rugi karena asset
yang diperoleh sebelumnya tidak ada yang berkurang atau menguap (dissipation).
Diskon obligasi sebenarnya merupakan bunga yang “belum dibayar”, yaitu bagian bunga
efektif total yang baru akan dibayar pada saat utang obligasi jatuh tempo.
Premium Obligasi
Sejalan dengan penalaran makna diskon obligasi yang dilandasi konsep dasar
penghargaan sepakatan, dapat disimpulkan bahwa premium yang dibayarkan investor untuk
obligasi merupakan unsure dari jumlah rupiah utang perusahaan. Bersamaan denga
berjalannya waktu mendekati jatuh tempo, jumlah rupiah bagian utang yang merupakan
premium harus diamortisasi secara sistematik dengan cara memisahkan dari penghargaan
sepakatan bagian yang diperhitungkan sebagai pembayaran “bunga” periodik. Mengartikan
premium obligasi sebagai “pendapatan tangguhan” (defferend income) jelas tidak tepat
karena secara konseptual pendapatan atau laba tidak timbul dari proses pemerolehan utang.
Pendapatan hanya timbul dari kegiatan pembentukan pendapatan (earning process). Atas
dasar konsep kontinuitas usaha, premium obligasi yang belum diamortisasi adalah benar-
benar merupakan utang dan jumlah amortisasi periodik adalah merupakan penyesuaian
(pengurang) terhadap biaya bunga dan bukannya merupakan elemen pendapatan. Tanpa
peneysuaian ini biaya bunga periodik akan menjadi tersaji lebih (overstated).
Dari segi yudiris, utang memang harus diukur sebesar nilai nomnalnya karena kalau
terjadi likuidasi hak menerima pelunasan yang melekat pada investor adalah sebesar nominal.
Pandangan yudiris yang tidak memperhatikan diskon dilandasi konsep pengukuran dengan
asumsi perusahaan likuidasi. Dalam keadaan likuidasi atau reorganisasi memang dapat
dijustifikasi pengukuran dengan menggunakan konsep yang berbeda dengan akuntasi. Akan
tetapi, secara umum akuntansi tidak harus mendasarkan diri pada konsep tersebut.
Penilaian
Kalau pengukuran mengacu pada penentuan nilai keharusan sekarang (the value of
current obligation) pada saat terjadinya, penilaian mengacu pada penentuan nilai keharusan
sekarang pada setiap saat antara terjadinya kewajiban sampai dilunasinya kewajiban. Makin
mendekati saat jatuh tempo, nilai kewajiban akan makin mendekati nilai nominal (face value)
kewajiban.
Penilaian kewajiban pada saat tertentu adalah penentuan jumlah rupiah yang harus
dikorbankan seandainya pada saat tersebut kewajiban harus dilunasi. Dengan kata lain,
penilaian adalah penentuan nilai sekarang kewajiban. Untuk kewajiban moneter, nilai
sekarangnya biasanya ditentukan atas dasar aliran kas keluar dimasa dtang didiskonan dengan
tingkat bunga pasar sebagai tarif diskon.
Pelunasan
Pelunasan adalah tindakan atau upaya yang segaja dilakukan oleh kesatuan usaha
untuk memenuhi (to satisfy) kewajiban pada saatnya dan dalam kondisi normal usaha (in due
course of business) sehingga bebas dari kewajiban tersebut. Pelunasan biasanya merupakan
pemenuhan secara langsung kepada pihak yang berpiutang. Pelunasan menjadikan kewajiban
tersebut hapus, tiada, atau lenyap (extinguished) secara langsung (kewajiban langsung
didebit).
Gambar 7.3
Dasar atau atribut Penilaian Kewajiban
Perlunasan secara langsung disebut juga perlunasan secara yudiris karena kewajiban
kepada pihak yang berpiutang secara yudiris hapus melalui transaksi langsung yang benar-
benar terjadi. Perlunasan secara tidak langsung terjadi apabila kesatuan usaha melakukan
tindakan yang mengarah ke perlunasan misalnya dengan pembentukan dan khusus untuk
perlunasan (sinking fund) baik dikelola sendiri atau melalui wali amanat (trust agency).
Pembentukan atau penyisihan dana semacam ini menjadikan kesatuan usaha secara substantif
menempati keadaan yang disebut pembatalan atau pembebasan secara substansif (in
substance defeasance).
