Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN HIDROPNEUMOTHORAX

Rumah Sakit : Tgl Nilai : Tgl : Nilai : Rata-rata :


Paraf CI+Stampel Paraf Dosen:

A. Anatomi FIsiologi Pleura

Pleura adalah suatu membran serosa yang melapisi permukaan

dalam dinding toraks kanan dan kiri,melapisi permukaan superior

diafragma kanan dan kiri, melapisi mediastinum kanan dan kiri yang

semuanya disebut pleura parietalis. Kemudian pada pangkal paru,

membran serosa ini berbalik melapisi paru dan disebut pleura viseralis

yang berinvaginasi mengikuti fisura yang membagi tiap lobusnya.

Diantara pleura parietal dan viseral terdapat ruang yang disebut

rongga pleura yang didalamnya terdapat cairan pleura seperti lapisan film

karena jumlahnya sangat sedikit yang hanya berfungsi memisahkan

pleura parietal dan viseral. Cairan pleura masuk ke dalam rongga pleura

dari dinding dada yaitu bagian pleura parietalis dan mengalir

meninggalkan rongga pleura menembus pleura viseralis untuk masuk ke

dalam aliran limfa. melumasi permukaan pleura sehingga memungkinkan

gesekan kedua lapisan tersebut pada saat pernafasan. Arah aliran cairan

pleura tersebut ditentukan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik

di kapiler sistemik.

Proses inspirasi jika tekanan paru lebih kecil dari tekanan

atmosfer. Tekanan paru dapat lebih kecil jika volumenya diperbesar.

Membesarnya volume paru diakibatkan oleh pembesaran rongga dada.


Pembesaran rongga dada terjadi akibat 2 faktor, yaitu faktor thoracal dan

abdominal. Faktor thoracal (gerakan otot-otot pernafasan pada dinding

dada) akan memperbesar rongga dada ke arah transversal dan

anterosuperior, sementara faktor abdominal (kontraksi diafragma) akan

memperbesar diameter vertikal rongga dada. Akibat membesarnya

rongga dada dan tekanan negatif pada kavum pleura, paru-paru menjadi

terhisap sehingga mengembang dan volumenya membesar, tekanan

intrapulmoner pun menurun. Oleh karena itu, udara yang kaya O2 akan

bergerak dari lingkungan luar ke alveolus. Di alveolus, O2 akan berdifusi

masuk ke kapiler sementara CO2 akan berdifusi dari kapiler ke alveolus.

Sebaliknya, proses ekspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal

lebih besar dari tekanan atmosfer. Kerja otot-otot ekspirasi dan relaksasi

diafragma akan mengakibatkan rongga dada kembali ke ukuran semula

sehingga tekanan pada kavum pleura menjadi lebih positif dan mendesak

paru-paru. Akibatnya, tekanan intrapulmoner akan meningkat sehingga

udara yang kaya CO2 akan keluar dari peru-paru ke atmosfer.

B. Penyakit Hidropneumothorax
1. Definisi
Hidropneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara

dan cairan di dalam rongga pleura yang mengakibatkan kolapsnya jaringan

paru. Cairan ini bisa juga disertai dengan nanah (empiema) dan hal ini di

namakan dengan piopneumotoraks1,2 Sedangkan pneumotoraks itu

sendiri ialah suatu keadaan, di mana hanya terdapat udara di dalam

rongga pleura yang juga mengakibatkan kolaps jaringan paru (Alsagaff &

Hood, 2010).
2. Etiologi
Hidropneomotoraks dapat disebabkan oleh adanya trauma,

peradangan, udara, cairan. Dari penyebab tersebut dapat menyebabkan

akumulasi cairan dan udara dalam rongga pleura yang menyebabkan

tekanan dalam rongga dada menjadi positif. Akumulasi cairan dan udara

menyebabkan paru-paru kolaps, sehingga terjadi perlengketan antara

pleura parietalis dan pleura visceralis karena pergesekan yang terus

menerus yang menyebabkan robekan pada pleura, jadi cairan pleura bisa

merembes masuk kedalam pleura parietalis.


