Bulan
Variabel
Juli Agustus September
Titik panas (hot spot) 560 titik 3.565 titik 1.218 titik
Sumber: Pusdakarlahut, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Oktober 2006
Komposisi luas lahan yang dibakar dan terbakar terdiri dari kawasan hutan,
areal perkebunan besar dan lahan masyarakat. Sampai dengan pengamatan tanggal
20 0ktober 2006 luas lahan yang dibakar dan terbakar mencapai ± 4.797 ha. Dari
tiga pengamatan yang dilakukan selama 3 bulan terakhir, data Dinas Kehutanan
Provinsi Jambi memperlihatkan masih luasnya lahan yang terbakar dan dibakar.
Kawasan hutan memiliki porsi kebakaran lahan yang paling tinggi yaitu mencapai ±
2.375 ha. Areal perkebunan besar juga memiliki kontribusi yang besar memunculkan
kabut asap, dengan luas lahan yang terbakar mencapai ± 1.280 ha. Kebakaran lahan
di areal perusahaan perkebunan besar terjadi karena perusahaan perkebunan
memanfaatkan kondisi musim kemarau yang cukup panjang untuk melakukan
pembersihan lahan (land clearing) yang dipersiapkan untuk penanaman perkebunan
di awal musim hujan.
Disamping itu masyarakat juga memanfaatkan musim kemarau untuk
membuka dan membersihkan lahan untuk keperluan yang sama, dimana luas lahan
masyarakat yang terbakar dan dibakar mencapai ± 1.142 ha. Data Dinas Kehutanan
Provinsi Jambi mengindikasikan bahwa masyarakat juga melakukan pembakaran
lahan eks HPH yang ditinggalkan/ditelantarkan oleh pemilik HPH, dimana lahan eks
HPH ini dimanfaatkan oleh masyarakat juga untuk kepentingan pembukaan lahan
pertanian/perkebunan. Sementara itu, sampai dengan 20 Oktober 2006 data dari
Pusat Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan (Pusdakarlahut) Dinas Kehutanan
Provinsi Jambi memperkirakan masih ada sekitar ± 900 ha lahan yang terbakar dan
dibakar belum padam dan masih menimbulkan asap, sedangkan lahan yang telah
berhasil dipadamkan atau padam sendiri sebanyak ± 3.897 ha.
Bulan
Variabel dan Satuan
Juli Agustus September
1. Jumlah penerbangan (tiba dan
berangkat)/satuan kali 643 kali 734 kali 662 kali
penerbangan 68.106 org 67.239 org 62.938 org
2. Penumpang/satuan orang 298.867 kg 315.046 kg 325.910 kg
3. Barang (kargo)/satuan kilogram
Sumber: Bandara Sultan Thaha, Dinas Perhubungan Provinsi Jambi, Oktober 2006
Dari tabel 3 juga terlihat bahwa terjadi penumpukan barang yang belum
terkirim selama periode Juli-September 2006 di gudang kargo Bandara Sultan Thaha
akibat tidak adanya pesawat yang dapat mengangkut kargo dari perusahaan jasa
pengiriman barang di Provinsi jambi. Kondisi ini berdampak terhadap aktivitas pelaku
ekonomi seperti pada bulan oktober, terjadi penundaan pengangkutan kargo yang
memuat hampir 20.000 ekor udang Ketak atau udang Ronggeng dari nelayan di
Kuala Tungkal. Akibat sulitnya pengiriman mengakibatkan turunnya harga udang
sampai 50% pada tingkat nelayan. Pada sisi lain, dikarenakan adanya pengalihan
pengiriman melalui Palembang mengakibatkan naiknya ongkos kirim dari Kuala
Tungkal ke Palembang, yang disertai dengan risiko tinggi.
Sementara itu, untuk aktivitas masuknya barang dari daerah lain ke Provinsi
Jambi diperkirakan juga mengalami kondisi yang sama khususnya untuk barang-
barang yang didatangkan dari Pelabuhan Kuala Tungkal. Meskipun dampak
terganggunya transportasi tersebut bersifat sesaat, namun di beberapa lokasi pasar
juga ditemui kelangkaan beberapa komoditas barang yang didatangkan dari daerah
lain. Kondisi tersebut juga memberikan kontribusi terhadap kenaikan harga barang
yang didatangkan dari daerah lain, meskipun dampak yang dirasakan bersifat sesaat
dan jangka pendek.
b. Dampak Sosial Masyarakat
Meningkatnya pengeluaran masyarakat pada sektor kesehatan dalam bentuk
biaya kesehatan sebagai efek samping menurunnya kesehatan masyarakat. Hal ini
timbul karena banyaknya masyarakat yang menderita penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA). Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jambi menunjukkan
bahwa sampai dengan September 2006 penderita ISPA tercatat sebanyak 14.939
penderita. Jika diamati data dari bulan Januari-September 2006 pada tabel 4 di
bawah ini, terjadi peningkatan penderita ISPA terutama dalam tiga bulan terakhir
sebesar 17,71%.