Masalah akuntansi ysng berkaitan dengan perlunasan langsung maupun tidak
langsung adalah penentuan kapan kewajiban telah dapat dikatakan hapus atau lenyap
sehingga jumlah rupiahnya dapat diakui dari sistem pembukuan. FSAB memberikan
pedoman tentang saat pelenyapan (extiguishment) kewajiban. Pada mulanya FSAB
menentukan criteria lenyapan suatu kewajiban sebagai berikut:
a. Debitor membayar/melunasi kreditor dan bebas dari semua keharusan yang
berkaitan dengan utang.
b. Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang
utama baik oleh keputusan pengadilan maupun oleh kreditor dan dapat dipastikan
bahwa debitor tidak akan diharuskan untuk melakukan pembayaran dimasa datang
yang berkaitan dengan utang dengan penjaminan dalam bentuk apapun.
c. Debitor menaruh kas atau asset lainnya yang tidak dapat ditarik kembali dalam
suatu perwalian yang semata-mata digunakan untuk perlunasan pembayaran bunga
serta pokok suatu pinjaman tertentu dan sangat kecil kemungkinan bagi debitor
untuk diharuskan lagi melakukan pembayaran dimasa dtang yang berkaitan dengan
pinjaman tersebut.
FSAB berargumen pendekatan ini tidak tepat sebagai basis untuk pengembangan
standar yang berkaitan dengan peleyapan dan pengakuan kewajiban. Dengan pendekatan ini,
transaksi-transaksi yang tidak cukup mempunyai substansi ekonomik dapat membenarkan
pengakuan kewajiban dan pengakuan untung yang dipandang FSAB tidak menyimbolkan
secara tepat realitas kegiatan yang ada. FSAB menerapkan pendekatan komponen-keuangan.
Dengan pendekatan ini, berbagai transaksi yang berkaitan dengan suatu kewajiban tertentu
dapat dianggap terpisah dan independen sehingga berbagai asset atau kewajiban yang terlibat
harus diperlakukan sebagai komponen-komponen terpisah. FSAB menetapkan bahwa suatu
kewajiban dapat dikatakan lenyap kalau salah satu dari kondisi berikut dipenuhi:
a. Debobitor membayar kreditor dan terbebaskan dari keharusan yang melekat pada
kewajiban. Membayar kreditor mencakupi penyerahan kas, asset financial lain,
barang, atau jasa atau penebusan sekuritas utang oleh debitor untuk menghapus
utang atau untuk menahannya sebagai utang obligasi treasuri.
b. Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang
utama baik oleh keputusan pengadilan maupun kreditor.
Utang Terkonversi
Instrument financial pada dasarnya merupakan alat pembayaran atau pinjaman
sehingga dapat digunakan oleh pemegangnya untuk melunasi utang. Utang terkontroversi
atau convertible (convertible debt) merupakan salah satu instrument financial tersebut.
Sekuritas utang semacam ini biasanya mempunyai status sebagai kewajiban dan ekuitas
sekaligus. Artinya, pemegang instrument mempunyai hak istimewa untuk mengubah status
utang menjadi ekuitas setiap saat selama hak tersebut masih berlaku (belum habis). Instumen
semacam ini merupakan salah satu bentuk dari apa yang disebut sekuritas hibrida (hybrid
securities).
Contoh yang paling sering dijumpai dalam praktik adalah obligasi terkonversi. Obligasi
terkontroversi pada umumnya diterbitkan untuk menarik para investor karena mereka dapat
menggeser resiko atau mengubah status sekuritas menjadi lebih menguntungkan. Hak
konversi digunakan untuk menarik investor untuk mengimbangi tingkat bunga nominal yang
terlalu rendah dibandingka tingkat bunga umum. Harga perdana biasanya jauh lebih tinggi
dari obligasi biasa dengan tingkat resiko yang sama. Jadi, investor bersedia membeli hak
konversi dalam bentuk bunga yang lebih rendah dari bunga obligasi setara yang dijual secara
terpisah. Obligasi terkonversi biasanya mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Tingkat bunga nominal jauh dibawah tingkat bunga pasar untuk obligasi biasanya
yg setara.
