Anda di halaman 1dari 59

KEJANG DEMAM

Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Definisi
Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.

Kriteria Diagnosis:
A.Anamnesis
 Kejang : lama, frekuensi, sifat, tipe, interval, kondisi inter iktal dan post iktal
 Gejala sebelum kejang, termasuk riwayat demam, jarak demam dan terjadinya kejang
 Riwayat trauma
 Riwayat kejang sebelumnya
 Riwayat kejang dalam keluarga
 Kelainan neurologis

B. Pemeriksaan Fisik
 Suhu > 380C
 Fokus infeksi (+) ekstrakranial, meliputi infeksi saluran nafas, saluran cerna, saluran kemih,
dsb.
 Status neurologis  defisit neurologis (-)

Kriteria Diagnosis
Kejang yang didahului demam (suhu rektal > 38°C) yang bukan disebabkan infeksi intracranial

Diagnosis
1. Kejang Demam Sederhana
Kejang demam yang berlangsung kurang dari 15 menit, umumnya berhenti sendiri,
berbentuk umum tonik, dan atau klonik, tanpa gerakan fokal, tidak berulang dalam waktu 24
jam.
2. Kejang Demam Kompleks
Kejang demam dengan lama kejang > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau
kejang umum dengan frekuensi > 1 kali dalam 24 jam

Differensial Diagnosis
Kejang dengan demam yang disebabkan proses intrakranial misal meningitis,
meningoensefalitis, ensefalitis

C.Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dikerjakan rutin tetapi dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam atau keadaan lain.
2. Pungsi Lumbal
Dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis
3. EEG
Dilakukan pada kejang demam yang tidak khas misal KDK pada anak > 6 tahun atau
kejang demam fokal
4. Pencitraan
Dilakukan pada papiledema, paresis N VI dan kelainan neurologis fokal yang menetap
(hemiparesis)
Terapi
Setelah Kejang Berhenti
Bila kejang sudah berhenti, tentukan apakah anak termasuk dalam kejang demam yang
memerlukan pengobatan rumat atau cukup pengobatan intermiten.

Pengobatan Rumat
Pengobatan rumat adalah pengobatan yang diberikan secara terus menerus dalam waktu
tertentu.
1. Obat rumat yang dapat menurunkan risiko berulangnya kejang demam hanya
fenobarbital atau asam valproat. Semua obat antikonvulsan lain tidak bermanfaat untuk
mencegah berulangnya kejang demam.
2. Dosis valproat adalah 10-40 mg/kgBB/hari dibagi 2 – 3 dosis sedangkan fenobarbital 3 –
5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
3. Pengobatan rumat cukup diberikan selama satu tahun, kecuali pada kasus yang sangat
selektif (rekomendasi D)
4. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar. Sedangkan pemakaian asam valproat pada usia kurang dari 2 tahun dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Bila memberikan valproat, periksa SGOT dan
SGPT setelah 2 minggu, satu bulan, kemudian tiap 3 bulan.
5. Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan salah satu atau
lebih gejala sebagai berikut :
 Kejang lama  15 menit.
 Anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemparesis, paresis Todd, Cerebral Palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
 Kejang fokal.
 Bila ada keluarga sekandung atau orang tua yang mengalami epilepsi.
Pengobatan rumat tidak harus diberikan tetapi dapat dipertimbangkan dalam keadaan :
1. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
2. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan.

Catatan :
 Semua peneliti setuju bahwa kejang demam  15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat.
 Yang dimaksud dengan kelainan neurologis yang nyata misalnya kelumpuhan,
mikrosefali. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan
ringan bukan merupakan indikasi.
 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa anak mempunyai fokus
organik di otak sisi kontralateral.
Tidak semua setuju bahwa kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari sudah merupakan indikasi
pengobatan rumat
Pengobatan Intermiten
Yang dimaksud dengan pengobatan intermiten adalah pengobatan yang diberikan pada saat
anak mengalami demam, untuk mencegah terjadinya kejang demam. Terdiri dari pemberian
antipiretik dan antikonvulsan.
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam. Namun kesepakatan Saraf Anak menyatakan bahwa pengalaman menunjukan bahwa
antipirtetik tetap bermanfaat.Antipiretik yang dapat digunakan adalah :
 Parasetamol atau asetaminofen 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali.
 Ibuprofen 10 mg/kgBB/kali, diberikan 3 kali.

Antikonvulsan pada saat demam


1. Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 – 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang (EBM level I)
2. Dapat juga diberikan diazepam rectal dengan dosis 0,5 mg/kgBB/kali, diberikan
sebanyak 3 kali per hari. (EBM level I)
Catatan :
Di Indonesia, dosis 0,3 – 0,5 mg/kg/8jam tersebut seringkali menyebabkan sedasi yang cukup
berat. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin tidak berguna untuk mencegah kejang demam bila
diberikan secara intermitten. Fenobarbital dosis kecil baru mempunyai efek antikonvulsan
dengan kadar stabil di dalam darah bila telah diberikan selama 2 minggu

Edukasi
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahu cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping obat

Prognosis
1. Kemungkinan kecacatan atau kelainan neurologis
Kemungkinan kecacatan tidak pernah dilaporkan
Kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus yang terjadi pada kasus kejang lama atau
kejang berulang baik fokal atau umum
2. Kemungkinan kematian  tidak pernah dilaporkan
3. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Faktor resiko berulangnya kejang demam :
a. Riwayat Kejang demam dalam keluarga
b. Usia < 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam
Bila semua faktor tersebut ada kemungkinan berulangnya kejang demam 80%, sedang bila
tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan 10-15%.

Faktor resiko terjadi epilepsi adalah:

1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

Ad vitam : dubia ad bonam/malam

Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Referensi
Taslim. Kejang Demam. Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi II BP IDAI, Jakarta 2000: 244-6
Hardiono, dkk. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2006
Offringa M, Newton R. Prophylactic drug management for Febrile seizure in children. 1-5. Diunduh dari http :
www.Thecochranelibrary.com
EPILEPSI
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Manifestasi klinis lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak yang bersifat
paroksismal, yang terjadi karena adanya gangguan fisiologi, biokimiawi, anatomis, atau
gabungan faktor-faktor tersebut.

Kriteria Diagnosis
A.Anamnesis
 Kejang: bervariasi tergantung lokasi gangguan elektrik pada otak, berlangsung hanya
beberapa detik hingga status epileptikus, berulang, interiktal dan post iktal biasanya sadar.
 Suhu badan normal.
 Riwayat trauma.
 Riwayat kejang sebelumnya.
 Riwayat kejang dalam keluarga.
 Kelainan neurologis.

B. Pemeriksaan Fisis
 Suhu afebris.
 Status neurologis.

Kriteria Diagnosis
 Adanya serangan kejang akibat gangguan fungsi otak yang bersifat paroksismal dengan
bangkitan spontan atau karena gangguan ringan berulang lebih dari 1 (satu) kali dengan
interval lebih dari 24 jam dengan berbagai macam manifestasi klinik disertai atau tidak
disertai gangguan tingkat kesadaran.
 Gambaran EEG yang abnormal dapat membantu menegakkan diagnosis.
 Indikasi Rawat : Status Epileptikus

Diagnosis
Epilepsi

Differential Diagnosis
 Kejang tonik klonik umum (pallid syncope, cyanotic breath holding attacks, cataplexy).
 Kejang absens umum (tic disorders).
 Kejang parsial kompleks (sleep walking, benign paroxysmal vertigo, migrane related
disorders).

Pemeriksaan Penunjang
EEG dapat digunakan untuk mendiagnosis epilepsi hanya apabila kejang terekam, dan ini
sangat jarang karena kebanyakan anak-anak dengan epilepsi memiliki frekuensi kejang yang
jarang. Sebagian kecil anak-anak normal memiliki aktivitas epileptiform pada EEG-nya tetapi
belum pernah mengalami kejang. Namun 40% pasien dengan epilepsi kronis tidak pernah
menunjukkan epileptiform pada EEG interiktal. Pencitraan otak tidak menjadi dasar untuk
mendiagnosis epilepsi.

Tatalaksana
Pengobatan :
 Mengatasi kejang
 Mencari faktor penyebab sindrom epilepsi
 Menghindari faktor pencetus terjadinya serangan
 Psikososial: memberikan penjelasan pada orang tua penderita tentang perawatan anak
dengan epilepsi
 Obat maintenance yang diberikan diusahakan hanya satu jenis dengan dosis serendah
mungkin dan dosis dapat dinaikkan dalam 3-4 hari
Jenis obat yang sering diberikan yaitu :
1. Karbamazepin.
 Indikasi : bangkitan partial dan umum.
 Dosis : 5-30 mg/kgBB/hari dimulai dengan dosis rendah dibagi dalam 3 dosis.
 Efek samping : diplopia, ataksia, mengantuk, pusing, ikterus, anemia, sindroma Stevens
Jhonson.
2. Asam Valproat
 Indikasi : semua jenis epilepsi.
 Dosis : 10-60 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis
 Efek samping : nyeri perut, rambut rontok, peningkatan berat badan, trombositopenia,
hepatitis.
3. Difenilhidantoin
 Indikasi : bangkitan partial dan umum.
 Dosis : 4-10 mg/kg/BB/hari dibagi 2 dosis.
 Efek samping : hiperplasi gusi .
4. Fenobarbital
 Indikasi : bangkitan partial umum, tonik.
 Dosis : 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis.
 Efek samping : mengantuk, gangguan sifat berupa hiperaktifitas, hiperiritabilitas dan
agresifitas, gangguan kognitif dan daya ingat.
Edukasi
1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
3. Penghentian pengobatan dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang dan secara perlahan –
lahan
4. Menentukan obat yang dapat digunakan bersama-sama orang tua
Prognosis
Kejang yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menimbulkan kerusakan otak akibat
hipoksia, keadaan ini jika ditambah lagi dengan hiperpireksia dan hipotensi maka akan
menimbulkan kerusakan di cerebellum.
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Refernsi
Passat J, Lumbantobing SM, Ismael S. Kelainan Paroksismal. Dalam: Soetomenggolo TS,
Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 190-209.
Sankar R et al. Paroxysmal Disorders. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child
Neurology. Edisi Ketujuh. Los Angeles: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H. 858-943.
Marson AG et al. Carbamazepine versus valproate monotherapy for epilepsy. The Cochrane
Library. 2000 July.
SINDROMA LANDAU KLEFFNER
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Suatu sindroma didapat yang terjadi pada anak usia 3-7 tahun, ditandai dengan afasia
(perkembangan bahasa dan motorik sebelumnya normal) disertai abnormalitas EEG berupa
spikes, gelombang tajam, atau spike dan gelombang yang umumnya bilateral dan predominan
pada regio temporal dan parietal. Dikenal juga sebagai afasia epileptik didapat.

Terbanyak adalah idiopatik.


Penyebab lain:
- Proses intrakranial: tumor otak, trauma kepala, stroke, neurosistisirkosis.
- Vaskulitis SSP.
- Defisiensi rantai kompleks I mitokondria.
- Polimikrogiria perisilvian.

Gejala Klinis
 Regresi kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif.
 Agnosia verbal auditorik.
 Aktivitas abnormal epileptiform.
 Kejang epileptik, terutama pada malam hari.
 Hiperkinesia.
 Gangguan tingkah laku: hiperaktif, agresif, depresi.
 Gangguan perhatian.

Kriteria Diagnosis
A.Anamnesis
 Kejang terutama malam hari.
 Regresi kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif.
 Gangguan tingkah laku dan perhatian.

B.Pemeriksaan Fisis
 Keadaan umum baik.
 Keadaan spesifik: afasia, agnosia verbal auditorik, hyperkinesia.

