Anda di halaman 1dari 17

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas individu

mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

Dosen Pengampu:Ns. Santi Herlina

Disusun oleh:
Dinar Aufia Fadilla H 1819711051
Zahra Amanda Nurhaliza 1810711092
Annisa Nabilla 1810711098
Hilmi Yoda 1810711099

PROGRAM STUDI S1- KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
A. DEFINISI
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversible dimana
trakea dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer & Bare, 2002).
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan
napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun
sebagai hasil pengobatan (Muttaqin, 2008).
Asma adalah suatu penyakit yang dicirkan oleh hipersensitivitas cabang-
cabang trakea bronkhial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007).
Asma adalah wheezing berulang dana tau batuk peresisten dalam keadaan
dimana asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang
telah disingkirkan (Mansjoer, 2008).
Berdasarkan beberapa defines diatas dapat disimpulkan bahwa asma
merupakan penyempitan jalan napas yang dibebabkan dipersensitivitas cabang-
cabang trakeabronkhial terhadap stimuli tertentu dan ditandai dengan adanya
wheezing.

Klasifikasi Asma
Klasifikasi asma dapat dilakukan berdasarkan 3 hal, yait etiologi, derajat
penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan derajat
penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,
semakin berat asma semakin tinggi pengobatan.
Secara klinis, berdasarkan derajat penyakit asma dibagi menjadi 4 yaitu :
1. Asma Intermitten atau Asma Bronkhial
Gejalanya yaitu :
 Singkat kurang dari 1x perminggu
 Gejala asma malam kurang dari 2x perbulan
 Bronkodilator diperlukan bila ada serangan, jika serangan agak berat
mungkin memerlukan kortikosteroid
 Tidak mengalami gangguan saat beraktivitas
Biasanya jika mengalami asma jenis ini, maka Anda tidak akan diberikan obat
pengendali asma. Hanya saja, perlu menghindari berbagai hal yang dapat
membuat asma ini muncul.
2. Asma Perisisten Ringan
Gejalanya yaitu:
 Gejala muncul lebih dari 2x dalam satu minggu
 Gejala asma malam kurang dari 2x perbulan
 Eksaserbasi (serangan asma seeprti sesak napas dan batuk)
mempengaruhi aktivitas dan tidur
 Membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid
 Aktivitas sedikit terganggu
Biasanya asma jenis ini akan diberikan obat antiinflamasi oleh dokter.
3. Asma Perisisten Sedang
Gejalanya yaitu:
 Membutuhkan steroid inhalasi dan bronkodilator setiap hari
 Gejala hamper tiap hari
 Gejala asma malam lebih dari 1x perminggu
 Eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
Orang yang memiliki asma persisten sedang akan diberikan obat untuk
mengendalikan penyakit asma yang dideritanya. Selain itu, pasien dengan
jenis asma ini akan dianjurkan untuk melakukan terapi bronkodilator, yaitu
terapi yang terdiri dari berbagai obat-obatan yang berfungsi untuk
melegakan dan memperlancar pernapasan.
4. Asma Peristen Berat
Gejalanya yaitu :
 Gejala muncul setiap hari, bahkan hamper seharian
 Mengalami asma malam tiap hari
 Menggunakan inhaler beberapa kali dalam satu hari
 Aktivitas sangat terganggu
Obat pengendali asma yang diberikan pada penyakit asma persisten berat
ini tak cukup satu jenis saja. dokter akan memberikan beberapa kombinasi
inhaler glukokortikosteroid dalam dosis tinggi.

Prevalensi Asma
Prevalensi asma pada penduduk semua umur menurut provinsi (2018),
provinsi tertinggi adalah DIY dengan jumlah 4,5% penduduk terkena penyakit asma.
Prevalensi (diagnosis dokter) pada penduduk semua umur, 2018 didapat sebesar 5,1%
pada umur 75 tahun keatas terkena asma. Penderita asma pada laki-laki sebesar 2,3% dan
perempuan 2,5%. Berdasarkan wilayah penderita asma paling tertinggi terdapat pada
masyarakat perkotaan sebesar 2,6%, sedangkan dipedesaan sebesar 2,1%. Berdasarkan
tingkat Pendidikan penderita asma pada tamat D1/D2/D3/PT sebesar 3,0% sedangkan
berdasarkan tingkat pekerjaan penderita asma paling tinggi pada penduduk yang tidak
bekerja yaitu sebesar 3,1%.