2. Harga konversi yang ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar saham biasa.
3. Harga konversi tidak pernah menurun selama masa hak konversi kecuali karena
penyesuaian yang diperlukan akibat pengambilan hak yang melekat pada saham
biasa seperti dalam hal terjadi poemecahan saham atau dividen saham
Hal diatas menjadi karakteristik obligasi terkontroversi karena pada umumnya
perusahaan penerbit merupakan perusahaan yang agresif dan sedang berkembang sehingga
memerlukan dana yang cukup murah. Bila prospek perusahaan sangat baik, obligasi
terkontroversi masih tetap menarik bagi investor. Walaupun harga konversi cukup tinggi pada
saat ditawarkan, pada saatnya harga saham dapat menjadi lebih tinggi dari harga konversi dan
prediksi kenaikan harga saham dapat menjadi cukup pasti memicu investor untuk
mengkonversi obligasinya. Karakteristik obligasi terkontroversi menimbulkan masalah
akuntansi pada saat pengakuan, pengkonversian, dan perlunasan.
Pendukung alokasi berargumen bahwa karena utang terkonversi mengandung sifat
utang dan ekuitas, kedua komponen harus diakui secara terpisah. Pandangan ini didasarkan
atas pemikiran sebagai berikut:
a. Hak konversi mempunyai nilai ekonomik sehingga tidak berbeda dengan sifat hak
opsi atau waran. Oleh karena itu, nilai tersebut harus dilaporkan secara terpisah
dengan nilai utang sejalan dengan perlakua hak opsi atau waran. Analogi dengan
goodwill, nilai hak konversi secara logis juga harus dipisahkan. Bila tidak
dipisahkan, akan terjadi inkonsistensi perlakuan akuntansi.
b. Pada saat penerbitan hak konversi atau nilai utang obligasi biasa (tanpa hak
konversi) dapat diukur secara cukup andal sehingga tidak ada kesulitan teknis untuk
mengimplementasi pemisahan tersebut. Nilai ionformasional pemisahan jauh lebih
penting dari masalah kepraktisan sehingga kepraktisan tidak relevan sebagai basis
penolakan pemisahan.
c. Tujuan penerbitan utang terkonversi yang sebenarnya adalah pendanaan dengan
ekuitas. Sifat utang semata-mata untuk melindungi investor dari keadaan jelek yang
dapat menimpa perusahaan (dalam likuidasi, utang diprioritaskan). Oleh karena itu,
pelunasan utang bukan merupakan hal yang diharapkan oleh penerbit.
Sementara itu, pendukung semata-mata utang mengajukan argument sebaliknya.
Dasar pikiran yang melandasi perlakuan sebagai utang semata-mata dapat dikemukakan
sebagai berikut:
a. Utang obligasi terkonversi merupakan sekuritas hibrida sehingga harus dipandang
sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hak kontroversi tidak
independen terhadap utang obligasi.
b. Penilaian hak konversi akan bersifat subjektif karena ketidakterpisahan kedua
komponen (utang dan hak konversi). Alasannya adalah adanya ketidakpastian
dalam hal saat pengambilan hak konversi dan nilai saham pada saat konversi.
Kesulitan praktis akan lebih terasa bila tidak ada sekuritas sejenis yang dijual secara
bebas tanpa hak konversi.
Jadi, ketidakterpisahkan dan kepraktisan menjadi ladasan pikiran untuk memperlukan
utang terkonversi semata-mata sebagai utang. Hal ini menjadi bisnis opini APB yang
memandang nilai obligasi dan hak konversi sebagai satu kesatuan. Walaupun demikian, APB
lebih menekankan alasannya pada ketidakterpisahan daripada kepraktisan.
Perdebatan mengenai perlakuan sekuritas hibrida timbul karena pembedaan elemen
kewajiban dan ekuitas secara definisional sehingga selalu timbul masalah klasifikasi terhadap
sekuritas hibrida atau instumen keuangan. Salah satu pemecahan masalah ini adalah
mendefinisi ekuitas dalam arti luas yang mencangkupi utang/kewajiban kemudian
mengklasifikasi ekuitas menjadi beberapa kelas atas dasar hak-hak yang melekat pada tiap
kelas.
Masih ada masalah apabila instrument financial harus diakui dan dilaporkan via
statemen keuangan utama karena selain memenuhi definisi, suatu pos atau objek juga harus
memenuhi kriteria pengakuan yang lain yaitu terukur (meansureable), terandalkan (reliable),
dan berpaut (relevant). Oleh karena itu cara lain untuk mengatasi masalah instrument
keuangan adalah bukan dengan pengakuan melainkan dengan pengungkapan (disclosures).
Pembebasan Substantif
Pada mulanya, FASB menetapkan bahwa kewajiban dapat dianggap lenyap bila
kreditor menaruh kas atau lainnya misalnya obligasi pemerintah yang tidak dapat ditarik
kembali dalam satu perwalian dan aliran kas dari aset tersebut akan cukup untuk pelunasan
pembayaran bunga serta pokok pinjaman.