Kriteria Diagnosis
 Afasia didapat dengan onset pada usia 3-7 tahun.
 Gambaran EEG:
- Saat bangun adalah gelombang spike di daerah temporo-parietal.
- Saat tidur: gelombang spike generalisata.
 Kejang epileptik terutama pada malam hari (adanya electrical status epilepticus in sleep -
ESES) pada 80% kasus (level of evidence III).
 Prognosis nya yaitu semakin muda usia saat gejala mulai, maka semakin buruk prognosis
dalam hal fungsi bahasa (level of evidence III).

Diagnosis
Sindroma Landau Kleffner

Differential Diagnosis
 Autisme
 Pervasive developmental disorder
 Gangguan pendengaran
 Ketidakmampuan belajar
 Gangguan pengolahan pendengaran / lisan
 Attention deficit disorder
 Cacat intelektual
 Skizofrenia anak-anak
 Masalah emosional / perilaku

C.Pemeriksaan Penunjang
 MRI untuk menyingkirkan tromboemboli serebrovaskuler, tumor otak, demielinisasi, penyakit
neurodegeneratif, infeksi intrakranial
 EEG
 Tes audiometri

Tatalaksana
 Medikamentosa
 Anti kejang: diazepam, valproat, benzodiazepin, etosuksimid (fenobarbital, fenitoin dan
karbamazepin tidak bermanfaat).
 Kortikosteroid:
- Prednison 2-5 mg/kgBB/hari po selama 6 bulan, lalu di-tappering selama 3 bulan.
- Metil prednisolon 20-30 mg/kgBB/hari iv selama 3-5 hari, selanjutnya prednison 2
mg/kgBB/hari per oral, dan di-tappering selama 1-2 bulan.
 ACTH 20-100 IU/m2 im/sc (dewasa 500-1000 IU/hari) (level of evidence III)

 Diet ketogenik.
 Speech therapy.
 Psikoterapi.
 Terapi bedah: multiple subpial transection.

Edukasi
1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah
2. Memberikan informasi mengenai pentingnya kepatuhan untuk minum obat anti kejang untuk
mencegah kejang
3. Memberikan informasi mengenai pentingnya terapi wicara dan terapi psikologi baik di rumah
maupun di luar rumah

Referensi
Sankar R et al. Paroxysmal Disorders. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child
Neurology. Edisi Ketujuh. Los Angeles: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H. 858-943.
Passat J, Lumbantobing SM, Ismael S. Kelainan Paroksismal. Dalam: Soetomenggolo TS,
Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 190-209.
Bhardwaj P et al. Acquired epileptic aphasia: Landau-Kleffner syndrome. Journal of Pediatric
Neurosciences. 2009: 52-53.
MENINGITIS TUBERKULOSA
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer. Fokus primer dapat berasal dari
paru (terutama), kelenjar getah bening atau tulang.

Kriteria Diagnosa
A.Anamnesis
 Riwayat demam tidak terlalu tinggi, rasa lemah, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala ± 2
minggu sebelum timbul manifestasi neurologis.
 Kejang bersifat umum dan intermiten.
 Kesadaran menurun.
 Riwayat kontak TB atau menderita TB.

B.Pemeriksaan Fisis
1. gejala umum sistemik :
 demam
 anoreksia
 berat badan turun
 keringat malam
 malaise

2. gejala khusus : sesuai dengan organ yang terkena


Gejala klinis meningitis tuberkulosa terdiri beberapa stadium :
a. Stadium I (prodormal) gejala tidak khas
 Kenaikan suhu yang ringan
 Apatis
 Tidak nafsu makan
 Mual, muntah
 Sakit kepala ringan

b. Stadium II (transisi) timbulnya tanda dan gejala neurologis


 Tanda-tanda rangsang meningeal meningkat
 Seluruh tubuh kaku
 Refleks tendon menjadi tinggi
 Peningkatan tekanan intrakranial
 Kelumpuhan saraf otak
 Gangguan bicara
 Disorientasi
 Hemiplegia
 Ataksia
 Gerakan involunter
c. Stadium III (terminus) meningkatnya disfungsi serebral difus
 Penurunan kesadaran sampai koma
 Postur deserebrasi dekortikasi
 Pernafasan tidak teratur (cheyene stokes)
 Dilatasi pupil dan tidak bereaksi sama sekali

Gejala klinis
 Ubun-ubun besar membonjol pada bayi
 Tanda peningkatan tekanan intrakranial
 Gejala rangsang meningeal positif
 Gangguan syaraf otak

Kriteria Diagnosis
1. CT-Scan Kepala : ditemukan tuberkuloma hidrosefalus
2. Uji tuberkulin
3. Riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa
4. Diagnosa pasti: ditemukan basil tahan asam dalam sediaan hapus dan biakan LCS

Diagnosis
Meningitis Tuberkulosa

Differential Diagnosis
 Meningitis bakterialis
 Meningitis aseptik
 Encephalitis

C.Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (LCS) :
 jernih opalesen/kekuningan (xantocrom)
 jumlah sel meninggi, tapi jarang yang melebihi 1000 mm3, dengan limfosit MN>PMN
 kadar protein meningkat (>300 mg/100 ml)
 kadar glukosa menurun (<40 mg/100ml)
 kadar klorida (680 mg 100 ml)
 bila LCS didiamkan timbul: fibrinous web (pedikel) yang merupakan tempat tersering
ditemukan hasil kuman TBC

2. Foto thoraks : tidak selalu khas


 Pembesaran kelenjar hilus paratrakheal dan mediastinum
 Atelektasis
 Konsolidasi efusi pleura
 Kavitas
 Emfisema lobus
 Gambaran milier

3. Terbukti meningitis tuberkulosis, konsultasi ke Subdivisi Respirologi untuk mencari fokus


infeksi primer.

Tatalaksana
1. Pengobatan penunjang simptomatik :
 anti konvulsan
 antipiretika
 analgetika

2. Pengobatan suportif :
 pemberian cairan
 jenis cairan: cairan 2 : 1 (Dekstrosa 5% + NaCI 15%). jumlah cairan pada hari pertama 70%
dari kebutuhan maintenance
 nutrisi yang adekuat
 pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
 posisi diubah-ubah
 bila edema otak diterapi sesuai dengan talaksana edema otak

3. Obat Anti Tuberkulosis (level of evidence I)


 INH: 10-15 mg/kgBB/hari, maksimum 300 mg, selama 9-12 bulan
 Rifampisin: 10-15 mg/kgBB/hari, maksimum 600 mg/hari, single dose 1 jam sebelum makan
selama 9-12 bulan
 Pirazinamid: 20-35 mg/kgBB/hari, maksimum 2 gram/hari selama 2 bulan
 Etambutol: 10-15 mg/kgBB/hari, selama 9 bulan atau
 Streptomisin: 20-50 mg/kgBB/hari, maksimum 750 mg/hari selama 1 bulan

4. Kortikosteroid (level of evidence I)


Prednison : 1-2 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis secara oral selama 1-3 bulan, kemudian diturunkan
1 mg setiap 1-2 minggu selama 1 bulan.

5. Fisioterapi

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga tentang penyebab penyakit ini.
2. Menyarankan untuk memeriksa anggota keluarga untuk skrining penyakit tuberkulosa.
3. Memberi informasi kepada keluarga tentang kemungkinan adanya gejala sisa, contohnya tuli
sensorineural sehingga penting untuk melakukan pemeriksaan telinga satu bulan setelah
anak pulang dari rumah sakit.
4. Memberitahu tentang kemungkinan komplikasi-kompilkasi yang dapat timbul.
5. Perlunya pemantauan tumbuh kembang anak pasca rawat.
6. Memberitahu keluarga tentang perlunya pengobatan OAT rutin dan efek samping OAT yang
dapat timbul serta lamanya pengobatan.
7. Memberitahu keluarga tentang perlunya mengukur dan mencatat ukuran kepala bayi.
8. Memberitahu keluarga tentang perlunya fisioterapi jika terdapat kerusakan syaraf dan
berikan nasihat sederhana pada orang tua untuk melakukan latihan pasif pada anak di
rumah.

Prognosis
 Pasien yang tidak diobati biasanya meninggal dunia
 Tergantung pada stadium penyakit saat pengobatan dimulai dan umur pasien, pasien
berumur < 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk.

Komplikasi
 Mata  atrofi optic dan kebutaan
 THT  gangguan pendengaran dan keseimbangan
 Sequele neurologis minor  kelainan syaraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan pada
koordinasi dan spastisitas
 Kelainan pituitari dan hipotalamus  prekoks seksual, hiperprolaktinemia, defisiensi DH,
hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin

Referensi
Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL.
Child Neurology. Edisi Ketujuh. Los Angeles: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H. 445-
8.
Saharso D, Hidayati SN. Meningitis Tuberkulosa. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku
Ajar Neurologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 353-362.
Prasad K, Singh MB. Corticosteroids for managing tuberculous meningitis. The Cochrane
Library. 2008.
MENINGITIS TUBERKULOSA
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Penyakit dengan tanda utama kekakuan otot ( spasme ) tanpa disertai gangguan kesadaran
yang terjadi pada anak

Etiologi
Clostridium tetani

Patogenesis
Spora yang masuk ke tubuh berubah menjadi bentuk vegetative dan berbiak menghasilkan
toksin. Toksin merambat dari tempat luka lewat motor endplate dan aksis silinder syaraf tepi ke
kornu anterior sumsum belakang dan menyebar ke seluruh SSP. Toksin menyebabkan
blockade pada simpul yang menyalurkan impils pada tonus otot sehingga tonus otot meningkat
dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang terutama pada otot
yang besar

Bentuk Klinis (Klasifikasi)


Untuk menentukan derajat berat ringannya penyakit, dipakai kriteria menurut Cole dan
Youngman (1969) sebagai berikut :
DERAJAT
NO KRITERIA
I II III

1 Masa >14 hari 10-14 hari < 10 hari


inkubasi
2 Onset 6 hari 3-6 hari < 3 hari

3 Trismus Ringan Sedang Berat

4 Disfagia (-) Ringan Berat

5 Kekakuan Lokal dekat luka Kekakuan umum Kekakuan umum


mendahului sejak awal sering menyebabkan
kekakuan umum kesulitan bernafas dan
asfiksia
6 Kejang Sebentar, tidak Lebih berat, lebih Cepat memberat,
umum mengganggu sering, tidak sering, lama,
pernafasan menyebabkan menyebabkan
dispnoe dan kegagalan pernafasan
sianosis dan spasme laring
Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
Mencari “port’d entre” yaitu adanya luka, radang telinga dan karies dentis.

