Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Model Pembelajaran Discovery


1. Pengertian Model Pembelajaran Discovery
Model pembelajaran discovery (penemuan) adalah Model mengajar yang
mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan
yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian
atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran discovery (penemuan)
kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat
menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri.
Dalam menemukan konsep, siswa melakukan pengamatan, menggolongkan,
membuat dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk
menemukan beberapa konsep atau prinsip (Akanmu, 2013: 82).
Model discovery diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan
pengajaran perseorang, memanipulasi objek sebelum sampai pada generalisasi.
Sedangkan Bruner menyatakan bahwa anak harus berperan aktif didalam belajar.
Lebih lanjut dinyatakan, aktivitas itu perlu dilaksanakan melalui suatu cara yang
disebut discovery. Discovery yang dilaksanakan siswa dalam proses belajarnya,
diarahkan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip (Abdelrachman, 2014:
152).
Berbagai pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa Discovery ialah proses
mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses
mental yang dimaksud antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-
golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan
sebagainya. Dengan teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau
mengalami proses mental sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan
intruksi. Dengan demikian pembelajaran discovery ialah suatu pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan
berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri.
2. Karakteristik Model pembelajaran Discovery
Tiga ciri utama belajar dalam Model pembelajaran Discovery yaitu:
a. Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan,
menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan;
b. berpusat pada siswa atau student center ;
c. kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang
sudah ada.
Model pembelajaran Discovery merupakan suatu Model pengajaran
yang menitikberatkan pada aktifitas siswa dalam belajar. Dalam
mengaplikasikan Model Discovery Learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar
secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan
mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini
ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi
student oriented (Syah, 2013: 32).
Dalam Discovery Learning, hendaknya guru harus memberikan
kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis,
historin, atau ahli matematika. Bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir,
tetapi siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun
informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis,
mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-
kesimpulan. Model pembelajaran discovery learning ini menimbulkan asumsi
bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai,
akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir atau mengungkapkan
hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada
gilirannya akan menimbulkan frustasi (Purwanto, 2007: 64).
Model pembelajaran discovery learning ini tidak efisien untuk
mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama
untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah
lainnya.Harapan-harapan yang terkandung dalam Model ini dapat buyar
berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara
belajar yang lama.
Model pembelajaran discovery learning lebih cocok untuk
mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep,
keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian. Pada
beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur
gagasan yang dikemukakan oleh para siswa. Model pembelajaran discovery
learning tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan
ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru (Syah,
2013: 34).

3. Prinsip Model Pembelajara Discovery


Sebagai Model pembelajaran, Discovery Learning mempunyai prinsip yang
sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang
prinsipil pada ketiga istilah ini. Pada Discovery Learning lebih menekankan pada
ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaan
inkuiri dan problem solving dengan Discovery Learning ialah bahwa pada
discovery learning masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah
yang direkayasa oleh guru (Syah, 2013: 35).
Dalam mengaplikasikan model pembelajaran Discovery Learning guru
berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa
untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing
dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini
ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student
oriented.
Dalam Discovery Learning, hendaknya guru harus memberikan kesempatan
muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau
ahli matematika. Bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, tetapi siswa
dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan
dengan menggunakan tes maupun non tes.Penilaian yang digunakan dapat berupa
penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk
penialainnya berupa penilaian kognitif, maka dalam model pembelajaran
Discovery learning dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya
menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa maka
pelaksanaan penilaian dapat dilakukan dengan pengamatan (Purwanto, 2007: 65).
4. Langkah-Langkah Model pembelajaran Discovery
Menurut Syah (2013: 38), langkah-Langkah Pelaksanaan Model Pembelajaran
Discovery Learning
a. Langkah Persiapan
Langkah persiapan model pembelajaran penemuan (discovery learning) adalah
sebagai berikut:
1) Menentukan tujuan pembelajaran
2) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya
belajar, dan sebagainya)
3) Memilih materi pelajaran.
4) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari
contoh-contoh generalisasi)
5) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi,
tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa
6) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari
yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik
7) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa
b. Pelaksanaan
1) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping
itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan,
anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada
persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk
menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan
membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.
2) Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian
salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban
sementara atas pertanyaan masalah).
3) Data collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada
para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang
relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Pada tahap ini
berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk
mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca
literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji
coba sendiri dan sebagainya.
4) Data Processing (Pengolahan Data)
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi
yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan
sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara,
observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan,
ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan
pada tingkat kepercayaan tertentu
5) Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan
temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing. Verification
menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik
dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-
contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
6) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi.
Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang
mendasari generalisasi.
5. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Discovery
Menurut Syah (2013: 42), Seperti halnya Model pembelajaran yang lain,
Model pembelajaran Discovery juga mempunyai kelebihan maupun kekurangan.
Adapun kelebihan Model pembelajaran Discovery, antara lain:
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan
keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci
dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui Model ini sangat pribadi dan ampuh
karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan
berhasil.
d. Model ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan
kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f. Model ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena
memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai
peneliti di dalam situasi diskusi.
h. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah
pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik;
j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses
belajar yang baru;
k. Mendorong siswa berfikir dan bekerja atas inisiatif sendiri;
l. Mendorong siswa berfikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri;
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik; Situasi proses belajar menjadi
lebih terangsang;
n. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan
manusia seutuhnya;
o. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa;
p. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber
belajar;
q. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
Adapun kekurangan Model pembelajaran Discovery, antara lain :
a. Model ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar.
Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau
berfikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis
atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
b. Model ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori
atau pemecahan masalah lainnya.
c. Harapan-harapan yang terkandung dalam Model ini dapat buyar berhadapan
dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,
sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara
keseluruhan kurang mendapat perhatian.
e. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur
gagasan yang dikemukakan oleh para siswa.
f. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan
ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

B. Literasi Sains Siswa


1. Pengertian literasi sains
Literasi sains (science literacy) berasal dari gabungan dua kata latin yaitu
literatus artinya ditandai dengan huruf, melek huruf, dan scientia yang artinya
memiliki pengetahuan. Literasi sains didefinisikan pula sebagai kapasitas untuk
menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik
kesimpulan berdasarkan fakta dan data untuk memahami alam semesta dan membuat
keputusan dari perubahan yang terjadi karena aktifitas manusia, (OECD, 2003). Dari
pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa litersi sains merupakan kemampuan
seseorang dalam menggunakan pengetahuan ilmiah dan prosesnya, tetapi ia tidak
sekedar memahami alam semesta, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan dan menggunakannya, atau literasi sains juga dapat dikatakan sebagai
pengetahuan tentang manfaat dan kerugian sians.
Sejalan dengan yang dikemukakan pada bagian sebelumnya, Firman dkk
dalam Hayat (2010: 49) menyebutkan bahwa dahulu literasi diartikan hanya sebagai
kemampuan baca-tulis-hitung, yakni kemampuan yang esensial yang diperlukan oleh
orang dewasa untuk memberdayakan pribadi, memperoleh dan melaksanakan
pekerjaan, serta berpartisipasi dalam kehidupan social, kultural, dan politik secara
lebih luas. Akan tetapi semakin dominannya peran IPA dalam kehidupan masyarakat
modern, kemampuan baca-tulis-hitung tidaklah cukup. Literasi IPA menuntut
pemahaman yang mendalam terhadap konsep-konsep fundamental, seperti rantai
makanan, kelestarian alam, konservasi energy, fotosintesis, laju reaksi, perubahan
materi dan pewarisan sifat keturunan. Namun, untuk memampukan orang dewasa
berfungsi secara efektif di masyarakat, literasi IPA menuntut pula kemampuan
menggunakan proses penyelidikan IPA, seperti mengidentifikasi bukti-bukti yang
diperlukan untuk menjawab pertanyaan ilmiah, mengenal permasalahan yang dapat
dipecahkan melalui penyelidikan ilmiah dan sebagainya.
Literasi sains dapat pula didefinisikan sebagai kemampuan membaca dan
menulis tentang sains dan teknologi. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa devinisi itu
bersifat sangat umum, karena itu maknanya termasuk bahan bacaan apaun yang dapat
dibaca, dari bacaan sederhana hingga karya tulis ilmiah. Adapun konsep literasi sains
terdiri dari dua dimensi :
1. Dimensi kosa kata, dimensi ini menunjukan istilah sains sebagai fondasi dasar
dalam membaca dan memahami bahan bacaan sains.
2. Dimensi proses inkuiri, dimensi ini menunjukan pemahanman kompetensi untuk
memahami dan mengikuti argument tentang sains dan hal-hal yang berhubungan
dengan kebijakan teknologi media.