3. Klasifikasi

Pneumothorax dapat diklasifikasikan menjadi pneumothorax

spontan dan traumatik. Pneumothorax spontan merupakan pneumothorax

yang terjadi tiba-tiba tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang

mendasari. Pneumothorax jenis ini dibagi lagi menjadi pneumothorax

primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari) maupun

sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya). Insidensinya sama

antara pneumothorax primer dan sekunder, namun pria lebih banyak

terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada pria, resiko

pneumothorax spontan akan meningkat pada perokok berat dibanding non

perokok. Pneumothorax spontan sering terjadi pada usia muda, dengan

insidensi puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun). Sementara

itu, pneumothorax traumatik dapat disebabkan oleh trauma langsung

maupun tidak langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi

iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumothorax iatrogenik merupakan

tipe pneumothorax yang sangat sering terjadi.

a. Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya :


1) Pneumotorak spontan Oleh karena : primer (ruptur bleb), sekunder

(infeksi, keganasan), neonatal

2) Pneumotorak yang di dapat Oleh karena : iatrogenik, barotrauma,

trauma

b. Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis

1) Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock

2) Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock

c. Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya dengan hubungan

luar menjadi :

1) Open pneumotorak

2) Closed pneumotorak

4. Patofisiologi

Keadaan fisiologi dalam rongga dada pada waktru inspirasi tekanan

intra [pleura lebih negatif dari tekanan intrabronkial, maka paru

mengembang mengikuti gerakan dinding dada sehingga udara dari luar

akan terhisap masuk melalui bronklus hingga mencapai alveoli. Pada saat

ekspirasi dinding dada menekan rongga dada sehingga tekanan intra

pleura akan lebih tinggi dari pada tekanan udara alveoli atau di bronkus

akibatnya udara akan ditekan keluar melalui bronkus.

Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan pada

saluran pernafasan dan akan meningkat lebih besar lagi pada permulaan

batuk, bersin atau mengejan. Peningkatan tekanan intrabronkial akan

mencapai puncak sesaat sebelumnya batuk, bersin dan mengejan. Apabila

dibagian perifer bronki atau alveoli ada bagian yang lemah, maka

kemungkinan terjadinya robekan ronki atau alveoli akan sangat mudah.


Dengan cara demikian dengan terjadinya pneumotoraks dapat

dijelaskan yaitu, jika ada kebocoran didaerah paru yang berisi udara

melalui robekan atau pleura yang pecah. Bagian yang robek tersebut

berhubungan dengan bronkus. Pelebaran alveolus dan septa-septa

alveolus yang pecah kemudian membentuk suatu bula yang berdinding

tipis didekat daerah yang ada proses non spesifik atau fibrosis

granulomatosa. Keadaan ini merupakan penyebab yang paling sering dari

pneumotoraks.

Ada beberapa kemungkinan komplikasi pneumotoraks, suatu katup

bola yang bocor yang menyebabkan tekanan pneumotoraks bergeser

kemediastinum. Apabila kebocoran tertutup dan paru tidak mengadakan

ekspansi kembali dalam beberapa minggu, jaringan paru dapat terjadi

sehingga tidak pernah ekspansi kembali secara keseluruhan. Pada

keadaan ini cairan serosa berkumpul didalam ronggs pleura yang

menimbulkan suatu hidropneumotoraks.

Hidropneumotoraks spontan skunder bisa merupakan komplikasi

dari TB paru dan pneumotoraks yaitu dengan rupturnya fokus subpleura

dari jaringan nefrotik perkijuan sehingga tuberkuloprotein yang ada didalam

masuk keromgga pleura dan udara dapat masuk dalam paru pada proses

inspirasi tetapi tidak dapat keluar paru ketika proses ekspirasi, semakin

lama udara dalam rongga pleura akan meningkat dan udara yang

terkumpul akan menekan paru sehingga akan timbul gagal nafas.