B. Pemeriksaan Fisis
Trismus, kaku kuduk, opistotonus, perut papan, tak dapat jalan, atau jalan seperti robot, kejang
rangsang, kejang spontan. Tidak terdapat penurunan kesadaran dan biasanya tidak panas

C.Kriteria Diagnosis
 Anamnesis luka
 Gejala klinis
Differential Diagnosis
 Tetani
 Trismus karena proses local seperti mastoiditis, abses tonsilar, OMSK

Tatalaksana
1. Medikamentosa
 ATS pada hari I 20.000 IU diberikan perdrip dengan diencerkan 20 kali dengan NaCI
fisiologis. Sebelum pemberian harus dilakukan tes kulit terlebih dahulu, bila positif maka
dilakukan desentisasi dengan cara besredka. Pada hari II ATS 20.000 IU diberikan IM
 Antibiotika PP 50.000 U /kgBB/hari selama 10 hari
 Antikonvulsan :
a. fenobarbital dosis awal 100 mg IM dan largactil dosis awal 30 mg IM dilanjutkan oral
: fenobarbital 6x30 mg/hari dan largactil 2-5 mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis
b. diazepam dengan dosis inisial 0,2 mg/kgBB/kali IV, kemudian diteruskan dengan 4-8
mg/kgBB/hari diberikan secara IV dalam 12 kali pemberian
Dosis antikonvulsan diturunkan secara bertahap sesuai dengan perbaikan klinis.
 Antiseptik H2O2 3% untuk pencucian luka.
2. Suportif
 Mencegah terjadinya aspirasi, segera setelah pemberian antikonvulsan dipasang sonde
lambung, lambung dikosongkan, posisi kepala dimiringkan
 Penderita diisolasi dan dijauhkan dari rangsangan terutama cahaya yang berubah
mendadak, bunyi dan sentuhan
 Makanan diberikan dalam jumlah sedikit tetapi sering, untuk mencegah terjadinya
regurgitasi
 Oksigen diberikan bila ada gangguan oksigenasi
Penderita dipulangkan setelah tidak ada kejang rangsang lagi, tidak spastis, atau spastis
ringan, telah dapat berjalan dan tidak ada kesulitan makan atau penyulit lain

Edukasi
Imunisasi DPT dilanjutkan TT
Obati luka dengan antiseptic

Komplikasi dan Prognosis


Prognosis ditentukan masa inkubasi, period of onset, jenis luka, status imunitas, letak jenis luka,
dan luas kerusakan jaringan

Referensi
Soedarmo,S.S.P.,2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
H.Royden Jones, Jr.Darryl C.De Vivo and Basil T. Darras. 2003. Neuromuscular Disorders of
Infancy,Childhood and Adolescence. Philadelphia: Butterworth-Heinemann
Volpe,J.J.,2008. Neurology of the newborn. Philadelphia : Saunders Elsevier.
SUB ACUTE SCLEROSING PANENCEPHALITIS
dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K), MARS - dr. RM. Indra, Sp.A(K)

Pengertian (Definisi)
SSPE adalah penyakit peradangan yang progresif susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
infeksi virus campak menetap.

Etiologi
Virus Morbili.

Patogenesis
Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan setelah infeksi akut virus
morbili hidup dalam bentuk inaktif dalam sel.

Bentuk klinis
Dibagi menjadi 4 stadium :
 Stadium I
Gangguan psikointelektual berupa gangguan mental dan kepribadian. Pasien tampak labil,
kemampuan belajar menurun, mudah lupa, letargi, depresi. Stadium berlangsung 6 bulan.
 Stadium II
Adanya kejang dan kerusakan motor. Kerusakan ekstrapiramidal meliputi koreoatetosis, dan
balismus.
 Stadium III
Adanya koma dan opistotonus, spastisitas, gangguan syaraf otonom. Stadium berlangsung
kurang dari 6 bulan, kebanyakan meninggal pada stadium ini.
 Stadium IV
Hilangnya fungsi korteks cerebri, mutiss dan disfungsi otonom, berlangsung 1-10 tahun.

Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
 Didahului oleh riwayat morbili tipikal, sembuh total tanpa komplikasi beberapa tahun
sebelum onset.
 Keluhan yang sering ditemukan:
o Jatuh/tersentak
o Kemunduran intelegensi
o Penyakit psikiatrik
o Paresis/paralisis
o Gangguan bicara

B. Pemeriksaan Fisis
Sesuai dengan stadium yang dialami

C. Kriteria Diagnosis
 Gejala klinis sesuai stadium
 Titer antibodi morbili dalam darah dan LCS
 EEG
 LCS

Diagnosis
Sub Acute Sclerosing Panencephalitis

Differential Diagnosis
 Ensefalitis
 Acquired immunodeficiency syndrome encephalopathy
 Subacute necrotizing encephalomyelopathy (Leigh disease)

Pemeriksaan Penunjang
 EEG (level of evidence III): Tahap awal EEG normal atau perlambatan non spesifik.
Pada stadium II: gambaran supression burst pattern/periodic slow wave complexes
(PSWC).
Pada stadium lanjut: abnormal/bervoltase rendah.
 Darah: titer antibodi morbili 1/124-1/2048.
 LCS: jernih, sel normal, glukosa normal, protein normal/sedikit meningkat. Titer antibodi
morbili 1/8 s/d 1/64.
 MRI: Berguna untuk menilai progresifitas penyakit dan pengaruh pengobatan. Tampak
gambaran lekoensefali pada intensitas signal T2 pada substansia alba, batang otak maupun
serebelum.

Tatalaksana
 Belum ada pengobatan yang memuaskan.
 Manfaat isoprinosin 100 mg/kgBB/hari, interferon intraventrikel masih kontroversial.
 Bila ada kejang mioklonik dapat diberikan antikonvulsan karbamazepin, asam
valproat/pirimidon.
 Pemberian nutrisi yang baik, pengobatan infeksi sekunder dan suportif.

Edukasi
Memberi informasi kepada keluarga tentang prognosis yang buruk (penderita bias meninggal
dunia) pada penyakit ini dan walaupun penderita dapat bertahan hidup kemungkinan besar
penderita akan menjadi vegetatif.

Prognosis
 Fatal, pada umumnya penderita meninggal 6 bulan s/d 3 tahun setelah gejala timbul.
 Dilaporkan 5% sembuh spontan.
Referensi
Fenichel GM. Psychomotor Retardation and Regression. Dalam: Clinical Pediatric Neurology: A
Signs and Symptomps Approach. Edisi Keenam. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009.
H. 147-8.
Bellini WJ et al. Subacute Sclerosing Panencephalitis: More Cases of This Fatal Disease Are
Prevented by Measles Immunization than Was Previously Recognized. The Journal of
Infectious Disease. The Oxford Journals. 2005; 192 (10): 1686-93.
POLIOMIELITIS PARALITIKA
dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K), MARS - dr. RM. Indra, Sp.A(K)

Pengertian (Definisi)
Penyakit infeksi virus akut yang mengenai medulla spinalis dan batang otak.

Etiologi:
virus polio tipe Brunhilde, Lansing dan Leon.

Bentuk klinis (klasifikasi):


 Paralisis residual berupa asimetris, atrofi otot dan deformitas.
 Refleks tendon berkurang atau hilang.
 Tak ada gangguan rasa raba.
 Nyeri otot yang sangat hebat.
 Tak ada gangguan fungsi kandung kemih.

Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
 Adanya demam tinggi yang timbul pada onset kelumpuhan
 Kelumpuhan bersifat akut, asimetris dengan progresifitas kelumpuhan 3-4 hari

B. Pemeriksaan Fisis
 Demam
 Gejala rangsang meningeal diikuti kelumpuhan flaksid asimetris

C.Kriteria Diagnosis
 Anamnesis
 Pemeriksaan Fisis  kelumpuhan flaccid, asimetris
 LCS
 Isolasi virus dari tinja dan orofaring
 Indikasi Rawat : Kelumpuhan

Diagnosis
Poliomielitis paralitika

Differential Diagnosis
 Sindroma Guillan Barre
 Mielitis transversa

Pemeriksaan Penunjang
 LCS: kadar protein agak meningkat, berlangsung sampai 2 bulan. Awal penyakit jumlah sel
leukosit meningkat terutama terdiri dari sel polimorfonuklear, setelah itu jumlah limposit lebih
banyak dan menjadi normal dalam 2-3 minggu
 Isolasi virus
Tatalaksana
Tatalaksana suportif.
Belum ada pengobatan kausal namun dapat dicegah dengan vaksinasi (level of evidence II).
Ventilasi mekanik dan bantuan sirkulasi mungkin dibutuhkan apabila terdapat symptom bulbar.
Rehabilitasi medik setelah penderita melewati fase akut polio dan penderita dengan defisit
motorik permanen.

Edukasi
Imunisasi polio

Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : malam

Referensi
Maria BL, Bale JF. Infections of The Nervous System. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL.
Child Neurology. Edisi Ketujuh. Los Angeles: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. H. 445-8.
Pidcock et al. Infection and Autoimmune Diseases Affecting Motor Neurons of the Spinal Cord:
Chapter 88 Anterior Horn Cell and Cranial Motor Neuron Disease. Dalam: Swaiman KF,
Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF. Swaiman’s Pediatric Neurology Principle and Practice.
Volume Satu. Edisi Kelima. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. H. 1497-8.
Nara P, Lumbantobing SM. Penyakit Unit Motor dan Sindrom Neurokutan. Dalam:
Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI;
2000. H. 276-277.
PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K), MARS - dr. RM. Indra, Sp.A(K)

Pengertian (Definisi)
Peningkatan tekanan intrakranial diatas nilai normal. Tekanan intrakranial normal berkisar 82
mmH2 O pada neonatus, 82-176 mmH2 O pada anak usia 1-7 tahun, 136-204 mmH2 O pada
remaja.

Keadaan patologi jaringan otak yang berhubungan dengan tekanan intra kranial adalah edema
serebri dan proses desak. Edema serebri adalah pengumpulan cairan di dalam jaringan otak,
baik intraseluler atau ekstraseluler. Fishman membagi edema serebri menjadi edema
vasogenik, edema sitotoksik dan edema interstitial.
1. Edema vasogenik terjadi akibat a) peningkatan permeabilitas kapiler, b) peningkatan tekanan
transmural kapiler, c) retensi cairan ekstravaskuler pada ruangan intersisial. Keadaan ini
dapat terjadi karena tumor otak, lesi traumatik, perdarahan intraserebral, fokus inflamasi atau
hematom sudural kronis.
2.Edema sitotoksik terjadi akibat proses intraseluler pada astrosit dan neuron. Keadaan ini
disebabkan iskemi fokal atau umum dan hipoksia akibat infark serebri. Dapat terjadi pada
keadaan hipoksia, iskemia dan infeksi.
3.Edema interstisial terjadi akibat transudasi CSS melauli barier ependimal dari sistem ventrikel
ke jaringan otak. Dapat terjadi pada gangguan sirkulasi CSS.

Proses desak ruang disebabkan tumor, abses, hematoma dan malformasi arteriovena.
Peningkatan tekanan intrakranial pada proses desak ruang terjadi karena: a. Secara fisik
menempati ruang intrakranial b. Menimbulkan edema serebri. c. Membendung sirkulasi dan
absorpsi CSS d. Meningkatkan aliran darah otak dan e. Menyumbat pembuluh darah balik
vena.

Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
 Sakit kepala; sering bertambah saat bangun pagi, batuk, bersin, mengedan, perubahan posisi
kepala tiba-tiba (pada proses lesi desak ruang).
 Muntah; bersifat proyektil tanpa disertai rasa mual, mulanya hanya timbul saat bangun pagi
kemudian dapat terjadi setiap waktu.
 Pada anak besar: penurunan kesadaran atau perubahan kepribadian, pada bayi: Letargi dan
Iritabel,
 Gejala lain (pada proses lesi desak ruang) : penglihatan ganda/diplopia, strabismus,
kelumpuhan, kejang, gangguan keseimbangan/koordinasi.

B. Pemeriksaan Fisis
 Edema papil
 Kelumpuhan saraf kranialis keenam
 Penurunan kesadaran (Skala Koma Glasgow), memakai modifikasi anak.
 Tanda spesifik peningkatan TIK pada bayi: fontanela membonjol, diastasis sutura, distensi
vena kulit kepala, deviasi mata persisten ke bawah (sunsetting) dan penambahan lingkar
kepala yang cepat.
 Tanda spesifik peningkata TIK di kompartemen infratentorial (fossa posterior): kaku kuduk
dan head tilt
 Dapat ditemukan defisit neurologis fokal  mencerminkan letak lesi

Peningkatan TIK yang masif dan berkelanjutan dapat menimbulkan pergeseran otak melewati
ekstensi-ekstensi dura (falx serebri, tentorium serebeli) atau barier tengkorak yang disebut
herniasi. Herniasi dapat terjadi di bawah falx (subfalcine), melalui sulkus tentorial (transtentorial:
sentral dan unkal), atau kedalam foramen magnum (tonsilar)

Sindrom herniasi unkal (transtentorial unilateral):


- Etiologi: tumor, stroke, perdarahan, abses, edema unilateral
- Deskripsi: struktur lobus temporalis bergeser di bawah tentorium menekan midbrain,
menekan N.III dan arteri serebri posterior.
- Temuan klinis: hemiparesis, pupil membesar, koma

Sindroma herniasi sentral (transtentorial bilateral):


- Etiologi: edema sitotoksik, anoksia, trauma
- Deskripsi: pergeseran ke bawah kedua lobus temporalis menekan diensefalon dan midbrain
- Temuan klinis: postur dekortikasi/deserebrasi; pupil kecil, reaktif, pernafasan Cheyne-Stokes

Sindrom herniasi serebelar


- Etiologi: lesi massa difus, lesi massa serebelar, edema SSP difus
- Deskripsi: pergeseran ke atas-kompresi midbrain, pergeseran ke bawah-medulamelalui
foramen magnum
- Temuan klinis: pupil dilatasi, pernafasan iregular, koma, kelumpuhan saraf kranialis, apnea,
bradikardia, kematian

Hati-hati bila terdapat tanda-tanda perburukan dari status neurologi yang tiba-tiba, berupa:
penurunan kesadaran, dilatasi pupil unilateral, trias Cushing (peningkatan tekanan darah,
bradikardi dan pernapasan ireguler).