Dari kedua konsep literasi sains tersebut, maka tujuan dari pendidikan sains
adalah meningkatkan kompetensi peserta didik untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya dalam berbagai situasi. Dengan kompetensi itu, peserta didik akan mampu
belajar lebih lanjut dan hidup di masyarakat yang saat ini banyak dipengeruhi oleh
perkembangan sains dan teknologi. Dengan begitu, para peserta didik dapat berguna
bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Kompetensi itulah yang dimaksud sebagai
literasi sains menurut Programme for International Student Assesment (PISA). PISA
mengukur hasil system pendidikan pada prestasi belajar peserta didik yang berusia 15
tahun. Assesment yang dilakukan oleh PISA ini tidak sekedar berfokus pada sejauh
mana peserta didik telah menguasai kurikulum sekolah, tetapi juga melihat
kemampuan peserta didik untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang
diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari. Orientasi ini mencerminkan perubahan
tujuan kurikulum yang semakin mengarah kepada apa yang dapat dilakukan peserta
didik dengan bekal kemampuannya dan apa yang telah dipelajarinya disekolah.
Berdasarkan adanya tujuan dari pendidikan sains sendiri yang dapat
meningkatkan kompetensi peserta didik untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
dalam berbagai situasi, terdapat pula adanya kesalahan seseorang dalam memahami
isi bacaan sains yang mengakibatkan adanya kesalahan pada pemahaman sains seperti
yang telah dikatakan oleh Martin dalam Toharudin (2011: 72). Dari pernyataan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sains yang memadukan unsure
kebahasaan seperti aspek membaca, menulis, dan berkomunikasi merupakan sesuatu
yang niscaya dan harus dilakukan. Aspek keberhasilan menjadi kunci kesuksesan
literasi sains. Hal ini berimplikasi bahwa sekolah memiliki tanggung jawab yang
sangat mendasar dalam rangka menumbuhkembangkan kemampuan peserta didk
untuk memahami bahasa sains dalam pembelajaran sains.
Penggunaan bahasa yang digunakan dalam sains tidak sama persis dengan
penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa yang dugunakan dalam sains adalah bahasa
ilmiah yang berisi kandungan pengetahuan sians yang memiliki keunikan tersendiri.
Tata bahasa, struktur kalimat, penggunaan istilah, kosa kata sains atau diksi
memungkinkan para ilmuan untuk dapat menyususn penafsiran alternative dan bahasa
sehari-hari mengenai alam semesta. Dari perspektif fungsi linguistic, mempelajari
bahasa ilmiah atau bahasa sains sama dengan mempelajari sains. Sedangkan Menurut
Wells dalam Toharudin (2011: 74) mengatakan bahwa belajar sains juga berarti
mengontrol keunikan format dan struktur linguistic yang menyusun dan
mengomunikasikan prinsip-prinsip sains, pengetahuan dan keyakinannya. Upaya
mengembangkan literasi sains juga menjadi dasar bagi proses semiotic yang
melibatkan pemodelan ulang secara sistemaik tata bahasa yang diperoleh dari
pengalaman sehari-hari
2. Ruang lingkup (dimensi) literasi sains
Literasi sains merupakan ranah studi PISA (Program For Internasional Student
Assessment). Secara rinci, PISA 2015 memaparkan dimensi literasi sains sebagai
berikut:
a. Knowledge atau Konten (kandungan) literasi sains
Konten sains berdasarkan PISA 2015 dimensi konsep ilmiah peserta didik
dalam menangkap sejumlah konsep kunci atau esensial untuk dapat memahami
fenomena alam tertentu dan perubahan-perubahan yang terjadi akibat
kegiatan manusia. Pada PISA 2015 yang termasuk konten sains adalah “ An
understanding of the major facts, concept and explanatory theories that form the
basis of scientific knowledge. Such knowledge includes both knowledge of the
natural world and technological artifact (content knowledge), knowledge of how
such ideas are produced (procedural knowledege), and an understanding of the
underlying rationale for these procedures and the justification for their use
(epistemic knowledge) ” (PISA, 2015: 11).
Pada penelitian ini, konsep-konsep kunci pengetahuan sains yang akan dikaji
adalah sistem kehidupan manusia, tepatnya sistem pertahanan tubuh. konsep-
konsep kunci diperlukan untuk dapat memahami fenomena mekanisme
pertahanan tubuh, serangan penyakit yang dialami tubuh, cara pencegahan dan
penanggulangan yang dapat diusahakan oleh manusia.
b. Kompetensi atau Proses Sains
Proses literasi sains dalam PISA mengkaji kemampuan peserta didik untuk
menggunakan pengetahuan dan pemahaman ilmiah, seperti kemampuan peserta
didik untuk mencari, menafsirkan dan memperlakukan bukti-bukti. PISA
menetapkan tiga aspek dari komponen kompetensi/proses sains berikut
dalam penilaian literasi sains, yakni :
1) Mengidentifikasi pertanyaan ilmiah
Pertanyaan ilmiah adalah pertanyaan yang meminta jawaban
berlandaskan bukti ilmiah, yang didalamnya mencakup juga mengenal
pertanyaan yang mungkin diselidiki secara ilmiah dalam situasi yang
diberikan, mencari informasi dan mengidentifikasi kata kunci serta mengenal
fitur penyelidikan ilmiah, misalnya hal-hal apa yang harus dibandingkan,
variabel apa yang harus diubah-ubah dan dikendalikan, informasi tambahan
apa yang diperlukan atau tindakan apa yang harus dilakukan agar data relevan
dapat dikumpulkan.
2) Menjelaskan fenomena secara ilmiah
Kompetensi ini mencakup pengaplikasikan pengetahuan sains
dalam situasi yang diberikan, mendeskripsikan fenomena, memprediksi
perubahan, pengenalan dan identifikasi deskripsi, eksplanasi dan prediksi
yang sesuai.
3) Menggunakan bukti ilmiah
Kompetensi ini menuntut peserta didik memaknai temuan ilmiah
sebagai bukti untuk suatu kesimpulan. Selain itu juga menyatakan bukti
dan keputusan dengan kata-kata, diagram atau bentuk representasi lainnya.
Dengan kata lain, peserta didik harus mampu menggambarkan hubungan
yang jelas dan logis antara bukti dan kesimpulan atau keputusan.
Proses sains ini merujuk pada proses mental siswa ketika peserta didik
menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti
mengidentifikasi dan memaknai bukti, serta menyimpulkan sesuatu
berdasarkan bukti.
c. Konteks literasi sains
Konteks literasi sains dalam PISA lebih pada melibatkan isu-isu yang
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya kegiatan di kelas atau
laboratorium tapi juga mencakup personal, local, national, and global issues,
both current and historical, which demand some understanding of science and
technology (PISA, 2015: 11). Berikut adalah tabel area dari konteks literasi sains
dan karakteristiknya :
Secara umum dapat disimpulkan bahwa area konteks literasi sains dibagi
menjadi tiga area, yaitu bagi personal (baik diri sendiri ataupun keluarga), sosial
dalam bermasyarakat dan global meliputi alam dunia ini. Dimana ketiga hal
tersebut menyangkut sains dalam kehidupan dan kesehatan, sains tentang bumi
dan lingkungan, dan sains teknologi. Karakteristik dimensi konteks ini,
menggambarkan kegunaan ilmu sains dan teknologi bagi masyarakat,
menunjukkan efek negatif dari ilmu sains dan teknologi bagi masyarakat
serta menggambarkan masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan ilmu sains
atau teknologi.
d. Attitudes atau Sikap
PISA 2015 menambahkan sikap untuk ruang lingkup literasi sains karena
seseorang yang memiliki kemampuan literasi sains juga harus memiliki sikap
yang baik terhadap lingkungan sekitarnya “A set of Attitudes towards science
indicated by an interest in science and technology, valuing of scientific
approaches to enquiry, where approphiate, and a perception and awareness of
environmental issues” (PISA, 2015: 11).
3. kompetensi ilmiah dalam PISA terdiri dari:
a. Mengidentifikasi isu ilmiah,
- Mengenali isu-isu yang dapat ditangani secara ilmiah
- Mengidentifikasi kata kunci untuk mencari informasi ilmiah
- Mengenal kunci penyelidikan ilmiah.
b. Menjelaskan fenomena ilmiah
- Menerapkan pengetahuan sains pada situasi yang diberikan.
- Menjelaskan / memaknai fenomena ilmiah dan memprediksi perubahan yang
terjadi
- Mengidentifikasi deskripsi, penjelasan dan prediksi secara tepat.
c. Menggunakan bukti ilmiah
- Menafsirkan bukti ilmiah, membuat dan mengkomunikasikan kesimpulan.
- Mengidentifikasi asumsi, bukti dan alasan dibalik kesimpulan
- Merefleksikan implikasi sosial pada perkembangan sains dan teknologi.
(PISA, 2015: 8-10).
Menurut Poedjiadi dalam Toharudin (2011: 85-87) menyatakan bahwa
seseorang yang memiliki kemampuan literasi sains dan teknologi adalah orang yang
memiliki kemampuan untuk menyelasaikan masalah dengan menggunakan konsep-
konsep sains yang diperoleh dalam pendidikan sesuai dengan jenjangnya, mengenal
produk teknologi yang ada disekitarnya beserta dampakny, mampu menggunakan
produk teknologi dan memeliharanya, kreatif dalam membuat hasil teknologi yang
disederhanakan sehingga para peserta didik mampu mengambil keputusan
berdasarkan nilai dan budaya masyarakat setempat. sedangkan Menurut laugksch
menyatakan bahwa Pengembangan literasi sains sangat penting karena ia dapat
member kontribusi bagi kehidupan social dan ekonomi, serta mampu memperbaiki
pengambilan keputusan ditingkat masyarakat dan personal.
Fungsi literasi sains memiliki kecocokan yang sangat baik dengan tujuan
umum dari literasi bahasa. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa literasi sains lebih dari
sekedar mengingat istilah-istilah dalam sains. Tentang masalah ini sudah baanyak
penelitian dilakukan terkait dengan kemampuan membaca dan mengevaluasi karya
tulis ilmiah yang berkolerasi dengan literasi sains.
Literasi sains meliputi dua kompetensi utama. Pertama, kompetensi belajar
sepanjang hayat, termasuk membekali peserta peserta didik untuk belajar disekolah
yang lebih lanjut. Kedua, kompetensi dalam menggunakan pengetahuan yang
dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan banyak dipengaruhi oleh
perkembangan sains dan teknologi.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil pengukuran mutu hasil pembelajaran
sains peserta didik yang dilakukan secara internasional. Hasilnya menunjukan bahwa
pencapaian peserta didk Indonesia masih jauh dibawah kemampuan peserta didk
negara-negara lain di dunia.
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memenuhi proses pembelajaran sains
adalah mengkaji factor-faktor penyebab rendahnya prestasi sains peserta didik
Indonesia, khususnya factor kemampuan membaca. Masalah ini dipandang sangat
penting karena sangat erat kaitannya dengan kemampuan literasi sains. Pendapat
tersebut didukung oleh Matthew (2002: 34) yang melakukan kajian terhadap data
PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) 2007 untuk melihat rata-
rata kemampuan membaca peserta didik Indonesia. Berdasarkan data PIRLS
diperoleh informasi bahwa skor kemampuan membaca peserta didk Indonesia hanya
mampu mencapai skor 405 dan masih di bawah rerata rerata internasional yang
mencapai skor 500.
Menurut Suhardjono dalam Toharudin (2011: 93) mengungkapkan bahwa
kemampuan guru IV SD/MI dalam pembelajaran membaca dan pemahamannya relatif
masih lemah, tepatnya hanya mencapai 42,85% dari kemampuan ideal. Kemampuan,
pendidikan, dan pengelaman guru dalam pembelajaran membaca ini berpengaruh
terhadap signifikan terhadap kemampuan membaca peserta didik kelas IV.
Untuk menerapkan pembelajaran yang berliterasi sains, diperlukan
pemahaman yang cukup dan memadai mengenai karakteristik manusia yang memiliki
literasi sains. Menurut Rubba dalam Toharudin (2011: 97) menyatakan bahwa
karakteristik individu yang memiliki literasi sains sebagai berikut :
1. Bersikap positif terhadap sains
2. Mampu menggunakan proses sains
3. Berpengetahuan luas tentang hasil-hasil riset
4. Memiliki pengertahuan tentang konsep dan prinsip sains
5. Memiliki pengertian hubungan antara sains, teknologi, dan masyarakat
6. Berkemampuan membuat keputusan dan terampil menganalisis nilai untuk
pemecahan masalah-masalah masyarakat yang berhubungan dengan sains
tersebut.
Ciri-ciri bahwa seseorang memiliki literasi sains menurut Poedjiadi dalam
Toharudin (2011: 97) adalah :
1. Menggunakan konsep sains, keterampilan proses dan nilai apabila ia
mengambil keputusan dan bertanggungjawab dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mengetahui bagaimana masyarakat mempengaruhi sains dan teknologi serta
bagaimana sains dan teknologi mempengaruhi masyarakat.
3. Mengetahui bahwa masyarakat mengontrol sains dan teknologi melalui
penggunaan sumber daya alam
4. Menyadari keterbatasan dan kegunaan sains dan teknologi untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia.
5. Memahami sebagian besar konsep-konsep sains, hipotesis serta teori sains dan
mampu menggunakannya.
6. Menghargai sains dan teknologi sebagai stimulus intelektual yang dimilikinya.
7. Mengetahui bahwa pengetahua ilmiah bergantung pada proses-proses inkuiri
dan teori-teori.
8. Membedakan anyata fakta-fakta ilmiah dan opini pribadi.
9. Mengakui asal usul sains dan mengetahui bahwa pengetahuan ilmiah itu
tentatif.
10. Mengetahui aplikasi teknologi dan pengambilan keputusan menggunakan
teknologi.
11. Memiliki pengetahuan dan pengamalan yang cukup untuk member
penghargaan kepada penelitian dan pengembangan teknologi.