B. ETIOLOGI
Rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan asma adalah:
1. Faktor Ekstrinsik (alergik)
Reaksi alergik yang disebabkan oleh allergen yang dikenal seperti debu,
serbuk-serbuk, bulu0bulu binatang. Faktor alergi dibagi menjadi 3 yaitu:
 Inhalan: yang masuk melalui saluran pernapasan (co: debu, bulu
binatang, bakteri dan polusi)
 Ingestan : yang masuk melalui mulut (con : logam)
 Kontakan : yang masuk melalui kontak dengan kulit
2. Faktor Intrinsik (non-alergik)
Tidak berhubungan dengan allergen, seperti infeksi, latihan, emosi dan polusi
lingkungan yang dapat mencetuskan serangan.
3. Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya.
4. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma.
5. Stres
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma dan juga
dapat memperberat serangan asma yang sudah ada, jika stress belum diatasi
maka gejala belum bisa diobati.
6. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma.
Misalnya orang bekeja di lab hewan, industry tektil, polisi lalu lintas. Gejala
asmanya akan membaik pada waktu libur kerja atau cuti.
7. Olahraga atau Aktivitas Jasmani
Sebagian penderita asma akan melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang
berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah aktivitas selesai.

C. PATOFISIOLOGI
Asma melibatkan proses peradangan kronis yang menyebabkan edema
mukosa, sekresi mucus, dan peradangan saluran napas. Ketika orang dengan asma
terpapar oleh alergen ekstrinsik dan iritan (misalnya, debu, serbuk sari, asap, tungau,
obat-obatan , makanan, infeksi saluran napas) saluran napasnya akan meradang yang
menyebabkan kesuliatn bernapas, dada terasa sesak, dan mengi. Manifestasi klinis
awal, disebut reaksi fase cepat (early-phase), berkembang dengan cepat dan bertahan
sekitar satu jam.
Ketika seorang klien terpapar sebuah alergen, immunoglobulin E (IgE) akan
diproduksi oleh limfosit B, antibody IgE akan melekat pada sel mast dan basophil di
dinding bronkus. Sel mast akan mengosongkan dirinya melepaskan mediator
peradangan kimia,seperti histamine, bradikinin, prostaglandin, dan substansi reaksi
lambat (slow-reacting substance/SRS-A). zat-zat tersebut menginduksi dilatasi kapiler
yang menyebabkan edema saluran napas Dalam usaha untuk menyingkirkan alergen.
Mereka juga menginduksi kontriksi saluran napas untuk menutupnya, sehingga tidak
menghirup alergen lebih banyak lagi.
Sekitar setengah dari seluruh klien asma mengalami reaksi fase lambat (late-
phase). Meskipun manifestasi klinis yang dihasilkan sama dengan pada fase awal,
rekasi fase lambat akan dimulai 4-8 jam setelah paparan dan dapat bertahan selama
beberapa jam atau hari.
Pada kedua fase, pelepasan mediator kimia menghasilkan respons pada
saluran napas. Pada respons fase lambat, mediator menarik sel-sel radang lainnya dan
membuat siklus obstruksi, serta inflamasi yang terus-menerus. Peradangan kronis ini
menyebabkan saluran napas menjadi hiperesposif. Saluran napas yang hiperesponsif
ini menyebakan episode berikutnya berespons tidak hanya pada antigen spesifik,
tetapi pada rangsangan seperti kelelahan fisik dan menghirup udara dingin. Frekuensi
dan keparahan dari gejala klinis yang ada dapat meningkat.
Reseptor alfa-adrenergik dan beta adrenergenik dari sistem saraf simpatis
dapat ditemukan pada bronkus.rangsangan terhadap reseptor alfa-adrenergenik
menyebabkan konstriksi bronkus, sebaliknya rangsanag pada reseptor beta
adrenergenik menyebabkan dilatasi bronkus. Adenosin monofosfat siklik (Camp)
merupakan penyeimbang antara kedua reseptor tersebut. Beberapa teori menyatakan
bahwa asma merupakan hasil dari kurangnya rangsangan terhadap reseptor beta
adrenergenik.

D. TANDA DAN GEJALA


1. Suara ngik-ngik sepanjang siklus pernapasan ketika terjadi inflamasi. Udara
sukar bergerak melalui jaringan napas yang menyempit, menimbulkan suara.
2. Asimtomatik antara serangan asma. Gejala hilang walaupun tidak ada
inflamasi.
3. Kesulitan bernapas (dyspnea) ketika jaringan napas menyempit karena
inflamasi. Ini secara khas progresif ketika inflamasi berkembang.
4. Frekuensi napas lebih dari 20x permenit (takipnea) ketika tubuh berusaha
mendapatkan lebih banyak oksigen ke dalam paru paru untuk memenuhi
kebutuhan.
5. Penggunaan otot-otot tambahan untuk bernapas ketika tubuh mencoba lebih
keras untuk mendapatkan lebih banyak udara ke dalam paru-paru.
6. Keketatan di dada terkait dengan penyempitan jalan pernapasan
7. Takikardia (denyut jantung lebih dari 100), karema tubuh berusaha
mendapatkan lebih banyak oksigen ke jaringan.

E. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang
dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat
menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjuut lagi dapat menyebabkan kegagalan
napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomeduastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini daoat disebabkan
oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara kelaur dari paru-paru,
saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyubatan
saluran dada (bronkus, mapun bronkiolus) atau akibat pernapasan yang sangat
dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebakan oleh jamur dan
tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata.
Istilah aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi aspergillus sp.

5. Gagal napas
Gagal napas dapat terjadi bila pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisa-lapisan bagian
dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolus) mengalami
bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lender (dahak).
Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya
mengeluarkan lendiryang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian
saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang ASMA

 Tes untuk melihat adanya peradangan pada saluran napas. Dalam tes
ini, dokter akan mengukur kadar oksida nitrat dalam napas ketika pasien
bernapas. Jika kadar zat tersebut tinggi, maka bisa jadi merupakan tanda-
tanda peradangan pada saluran pernapasan. Selain oksida nitrat, dokter
juga akan mengambil sampel dahak untuk mengecek apakah paru-paru
pasien mengalami radang.
 Tes responsivitas saluran napas (uji provokasi bronkus). Tes ini
digunakan untuk memastikan bagaimana saluran pernapasan pasien
bereaksi ketika terpapar salah satu pemicu asma. Dalam tes ini, pasien
biasanya akan diminta menghirup serbuk kering (mannitol). Setelah itu
pasien akan diminta untuk menghembuskan napas ke dalam spirometer
untuk mengukur seberapa tinggi tingkat perubahan FEV1 dan FVC setelah
terkena pemicu. Jika hasilnya turun drastis, maka dapat diperkirakan
pasien mengidap asma. Pada anak-anak, selain mannitol, media yang
bisa dipakai untuk memicu asma adalah olah raga.
 Pemeriksaan status alergi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
apakah gejala-gejala asma yang dirasakan oleh pasien disebabkan
oleh alergi. Misalnya alergi pada makanan, tungau, debu, serbuk sari, atau
gigitan serangga.
 CT Scan. Pemeriksaan ini bisa dilakukan oleh dokter apabila mencurigai
bahwa gejala sesak napas pada diri pasien bukan disebabkan oleh asma,
melainkan infeksi di dalam paru-paru atau kelainan struktur rongga hidung.
 Pemeriksaan rontgen. Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini sama seperti
pemeriksaan CT Scan, yaitu untuk melihat apakah gangguan
pernapasandisebabkan oleh kondisi lain.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Farmakologi
Menurut Long (1996) pengobatan asma diarahkan terhadao gejala-gejala yang
timbul saat serangan, mengendalikan penyebab spesifik dan perawatan
pemeliharaan kesehatan optimal yang umum. Tujuan utama dari berbagai macam
pengobatan adalah pasien segera mengalami relaksasi bronkus. Teraoi awal, yaitu
:
a. Memberikan oksigen pernasal
b. Antogonis beta 2 adrenerganik (salbutamol atau fenetoral 2,5 mg atau
terbutalin 10 mg). inhalisi nebulisai dan pemberian yang dapat diulang setiap
20 menit sampai 1 jam. Pemberian antagonis beta 2 adrenerganik dapat secara
subcutan atau intravena dengan dosis salbutomil 0,25 mg dalam larutan
dekstrose 5%
c. Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika sudah menggunakan obat ini dalam
12 jam sebelumnya makan cukup diberikan setengah dosis.
d. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg intravena jika tidak ada respon
segera atau dalam serangan sangat berat
e. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk didalamnya
golongan beta adrenergenik dan anti kolinergik.
2. Pengobatan secara sederhana atau non farmokologis
Menurut doesnges (2000) penatalaksanaan nonfarmakologis asma yaitu :
a. Fisioterapi dada dan batuk efektif membantu pasien untuk mengeluarkan
sputum dengan baik
b. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
c. Berikan posisi tidur yang nyaman (semi fowler)
d. Anjurkan untuk minum air hangat 1500-2000 ml per hari
e. Usaha agar pasien mandi air hangat setiap hari
f. Hindarkan pasien dari factor pencetus

H. ASKEP
Data Subjektif Data Objektif
Pasien mengeluh sesak Pasien terlihat gelisah
Pasien mengeluh batuk berdahak dan Pasien terlihat putus asa
dahaknya berwarna putih kental Pasien bernapas menggunakan cuping hidung
Pasien memiliki riwayat asma sejak SD Suara napas pasien terdengar wheezing
Pasien mengatakan keluarganya memiliki
riwayat asma yaitu dari ibunya TTV:
TD: 120/80 mmHg
RR: 36x/mnt
HR: 100x/mnt
S: 37◦C

ANALISA DATA
No Data Masalah Etiologi
1 DS:
Pasien mengeluh sesak
Pasien mengeluh batuk berdahak
dan dahaknya berwarna putih Ketidakefektifan Bersihan Asma
kental Jalan Napas
Pasien memiliki riwayat asma
sejak SD
Pasien mengatakan keluarganya
memiliki riwayat asma dari
ibunya

DO:
Suara napas pasien terdengar
wheezing
2 DS:
Pasien mengeluh sesak Dispnea
Ketidakefektifan Pola Pernapasan bibir
DO: Napas Takipnea
Pasien bernapas menggunakan
cuping hidung
RR: 36x/mnt
3 DS:
-
Gelisah
DO: Ansietas Gangguan pola napas
Pasien terlihat gelisah Peningkatan
Pasien terlihat putus asa frekuensi pernapasan
RR: 36x/mnt

DIAGNOSA KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Tanggal Tanggal Paraf dan Nama
(P&E) Ditemukan Teratasi Jelas
1 Ketidakefektifan Bersihan
Jalan Napas b.d Asma
ditandai dengan suara napas
tambahan, dispnea, sputum
berlebih (Domain 11. Kelas 2.
Kode Diagnosis 00031 hal
384)
2 Ketidakefektifan Pola Napas
b.d dipsnea, pernapasan bibir,
dan takipnea (Domain 4.
Kelas 4. Kode diagnosis 0032
hal. 228)
3 Ansietas b.d gelisah,
gangguan pola napas, dan
peningkatan frekuensi
pernapasan (Domain 9. Kelas
2. Kode diagnosis 00146 hal.
324)
4 Gangguan Pertukaran Gas b.d
pola pernapasan abnormal,
dipsnea, dan hipoksia
(Domain 3. Kelas 4. Kode
diagnosis 00030 hal 207)
5 Defisien Pengetahuan b.d
kurang informasi, kurang
sumber pengetahuan ditandai
dengan kurang pengetahuan
(Domain 5. Kelas 4. Kode
diagnosis 00126 hal 257)
6 Konflik Pengambilan
Keputusan b.d kurang
informasi ditandai dengan
menunda membuat keputusan,
bimbang mengenai pilihannya
(Domain 10. Kelas 3. Kode
diagnosis 00083 hal 367)

INTERVENSI KEPERAWATAN
Tanggal No Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan dan
Dx Rasional
07/11/19 1 Setelah dilakukan tindakan 1x24 Manajemen Jalan Napas (3140)
jam, masalah ketidakefektifan 1. Instruksikan bagaimana
bersihan jalan napas dapat teratasi agar bisa melakukan batuk
dengan kriteria hasil: efektif
Status Pernapasan: Kepatenan Rasional: agar pasien
Jalan Napas (0410) dapat mengeluarkan
1. Suara napas tambahan dahaknya
dipertahankan pada 2. Buang sekret dengan
terdengar wheezing (1) memotivasi pasien untuk
ditingkatkan pada sedikit melakukan batuk atau
terdengar wheezing (3) menyedot lendir
2. Batuk dipertahankan pada Rasional: agar pasien
batuk berdahak (2) dapat bernapas dengan
ditingkatkan pada tidak lega
berdahak (4)
07/11/19 2 Setelah dilakukan tindakan 1x24 Manajemen Asma (3210)
jam, masalah ketidakefektifan pola 1. Ajarkan teknik yang tepat
napas dapat teratasi dengan kriteria untuk menggunakan
hasil: pengobatan dan alat
Status Pernapasan (0415) (inhaler, nebulizer)
1. Frekuensi pernapasan Rasional: agar pasien
dipertahankan pada 36x/mnt dapat mengetahui cara
(1) ditingkatkan pada penggunaan obat asma)
20x/mnt (3) 2. Ajarkan teknik bernapas/
2. Pernapasan cuping hidung relaksasi
dipertahankan pada bernapas Rasional: agar pasien
menggunakan cuping hidung dapat menerapkannya
(2) ditingkatkan pada sewaktu asma
bernapas melalui hidung (4)

07/11/19 3 Setelah dilakukan tindakan 1x24 Terapi Relaksasi (4860)


jam, masalah ansietas dapat teratasi 1. Tunjukkan dan praktikkan
dengan kriteria hasil: teknik relaksasi pada klien
Tingkat Kecemasan (1211) Rasional: agar klien
1. Perasaan gelisah dapat mengetahui
dipertahankan pada sangat bagaimana cara teknik
gelisah (1) ditingkatkan pada relaksasi yang benar
sedikit tidak gelisah (3) 2. Dorong klien untuk
mengulang praktik
relaksasi, jika
memungkinkan
Rasional: agar klien
dapat menerapkannya
jika ia asma

Pengkajian
Pengkajian pasien yang mengalami serangan asma akut harus sangat terfokus dan
cepat.
 Riwayat kesehatan. Gejala saat ini, termasuk kekakuan dada, sesak napas; durasi
serangan saat ini tindakan yang digunakan untuk meredakan gejala dan efek yang
ditimbulkan mengidentifikasi faktor yang mempresipitasi untuk serangan; frekuensi
serangan; medikasi saat ini alergi; yang diketahui.
 Pemeriksaan fisik.Tingkat distres yang tampak; warna;tanda-tanda vital; kecepatan
pernapasan dan ekskursi,suara nafas di seluruh lapang paru; nadi apikal.
 Pemeriksaan diagnostik: Volume ekspirasi paksa, kecepatan aliran ekspirasi; puncak
pas darah arteri.
 Keluarga, lingkungan, dan riwayat pekerjaan merupakan hal esensial yang dikaji.
 Selama episode asma akut, dilakukan pemeriksaan sputum dan darah, oksimetri nadi,
gas darah arteri, hipokapnea, dan alkalosis respiratori.

Diagnosa, Hasil yang Diharapkan, dan Intervensi


1. Diagnosa: Pola Nafas Tidak Efektif. Oleh karena spasme dan edema jalan napas,
klien tidak dapat memasukkan atau mengeluarkan udara ke paru seperti yang kita
butuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Diagnosa keperawatan yang
benar adalah Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan terganggunya ekshalasi
dan kecemasan. Kecemasan dengan dispnea adalah penyebab lain masalah pola nafas
 Hasil yang Diharapkan. Pola napas klien akan membaik. Dibuktikan dengan
(1) turunnya laju respirasi ke batas normal: (2) dispnea berkurang, napas
cuping hidung berkurang, dan penggunaan otot bantu napas berkurang, (3)
berkurangnya tanda kecemasan; (4) kembalinya AGD ke batas normal; (5)
saturasi oksigen lebih dari 95% dan (6) pengukuran kapasitas vital kembali
normal atau lebih dari 40% dari prediksi.
 Intervensi. Kaji klien secara berkala,amati kecepatan napas dan kedalaman
napas. Kaji pola napas seperti sesak, bibir yang mengerucut, napas cuping
hidung, retraksi, sternum dan interkostal atau fase ekspirasi yang memanjang.
Selama serangan asma akut pemeriksaan dapat dilakukan berkelanjutan.
Letakkan klien pada posisi Fowler dan berikan oksigen sesuai kebutuhan.
Monitor AGD dan saturasi oksigen untuk mengetahui efektivitas terapi.
Bandingkan hasil uji fungsi paru dengan yang normal. Derajat disfungsi yang
terjadi membantu rencana aktivitas klien.
2. Diagnosa: Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif. Produksi mukus dan spasme jalan
napas menyulitkan untuk menjamin kepatenan jalan napas. Diagnosis Keperawatan
Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif berhubungan dengan produksi sekret dan
bronkopasme dapat digunakan.
 Hasil yang diharapkan. Klien memiliki bersihan jalan napas efektif,
dibuktikan dengan (1) berkurangnya mengi saat inspirasi dan ekspirasi; (2)
menurunnya ronki; dan (3) berkurangnya batuk kering yang tidak produktif.
 Intervensi. Bila jalan napas terganggu sekret klien mungkin perlu dihisap
(suction). Beberapa kasus episode asma terjadi karena infeksi paru. Perhatikan
warna dan konsistensi sputum dan bantu klien untuk batuk secara efektif.
Perbanyak minum untuk mengencerkan sekret dan menggantikan kehilangan
cairan akibat pernapasan yang cepat. Kelembapan ruangan dapat sedikit
ditingkatkan. Bila sekret dada kental dan sulit dikeluarkan, klien mungkin
akan diuntungkan dengan drainase postural. perkusi paru dan vibrasi,
ekspektoran, serta perubahan posisi berkala. Berikan perawatan oral setiap 2-
4 jam untuk menghilangkan rasa dari sekret dan melembapkan membran
mukosa mulut yang kering akibat pernapasan mulut.
3. Diagnosa: Gangguan Pertukaran Gas. Ketika udara terjebak di alveolus, alveolus
mengumpulkan oksigen, sehingga klien menjadi hipoksia. Diagnosis keperawatan
adalah Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan Udara yang terjebak.
 Hasil yang diharapkan. Klien memiliki pertukaran gas yang adekuat, dapat
dibuktikkan dengan (1) berkurangnya mengi saat inspirasi dan ekspirasi; (2)
berkurangnya ronkhi; (3) warna kulit normal (tidak sianosis), serta (4)
berkurangnya batuk kering dan tidak produktif.
 Intervensi. Kaji Suara paru setiap jam selama episode akut untuk memastikan
pertukaran gas adekuat. Kaji warna kulit dan membran mukosa untuk sianosis.
Sianosis merupakan manifestasi lambat dari hipoksia dan menunjukan
masalah serius pada pertukaran gas. Awasi oksimetri nadi untuk kadar saturasi
oksigen, Berikan oksigen sesuai kebutuhan untuk menjaga saturasi oksigen
optimal.
4. Diagnosa Keperawatan: Kurangnya Pengetahuan. Bila klien baru saja didiagnosis
asma, diagnosa Kurangnya Pengetahuan dapat digunakan untuk mengetahui topik
spesifik yang membutuhkan edukasi. Nyatakan diagnosis sebagai Kurangnya
Pengetahuan tentang Penggunaan Obat Inhalasi dan Nebulisasi.
 Hasil yang diharapkan. Pengetahuan klien tentang kapan dan bagaimana
menggunakan obat nebulisasi meningkat. Dibuktikan dengan klien dapat
menjelaskan gejala yang harus ditangani dengan obat nebulisasi dan didukung
dengan mengetahui bagaimana cara memegang alatnya.
 Intervensi. Obat nebulisasi termasuk sulit dipelajari penggunaannya. Klien
harus mengoordinasi hirupan dengan penekanan pada inhaler dosis terukur.
Amati klien menggunakan nebulizer untuk memastikan obat memasuki jalan
napas. Pastikan klien tahu gejala apa yang membutuhkan mobilisasi.
5. Diagnosa Keperawatan: Risiko Konflik Pengambilan Keputusan. Diagnosis
keperawatan ini berhubungan dengan alergen yang terdapat di lingkungan dan klien
harus mengubah gaya hidup sebelumnya atau membuat perubahan di lingkungannya
untuk mengurangi risiko asma.
 Hasil yang Diharapkan. Klien akan menunjukkan pengertian terhadap
konflik yang ada bila tetap mempertahankan gaya hidup saat ini dengan
efeknya terhadap asma.
 Intervensi. Keberadaan hewan peliharaan yang meninggalkan bulu, asap
rokok, atau paparan pekerjaan terhadap alergen lain akan membutuhkan
perubahan gaya hidup. Pada beberapa kasus hewan peliharaan dapat tinggal di
rumah, tetapi tidak bisa tidur bersama klien asma. Ajak klien untuk berhenti
merokok dan edukasi klien serta keluarga tentang bahaya menghirup asap
rokok. Menghilangkan zat iritan secara umum dapat dilakukan disaat tertentu,
seperti menghindari pajanan terhadap alergen pada satu waktu. Perbaikan
berarti dari gejala klien kemungkinan disebabkan oleh perubahan besar dalam
gaya hidup, seperti berganti pekerjaan atau kehilangan hewan peliharaan,
dapat dengan cepat menurun akibat stres yang dirasakan dari perubahan yang
mendadak.
6. Diagnosa Keperawatan: Ansietas.Eksaserbasi akut asma dapat menghasilkan
ansietas yangbesar. Ketakutan akan tidak dapat bernapas dan perasaansufokasi akibat
asma akut besar. Masalah keuangan ataumasalah lain dapat menyebabkan pasien
ingin menghindarihospitalisasi. Peningkatan frekuensi dan episode berat dapat
menyebabkan ketakutan selanjutnya. Hipoksia jugamenyebabkan ansietas,
menstimulasi sistem saraf simpatisdan respons fight-or-flight.
 Kaji tingkat ansietas: Intervensi untuk ansietas berat atau panik berbeda dari
ansietas ringan atau sedang.
 Bantu mengidentifikasi keterampilan koping yangberhasil sebelumnya.
Koping yang berhasil membantupasien mendapatkan kembali kendali atas
situasi, mengurangi ansietas.
 Dengarkan secara aktif mengenai kekhawatiran; jangan menyangkal atau
meniadakan ketakutan atau menjelang ajal atau tidak mampu bernapas.
Mendengar aktif meningkatkan kepercayaan dan membantu pasien
mengungkapkan kekhawatiran.
 Sertakan pasien dalam rencana asuhan dan keputusan yang tepat, tanpa
membuat kebutuhan berlebihan.
 Beri dukungan anggota keluarga untuk tetap dengan pasien, Orang penting
lainnya memberi dukungan tambahan dan dapat membantu mengurangi
ansietas.
 Bantu untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi terbimbing
relaksasi otot, dan meditasi.
I. TELAAH JURNAL
PENGARUH JENIS TERAPI DAN KARAKTERISTIK PENYAKIT ASMA TERHADAP KUALITAS
HIDUP PASIEN ASMA RAWAT JALAN DI RSUD
ABSTRAK
Asma merupakan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan. Penanganan asma
terutama ditujukan untuk mengurangi frekuensi kekambuhan. Berkurangnya frekuensi
kekambuhan dapat meningkatkan kualitas hidup penderitanya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh karakteristik penyakit dan jenis terapi terhadap kualitas hidup
asma.Penelitian bersifat non eksperimental dengan rancangan analitik dan cross- sectional.
Data diambil secara retrospektif dan concurrent. Subyek penelitian adalah pasien asma
rawat jalan berusia ≥ 18 tahun yang menerima terapi asma berupa sediaan inhalasi minimal
3 bulan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Data diperoleh dari Asthma
Quality of Life Questionnaire yang diikuti dengan wawancara dan penelusuran data pada
rekam medis pasien. Pengaruh karakteristik penyakit dan jenis terapi diuji menggunakan
analisis regresi berganda dan sederhana.Hasil penelitian menunjukkan dari 54 pasien,
61,11% adalah wanita. Berdasarkan usia, pasien usia 53 – 59 tahun paling banyak menderita
asma (18,52%). Faktor terbesar yang berperan sebagai pencetus asma adalah lingkungan
(48,15%). Obat yang dipakai adalah fenoterol HBr, salbutamol, teofilin, aminofilin,
mebhidrolin napadisilat, metilprednisolon, OBH sirup, dan ambroxol HCl. Karakteristik
penyakit yang mempunyai pengaruh terhadap kualitas hidup pasien asma di RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta adalah tingkat keparahan asma (p=0,000) dan
pemicu asma (p=0,045). Semakin berat keparahan asma, kualitas hidup pasien semakin
menurun. Jenis terapi tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Kata kunci: asma,