Bila telah dicapai saat sehingga debitor sehingga tidak perlu lagi melakukan
pembayaran di masa datang yang berkaitan dengan pinjaman tersebut, maka pada saat
tersebut secara substansif debitor sudah bebas dari kewajiban sehingga dapat mengakui
kewajiban dan aset dalam perwalian meskipun utang belum jatuh waktu. Bila debitor
membentuk dana pelunasan utang obligasi, pada saat debitor sudah tidak perlu lagi
membayar atau menyetor kas ke dana tersebut karena kas yang telah disetor dan pendapatan
dari dana tersebut sudah pasti akan cukup untuk menutup utang pada saat jatuh tempo, maka
pada saat itu kewajiban debitor secara substantive dianggap lenyao meskipun kewajiban
belum jatuh tempo. Jadi, pada saat tidak ada lagi keharusan membayar, telah terjadi
pembebasan substantif.
Sebagai contoh, perusahaan menerbitkan hutang obligasi nominal Rp. 50.000.000
yang akan jatuh tempo dalam waktu 10 tahun. Bersaman dengan penerbitan, perusahaan
membentuk dana pelunasan obligasi dengan menyetor kas secara berkala ke suatu perwalian
dana. Pada akhir tahun keenam, dana pelunasan telah terkumpul sebesar Rp. 40.000.000
(termasuk yang berasal dari pendapatan dana) dan perusahaan tidak perlu menyetor kas ke
dana tersebut karena perhitungan menunjukkan pada akhir tahun obligasi keenam telah
terjadi pembebasan substantif. Apakah pada saat itu perusahaan dapat mengakui (menghapus)
kewajiban dan aset (dana pelunasan) sebagai berikut :
Utang Obligasi ...................... 50.000.000
Dana Pelunasan Obligasi ..................... 40.000.000
Untung Pembebasan utang ................... 10.000.000
Pelunasan Obligasi Rp. 40.000.000 sebenarnya merepresentasi nilai tunai dana sampai
saat pencatatan diatas. Untung pembebasan utang dalam pencatatan diatas sebenarnya
merepresentasi pendapatan atau aliran kas yang berasal dan terakumulasi dari aset (dana)
yang ditempatkan pada perwalian dari saat pencatatan diatas sampai jatuh tempo utang. Pada
saat pencatatan diatas untung tersebut belum terealisasi tetapi masih marupakan antisipasi.
Oleh karena itu, lebih tepatnya kalau selisih tersebut dicatat sebagai untung/pendapatan dana
belum terealisasi dan harus diakui sebagai untung/pendapatan secara berkala sebagai berikut
(dimisalkan empat kali @ 2.500.000) :
Untung Dana Belum Terealisasi ........ 2.500.000
Untung atas Dana Pelunasan Obligasi ............ 2.500.000
Seandainya pada saat tercapainya pembebasan substantif perusahaan tidak mengakui
kewajiban, untung atau pendapatan dari aset (dana) dalam perwalian akan dicatat berkala
sebagai berikut (misalnya lima kali @2.000.000) :
Dana Pelunasan Obligasi ................... 2.000.000
Untung atas Dana Pelunasan Obligasi ............ 2.000.000
Bila cara ini ditempuh, pada saat jatuh tempo perusahaan baru mengahapus kewajiban
dengan mencatat sebagai berikut :
Utang Obligasi ....................................50.000.000
Dana Pelunasan Obligasi ........................... 50.000.000
Dalam standar ini FASB menegaskan bahwa pada saat terjadi pembebasan substantif,
kewajiban tidak dapat dihapus karena kejadian tersebut tidak memenuhi karakteristik atau
criteria kritis sebagai berikut :
a. Debitor tidak hanya sendirinya menjadi bebas dari kewajiban secara hukum hanya
lantaran perusahaan menempatkan aset ke dalam suatu perwalian.
b. Untuk pelunasan kewajiban, sumber dana tidak dibatasi hanya dari dana yang
ditempatkan dalam perwalian.
c. Kreditor tidak mempunyai kekuasaan untuk menggunakan secara bebas aset dalam
perwalian dan juga tidak dapat menghentikan atau membatalkan perwalian tersebut.
d. Kreditor ataupun agennya bukan merupakan pihak yang terikat dalam kontrak
pembentukan dana pembebasan utang.