12. Mengetahui sumber-sumber informasi daru sains dan teknologi yang
dipercaya dan menggunakan sumber-sumber tersebut dalam pengambilan
keputusan.
Komponen proses merupakan bagian yang mungkin paling sulit di-assess.
Sedangkan komponen konten merupakan bagian yang paling mudah dievaluasi.
Dalam PISA pencapaian kompetensi siswa dalam komponen proses diklasifikasikan
kedalam tiga keompon/tingkatan.
Tingkatan kompetensi pertama disebut reproduksi. Dalam tingkatan
kompetensi ini, siswa mengulang atau menyalin informasi yang diperoleh
sebelumnya. Misalnya, siswa dapat mengulang kembali definisi suatu hal dalam
matematika. Dari segi keterampilan, dalam tingkat kompetensi ini, siswa dapat
mengerjakan komputasi-komputasi sederhana yang mungkin membutuhkan prosedur
rutin.
Tingkatan kompetensi kedua disebut koneksi. Dalam tingkatan kompetensi
ini, siswa dapat membuat keterkaitan antara beberapa gagasan. Dalam tingkat
kompetensi ini pula, siswa dapat memecahkan permasalahan yang sederhana serta
siswa terlibat langsung dalam pengambilan keputusan secara matematika.
Tingkat kompetensi ketiga disebut refleksi. Ciri siswa dengan kompetensi
yang tinggi ini adalah pencapaian kedewasaan dalam bernalar. Jika dihadapkan pada
suatu pola atau fenomena siswa memberikan pemikiran yang mendalam. Dalam
tingkat kompetensi refleksi, siswa melakukan anlisis dari situasi yang dihadapinya.
Ditingkat kompetensi ini, siswa mempunyai ciri akan membuat model sendiri dari
suatu masalah serta melakukan analisis, berfikir kritis, serta refleksi atas model
tersebut.
C. Analisis Materi Ekosistem
Ekosistem tersusun atas 2 komponen, yaitu komponen yang terdiri atas komponen
makhluk hidup (komponen biotik) dan komponen yang terdiri atas benda mati
(komponen abiotik).
1. Komponen Abiotik
Komponen abiotik merupakan komponen penyusun ekosistem yang terdiri
dari benda-benda tak hidup. Secara terperinci, komponen abiotik merupakan
keadaan fisik dan kimia di sekitar organisme yang menjadi medium dan
substrat untuk menunjang berlangsungnya kehidupan organisme tersebut.
Contoh komponen abiotik adalah air, udara, cahaya matahari, tanah, topografi
, dan iklim.
2. Komponen Biotik
Komponen biotik meliputi semua jenis makhluk hidup yang ada pada suatu
ekosistem. Contoh komponen biotik adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan
mikroorganisme. Menurut peranannya dalam ekosistem, komponen biotik
dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu produsen, konsumen, dan pengurai.
Organisme yang berperan sebagai produsen adalah semua organisme yang
dapat membuat makanan sendiri. Organisme ini disebut organisme autotrof,
contohnya adalah tumbuhan hijau . Sedangkan organisme yang tidak mampu
membuat makanan sendiri (heterotrof ) berperan sebagai konsumen.
Ekosistem merupakan sistem ekologi, ekologi berasal dari bahasa
Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu oikos yang artinya rumah atau tempat
hidup, dan logos yang berarti ilmu. Ekologi diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari baik interaksi antara makhluk hidup maupun interaksi antara
makhluk hidup dan lingkungannya, makhluk hidup sebagai kesatuan atau
sistem dengan lingkungannya. Ekosistem juga menunjukkan adanya interaksi
bolak-balik antara makhluk hidup (biotik) dengan alam (abiotik). Ekosistem
bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara
segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem
merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi
timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi
menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi
antara organisme dan anorganisme.
Ekosistem terbentuk dari komponen biotik dan abiotik. Komponen
biotik disebut sebagai sesuatu yang hidup, komponen biotik merupakan faktor
hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik tumbuhan maupun
hewan. Tumbuhan dalam ekosistem berperan sebagai produsen, hewan
berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan sebagai
dekomposer. Komponen abiotik atau sering disebut komponen tak hidup
adalah faktor tak hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia, diantaranya yaitu
suhu, sinar matahari, air, tanah, kelembapan, derajat keasaman (pH),
ketinggian dan angin.
Interaksi yang terjadi pada suatu ekosistem, ada yang diuntungkan,
dirugikan dan tidak merasa diuntungkan maupun dirugikan, serta adanya
persaingan antar komponen penyusun ekosistem. Interaksi-interaksi yang
terjadi antar komponen ekosistem yaitu 1) simbiosis mutualisme, merupakan
interaksi antar organisme yang saling menguntungkan, contohnya adalah
kupu-kupu dengan tanaman berbunga; 2) simbiosis komensalisme, merupakan
interaksi antar organisme dimana yang satu diuntungkan dan yang lain tidak
dirugikan, contohnya tanaman anggrek yang menempel pada pohon mangga;
3) simbiosis parasitisme, merupakan interaksi antar organisme dimana yang
satu diuntungkan dan yang lain dirugikan, contohnya kutu rambut dengan
rambut manusia; 4) kompetisi merupakan hubungan persaingan antar
organisme untuk melangsungkan kehidupan, contohnya tanaman padi dengan
gulma; 5) predatorisme: interaksi antar organisme, dimana yang satu memakan
yang lain, contohnya harimau memangsa rusa; 6) netralisme: interaksi antar
organisme yang saling lepas/tidak saling memengaruhi, contohnya kambing
dan kucing di halaman.
Aliran energi terjadi pada suatu ekosistem. Aliran energi merupakan
rangkaian urutan pemindahan bentuk energi satu ke bentuk energi lain dimulai
dari sinar matahari lalu ke produsen, konsumen sampai ke pengurai di dalam
tanah. Rantai makanan adalah pengalihan energi dari sumbernya melalui
sederetan organisme yang makan dan dimakan. Rantai makanan terbagi
menjadi rantai makanan pemangsa, rantai makanan saprofit, dan rantai
makanan parasit. Sedangkan kumpulan beberapa rantai makanan yang
kompleks disebut jaring-jaring makanan. Struktur trofik pada ekosistem dapat
disajikan dalam bentuk piramida ekologi yang memiliki empat tingkatan trofi,
tingkat taraf trofi satu yaitu organisme dari golongan produsen, tingkat taraf
trofi dua yaitu organisme dari golongan herbivora, tingkat taraf trofi tiga yaitu
organisme dari golongan karnivora, dan tingkat taraf trofi empat yaitu
organisme dari golongan karnivora.
Ekosistem juga mengalami siklus biogeokimia secara terus menerus.
Biogeokimia adalah pertukaran atau perubahan yang terus menerus, antara
komponen biosfer yang hidup dengan tak hidup. Dalam suatu ekosistem,
materi pada setiap tingkat trofik tidak hilang. Materi berupa unsur-unsur
penyusun bahan organik tersebut didaur-ulang. Unsur-unsur tersebut masuk ke
dalam komponen biotik melalui udara, tanah, dan air. Daur ulang materi
tersebut melibatkan makhluk hidup dan batuan (geofisik).
Daur biogeokimia terjadi secara terus menerus, baik daur air, daur
karbon, daur nitrogen, dan daur posfor. Daur air merupakan proses peredaran
air dari atmosfer ke laut dan organisme dengan lingkungannya. Air di
atmosfer berada dalam bentuk uap air. Uap air berasal dari air di daratan dan
laut yang menguap karena panas cahaya matahari. Uap air di atmosfer
terkondensasi menjadi awan yang turun ke daratan dan laut dalam bentuk
hujan. Air hujan di daratan masuk ke dalam tanah membentuk air permukaan
tanah dan air tanah. Tumbuhan darat menyerap air yang ada di dalam tanah.
Kemudian melalui tranpirasi uap air dilepaskan oleh tumbuhan ke atmosfer.
Transpirasi oleh tumbuhan mencakup 90% penguapan pada ekosistem darat.
Hewan dan manusia memperoleh air langsung dari air permukaan. Sebagian
air keluar dari tubuh hewan dan manusia sebagai urin dan keringat.
Daur karbon mencerminkan proses timbal balik fotosintesis dan
respirasi seluler bertanggung jawab atas perubahan dan pergerakan utama
karbon. Naik turunnya CO2 dan O2 atsmosfer secara musiman disebabkan
oleh penurunan aktivitas Fotosintetik. Dalam skala global kembalinya CO2
dan O2 ke atmosfer melalui respirasi hampir menyeimbangkan
pengeluarannya melalui fotosintesis. Akan tetapi pembakaran kayu dan bahan
bakar fosil menambahkan lebih banyak lagi CO2 ke atmosfir. Sebagai
akibatnya jumlah CO2 di atmosfer meningkat. CO2 dan O2 atmosfer juga
berpindah masuk ke dalam dan ke luar sistem akuatik, dimana CO2 dan O2
terlibat dalam suatu keseimbangan dinamis dengan bentuk bahan anorganik
lainnya.
Daur nitrogen adalah transfer nitrogen dari atmosfir ke dalam tanah.
Gas nitrogen ikatannya stabil dan sulit bereaksi sehingga tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh makhluk hidup. Selain air hujan yang
membawa sejumlah nitrogen, penambahan nitrogen ke dalam tanah terjadi
melalui proses fiksasi nitrogen. Fiksasi nitrogen secara biologis dapat
dilakukan oleh bakteri Rhizobium yang bersimbiosis dengan polong-polongan,
bakteri Azotobacter dan Clostridium serta ganggang hjau biru.
Nitrat yang di hasilkan oleh fiksasi biologis digunakan oleh produsen
(tumbuhan) diubah menjadi molekul protein. Selanjutnya jika tumbuhan atau
hewan mati, akan diuraikan oleh dekomposer menjadi gas amoniak (NH3) dan
garam ammonium yang larut dalam air (NH4+). Proses ini disebut dengan
amonifikasi atau nitrifikasi. Oleh bakteri nitrit (Nitrosomonas), amoniak
diubah menjadi nitrit yang disebut proses nitritasi. Kemudian, nitrit dengan
bantuan bakteri nitrat (Nitrobacter) diubah menjadi nitrat melalui proses
nitratasi. Adapula bakteri yang mampu mengubah nitrit atau nitrat menjadi
nitrogen bebas diudara, disebut dengan denitrifikasi.
Daur fosfor, ion Fosfat terdapat dalam bebatuan dan endapan dari sisa
makhluk hidup yang mengalami pelapukan dan erosi. Adanya peristiwa erosi
dan pelapukan menyebabkan fosfat terbawa menuju sungai hingga laut
membentuk sedimen. Adanya pergerakan dasar bumi menyebabkan sedimen
yang mengandung fosfat muncul ke permukaan. Di darat tumbuhan
mengambil fosfat yang terlarut dalam air tanah. Herbivora mendapatkan fosfat
dari tumbuhan yang dimakannya dan karnivora mendapatkan fosfat dari
herbivora yang dimakannya. Seluruh hewan mengeluarkan fosfat melalui urin
dan feses. Bakteri dan jamur mengurai bahan-bahan anorganik di dalam tanah
lalu melepaskannya ke lingkungan, kemudian posfor diambil kembali oleh
tumbuhan.

D. Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Balim (2009) tentang efektifitas penerapan model
pembelajaran Discovery Learning untuk meningkatkan keterampilan siswanya
menyatakan bahwa penerapan model ini dapat meningkatkan keterampilan siswa
dalam pembelajaran dibandingkan dengan menggunakan metode tradisional sebab,
pembelajaran yang menerapkan model ini menekankan siswa untuk berfikir kritis,
aktif dalam bertanya serta mampu memecahkan masalah. Sehingga, hasil penelitian
yang dilakukan oleh Balim (2009) pun menunjukkan bahwa adanya perbedaan secara
signifikan antara kelas eksperimen (menggunakan penerapan model Discovery
Learning) dengan kelas control (menggunakan metode tradisional) dibuktikan dengan
pendapatan nilai siswa di kelas eksperimen jauh lebih besar pada aspek kognitif dan
affektif. Dengan demikian, keterampilan siswa di kelas eksperimen meningkat
dibandingkan kelas control.
Selain Balim, Prof. Dr. Abdelrahman Kamel (2014) pun meneliti tentang
efektifitas penerapan model pembelajaran Discovery Learning terhadap kemampuan
metakognitif siswa pada materi grammatical. Dan hasil dari penelitiannya mengatakan
bahwa model pembelajaran Discovery Learning dapat membantu siswa untuk
berperan aktif selama pembelajaran, menemukan kendala-kendala yang dialaminya
dalam belajar grammar serta mampu menemukan solusi atas masalahnya sendiri
sehingga kemampuan metakognitifnya meningkat setelah diterapkan model Discovery
Learning dalam materi grammar.
Peneliti lain yang menerapkan model pembelajaran Discovery Learning adalah
Akanmu, dkk (2013). Penelitian ini dilakukan pada siswa SMA di Nigeria untuk
mengetahui peningkatan kemampuan dalam pelajaran Matematika. Dari hasil
penelitiannya, Akanmu menyatakan bahwa penerapan model pembelajaran Discovery
Learning lebih efektif dibandingkan metode tradisional lainnya sebab model ini dapat
membantu siswa dalam menyelesaikan soal matematika dengan cara sendiri sehingga
pembelajaran pun terkesan lebih interaktif.
Perbedaan penelitian-penelitian sebelumnya dengan penelitian yang saya
lakukan terletak pada materi yang diterapkan serta pada tujuannya yaitu untuk
meningkatkan kemampuan literasi sains siwa.

Anda mungkin juga menyukai