8 PPK Divisi Neurologi
8 PPK Divisi Neurologi
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Definisi
Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Kriteria Diagnosis:
A.Anamnesis
Kejang : lama, frekuensi, sifat, tipe, interval, kondisi inter iktal dan post iktal
Gejala sebelum kejang, termasuk riwayat demam, jarak demam dan terjadinya kejang
Riwayat trauma
Riwayat kejang sebelumnya
Riwayat kejang dalam keluarga
Kelainan neurologis
B. Pemeriksaan Fisik
Suhu > 380C
Fokus infeksi (+) ekstrakranial, meliputi infeksi saluran nafas, saluran cerna, saluran kemih,
dsb.
Status neurologis defisit neurologis (-)
Kriteria Diagnosis
Kejang yang didahului demam (suhu rektal > 38°C) yang bukan disebabkan infeksi intracranial
Diagnosis
1. Kejang Demam Sederhana
Kejang demam yang berlangsung kurang dari 15 menit, umumnya berhenti sendiri,
berbentuk umum tonik, dan atau klonik, tanpa gerakan fokal, tidak berulang dalam waktu 24
jam.
2. Kejang Demam Kompleks
Kejang demam dengan lama kejang > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau
kejang umum dengan frekuensi > 1 kali dalam 24 jam
Differensial Diagnosis
Kejang dengan demam yang disebabkan proses intrakranial misal meningitis,
meningoensefalitis, ensefalitis
C.Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dikerjakan rutin tetapi dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam atau keadaan lain.
2. Pungsi Lumbal
Dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis
3. EEG
Dilakukan pada kejang demam yang tidak khas misal KDK pada anak > 6 tahun atau
kejang demam fokal
4. Pencitraan
Dilakukan pada papiledema, paresis N VI dan kelainan neurologis fokal yang menetap
(hemiparesis)
Terapi
Setelah Kejang Berhenti
Bila kejang sudah berhenti, tentukan apakah anak termasuk dalam kejang demam yang
memerlukan pengobatan rumat atau cukup pengobatan intermiten.
Pengobatan Rumat
Pengobatan rumat adalah pengobatan yang diberikan secara terus menerus dalam waktu
tertentu.
1. Obat rumat yang dapat menurunkan risiko berulangnya kejang demam hanya
fenobarbital atau asam valproat. Semua obat antikonvulsan lain tidak bermanfaat untuk
mencegah berulangnya kejang demam.
2. Dosis valproat adalah 10-40 mg/kgBB/hari dibagi 2 – 3 dosis sedangkan fenobarbital 3 –
5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
3. Pengobatan rumat cukup diberikan selama satu tahun, kecuali pada kasus yang sangat
selektif (rekomendasi D)
4. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar. Sedangkan pemakaian asam valproat pada usia kurang dari 2 tahun dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Bila memberikan valproat, periksa SGOT dan
SGPT setelah 2 minggu, satu bulan, kemudian tiap 3 bulan.
5. Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan salah satu atau
lebih gejala sebagai berikut :
Kejang lama 15 menit.
Anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemparesis, paresis Todd, Cerebral Palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
Kejang fokal.
Bila ada keluarga sekandung atau orang tua yang mengalami epilepsi.
Pengobatan rumat tidak harus diberikan tetapi dapat dipertimbangkan dalam keadaan :
1. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
2. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan.
Catatan :
Semua peneliti setuju bahwa kejang demam 15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat.
Yang dimaksud dengan kelainan neurologis yang nyata misalnya kelumpuhan,
mikrosefali. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan
ringan bukan merupakan indikasi.
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa anak mempunyai fokus
organik di otak sisi kontralateral.
Tidak semua setuju bahwa kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari sudah merupakan indikasi
pengobatan rumat
Pengobatan Intermiten
Yang dimaksud dengan pengobatan intermiten adalah pengobatan yang diberikan pada saat
anak mengalami demam, untuk mencegah terjadinya kejang demam. Terdiri dari pemberian
antipiretik dan antikonvulsan.
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam. Namun kesepakatan Saraf Anak menyatakan bahwa pengalaman menunjukan bahwa
antipirtetik tetap bermanfaat.Antipiretik yang dapat digunakan adalah :
Parasetamol atau asetaminofen 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali.
Ibuprofen 10 mg/kgBB/kali, diberikan 3 kali.
Edukasi
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahu cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping obat
Prognosis
1. Kemungkinan kecacatan atau kelainan neurologis
Kemungkinan kecacatan tidak pernah dilaporkan
Kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus yang terjadi pada kasus kejang lama atau
kejang berulang baik fokal atau umum
2. Kemungkinan kematian tidak pernah dilaporkan
3. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Faktor resiko berulangnya kejang demam :
a. Riwayat Kejang demam dalam keluarga
b. Usia < 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam
Bila semua faktor tersebut ada kemungkinan berulangnya kejang demam 80%, sedang bila
tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan 10-15%.
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Referensi
Taslim. Kejang Demam. Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi II BP IDAI, Jakarta 2000: 244-6
Hardiono, dkk. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2006
Offringa M, Newton R. Prophylactic drug management for Febrile seizure in children. 1-5. Diunduh dari http :
www.Thecochranelibrary.com
EPILEPSI
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Manifestasi klinis lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak yang bersifat
paroksismal, yang terjadi karena adanya gangguan fisiologi, biokimiawi, anatomis, atau
gabungan faktor-faktor tersebut.
Kriteria Diagnosis
A.Anamnesis
Kejang: bervariasi tergantung lokasi gangguan elektrik pada otak, berlangsung hanya
beberapa detik hingga status epileptikus, berulang, interiktal dan post iktal biasanya sadar.
Suhu badan normal.
Riwayat trauma.
Riwayat kejang sebelumnya.
Riwayat kejang dalam keluarga.
Kelainan neurologis.
B. Pemeriksaan Fisis
Suhu afebris.
Status neurologis.
Kriteria Diagnosis
Adanya serangan kejang akibat gangguan fungsi otak yang bersifat paroksismal dengan
bangkitan spontan atau karena gangguan ringan berulang lebih dari 1 (satu) kali dengan
interval lebih dari 24 jam dengan berbagai macam manifestasi klinik disertai atau tidak
disertai gangguan tingkat kesadaran.
Gambaran EEG yang abnormal dapat membantu menegakkan diagnosis.
Indikasi Rawat : Status Epileptikus
Diagnosis
Epilepsi
Differential Diagnosis
Kejang tonik klonik umum (pallid syncope, cyanotic breath holding attacks, cataplexy).
Kejang absens umum (tic disorders).
Kejang parsial kompleks (sleep walking, benign paroxysmal vertigo, migrane related
disorders).
Pemeriksaan Penunjang
EEG dapat digunakan untuk mendiagnosis epilepsi hanya apabila kejang terekam, dan ini
sangat jarang karena kebanyakan anak-anak dengan epilepsi memiliki frekuensi kejang yang
jarang. Sebagian kecil anak-anak normal memiliki aktivitas epileptiform pada EEG-nya tetapi
belum pernah mengalami kejang. Namun 40% pasien dengan epilepsi kronis tidak pernah
menunjukkan epileptiform pada EEG interiktal. Pencitraan otak tidak menjadi dasar untuk
mendiagnosis epilepsi.
Tatalaksana
Pengobatan :
Mengatasi kejang
Mencari faktor penyebab sindrom epilepsi
Menghindari faktor pencetus terjadinya serangan
Psikososial: memberikan penjelasan pada orang tua penderita tentang perawatan anak
dengan epilepsi
Obat maintenance yang diberikan diusahakan hanya satu jenis dengan dosis serendah
mungkin dan dosis dapat dinaikkan dalam 3-4 hari
Jenis obat yang sering diberikan yaitu :
1. Karbamazepin.
Indikasi : bangkitan partial dan umum.
Dosis : 5-30 mg/kgBB/hari dimulai dengan dosis rendah dibagi dalam 3 dosis.
Efek samping : diplopia, ataksia, mengantuk, pusing, ikterus, anemia, sindroma Stevens
Jhonson.
2. Asam Valproat
Indikasi : semua jenis epilepsi.
Dosis : 10-60 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis
Efek samping : nyeri perut, rambut rontok, peningkatan berat badan, trombositopenia,
hepatitis.
3. Difenilhidantoin
Indikasi : bangkitan partial dan umum.
Dosis : 4-10 mg/kg/BB/hari dibagi 2 dosis.
Efek samping : hiperplasi gusi .
4. Fenobarbital
Indikasi : bangkitan partial umum, tonik.
Dosis : 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis.
Efek samping : mengantuk, gangguan sifat berupa hiperaktifitas, hiperiritabilitas dan
agresifitas, gangguan kognitif dan daya ingat.
Edukasi
1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
3. Penghentian pengobatan dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang dan secara perlahan –
lahan
4. Menentukan obat yang dapat digunakan bersama-sama orang tua
Prognosis
Kejang yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menimbulkan kerusakan otak akibat
hipoksia, keadaan ini jika ditambah lagi dengan hiperpireksia dan hipotensi maka akan
menimbulkan kerusakan di cerebellum.
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
Refernsi
Passat J, Lumbantobing SM, Ismael S. Kelainan Paroksismal. Dalam: Soetomenggolo TS,
Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 190-209.
Sankar R et al. Paroxysmal Disorders. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child
Neurology. Edisi Ketujuh. Los Angeles: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H. 858-943.
Marson AG et al. Carbamazepine versus valproate monotherapy for epilepsy. The Cochrane
Library. 2000 July.
SINDROMA LANDAU KLEFFNER
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Suatu sindroma didapat yang terjadi pada anak usia 3-7 tahun, ditandai dengan afasia
(perkembangan bahasa dan motorik sebelumnya normal) disertai abnormalitas EEG berupa
spikes, gelombang tajam, atau spike dan gelombang yang umumnya bilateral dan predominan
pada regio temporal dan parietal. Dikenal juga sebagai afasia epileptik didapat.
Gejala Klinis
Regresi kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif.
Agnosia verbal auditorik.
Aktivitas abnormal epileptiform.
Kejang epileptik, terutama pada malam hari.
Hiperkinesia.
Gangguan tingkah laku: hiperaktif, agresif, depresi.
Gangguan perhatian.