Alasan lain yang sering dikemukakan adalah pengawakan kewajiban pada saat
tercapainya pembebasan substantive sama saja dengan mengkompensasi kewajiban dengan
aset. Kritik lain adalah pengawaakuan kewajiban pada saat terjadinya pembebasan
substantive dapat dimanfaatkan oleh debitor untuk melakukan manajemen laba dan
peningkatan kinerja secara kosmetik. Hal ini dapat dilakukan karena keuntungan bagi debitor
sebagai berikut :
a. Kewajiban dihapus dari neraca sehingga rasio kewajiban – ekuitas membaik.
b. Laba tahun berjalan akan meningkat dengan jumlah untung yang terjadi dalam
pengawaakuan kewajiban.
c. Untung pengawaakuan kewajiban tidak dikenai pajak karena untung tersebut
sebenarnya belum terealisasi sehingga perusahaan dapat menghemat atau menunda
pajak dan meningkatkan profitabilitas secara cukup berarti pada saat pembebasan
substantive.
d. Bila aset berupa obligasi pemerintah, perusahaan dapat menghemat pajak karena
untuk perhitungan pajak pendapatan bunga obligasi pemerintah dapat
dikompensasi oleh biaya bunga utang.
e. Pembebasan substantive memungkinkan perusahaan untuk memperlakukan
kewajiban jangka seperti mengelola surat – surat berharga di sisi aset.
Penyajian
Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca atas dasar urutan kelancarannya
sejalan dengan penyajian aset. PSAK No. 1 (pasal 39) menggariskan bahwa aset lancer
disajikan urut menurut urutan likuidiats sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh
tempo. Ini berarti kewajiban jangka pendek disajikan lebih dahulu daripada kewajiban jangka
panjang. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengevaluasi likuiditas
perusahaan.
PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi criteria
sebagai kewajiban jangka pendek harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang.
Suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek bila (paragraph 44) :
a. Diperkirkan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal opersi
perusahaan.
b. Jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca
Suatu kewajiban tetap dapat diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang bila
kewajiban tersebut tidak akan dilunasi tetapi didanai kembali atau diperbarui. Paragraf 47
menyebutkan bahwa kewajiban berbunga jangka panjang tetap diklasifikasikan sebagai
kewajiban jangka panjang, walaupun kewajiban tersebut akan jatuh tempo dalam jangka
waktu dua belas bulan sejak tanggal neraca, apabila :
a. Kesepakatan awal perjanjian pinjaman untuk jangka waktu lebih dari dua belas
bulan.
b. Perusahaan bermaksud membiayai kembali kewajibannya dengan pendanaan
jangka pnjang
Hak Mengkompensasi
Ada kalanya hak mengontra diperbolehkan bila kondisi tertentu dipenuhi. kondisi ini
biasanya berkaitan dengan apa yang disebut sebagai kontrak bersyarat dan kontrak
pertukaran. Kontrak bersyarat adalah kontrak yang hak dan kewajibannya bergantung pada
timbulnya kejadian masa datang tertentu yang belum tentu terjadi dan dapat mengubah saat
penerimaan, penyerahan, atau pertukaran jumlah rupiah atau instrument keuangan. Contoh
kontrak ini adalah futures contracts dan forward purchase – sale contracts. Kontrak
pertukaran adalah kontrak yang mewajibkan adanya pertukaran aset dan kewajiban dimasa
datang dan bukan hanya transfer aset dari satu pihak aja. Contoh kontrak ini adalah interest
rate swaps dan currency swaps.
Dalam FASB Interpretation No. 39,45 FASB mendefinisi hak mengontra sebagai
berikut (paragraph 5) :
Hak mengintra adalah hak yuridis debitor, lantaran kontrak antara lainnya, untuk menghapus
semua atau sebagian utang kepada pihak lain dengn cara mengkompensasi utang tersebut
dengan jumlah yang pihak lain berutang kepada debitor. Hak mengontra dikatakan ada
bilamana semua kondisi berikut dipenuhi :
a. Tiap pihak dari dua pihak yang berkontrak utang kepada yang lain suatu jumlah
rupiah tertentu.
b. Pihak pelapor mempunyai hak mengontra jumlah yang diutangnya dengan jumlah
yang diutang pihak lain.
c. Pihak pelapor memang berniat untuk mengontra.
d. Hak mengontra terpaksakan secara hukum.
Daftar Pustaka
Buku :
Suwardjono. 2014. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan Edisi 3. Yogyakarta.
BPFE-Yogyakarta.