Kriteria Diagnosis
 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis adanya gejala dan tanda peningkatan tekanan
intrakranial
 Pemeriksaan penunjang untuk mencari etiologi

Diagnosis
 Pemeriksaan neurologis klinis merupakan cara utama untuk deteksi adanya peningkatan
TIK.
 Diagnosis pasti adanya peningkatan TIK dengan melakukan monitoring menggunakan
external ventricular drainage (EVD) yang bersifat invasif .

Differential Diagnosis
Sesuai dengan etiologi. Adapun penyebab peningkatan TIK yang sering dijumpai adalah:
 Kelainan pada parenkim/ventrikel
- Neoplasma
- Pseudotumor cerebri
- Hidrosefalus obstruktif/nonkomunikan
- Hidrosefalus komunikan
- Meningitis bakterialis
- Meningoencephalitis
- Cidera kepala
- Ensefalopati hipoksik-iskemik
- Inborn errors of metabolism
- Ketoasidosis diabetikum
- Koma hepatikum
 Kelainan ekstraserebral
- Craniosynostosis primer
- Penyakit Crouzon
- Sindrom Apert’
- Perdarahan ekstradural
- Hematom subdural kronis
- Kleeblattscha¨ del deformity
 Subarachnoid Space Lesions
Hidrosefalus komunikan

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab peningkatan TIK
- USG/CT-Scan/MRI kepala
- Darah perifer lengkap, analisis gas darah, elektrolit darah

Tatalaksana
 Tata Laksana
Tujuan: menurunkan tekanan intrakranial untuk memperbaiki aliran darah ke otak dan
pencegahan atau menghilangkan herniasi, serta mempertahankan TD sistolik dalam batas
normal.

Tata laksana dapat dibagi menjadi :


1. Supportif
a. Elevasi kepala 15-30 derajat dan kepala pada posisi midline (pada pasien dengan
hemodinamik stabil).

b. Menjaga suhu tubuh < 37,5 0C


c. Mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal.
d. Mempertahankan saturasi O2 > 96%
e. Mempertahankan PaCO2 37±2 mmHg
f. Meminimalkan tindakan seperti pengisapan lendir, pengambilan sampel darah dll. Jika
pasien gelisah/agitasi dapat diberikan sedasi, karena agitasi akan meningkatkan tekanan
intrakranial.
g. (Level of EBM I/II)

2. Medikamentosa

Tujuan: Mengurangi volume komponen-komponen intrakranial


a. Pengurangan volume cairan serebrospinal. Pada hidrosefalus terjadi edema interstisiel
dengan peningkatan tekanan intraventrikel yang tinggi serta edema periventrikel. Dapat
diberikan asetazolamid 50-100 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. (Level of EBM I)
b. Pengurangan volume jaringan otak. Pada edema sitotoksik, dapat diberikan manitol 20%
dengan dosis 0,25-1 g/kgBB drip IV selama 10-30 menit setiap 8 jam. Selama pemberian
osmoterapi perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit serta osmolaritas serum
300-320 mosm/L. (Level of EBM I). Pemberian diuretik tubular yang kuat dapat menurunkan
tekanan intrakranial dengan efektif melalui berkurangnya cairan tubuh total, tonus pembuluh
darah, dan produksi CSS. Obat yang dianjurkan adalah furosemid dengan dosis 1
mg/kgBB/kali IV, dapat diberikan 2 kali sehari.
c. Pada edema vasogenik seperti pada tumor otak, abses terjadi edema karena pendesakan
masa, dapat diberikan kortikosteroid untuk mengurangi edema dan memperbaiki integritas
membran dalam mempertahankan permeabilitasnya. Dapat diberikan deksametason dengan
dosis 0,1-0,2 mg/kgBB tiap 6 jam. (Level of EBM II). Pada peningkatan tekanan intrakranial
fase lanjut edema sitotoksik dan edema vasogenik dapat terjadi secara bersamaan.
d. Natrium hipertonik (NaCl 3%) efektif menurunkan peningkatan TIK dengan
mempertahankan tekanan osmolar parenkim otak. Digunakan pada pasien dengan keadaan
hipotensi dan hipoperfusi. NaCl 3% diberikan bolus dalam 5 menit dengan dosis 2-4 mL/kg
IV. Dihentikan bila kadar Na > 155 mEq/L. (Level of EBM I)
3. Tindakan bedah

- Jika peningkatan TIK tidak dapat diatasi dengan medikamentosa maka perlu dilakukan
koreksi dengan tindakan bedah dekompresi (kraniektomi) untuk mengatasi pergeseran dan
herniasi otak. (Level of EBM I)
- Tindakan bedah lain tergantung dari etiologi (hidrosefalus, perdarahan intrakranial, abses
otak, tumor otak).

Edukasi
1. Memberikan informasi mengenai kemungkinan penyebab peningkatan tekanan intrakranial,
beserta komplikasi yang mungkin terjadi
2. Memberikan informasi mengenai pengobatan atau tindakan yang akan dilakukan untuk
menurunkan peningkatan tekanan intrakranial beserta efek samping/komplikasi yang
mungkin timbul
3. Memberikan informasi mengenai prognosis dan pemantauan yang akan dilakukan
Prognosis
1. Kemungkinan kematian  30-33% kematian pada meningitis bakterialis akibat peningkatan
tekanan intrakranial
2. Kemungkinan kecacatan atau kelainan neurologis
3. Ad vitam , Ad fungsionam dan Ad sanationam: tergantung dari etiologi

Referensi
Disorder of Intracranial Pressure. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF.
Swaiman’s Pediatric Neurology Principle and Practice. Volume Satu. Edisi Kelima.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. H. 1185-1197
Fenichel GM. Dalam: Clinical Pediatric Neurology: A Signs and Symptomps Approach. Edisi
Keenam. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. H. 93-118.
Cedera Otak Traumatik dan Koma. Dalam: Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi
Keenam. Singapore: Elsevier Saunders; 2014. H. 767-771.
Peninggian Tekanan Intrakranial. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi
Anak. Cetakan Kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. H. 276-277.
Reducing intracranial pressure may increase survival among patient bacterial meningitis.
Journal Clinical Infection Disease 2004; (38): 384-90.
Role of hypertonic saline and manitol in the management of raised intracranial pressure in
children: a randomized comparative study. Journal Pediatric Neuroscience 2010; (5): 18-
21.
MENINGITIS BAKTERIALIS
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Peradangan pada selaput otak ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam
cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.

Kreteria Diagnosis
A. Anamnesis
 Panas
 Penurunan kesadaran
 Kejang
 High pitch cry pada bayi

B. Pemeriksaan Fisis
 Suhu febris
 Penurunan kesadaran  GCS
 GRM (+)  kaku kuduk, Brudzinsky, Kernig
 Gangguan syaraf otak
Gejala klinis :
Tidak ada yang patognomonik untuk meningitis, bervariasi tergantung:
 Umur
 Lama sakit sebelum diperiksa
 Reaksi anak terhadap infeksi
Pada bayi sukar didiagnosis dini. Gejala klinis pada bayi :
 Panas
 Hyperirritable
 Gangguan kesadaran
 Poor muscle tone
 Kejang
 UUB menonjol
 Muntah
Pada anak gejala klinisnya :
 Gejala umum: panas, sakit kepala, nausea dan muntah, photophobia, irritabilitas,
letargi, gangguan kesadaran.
 Gejala Neurologis : GRM (tanda Kernig dan tanda Brudzinsky I & II, kaku kuduk),
kejang, UUB menonjol, penurunan kesadaran.

Kriteria Diagnosis
 Gejala klinis
 Pungsi lumbal

Diagnosis
Meningitis Bakterialis

Differential Diagnosis
 Meningitis tuberkulosis
 Meningitis aseptik
 Encephalitis

C. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah tepi :
 Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
 LED meningkat
 Pemeriksaan CRP positif
b. LCS :
 Opalesen sampai keruh (stadium dini dapat jernih)
 Reaksi none dan pandy (+) satu atau lebih
 Jumlah sel ratusan sampai ribuan per mm3 cairan LCS, terutama PMN, pedikel (-)
 Kadar glukosa menurun <40 mg/dl
 Kadar protein meningkat 100-500 mg/dl
 Kadar chlorida kadang-kadang merendah
 (EBM level 1)
Mikrobiologi : sediaan langsung dengan pengecatan gram, kultur dan resistensi test. Dari hasil
kultur didapatkan Bakteri penyebab terbanyak pada usia 1-3 bulan: E. Coli, L.monocytogenes,
Neisseria Meningitidis, S. Agalactiae, S.pneumoniae, Haemophilus influenzae
Usia 3 bulan-18 tahun: N. Meningitidis, S. Pneumoniae, H. Influenzae.

Tatalaksana
1. Kausal :
 Antibiotika diberikan sesuai dengan kuman penyebab dan mampu melewati “Blood Brain
Barrier”
 Beri antibiotika polifragmasi sebelum diketahui kuman penyebab. (70-90 % disebabkan
N. Meningitidis, S. Pneumoniae)
 Sefalosporin generasi ke III yaitu Cefriaxone 100 mg/kg/hari dosis tunggal (maksimum 4
gram/hari) iv atau Cefotaxime 300 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis dibagi dalam 2
dosis dan vancomycin 15 mg/kg tiap 6 jam (maksimal 500 mg tiap 6 jam) lama
pemberian 7-14 hari (EBM level I).
Bila vancomysin tidak tersedia, dapat diberikan Ampisilin 300-400 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4 dosis IV dan sefalosporin (ceftriaxone atau cefotaxime).
 Perubahan antibiotika selanjutnya tergantung dari hasil resistensi tes.
 Untuk mengatasi edema otak diberi kortikosteroid dexametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali
diberikan 3 kali sehari selama 4–5 hari. (EBM level II)
 Untuk mencegah reaksi immunologis deksametason diberikan terlebih dahulu sebelum
pemberian antibiotika.
2. Suportif
 Pemberian cairan
Jumlah cairan sesuai dengan kebutuhan maintenance (EBM level 1)
 Nutrisi yang adekuat
 Kejang diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang demam sampai diketahui
sekuele +/-
 Bila terjadi kenaikan tekanan intrakranial dengan tanda :
o Kesadaran menurun progresif
o Tonus otot meningkat
o Kejang yang tidak teratasi
o Fontanella menonjol
o Bradipnoe
o Tekanan darah meningkat
Diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25-1 gram/kgBB/kali diberikan perinfus selama
30-60 menit, dapat diulangi setelah 8 jam.
 Pemberian O2.
 Pembersihan jalan nafas
 Awasi ketat fungsi vital
 Perawatan atau follow up yang ketat 24-48 jam pertama untuk melihat adanya
“Sindroma Inapropriate Anti Diuretic Hormone” (SIADH). Apabila ada SIADH dperlukan
monitor kadar elektrolit dan berat badan, manifestasi klinis SIADH sebagai berikut :
a. Retensi air
 Balans cairan positif
 Berat badan naik
 Tidak ada edema perifer
 Pitting edema di daerah sternum
b. Gejala sistem gastrointestinalis, anoreksia, nausea, muntah.
c. Gejala neurologik, letargi, pusing, kejang, perubahan pada pupil, koma.
d. Laboratorium
- Hiponatremia (manifestasi klinis baru terlihat sesudah Na<125 mEq/L)
- Ureanitrogen dan kreatinin darah rendah
- Na urin > 20 mEq/L
- BD urin > 1,012

Apabila hiponatremia masih terus berlangsung sesudah retriksi cairan (50% dari cairan
maintenance) koreksi Na dengan rumus sebagai berikut:

Na defisit dalam mmol = (135-Na os) x 0,6 x BB(kg)

Na defisit (ml) NaCI 15 % = Na defisit dalam mmol

2,55

Tindak lanjut :
 Mengawasi keseimbangan cairan dan elektrolit
 Pengukuran lingkaran kepala jika UUB belum menutup
 Setelah 48-72 jam pemberian antibiotika adekuat belum ada perbaikan klinis yaitu berupa :
keadaan umum memburuk, panas tetap tinggi, kesadaran makin menurun, kejang sukar
diatasi, maka harus dipikirkan adanya komplikasi/pemberian antibiotika yang tidak teratur
atau tidak sensitif dan dilakukan pemeriksaan :
 Lumbal fungsi ulang
 Funduskopi
 Transiluminasi
 USG kepala jika UUB belum menutup

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga bahwa dapat terjadi komplikasi-komplikasi dari
penyakit ini
2. Memberitahu kepada keluarga akan kemungkinan adanya gejala sisa / defisit neurologis
3. Perlu adanya pemantauan tumbuh kembang anak pasca rawat

Prognosis
Komplikasi yang dapat segera timbul yaitu berupa :
 Kenaikan tekanan intrakranial
 Nekrosis atau infark jaringan otak
 Ventrikulitis
 Gangguan nervus kranialis
 Sindroma inappropriate antidiuretik hormone (SIADH)
 Subdural empiema
 Abses serebri

Komplikasi lebih lanjut dapat berupa :


 Gangguan mental, pendengaran, penglihatan
 Hidrosefalus komunikan
 Gangguan tingkah laku
 Gangguan vestibular
 Hemiparesis atau kuadriparesis
 Epilepsi

Setelah pemberian antibiotik selama 7-10 hari bila klinis sudah baik dan hasil pemeriksaan LCS
sudah normal, penderita dipulangkan. Jika klinis baik namun pemeriksaan LCS belum normal
tapi ada perbaikan dibandingkan LP pertama (jumlah sel 60-120 per mm3) antibiotika
diteruskan sampai dengan 14 hari untuk pemakaian Ampisilin & Kloramfenikol, 10 hari untuk
Cefotaxim & Ceftriakson jika klinis tetap baik penderita dipulangkan dan kontrol ke poliklinik
anak

Skoring yang dibuat Herson dan Todd untuk menentukan prognosis :


 Kesadaran koma :3
 Suhu badan kurang dari 36, 6 C0
:2
 Kejang :2
 Shock (TD sistole kurang dari 60 mmHg) :2
 Umur kurang dari 1 tahun :1
 WBC pada LCS kurang dari 1.000 :1
 Hb kurang dari 11 gram :1
 Glukosa pada LCS kurang dari 20 mg/dl : 0,5
 Gejala sudah lebih dari 3 hari : 0,5
Resiko menjadi tinggi bila skoring total lebih dari 4,5
\
Referensi
Bernald L Maria, james F. Infection of the Nervous System. Menkes Child neurology seventh
edition chapter 7
Pediatric neurology : Principles and practice chapter 63
Saharso darto. Infeksi Susunan Saraf Pusat; Buku ajar neurologi IDAI. Jakarta: 2000
Neurology of the newborn chapter 21
Martin G, Schad UB. Bacterial Infection of the Nervous System. Swaiman’s Pediatric Neurology
principle Chapter 80.
Maconochie IK. Fluids for people with acute bacterial meningitis. Cochrane summaries. 2013
Matthijs C Brouwer, Peter McIntyre, et al. Corticosteroid for acute bacterial meningitis. The
cochrane library.2013
Curtis Sarah, Stobart Kent et al. Clinical Feature Suggestive
Meningitis in Children: A systematic Review of Prospective Data. 2010
ENSEFALITIS
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Peradangan pada jaringan otak

Etiologi
 Neonatus: Neonatus: Herpes simplex virus type 2, cytomegalovirus, rubella virus, Listeria
monocytogenes, Treponema pallidum, Toxoplasma gondii
 Bayi dan Anak: Eastern equine encephalitis virus, Japanese encephalitis virus, Murray
Valley encephalitis virus (rapid in infants), influenza virus, La Crosse virus

Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
Gejala dapat ringan sampai berat, tergantung jenis virus dan jaringan otak yang terkena.
 Panas mendadak tinggi (sering dengan hiperpireksia)
 Sakit kepala
 Nausea dan muntah
 Kesadaran cepat menurun (letargia, stupor, dan koma)
 Kejang umum/fokal/twitching
 Afasia, hemiparesis
Adanya riwayat penyakit primer dapat membantu diagnosis. Misalnya Mump, morbili, varicella

B. Pemeriksaan Fisis
 Demam tinggi
 GCS menurun
 Ruam kulit pada ensefalitis karena enterovirus, varisela zoster
 Defisit neurologis: paresis, paralisis, afasia, ataxia, paralisis syaraf otak

Kriteria Diagnosis
Adanya trias demam tinggi, penurunan kesadaran, dan kejang, tanpa adanya tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial

Diagnosis
Ensefalitis

Differential Diagnosis
 Post imunisasi ensefalitis
 Encephalomyelitis (seperti acute desseminated encephalomyelitis (ADEM))
 Vasculitis
 collagen vascular disorders, and paraneoplastic syndromes(EBM level II)

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (LCS)
 Sering dalam batas normal (warna jernih, kadar protein dan glukosa normal)
 Dapat juga jumlah sel sedikit meningkat, kadar protein sedikit meningkat (50-200) dan
kadar glukosa biasanya normal, pandy (-) atau (+)
 Diagnosis pasti dengan mengisolasi virus dari LCS.
2. EEG: Sering menunjukkan aktivitas listrik yang merendah sesuai dengan kesadaran yang
menurun
3. Neuroimaging meliputi MRI atau CT scan. Tampak edema cerebri difuse maupun fokal.
Tatalaksana
1. Ensefalitis dapat disebabkan oleh berbagai virus namun terapi antiviral spesifik ditujukan
ensefalitis virus yang disebabkan oleh herpes virus khususnya herper simplex ensefalitis
dengan diagnosis pasti pemeriksaan PCR. Apabila didapatkan klinis kejang fokal maka dapat
diberikan asiklovir intravena dengan dosis 10 mg/kg BB tiap 8 jam pada anak dengan fungsi
ginjal yang baik, dan 20 mg/kgBB iv setiap 8 jam pada neonatus yang diberikan sesegera
mungkin untuk menurunkan angka kematian dan sekuele. Bila dalam observasi 3 hari
mengalami perbaikan maka asiklovir diteruskan hingga 14 hari, namun bila tidak ada perbaikan
maka terapi dihentikan (EBM level A I). Bila dicurigai infeksi bakterial dapat diterapi dengan
terapi empiris sesuai terapi meningitis bakterialis.(EBM level A-III)
2. Simptomatik
a. Kejang diatasi sesuai dengan tatalaksana kejang
b. Hiperpireksia diatasi dengan:
i. surface cooling: es ditempatkan pada pembuluh darah besar yang letaknya
superfisial
ii. antipiretik
iii. meniup udara/mendinginkan udara sekitarnya.
iv. hibernasi, diberikan klorpromazin 2 mg/kgBB/hari atau prometasin 4 mg/kgBB/hari
secara IV atau IM dalam tiga kali pemberian
c. Untuk mengatasi edema otak diberikan kortikosteroid deksametason 0,2-0,3
mg/kgBB/kali dalam 3 kali pemberian, selama 4-5 hari.
3. Suportif
 Pemberian cairan : dilakukan retriksi cairan, jenis cairan diberikan cairan (Dekstrose 5 %
+ NaCI 15%), dengan perbandingan 2 : 1. jumlah cairan pada hari pertama 70 % dari
kebutuhan maintenance.
 Bila edema otak diterapi sesuai penatalaksanaan edema otak
 Pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
 Posisi diubah-ubah
 Nutrisi yang adekuat
4. Tindak lanjut
 Mencari dan mengobati penyakit penyerta
 Fisioterapi bila sekuelle (+). Dilakukan 1 minggu tidak panas

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga akan adanya kemungkinan gejala sisa.
2. Jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait
3. Memberitahu tentang pentingnya pemantauan tumbuh kembang pasca rawat

Prognosis
1. Tergantung dari penyebab ensefalitis
2. Ada tidaknya gejala sisa pasca rawat

Referensi
Menkes Jhon H. Child neurology. seventh edition chapter 7. Lippincolt: 2006.
Pediatric neurology : Principles and practices. fourth edition chapter 64
Saharso darto. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku ajar neurologiIDAI.Jakarta: 2000
Swaiman’s Pediatric Neurology principle Chapter 80
Allan R. Tunkel, Carol A et al. The management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by
the Infectious Disease Society of America. 2008
ACUTE FLACCID PARALYSIS
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Kasus AFP adalah semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid
(layuh), terjadi secara akut (mendadak/<14 hari) dan bukan disebabkan oleh ruda paksa

A. Kriteria Diagnosis
Anamnesis
 Kelumpuhan bersifat flaccid ( layuh ) yang terjadi < 14 hari
 Riwayat trauma disangkal

B. Pemeriksaan Fisis
Tergantung bentuk klinis

Kriteria Diagnosis
 Gejala klinis
 Pemeriksaan Fisis
 Laboratorium

Diagnosis
Klinis Acute Flaccid Paralysis dengan kemungkinan diagnosis SGB, Myelitis Transversa, Poliomyelitis
paralitika, neuritis traumatika, Chronic Inflammatory Demyelinating Polineuropathy

C. Pemeriksaan Penunjang
 LCS
 EMG
 MRI

Tatalaksana
1. Segera lapor ke Dinas Kesehatan setempat (termasuk laporan KLB)
2. Suportif
 Istirahat selama fase akut. Bila keadaan berat istirahat mutlak 2 minggu
 Pengawasan ketat akan terjadinya paralise pernafasan
 Kepala anak diletakkan lebih rendah dan dimniringkan ke salah satu sisi bila refleks
menelan terganggu
3. Simptomatik
 Antipiretik bila demam
 Keteterisasi bila retensi urin
 Bantuan pernafasan mekanis bila paralise pernafasan di ruang perawatan khusus
4. Pengambilan spesimen feses
Pengambilan spesimen 2x dengan interval 24 jam
Syarat : - berat feses > 8 gram
- tidak dalam keadaan kering
- suhu dalam kontainer pengiriman 00–80 C atau masih ada cold pack yang baku
5. Fisioterapi
Dilakukan untuk mencegah atrofi, kontraktur dan kelemahan otot

Edukasi
Pengawasan ketat akan terjadinya paralise pernafasan
2.Lapor ke dinas kesehatan
3. Pemantauan adanya defisit neurologis
4. Rutin fisioterapi

Prognosis
Poliomielitis dapat menyebabkan atrofi asimetris berat dan deformitas skeletal. Paralitik poliomielitis
dapat menyebabkan kematian akibat paralisis bulbar oleh gagal napas.

Target Lama Perawatan


7 - 14 Hari

Tatalaksana
Pediatric Neurology: Principles and Practice fourth edition
Menkes. Child Neurology chapter 9
Valeria Sansone, Giovanni Meolaet al. Treatment for periodic paralysis. Cochrane library 2007.
Arthur Marx et al. Differential diagnosis acute flaccid paralysis and its role in
poliomyelitissurveilance.
MIELITIS TRANSVERSA
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Penyakit ini ditandai kelumpuhan progresif disertai hilangnya fungsi perasa dan fungsi otot sphingter, dan
biasanya didahului oleh infeksi pernapasan.

Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
 Ada demam
 Kelumpuhan bersifat akut, simetris pada tungkai bawah dengan progresifitas kelumpuhan
beberapa jam sampai 4 hari

B. Pemeriksaan Fisis
 Paraparesis
 Gangguan sensorik
 Reflex fisiologis meningkat, klonus (+)
 Gangguan syaraf otonom

Kriteria Diagnosis
 Anamnesis
 Pemeriksaan Fisis
 LCS : pleiositosis dan peningkatan protein
 CT Mielografi : pembengkakan medulla spinalis

Diagnosis
Myelitis Transversa

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah dan LCS tidak khas, MRI untuk menyingkirkan penyebab paraparese
inferior lain serta SOL.

Terapi
Hanya tindakan suportif, penggunaan steroid masih kontroversial

Prognosis
Prognosis biasanya baik, 60% sembuh sempurna dan 15 % menimbulkan gejala sisa.
Penyembuhan berangsur setelah 1 bulan dan sembuh total dalam 6 bulan.
Sebanyak 43% pasien dapat berjan pada sekitar 3,2 tahun setelah penyakit akut, 54% dengan disistesis
yang menetap dan 68 % memerlukan kateterisasi urine. (EBM level 3)
Tingkat Evidence: II/III/IV

Referensi
Lagido Agustan, Tenembaun SN. Catsetos CD. Autoimmune and post infectious disease. Jhon
H Menkes, Harvei BS.. in Child Neurology.Chapter 8. Lippincott: 2006.
Infection and Autoimmune Diseases Affecting Motor Neurons of the Spinal Cord. Swaiman’s
Pediatric Neurology principle. Chapter 88. P 1497-8
Buku ajar neurologiIDAI.Jakarta: 2000
Pidcock et al. Acute transverse myelitis in childhood: center based analysis of 47 cases.
Pubmed: 2007 May
TRAUMA KEPALA PADA ANAK
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Trauma kepala pada anak adalah keadaan yang disebabkan jejas pada kepala baik disertai
maupun tidak disertai lesi pada isinya.
Trauma kepala yang bermakna adalah trauma yang diikuti oleh satu atau lebih hal sebagai
berikut :
 Periode tidak sadar
 Muntah-muntah
 Fraktur tengkorak
 Amnesia retrograd
 Menurunnya derajat kesadaran
 Adanya defisit neurologis lainnya (afasia, hemiparesis, refleks patologis, kelumpuhan syaraf
otak)

Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
 tanyakan waktu, cara dan beratnya trauma
 adanya mual, muntah, dan irritabilitas
 Penurunan kesadaran, kejang

B. Pemeriksaan Fisis
a. tanda-tanda vital : nadi, pernafasan, suhu, tekanan darah, kesadaran/GCS.
b. Lakukan pemeriksaan neurologis lengkap dengan perhatian khusus pada pupil, syaraf
kranial dan fungsi motorik
c. Bentuk jejas di kepala
d. Kelainan di tempat lain : mata, telinga, hidung, leher, rongga thoraks, abdomen dan
ekstremitas
Nilai kesadaran penderita dengan skala koma Glasgow pediatrik

Nilai
Membuka mata :
 Spontan 4
 Terhadap bicara 3
 Terhadap nyeri 2
 Tidak ada 1
Respons motorik
 Mengikuti perintah 5
 Lokalisasi nyeri 4
 Fleksi terhadap nyeri 3
 Ektensi terhadap nyeri 2
 Tidak ada 1
Respons verbal
 Terorientasi 5
 Kata-kata 4
 Suara 3
 Menangis 2
 Tidak ada 1

Skor normal :
 Lahir – 6 bulan 9
 6-12 bulan 11
 1-2 tahun 12
 2-5 tahun 13
 > 5 tahun 14

Kriteria Diagnosis
 Anamnesis à riwayat trauma
 Pemeriksaan Fisis
 Pemeriksaan penunjang

Diagnosis
Trauma kepala pada anak

C. Pemeriksaan Penunjang
 Foto rontgen kepala bila ada fraktur linear/fraktur impresio
 CT-Scan kepala:
Berdasarkan Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN2009), CT Scan kepala harus
dilakukan pada anak dengan trauma kepala bila Skala Koma Glasgow ≤ 13 pada evaluasi
awal:
 Hilang kesadaran lebih dari lima menit
 Dicurigai adanya fraktur tengkorak atau ubun-ubun yang tegang adanya kelainan
neurologis dan tanda-tanda fraktur dasar tengkorak.
CT Scandipertimbangkan dalam 8 jam pasca trauma bila terdapat:
 kemerahan/bengkak/laserasi lebih dari 5 cm di kepala
 kejang pasca trauma tanpa riwayat epilepsi
 amnesia lebih dari 5 menit, kecurigaan trauma kepala bukan karena kecelakaan
 jatuh yang bermakna
 tiga atau lebih episode muntah, pusing, atau respon lambat
 usia kurang dari satu tahun dengan Skala Koma Glasgow <15
 EEG bila terdapat gangguan kesadaran yang lama dan kejang
 USG kepala pada trauma lahir atau fontanela belum menutup

Terapi
 Perbaiki jalan nafas, bila perlu pernafasan buatan dan intubasi
 Atasi kejang dan shock
 Pemberian cairan intravena, diberikan 75% dari kebutuhan untuk mengurangi edema otak
 Obati edema otak dengan natrium hipertomik (NaCl 3%) mampu menurunkan TIK dengan
mempertahankan tekanan osmolar parenkim otak. NaCl 3% diberikan bolus dalam 5 menit
dengan dosis 2-4 ml/kgBB IV. Dihentikan bila kadar natrium >155 mEq/L (EBM level I)
 Antibiotika diberikan pada luka yang kotor
 Toksoid tetanus diberikan sebagai profilaksis pada luka yang kotor dan bila anak belum
mendapat booster dalam 4 tahun
 Pemberian nutrisi yang adekuat
 Observasi terhadap fungsi vital dan gejala neurologis
 konsultasi
- Bagian bedah syaraf bila ada kecurigaan terhadap trauma kapitis maligna
- Bagian bedah umum bila ada trauma di tempat lain (trauma thoraks, trauma abdomen,
dan fraktur).

Edukasi
1. Trauma kepala ringan tanpa penurunan kesadaran dapat dirawat di rumah
2. Tirah baring selama 3 hari.
3. Selama observasi di rumah anak sebaiknya tidak minum obat anti muntah, karena dapat
membuat gejala muntah tertutupi. Analgetik diberikan jika perlu.
4. Pengawasan dilakukan dengan memeriksa anak setiap 2-3 jam per hari sampai 72 jam
setelah jatuh.
5. Anak segera dibawa ke rumah sakit, jika selama observasi didapatkan: Anak tampak tidur
terus atau tidak sadar

Prognosis
 Tergantung dari berat ringannya dari cedera yang ditimbulkan
 Tergantung GCS yang rendah, pupil tidak reaktif dan terdapatnya cedera kepala
ekstrakranial mayor.
 Pada cedera kepala tertutup pada ¼ anak yang bertahan maka kesadaran akan kembali
kurang dari 24 jam. Perbaikan sempurna namun kadang terjadi transient sequele.
Kebocoran pada LCS dapat menyebabkan meningitis sekunder, post-traumatic epilepsi,
dan dapat berkembang menjadi carotid artery–cavernous sinus fistula. Communicating
hydrocephalus lebih sering disebabkan perdarahan subarachnoid.

Kepustakaan
Menkes. Child neurology chapter 9. Lippincott Williams & Wilkins. 2006
Lazuardi Samuel. Trauma Kapitis pada Anak. Buku Ajar Neurologi Anak. IDAI. Jakarta: 2000
Puldjiadi Antonius, Hegar Briul, HandyastutiSsetyo, et al. Trauma kepala. Panduan praktek
klinis IDAI. Balai penerbit IDAI : 2011
MRC CRASH trial collaboration.2008
CEFALGIA
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)

Cefalgia adalah nyeri atau sakit sekitar kepala, termasuk nyeri di belakang mata serta perbatasan antara leher dan
kepala bagian belakang

Secara garis besar, penyebab cefalgia dapat dibagi 5 kategori, antara lain:
 Nyeri kepala vaskuler
 Muskuloskeletal (nyeri kepala tegang otot)
 Organik (tumor, malformasi, dan ensefalopati)
 Psikogenik
 Lain-lain (peradangan,arthritis, neuralgia)
Pola sakit Kemungkinan penyebabnya
kepala
Akut Terlokalisir
 Infeksi saluran nafas akut seperti sinusitis, otitis media
 Kerusakan pada gigi seperti abses gigi, disfungsi
sendi temporomandibular
Infeksi sistemik seperti mengitis
Sentral : perdarahan akut intrakranial
Akut rekuren Migrain
Kronis non Penyebab psikis
progresif
Kronis Space occupying lesion. Hipertensi intrakranial jinak
progresif

Kriteria Diagnosa
A. Anamnesis
Saat sakit kepala muncul, lokasi, kualitas, frekuensi, durasi, beratnya sakit kepala, gangguan
aktivitas sehari-hari oleh sakit kepala, gejala prodormal atau aura yang mendahului sakit
kepala, riwayat trauma kepala, adakah defisit neurologis sebelum, selama dan sesudah sakit
kepala, riwayat keluarga sakit kepala. Adanya depresi, gangguan emosi

B. Pemeriksaan Fisis
 Keadaan umum pasien dan status mentalnya
 Ada kelainan pada kekuatan otot, reflex, dan koordinasinya. Terutama otot-otot leher dan
bahu.
 Cari abnormalitas dari gigi dan gusi serta struktur kranial dan wajah lainnya.
 Pemeriksaan saraf kranial, cerebellum, sensoris, fungsi motorik termasuk refleks untuk
mencari kelainan tumor atau vaskuler di hemisphere cereberi, cerebellum, atau batang
otak.
 Pemeriksaan rangsang meningeal
 Pemeriksaan funduskopi

Kriteria Diagnosis
 Gejala klinis
 Pemeriksaan Fisis
 Laboratorium
Diagnosis
Cefalgia

Differential Diagnosis
1. Sefalgia Primer : bila tidak ditemukan penyebab organik dari suatu sakit kepala. Yang
termasuk cefalgia primer yaitu migrain, tension-typed headache, dan cluster headache.
2. Sefalgia Sekunder : bila didapat penyebab organik yang mendasari keluhan sakit kepala
pada penderita.
Penyebab sefalgia sekunder:
 Sefalgia yang berhubungan dengan trauma kepala atau leher
 Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan vaskuler kepala dan servikal
 Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan intrakranial nonvaskuler
 Sefalgia yang berhubungan dengan infeksi
 Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan hemostasis
 Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan cranium, leher, mata, telinga, hidung,
sinus, gigi, mulut, atau stuktur kranial atau wajah lainnya
3. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan psikiatri

Pemeriksaan Fisis
 Keadaan umum pasien dan status mentalnya
 Ada kelainan pada kekuatan otot, reflex, dan koordinasinya. Terutama otot-otot leher dan
bahu.
 Cari abnormalitas dari gigi dan gusi serta struktur kranial dan wajah lainnya.
 Pemeriksaan saraf kranial, cerebellum, sensoris, fungsi motorik termasuk reflex untuk
mencari kelainan tumor atau vaskuler di hemisphere cereberi, cerebellum, atau batang
otak.
 Pemeriksaan rangsang meningeal
 Pemeriksaan funduskopi

C. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium darah, LED
 Lumbal Pungsi
 Elektroensefalografi
 CT Scan Kepala, MRI

Tatalaksana
1.Cefalgia primer
A. Migrain
 Istirahat
 Analgetik : ibuprofen (10 mg/kgBB/kali) atau naproxen (10 mg/KgBB/kali)
 Jika sakit kepala moderat dan berat dipertimbangkan diberi Triptans
 Di follow up selama 12 - 24 jam jika tidak membaik: pemberian obat parenteral di UGD
dengan Triptans, atau dihydroergotamin (1 mg), atau asam valproat jika membaik nilai
frekuensi migrain
 Frekuensi migrain < 2x/bulan tidak ada profilaksis
 Frekuensi migrain ≥ 2x/bulan diobati profilaksis dengan Cyproheptadine (0,1
mg/kgBB/kali), atau propanolol (0,2-0,5 mg/kgBB/kali), atau amitriptilin (0,5-1
mg/kgBB/kali).Kemudian di follow up frekuensi migraine selama 1 – 3 bulan. Kalau
membaik tidak diobati, kalau tidak membaik diterapi dengan biofeedback, latihan
relaksasi, riboflavin, tablet valproat extended release (5mg/kgBB/kali), gabapentin
(2mg/kgBB/kali), topiramate (1mg/kgBB/kali) atau verapamil (1-3 mg/kgBB/kali)
B. Tension Headache
 Istirahat
 Analgetik, contohnya parasetamol
 Dipertimbangkan : terapi relaksasi, biofeedback, terapi massage, tizanidine (0,01
mg/kgBB/kali) , amitriptilin (0,5-1 mg/kgBB/kali)
 Dinilai selama 1 – 3 bulan
Jika tidak ada perbaikan pertimbangkan untuk pemberian konseling psikologi, injeksi trigger
point, injeksi Botox
C. Cluster Headache
 Fase akut: oksigen atau ergotamine (1mg/hari) atau sumatriptan
 Preventif: verapamil, litium, ergotamine, metisergit, kortikosteroid, topiramat

2.Cefalgia sekunder
Diatasi penyakit yang mendasarinya

Edukasi
Pengawasan terhadap nyeri kepala
Prognosis
Tergantung jenis nyeri kepala
Referensi
Rothner David, Menkes Jhon. Headaches and Nonepileptic Episodic Disorder. Menkes. Child
neurology chapter 15
Pediatric neurology: Principle and Practice chapter 48
Nyeri kepala pada anak dan Remaja.Buku Ajar Neurologi.IDAI. Jakarta:2000
Law S et al, Triptans for acute cluster headach. cochrane summaries.2013
Parasetamol (acetaminofphen) for acute episodic tension- type headache
SPASME INFANTIL
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Merupakan sindrom epilepsi yang banyak ditemukan, sering diklasifikasikan di dalam epilepsi
mioklonik, yang muncul di masa perkembangan otak bayi (tahun pertama kehidupan),
khususnya usia 3-8 bulan.

Kriteria Diagnosa
A. Anamnesis
 Waktu terjadinya à onset 3-7 bulan
 Riwayat keluarga à pada 3-6 % kasus
 Adanya kejang umum atau parsial

Anamnesis
 Spasme à fleksor, ekstensor atau campuran
 Defisit neurologis à kelumpuhan spastic, mikrosefali
 Retardasi mental

Kriteria Diagnosis
1. Kontraksi otot bilateral simetris yang timbul tiba-tiba
2. Adanya 3 bentuk bangkitan : fleksi, ekstensi dan campuran
3. EEG à hipsaritmia

Diagnosis
Spasme infantil

Differential Diagnosis
Sindrom Lennox Gastaut

Bentuk Klinis (Klasifikasi)


Berdasarkan etiologi ada 3 tipe :
 Bentuk primer / kriptogenik
Perkembangan sebelum onset normal.
Faktor etiologi tidak jelas
 Bentuk sekunder / simptomatik
Perkembangan sebelum onset terganggu/sudah ada bangkitan-
bangkitanyang tidak khas
Faktor etiologi jelas:
- faktor prenatal dan prinatal: HIE, infeksi kongenital, kelainanmetabolisme bawaan
tuberous sklerosis, prematuritas
- faktor pascanatal: infeksi SSP, trauma kepala
 Bentuk tersier /doubtfull
Perkembangan sebelum onset terganggu
Etiologi tidak jelas

B. Pemeriksaan Penunjang
1. EEG: Gambaran khas adalah hipsaritmia, yaitu adanya gelombang-gelombang “spike” dan
lambat yang timbul di seluruh bagian korteks tetapi tidak sinkron.
2. CT scan tidak khas

Tatalaksana
 ACTH 40-80 Unit IM dalam 2 dosis
Dimulai dalam dosis besar selama 1-2 minggu, lama pengobatan seluruhnya 4 minggu.
Pengobatan dihentikan bila tidak ada perbaikan klinis dalam 2 minggu. Bila terdapat
perbaikan dengan klinis hilangnya spasme dan hipsaritmia maka dosis ini dipertahankan
kemuadian diturunkan secara bertahap setengah dari dosis. Bila ACTH tidak tersedia
maka dapat diberikan metil prednisolone 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis.
Lama dan indikasi sama dengan golongan ACTH.
 Nitrazepam (mogadon). 0,1-2,2 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Mula-mula dosis rendah
dan dinaikkan perlahan-lahan sampai kejang terkontrol. Biasanya digunakan pada
spasme infantile simptomatik.
 Klonazepam, dosis 0,025-0,15 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Digunakan pada tipe
simptomatik.
 Asam valproat 10-40 mg/kgBB/hari. Dimulai dengan dosis rendah.

Edukasi
Pengawasan terhadap kejang

Prognosis
Prognosis baik :
 Kelompok primer
 Perkembangan mental dan motor normal sebelum onset
 Tidak ada kejang jenis lain
 Pengobatan dini
 Spasme hanya berlangsung beberapa bulan
Prognosis buruk :
 Kelompok sekunder
 Perkembangan mental dan motor abnormal sebelum onset
 Ada kejang jenis lain
Onset sebelum 3 bulan.

Tingkat Evidence: II/IV

Referensi
Pediatric Neurology: Principles and Practice fourth edition
Raman Sankar, Susan Koh, Joyce Wu, John H. Menkes. Paroxysmal Disorder. MenkesChild
neurology seventh edition Chapter 14
Sindrom Epilepsi Pada Bayi dan Anak. Buku Ajar Neurologi Bab 10. IDAI.Jakarta:2000
Hur YJ et al. Electroencephalography features of primary epileptogenic regions in surgically
treated MRI-negatife infantile spasms. Pubmed. 2010
Hirtz D, Berd A, Bettis D, et al. Practise parameter: Treatment of thechild with first unprofoked
seizure. American Academy Neurology
UNPROVOKED SEIZURE
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Pengertian (Definisi)
Kejang yang tidak diprovokasi dengan adanya penyakit, demam, atau trauma akut pada otak

Kriteria Diagnosa
A. Anamnesis
 Kejang : lama, frekuensi, sifat, tipe, interval, kondisi inter iktal dan post iktal
 Gejala sebelum kejang, termasuk riwayat demam, jarak demam dan terjadinya kejang
 Riwayat trauma
 Riwayat kejang sebelumnya
 Riwayat kejang dalam keluarga
 Kelainan neurologis
 Kelainan metabolik

B. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan keadaan umum dan pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan lab darah pada anak usia > 6 bulan biasanya normal
 LP: dilakukan apabila terdapat tanda klinis meningitis atau ensefalitis (misalnya pasien
dibawah usia 6 bulan, pasien dengan tanda GRM (+))
 EEG merupakan pemeriksaan standar yang harus dilakukan untuk menentukan tipe kejang
dan epilepsi sindrom.
 CT scan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding perdarahan, massa intrakranial,
edema cerebri.

Kriteria Diagnosis
Sangat ditentukan anamnesis serangan kejang tanpa demam pertama kali. Bila pemeriksaan
neurologis dan status mental normal maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

Differential Diagnosis
Breath Holding Spells
Syncope with clonic jerks
Benign Sleep myoclonus
Motor tics
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan darah lengkap,elektrolit, kreatinin, glukosa)
Tidak dikerjakan rutin tetapi dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam atau keadaan lain:
2. Fungsi lumbal
Dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis
3. EEG: sebaiknya dilakukan baik pada saat anak sadar dan tidur dan diberikan stimulasifotik
atau hiperventilasi untuk memperakurat diagnosis.

Tatalaksana
 Obat anti epilepsi tidak diindikasikan untuk mencegah terjadinya epilepsi. (Level B)
 Obat anti epilepsi dapat dipertimbangkan ketika keuntungan dalam menurunkan risiko
terjadinya kejang ke dua lebih banyak daripada risiko efek samping farmakologi dan
psikososial. (Level B)

Edukasi
1. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
2. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat

Prognosis
Pada umumnya anak dengan kejang pertama kali (firstunprovoked seizure) memiliki
kemungkinan untuk kembali kejang sebesar 40%, bila kejang berulang untuk ketiga kalinya
maka kemungkinan berulang 80% (EBM level II)
Bila terdapat EEG abnormal maka risiko untuk terjadinya rekurensi akan meningkat.

Referensi
Champhiel, Carold. Peter R. Pediatric epilepsy an overview. In Swaiman’s Pediatric Neurology
Principle& Practice. Fifth edition. Chapter 50: 2012. P 1951-53
The epilepsie. Child Neurology sixth edition chapter 13. Hirtz D, Ashwal S, Berg A et al. Practice
paramete: evaluating a first nonfebrile sizure in children. Report of the quality standard
subcommitee of American Academy of Neurology , the Child Neurology Society, and the
American Epilepsy Society.2000; 55:616-23
Gloss D, Nolan SJ, Staba R. The role of high-frequency oscillations in epilepsy surgery planning.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2014. Issue 1.
D. Hirtz, A. Berg, D. Bettis, et al. Practice parameter: Treatment of the child with a first unprovoked
seizure
2003;60;166-175
STANDAR PROSEDUR
PUNGSI LUMBAL
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Definisi
Memasukkan jarum pada pada dura melalui processus spinossus L4-L5 /L5-S1 untuk mengambil
cairan otak (liquor cerebrospinalis) dilakukan pada bayi dan anak

Tujuan
1. Menegakkan diagnosis
2. Untuk pengobatan

Kebijakan
SK NO: UK.01.01/II/533/2014 Tentang Kebijakan Pelayanan
SK NO: UK.01.01/II/436/2014 Tentang Kebijakan Pelayanan Medis oleh DPJP di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang

Prosedur
Persiapan Alat :
1. Jarum LP nomor 20G/22G
2. Larutan desinfektan ( betadine dan alkohol 70%)
3. Kain penutup (dock) steril berlubang
4. Sarung tangan steril
5. Botol bersih dan kering
6. Dua tabung yang berisi reagen Pandy dan Nonne
7. Dua tabung steril dan bertutup untuk menampung cairan serebrospinal
8. Kasa steril , plester

Cara kerja
1. Letakkan semua peralatan pada tempat yang mudah dicapai
2. Baringkan anak dengan posisi miring di meja tindakan
3. Tekuk kepala anak dengan memegang bagian leher
4. Dorong lutut anak kearah atas-depan hingga bertemu dengan kepala yang menunduk
5. Asisten/perawat berada di sebelah kiri-depan pasien membantu memegang anak
dengan posisi kedua tangan anak dijepit di antara kedua lutut, dan memegang leher
atau bahu serta pantat anak
6. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir
7. Gunakan sarung tangan steril
8. Tentukan tempat pungsi lumbal pada garis potong SIAS (Spina iliaka anterior –
superior) kiri dan kanan dengan kolumna vertebralis
9. Beri tanda pada daerah antara Lumbal 3 dan Lumbal 4 atau antara Lumbal 4 dan
Lumbal 5
10. Bersihkan tempat pungsi lumbal sekitar 10 cm ke semua arah dari tempat pungsi lumbal
dengan larutan yodium, kemudian dengan larutan alcohol 70%
11. Pasang kain penutup steril di daerah pungsi lumbal
12. Jarum pungsi lumbal ditusukkan di daerah yang telah ditentukan
13. Cabut mandren perlahan lahan setelah terasa menembus jaringan, cairan serebrospinal
akan keluar dari jarum pungsi lumbal
14. Putar jarum 90°bila cairan serebrospinal belum keluar
15. Tampung cairan serebrospinal dalam botol steril
16. Masukkan 1-2 tetes cairan serebrospinal ke dalam tabung reaksi yang telah diisi dengan
1 ml larutan fenol jenuh
17. Perhatikan warna cairan dan endapan dalam tabung tersebut
18. Masukkan 0,5 ml cairan serebrospinal ke dalam tabung reaksi yang telah diisi larutan
ammonium-sulfat jenuh
19. Perhatikan tanda cincin putih pada cairan serebrospinal
20. sesudah melakukan lumbalpungsi , cuci tangan dengan sabun atau desinfektan pada air
yang mengalir.

Unit Terkait
1. instalasi Rawat Inap
2. instalasi Rawat Jalan
3. instalasi Rawat Darurat
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PENATALAKSANAAN KEJANG AKUT
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Definisi
Panduan penatalaksanaan kedaruratan medis yang mengancam jiwa akibat manifestasi
klinis dari kelainan SSP atau penyakit sistemik yang menimbulkan gangguan SSP
Tujuan
1. Menjamin oksigenasi jaringan otak, serta fungsi jantung dan paru.
2. Mengatasi kejang secepat mungkin dan mencegah berulangnya kejang.
3. Memperbaiki gangguan metabolisme dan keseimbangan air dan elektrolit.
4. Mencegah komplikasi sistemik.
5. Mengenal dan mengobati penyebab naiknya suhu

Prosedur
Persiapan Alat :
1. Oksigen
2. Selang oksigen
3. Spuit 5-10 cc
4. Termometer
5. Suction
6. Selang infus, botol infus (NaCl)
7. Saturasioksigen
8. Obat-obatan ( diazepam, fenitoin, fenobarbital, midazolam)

Langkah-langkah :
1. Atasi dan cegah berulangnya kejang. Semua anak yang dalam keadaan kejang pada saat
pemeriksaan, apapun penyebabnya, obat pilihan adalah diazepam, baik secara perenteral
ataupun perrektal.
2. Perawatan umum
Sementara mengatasi kejang, diberi pertolongan untuk memperbaiki dan menjamin
oksigenasi otak dengan jalan:
a. Berikan oksigen
b. Longgarkan pakaian ketat
c. Bersihkan jalan nafas, hisap cairan dari rongga mulut dan saluran pernafasan
d. Anak diletakkan dalam posisi semi trendelenberg
e. Cegah aspirasi dengan posisi kepala anak dimiringkan
f. Turunkan suhu bila panas dengan cara:
 Meniupkan udara dingin
 Mendinginkan udara sekitarnya
 Kompres dengan es atau alkohol
 Antipiretik : parasetamol 30–50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau Asetosal 60
mg/tahun umur/kali, 3 kali perhari
3. Diazepam rectal dapat diberikan di rumah (maksimum diberikan 2 kali berturut-turut dengan
jarak 5 menit bila anak masih kejang) Dosis diazepam retal adalah:
 5 mg anak < 3 tahun atau dosis 7,5 mg anak> 3 tahun
 5 mg BB < 10 kg dan 10 mg BB> 10 kg, atau 0,5 – 0,75 mg/kg BB/kali
4. Diazepam dapat diberikan intravena 0,2 – 0,5 mg/kgBB dengan kecepatan 0,5 –1 mg per
menit.
5. Bila masih kejang fenitoin intravena 20 mg/kgBB perlahan, maintenance 10 mg/kgBB
dibagi 2 dosis.
6. Apabila masih tetap kejang PICU dan penatalaksanaan status epileptikus
7. Jika kejang berulang 3 kali atau lebih atau kejang berlangsung 10 menit pasang cairan
intravena
8. Pemberian fenitoin harus diencerkan dengan 10 mg/1 ml NaCL 0,9%,berikan bolus atau
drip dengan kecepatan 50 mg/menit, dosis maksimal 30 mg/kgbb (1000 mg)
9. Pemberian fenobarbital Tidak perlu diencerkan, bolus dengan kecepatan 50 mg/menit,
dosis maksimal 30 mg/kgbb (1000 mg)
10. Pemberian midazolam Jangan takut – berikan bolus 0,2 mg/kgbb dilanjutkan drip 0,02
mg/kgbb/jam
11. Kejang berhenti dengan Midazolam Berikan dosis rumatan fenitoin dan Fenobarbital 4 – 7
mg/kgbb
12. Bila kejang lebih dari 30 menit, maka untuk mengatasi edema otak yang dapat terjadi
diberikan kortikosteroid : Deksametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari, lama
pemberian 4–5 hari. Bila ada tanda herniasi : pernafasan tidak teratur, bradipnoe,
kesadaran makin menurun, diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25–1 gram/kgBB/kali
intravena. Diberikan dalam waktu ½ jam dapat diulang tiap 8 jam. Berikan cairan dengan
kadar natrium yang rendah yaitu cairan 2 : 1 dan jumlah cairan pada hari pertama 70% dari
kebutuhan maintenance. Kalau tidak tersedia manitol dapat juga diberikan gliserol 10%
dengan dosis 0,5–1 gram/kgBB/hari peroral diberikan 4 dosis.
13. Cari etiologi
– Periksa Na, Mg, Ca, gula darah
– Pungsilumbal, EEG dan CT/MRI kepala
Algoritma

Referensi
Menkes Jhon H. Child neurology. seventh edition chapter 7. Lippincolt: 2006.
Pediatric neurology : Principles and practices. fourth edition chapter 64
Saharso darto. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku ajar neurologiIDAI.Jakarta: 2000
Swaiman’s Pediatric Neurology principle Chapter 80
Allan R. Tunkel, Carol A et al. The management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by
the Infectious Disease Society of America. 2008
STANDAR PROSEDUR
PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS
Dr. H. Syarif Darwin SpA(K),, Dr. Msy. Rita Dewi, SpA (K), Dr. RM. Indra , SpA(K)

Definisi
Panduan penatalaksanaan kedaruratan medis yang mengancam jiwa akibat manifestasi
klinis dari kelainan SSP atau penyakit sistemik yang menimbulkan gangguan SSP

Tujuan
6. Menjamin oksigenasi jaringan otak, serta fungsi jantung dan paru.
7. Mengatasi kejang secepat mungkin dan mencegah berulangnya kejang.
8. Memperbaiki gangguan metabolisme dan keseimbangan air dan elektrolit.
9. Mencegah komplikasi sistemik.
10. Mengenal dan mengobati penyebab naiknya suhu

Kebijakan
SK NO: UK.01.01/II/533/2014 Tentang Kebijakan Pelayanan
SK NO: UK.01.01/II/436/2014 Tentang Kebijakan Pelayanan Medis oleh DPJP di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang

Prosedur
Persiapan Alat :
9. Oksigen
10. Selang oksigen
11. Spuit 5-10 cc
12. Termometer
13. Suction
14. Selang infus, botol infus (NaCl)
15. Saturasioksigen
16. Obat-obatan ( diazepam, fenitoin, fenobarbital, midazolam)

Langkah-langkah :
14. Atasi dan cegah berulangnya kejang. Semua anak yang dalam keadaan kejang pada saat
pemeriksaan, apapun penyebabnya, obat pilihan adalah diazepam, baik secara perenteral
ataupun perrektal.
15. Perawatan umum
Sementara mengatasi kejang, diberi pertolongan untuk memperbaiki dan menjamin
oksigenasi otak dengan jalan:
g. Berikan oksigen
h. Longgarkan pakaian ketat
i. Bersihkan jalan nafas, hisap cairan dari rongga mulut dan saluran pernafasan
j. Anak diletakkan dalam posisi semi trendelenberg
k. Cegah aspirasi dengan posisi kepala anak dimiringkan
l. Turunkan suhu bila panas dengan cara:
 Meniupkan udara dingin
 Mendinginkan udara sekitarnya
 Kompres dengan es atau alkohol
 Antipiretik : parasetamol 30–50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau Asetosal 60
mg/tahun umur/kali, 3 kali perhari
16. Diazepam rectal dapat diberikan di rumah (maksimum diberikan 2 kali berturut-turut dengan
jarak 5 menit bila anak masih kejang) Dosis diazepam retal adalah:
 5 mg anak < 3 tahun atau dosis 7,5 mg anak> 3 tahun
 5 mg BB < 10 kg dan 10 mg BB> 10 kg, atau 0,5 – 0,75 mg/kg BB/kali
17. Diazepam dapat diberikan intravena 0,2 – 0,5 mg/kgBB dengan kecepatan 0,5 –1 mg per
menit.
18. Bila masih kejang fenitoin intravena 20 mg/kgBB perlahan, maintenance 10 mg/kgBB
dibagi 2 dosis.
19. Apabila masih tetap kejang PICU dan penatalaksanaan status epileptikus
20. Jika kejang berulang 3 kali atau lebih atau kejang berlangsung 10 menit pasang cairan
intravena
21. Pemberian fenitoin harus diencerkan dengan 10 mg/1 ml NaCL 0,9%,berikan bolus atau
drip dengan kecepatan 50 mg/menit, dosis maksimal 30 mg/kgbb (1000 mg)
22. Pemberian fenobarbital Tidak perlu diencerkan, bolus dengan kecepatan 50 mg/menit,
dosis maksimal 30 mg/kgbb (1000 mg)
23. Pemberian midazolam Jangan takut – berikan bolus 0,2 mg/kgbb dilanjutkan drip 0,02
mg/kgbb/jam
24. Kejang berhenti dengan Midazolam Berikan dosis rumatan fenitoin dan Fenobarbital 4 – 7
mg/kgbb
25. Bila kejang lebih dari 30 menit, maka untuk mengatasi edema otak yang dapat terjadi
diberikan kortikosteroid : Deksametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari, lama
pemberian 4–5 hari. Bila ada tanda herniasi : pernafasan tidak teratur, bradipnoe,
kesadaran makin menurun, diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25–1 gram/kgBB/kali
intravena. Diberikan dalam waktu ½ jam dapat diulang tiap 8 jam. Berikan cairan dengan
kadar natrium yang rendah yaitu cairan 2 : 1 dan jumlah cairan pada hari pertama 70% dari
kebutuhan maintenance. Kalau tidak tersedia manitol dapat juga diberikan gliserol 10%
dengan dosis 0,5–1 gram/kgBB/hari peroral diberikan 4 dosis.
26. Cari etiologi
– Periksa Na, Mg, Ca, gula darah
– Pungsilumbal, EEG dan CT/MRI kepala
Algoritma

Referensi
Menkes Jhon H. Child neurology. seventh edition chapter 7. Lippincolt: 2006.
Pediatric neurology : Principles and practices. fourth edition chapter 64
Saharso darto. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku ajar neurologiIDAI.Jakarta: 2000
Swaiman’s Pediatric Neurology principle Chapter 80
Allan R. Tunkel, Carol A et al. The management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by
the Infectious Disease Society of America. 2008

Anda mungkin juga menyukai