Kriteria Diagnosis
A.Anamnesis
Kejang terutama malam hari.
Regresi kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif.
Gangguan tingkah laku dan perhatian.
B.Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum baik.
Keadaan spesifik: afasia, agnosia verbal auditorik, hyperkinesia.
Kriteria Diagnosis
Afasia didapat dengan onset pada usia 3-7 tahun.
Gambaran EEG:
- Saat bangun adalah gelombang spike di daerah temporo-parietal.
- Saat tidur: gelombang spike generalisata.
Kejang epileptik terutama pada malam hari (adanya electrical status epilepticus in sleep -
ESES) pada 80% kasus (level of evidence III).
Prognosis nya yaitu semakin muda usia saat gejala mulai, maka semakin buruk prognosis
dalam hal fungsi bahasa (level of evidence III).
Diagnosis
Sindroma Landau Kleffner
Differential Diagnosis
Autisme
Pervasive developmental disorder
Gangguan pendengaran
Ketidakmampuan belajar
Gangguan pengolahan pendengaran / lisan
Attention deficit disorder
Cacat intelektual
Skizofrenia anak-anak
Masalah emosional / perilaku
C.Pemeriksaan Penunjang
MRI untuk menyingkirkan tromboemboli serebrovaskuler, tumor otak, demielinisasi, penyakit
neurodegeneratif, infeksi intrakranial
EEG
Tes audiometri
Tatalaksana
Medikamentosa
Anti kejang: diazepam, valproat, benzodiazepin, etosuksimid (fenobarbital, fenitoin dan
karbamazepin tidak bermanfaat).
Kortikosteroid:
- Prednison 2-5 mg/kgBB/hari po selama 6 bulan, lalu di-tappering selama 3 bulan.
- Metil prednisolon 20-30 mg/kgBB/hari iv selama 3-5 hari, selanjutnya prednison 2
mg/kgBB/hari per oral, dan di-tappering selama 1-2 bulan.
ACTH 20-100 IU/m2 im/sc (dewasa 500-1000 IU/hari) (level of evidence III)
Diet ketogenik.
Speech therapy.
Psikoterapi.
Terapi bedah: multiple subpial transection.
Edukasi
1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah
2. Memberikan informasi mengenai pentingnya kepatuhan untuk minum obat anti kejang untuk
mencegah kejang
3. Memberikan informasi mengenai pentingnya terapi wicara dan terapi psikologi baik di rumah
maupun di luar rumah
Referensi
Sankar R et al. Paroxysmal Disorders. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child
Neurology. Edisi Ketujuh. Los Angeles: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H. 858-943.
Passat J, Lumbantobing SM, Ismael S. Kelainan Paroksismal. Dalam: Soetomenggolo TS,
Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 190-209.
Bhardwaj P et al. Acquired epileptic aphasia: Landau-Kleffner syndrome. Journal of Pediatric
Neurosciences. 2009: 52-53.
MENINGITIS TUBERKULOSA
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer. Fokus primer dapat berasal dari
paru (terutama), kelenjar getah bening atau tulang.
Kriteria Diagnosa
A.Anamnesis
Riwayat demam tidak terlalu tinggi, rasa lemah, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala ± 2
minggu sebelum timbul manifestasi neurologis.
Kejang bersifat umum dan intermiten.
Kesadaran menurun.
Riwayat kontak TB atau menderita TB.
B.Pemeriksaan Fisis
1. gejala umum sistemik :
demam
anoreksia
berat badan turun
keringat malam
malaise
Gejala klinis
Ubun-ubun besar membonjol pada bayi
Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Gejala rangsang meningeal positif
Gangguan syaraf otak
Kriteria Diagnosis
1. CT-Scan Kepala : ditemukan tuberkuloma hidrosefalus
2. Uji tuberkulin
3. Riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa
4. Diagnosa pasti: ditemukan basil tahan asam dalam sediaan hapus dan biakan LCS
Diagnosis
Meningitis Tuberkulosa
Differential Diagnosis
Meningitis bakterialis
Meningitis aseptik
Encephalitis
C.Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (LCS) :
jernih opalesen/kekuningan (xantocrom)
jumlah sel meninggi, tapi jarang yang melebihi 1000 mm3, dengan limfosit MN>PMN
kadar protein meningkat (>300 mg/100 ml)
kadar glukosa menurun (<40 mg/100ml)
kadar klorida (680 mg 100 ml)
bila LCS didiamkan timbul: fibrinous web (pedikel) yang merupakan tempat tersering
ditemukan hasil kuman TBC
Tatalaksana
1. Pengobatan penunjang simptomatik :
anti konvulsan
antipiretika
analgetika
2. Pengobatan suportif :
pemberian cairan
jenis cairan: cairan 2 : 1 (Dekstrosa 5% + NaCI 15%). jumlah cairan pada hari pertama 70%
dari kebutuhan maintenance
nutrisi yang adekuat
pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
posisi diubah-ubah
bila edema otak diterapi sesuai dengan talaksana edema otak
5. Fisioterapi
Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga tentang penyebab penyakit ini.
2. Menyarankan untuk memeriksa anggota keluarga untuk skrining penyakit tuberkulosa.
3. Memberi informasi kepada keluarga tentang kemungkinan adanya gejala sisa, contohnya tuli
sensorineural sehingga penting untuk melakukan pemeriksaan telinga satu bulan setelah
anak pulang dari rumah sakit.
4. Memberitahu tentang kemungkinan komplikasi-kompilkasi yang dapat timbul.
5. Perlunya pemantauan tumbuh kembang anak pasca rawat.
6. Memberitahu keluarga tentang perlunya pengobatan OAT rutin dan efek samping OAT yang
dapat timbul serta lamanya pengobatan.
7. Memberitahu keluarga tentang perlunya mengukur dan mencatat ukuran kepala bayi.
8. Memberitahu keluarga tentang perlunya fisioterapi jika terdapat kerusakan syaraf dan
berikan nasihat sederhana pada orang tua untuk melakukan latihan pasif pada anak di
rumah.
Prognosis
Pasien yang tidak diobati biasanya meninggal dunia
Tergantung pada stadium penyakit saat pengobatan dimulai dan umur pasien, pasien
berumur < 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Komplikasi
Mata atrofi optic dan kebutaan
THT gangguan pendengaran dan keseimbangan
Sequele neurologis minor kelainan syaraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan pada
koordinasi dan spastisitas
Kelainan pituitari dan hipotalamus prekoks seksual, hiperprolaktinemia, defisiensi DH,
hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin
Referensi
Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL.
Child Neurology. Edisi Ketujuh. Los Angeles: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H. 445-
8.
Saharso D, Hidayati SN. Meningitis Tuberkulosa. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku
Ajar Neurologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 353-362.
Prasad K, Singh MB. Corticosteroids for managing tuberculous meningitis. The Cochrane
Library. 2008.
MENINGITIS TUBERKULOSA
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Penyakit dengan tanda utama kekakuan otot ( spasme ) tanpa disertai gangguan kesadaran
yang terjadi pada anak
Etiologi
Clostridium tetani
Patogenesis
Spora yang masuk ke tubuh berubah menjadi bentuk vegetative dan berbiak menghasilkan
toksin. Toksin merambat dari tempat luka lewat motor endplate dan aksis silinder syaraf tepi ke
kornu anterior sumsum belakang dan menyebar ke seluruh SSP. Toksin menyebabkan
blockade pada simpul yang menyalurkan impils pada tonus otot sehingga tonus otot meningkat
dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang terutama pada otot
yang besar
B. Pemeriksaan Fisis
Trismus, kaku kuduk, opistotonus, perut papan, tak dapat jalan, atau jalan seperti robot, kejang
rangsang, kejang spontan. Tidak terdapat penurunan kesadaran dan biasanya tidak panas
C.Kriteria Diagnosis
Anamnesis luka
Gejala klinis
Differential Diagnosis
Tetani
Trismus karena proses local seperti mastoiditis, abses tonsilar, OMSK
Tatalaksana
1. Medikamentosa
ATS pada hari I 20.000 IU diberikan perdrip dengan diencerkan 20 kali dengan NaCI
fisiologis. Sebelum pemberian harus dilakukan tes kulit terlebih dahulu, bila positif maka
dilakukan desentisasi dengan cara besredka. Pada hari II ATS 20.000 IU diberikan IM
Antibiotika PP 50.000 U /kgBB/hari selama 10 hari
Antikonvulsan :
a. fenobarbital dosis awal 100 mg IM dan largactil dosis awal 30 mg IM dilanjutkan oral
: fenobarbital 6x30 mg/hari dan largactil 2-5 mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis
b. diazepam dengan dosis inisial 0,2 mg/kgBB/kali IV, kemudian diteruskan dengan 4-8
mg/kgBB/hari diberikan secara IV dalam 12 kali pemberian
Dosis antikonvulsan diturunkan secara bertahap sesuai dengan perbaikan klinis.
Antiseptik H2O2 3% untuk pencucian luka.
2. Suportif
Mencegah terjadinya aspirasi, segera setelah pemberian antikonvulsan dipasang sonde
lambung, lambung dikosongkan, posisi kepala dimiringkan
Penderita diisolasi dan dijauhkan dari rangsangan terutama cahaya yang berubah
mendadak, bunyi dan sentuhan
Makanan diberikan dalam jumlah sedikit tetapi sering, untuk mencegah terjadinya
regurgitasi
Oksigen diberikan bila ada gangguan oksigenasi
Penderita dipulangkan setelah tidak ada kejang rangsang lagi, tidak spastis, atau spastis
ringan, telah dapat berjalan dan tidak ada kesulitan makan atau penyulit lain
Edukasi
Imunisasi DPT dilanjutkan TT
Obati luka dengan antiseptic
Referensi
Soedarmo,S.S.P.,2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
H.Royden Jones, Jr.Darryl C.De Vivo and Basil T. Darras. 2003. Neuromuscular Disorders of
Infancy,Childhood and Adolescence. Philadelphia: Butterworth-Heinemann
Volpe,J.J.,2008. Neurology of the newborn. Philadelphia : Saunders Elsevier.
SUB ACUTE SCLEROSING PANENCEPHALITIS
dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K), MARS - dr. RM. Indra, Sp.A(K)
Pengertian (Definisi)
SSPE adalah penyakit peradangan yang progresif susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
infeksi virus campak menetap.
Etiologi
Virus Morbili.
Patogenesis
Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan setelah infeksi akut virus
morbili hidup dalam bentuk inaktif dalam sel.
Bentuk klinis
Dibagi menjadi 4 stadium :
Stadium I
Gangguan psikointelektual berupa gangguan mental dan kepribadian. Pasien tampak labil,
kemampuan belajar menurun, mudah lupa, letargi, depresi. Stadium berlangsung 6 bulan.
Stadium II
Adanya kejang dan kerusakan motor. Kerusakan ekstrapiramidal meliputi koreoatetosis, dan
balismus.
Stadium III
Adanya koma dan opistotonus, spastisitas, gangguan syaraf otonom. Stadium berlangsung
kurang dari 6 bulan, kebanyakan meninggal pada stadium ini.
Stadium IV
Hilangnya fungsi korteks cerebri, mutiss dan disfungsi otonom, berlangsung 1-10 tahun.
Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
Didahului oleh riwayat morbili tipikal, sembuh total tanpa komplikasi beberapa tahun
sebelum onset.
Keluhan yang sering ditemukan:
o Jatuh/tersentak
o Kemunduran intelegensi
o Penyakit psikiatrik
o Paresis/paralisis
o Gangguan bicara
B. Pemeriksaan Fisis
Sesuai dengan stadium yang dialami
C. Kriteria Diagnosis
Gejala klinis sesuai stadium
Titer antibodi morbili dalam darah dan LCS
EEG
LCS
Diagnosis
Sub Acute Sclerosing Panencephalitis
Differential Diagnosis
Ensefalitis
Acquired immunodeficiency syndrome encephalopathy
Subacute necrotizing encephalomyelopathy (Leigh disease)
Pemeriksaan Penunjang
EEG (level of evidence III): Tahap awal EEG normal atau perlambatan non spesifik.
Pada stadium II: gambaran supression burst pattern/periodic slow wave complexes
(PSWC).
Pada stadium lanjut: abnormal/bervoltase rendah.
Darah: titer antibodi morbili 1/124-1/2048.
LCS: jernih, sel normal, glukosa normal, protein normal/sedikit meningkat. Titer antibodi
morbili 1/8 s/d 1/64.
MRI: Berguna untuk menilai progresifitas penyakit dan pengaruh pengobatan. Tampak
gambaran lekoensefali pada intensitas signal T2 pada substansia alba, batang otak maupun
serebelum.
Tatalaksana
Belum ada pengobatan yang memuaskan.
Manfaat isoprinosin 100 mg/kgBB/hari, interferon intraventrikel masih kontroversial.
Bila ada kejang mioklonik dapat diberikan antikonvulsan karbamazepin, asam
valproat/pirimidon.
Pemberian nutrisi yang baik, pengobatan infeksi sekunder dan suportif.
Edukasi
Memberi informasi kepada keluarga tentang prognosis yang buruk (penderita bias meninggal
dunia) pada penyakit ini dan walaupun penderita dapat bertahan hidup kemungkinan besar
penderita akan menjadi vegetatif.
Prognosis
Fatal, pada umumnya penderita meninggal 6 bulan s/d 3 tahun setelah gejala timbul.
Dilaporkan 5% sembuh spontan.
Referensi
Fenichel GM. Psychomotor Retardation and Regression. Dalam: Clinical Pediatric Neurology: A
Signs and Symptomps Approach. Edisi Keenam. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009.
H. 147-8.
Bellini WJ et al. Subacute Sclerosing Panencephalitis: More Cases of This Fatal Disease Are
Prevented by Measles Immunization than Was Previously Recognized. The Journal of
Infectious Disease. The Oxford Journals. 2005; 192 (10): 1686-93.
POLIOMIELITIS PARALITIKA
dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K), MARS - dr. RM. Indra, Sp.A(K)
Pengertian (Definisi)
Penyakit infeksi virus akut yang mengenai medulla spinalis dan batang otak.
Etiologi:
virus polio tipe Brunhilde, Lansing dan Leon.
Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
Adanya demam tinggi yang timbul pada onset kelumpuhan
Kelumpuhan bersifat akut, asimetris dengan progresifitas kelumpuhan 3-4 hari
B. Pemeriksaan Fisis
Demam
Gejala rangsang meningeal diikuti kelumpuhan flaksid asimetris
C.Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisis kelumpuhan flaccid, asimetris
LCS
Isolasi virus dari tinja dan orofaring
Indikasi Rawat : Kelumpuhan
Diagnosis
Poliomielitis paralitika
Differential Diagnosis
Sindroma Guillan Barre
Mielitis transversa
Pemeriksaan Penunjang
LCS: kadar protein agak meningkat, berlangsung sampai 2 bulan. Awal penyakit jumlah sel
leukosit meningkat terutama terdiri dari sel polimorfonuklear, setelah itu jumlah limposit lebih
banyak dan menjadi normal dalam 2-3 minggu
Isolasi virus
Tatalaksana
Tatalaksana suportif.
Belum ada pengobatan kausal namun dapat dicegah dengan vaksinasi (level of evidence II).
Ventilasi mekanik dan bantuan sirkulasi mungkin dibutuhkan apabila terdapat symptom bulbar.
Rehabilitasi medik setelah penderita melewati fase akut polio dan penderita dengan defisit
motorik permanen.
Edukasi
Imunisasi polio
Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : malam
Referensi
Maria BL, Bale JF. Infections of The Nervous System. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL.
Child Neurology. Edisi Ketujuh. Los Angeles: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H. 445-8.
Pidcock et al. Infection and Autoimmune Diseases Affecting Motor Neurons of the Spinal Cord:
Chapter 88 Anterior Horn Cell and Cranial Motor Neuron Disease. Dalam: Swaiman KF,
Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF. Swaiman’s Pediatric Neurology Principle and Practice.
Volume Satu. Edisi Kelima. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. H. 1497-8.
Nara P, Lumbantobing SM. Penyakit Unit Motor dan Sindrom Neurokutan. Dalam:
Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI;
2000. H. 276-277.
PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K), MARS - dr. RM. Indra, Sp.A(K)
Pengertian (Definisi)
Peningkatan tekanan intrakranial diatas nilai normal. Tekanan intrakranial normal berkisar 82
mmH2 O pada neonatus, 82-176 mmH2 O pada anak usia 1-7 tahun, 136-204 mmH2 O pada
remaja.
Keadaan patologi jaringan otak yang berhubungan dengan tekanan intra kranial adalah edema
serebri dan proses desak. Edema serebri adalah pengumpulan cairan di dalam jaringan otak,
baik intraseluler atau ekstraseluler. Fishman membagi edema serebri menjadi edema
vasogenik, edema sitotoksik dan edema interstitial.
1. Edema vasogenik terjadi akibat a) peningkatan permeabilitas kapiler, b) peningkatan tekanan
transmural kapiler, c) retensi cairan ekstravaskuler pada ruangan intersisial. Keadaan ini
dapat terjadi karena tumor otak, lesi traumatik, perdarahan intraserebral, fokus inflamasi atau
hematom sudural kronis.
2.Edema sitotoksik terjadi akibat proses intraseluler pada astrosit dan neuron. Keadaan ini
disebabkan iskemi fokal atau umum dan hipoksia akibat infark serebri. Dapat terjadi pada
keadaan hipoksia, iskemia dan infeksi.
3.Edema interstisial terjadi akibat transudasi CSS melauli barier ependimal dari sistem ventrikel
ke jaringan otak. Dapat terjadi pada gangguan sirkulasi CSS.
Proses desak ruang disebabkan tumor, abses, hematoma dan malformasi arteriovena.
Peningkatan tekanan intrakranial pada proses desak ruang terjadi karena: a. Secara fisik
menempati ruang intrakranial b. Menimbulkan edema serebri. c. Membendung sirkulasi dan
absorpsi CSS d. Meningkatkan aliran darah otak dan e. Menyumbat pembuluh darah balik
vena.
Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
Sakit kepala; sering bertambah saat bangun pagi, batuk, bersin, mengedan, perubahan posisi
kepala tiba-tiba (pada proses lesi desak ruang).
Muntah; bersifat proyektil tanpa disertai rasa mual, mulanya hanya timbul saat bangun pagi
kemudian dapat terjadi setiap waktu.
Pada anak besar: penurunan kesadaran atau perubahan kepribadian, pada bayi: Letargi dan
Iritabel,
Gejala lain (pada proses lesi desak ruang) : penglihatan ganda/diplopia, strabismus,
kelumpuhan, kejang, gangguan keseimbangan/koordinasi.
B. Pemeriksaan Fisis
Edema papil
Kelumpuhan saraf kranialis keenam
Penurunan kesadaran (Skala Koma Glasgow), memakai modifikasi anak.
Tanda spesifik peningkatan TIK pada bayi: fontanela membonjol, diastasis sutura, distensi
vena kulit kepala, deviasi mata persisten ke bawah (sunsetting) dan penambahan lingkar
kepala yang cepat.
Tanda spesifik peningkata TIK di kompartemen infratentorial (fossa posterior): kaku kuduk
dan head tilt
Dapat ditemukan defisit neurologis fokal mencerminkan letak lesi
Peningkatan TIK yang masif dan berkelanjutan dapat menimbulkan pergeseran otak melewati
ekstensi-ekstensi dura (falx serebri, tentorium serebeli) atau barier tengkorak yang disebut
herniasi. Herniasi dapat terjadi di bawah falx (subfalcine), melalui sulkus tentorial (transtentorial:
sentral dan unkal), atau kedalam foramen magnum (tonsilar)
Hati-hati bila terdapat tanda-tanda perburukan dari status neurologi yang tiba-tiba, berupa:
penurunan kesadaran, dilatasi pupil unilateral, trias Cushing (peningkatan tekanan darah,
bradikardi dan pernapasan ireguler).
Kriteria Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis adanya gejala dan tanda peningkatan tekanan
intrakranial
Pemeriksaan penunjang untuk mencari etiologi
Diagnosis
Pemeriksaan neurologis klinis merupakan cara utama untuk deteksi adanya peningkatan
TIK.
Diagnosis pasti adanya peningkatan TIK dengan melakukan monitoring menggunakan
external ventricular drainage (EVD) yang bersifat invasif .
Differential Diagnosis
Sesuai dengan etiologi. Adapun penyebab peningkatan TIK yang sering dijumpai adalah:
Kelainan pada parenkim/ventrikel
- Neoplasma
- Pseudotumor cerebri
- Hidrosefalus obstruktif/nonkomunikan
- Hidrosefalus komunikan
- Meningitis bakterialis
- Meningoencephalitis
- Cidera kepala
- Ensefalopati hipoksik-iskemik
- Inborn errors of metabolism
- Ketoasidosis diabetikum
- Koma hepatikum
Kelainan ekstraserebral
- Craniosynostosis primer
- Penyakit Crouzon
- Sindrom Apert’
- Perdarahan ekstradural
- Hematom subdural kronis
- Kleeblattscha¨ del deformity
Subarachnoid Space Lesions
Hidrosefalus komunikan
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab peningkatan TIK
- USG/CT-Scan/MRI kepala
- Darah perifer lengkap, analisis gas darah, elektrolit darah
Tatalaksana
Tata Laksana
Tujuan: menurunkan tekanan intrakranial untuk memperbaiki aliran darah ke otak dan
pencegahan atau menghilangkan herniasi, serta mempertahankan TD sistolik dalam batas
normal.
2. Medikamentosa
- Jika peningkatan TIK tidak dapat diatasi dengan medikamentosa maka perlu dilakukan
koreksi dengan tindakan bedah dekompresi (kraniektomi) untuk mengatasi pergeseran dan
herniasi otak. (Level of EBM I)
- Tindakan bedah lain tergantung dari etiologi (hidrosefalus, perdarahan intrakranial, abses
otak, tumor otak).
Edukasi
1. Memberikan informasi mengenai kemungkinan penyebab peningkatan tekanan intrakranial,
beserta komplikasi yang mungkin terjadi
2. Memberikan informasi mengenai pengobatan atau tindakan yang akan dilakukan untuk
menurunkan peningkatan tekanan intrakranial beserta efek samping/komplikasi yang
mungkin timbul
3. Memberikan informasi mengenai prognosis dan pemantauan yang akan dilakukan
Prognosis
1. Kemungkinan kematian 30-33% kematian pada meningitis bakterialis akibat peningkatan
tekanan intrakranial
2. Kemungkinan kecacatan atau kelainan neurologis
3. Ad vitam , Ad fungsionam dan Ad sanationam: tergantung dari etiologi
Referensi
Disorder of Intracranial Pressure. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF.
Swaiman’s Pediatric Neurology Principle and Practice. Volume Satu. Edisi Kelima.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. H. 1185-1197
Fenichel GM. Dalam: Clinical Pediatric Neurology: A Signs and Symptomps Approach. Edisi
Keenam. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. H. 93-118.
Cedera Otak Traumatik dan Koma. Dalam: Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi
Keenam. Singapore: Elsevier Saunders; 2014. H. 767-771.
Peninggian Tekanan Intrakranial. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi
Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 276-277.
Reducing intracranial pressure may increase survival among patient bacterial meningitis.
Journal Clinical Infection Disease 2004; (38): 384-90.
Role of hypertonic saline and manitol in the management of raised intracranial pressure in
children: a randomized comparative study. Journal Pediatric Neuroscience 2010; (5): 18-
21.
MENINGITIS BAKTERIALIS
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Peradangan pada selaput otak ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam
cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.
Kreteria Diagnosis
A. Anamnesis
Panas
Penurunan kesadaran
Kejang
High pitch cry pada bayi
B. Pemeriksaan Fisis
Suhu febris
Penurunan kesadaran GCS
GRM (+) kaku kuduk, Brudzinsky, Kernig
Gangguan syaraf otak
Gejala klinis :
Tidak ada yang patognomonik untuk meningitis, bervariasi tergantung:
Umur
Lama sakit sebelum diperiksa
Reaksi anak terhadap infeksi
Pada bayi sukar didiagnosis dini. Gejala klinis pada bayi :
Panas
Hyperirritable
Gangguan kesadaran
Poor muscle tone
Kejang
UUB menonjol
Muntah
Pada anak gejala klinisnya :
Gejala umum: panas, sakit kepala, nausea dan muntah, photophobia, irritabilitas,
letargi, gangguan kesadaran.
Gejala Neurologis : GRM (tanda Kernig dan tanda Brudzinsky I & II, kaku kuduk),
kejang, UUB menonjol, penurunan kesadaran.
Kriteria Diagnosis
Gejala klinis
Pungsi lumbal
Diagnosis
Meningitis Bakterialis
Differential Diagnosis
Meningitis tuberkulosis
Meningitis aseptik
Encephalitis
C. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah tepi :
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
LED meningkat
Pemeriksaan CRP positif
b. LCS :
Opalesen sampai keruh (stadium dini dapat jernih)
Reaksi none dan pandy (+) satu atau lebih
Jumlah sel ratusan sampai ribuan per mm3 cairan LCS, terutama PMN, pedikel (-)
Kadar glukosa menurun <40 mg/dl
Kadar protein meningkat 100-500 mg/dl
Kadar chlorida kadang-kadang merendah
(EBM level 1)
Mikrobiologi : sediaan langsung dengan pengecatan gram, kultur dan resistensi test. Dari hasil
kultur didapatkan Bakteri penyebab terbanyak pada usia 1-3 bulan: E. Coli, L.monocytogenes,
Neisseria Meningitidis, S. Agalactiae, S.pneumoniae, Haemophilus influenzae
Usia 3 bulan-18 tahun: N. Meningitidis, S. Pneumoniae, H. Influenzae.
Tatalaksana
1. Kausal :
Antibiotika diberikan sesuai dengan kuman penyebab dan mampu melewati “Blood Brain
Barrier”
Beri antibiotika polifragmasi sebelum diketahui kuman penyebab. (70-90 % disebabkan
N. Meningitidis, S. Pneumoniae)
Sefalosporin generasi ke III yaitu Cefriaxone 100 mg/kg/hari dosis tunggal (maksimum 4
gram/hari) iv atau Cefotaxime 300 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis dibagi dalam 2
dosis dan vancomycin 15 mg/kg tiap 6 jam (maksimal 500 mg tiap 6 jam) lama
pemberian 7-14 hari (EBM level I).
Bila vancomysin tidak tersedia, dapat diberikan Ampisilin 300-400 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4 dosis IV dan sefalosporin (ceftriaxone atau cefotaxime).
Perubahan antibiotika selanjutnya tergantung dari hasil resistensi tes.
Untuk mengatasi edema otak diberi kortikosteroid dexametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali
diberikan 3 kali sehari selama 4–5 hari. (EBM level II)
Untuk mencegah reaksi immunologis deksametason diberikan terlebih dahulu sebelum
pemberian antibiotika.
2. Suportif
Pemberian cairan
Jumlah cairan sesuai dengan kebutuhan maintenance (EBM level 1)
Nutrisi yang adekuat
Kejang diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang demam sampai diketahui
sekuele +/-
Bila terjadi kenaikan tekanan intrakranial dengan tanda :
o Kesadaran menurun progresif
o Tonus otot meningkat
o Kejang yang tidak teratasi
o Fontanella menonjol
o Bradipnoe
o Tekanan darah meningkat
Diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25-1 gram/kgBB/kali diberikan perinfus selama
30-60 menit, dapat diulangi setelah 8 jam.
Pemberian O2.
Pembersihan jalan nafas
Awasi ketat fungsi vital
Perawatan atau follow up yang ketat 24-48 jam pertama untuk melihat adanya
“Sindroma Inapropriate Anti Diuretic Hormone” (SIADH). Apabila ada SIADH dperlukan
monitor kadar elektrolit dan berat badan, manifestasi klinis SIADH sebagai berikut :
a. Retensi air
Balans cairan positif
Berat badan naik
Tidak ada edema perifer
Pitting edema di daerah sternum
b. Gejala sistem gastrointestinalis, anoreksia, nausea, muntah.
c. Gejala neurologik, letargi, pusing, kejang, perubahan pada pupil, koma.
d. Laboratorium
- Hiponatremia (manifestasi klinis baru terlihat sesudah Na<125 mEq/L)
- Ureanitrogen dan kreatinin darah rendah
- Na urin > 20 mEq/L
- BD urin > 1,012
Apabila hiponatremia masih terus berlangsung sesudah retriksi cairan (50% dari cairan
maintenance) koreksi Na dengan rumus sebagai berikut:
2,55
Tindak lanjut :
Mengawasi keseimbangan cairan dan elektrolit
Pengukuran lingkaran kepala jika UUB belum menutup
Setelah 48-72 jam pemberian antibiotika adekuat belum ada perbaikan klinis yaitu berupa :
keadaan umum memburuk, panas tetap tinggi, kesadaran makin menurun, kejang sukar
diatasi, maka harus dipikirkan adanya komplikasi/pemberian antibiotika yang tidak teratur
atau tidak sensitif dan dilakukan pemeriksaan :
Lumbal fungsi ulang
Funduskopi
Transiluminasi
USG kepala jika UUB belum menutup
Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga bahwa dapat terjadi komplikasi-komplikasi dari
penyakit ini
2. Memberitahu kepada keluarga akan kemungkinan adanya gejala sisa / defisit neurologis
3. Perlu adanya pemantauan tumbuh kembang anak pasca rawat
Prognosis
Komplikasi yang dapat segera timbul yaitu berupa :
Kenaikan tekanan intrakranial
Nekrosis atau infark jaringan otak
Ventrikulitis
Gangguan nervus kranialis
Sindroma inappropriate antidiuretik hormone (SIADH)
Subdural empiema
Abses serebri
Setelah pemberian antibiotik selama 7-10 hari bila klinis sudah baik dan hasil pemeriksaan LCS
sudah normal, penderita dipulangkan. Jika klinis baik namun pemeriksaan LCS belum normal
tapi ada perbaikan dibandingkan LP pertama (jumlah sel 60-120 per mm3) antibiotika
diteruskan sampai dengan 14 hari untuk pemakaian Ampisilin & Kloramfenikol, 10 hari untuk
Cefotaxim & Ceftriakson jika klinis tetap baik penderita dipulangkan dan kontrol ke poliklinik
anak
Pengertian (Definisi)
Peradangan pada jaringan otak
Etiologi
Neonatus: Neonatus: Herpes simplex virus type 2, cytomegalovirus, rubella virus, Listeria
monocytogenes, Treponema pallidum, Toxoplasma gondii
Bayi dan Anak: Eastern equine encephalitis virus, Japanese encephalitis virus, Murray
Valley encephalitis virus (rapid in infants), influenza virus, La Crosse virus
Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
Gejala dapat ringan sampai berat, tergantung jenis virus dan jaringan otak yang terkena.
Panas mendadak tinggi (sering dengan hiperpireksia)
Sakit kepala
Nausea dan muntah
Kesadaran cepat menurun (letargia, stupor, dan koma)
Kejang umum/fokal/twitching
Afasia, hemiparesis
Adanya riwayat penyakit primer dapat membantu diagnosis. Misalnya Mump, morbili, varicella
B. Pemeriksaan Fisis
Demam tinggi
GCS menurun
Ruam kulit pada ensefalitis karena enterovirus, varisela zoster
Defisit neurologis: paresis, paralisis, afasia, ataxia, paralisis syaraf otak
Kriteria Diagnosis
Adanya trias demam tinggi, penurunan kesadaran, dan kejang, tanpa adanya tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial
Diagnosis
Ensefalitis
Differential Diagnosis
Post imunisasi ensefalitis
Encephalomyelitis (seperti acute desseminated encephalomyelitis (ADEM))
Vasculitis
collagen vascular disorders, and paraneoplastic syndromes(EBM level II)
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (LCS)
Sering dalam batas normal (warna jernih, kadar protein dan glukosa normal)
Dapat juga jumlah sel sedikit meningkat, kadar protein sedikit meningkat (50-200) dan
kadar glukosa biasanya normal, pandy (-) atau (+)
Diagnosis pasti dengan mengisolasi virus dari LCS.
2. EEG: Sering menunjukkan aktivitas listrik yang merendah sesuai dengan kesadaran yang
menurun
3. Neuroimaging meliputi MRI atau CT scan. Tampak edema cerebri difuse maupun fokal.
Tatalaksana
1. Ensefalitis dapat disebabkan oleh berbagai virus namun terapi antiviral spesifik ditujukan
ensefalitis virus yang disebabkan oleh herpes virus khususnya herper simplex ensefalitis
dengan diagnosis pasti pemeriksaan PCR. Apabila didapatkan klinis kejang fokal maka dapat
diberikan asiklovir intravena dengan dosis 10 mg/kg BB tiap 8 jam pada anak dengan fungsi
ginjal yang baik, dan 20 mg/kgBB iv setiap 8 jam pada neonatus yang diberikan sesegera
mungkin untuk menurunkan angka kematian dan sekuele. Bila dalam observasi 3 hari
mengalami perbaikan maka asiklovir diteruskan hingga 14 hari, namun bila tidak ada perbaikan
maka terapi dihentikan (EBM level A I). Bila dicurigai infeksi bakterial dapat diterapi dengan
terapi empiris sesuai terapi meningitis bakterialis.(EBM level A-III)
2. Simptomatik
a. Kejang diatasi sesuai dengan tatalaksana kejang
b. Hiperpireksia diatasi dengan:
i. surface cooling: es ditempatkan pada pembuluh darah besar yang letaknya
superfisial
ii. antipiretik
iii. meniup udara/mendinginkan udara sekitarnya.
iv. hibernasi, diberikan klorpromazin 2 mg/kgBB/hari atau prometasin 4 mg/kgBB/hari
secara IV atau IM dalam tiga kali pemberian
c. Untuk mengatasi edema otak diberikan kortikosteroid deksametason 0,2-0,3
mg/kgBB/kali dalam 3 kali pemberian, selama 4-5 hari.
3. Suportif
Pemberian cairan : dilakukan retriksi cairan, jenis cairan diberikan cairan (Dekstrose 5 %
+ NaCI 15%), dengan perbandingan 2 : 1. jumlah cairan pada hari pertama 70 % dari
kebutuhan maintenance.
Bila edema otak diterapi sesuai penatalaksanaan edema otak
Pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
Posisi diubah-ubah
Nutrisi yang adekuat
4. Tindak lanjut
Mencari dan mengobati penyakit penyerta
Fisioterapi bila sekuelle (+). Dilakukan 1 minggu tidak panas
Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga akan adanya kemungkinan gejala sisa.
2. Jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait
3. Memberitahu tentang pentingnya pemantauan tumbuh kembang pasca rawat
Prognosis
1. Tergantung dari penyebab ensefalitis
2. Ada tidaknya gejala sisa pasca rawat
Referensi
Menkes Jhon H. Child neurology. seventh edition chapter 7. Lippincolt: 2006.
Pediatric neurology : Principles and practices. fourth edition chapter 64
Saharso darto. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku ajar neurologiIDAI.Jakarta: 2000
Swaiman’s Pediatric Neurology principle Chapter 80
Allan R. Tunkel, Carol A et al. The management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by
the Infectious Disease Society of America. 2008
ACUTE FLACCID PARALYSIS
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Kasus AFP adalah semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid
(layuh), terjadi secara akut (mendadak/<14 hari) dan bukan disebabkan oleh ruda paksa
A. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Kelumpuhan bersifat flaccid ( layuh ) yang terjadi < 14 hari
Riwayat trauma disangkal
B. Pemeriksaan Fisis
Tergantung bentuk klinis
Kriteria Diagnosis
Gejala klinis
Pemeriksaan Fisis
Laboratorium
Diagnosis
Klinis Acute Flaccid Paralysis dengan kemungkinan diagnosis SGB, Myelitis Transversa, Poliomyelitis
paralitika, neuritis traumatika, Chronic Inflammatory Demyelinating Polineuropathy
C. Pemeriksaan Penunjang
LCS
EMG
MRI
Tatalaksana
1. Segera lapor ke Dinas Kesehatan setempat (termasuk laporan KLB)
2. Suportif
Istirahat selama fase akut. Bila keadaan berat istirahat mutlak 2 minggu
Pengawasan ketat akan terjadinya paralise pernafasan
Kepala anak diletakkan lebih rendah dan dimniringkan ke salah satu sisi bila refleks
menelan terganggu
3. Simptomatik
Antipiretik bila demam
Keteterisasi bila retensi urin
Bantuan pernafasan mekanis bila paralise pernafasan di ruang perawatan khusus
4. Pengambilan spesimen feses
Pengambilan spesimen 2x dengan interval 24 jam
Syarat : - berat feses > 8 gram
- tidak dalam keadaan kering
- suhu dalam kontainer pengiriman 00–80 C atau masih ada cold pack yang baku
5. Fisioterapi
Dilakukan untuk mencegah atrofi, kontraktur dan kelemahan otot
Edukasi
Pengawasan ketat akan terjadinya paralise pernafasan
2.Lapor ke dinas kesehatan
3. Pemantauan adanya defisit neurologis
4. Rutin fisioterapi
Prognosis
Poliomielitis dapat menyebabkan atrofi asimetris berat dan deformitas skeletal. Paralitik poliomielitis
dapat menyebabkan kematian akibat paralisis bulbar oleh gagal napas.
Tatalaksana
Pediatric Neurology: Principles and Practice fourth edition
Menkes. Child Neurology chapter 9
Valeria Sansone, Giovanni Meolaet al. Treatment for periodic paralysis. Cochrane library 2007.
Arthur Marx et al. Differential diagnosis acute flaccid paralysis and its role in
poliomyelitissurveilance.
MIELITIS TRANSVERSA
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Penyakit ini ditandai kelumpuhan progresif disertai hilangnya fungsi perasa dan fungsi otot sphingter, dan
biasanya didahului oleh infeksi pernapasan.
Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
Ada demam
Kelumpuhan bersifat akut, simetris pada tungkai bawah dengan progresifitas kelumpuhan
beberapa jam sampai 4 hari
B. Pemeriksaan Fisis
Paraparesis
Gangguan sensorik
Reflex fisiologis meningkat, klonus (+)
Gangguan syaraf otonom
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisis
LCS : pleiositosis dan peningkatan protein
CT Mielografi : pembengkakan medulla spinalis
Diagnosis
Myelitis Transversa
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah dan LCS tidak khas, MRI untuk menyingkirkan penyebab paraparese
inferior lain serta SOL.
Terapi
Hanya tindakan suportif, penggunaan steroid masih kontroversial
Prognosis
Prognosis biasanya baik, 60% sembuh sempurna dan 15 % menimbulkan gejala sisa.
Penyembuhan berangsur setelah 1 bulan dan sembuh total dalam 6 bulan.
Sebanyak 43% pasien dapat berjan pada sekitar 3,2 tahun setelah penyakit akut, 54% dengan disistesis
yang menetap dan 68 % memerlukan kateterisasi urine. (EBM level 3)
Tingkat Evidence: II/III/IV
Referensi
Lagido Agustan, Tenembaun SN. Catsetos CD. Autoimmune and post infectious disease. Jhon
H Menkes, Harvei BS.. in Child Neurology.Chapter 8. Lippincott: 2006.
Infection and Autoimmune Diseases Affecting Motor Neurons of the Spinal Cord. Swaiman’s
Pediatric Neurology principle. Chapter 88. P 1497-8
Buku ajar neurologiIDAI.Jakarta: 2000
Pidcock et al. Acute transverse myelitis in childhood: center based analysis of 47 cases.
Pubmed: 2007 May
TRAUMA KEPALA PADA ANAK
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Trauma kepala pada anak adalah keadaan yang disebabkan jejas pada kepala baik disertai
maupun tidak disertai lesi pada isinya.
Trauma kepala yang bermakna adalah trauma yang diikuti oleh satu atau lebih hal sebagai
berikut :
Periode tidak sadar
Muntah-muntah
Fraktur tengkorak
Amnesia retrograd
Menurunnya derajat kesadaran
Adanya defisit neurologis lainnya (afasia, hemiparesis, refleks patologis, kelumpuhan syaraf
otak)
Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
tanyakan waktu, cara dan beratnya trauma
adanya mual, muntah, dan irritabilitas
Penurunan kesadaran, kejang
B. Pemeriksaan Fisis
a. tanda-tanda vital : nadi, pernafasan, suhu, tekanan darah, kesadaran/GCS.
b. Lakukan pemeriksaan neurologis lengkap dengan perhatian khusus pada pupil, syaraf
kranial dan fungsi motorik
c. Bentuk jejas di kepala
d. Kelainan di tempat lain : mata, telinga, hidung, leher, rongga thoraks, abdomen dan
ekstremitas
Nilai kesadaran penderita dengan skala koma Glasgow pediatrik
Nilai
Membuka mata :
Spontan 4
Terhadap bicara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respons motorik
Mengikuti perintah 5
Lokalisasi nyeri 4
Fleksi terhadap nyeri 3
Ektensi terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respons verbal
Terorientasi 5
Kata-kata 4
Suara 3
Menangis 2
Tidak ada 1
Skor normal :
Lahir – 6 bulan 9
6-12 bulan 11
1-2 tahun 12
2-5 tahun 13
> 5 tahun 14
Kriteria Diagnosis
Anamnesis à riwayat trauma
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis
Trauma kepala pada anak
C. Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen kepala bila ada fraktur linear/fraktur impresio
CT-Scan kepala:
Berdasarkan Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN2009), CT Scan kepala harus
dilakukan pada anak dengan trauma kepala bila Skala Koma Glasgow ≤ 13 pada evaluasi
awal:
Hilang kesadaran lebih dari lima menit
Dicurigai adanya fraktur tengkorak atau ubun-ubun yang tegang adanya kelainan
neurologis dan tanda-tanda fraktur dasar tengkorak.
CT Scandipertimbangkan dalam 8 jam pasca trauma bila terdapat:
kemerahan/bengkak/laserasi lebih dari 5 cm di kepala
kejang pasca trauma tanpa riwayat epilepsi
amnesia lebih dari 5 menit, kecurigaan trauma kepala bukan karena kecelakaan
jatuh yang bermakna
tiga atau lebih episode muntah, pusing, atau respon lambat
usia kurang dari satu tahun dengan Skala Koma Glasgow <15
EEG bila terdapat gangguan kesadaran yang lama dan kejang
USG kepala pada trauma lahir atau fontanela belum menutup
Terapi
Perbaiki jalan nafas, bila perlu pernafasan buatan dan intubasi
Atasi kejang dan shock
Pemberian cairan intravena, diberikan 75% dari kebutuhan untuk mengurangi edema otak
Obati edema otak dengan natrium hipertomik (NaCl 3%) mampu menurunkan TIK dengan
mempertahankan tekanan osmolar parenkim otak. NaCl 3% diberikan bolus dalam 5 menit
dengan dosis 2-4 ml/kgBB IV. Dihentikan bila kadar natrium >155 mEq/L (EBM level I)
Antibiotika diberikan pada luka yang kotor
Toksoid tetanus diberikan sebagai profilaksis pada luka yang kotor dan bila anak belum
mendapat booster dalam 4 tahun
Pemberian nutrisi yang adekuat
Observasi terhadap fungsi vital dan gejala neurologis
konsultasi
- Bagian bedah syaraf bila ada kecurigaan terhadap trauma kapitis maligna
- Bagian bedah umum bila ada trauma di tempat lain (trauma thoraks, trauma abdomen,
dan fraktur).
Edukasi
1. Trauma kepala ringan tanpa penurunan kesadaran dapat dirawat di rumah
2. Tirah baring selama 3 hari.
3. Selama observasi di rumah anak sebaiknya tidak minum obat anti muntah, karena dapat
membuat gejala muntah tertutupi. Analgetik diberikan jika perlu.
4. Pengawasan dilakukan dengan memeriksa anak setiap 2-3 jam per hari sampai 72 jam
setelah jatuh.
5. Anak segera dibawa ke rumah sakit, jika selama observasi didapatkan: Anak tampak tidur
terus atau tidak sadar
Prognosis
Tergantung dari berat ringannya dari cedera yang ditimbulkan
Tergantung GCS yang rendah, pupil tidak reaktif dan terdapatnya cedera kepala
ekstrakranial mayor.
Pada cedera kepala tertutup pada ¼ anak yang bertahan maka kesadaran akan kembali
kurang dari 24 jam. Perbaikan sempurna namun kadang terjadi transient sequele.
Kebocoran pada LCS dapat menyebabkan meningitis sekunder, post-traumatic epilepsi,
dan dapat berkembang menjadi carotid artery–cavernous sinus fistula. Communicating
hydrocephalus lebih sering disebabkan perdarahan subarachnoid.
Kepustakaan
Menkes. Child neurology chapter 9. Lippincott Williams & Wilkins. 2006
Lazuardi Samuel. Trauma Kapitis pada Anak. Buku Ajar Neurologi Anak. IDAI. Jakarta: 2000
Puldjiadi Antonius, Hegar Briul, HandyastutiSsetyo, et al. Trauma kepala. Panduan praktek
klinis IDAI. Balai penerbit IDAI : 2011
MRC CRASH trial collaboration.2008
CEFALGIA
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Cefalgia adalah nyeri atau sakit sekitar kepala, termasuk nyeri di belakang mata serta perbatasan antara leher dan
kepala bagian belakang
Secara garis besar, penyebab cefalgia dapat dibagi 5 kategori, antara lain:
Nyeri kepala vaskuler
Muskuloskeletal (nyeri kepala tegang otot)
Organik (tumor, malformasi, dan ensefalopati)
Psikogenik
Lain-lain (peradangan,arthritis, neuralgia)
Pola sakit Kemungkinan penyebabnya
kepala
Akut Terlokalisir
Infeksi saluran nafas akut seperti sinusitis, otitis media
Kerusakan pada gigi seperti abses gigi, disfungsi
sendi temporomandibular
Infeksi sistemik seperti mengitis
Sentral : perdarahan akut intrakranial
Akut rekuren Migrain
Kronis non Penyebab psikis
progresif
Kronis Space occupying lesion. Hipertensi intrakranial jinak
progresif
Kriteria Diagnosa
A. Anamnesis
Saat sakit kepala muncul, lokasi, kualitas, frekuensi, durasi, beratnya sakit kepala, gangguan
aktivitas sehari-hari oleh sakit kepala, gejala prodormal atau aura yang mendahului sakit
kepala, riwayat trauma kepala, adakah defisit neurologis sebelum, selama dan sesudah sakit
kepala, riwayat keluarga sakit kepala. Adanya depresi, gangguan emosi
B. Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum pasien dan status mentalnya
Ada kelainan pada kekuatan otot, reflex, dan koordinasinya. Terutama otot-otot leher dan
bahu.
Cari abnormalitas dari gigi dan gusi serta struktur kranial dan wajah lainnya.
Pemeriksaan saraf kranial, cerebellum, sensoris, fungsi motorik termasuk refleks untuk
mencari kelainan tumor atau vaskuler di hemisphere cereberi, cerebellum, atau batang
otak.
Pemeriksaan rangsang meningeal
Pemeriksaan funduskopi
Kriteria Diagnosis
Gejala klinis
Pemeriksaan Fisis
Laboratorium
Diagnosis
Cefalgia
Differential Diagnosis
1. Sefalgia Primer : bila tidak ditemukan penyebab organik dari suatu sakit kepala. Yang
termasuk cefalgia primer yaitu migrain, tension-typed headache, dan cluster headache.
2. Sefalgia Sekunder : bila didapat penyebab organik yang mendasari keluhan sakit kepala
pada penderita.
Penyebab sefalgia sekunder:
Sefalgia yang berhubungan dengan trauma kepala atau leher
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan vaskuler kepala dan servikal
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan intrakranial nonvaskuler
Sefalgia yang berhubungan dengan infeksi
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan hemostasis
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan cranium, leher, mata, telinga, hidung,
sinus, gigi, mulut, atau stuktur kranial atau wajah lainnya
3. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan psikiatri
Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum pasien dan status mentalnya
Ada kelainan pada kekuatan otot, reflex, dan koordinasinya. Terutama otot-otot leher dan
bahu.
Cari abnormalitas dari gigi dan gusi serta struktur kranial dan wajah lainnya.
Pemeriksaan saraf kranial, cerebellum, sensoris, fungsi motorik termasuk reflex untuk
mencari kelainan tumor atau vaskuler di hemisphere cereberi, cerebellum, atau batang
otak.
Pemeriksaan rangsang meningeal
Pemeriksaan funduskopi
C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah, LED
Lumbal Pungsi
Elektroensefalografi
CT Scan Kepala, MRI
Tatalaksana
1.Cefalgia primer
A. Migrain
Istirahat
Analgetik : ibuprofen (10 mg/kgBB/kali) atau naproxen (10 mg/KgBB/kali)
Jika sakit kepala moderat dan berat dipertimbangkan diberi Triptans
Di follow up selama 12 - 24 jam jika tidak membaik: pemberian obat parenteral di UGD
dengan Triptans, atau dihydroergotamin (1 mg), atau asam valproat jika membaik nilai
frekuensi migrain
Frekuensi migrain < 2x/bulan tidak ada profilaksis
Frekuensi migrain ≥ 2x/bulan diobati profilaksis dengan Cyproheptadine (0,1
mg/kgBB/kali), atau propanolol (0,2-0,5 mg/kgBB/kali), atau amitriptilin (0,5-1
mg/kgBB/kali).Kemudian di follow up frekuensi migraine selama 1 – 3 bulan. Kalau
membaik tidak diobati, kalau tidak membaik diterapi dengan biofeedback, latihan
relaksasi, riboflavin, tablet valproat extended release (5mg/kgBB/kali), gabapentin
(2mg/kgBB/kali), topiramate (1mg/kgBB/kali) atau verapamil (1-3 mg/kgBB/kali)
B. Tension Headache
Istirahat
Analgetik, contohnya parasetamol
Dipertimbangkan : terapi relaksasi, biofeedback, terapi massage, tizanidine (0,01
mg/kgBB/kali) , amitriptilin (0,5-1 mg/kgBB/kali)
Dinilai selama 1 – 3 bulan
Jika tidak ada perbaikan pertimbangkan untuk pemberian konseling psikologi, injeksi trigger
point, injeksi Botox
C. Cluster Headache
Fase akut: oksigen atau ergotamine (1mg/hari) atau sumatriptan
Preventif: verapamil, litium, ergotamine, metisergit, kortikosteroid, topiramat
2.Cefalgia sekunder
Diatasi penyakit yang mendasarinya
Edukasi
Pengawasan terhadap nyeri kepala
Prognosis
Tergantung jenis nyeri kepala
Referensi
Rothner David, Menkes Jhon. Headaches and Nonepileptic Episodic Disorder. Menkes. Child
neurology chapter 15
Pediatric neurology: Principle and Practice chapter 48
Nyeri kepala pada anak dan Remaja.Buku Ajar Neurologi.IDAI. Jakarta:2000
Law S et al, Triptans for acute cluster headach. cochrane summaries.2013
Parasetamol (acetaminofphen) for acute episodic tension- type headache
SPASME INFANTIL
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Merupakan sindrom epilepsi yang banyak ditemukan, sering diklasifikasikan di dalam epilepsi
mioklonik, yang muncul di masa perkembangan otak bayi (tahun pertama kehidupan),
khususnya usia 3-8 bulan.
Kriteria Diagnosa
A. Anamnesis
Waktu terjadinya à onset 3-7 bulan
Riwayat keluarga à pada 3-6 % kasus
Adanya kejang umum atau parsial
Anamnesis
Spasme à fleksor, ekstensor atau campuran
Defisit neurologis à kelumpuhan spastic, mikrosefali
Retardasi mental
Kriteria Diagnosis
1. Kontraksi otot bilateral simetris yang timbul tiba-tiba
2. Adanya 3 bentuk bangkitan : fleksi, ekstensi dan campuran
3. EEG à hipsaritmia
Diagnosis
Spasme infantil
Differential Diagnosis
Sindrom Lennox Gastaut
B. Pemeriksaan Penunjang
1. EEG: Gambaran khas adalah hipsaritmia, yaitu adanya gelombang-gelombang “spike” dan
lambat yang timbul di seluruh bagian korteks tetapi tidak sinkron.
2. CT scan tidak khas
Tatalaksana
ACTH 40-80 Unit IM dalam 2 dosis
Dimulai dalam dosis besar selama 1-2 minggu, lama pengobatan seluruhnya 4 minggu.
Pengobatan dihentikan bila tidak ada perbaikan klinis dalam 2 minggu. Bila terdapat
perbaikan dengan klinis hilangnya spasme dan hipsaritmia maka dosis ini dipertahankan
kemuadian diturunkan secara bertahap setengah dari dosis. Bila ACTH tidak tersedia
maka dapat diberikan metil prednisolone 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis.
Lama dan indikasi sama dengan golongan ACTH.
Nitrazepam (mogadon). 0,1-2,2 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Mula-mula dosis rendah
dan dinaikkan perlahan-lahan sampai kejang terkontrol. Biasanya digunakan pada
spasme infantile simptomatik.
Klonazepam, dosis 0,025-0,15 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Digunakan pada tipe
simptomatik.
Asam valproat 10-40 mg/kgBB/hari. Dimulai dengan dosis rendah.
Edukasi
Pengawasan terhadap kejang
Prognosis
Prognosis baik :
Kelompok primer
Perkembangan mental dan motor normal sebelum onset
Tidak ada kejang jenis lain
Pengobatan dini
Spasme hanya berlangsung beberapa bulan
Prognosis buruk :
Kelompok sekunder
Perkembangan mental dan motor abnormal sebelum onset
Ada kejang jenis lain
Onset sebelum 3 bulan.
Referensi
Pediatric Neurology: Principles and Practice fourth edition
Raman Sankar, Susan Koh, Joyce Wu, John H. Menkes. Paroxysmal Disorder. MenkesChild
neurology seventh edition Chapter 14
Sindrom Epilepsi Pada Bayi dan Anak. Buku Ajar Neurologi Bab 10. IDAI.Jakarta:2000
Hur YJ et al. Electroencephalography features of primary epileptogenic regions in surgically
treated MRI-negatife infantile spasms. Pubmed. 2010
Hirtz D, Berd A, Bettis D, et al. Practise parameter: Treatment of thechild with first unprofoked
seizure. American Academy Neurology
UNPROVOKED SEIZURE
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Pengertian (Definisi)
Kejang yang tidak diprovokasi dengan adanya penyakit, demam, atau trauma akut pada otak
Kriteria Diagnosa
A. Anamnesis
Kejang : lama, frekuensi, sifat, tipe, interval, kondisi inter iktal dan post iktal
Gejala sebelum kejang, termasuk riwayat demam, jarak demam dan terjadinya kejang
Riwayat trauma
Riwayat kejang sebelumnya
Riwayat kejang dalam keluarga
Kelainan neurologis
Kelainan metabolik
B. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan keadaan umum dan pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan lab darah pada anak usia > 6 bulan biasanya normal
LP: dilakukan apabila terdapat tanda klinis meningitis atau ensefalitis (misalnya pasien
dibawah usia 6 bulan, pasien dengan tanda GRM (+))
EEG merupakan pemeriksaan standar yang harus dilakukan untuk menentukan tipe kejang
dan epilepsi sindrom.
CT scan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding perdarahan, massa intrakranial,
edema cerebri.
Kriteria Diagnosis
Sangat ditentukan anamnesis serangan kejang tanpa demam pertama kali. Bila pemeriksaan
neurologis dan status mental normal maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Differential Diagnosis
Breath Holding Spells
Syncope with clonic jerks
Benign Sleep myoclonus
Motor tics
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan darah lengkap,elektrolit, kreatinin, glukosa)
Tidak dikerjakan rutin tetapi dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam atau keadaan lain:
2. Fungsi lumbal
Dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis
3. EEG: sebaiknya dilakukan baik pada saat anak sadar dan tidur dan diberikan stimulasifotik
atau hiperventilasi untuk memperakurat diagnosis.
Tatalaksana
Obat anti epilepsi tidak diindikasikan untuk mencegah terjadinya epilepsi. (Level B)
Obat anti epilepsi dapat dipertimbangkan ketika keuntungan dalam menurunkan risiko
terjadinya kejang ke dua lebih banyak daripada risiko efek samping farmakologi dan
psikososial. (Level B)
Edukasi
1. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
2. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat
Prognosis
Pada umumnya anak dengan kejang pertama kali (firstunprovoked seizure) memiliki
kemungkinan untuk kembali kejang sebesar 40%, bila kejang berulang untuk ketiga kalinya
maka kemungkinan berulang 80% (EBM level II)
Bila terdapat EEG abnormal maka risiko untuk terjadinya rekurensi akan meningkat.
Referensi
Champhiel, Carold. Peter R. Pediatric epilepsy an overview. In Swaiman’s Pediatric Neurology
Principle& Practice. Fifth edition. Chapter 50: 2012. P 1951-53
The epilepsie. Child Neurology sixth edition chapter 13. Hirtz D, Ashwal S, Berg A et al. Practice
paramete: evaluating a first nonfebrile sizure in children. Report of the quality standard
subcommitee of American Academy of Neurology , the Child Neurology Society, and the
American Epilepsy Society.2000; 55:616-23
Gloss D, Nolan SJ, Staba R. The role of high-frequency oscillations in epilepsy surgery planning.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2014. Issue 1.
D. Hirtz, A. Berg, D. Bettis, et al. Practice parameter: Treatment of the child with a first unprovoked
seizure
2003;60;166-175
STANDAR PROSEDUR
PUNGSI LUMBAL
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Definisi
Memasukkan jarum pada pada dura melalui processus spinossus L4-L5 /L5-S1 untuk mengambil
cairan otak (liquor cerebrospinalis) dilakukan pada bayi dan anak
Tujuan
1. Menegakkan diagnosis
2. Untuk pengobatan
Kebijakan
SK NO: UK.01.01/II/533/2014 Tentang Kebijakan Pelayanan
SK NO: UK.01.01/II/436/2014 Tentang Kebijakan Pelayanan Medis oleh DPJP di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang
Prosedur
Persiapan Alat :
1. Jarum LP nomor 20G/22G
2. Larutan desinfektan ( betadine dan alkohol 70%)
3. Kain penutup (dock) steril berlubang
4. Sarung tangan steril
5. Botol bersih dan kering
6. Dua tabung yang berisi reagen Pandy dan Nonne
7. Dua tabung steril dan bertutup untuk menampung cairan serebrospinal
8. Kasa steril , plester
Cara kerja
1. Letakkan semua peralatan pada tempat yang mudah dicapai
2. Baringkan anak dengan posisi miring di meja tindakan
3. Tekuk kepala anak dengan memegang bagian leher
4. Dorong lutut anak kearah atas-depan hingga bertemu dengan kepala yang menunduk
5. Asisten/perawat berada di sebelah kiri-depan pasien membantu memegang anak
dengan posisi kedua tangan anak dijepit di antara kedua lutut, dan memegang leher
atau bahu serta pantat anak
6. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir
7. Gunakan sarung tangan steril
8. Tentukan tempat pungsi lumbal pada garis potong SIAS (Spina iliaka anterior –
superior) kiri dan kanan dengan kolumna vertebralis
9. Beri tanda pada daerah antara Lumbal 3 dan Lumbal 4 atau antara Lumbal 4 dan
Lumbal 5
10. Bersihkan tempat pungsi lumbal sekitar 10 cm ke semua arah dari tempat pungsi lumbal
dengan larutan yodium, kemudian dengan larutan alcohol 70%
11. Pasang kain penutup steril di daerah pungsi lumbal
12. Jarum pungsi lumbal ditusukkan di daerah yang telah ditentukan
13. Cabut mandren perlahan lahan setelah terasa menembus jaringan, cairan serebrospinal
akan keluar dari jarum pungsi lumbal
14. Putar jarum 90°bila cairan serebrospinal belum keluar
15. Tampung cairan serebrospinal dalam botol steril
16. Masukkan 1-2 tetes cairan serebrospinal ke dalam tabung reaksi yang telah diisi dengan
1 ml larutan fenol jenuh
17. Perhatikan warna cairan dan endapan dalam tabung tersebut
18. Masukkan 0,5 ml cairan serebrospinal ke dalam tabung reaksi yang telah diisi larutan
ammonium-sulfat jenuh
19. Perhatikan tanda cincin putih pada cairan serebrospinal
20. sesudah melakukan lumbalpungsi , cuci tangan dengan sabun atau desinfektan pada air
yang mengalir.
Unit Terkait
1. instalasi Rawat Inap
2. instalasi Rawat Jalan
3. instalasi Rawat Darurat
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PENATALAKSANAAN KEJANG AKUT
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Definisi
Panduan penatalaksanaan kedaruratan medis yang mengancam jiwa akibat manifestasi
klinis dari kelainan SSP atau penyakit sistemik yang menimbulkan gangguan SSP
Tujuan
1. Menjamin oksigenasi jaringan otak, serta fungsi jantung dan paru.
2. Mengatasi kejang secepat mungkin dan mencegah berulangnya kejang.
3. Memperbaiki gangguan metabolisme dan keseimbangan air dan elektrolit.
4. Mencegah komplikasi sistemik.
5. Mengenal dan mengobati penyebab naiknya suhu
Prosedur
Persiapan Alat :
1. Oksigen
2. Selang oksigen
3. Spuit 5-10 cc
4. Termometer
5. Suction
6. Selang infus, botol infus (NaCl)
7. Saturasioksigen
8. Obat-obatan ( diazepam, fenitoin, fenobarbital, midazolam)
Langkah-langkah :
1. Atasi dan cegah berulangnya kejang. Semua anak yang dalam keadaan kejang pada saat
pemeriksaan, apapun penyebabnya, obat pilihan adalah diazepam, baik secara perenteral
ataupun perrektal.
2. Perawatan umum
Sementara mengatasi kejang, diberi pertolongan untuk memperbaiki dan menjamin
oksigenasi otak dengan jalan:
a. Berikan oksigen
b. Longgarkan pakaian ketat
c. Bersihkan jalan nafas, hisap cairan dari rongga mulut dan saluran pernafasan
d. Anak diletakkan dalam posisi semi trendelenberg
e. Cegah aspirasi dengan posisi kepala anak dimiringkan
f. Turunkan suhu bila panas dengan cara:
Meniupkan udara dingin
Mendinginkan udara sekitarnya
Kompres dengan es atau alkohol
Antipiretik : parasetamol 30–50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau Asetosal 60
mg/tahun umur/kali, 3 kali perhari
3. Diazepam rectal dapat diberikan di rumah (maksimum diberikan 2 kali berturut-turut dengan
jarak 5 menit bila anak masih kejang) Dosis diazepam retal adalah:
5 mg anak < 3 tahun atau dosis 7,5 mg anak> 3 tahun
5 mg BB < 10 kg dan 10 mg BB> 10 kg, atau 0,5 – 0,75 mg/kg BB/kali
4. Diazepam dapat diberikan intravena 0,2 – 0,5 mg/kgBB dengan kecepatan 0,5 –1 mg per
menit.
5. Bila masih kejang fenitoin intravena 20 mg/kgBB perlahan, maintenance 10 mg/kgBB
dibagi 2 dosis.
6. Apabila masih tetap kejang PICU dan penatalaksanaan status epileptikus
7. Jika kejang berulang 3 kali atau lebih atau kejang berlangsung 10 menit pasang cairan
intravena
8. Pemberian fenitoin harus diencerkan dengan 10 mg/1 ml NaCL 0,9%,berikan bolus atau
drip dengan kecepatan 50 mg/menit, dosis maksimal 30 mg/kgbb (1000 mg)
9. Pemberian fenobarbital Tidak perlu diencerkan, bolus dengan kecepatan 50 mg/menit,
dosis maksimal 30 mg/kgbb (1000 mg)
10. Pemberian midazolam Jangan takut – berikan bolus 0,2 mg/kgbb dilanjutkan drip 0,02
mg/kgbb/jam
11. Kejang berhenti dengan Midazolam Berikan dosis rumatan fenitoin dan Fenobarbital 4 – 7
mg/kgbb
12. Bila kejang lebih dari 30 menit, maka untuk mengatasi edema otak yang dapat terjadi
diberikan kortikosteroid : Deksametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari, lama
pemberian 4–5 hari. Bila ada tanda herniasi : pernafasan tidak teratur, bradipnoe,
kesadaran makin menurun, diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25–1 gram/kgBB/kali
intravena. Diberikan dalam waktu ½ jam dapat diulang tiap 8 jam. Berikan cairan dengan
kadar natrium yang rendah yaitu cairan 2 : 1 dan jumlah cairan pada hari pertama 70% dari
kebutuhan maintenance. Kalau tidak tersedia manitol dapat juga diberikan gliserol 10%
dengan dosis 0,5–1 gram/kgBB/hari peroral diberikan 4 dosis.
13. Cari etiologi
– Periksa Na, Mg, Ca, gula darah
– Pungsilumbal, EEG dan CT/MRI kepala
Algoritma
Referensi
Menkes Jhon H. Child neurology. seventh edition chapter 7. Lippincolt: 2006.
Pediatric neurology : Principles and practices. fourth edition chapter 64
Saharso darto. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku ajar neurologiIDAI.Jakarta: 2000
Swaiman’s Pediatric Neurology principle Chapter 80
Allan R. Tunkel, Carol A et al. The management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by
the Infectious Disease Society of America. 2008
STANDAR PROSEDUR
PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)
Definisi
Panduan penatalaksanaan kedaruratan medis yang mengancam jiwa akibat manifestasi
klinis dari kelainan SSP atau penyakit sistemik yang menimbulkan gangguan SSP
Tujuan
6. Menjamin oksigenasi jaringan otak, serta fungsi jantung dan paru.
7. Mengatasi kejang secepat mungkin dan mencegah berulangnya kejang.
8. Memperbaiki gangguan metabolisme dan keseimbangan air dan elektrolit.
9. Mencegah komplikasi sistemik.
10. Mengenal dan mengobati penyebab naiknya suhu
Kebijakan
SK NO: UK.01.01/II/533/2014 Tentang Kebijakan Pelayanan
SK NO: UK.01.01/II/436/2014 Tentang Kebijakan Pelayanan Medis oleh DPJP di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang
Prosedur
Persiapan Alat :
9. Oksigen
10. Selang oksigen
11. Spuit 5-10 cc
12. Termometer
13. Suction
14. Selang infus, botol infus (NaCl)
15. Saturasioksigen
16. Obat-obatan ( diazepam, fenitoin, fenobarbital, midazolam)
Langkah-langkah :
14. Atasi dan cegah berulangnya kejang. Semua anak yang dalam keadaan kejang pada saat
pemeriksaan, apapun penyebabnya, obat pilihan adalah diazepam, baik secara perenteral
ataupun perrektal.
15. Perawatan umum
Sementara mengatasi kejang, diberi pertolongan untuk memperbaiki dan menjamin
oksigenasi otak dengan jalan:
g. Berikan oksigen
h. Longgarkan pakaian ketat
i. Bersihkan jalan nafas, hisap cairan dari rongga mulut dan saluran pernafasan
j. Anak diletakkan dalam posisi semi trendelenberg
k. Cegah aspirasi dengan posisi kepala anak dimiringkan
l. Turunkan suhu bila panas dengan cara:
Meniupkan udara dingin
Mendinginkan udara sekitarnya
Kompres dengan es atau alkohol
Antipiretik : parasetamol 30–50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau Asetosal 60
mg/tahun umur/kali, 3 kali perhari
16. Diazepam rectal dapat diberikan di rumah (maksimum diberikan 2 kali berturut-turut dengan
jarak 5 menit bila anak masih kejang) Dosis diazepam retal adalah:
5 mg anak < 3 tahun atau dosis 7,5 mg anak> 3 tahun
5 mg BB < 10 kg dan 10 mg BB> 10 kg, atau 0,5 – 0,75 mg/kg BB/kali
17. Diazepam dapat diberikan intravena 0,2 – 0,5 mg/kgBB dengan kecepatan 0,5 –1 mg per
menit.
18. Bila masih kejang fenitoin intravena 20 mg/kgBB perlahan, maintenance 10 mg/kgBB
dibagi 2 dosis.
19. Apabila masih tetap kejang PICU dan penatalaksanaan status epileptikus
20. Jika kejang berulang 3 kali atau lebih atau kejang berlangsung 10 menit pasang cairan
intravena
21. Pemberian fenitoin harus diencerkan dengan 10 mg/1 ml NaCL 0,9%,berikan bolus atau
drip dengan kecepatan 50 mg/menit, dosis maksimal 30 mg/kgbb (1000 mg)
22. Pemberian fenobarbital Tidak perlu diencerkan, bolus dengan kecepatan 50 mg/menit,
dosis maksimal 30 mg/kgbb (1000 mg)
23. Pemberian midazolam Jangan takut – berikan bolus 0,2 mg/kgbb dilanjutkan drip 0,02
mg/kgbb/jam
24. Kejang berhenti dengan Midazolam Berikan dosis rumatan fenitoin dan Fenobarbital 4 – 7
mg/kgbb
25. Bila kejang lebih dari 30 menit, maka untuk mengatasi edema otak yang dapat terjadi
diberikan kortikosteroid : Deksametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari, lama
pemberian 4–5 hari. Bila ada tanda herniasi : pernafasan tidak teratur, bradipnoe,
kesadaran makin menurun, diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25–1 gram/kgBB/kali
intravena. Diberikan dalam waktu ½ jam dapat diulang tiap 8 jam. Berikan cairan dengan
kadar natrium yang rendah yaitu cairan 2 : 1 dan jumlah cairan pada hari pertama 70% dari
kebutuhan maintenance. Kalau tidak tersedia manitol dapat juga diberikan gliserol 10%
dengan dosis 0,5–1 gram/kgBB/hari peroral diberikan 4 dosis.
26. Cari etiologi
– Periksa Na, Mg, Ca, gula darah
– Pungsilumbal, EEG dan CT/MRI kepala
Algoritma
Referensi
Menkes Jhon H. Child neurology. seventh edition chapter 7. Lippincolt: 2006.
Pediatric neurology : Principles and practices. fourth edition chapter 64
Saharso darto. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku ajar neurologiIDAI.Jakarta: 2000
Swaiman’s Pediatric Neurology principle Chapter 80
Allan R. Tunkel, Carol A et al. The management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by
the Infectious Disease Society of America. 2008