kualitas hidup, jenis terapi, RSUD Panembahan Senopati BantulYogyakarta
PENDAHULUAN
Penyakit asma termasuk lima besar penyebab kematian di dunia, yaitu mencapai
17,4%. Pada tahun 2009 di Amerika Serikat diperkirakan 8,2% orang (24,6 juta)
penduduknya menderita asma. Prevalensi menurun sesuai dengan meningkatnya usia,
dimana terdapat 9,6% dari anak-anak (±7,1 juta) menderita asma dibandingkan dengan
7,7% dari orang dewasa (±17,5 juta) (Akinbami dkk., 2011). Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2008) menyatakan bahwa di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara
pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13 – 14 tahun dengan menggunakan kuesioner
International Study on Asthma and Allergy in Children (ISAAC) pada tahun 1995 menyatakan
bahwa prevalensi asma 2,1%. Pada tahun 2003 prevalensi asma meningkat menjadi 5,2%.
Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota besar seperti Medan, Palembang,
Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar menunjukkan prevalensi
asma pada anak SD usia 6 – 12 tahun berkisar 3,7% - 6,4%. Pada anak sekolah tingkat SMP,
prevalensi asma di Jakarta Pusat sebesar 5,8% pada tahun 1995. Di Jakarta Timur prevalensi
asma pada anakSMP mencapai 8,6% pada tahun 2001. Asma dapat mengenai semua ras dan
etnik yang ada di dunia, dari usia bayi hingga orang tua, dengan lebih banyak mengenai laki-
laki dibandingkan perempuan, tetapi setelah pubertas lebih banyak wanita dibandingkan
dengan pria (Gershwin, 2005). Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup,
penurunan produktivitas, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko
perawatan di rumah sakit, dan bahkan kematian. Meskipun pengobatan secara efektif dapat
menurunkan morbiditas karena asma, namun efektivitas hanya tercapai jika penggunaan
obat-obatan telah sesuai. Selain dikarenakan kurang tepatnya tindakan pengobatan, faktor
lain yang dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita asma adalah rendahnya
tingkat pemahaman penderita tentang asma dan pengobatannya (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007). RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta memiliki
jumlah penderita penderita asma yang cukup banyak dan merupakan rumah sakit rujukan
bagi warga di sekitar Bantul. Di daerah selatan Yogyakarta terdapat sebuah pabrik yang
menghasilkan polusi yang cukup menganggu. Polusi berupa debu mempunyai kontribusi
yang besar terhadap kejadian asma di sekitar pabrik tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan
pentingnya penelitian hubungan terapi dan karakteristik penyakit asma terhadap kualitas
hidup penderita asma untuk dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.
METODE
Penelitian bersifat non eksperimental dengan rancangan analitik dan cross-
sectional. Data diambil secara retrospektif dan concurrent. Subyek penelitian adalah pasien
asma rawat jalan berusia ≥ 18 tahun yang menerima terapi asma berupa sediaan inhalasi
minimal 3 bulan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Data diperoleh dari
Asthma Quality of Life Questionnaire yang diikuti dengan wawancara dan penelusuran data
pada rekam medis pasien. Pengaruh karakteristik penyakit dan jenis terapi terhadap kualitas
hiduppenderita asma diuji menggunakan regresion analysis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data karakteristik penyakit diambil dari hasil pengisian kuisioner yang memuat
pertanyaan data pribadi dan informasi umum kondisi pasien, sedangkan data kualitas hidup
pasien diperoleh dari hasil pengisian kuisioner AQLQ. Data terapi yang diambil dari data
rekam medik adalah data rekam medik satu bulan sebelum pengisian kuisioner, hal ini
disesuaikan dengan tujuan dari penelitian yaitu mengetahui pengaruh terapi khususnya
terapi inhalasi. Jumlah pasien dalam penelitian ini didasarkan pada lama waktu penelitian
yaitu bulan Januari sampai dengan bulan April 2012. Selama kurun waktu tersebut
didapatkan pasien sebanyak 54 pasien.Asma dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul
pada semua umur.Pasien asma dalam penelitian ini termuda berusia 22 tahun sedangkan
pasien tertua berusia 74 tahun. Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa
sebagian besar penyakit asma terjadi pada kelompok usia 53 – 59 tahun yaitu sebesar
18,52%. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 54 pasien asma rawat jalan yang terdiri dari
21 (38,89%) pasien pria dan 33 (61,11%) pasien wanitaSecara umum, gambaran usia dan
jenis kelamin pasien asma di RSUD Panembahan Senopati menunjukkan kemiripan dengan
prevalensi asma pada beberapa studi epidemiologi yang dilakukan Kynyk dkk. (2011). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah wanita penderita asma tertinggi terjadi pada
kelompok usia 53 – 59 tahun. Pada kelompok usia 60 – 66 tahun pasien pria lebih
mendominasi daripada pasien wanita.Meskipun asma tidak dapat disembuhkan,
manajemen yang tepat dapat mengontrol gangguan asma tersebut dan memungkinkan
orang untuk menikmati kualitas hidup yang baik. Lama menderita asma dalam penelitian ini
dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu kurang atau sama dengan satu tahun, 2 – 5 tahun, 6 –
10 tahun dan lebih dari 10 tahun.
Pengaruh karakteristik terhadap kualitas hidup pasien
Karakteristik penyakit asma dalam penelitian ini antara lain lama menderita asma,
lama rawat jalan, pemicu asma, dan tingkat keparahan asma. Untuk mengetahui pengaruh
karakteristik penyakit asma terhadap kualitas hidup, dilakukan analisis regresi linear
berganda. Hasil analisis regresi linear berganda karakteristik pasien terhadap kualitas hidup
pasien dalam penelitian terangkum dalam tabel VII.Pemicu asma dan tingkat keparahan
asma mempengaruhi secara signifikan skor domain gangguan asma (p < 0,05). Tingkat
keparahan asma berpengaruh secara signifikan terhadap domain gangguan asma, frekuensi
serangan, dan kualitas hidup (p < 0,05). Bentuk pengaruhnya adalah semakin berat tingkat
keparahan asma, maka gangguan asma semakin berat, frekuensi serangan asma semakin
tinggi, dan kualitas hidup semakin rendah. Hal ini sejalan dengan data rata-rata skor domain
gangguan asma, frekuensi serangan, dan kualitas hidup yang terangkum dalam tabel IX yang
semakin meningkat dengan peningkatan keparahan asma. Semua komponen karakteristik
penyakit asma tidak berpengaruh terhadap domain penggunaan inhaler. Secara teoritis
tingkat keparahan asma akan meningkatkan frekuensi penggunaan inhaler, namun hal
tersebut tidak terlihat. Bila dihubungkan dengan data rata-rata skor domain penggunaan
inhaler dengan tingkat keparahan asma, terlihat terjadi penurunan rata-rata skor domain
penggunaan inhaler seiring dengan peningkatan keparahan asma. Namun penurunan rata-
rata skor domain penggunaan inhaler tidak setajam penurunan skor rata-rata domain
gangguan asma, frekuensi serangan, dan kualitas hidup. Tidak adanya pengaruh tingkat
keparahan asma dengan domain penggunaan inhaler kemungkinan terjadi karena hanya
satu jenis inhaler yang digunakan oleh pasien di RSUD Panembahan Senopati yaitu fenoterol
HBr sebagai quick reliever serangan asma dan tidak adanya penggunaan kortikosteroid
inhalasi sebagai terapi pemeliharaan asma. Bila dihubungkan dengan distribusi pasien
berdasarkan tingkat keparahan asmanya, 98% pasien dalam penelitian termasuk pasien
asma persisten yang membutuhkan kortikosteroid inhalasi untuk mengontrol asmanya.
KESIMPULAN
Karakteristik penyakit yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien asma di
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta adalah tingkat keparahan asma (p=0,000)
dan pemicu asma (p=0,045). Semakin berat tingkat keparahan asma, skor kualitas hidup
semakin rendah. Jenis terapi tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien asma di
RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Akinbami, L.J., Moorman, J.E., and Liu, X., 2011, Asthma Prevalence Health Care Use
and Mortality United States 2005-2009, U.S. Departement of Health and Human Services
Center for Disease Control and Prevention National Center for Health Statistics.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, Nomer 1023/Menkes/SK/XI/2008, tentang Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma, Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Daftar Pustaka
Black, Joyce M. Hawks, Jane Hokanson. (2014). “Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen
Klinis untuk Hasil yang Diharapkan”. Singapura; Elsevier
LeMone, Priscilla et all. (2012). “Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed.5 Vol. 4”.
Jakarta: EGC.
Suddarth & Brunner. (2018). “Keperawatan Medikal Bedah edisi 12”. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai