Anda di halaman 1dari 3

Pada tahun 1949, berita baik untuk dunia kesehatan muncul.

Para ahli telah menemukan obat


yang bisa menyembuhkan hampir 100% penderita Tuberkulosis Paru (TB). Jutaan orang telah
dirawat dan diberikan obat itu sehingga penyakit ini lama kelamaan mulai lenyap dari banyak
negara di Amerika dan Eropa. Anehnya, penyakit ini tidak pernah lenyap dari beberapa negara
terutama negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. TB membuat sepertiga dari 8
juta orang yang terinfeksi berasal dari Asia Tenggara dengan 1 juta dari jumlah itu meninggal
setiap tahunnya1. Di Indonesia, insidens TB mencapai 107 per 100.000 penduduk pada tahun
20062. Angka ini menjadikan Indonesia menempati rangking 3 dalam jumlah kasus TB di dun.
Jika TB bisa disembuhkan, mengapa TB masih menjadi masalah kesehatan yang besar di
Indonesia? Bagaimana caranya untuk mengendalikan TB?

Masalah ini bermula dari sebuah bakteri kecil yang bernama Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri ini menyebar di udara ketika ada seseorang yang terinfeksi bersin, batuk atau bicara.
Titik-titik kecil air liur dari orang itu mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis dan
mengambang di udara sampai ada seseorang yang menghirupnya. Bakteri itu akan terbawa
dalam paru-paru di mana bakteri itu akan memulai membelah diri, tumbuh serta menyerang
sistem kekebalan tubuh. Penyakit ini akan menyebar dengan cepat. Bahkan, setiap detik
seseorang akan terinfeksi dengan TB di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia1.

Banyak hal yang menyababkan TB menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia. Program
pengendalian TB masih dijalankan dengan pengorganisasian yang lemah sehingga banyak
pasien TB yang tidak menjalankan perawatannya dengan sempurna. Mereka akan menjadi
sumber utama penyebaran TB karena bakteri dalam tubuh mereka bisa resisten dan terus
menyebar ke orang lain. TB juga menjadi bagian dari Epidemi HIV. Seseorang dengan infeksi
HIV akan memiliki risiko sakit karena TB sebesar 10% per tahun, sementara seseorang yang
tidak terinfeksi HIV “hanya” memiliki risiko sebesar 10% dalam hidupnya1. Populasi yang
terus bertambah juga mengakibatkan kasus TB terus bertambah karena sekitar setengah orang-
orang yang terinfeksi TB akan “menginfeksi” pasangannya kelak. Selain itu, TB merupakan
cerminan dari kondisi sosio-ekonomi yang miskin. TB akan mudah menyebar pada daerah
miskin, padat penduduk dan tingkat gizi yang rendah.

Saat ini, ada berita yang lebih baik dari obat TB. Berita baik itu adalah strategi DOTS. Strategi
ini terdiri dari 2 tujuan utama: menyembuhkan 85% dan mendeteksi 70% orang-orang yang
terinfeksi TB1. DOTS memiliki 5 komponen utama, yaitu:

1. 1. Dukungan Pemerintah

Pengendalian penyakit menular, termasuk TB, adalah tanggung jawab dari pemerintah.
Komitmen politik yang kuat, tahan lama, serta terkoordinasi adalah hal yang sangat penting
bagi penanggulangan TB.

1. 2. Mikroskop

Cara terbaik untuk mendeteksi seseorang dengan infeksi TB adalah dengan menguji dahak
(sputum) mereka dengan mikroskop. Seseorang dengan kuman TB di dalam dahaknya (smear
positive) akan 10 kali lebih mudah menularkan TB daripada yang tak ada kuman TB dalam
dahaknya (smear negative) 1.

1. 3. Obat
Perawatan penuh dengan pemberian obat adalah kunci untuk pengendalian TB. Program
pengendalian TB harus menjamin sebuah mekanisme obat TB yang berkelanjutan dan tak
pernah berhenti sampai sembuh.

1. 4. Pengawas

Dalam perawatan penderita TB, semua obat dalam jangka waktu 6-8 bulan harus diminum agar
penderita bisa benar-benar terbebas dari TB. Untuk memastikannya, peran dari pengawas
sangat diperlukan. 30% dari pasien akan gagal dalam proses penyembuhan jika tidak ada
pengawas dan hanya kurang dari 5% yang akan gagal apabila terdapat pengawas untuk
meminum obat1.

1. 5. Laporan

Sebuah sistem monitoring yang baik adalah sebuah kebutuhan yang penting untuk meyakinkan
bahwa para pasien telah benar-benar sembuh. Laporan individu setiap pasien yang dirawat,
daftar semua pasien yang dirawat dan laporan reguler dari hasil pasien yang dirawat merupakan
sistem dasar yang harus dipenuhi.

DOTS memang merupakan langkah komprehensif untuk menanggulangi TB, tapi DOTS tak
akan pernah bisa sukses jika hanya dilakukan oleh pemerintah. Peran LSM sangatlah signifikan
dalam menyukseskan DOTS. LSM dapat menyediakan pelayanan terkait dengan TB melalui
klinik atau rumah sakit. Di sini, LSM akan berperan sebagai pelayanan baris kedua (second
line tratment) untuk para penderita TB. LSM bisa berperan sebagai pendidik masyarakat dalam
perawatan TB. Hal ini diperlukan karena banyak dari masyarakat yang tidak mengerti tentang
bagaimana gejala TB, perawatan dan cara pengobatannya. LSM juga dapat mendorong
perawatan berbasis komunitas (community based care). Melalui perawatan ini, LSM
mendorong komunitas untuk lebih peka terhadap penderita TB dengan program-program yang
dibuat oleh komunitas tersebut. Selain itu, LSM juga dapat membuat sebuah riset yang berguna
untuk perkembangan dalam penanggulangan TB.

Beberapa LSM di luar negeri telah berhasil melaksanakan perannya dalam strategi DOTS.
Sebuah LSM dari Nepal yang bernama GENETUP berhasil merawat 400 pasien setiap
tahunnya dan mencapai tingkat kesuksesan hingga 85%3. Di India, terdapat sebuah LSM
internasional bernama ACTIONAID yang telah menyediakan materi edukasi untuk TB.
ACTIONAID bekerja sama dengan 275 LSM lokal dan berkonsentrasi di 138 distrik
terbelakang India4. Di Bangladesh, sebuah LSM yang bernama BRAC telah menginisiasi
perawatan berbasis komunitas di thana (kabupaten) Manikonj pada tahun 1986. Setiap thana
memiliki 200-250 desa dan populasi 0,2-0,25 juta. BRAC berhasil mengembangkan proyek
ini hingga menjangkau 60 thana dengan populasi mencapai 13-14 juta5. Ada juga LSM yang
memiliki fokus dalam penelitian seperti The Foundation for Research in Community Health
(FRCH). LSM ini telah melakukan studi pada India Barat yang menghasilkan perhatian dari
banyak orang tentang TB dan revisi dari program nasional pemberantasan TB6.

TB adalah permasalahan kesehatan dunia yang akan terus membunuh manusia jika tidak segera
dikendalikan. Peran pemerintah memang mutlak adanya, namun pemerintah sendiri tak akan
bisa mengendalikan permasalahan TB ini. Peran dari LSM sebagai bentuk dari wujud aktif
masyarakat dalam pemberantasan TB juga sangat diperlukan. Melalui strategi DOTS, LSM
dapat mengoptimalkan perannya dalam penanggulangan TB untuk mewujudkan Indonesia
yang terbebas dari TB.

Daftar Pustaka

1 World Health Organization. NGOs and TB Control. New Delhi:WHO,1999;1-32.

2 Sub direktorat TB Departemen Kesehatan dan World Health Organization. Lembar Fakta
TB (internet). 2008 Maret (diakses 2011, 13 November). Tersedia di
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Lembar_Fakta_TB.pdf/

3 Nether A, Breyer G,Shresta B, Feldmann K. Directly observed intermittent short course


chemoterapy in the Kathmandu Valley. Tubercle and Lung Disease 1996;77: 302-307.

4 Chakraborty A, Choudury S. National TB Programme. Stopping the Killer.


ACTIONAID India, Bangalore 1997.

5 Chowdury AM, Chowdury , Islam MN, Islam A, Vaughan JP. Control of Tuberculosis
by community health worker in Bangladesh. Lancet 1997; 350: 169-72.

6 Uplekar MW, Rangan S. Private doctors and tuberculosis control in India. Tubercle and
Lung disease. 1993; 73: 332-337.

Anda mungkin juga menyukai