Dalam tataran teoritis, kabut asap merupakan bentuk ekternalitas negatif
dari pembakaran dan terbakarnya lahan. Eksternalitas negatif ini memiliki keterkaitan
secara langsung terhadap naiknya pengeluaran tambahan untuk mengatasi dampak
yang ditimbulkan dalam bentuk biaya. Secara tidak langsung, efek eksternalitas
negatif akan mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat. Dampak lanjutan adalah
penurunan pendapatan masyarakat sebagai akibat naiknya pengeluaran rumah
tangga atas biaya kesehatan dan penurunan pendapatan sektor perhubungan
khususnya jasa transportasi akibat terganggunya kegiatan usaha (business circle).
Meskipun dampak eksternalitas negatif asap terjadi hanya pada satu periode waktu
tertentu (musim kemarau), namun intensitas pengulangan dampak tersebut terjadi
setiap tahun. Bila secara agregat diakumulasikan untuk periode waktu yang panjang,
maka dampak eksternalitas negatif asap akan menimbulkan pengaruh yang sangat
besar terhadap perekonomian nasional.
Bulan
Variabel
Juli Agustus September
Jumlah penderita ISPA 12.691 kasus 13.822 kasus 14.939 kasus
Sumber: P3M, Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, Oktober 2006
3. REKOMENDASI
Dari paparan tersebut di atas, beberapa hal yang dapat direkomedasikan
untuk mengatasi permasalahan asap yang disebabkan oleh pembakaran dan
terbakarnya lahan adalah:
a. Aspek Penegakan Hukum
Pemerintah baik pusat maupun daerah harus mempunyai komitmen yang
kuat dalam menjalankan perangkat hukum yang mampu menjerat pelaku
pembakaran lahan dengan mengenakan biaya kompensasi kerusakan/kerugian yang
diakibatkan oleh dampak eksternalitas negatif yang dihasilkan oleh perusahaan
perkebunan dan masyarakat yang membakar lahan. Tidak adanya law enforcement
dan kontrol dari penegak hukum meskipun dari sisi regulasi telah diatur dalam UU
No.41/1999 tentang Kehutanan dan PP No. 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan
Lingkungan, dan atau polusi yang disertai oleh Kebakaran Hutan dan Lahan menjadi
penyebab masih berlangsungnya pembakaran hutan secara terus-menerus baik yang
dilakukan oleh perusahaan maupun masyarakat.
b. Koordinasi antar Lembaga Pemerintah
Permasalahan lainnya adalah tidak adanya koordinasi antar lembaga dalam
menyelesaikan permasalahan lahan hutan seperti kantor menteri Kehutanan, Menteri
lingkungan, kementrian pertanian, Pemerintah provinsi, dsb., lambatnya respon
terhadap kasus kebakaran hutan adalah akibat keterbatasan SDM, peralatan, mesin
dan anggaran yang dialokasikan sehingga tidak adanya sistem yang mencukupi
untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan karena adanya insiden
kebakaran hutan. Pemerintah juga harus mengalokasikan dana yang cukup dalam
bentuk anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah untuk menyediakan fasilitas
dan tenaga kesehatan khusus untuk menanggulangi penyakit yang disebabkan kabut
asap secara terpadu, peralatan dan tenaga inti dan sukarela untuk mengantisipasi
kebakaran lahan.
Di sektor perhubungan terutama aktivitas transpotasi udara, masalah asap
telah mengakibatkan tertundanya pendaratan dan lepas landasnya pesawat di
pelabuhan udara. Hal ini disebabkan terbatasnya jarak pandang normal/minimal yang
disebabkan pekatnya asap, yang sangat dibutuhkan untuk melakukan pendaratan
dan penerbangan secara aman. Lebih jauh lagi, jika kepekatan asap menjadi semakin
tinggi dan jarak pandang menjadi semakin pendek, penutupan bandara dapat
terjadi. Kondisi ini berakibat tidak terangkutnya penumpang dan barang dari dan
keluar Provinsi Jambi.