5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul pada Pneumotoraks tergantung pada
besarnya kerusakan yang terjadi pada sub pleura dan ada tidaknya
komplikasi penyakit paru. Gejala yang utama adalah berupa rasa sakit
yang tiba - tiba bersifat unilateral diikuti sesak napas. Gejala ini lebih
mudah ditemukan bila penderita melakukan aktivitas berat. Tapi pada
sebagian kasus gejala – gejala masih dapat ditemukan pada aktivitas biasa
atau waktu istirahat. Selain itu terdapat gejala klinis yang lain yaitu suara
melemah, nyeri menusuk pada dada waktu inspirasi, kelemahan fisik. Pada
tahap yang lebih berat gejala semakin lama akan semakin memberat,
penderita gelisah sekali, trakea dan mediastinum dapat mendorong kesisi
kontralateral. Gerakan pernafasan tertinggi pada sisi yang sakit fungsi
respirasi menurun, sianosis disertai syok oleh karena aliran darah yang
terganggu akibat penekanan oleh udara, dan curah jantung menurun
a. Biasanya akan ditemukan adanya nyeri dada yang terjadi secara tiba-
tiba, nyerinya tajam dan dapat menimbulkan rasa kencang di dada.
b. Nafas yang pendek
c. Nafas yang cepat
d. Batuk
e. Lemas
f. Pada kulit bisa ada keluhan sianosis
Manifestasi Klinis (Barbara Engram, 1997)
1) Pneumotoraks tertutup :
- Nyeri tajam pada sisi yang sakit sewaktu bernafas
- Disnea dan takipnea
- Penggunaan otot asesori pernafasan
- Takikardi
- Diaforesis
- Gelisah dan agitasi
- Bunyi hipertimpani diatas daerah yang sakit
- Luka memar pada dada
- Tidakadanya bunyi nafas seirama dengan gerakan dinding dada
2) Pneumotoraks tension :
- Distensi vena leher
- Kemungkinan emfisesma subkutan
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup
3) Pneumotoraks terbuka
- Observasi luka dada terbuka terhadap bunyi seperti hisapan
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup
4) Hemotoraks
- Pekak dengan perkusi di atas sisi yang sakit
- Manifestasi lain seperti pada pneumotoraks tertutup

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto rontgen gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus

hidropneumothorax antara lain :


1) Ruang pleura sangat translusen dengan tak tampaknya gambaran

pembuluh darah paru. Biasanya tampak garis putih tegas membatasi

pleura visceral yang membatasi paru kolaps.


2) Paru paru sendiri mungkin berwarna abuabu, bila sebagian masih berisi

udara (relatif radioopaque). Bila kolapsnya lengkap, pneumotoraks ini

menekan pulmo sampai sekecil kecilnya sehingga merupakan gambaran

suatu bulatan opaque kecil di daerah hilus


3) Jantung terdorong ke arah lain
b. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi

meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien

dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan

mortalitas sebesar 10%.


c. CT scan thorax lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema

bollusa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra

dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumothorax

spontan primer dan sekunder. Komplikasi dapat berupa

hemopneumotorak, pneumomediastinum dan emfisemakutis, fistel

bronkopleural dan empyema (Sjahriar Rasad, 2009).


7. Penatalaksanaan
Tindakan pengobatan hidropneumothorax tergantung dari luasnya

permukaan hidropneumothorax. Tujuan dari penatalaksaan ini yaitu untuk

mengeluarkan udara dari rongga pelura, sehingga paru-paru bisa kembali

mengembang. Pada hidropneumothorax yang kecil biasanya tidak perlu

dilakukan pengobatan, karena tidak menyebabkan masalah ernafasan

yang serius dan dalam beberapa hari udara akan diserap. British Thoracic
Society dan American College of Chest Physicians telah memberikan

rokemndasi penanganan hidropneumothorax adalah :


a. Observasi dan pemberian tambahan oksigen
b. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi

dengan atau tanpa pleurodesis


Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien

pneumothorax yang luasnya >15%. Tindakan ini bertujuan

mengeluarkan udara dirongga pleura (dekompresi). Tindakan

dekompresi ini dapat dilakukan dengan cara :


1) Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga

pleura, kemudia ujung pipa plastic dipangkal saringan tetesan

dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem

dibuka, maka akan timbul gelembung udara-udara dalam botol.


2) Jarum abbocath no 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah

mandarin dicabut, dihubungkan dengan pipa infus set.


3) Water Sealed Drainage (WSD)
Pipa khusus yang steril dimasukkan kerongga pleura dengan

perantaraan trocar atau klem penjepit. Sebelum trocar dimasukan ke

rongga pleura, terlebih dahulu dilakukan insisi kulit pada ruang antar

sela iga ke enam pada linea aksilaris media. Insisi kulit juga bisa

dilakukan pada ruang antar iga kedua pada linea mid klavikula.

Sebelum melakukan insisi kulit, daerah tersebu harus diberikan

cairan desinfektan dan dilakukan injeksi anastesi lokal dengan

lidokain atau prokain 2% dan kemudian ditutup dengan kain duk

steril. Setelah trocar masuk ke dalam rongga pleura, pipa khusus

segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian trocar dicabut

sehingga hanya pipa yang masih tinggal di dalam rongga pleura.


Pemasukan pipa khusus tersebut diarahkan kebawah jika

lubang insisi kulitnya ada diruang antar iga kedua. Pipa khusus atau
kateter tersebut kemudan dihubungkan dengan pipa yang lebih

panjang dan terakhir dengan pipa kaca yang dimasukan kedalam air

didalam botol. Masuknya pipa kedalam air sebaiknya 2cm dari

permukaan air, supaya gelombang udara mudah keluar. Apabila paru

sudah mengembang penuh dan tekanan rongga pleura sudah

negative, maka sebelum dicabut dilakukan uji coba dengan menjepit

pipa tersebut selama 24jam.


Tindakan selanjutnya adalah melakukan evaluasi dengan foto

dapa, apakah paru mengembang dan tidak mengempis lagi atau

tekanan rongga pleura menjadi positif lagi. Apabila tekanan rongga

pleura menjadi positif lagi maka pipa tersebut belum dapat dicabut.

Bila paru sudah mengembang maka WSD disabut. Pencabutan WSD

dilakukan saat pasien Dalam keadaan ekspirasi maksimal.


c. Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya

bleb/ bulla.
d. Torakotomi
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Primary Survey (Afif Muttaqin, 2008)

1) Airway
a) Assessment :
Perhatikan patensi airwaydengan, Kaji dan pertahankan jalan
nafas, lakukan head tilt, chin lift jika perlu, gunaka alat bantu
jalan nafas jika perlu, pertimbangkan untuk merujuk ke ahli
anastesi untuk dilakukan intubasi jika tidak mampu
mempertahankan jalan nafas, dengar suara napas, perhatikan
adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
b) Management :
Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-
lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan
napas, observasi dan Pemberian O2 apabila fistula yang
menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup,
maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi, laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila
diberikan tambahan O2, Observasi dilakukan dalam beberapa
hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2
hari, tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks
tertutup dan terbuka re-posisi kepala, pasang collar-neck
lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi
(oral / nasal)
2) Breathing
a) Assesment
Periksa frekwensi napas, perhatikan gerakan respirasi, palpasi
toraks, auskultasi dan dengarkan bunyi napas, Kaji saturasi
oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, pertahankan
saturasi > 92%, berikan oksigen dengan aliran tinggin melalui
non re-breath mask, pertimbangkan untuk menggunakan bag-
valve-mask ventilation, periksakan gas darah arteri untuk
mengkaji PaO2 dan PaCO2, kaji respiratory rate, periksa
sistem pernafasan, cari tanda deviasi trachea,deviasi trachea
merupakan tanda tension pneumothorak
b) Management:
Lakukan bantuan ventilasi bila perlu, lakukan tindakan bedah
emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open
pneumotoraks, hemotoraks, flail chest.
3) Circulation
c) Assesment
Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi, periksa
tekanan darah, pemeriksaan pulse oxymetri, periksa vena
leher dan warna kulit (adanya sianosis), kaji heart rate dan
rhytem, catat tekanan darah, lakukan pemeriksaan EKG,
lakukan pemasangan IV akses, lakukan pemerikasaan darah
vena untuk pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit
d) Management
Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines, torakotomi
emergency bila diperlukan, operasi eksplorasi vaskular
emergency
4) Disability
Lakukan pengkajian tingkat kesadaran dengan menggnakan
pendekatanGCS, adanya nyeri.
Tingkat Kesadaran secara kualitatif :
a) Composmentis : Reaksi segera dengan orientasi sempurna,
sadar akan sekeliling, orientasi baik terhadap orang tempat
dan waktu.
b) Apatis : Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh
tidak acuh terhadap lingkungannya.
c) Confuse : Klien tampak bingung, respon psikologis agak
lambat.
d) Samnolen : Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup
kuat, bila rangsangan hilang, klien tidur lagi.
e) Soporous Coma : Keadaan tidak sadar menyerupai koma,
respon terhadap nyeri masih ada, biasanya inkontinensia
urine, belum ada gerakan motorik sempurna.
f) Koma : Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan
rangsangan.
Tingkt kesadaran menurut kuantitas dengan GCS:
5) Exposure
Pada saat pasien stabil kaji riwayat kesehatan scara detail dan
lakukan pemeriksaan fisik lainnya
a. Secondary Survey
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan sesak seringkali datang mendadak dan semakin lama
semakin berat, nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa
berat dan tertekan, terasa lebih nyeri pada gerakan pernafasan.
Selanjutnya dikaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai
rongga dada seperti peluruh yang menembus rongga dada dan
paru, ledakan yang menyebabkan peningkatan tekanan udara dan
terjadi tekanan di dada yang mendadak menyebabkan tekanan
dalam paru meningkat, kecelakaan lalulintas biasanya
menyebabkan trauma tumpul didada atau tusukan benda tajam
langsung menembus pleura.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit TB
paru, PPOM, kanker dan tumor metastase ke pleura.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga perlu ditanyakan apakan pernah keluarga klien pernah
menderita penyakit yang sama.
4) Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan klien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya, serta bagaimana prilaku klien pada tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya
5) PemeriksaanFisik (Doengoes, M.E. 2000)
a. Sistem Pernapasan :
Sesak napas? Nyeri, batuk-batuk.? Terdapat retraksi
klavikula/dada?Pengambangan paru tidak simetris? Fremitus
menurun dibandingkan dengan sisi yang lain? Pada perkusi
ditemukan adanya suara sonor/hipersonor/timpani,
hematotraks(redup)? Pada asukultasi suara nafas menurun,
bising napas yang berkurang/menghilang? Pekak dengan
batas seperti garis miring/tidak jelas? Dispnea dengan
aktivitas ataupun istirahat? Gerakan dada tidak sama waktu
bernapas.
b. Sistem Kardiovaskuler:
Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk?
Takhikardia,lemah, Pucat, Hb turun /normal,
Hipotensiatauhipertensi.
c. Sistem Persyarafan :
Kaji 12 saraf cranial klien
a) Nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan
daya penciuman dan anosmia bilateral.
b) Nervus II (Optikus): memperlihatkan gejala berupa
penurunan gejala penglihatan.
c) Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan
penurunan lapang pandang, refleks cahaya ,menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti
perintah, anisokor.
d) Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya
anestesi daerah dahi. Nervus VII (Fasialis), pada trauma
kapitis yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat
menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,
melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa
pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.
e) Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya
berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan
tubuh.
f) Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan Nervus
XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita
akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut.
Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada
nervus vagus, yang menyebabkan kompresi spasmodik
dan diafragma.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah
jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini
menyebabkan adanya kesulitan menelan..
d. Sistem Perkemihan.
Kajiadadantidakadanyanyaoliguri merupakan tanda pre
shockdankajiadatidaknya kelainanpada system perkemihan.
e. Sistem Pencernaan :
Akibat sesak napasklien mungkinakanmengalami mual
muntah dan penurunan nafsu makan dan berat badan.
f. Sistem Muskuloskeletal – Integumen
Kemampuan sendi terbatas? Ada luka bekas tusukan benda
tajamatautidak? Terdapat kelemahanatautidakada? Kulit pucat,
sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi subkutan.
g. Sistem Endokrine :
Terjadi peningkatan metabolisme? Kelemahan.
h. Sistem Sosial / Interaksi.
Tidak ada hambatan.
i. Spiritual
Kajiadanyaansietas, gelisah, bingung, pingsan

b. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan kardiopulmoner berhubungan

dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah


2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan menurunnya

ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga

pleura
3) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi

secret yang berlebihan pada jalan napas dan penuruna reflek batuk

sekunder akibat nyeri dan keletihan


4) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan

kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membrane alveolar kapiler


5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring/ imobilitas,

nyeri kronis, kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen.
c. Intervensi
1) Diagnosa1: Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan jantung
berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam
darah
a. Tujuan
Setelalah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama …x24
jam diharapakan perfusi jaringan jantung kembali efektif dengan
kriteria hasil :
1) Tekanan darah dalam batas normal (Systole 90-120 mmHg,
Diastole 60-100 mmHg)
2) Nadi dalam batas normal (60-100 x/ mnt)
3) Nadi perifer kuat dan simetris
4) Tidak ada edema perifer dan asites
5) Tidak ada bunyi jantung yang tidak normal yaitu bunyi jantung
S3 dan S4
6) Tidak ada angina
7) Tidak ada bunyi napas tambahan, distensi vena leher, edema
pulmoner atau bising pada pembuluh darah besar
8) Tidak ada keletihan dan hipotensiortostatik
b. Intervensi
1) Pantau nyeri dada (mis: intensitas, durasi dan faktor
predisposisi
2) Observasi adanya perubahan segmen ST pada EKG
3) Pantau frekuensi nadi dan irama jantung
4) Auskultasi bunyi jantung dan paru
5) Pantau hasil pemeriksaan koagulasi (mis: prothombin time
(PT), partial thromboplasti time (PTT) dan hitung trombosit)
6) Pantau nilai elektrolit yang dihubungkan dengan disritmia
(kalium dan magnesium serum)
7) Lakukan penilaian sirkulasi perifer yang komperhensif (mis:
cek nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna dan suhu
ekstremitas )
8) Pantau status cairan meliputi asupan dan haluaran
9) Evaluasi edema dannadiperifer
10) Pantau adanya peningkatan kegelisahan, ansietas dan
terengah-engah
11) Catat perubahan SaO2, SvO2, dan perubahan nilai GDA jika
diperlukan
12) Tingkatkan istirahat
13) Ajarkan pasien dan keluarga untuk menghindari maneuver
valsalva (mis: jangan mengedan saat defekasi)
14) Jelaskan tentang pembatasan asupan kafein, natrium,
kolestrol,dan lemak
15) Jelaskan alasan makan sedikit tapi sering
16) Kolaborasi pemberian pengobatan berddasarkan permintaan
atau protocol yang berlaku (mis: obat-obatan analgesic,
antikoagulan, nitrogliserin, vasodilator, deuretik dan
kontraktilitas / inotropikpositif)
2) Diagnosa 2 : Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan
menurunnya ekspansi paru skunder terhadap peningkatan tekanan
dalam rongga pleura
a. Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam
diharapakan pola napas kembali efektif dengan kriteria hasil :
1) Ekspansi paru optimal dan simetris kanan kiri
2) Tidak ada sesak napas
3) RR dalam batas normal (16-20x/mnt)
4) Irama teratur
5) Bunyi nafas terdengar jelas
6) Pergerakan dada simetris
7) Pada foto torak adanya pengembangan paru.
b. Intervensi :
1) Kaji frekuensi napas, irama, kedalaman dan usaha
berb=napas klie
2) Observasi adanya pola napas abnormal seperti
bradipnea,takipnea dan hiperventilasi
3) Monitor hasil rongent
4) Catat pergerakan dada dan penggunaan otot bantu
pernapasan
5) Auskultasi suara napas dan catat adanya suara napas
tambahn
6) Berikan pasien posisi semi fowler/fowler
7) Ajarkan cara napas dalam yang efektif
8) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang indikasi
pemberian oksigen dan tujuannya
9) Kolaborasi : Pemberian terapi oksigen sesuai indikasi dan obat
bronkodilator
10) Monitor aliran oksigen, keefektifan terapi oksigen, dan monitor
adanya kecemasan pasien terhadap oksigen.
3) Diagnosa 3 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membran
alveolar kapiler
a. Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam
diharapakan pertukaran gas adekuat dengan kriteria hasil :

1) Tidak sianosis
2) Kesadaran komposmentis
3) Hasil AGD dalam batas normal
4) RR normal (16-20x/mnt)
5) Tidak ada nyeti dada, pusing maupun malaise
b. Intervensi
Manajemen asam basa
1) Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan pernapasan
2) Pertahankan kepatenan jalan napas dan terapi IV
3) Monitor status hemodinamik (Tanda vital dan saturasi O2
secara continue) dan tingkat kesadaran
4) Monitor gambaran seri AGD dan elektroklit
5) Observasi warna kulit, membran mukosa, kuku dan adanya
dispnea
6) Auskultasi bunyi napas abnormal, suara napas tambahan dan
adanya sianosis perifer
7) Catat adanya cianosis perifer
8) Berikan posisi yang nyaman untuk memaksimalkan potensial
ventilasi
9) Berikan posisi semiforler atau posisi yang mengurangi dispnea
10) Bersihakan secret dengan menganjurkan batuk efektif atau
pengisapan
11) Alih baring sesuai indikasi
12) Ajarkan cara mengeluarkan sputum dengan batuk efektif
13) Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dari tindakan dan
pengobatan serta alat bantu yang digunakan (missal
ventikator, oksigen, pengisapan)
Kolaborasi
1) Berikan oksigen yang dilembabkan sesuai indikasi
2) Berikan bronkodilator sesuai dengan keperluan
3) Berikan nabulasi ultrasonic sesuai indikasi
4) Pasang ventilasi mekanik bila diperlukan
5) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan
pemeriksaan gas darah srteri dan penggunaan alat bantu yang
dianjurkan sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien
6) Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data
(misal bunyi napas, pola napas, analisa gas darah arteri,
sputum, efek dari pengobatan)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mukti dkk (2009) Pedoman Diagnosis dan Terapi lab ilmu penyakit paru
RSUD Dr Soetomo Surabaya. Surabaya
Afif Muttaqin, (2008). Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan sistem
pernafasan. Jakarta: SalembaMedika.
Alsagaf Hood dan Mukti Abdul H, (2002). Dasar-Dasar Ilmu Diagnostik Fisik
Paru. Surabaya: Airlangga.
Alsagaff Hood, (2010), DasarIlmuPenyakitParu, Jakarta: EGC
Amirulloh R. PenatalaksanaanPneumotoraks di DalamPraktek. http://www.
Budi Swidarmoko, Agus dwi Susanto. (2010). Pulmonologi Intervensi dan Gawat
Darurat Nafas.Jakarta: FK UI.
Carpenito,L.J (2008)Buku Saku Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC
DarmantoDjojodibroto, 2009, Respirologi, Jakarta: EGC
Doengoes, M.E. (2000). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi
3. Jakarta: EGC.
Herdman. T. Heather (2012). NANDA International Diagnosis
KeperawatanDefinisidanKlasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC
KaharKusumawidjaja, (2008), Pleura dan Mediastinum, Radiologidiagnositik,
kalbe.co.id. [diaksestanggal 01 Oktober 2012]
Mansjoer dkk, (2007). Kapita Selekta Kedokteran.Edisi-3Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
Sjahriarrasad, (2009), RadiologiDiagnostik, Jakarta: BalaiPenerbit FKUI
Wilkinson. M. Judhit, (2006).BukuSaku Diagnosis
KeperawatanDenganIntervensiNICdanKreteriaHasil NOC. Edisi-7. Jakarta:
EGC
Hudak, C.M. (2010) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai