Anda di halaman 1dari 60

[[

Demam Tifoid Kode ICD : A01-A02


DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Definisi Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat


akut yang disebabkan oleh Salmonella typhii

Salmonella typhii , bakteri Gram-negatif mempunyai antigen


somatik (O) terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) terdiri
Etiologi dari protein, envelope antigen terdiri dari polisakarida, dan
endotoksin terdiri dari lipopolisakarida. Plasmid faktor –R
berhubungan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik

Terdiri dari 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme


yaitu, :
(1) Penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch
(2) Multiplikasi bakteri di makrofag Peyer’s patch, nodus
limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal
Patogenesis RES
(3) Bakteri bertahan hidup dalam aliran darah (bakteremia)
(4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di
dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit
dan air ke dalam lumen intestinal
Masa inkubasi antara 5-40 hari degan rata-rata 10-14 hari

 Demam lebih dari 7 hari. Demam timbul insidius, naik


secara bertahap setiap hari, mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam bertahan tinggi,
pada minggu keempat demam turun perlahan secara lisis
(step-ladder temperature chart)
Anamnesis  Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi
 Gangguan GIT: anoreksia, muntah, nyeri perut,
konstipasi/diare, kembung, bau nafas tak sedap
 Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan
keasadaran, kejang, dan ikterus

 Gejala klinis bervariasi dari ringan sampai berat dengan


komplikasi
 Kesadaran menurun mulai apatis sampai koma, delirium.
Pada demam tifoid berat anak tampak toksik
Pemeriksaan fisik  Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak
 Rhagaden, typhoid tongue (bagian tengah kotor dengan tepi
hiperemis)
 Meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai
dibandingkan splenomegali
]  Apabila ditemukan gejala klinis seperti di atas, seorang
klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid
 Diagnosis pasti apabila ditemukan : Salmonella typhii (+)
Kriteria Diagnosis pada biakan darah, urine atau feses dan atau pemeriksaan
serologis didapatkan titer O Ag ≥ 1/200 atau meningkat
lebih dari 4 kali dalam interval 1 minggu (titer fase akut ke
fase konvalesens)

 Stadium dini : influenza, gastroenteritis, bronkitis,


Diffrential diagnosis bronkopneumonia
 Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, malaria
 Demam tifoid berat : sepsis, leukemia, limfoma
 Darah tepi
- Anemia, umumnya terjadi karena supresi sumsum
tulang, defisiensi besi, atau perdarahan usus
- Aneosinofilia
- Leukopenia
- Limfositosis relatif
- Trombositopenia
 Pemeriksaan serologi
- Serologi Widal titer O Ag ≥ 1/200 atau meningkat
Pemeriksaan lebih dari 4 kali dalam interval 1 minggu (titer fase
Penunjang akut ke fase konvalesens)
- Kadar IgM dan IgG (Typhii-dot)
 Biakan Salmonella
- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari
perjalanan penyakit
- Biakan dari urine atau feses kemungkinan
keberhasilan lebih kecil dibandingkan biakan darah
 Pemeriksaan radiologis : foto abdomen bila diduga terjadi
komplikasi intra intestinal (perforasi usus, perdarahan
saluran cerna)
 EKG bila dicurigai miokarditis

 Perawatan

- Isolasi
- Tirah baring sampai 7 hari bebas panas lalu
mobilisasi secara bertahap
 Diet

- Bebas serat tidak merangsang


- Tidak menimbulkan gas
Tatalaksana - Mudah dicerna
- Tidak dalam jumlah banyak
- Bila perlu makan personde atau IVFD
- Bubur saring sampai tujuh hari bebas panas, bubur
biasa 3 hari, kemudian makan biasa

 Medikamentosa

- Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari maksimal 2 g/hari,


sampai 7 hari bebas panas, minimal 10 hari
- Obat pengganti apabila panas tidak turun dalam 5
hari dengan pengobatan kloramfenikol*

 ampicillin 200 mg/hari dalam 4 dosis, atau


 trimetoprim-sulfametoxazol 10mg/kgBB/hari
(TMP) dan 50 mg/kgbb/hari (SMX) dalam 2
dosis (alergi penisilin), atau
 cefixime 15- 20 mg/ kgbb/hari selama 14 hari

*Apabila lekosit <2000/mm3 obat diganti dengan ampicillin,


atau trimetoprim-sulfametoxazol, atau cefixime dengan dosis
seperti diatas

 Demam tifoid berat:

- Kloramfenikol 100 mg/kgBB iv, atau


- Ceftriaxone 80 mg/kgBB/hari IV dosis tunggal
selama 5-7 hari, atau

 Bila panas tidak turun dalam 5 hari  pertimbangkan:


komplikasi, fokal infeksi lain, resisten, dosis tidak optimal,
diagnosis tidak tepat  pengobatan disesuaikan

 Pada ensepalopati tifoid diberikan juga dexametason


dengan dosis awal 3 mg/kgBB satu kali, dilanjutkan 1 mg/kg
BB/6 jam, sebanyak 8 kali (selama 48 jam), lalu distop
tanpa tapering off, reduksi cairan 4/5 kebutuhan, lakukan
pemeriksaan elektrolit  cairan disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan, LP bila tidak terdapat indikasi kontra, koreksi
asam basa (bila perlu)

 Bila terdapat peritonitis atau perdarahan saluran cerna:


pasien dipuasakan, pasang pipa nasogastrik, nutrisi
parenteral, transfusi darah (atas indikasi), foto abdomen 3
posisi, antibiotik sefalosporin generasi III parenteral. Bila
terjadi perforasi usus: konsultasi dengan bagian Bedah
untuk tindakan laparatomi

 Pengobatan penunjang :
- Beri cairan iv bila: dehidrasi, KU lemah, tidak dapat
makan peroral, atau timbul syok
- Terapi Demam Tifoid dengan syok sesuai dengan
standar penatalaksanaan berdasarkan penyebab
syok . (syok hipovolemik atau syok sepsis)
- Transfusi darah bila Hb <6gr% atau bila terdapat
gejala perdarahan yang jelas.

 Higiene perorangan dan lingkungan karena penularan lewat


oro-fekal
 Imunisasi :
- Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide) usia
Edukasi 2 tahun atau lebih (IM), diulang tiap 3 bulan
- Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia . 6
tahun dengan interval selang sehari (1,3,5), ulangan
setiap 3-5 tahun. Belum beredar di Indonesia,
terutama direkomendasikan untuk turis yang
bepergian ke daerah endemik
 Perforasi usus atau perdarahan saluran cerna
 Kolesistitis akut, kolesistitis kronik berhubungan dengan
terbentuknya batu empedu pada fenomena pembawa
kuman (carrier)
Komplikasi  Ekstra intestinal : ensefalopati tifoid, hepatitis tifosa,
meningitis, pneumonia, syok septik, pyelonefritis,
miokarditis
 Tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, serta komplikasi
Prognosis  Relaps dapat timbul beberapa kali, karier kronik terjadi pada
1-5% penderita demam tifoid

1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of


pediatric infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB
Saunders: 2004.
Daftar kepustakaan 2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice
of pediateric infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia:
Churchill & Livingstone; 2003.
3. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku
ajar infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI;
2008.
Demam Berdarah Dengue Kode ICD : A91
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Penyakit infeksi disebabkan oleh virus dengue ditandai dengan


Definisi demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan
bertendensi menimbulkan renjatan dan kematian

Virus dengue yang terdiri dari 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2,


DEN-3, DEN-4. Keempat serotipe ini dapat ditemukan di
Etiologi Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotype yang paling
banyak ditemukan di Indonesia dan berhubungan dengan
manifestasi yang berat (Setiati TE, dkk. 2006)

Aktifasi komplemen, agregasi trombosit, kerusakan sel endotel


 kebocoran kapiler, ektravasasi plasma, hemokonsentrasi,
Patogenesis renjatan, efusi cairan, ensefalopati, hipoksia jaringan.
Vasculopati + trombopati + koagulopati + trombositopenia 
perdarahan, ensefalopati.

 Berdasarkan kepastian diagnosis :

- Tersangka demam dengue (TDD)


- Tersangka demam berdarah (TDBD)
- Demam dengue (DD)
- Demam Berdarah Dengue (DBD)

 Berdasar derajat penyakit (demam berdarah dengue) :


Bentuk Klinis - Derajat I : demam + gejala non-spesifik + uji
(Klasifikasi) - bendung (+)
- Derajat II : derajat I + perdarahan spontan di
kulit atau perdarahan lainnya
- Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai dengan
nadi lemah, takikardia, tekanan nadi ≤ 20 mmHg
atau hipotensi, sianosis sirkum oral, kulit lembab dan
dingin, dan anak gelisah
- Derajat IV : renjatan berat, nadi tak teraba,
tekanan darah tidak terukur
*Derajat III dan IV  DSS

 Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi


selama 2-7 hari, lesu, tidak nafsu makan, muntah. Dapat
disertai nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri perut

Anamnesis  Gejala penyerta lebih mencolok pada demam dengue


daripada demam berdarah dengue
 Perdarahan yang paling sering dijumpai adalah perdarahan
kulit dan mimisan
 Hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering
ditemukan pada DBD
 Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan
perembesan plasma, hipovolemia dan syok
 Perembesan plasma menyebabkan ekstravasasi cairan ke
dalam rongga pleura (efusi pleura) dan rongga peritoneal
(asites) selama 24-48 jam
 Fase kritis sekitar hari ke-4 sampai ke-5 perjalanan
penyakit. Pada fase ini suhu turun dan dapat merupakan
awal penyembuhan pada infeksi ringan namun pada DBD
berat merupakan tanda awal syok
Pemeriksaan fisik  Perdarahan dapat berupa test torniquet positif, petekie,
epistaksis, hematemesis, melena, ataupun hematuria
 Tanda-tanda syok :
- Anak gelisah, penurunan kesadaran, sianosis
- Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang tidak teraba
- Tekanan darah turun, tekanan nadi < 20 mmHg
- Akral dingin, capillary refill menurun
- Diuresis menurun sampai anuria
 Fase penyembuhan: Keadaan umum semakin membaik,
nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal berkurang,
status hemodinamik stabil. Beberapa penderita timbul ruam
yang terkadang gatal, bradikardia dan perubahan
elektrokardiografi dapat ditemukan pada fase ini

 Kriteria klinis :

- Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas,


berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari

- Manifestasi perdarahan, termasuk test torniquet


positif, petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan
gusi, hematemesis, dan/melena

- Hepatomegali

- Syok, ditandai nadi cepat dan lemah, serta


penurunan tekanan nadi < 20 mmHg, hipotensi, kaki
Kriteria Diagnosis tangan dingin, gelisah

 Kriteria laboratorium :

- Trombositopenia ≤ 100.000/mikroliter

- Hemokonsentrasi (peningkatan Ht ≥ 20 % menurut


standar umur dan jenis kelamin

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan :

 Dua kriteria klinis + trombositopenia dan hemokonsentrasi,


serta dikonfirmasi secara uji serologis
 Pemeriksaan laboratorium : hematokrit dan hitung trombosit
secara berkala serta pemeriksaan serologi, pemeriksaan
LPB, albumin darah, CT, BT, PT, PTT, gambaran darah tepi
pada kecurigaan DIC
 Pemeriksaan penunjang : foto thoraks pada dispneu untuk
menelusuri penyebab lain disamping efusi pleura, USG bila
ada, dapat dipakai untuk memeriksa efusi pleura minimal

Interpretasi hasil pemeriksaan serologis DBD

Ig Ig Interpretasi keterangan
M G
Pemeriksaan
Penunjang + - Infeksi primer akut -

+ + Infeksi sekunder -

- - Tidak terbukti diulang


adanya infeksi

- + Infeksi pada 2-3 diulang


bulan sebelumnya

Pemeriksaan NS1:

 NS1 merupakan glikoprotein non struktural 1 dari virus


dengue. NS1 dapat terdeteksi pada darah mulai awal
demam sampai hari ke 5. (WHO. Update on the
Principles and Use of Rapid Tests in Dengue. 2009)

 Sesuai dengan bagan penatalaksanaan (bagan 1,2,3,4)

 Perhitungan pemberian cairan intravena maintenance dapat


dihitung dengan rumus Holliday-Segar (WHO 2009)

- 4 mL/kg/jam untuk 10 kg pertama

- + 2 mL/kg/jam 10 kg berikutnya

- + 1 mL/kg/jam untuk setiap kg berat badan


berikutnya.
Tatalaksana
Untuk penderita overweight perhitungan cairan maintenance
berdasarkan berat badan ideal.

 Tatalaksana komplikasi :

 Overload cairan :

- Tanda-tanda awal : distress nafas, sesak, nafas


cepat, retraksi, wheezing

- Efusi pleura yang luas, peningkatan JVP


- Tanda-tanda lanjut : edem paru (batuk dengan
sputum berwarna merah, krepitasi, sianosis), syok
ireversibel

- Tatalaksana :

 O2 segera
 Mengurangi atau menghentikan pemberiaqn cairan
IV
 Bila penderita sudah melewati fase kritis (> 24-48
jam setelah demam turun) hentikan/ kurangi cairan ,
monitor secara ketat, berikan furosemide 0,1-0,5
mg/kgBB/dosis bila perlu

 Bila penderita masih pada fase kritis, kurangi


pemberian cairan, hindari pemakaian diuretik
 Penderita yang masih mengalami syok pada kadar
HT normal atau rendah dengan tanda-tanda
overload cairan mungkin mengalami perdarahan.
Berikan transfusi whole blood secara hati-hati.

 Tindak Lanjut

- DSS : tensi/nadi diperiksa setiap 15-20 menit


sampai keadaan stabil, Ht, trombosit setiap 3-6 jam
sampai keadaan menetap
- Derajat I dan II : pemeriksaan Ht dan trombosit
minimal 6-12 jam

- Pada semua DSS pada saat masuk rumah sakit


harus diperiksa juga CT dan BT. Bila CT cenderung
memanjang lakukan juga pemeriksaan gambaran
darah tepi

- Pemeriksaan khusus: EKG bila gagal jantung, foto


thorax bila pleural efusi dan edema paru. USG bila
curiga efusi pleura minimal

- BT, CT, PT, PTT, dan gambaran darah tepi bila


curiga DIC

- Penderita yang berobat jalan diperiksa Hb, Ht,


trombosit dan dimonitor gejala klinis seperti muntah,
nyeri perut, manifestasi perdarahan; intake
cairan,urin output (minimal BAK satu kali dalam
waktu 6 jam), setiap hari

- Penderita yang dirawat, tampung urine 24 jam, bila


kurang dari 1 ml/kgBB/jam periksa ureum dan
kretinin

- Elektrolit darahAGD bila keadaan umum tidak


membaik

- Pelaporan pada dinas kesehatan Tk II setempat


melalui kurir, telepon atau surat secara mingguan.
Pencegahan atau pemberantasan DBD dengan membasmi
nyamuk dan sarangnya dengan melaukan tindakan 3M, yaitu :
Edukasi dan - Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur
Pencegahan seminggu sekali atau menaburkan bubuk larvasida (abate)
- Menutup rapat tempat penampungan air
- Mengubur barang bekas yang dapat menampung air

Perdarahan gastrointestinal masif, ensepalopati, edema paru,


Komplikasi DIC, efusi pleura

Angka kematian kasus di Indonesia secara keseluruhan < 3%.


Angka kematian DSS di RS 5-10%. Kematian meningkat bila
Prognosis
disertai komplikasi. DBD yang akan berlanjut menjadi syok atau
penderita dengan komplikasi sulit diramalkan, sehingga harus hati-
hati dalam melakukan penyuluhan

1. Sumarmo. The epidemiology, control and prevention of


dengue haemorrhagic fever in Indonesia. Presented at the
WHO/HQ meeting on dengue and DHF/DSS, Pune, India:
7-8 February 1994
Daftar kepustakaan 2. Hadinegoro SR. Tatalaksana demam dengue/demam
berdarah dengue. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2001
3. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku
ajar infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI;
2008.
Hepatitis Kode ICD : B15 –
DEPARTEMEN IKA B19
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Definisi Proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati

Etiologi bermacam-macam, yaitu infeksi (virus, bakteri, atau


Etiologi parasit), obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, kelainan
autoimun. Penyebab tersering adalah infeksi virus.

 Berdasarkan etiologi :
1. Hepatitis virus A
2. Hepatitis virus B
3. Hepatitis virus C
4. Hepatitis virus D
5. Hepatitis virus E
Bentuk Klinis
(Klasifikasi)
 Berdasarkan perjalanan penyakit :
1. Hepatitis akut

2. Hepatitis kronis aktif

3. Hepatitis kronis persisten

4. Fulminan Hepatitis

 Klinis

- Demam, sakit kepala


- Anoreksia, mual, muntah
- Ikterus, BAK warna kuning tua
- Pruritus

Anamnesis  Gejala Tambahan : perdarahan, kesadaran menurun

 Perlu ditanyakan riwayat transfusi darah atau produk darah,


operasi sebelumnya, pemasangan tattoo, penggunaan
jarum suntik yang tidak steril, riwayat penggunaan obat
hepatotoksik (misalnya INH, nitrofurantoin, sulfonamid, obat
anti kejang/epilepsi, NSAID seperti ibuprofen, dan
parasetamol)

 Perhatikan keadaan umum pasien, umumnya tampak sakit


ringan. Keadaan umum yang berat disertai gangguan
Pemeriksaan kesadaran mengindikasikan kemungkinan hepatitis akut
Fisik yang berat/fulminan
 Pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah
ikterus dan hepatomegali
 Gejala tambahan :
- Spider nevi
- Hipertensi portal
- Asites
- Palmar eritema
- Splenomegali
- Flapping tremor
- Foetor hepatitis

 Hepatitis A

Bila ditemukan gejala klinis hepatitis dan pada pemeriksaan


serologis didapatkan IgM Anti HAV (+), HBsAg (-) dan IgM anti
HBc (-)

 Hepatitis B

Dasar Diagnosis Bila ditemukan gejala klinis hepatitis dan pada pemeriksaan
serologis didapatkan IgM Anti HAV(-), HBsAg (+), IgM anti HBc
(+)

 Hepatitis C : Klinis Hepatitis + Anti HCV (+)

 Hepatitis D : Klinis Hepatitis, HBsAg (+), ditemukan delta


antigen

 Hepatitis E : IgM dan IgG anti HEV secara Western blot dan
EIA. IgM anti HEV ditemukan 1 minggu setelah timbulnya
gejala klinis

 Laboratorium

- Urine: bilirubin (+)

- Darah: LFT abnormal, bilirubin total, SGOT, SGPT,


Gamma GT, Alkaline fosfatase

 Seromarker : IgM antiHAV, HbsAg, IgM antiHBc, anti HCV

 USG hati

 Hepatitis akut
Pemeriksaan
Penunjang SGOT dan SGPT meningkat hebat, lebih dari 50 kali

SGOT GammaGT
Ratio = = 0,7 <1
SGPT SGOT
Pemeriksaan PA : spotty necrosis

Pemeriksaan serologis : HBsAg (-) bulan II-III penderita HBV

 Hepatitis kronis aktif

SGOT dan SGPT meningkat hebat lebih dari 10 kali

SGOT
Ratio = = 1-3
SGPT
Pada pemeriksaan PA (sel hepar mengalami nekrosis yang
luas dan infiltrasi sel plasma dan mononuklear)

Pemeriksaan serologis: HBsAg (+), Anti HBe (-), HBeAg (+)


setelah 3 bulan

 Hepatitis kronis persisten

SGOT dan SGPT meningkat kurang dari 10 kali

GammaGT
Ratio = <1
SGOT
Serologis HBsAg (+), dan anti HBe (+), HBeAg (-) setelah 3
bulan

Diagnosis serologis hepatitis B kronis


HBsAg HBeAg IgM IgG Anti Anti DNA
HBc HBc HBs HBe
Replicate + + + - +
Non Repl + + + -
Flare up + +/- + + - +
PreCore + - + - + +
mutant

 Fulminan Hepatitis

Bila ditemukan gejala-gejala sebagai berikut:

- Demam tinggi
- Kesadaran menurun sampai koma
- Manifestasi perdarahan
- Hipertensi portal dan asites
- Adanya asam amino dalam urine

Pemeriksaan PA:

- Necrosis submassive sel hepar

- Infiltrasi sel mononukleus dominan

- Acute yellow atrophy

 Indikasi Rawat :

- Bilirubin total >8 mg%

- Bilirubin total < 8 mg % tetapi disertai salah satu


Tatalaksana gejala dibawah ini:

 Ikterus lebih dari 2 minggu


 Muntah hebat
 Intake tidak masuk
 Hiperpireksia
 HBsAg (+)
 SGOT-SGPT > 10 kali batas atas nilai normal
 Perubahan perilaku/penurunan kesadaran akibat
ensefalopati hepatitis fulminan
 Relapsing hepatitis  untuk elaborasi faktor
penyerta lain

 Perawatan : isolasi dan tirah baring

 Diet

- Bila penderita tidak toleran terhadap diet biasa

Diet hepatitis: 70% karbohidrat, 20% protein,

10% lemak

- Bila perlu IVFD dengan komposisi cairan yang


sesuai

 Medikamentosa

- Hepatoprotektor
- Roboransia
- Pada cholestasis karena hepatitis B pemberian
prednison tidak dianjurkan lagi tetapi pada
cholestasis karena hepatitis A masih dapat
digunakan prednison dengan dosis 30 mg pada hari-
hari pertama dan diturunkan secara bertahap paling
lama sampai 3 minggu. Pada fulminan hepatitis
pemberian protein dibatasi 0-1/2 gram perhari,
antibiotika (Neomisin) untuk sterilisasi usus,
kortikosteroid dosis tinggi, laksansia/enema.

 Pengamatan
- Jika selama waktu ikterus penderita masih panas
harus dicari faktor penyebab lainya
- Pemeriksaan laboratorium :
1. Urine: bilirubin dilakukan 2 kali seminggu sampai hasil (-) 2
kali berturut –turut
2. Darah: pemeriksaan LFT dilakukan
 Pada saat MRS
 Secara berkala sampai 2 minggu sampai hasil normal
 Apabila pemeriksaan bilirubin urine hasilnya 2 kali (-)
berturut-turut
 Setelah lima hari pemberian kortikosteroid pada
penderitya cholestasis
 Setiap bulan selama 6 bulan setelah penderita
dipulangkan

- Pemeriksaan serologis dilakukan


 Setelah 2 minggu perawatan , klinis dan laboratories
tidak ada kemajuan
 Terdapat hepatomegali tanpa gejala klinis yang jelas
 Sebelum dilakukan PA, dilakukan USG bila dengan USG
tidak jelas penyebabnya, perlu dilakukan PA.
 Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik dan
pemeriksaan LFT normal, dengan anjuran kontrol ke
poliklinik. Dinasehatkan untuk istirahat dan tidak bekerja
selama :
Edukasi
- 3 bulan, bila ikterus kurang dari 2 minggu dan HBsAg (-)
- 6 bulan, bila ikterus kurang dari 2 minggu dan HBsAg (+)
- 6 bulan, bila ikterus lebih dari 2 minggu

1. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In: Behrman RE,


Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of
Pediatrics. 17th ed. Philadelphia: Saunders; 2004. p. 1324-
30.
2. Sokol RJ, Narkewicz MR. Liver. In: Hay, WW, Hayward AR,
Daftar kepustakaan Levin MJ, Sondheimer JM, editors. Current Pediatric
Diagnosis and Treatment. New York: Mc Graw-Hill; 2001.
p.580-4.
3. Juffrie M, Soenarto SS, Oswari H, Arief S, Rosalina I,
Mulyani NS. Buku ajar gastroenterologi-hepatologi. Jilid I.
Jakarta: IDAI; 2010.
DEPARTEMEN Difteri Kode ICD : A36
IKA
RSMH No Dokumen No.Revisi Halaman :
PALEMBANG …………. ……………..

Ditetapkan Oleh,
Panduan Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Praktek ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A
Klinis
Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
Definisi oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan/ mukosa
Dikenal 3 tipe utama C. diphtheriae, yaitu tipe gravis, intermedius, dan mitis.
Etiologi Diapndang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies
yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada


permukaan saluran napas bagian atasdan mulai memproduksi toksin yang
Patogenesis merembes ke sekeliling, menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah
hambatan pembentukan protein dalam sel.
1. Difteria hidung
Bentuk Klinis 2. Difteria tonsil-faring
(Klasifikasi) 3. Difteria Laring
4. Lain-lain : difteria kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga

Klinis :
 Demam tidak terlalu tinggi
 Sakit menelan
Anamnesis  Suara serak
 Sesak nafas
 Lesu, pucat dan lemah

 Adanya pseudomembran : membran putih kelabu, mudah berdarah


bila tersentuh, sukar diangkat pada tonsil, faring, laring 
patognomonis
 Bull neck
Gejala obstruksi saluran nafas bagian atas sesuai derajat obstruksi
sebagai berikut :

Pemeriksaan - Derajat I : Anak tenang, dispneu ringan, stridor inspirator,


fisik retraksi suprasternal

- Derajat II : Anak gelisah, dispneu hebat, stridor masih hebat,


retraksi suprasternal dan epigastrium, sianosis belum tampak

- Derajat III : Anak sangat gelisah, dispneu makin hebat, stridor


makin hebat, retraksi suprasternal dan epigastrium serta
interkostal, sianosis

- Derajat IV : Letargi, kesadaran menurun, pernafasan


melemah, sianosis
 Kriteria klinis: adanya infeksi saluran nafas atas, demam dan terdapat
pseudomembran yang melekat erat pada tonsil, faring dan atau
mukosa hidung.

 Laboratorium : Isolasi C.diphtheria dari spesimen


Kriteria
Diagnosis  Pembagian diagnosis berdasarkan CDC / WHO 2003 :

1. Probable : kriteria klinis (+), Laboratorium (-), dan tidak ditemukan


kasus sama yang terbukti secara laboratorium di sekitar tempat
tinggal penderita

2. Confirmed : kriteria klinis (+), Laboratorium (+), atau ditemukannya


kasus yang sama yang terbukti secara laboratorium di sekitar tempat
tinggal penderita

 Difteria hidung : rhinorrhea (commoncold, sinusitis, adenoiditis), benda


asing, lues kongenital (snuffles)
 Difteria tonsil-faring : tonsilitis membranosa akutoleh streptokokus,
mononukleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial,
Diffrential tonsilitis herpetika primer, moniliasis, bood dyscrasia, pasca
diagnosis tonsilektomi
 Difteria laring : laringitis/infectious croups yang lain (spasmodic croup),
angioneurotic edema, benda asing
 Difteria kulit : impetigo dan infeksi kulit oleh streptokokus atau
stafilokokus

Pemeriksaan  Laboratorium : Bila sediaan apus dan biakan tenggorok ditemukan


Penunjang Corynebacterium diptheria

 Bila pada pemeriksaan usap tenggorok Corinebacterium (-) maka


pemeriksaan diulangi lagi besoknya 2 hari berturut-turut.

 Perawatan

Isolasi penderita diruang khusus. Tirah baring 2-4 minggu pada penderita
dengan komplikasi miokarditis , sampai miokarditis hilang. Diet makanan
lunak yang mudah di cerna, tinggi kalori dan protein. Bila diperlukan
dapat diberikan infus dengan cairan yang sesuai dan pemberian oksigen.

 Medikamentosa

Tipe Difteria Dosis ADS (IU)

Difteria Hidung 20.000


Tatalaksana Difteria tonsil 40.000

Difteria faring 40.000

Difteria laring 40.000

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-120.000

Terlambat berobat (>72 jam)

lokasi di mana saja 80.000-120.000

Tabel 2. Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit


 Hari I: ADS diberikan perdrip dengan pengenceran 20 kali dengan
NaCl 0,9% sebelumnya dilakukan “skin test” bila (+) diberikan secara
Besredka ADS diberikan secara bertahap, sambil melihat tanda-tanda
alergi/ anafilaktik :
 ADS 0,1 cc, larutkan dengan 0,9 cc NaCl fisiologis. Berikan
subkutan. Reaksi (+), mundur, misalnya diberkan dengan
pengenceran 100 kali diberikan subkutan 1 cc. Reaksi negatif
teruskan
 ADS 0,5 cc dilarutkan dengan Nacl fisiologis 0,5 cc, diberikan
subkutan. Reaksi negatif, lanjutkan
 ADS tanpa dilarutkan diberikan 1cc subkutan. Tidak ada reaksi
lanjutkan
 Sisa dosis ADS diberikan intramuskuler
 Hari II: ADS diberikan secara intra muskular
 P.P 50.000 IU/kgBB/hari selama 14 hari. Bila terdapat riwayat alergi
golongan penisilin maka diberikan eritromisin 40 mb/kgBB/hari.
 Kortikosterod dianjurkan pada kasus difteria dengan gejala penyerta
obstruksi saluran nafas bagian atas ( dengan atau tanpa bullneck ) dan
bila terdapat penyulit miokarditis. Kortikosteroid yang digunakan
adalah Prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari yang diturunkan
secara bertahap.

 Operatif

Tindakan operatif dilakukan dibagian THT bila terdapat obstruksi jalan


nafas derajat II atau lebih

 Pengamatan

Pengamatan terhadap komplikasi miokarditis:

- Pemeriksaan EKG dilakukan pada waktu penderita dirawat


selanjutnya tergantung keadaan atau seminggu sekali
- Bila ada tanda-tanda heart blok, diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kgBB/ hari selama 10 hari

 Pengobatan kontak

Pengobatan anak yang kontak berdasarkan hasil biakan dan tes Schick :

- Kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi : Anak yang telah


mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid difteria
- Kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan karier : penisilin 100
mg/kg BB/hari atau eritromisin 40 mg/kgbb/hari selama 1
minggu.
- Kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : ADS 20.000 IU + penisilin
100 mg/kg BB/hari atau eritromisin 40 mg/kgbb/hari.
- Kultur (-)/Shick test (+) : toksoid difteria (imunisasi aktif).

 Pencegahan secara umum dan menjaga kebersihan


Edukasi
 Pencegahan khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier
 Imunisasi dilakukan 4-6 minggu setelah pengobatan kortikosteroid di
stop
 Prognosis baik setelah ditemukannya ADS dan antibiotik
 Kematian mendadak menurut Krugman disebabkan oleh karena :
- Obstruksi jalan napas mendadak akibat lepasnya membran
difteria
Komplikasi dan
- Adanya miokarditis dan gagal jantung
Prognosis
- Paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus phrenicus
 Miokarditis atau neuritis pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa
gejala sisa, namun pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap

1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric
infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2004.
2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of
Daftar pediateric infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill &
kepustakaan Livingstone; 2003.
3. Gershon AA, Hotez PJ, Katz S. Krugman‟s infectious disease of
children. 11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004.
4. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi
dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
DEPARTEMEN Sepsis Kode ICD : A40-A41
IKA
RSMH No Dokumen No.Revisi Halaman :
PALEMBANG …………. ……………..

Ditetapkan Oleh,
Panduan Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Praktek ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A
Klinis
 Sepsis: sindrom respon sistemik (Systemic inflammatory response
syndrome/SIRS) terhadap infeksi (dugaan klinis / terbukti)

 SIRS: respon klinis terhadap proses infeksi atau non-infeksi yang


ditandai dengan minimal 2 keadaan berikut (salah satunya harus
temperatur atau jumlah lekosit yang abnormal): suhu ≥38,5oC atau
<36oC, takikardi atau bradikardi, takipneu, dan lekositosis, lekopenia
Definisi atau hitung jenis bergeser ke kiri (netrofil imatur > 10)

 Sepsis berat: sepsis + disfungsi organ akut (minimal 1 organ:


kardiovaskular atau sindrom distress pernapasan akut) atau minimal 2
disfungsi organ lainnya.

 Syok septik: sepsis + syok yang refrakter terhadap resusitasi cairan


atau disfungsi kardiovaskular

Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon
sistemik dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar
Etiologi dalam darah atau hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau
produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal.

Lihat bagan patogenesis sepsis


Patogenesis

 Tersangka sepsis: panas tinggi, menggigil, tampak toksik, takikardi,


takipneu, kesadaran menurun, oliguria.
 Sepsis: tersangka sepsis + (lekositosis/lekopenia, trombositopenia,
granulosit toksik, hitung jenis bergeser kekiri, CRP (+), LED
Bentuk Klinis meningkat). Hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
 Syok septik: sepsis + tanda-tanda syok (tekanan darah, tekanan
nadi, nadi lembut, kulit kemerahan)
 Kegagalan organ multipel: fase terminal penyakit ditandai dengan
kegagalan berbagai organ/ sistem: ginjal, hati, traktus respiratorius,
jantung dan otak

 Klinis :

- Panas disertai menggigil atau hipotermi

- Tampak toksik/ confusion


Pemeriksaan - Takikardi atau bradikardi, takipneu
fisik
- Flushing pada kulit/ruam kulit berupa petikie, ekimosis,
pustular

- Kadang-kadang disertai kejang-kejang, ileus, menurunnya


volume urine, inadequate peripheral circulation
 Kriteria klinis
 Laboratorium:

Kriteria - Lekositosis/lekopenia, netropenia, trombositopenia, toksik granulosit


Diagnosis (+)

- Hitung jenis bergeser kekiri, LED , CRP (+)

- Biakan darah/ urine/ LCS dapat (+) atau (-)

Laboratorium :

 Kadar Hb, jumlah eritrosit, gambaran darah tepi


Pemeriksaan  Hitung jumlah lekosit
Penunjang  Hitung jenis lekosit
 LED, CRP, toksik granulosit, CT, CT
 Biakan darah, urine, atau LCS

 Pertahankan keseimbangan cairan, bila perlu beri cairan intravena


 Sambil menunggu hasil biakan + uji resistensi berikan :
Sefalosporin generasi III secara IV (ceftriaxon 100 mg/kgBB/hari atau
sefotaksim 200 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis atau ceftazidim 150
mg/kgBB/hari dalam 3 dosis). Bila tidak memungkinkan: Ampisilin 200
mg/kgBB/hari + Gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari IV.

Bila perbaikan (-) dalam 48 jam atau memburuk dalam 24 jam I: AB


diganti dengan sefalosporin generasi IV, atau gol. Karbapenem, atau
Tatalaksana quinolon pada anak >14 tahun, atau vancomycin bila curiga MRSA.
Jika tidak memungkinkan: sefalosporin generasi III + gentamisin

Selanjutnya sesuaikan antibiotika dengan biakan kuman +u ji


resistensi dan klinis.

 Bila disertai dengan syok:


Sesuai standar penatalaksanaan di Unit Perawatan Intensif.

Syok septik, kegagalan organ multiple


Komplikasi
 Tanpa komplikasi, dengan pemberian antibiotik adekuat prognosis
cukup baik
Prognosis  Prognosis jelek bila disertai dengan komplikasi. Hasil perawatan
sangat tergantung dari upaya mengenal Sepsis secara dini, dan
menanganinya secara adekuat

1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric
infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2004.

2. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed.
Daftar Philadelphia: Saunders; 2004.
kepustakaan
3. Sokol RJ, Narkewicz MR. Liver. In: Hay, WW, Hayward AR, Levin MJ,
Sondheimer JM, editors. Current Pediatric Diagnosis and Treatment.
New York: Mc Graw-Hill; 2001.
4. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi
dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
DEPARTEMEN Malaria Kode ICD : B50-54
IKA
RSMH No Dokumen No.Revisi Halaman :
PALEMBANG …………. ……………..

Ditetapkan Oleh,
Panduan Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Praktek ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A
Klinis
Adalah penyakit yang bersifat akut atau kronis yang disebabkan oleh
Definisi protozoa genus Plasmodium, ditandai dengan panas, anemia dan
splenomegali.

Terdapat 4 spesies dari genus Plasmodium yang menyerang manusia :

a. P. vivax : malaria tertiana/malaria vivax

b. P. falciparum : malaria tropika/malaria falciparum


Etiologi
c. P. malariae : malaria malariae

d. P. ovale : malaria ovale

1. Demam : timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah →


antigen → sel-sel makrofag, monosit atau limfosit → sitokin (TNF) →
aliran darah hipotalamus → demam. Proses skizogoni pada keempat
plasmodium (berbeda-beda) :

- P. Falciparum : 36-48 jam (demam dapat terjadi setiap hari)

- P. vivax/ovale : 48 jam (demam selang satu hari)

- P. Malariae : 72 jam (demam selang 2 hari)

2. Anemia : terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi

- P. falciparum : seluruh stadium sel darah (anemia akut/kronis)

Patogenesis - P. vivax : sel darah merah muda (anemia kronis)

- P. malariae : sel darah merah tua (anemia kronis)

3. Splenomegali : limpa (organ RES) → plasmodium dihancurkanoleh


sel-sel makrofag dan limfosit → penambahan sel-sel radang → limpa
membesar

4. Malaria berat : pada P. falciparum : eritrosit yang terinfeksi → proses


sekuestrasi : tersebarnya eritrosit yang berparasit ke pembuluh
kapiler jaringan tubuh → obstruksi pembuluh darah kapiler → iskemia
jaringan. Mekanisme ini bila disertai dengan pembentukan „rosette‟
(bergerombolnya sel darah merah yang berparasit dengan sel darah
merah lainnya) dan proses imunologik → gangguan fungsi pada
jaringan tertentu

SIKLUS HIDUP PLASMODIUM

Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu


manusia dan nyamuk anopheles
1. Siklus pada manusia
Nyamuk anopheles menghisap darah manusia : sporozoit
(kelenjar liur nyamuk) → peredaran darah (1/2 jam) → sel hati →
tropozoit hati yang kemudian berkembang menjadi skizon hati
(10.000-30.000 merozoit hati). Siklus ini disebut siklus ekso-
eritrositer (2 minggu). Pada P. vivax dan P. ovale : sebagian
tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon →
hipnozoit (dormant) → imunitas tubuh turun → aktif → relaps
(kambuh).

Merozoit hati → peredaran darah → menginfeksi sel darah merah


→ protozoa berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-
30 merozoit). Siklus aseksual ini disebut skizogoni. Kemudian
skizon pecah → merozoit keluar → menginfeksi sel darah merah
lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer.

Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit → stadium


seksual (gametosit jantan dan betina).

2. Siklus pada nyamuk anopheles betina


Nyamuk : menghisap darah yang mengandung gametosit
(gametosit jantan dan betina) → pembuahan → zigot → ookinet
→ menembus dinding lambung nyamuk. Di dinding luar lambumg
nyamuk : ookinet → ookista → sporozoit (infektif) → manusia.

MASA INKUBASI

- P. Falciparum : 9-14 hari (12 hari)

- P. vivax : 12-17 hari (15 hari)

- P. ovale : 16-18 hari (17 hari)

- P. Malariae : 18-40 hari (28 hari)

 Berdasarkan gambaran klinis:


- Malaria tanpa komplikasi.
- Malaria berat
- Malaria cerebral
Bentuk Klinis  Berdasarkan pola demam
- Malaria tertiana : panas timbul dengan interval 48 jam
- Malaria aquartana: panas timbul dengan interval 72 jam
- Malaria tropica : panas timbul tidak khas dapat terus menerus

 Keluhan utama : demam, menggigil, berkeringat, dapat disertai sakit


kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal

 Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah


endemik malaria
Anamnesis
 Riwayat tinggal di daerah endemik malaria, riwayat sakit malaria

 Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir

 Riwayat mendapat transfusi darah

 Gejala klinis pada anak dapat tidak jelas


 Demam (perabaan atau pengukuran dengan termometer)

 Pucat pada konjungtiva palpebra atau telapak tangan

 Splenomegali

 Hepatomegali

Manifestasi Klinis Malaria Berat (WHO,1997)

Malaria berat adalah ditemukannya plasmodium falciparum stadium aseksual


dengan satu atau beberapa manifestasi klinis di bawah ini :

1. Malaria serebral adalah suatu ensefalopati akut, menurut WHO


definisi malaria cerebral memenuhi 3 kriteria yaitu perubahan
Pemeriksaan kesadaran disertai adanya plasmodium falsiparum dalam darah dan
Fisik penyebab lain dari akut ensefalopati terlah disingkirkan .
2. Anemia berat (Hb < 5 g% atau hematokrit < 15%), hitung parasit >
10.000/uL
3. Gagal ginjal akut (urin < 1 ml/kgBB/jam setelah dilakukan rehidrasi)
4. Edema paru atau Acute Respiratiry Distress Syndrome
5. Hipoglikemia (kadar gula darah < 40 mg%)
6. Gagal sirkulasi atau syok (tekanan nadi ≤ 20 mmHg, disertai keringat
dingin)
7. Perdarahan spontan
8. Kejang berulang > 2 kali per 24 jam setelah pendinginan pada
hipertermia
9. Asidemia (pH : 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma < 15 mmol/L)
10. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut

Beberapa keadan lain yang dapat digolongkan sebagai malaria berat :


1) Ganguan kesadaran ringan (GCS <15)
2) Kelemahan otot tanpa kelainan neurologi
3) Hiperparasitemia
4) Ikterus ( kadar bilirubin darah >3 mg)
5) Hiperpireksi ( temperatur rektal >40 c)

 Pemeriksaan dengan mikroskop : sediaan darah tepi tebal dan tipis,


untuk menentukan :

a. ada tidaknya parasit malaria


b. spesies dan stadium plasmodium
c. kepadatan parasit : semi kuantitatif dan kuantitatif

 Pada penderita tersangka malaria berat :


Pemeriksaan
Penunjang a. Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu
diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut
b. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari
berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis
malaria disingkirkan.
c. Bila pada pemeriksaan darah tebal ditemukan parasit
malaria, maka pemeriksaan diulang pada hari ke 4, 7, 14,
21, dan 28

 Tes diagnostik lain : deteksi antigen parasit malaria


imunokromatografi, dalam bentuk dipstik
 Malaria berat :

1) Kimia darah : gula darah, serum bilirubin, SGOT, SGPT, alkali


fosfatase, albumin, globulin, ureum, kreatinin, elektrolit, AGD
(atas indikasi)
2) EKG
3) Foto thoraks
4) Analisa LCS
5) Biakan darah dan uji serologi, urinalisis

 Indikasi rawat :

1. Malaria dengan komplikasi

2. Malaria dengan parasitemia berat (>5%)

3. Tersangka malaria dengan hasil laboratorium meragukan

 Penatalaksanaan meliputi :

1. Pemberian obat anti malaria :


- oral, untuk malaria tanpa komplikasi

- parenteral, untuk penderita malaria berat atau yang tidak


dapat minum obat

2. Pengobatan suportif

- malaria tanpa komplikasi : simptomatik terhadap demam

- malaria berat: perawatan umum, pemberian cairan dan


Tatalaksana pengobatan simptomatik: anti konvulsan

3. Pengobatan terhadap komplikasi organ pada malaria berat

- tindakan dialisis atau pemasangan ventilator

 Obat anti malaria


 Plasmodium falciparum
Pilihan pertama

Artemisin combination terapi (ACT) + primakuin 0,75mg/kgbb/dosis


tunggal hari pertama.

Salah satu kombinas ACT yang tersedia adalah: artesunat


(4mg/kgbb) – amodoaquin(10mg/kgbb) oral dosis tunggal perhari
selama 3 hari

Setiap kemasan kombinasi artesunat-amodikuin terdiri dari2 blister:

- blister artesunat: 12 tablet@50mg

- blister amodiakuin: 12 tablet @ 200mg~153mg amodiakuin basa


Bila obat tidak tersedia, maka digunakan :

1. Klorokuin sulfat oral, 25 mg/kgbb terbagi dalam 3 hari dengan


perincian
Hari I : 10 mg/kgbb peroral

Primakuin 0,75 mg/kgbb peroral

Hari II : 10 mg/kgbb peroral

Hari III : 5 mg/kgbb peroral

2. Kinin sulfat 30 mg/kgbb/hari peroral dibagi 3 dosis selama 7 hari.


Dosis untuk bayi adalah 10 mg/umur dalam bulan dibagi 3 bagian
selama 7 hari. Kemasan tablet kina yang beredar di Indonesia:
200mg kina fosfat atau kina sulfat. Ditambah dengan Tetrasiklin
oral 5 mg/kgbb/kali, 4 kali sehari selama 7 hari (maks 4x250
mg/hari).
3. Kombinasi sulfadoksin 500 mg dan pirimetamin 25 mg, dengan
dosis pirimetamin 1-1,5 mg/kgbb/hari atau sulfadoksin 20-30
mg/kgbb/hari pada anak usia > 6 bulan, diberikan peroral dosis
tunggal, diberikan dua hari berturut-turut.

 Plasmodium vivax/ovale :
Diberikan

 Klorokuin : 25mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3 hari


 Primakuin : 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari
Bila resisten terhadap klorokuin :

 ACT seperti pada malaria falsifarum + Primakuin: 0,25


mg/kgBB/hari (14 hari) atau
 Kina 30mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis selama 7 hari + primakuin
0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari

 Pengobatan malaria berat

Penatalaksanaan kasus malaria berat meliputi :

a) Tindakan umum : pembersihan jalan nafas, pemberian O 2,


pemberian cairan dan observasi vital sign
b) Pengobatan simptomatik: antipiretik dan anti konvulsi
c) Pemberian obat anti malaria :

 Pilihan pertama:
 Kina HCl 25% per infus,1 ampul mengandung 500mg kina
HCL dalam 2ml. Dosis 10 mg/kgBB (bila umur < 2 bulan: 6-8
mg/kgBB) diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%
sebanyak 5-10 ml/kgBB diberikan selama 4 jam, diulang
setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat
 Bila sudah sadar/dapat minum obat: dilanjutkan dengan kina
sulfat per oral : 30 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis (total
dosis 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang
pertama) dan primakuin 0,75 mg/kgBB dosis tuinggal
 Obat alternatif :
Derivat artemisin parenteral : Artesunat atau Artemeter

Cara pemberian artesunat : Campur 60mg serbuk kering


asam artesunik dan 0,6 ml natrium bikarbonat yang tersdia
pada masing-masing kemasan, encerkan dengan 3-5ml
larutan dextros 5%. Dosis: 2,4 mg/kgbb iv/im satu kali sehari
(selama7 hari). Bila penderita sudah dapat minum dilanjutkan
dengan ACT seperti pada malaria tanpa komplikasi.

Sediaan artesunat tidak boleh disimpan setelah diencerkan.

Cara pemberian artemeter IM : Artemeter tersdia dalam


bentuk ampul 80mg artemetet dalam larutan minyak. Loading
dose 3,2 mg/kbb im selanjutnya 1,6 mg/kgbb im satu kali
sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita
sudah dapat minum dilanjutkan dengan ACT seperti pada
malaria tanpa komplikasi

 Pengobatan komplikasi :

 malaria serebral : penatalaksanaan sesuai dengan malaria berat,


pencegahan infeksi sekunder, aspirasi pneumonia, tidak boleh
menggunakan obat-obat seperti: kortikosterioid, anti edema
serebral (urea, manitol), dekstran, dll
 anemia berat : transfusi darah PRC bila Hb < 7gr% atau jika Hb ≥
7gr% tetapi terdapat tanda-tanda gangguan oksigenasi.
 hipoglikemia : bolus glukosa 40% iv : 2-4 ml/kgBB
 syok hipovolemia : RL 10-20 ml/kgBB secepatnya sampai nadi
teraba
 gagal ginjal akut : anuria : furosemide 1 mg/kgBB/kali
 perdarahan dan gangguan pembekuan darah : vitamin K injeksi
10 mg iv

 Penatalaksanaan malaria serebral

1. Pemberian obat anti malaria


Kina (Kina HCL) dosis 10 mg/kgbb/kali dilarutkan dalam 100-
200ml dextrose 5 %(atau NacL 0,9%) diberikan selama 2-4
jam, tiga kali sehari selama pasien belum sadar. Jika
penderita sudah sadar, kina dilanjutkan oral dengan dosis 3x
10 mg/kgbb/tiap 8 jam selama 7 hari dihitung dari pemberian
hari I pemberian parental.

2. Penanganan suportif dan komplikasi


- Kejang : berikan anti konvulsan diazepam
- Hipoglikemi : kadar gula kurang dari 50 mg%, berikan
dextrose 40% iv 0,5-1 ml/kgBB dilanjutkan dengan cairan
rumatan glukosa 10%, sambil dilakukan pemeriksaan kadar
gula darah berkala.
- Hiperpireksia: pada suhu > 39 derajat berikan kompres air
Hangat dan antipiretik.
- Anemia : kadar hematokrit <15% transfuse darah 10ml/kgbb
PRC atau 20 ml/kgbb whole blood)
- Bila terjadi oliguria disertai tanda klinis dehidrasi maka
direhidrasi. Bila terjadi anuria maka beri diuretic furosemid
inisial 40 mg iv. Jika setelah 2-3 jam tidak ada urine,
pertimbangkan dialysis.
- Hemoglobulinuria/Black Water Fever: jika terjadi parasitemia
maka pengobatan anti malaria yang sesuai diteruskan.
Transfusi darah segar untuk mempertahankan hematokrit
diatas 20%. Pantau JVP untuk menghindari kelebihan cairan
dan hipovolemia. Berikan furosemid 1 mg/kgbb secara
intravena. Jika terjadi oliguri dengan kadar ureum dan
kreatinin serumj meningkat, pertimbangkan hemodialisa.
- Ikterus : tidak ada terapi khusus bila ditemukan hemolisis
berat dan Hb sangat turun, maka diberikan transfusi darah.
Pada ikterus berat, dosis malaria setengah dosis dengan
waktu pemberian 2 kali lebih lama.
- Hiperpasitemia : dilakukan transfusi tukar bila kadar
parasitemia > 30%, atau parasitemia >10% dengan
komplikasi malaria serebral, GGA, ikterus, anemia berat,
atau ditemukan skizon pada darah perifer.

Baik : pada kasus tanpa komplikasi dan belum resisten obat anti malaria
Prognosis
Buruk : pada malaria berat dengan komplikasi : kegagalan fungsi organ

1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric
infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB Saunders: 2004.
2. Gershon AA, Hotez PJ, Katz S. Krugman‟s infectious disease of children.
Daftar 11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004.
kepustakaan 3. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar infeksi dan
pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
4. Krause PJ. Malaria (Plasmodium). In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia: Waunders; 2004. p. 1139-42
Omfalitis Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Merupakan bentuk infeksi pada tali pusar yang terjadi pada periode
Definisi neonatal. Omfalitis muncul secara khusus sebagai suatu selulitis
superficial yang mengenai dinding perut dan mungkin progresif
menjadi faciitis, mionekrosis atau penyakit sistemik.

Umumnya disebabkan oleh bakteri. Yang paling umum, yaitu


Etiologi staphylococcus aureus, streptococcus, escherichia coli, klebsiela
pneumonia dan termasuk juga bakteri anerobik.

Secara klinis bayi dengan omfalitis muncul pada dua minggu


pertama kehidupan dengan tanda-tanda dan gejala infeksi, seperti
Manifestasi Klinis selulitis disekitar umbilicus (kemerahan, hangat, udem dan nyeri),
bau busuk kadang adanya pus disekitar umbilicus.

Ditegakkan dari:

- Gambaran klinis pada tali pusar berupa kemerahan, hangat,


Kriteria Diagnosis udem, nyeri dan bau busuk kadang ada pus disekitar umbilicus.

- Apusan pus untuk pewarnaan gram, kultur dan resistensi.

Terapi lokal: Bersihkan umbilikus dengan alkohol 70% dan


betadine.

Terapi sistemik: - Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis

Tatalaksana - Gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis.

Lama pemberian 3-5 hari dilanjutkan antibiotik oral amoksisilin 30-


50mg/kgbb dibagi 3 dosis selama 7 hari dan bisa lebih bila ada
tanda-tanda sepsis, dan dosis obat disesuaikan dengan dosis
sepsis.

Perawatan pada tali pusar setelah melahirkan dengan


Edukasi/Pencegahan menggunakan betadine, bacitrasin atau silver sulfadiazine.

Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
Daftar kepustakaan infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
Laringitis Akut Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Infeksi akut pada laring non difteri sehingga terjadi reaksi radang
Definisi yang dapat menimbulkan gejala-gejala sumbatan jalan nafas
bagian atas
Dapat disebabkan oleh virus dan bakteri
Etiologi
- Infeksi bakteri oleh :streptokokus hemolitikus,
pneumokokus, haemophillus

- Influenza dan stafilokokus

Infeksi akut  reaksi radang  edema laring  gejala-gejala


Patogenesis sumbatan jalan nafas atas.

 Panas
 Afonia (pada keadaan berat)
 Pada edema yang berat dapat terjadi: dispneu, stridor
inspiratoar, retraksi supra sternal dan infrasternal dan
Manifestasi Klinis sianosis.
Secara klinis laringitis akut sering melibatkan infeksi jalan nafas
atas yang lain: epiglottis, trakea, dan bronkus (laringitis akut,
epiglotitis dan laringotrakeobronkitis)

Kriteria Diagnosis Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, pemeriksaan


fisik dan kuman penyebab

- Darah rutin : leukositosis


Pemeriksaan
Penunjang - Bakteriologis : ditemukan kuman penyebab

1. Medikamentosa

Pada usia anak> 6 tahun diberikan

- PP 50.000 IU/hari 3-4 dosis

- Gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari/2dosis

- Dexametason 0,5-1 mg/kgBB/hari/3 dosis

Tatalaksana 2. Operasi

Dilakukan trakeostomi apabila sudah terjadi edema laring yang


hebat sehingga mengganggu jalan nafas (dilakukan dibagian THT)

3. Pemberian cairan

Pemberian cairan perinfus sesuai dengan kebutuhan pada


keadaan edema laring yang hebat sehingga intake tidak dapat
peroral
Rubella Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Rubella adalah penyakit infeksi virus akut pada anak yang


umurnnya hanya memberikan gejala sistemik ringan, disertai ruam
yang hampir serupa dengan ruam pada campak (rubeola) dan
Definisi disertsi pembesaran kelenjar getah bening di daerah oksipital,
retroaurikuler, dan servikalis posterior

Rubella disebabkan oleh virus RNA rantai tunggal yang tergolong


Etiologi dalam genus Rubivirus dan dalam famili togaviridae

Mekanisme penularan melalui droplet dari sekret nasofaring


penderita. Saat tubuh terpapar virus rubella virus melekat dan
menginvasi sel-sel epitel saluran pernafasan atas melalui proses
endositosis  menyebar ke system limfatik regional secara
hematogen dan bereplikasi di jaringan limfoid nasofaring dan
saluran pernafasan atas  viremia  menyebar ke organ-organ
lain, termasuk persendian hingga kapiler kulit. Proses infeksi
Patogenesis berlangsung selama 11-14 hari, dengan masa penularan sejak 5
hari sebelum hingga 6 hari sesudah timbulnya ruam. Konsentrasi
virus tertinggi ditemukan pada secret nasofaring. Virus dapat
bertahan dalam sel limfosit dan monosit hingga 4 minggu setelah
infeksi pertama

- Gejala Prodromal: timbul l-5 hari sebelum erupsi kulit dan


segera menghilang setelah erupsi kulit timbul, gejala prodromal
rubella meliputi : Demam ringan (jarang >38,4 oC), anoreksia,
malaise, sakit kepala, nyeri tenggorokan, konjungtivitis, rhinitis,
dan batuk
- Erupsi : biasanya muncul dari daerah retroaurikular atau wajah
dan meluas ke seluruh tubuh dalam 24 jam, berupa eksantema
yang hampir serupa dengan campak. Eksantema yang paling
sering ditemui berupa ruam makulopapular konfluens dengan
gambaran morbilifurm dan dapat menimbulkan rasa gatal yang
Manifestasi Klinis ringan. Hari kedua eksantema berangsur menghilang, berawal
dari muka kemudian tubuh dan terakhir anggota gerak tanpa
meninggalkan hiperpigmentasi pada kulit.

- Tanda paling khas : ditemukannya pembesaran kelenjar limfe


di daerah retroaurikuler, servikal posterior dan occipital.
Limfadenopati ini mulai tampak jelas 24 jam sebelum mam
muncul dan dapat menetap hingga > 1 minggu.
- Pada 20% kasus dapat timbul suatu enantema berupa macula
atau ptekia pada palatum molle yang dapat melebar hingga
seluruh permukaan palatum, yang dikenal sebagai
Forscheimer spot.
1. Anamnesis yang cermat mengenai perjalanan penyakit serta
kontak dengan pendrita yang sama.
Kriteria Diagnosis 2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan penunjang

 Penyakit virus: campak, roseola infantum dan mononucleosis


infeksiosa
Diffrential diagnosis  Penyakit bakteri: demam skarlatina dan meningokoksemia
 Erupsi obat

a. Hematologic: leucopenia, limfositosis relative dan


Pemeriksaan trombositopenia ringan
Penunjang b. Imunoserologis: peningkatan titer antibody 4x pada
hemaglutation inhibition test (HAR) atau ditemukannya
antibody IgM spesifik untuk rubella dengan indeks ≥ 1
 Self limiting
Tatalaksana  Simptomatis: antihistamin, antipiretik

- Imunitas aktif  Vaksin virus hidup RA 27/3, memberikan


kekebalan hidup
Edukasi/Pencegahan - Imunitas pasif: pemberian serum immunoglobulin (GIS)
dengan dosis 0,55 ml/kgBB dalam 7-8 hari pasca pemajanan.

 Komplikasi rubella umumnya jarang dijupai pada anak-anak,


beberapa kasus dapat disertai: neuritis, arthritis dan purpura
trombositoopenik.
Komplikasi dan  Prognosis rubella pada anak: umumnya baik
Prognosis  Komplikasi pada masa awal kehamilan: anomaly congenital
berat. Sindrom rubella congenital merupakan penyakit menular
aktif dengan keterlibatan multisystem, spectrum ekspresi klinis
luas dan periode aktif pascalahir dengan pelepasan virus
lama. Prognosis rubella congenital bervariasi menurut tingkat
keparahan infeksi.

1. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
Daftar kepustakaan infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Waunders;
2004.
Rabies Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut susunan syaraf pusat


Definisi yang disebabkab oleh virus rabies yang dapat menyerang semua
jenis binatang berdarah panas dan manusia (Soemargo
sastrowarjito)

Etiologi Virus rabies termasuk famili rhabdovirus

- Masa tunas: Lamanya masa tunas pada manusia bergantung


kepada jumlah virus yang masuk dan besarnya luka. GIlROY
mengatakan 1-3 bulan, KOPROWKI menyatakan 10 hari-12
bulan

- Setelah masuk melalui kulit yang cedera, melewati permukaan


mukosa, atau melalui traktus respiratorius  virus bereplikasi
di dalam sel-sel otot  menginfeksi serabut otot  saraf
Patogenesis perifer  berpindah secara secara sentral di dalam axon
neuron

- Replikasi terjadi pada neuron perifer, dapat juga di glia (jarang)


baik perifer maupun sentral

- Virus berada di radix ganglia dorsalis dalam 60-72 jam


inokulasi dan sebelum sampai ke medulla spinalis

a. Gejala pendahuluan

Demam, malaise umum, enek dan nyeri di tenggorokan selama


beberapa hari, dan penderita merasa nyeri , rasa panas disertai
kesemutan pada tempat luka. Kemudian disusul dengan gejala
ansietas dan reaksi yang berlebih terhadap rangsang sensoris.
Selanjutnya tonus otot-otot dan aktifitas simpatis meninggi
Bentuk Klinis dengan gejala hiperhidrosis
b. Gejala stadium eksitasi
Adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal adalah
hidrofobi, aerofobi, fotofobia, takut suara keras. Pada stadium ini
dapat terjadi henti nafas, sianosis, takikardi. Tindak-tanduk
penderita tidak rasional kadang kadang maniakal diselingi
dengan saat-saat responsif. Gejala stadium eksitasi ini dapat
terus tampak sampai penderita meninggal, sebelum kematian
otot-otot justru melemas sehingga terjadi parese flaksid otot.

Kriteria Diagnosis Berdasarkan gejala klinis, laboratorium dan ada riwayat digigit
binatang
a. Isolasi virus rabies dari saliva, cairan cerebrospinalis, urine dari
hewan atau penderita rabies yang masih hidup

b. Setelah hewan atau penderita rabies mati, diagnosa dapat


dibuat berdasarkan:
Pemeriksaan
Penunjang - Pemeriksaan mikroskopis dari cerebellum atau cerebrum
dijumpai Negri bodies

- Pemeriksaan dengan cara FAT dari jaringan otak, kelenjar


ludah, preparat sentuh kornea yang dibekukan dengan CO 2
padat.

a. Bila belum ada gejala

1. Pengobatan lokal ada dua cara

- Mencuci luka gigitan dengan sabun atau detergen ,


kemudian luka dibersihkan lagi dengan alkohol 40-70 %
atau larutan yang mengandung quartenary ammonium,
kalau perlu diberikan ATS atau antibiotika.

- Luka dibersihkan dengan savlon alkohol, ditutup kain


kemudian diberikan anestesi setempat secara infiltrasi.
Obat yang dipakai: xylocain 2% atau lidokain 2% tanpa
adrenalin. Setelah rasa sakit hilang disekitar luka maka
dikerjakan explorasi dengan sayatan silang pada luka
dengan H2O2 3%

2. Pengobatan khusus: memberikan vaksinasi terapi

profilaksis dengan vaksin rabies, dilakukan apabila

Tatalaksana hewan yang menggigit mati

- Hewan berhasil ditangkap dan diawasi kemudian mati,


pada pemeriksaan laboratorium ditemukan negri bodies.

- Hewan berhasil ditangkap, dan diawasi dan kemudian


mati, pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan
negri bodies, tetapi pada anamnese sebelum dan waktu
menggigit gejalanya tersangka rabies.

Bila pada 5 hari kemudian ternyata hasil laboratorium negatif,


maka vaksinasi dapat dihentikan. Bila tersangka rabies selain
vaksinasi profilaksis diberikan juga booster dan serum anti
rabies dengan dosis 40 IU per kgBB pada hari ke-0
b. Bila sudah ada gejala

1. Bila luka sembuh tetap dilakukan pengobatan lokal

2. Pemberian VAR atau SAR tak ada gunanya lagi, pengobatan


hanya simtomatis

3. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi penderitaan


penderita: Pasien harus dirawat di rumah sakit, diruang isolasi,
pemberian IVFD
Cara pemberian vaksin anti rabies (VAR) bersama dengan
serum anti rabies (SAR)

1. Vaksin jaringan otak kera:


 Dosis : 2 cc dewasa, 1 cc anak (umur 3
tahun)
 Pemberian : subkutan
 Sebanyak : 14 kali
 Booster : hari 10,20,90 setelah suntikan
terakhir vaksin anti rabies 2 cc
2. Vaksin duck embrio
 Dosis : 2 cc
 Pemberian : subkutan
 Sebanyak : 14 kali
 Booster : 1 bulan setelah suntikan terakhir
vaksin anti rabies 2 cc
3. Vaksin suckling mouse embrio
 Dosis : 2 cc dewasa, 1 cc anak (umur 5
tahun)
 Pemberian : subkutan
 Sebanyak : 7 kali
 Boster : hari 11,15, dan hari 25,35 90 setelah
suntikan pertama dengan dosis 0,25 cc dewasa
dan 0,1 cc anak-anak
4. Vaksin H.D.C

 Dosis : 1 cc
 Pemberian : subkutan
 Sebanyak : 6 kali (hari ke 0,3,7,14,30,90)

Untuk kasus kasus yang menerima Pasteur treatment, maka perlu


diperhatikan ketentuan dibawah ini:

 Bila seorang pasien telah divaksinasi dengan VAR dan dalam


waktu 3 bulan setelah vaksinasi digigit lagi oleh hewan yang
positif rabies maka tidak perlu di vaksin lagi
Tindak Lanjut  Bila seorang pasien telah divaksinasi dengan VAR dan dalm
waktu 3-6 bulan setelah vaksinasi digigit lagi oleh hewan yang
positif rabies maka perlu diberi 2 kali suntikan rabies dengan j
jarak 1 minggu sebanyak 2 cc subkutan disekitar pusat
 Bila seorang pasien telah divaksinasi dengan VAR dan dalam
waktu lebih dari 6 bulan setelah vaksinasi digigit lagi oleh
hewan yang positif rabies maka pasien tadi dianggap pasien
baru

Daftar kepustakaan 1. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Waunders;
2004.
Abses Peritonsiler Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium peritonsiler, yaitu


daerah yang terdapat diantara tonsil dengan m. kontriktor superior,
Definisi biasanya unilateral dan didahului oleh infeksi tonsilipharingitis akut
5-7 hari sebelumnya

Streptokokus beta hemolitikus group A ,stafilicocus, kuman


Etiologi anaerob

Biasanya didahului oleh infeksi tonsilopharingitis akut 5-7 hari


sebelumnya, berupa demam,dapat mencapai 40,5 0C, nyeri
tenggorokan, mialgia, malaise, sukar menelan (tanda khas berupa
Anamnesis air liur yang menetes keluar), trismus (karena spasme pada m.
pterygodeus internus), tidak mau makan dan bicara, spasme pada
otot otot homolateral (torticolis)

Mukosa mulut merah dan sembab, tonsil meradang, uvula


Pemeriksaan fisik terdorong ke arah yang berlawanan, perabaan digital: fluktuasi di
puncak anterior tonsil yang terkena

 Peritonsilitis
 Lues primer atau tersier
Diffrential diagnosis  Tumor
 Aneurisma a. carotis interna

Laboratorium

Pemeriksaan - Darah rutin : leukositosis


Penunjang
- Kultur : Streptokokus beta hemolitikus group A,

Stafilokokus

 Istirahat, diet BB, kompres hangat


 Insisi dan drainage
 Kumur PK 1/10.000
 Antibiotika:
Tatalaksana - Penisilin G prokain 50.000 IU/kgBB/hari atau
- Ampicillin 100 mg/kgBB /hari atau
- Eritromisin 50 mg/kg BB/hari selama 5-12 hari
 Tindak lanjut: bila ada riwayat tonsillitis kronis: tonsilektomi
(rekurensi 10% bila ada riwayat tonsilitis kronis)
Sepsis, trombosis, abses parafaringeal,mediastinitis, osteomilitis
Komplikasi sela tursika, oedema laring, obstruksi laring, tromboflebitis vena
leher, angina ludovici

1. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
Daftar kepustakaan infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Waunders;
2004.
Varicella Kode ICD : B01
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Varisela adalah penyakit infeksi disebabkan oleh virus varicella


zoster yang ditandai dengan adanya ruam yang gatal (stadium
Definisi vesikular) dengan berbagai macam stadium lesi dalam satu waktu
tertentu

Etiologi Virus varicella zoster termasuk dalam famili Herpesviridae

 Infeksi virus primer (kontak langsung atau droplet) 


konjungtiva dan atau mukosa traktus respiratorius bagian atas
 replikasi di nodus limfatikus regional  viremia pertama (4-
6 hari setelah infeksi)  replikasi di hati, limfa dan organ lain
 viremia kedua (10-12 hari setelah infeksi)  infeksi kulit dan
Patogenesis muncul ruam vesikular (14 hari setelah infeksi);
immunocompromised: manifestasi lebih berat  laten

 Reaktivasi  herpes zoster

 Varisela progresif: varisela + keterlibatan organ visera,


koagulopati, perdarahan hebat, nyeri abdomen hebat, vesikel
hemoragik (pada remaja, dewasa, anak immunocompromised,
wanita hamil dan bayi baru lahir).
Bentuk Klinis  Varisela neonatal: infeksi intrauterine, lahir 1 minggu sebelum
(Klasifikasi) atau setelah onset varisela pada ibu
 Sindrom varisela kongenital: retardasi pertumbuhan intrauterin,
mikrosefal, atrofi kortex, hipoplasia ekstremitas bawah,
mikroftalmia, katarak, korioretinitis, jaringan parut pada kulit

- Adanya riwayat kontak dengan penderita varisela.


Anamnesis - Gambaran klinis dimulai dengan demam ringan, dalam 24 jam
pertama diikuti oleh sakit kepala  ruam yang gatal

Ditemukan ruam: makula  papul  vesikel  pustul  3-5 hari:


Pemeriksaan fisik krusta. Ruam pertama kali ditemukan di kepala dan dada 
seluruh tubuh(distribusi sentral). Pada satu waktu tertentu dapat
ditemukan berbagai macam stadium lesi

 Anamnesis : perkembangan efloresensi serta manifestasi


umum
 Pemeriksaan fisik : ruam yang spesifik (bentuk dan jumlah
Kriteria Diagnosis efloresensi)
 Tetapkan kemungkinan saat terjadinya infeksi pada varisela
kongenital
 Pastikan apakah terdapat komplikasi atau tidak
Pemeriksaan  Laboratorium: tidak ada yang spesifik, kecuali biakan virus
Penunjang

 Simptomatis: kompres dingin atau anti histamin oral dan


calamine lotion dapat diberikan untuk mengatasi gatal.
 Bila lesi masih vesikular: bedak agar tidak mudah pecah +
antipruritus sepseri mentol 0,25-0,5%.
 Asetaminofen untuk atasi demam atau nyeri radikuler (tidak
boleh diberi salisilat  risiko sindrom Reye ↑)
 Suportif: mandi tiap hari, kuku dijaga tetap pendek dan bersih
serta tidak menggaruk lesi untuk mencegah infeksi sekunder
 Medikamentosa:
Asiklovir 80 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis peroral selama 5 hari
Indikasi :
Tatalaksana
- Anak > 12 thn, penyakit kulit atau paru kronis, terapi
salisilat jangka panjang, diberikan pada anak remaja (untuk
mengurangi komplikasi)

- Anak sehat < 12 tahun jika ditemukan dalam 24 jam


pertama timbulnya ruam.

 Pasien immunocompromised diberikan asiklovir 1500


mg/LPT(m2)/hari dalam 3 dosis IV selama 7-10 hari. Bila
terdapat gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 10
mg/kgBB/kali, tiga kali sehari
 Varisela neonatal: asiklovir 750 mg/LPT (m2)/hari

Infeksi sekunder (umumnya staphylococcus atau streptococcus),


manifestasi SSP : meningitis aseptik, serebritis, ensefalitis, ataxia
Komplikasi serebelar akut post infeksius, ITP, otitis media, nefritis, miokarditis,
arthritis

- Tanpa komplikasi : baik

- Angka mortalitas: anak sehat usia 1-14 tahun: 2/100.000 kasus

- Anak immunocompromised : lebih tinggi


Prognosis - Ataxia serebelar akut post infeksius: 1/4000 kasus

- Herpes zoster: 15%, ensefalitis 1,7/100.000 kasus (mortalitas 5-

20%)

1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of


pediatric infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB
Saunders: 2004.
Daftar kepustakaan 2. Gershon AA, Hotez PJ, Katz S. Krugman‟s infectious disease
of children. 11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004.
3. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
Selulitis Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Infeksi akut kulit dan jaringan ikat longgar / jaringan subkutan yang
Definisi ditandai dengan adanya daerah yang bengkak, kemerahan, hangat
dan nyeri yang terlokalisir

 Faktor predisposisi: trauma, operasi, atau lesi kulit lainnya


(fisura, laserasi, edema dll)
 Penyebab tersering: Staphylococcus aureus, streptococcus
grup A beta hemolitikus, H. Influenza tipe b (anak <5 th)
 Selulitis ekstremitas: S. Aureus, S. Pyogenes
 Selulitis periorbital: S. Aureus, pneumococcus, Streptococcus
grup A
Etiologi  Selulitis buccal, fasial: H. influenza
 Infeksi luka post operasi (dada, abdomen, bokong), selulitis
perianal: Streptococcus grup A
 Immunocompromised, diabetes mellitus: Pseudomonas
aeruginosa, Aeromonas hydrophilia, gol. Enterobacteriaceae
lain, jamur
 SN relaps: E. Coli

Faktor predisposisi  organisme pada kulit masuk ke dermis 


Patogenesis multiplikasi  selulitis

Berdasarkan lokasi: selulitis fasial, buccal, periorbital, perianal,


Bentuk Klinis ekstremitas
(Klasifikasi)

Manifestasi klinis: daerah yang edema, eritem, hangat dan nyeri,


Anamnesis dan batas lateral tidak tegas, penekanan: pitting ± gejala sistemik
Pemeriksaan Fisik

 Tegakkan diagnosis berdasarkan manifestasi klinis


Kriteria Diagnosis  Perkirakan etiologi berdasarkan usia, manifestasi klinis, lokasi,
status imun, penyakit penyerta
 Pemeriksaan penunjang sesuai dengan komplikasi yang ada

Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang sesuai dengan komplikasi yang ada,


Penunjang abses  aspirasi daerah inflamasi  pewarnaan gram dan kultur +
resistensi kuman, hitung lekosit

 Kompres hangat daerah lesi


 Lesi: ekstremitas bawah  Imobilisasi dan elevasi
 Antibiotika (empiris)
Tatalaksana  Tanpa gejala konstitusional: antibiotika oral:
dikloksasilin/sefaleksin /sefuroksim asetil /eritromisin /
klindamisin minimal 10 hari. Jika perbaikan (-) dalam
24-48 jam  antibiotika intravena
 Dengan gejala konstitutional: Antibiotika IV (empiris):
kombinasi ampisilin + gentamisin, atau sefalosporin
generasi III (Cefotaxim atau ceftriaxon) sampai gejala
konstitusional (-) & selulitis membaik (3-5 hari)  ganti
AB oral, lama terapi 7-14 hari
Selanjutnya sesuai hasil pewarnaan gram dan biakan dan
klinis

 Bila lesi supuratif  insisi dan drainase


 Bila nekrosis  debridemant

Abses subkutan, osteomielitis, artritis septik, tromboflebitis, sepsis,


Komplikasi fasciitis nekrotikans, limfangitis, glomerulonefritis

Prognosis baik, kasus neglected: mortalitas 5%


Prognosis
Osteomielitis Akut Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Adalah infeksi piogenik pada tulang


Definisi

Etiologi Semua usia: S. aureus; neonatus: S. aureus, streptococcus grup B,


basil enteric gram negative, streptococcus grup A; > 6 thn: S.
aureus, streptococcus, P. aeruginosa. Lain-lain: mycobacterium
atipik, candida, infeksi virus

Infeksi (hematogen, atau sekunder akibat: trauma penetrasi,


pembedahan, infeksi daerah yang berdekatan)  deposit bakteri
pada metafise  migrasi fagosit produksi eksudat inflamasi:
Patogenesis kortex metafise  kanalis Volkmann & system Harves  rongga
subperiosteum  elevasi periosteum  tekanan di bawah
periosteum ↑  suplai darah <, iskemi  nekrosis  sekuestrum,
involukrum  osteomielitis kronis

Berdasarkan pola penyebaran

 Osteomyelitis hematogen akut (tersering)


 Osteomyelitis akibat invasi lokal dari fokus infeksi yang
berdekatan
 Osteomyelitis akibat inokulasi langsung pada tulang (trauma
Bentuk Klinis atau pembedahan)
(Klasifikasi)
Berdasarkan perjalanan penyakit

 Osteomielitis akut: infeksi tulang < 2 minggu (tersering)


 Osteomielitis subakut: infeksi tulang berlangsung 2-6 minggu
 Osteomielitis kronis: infeksi tulang berlangsung > 6 minggu

o Tersering mengenai tulang panjang: femur, tibia, and humerus


o Umumnya terdapat demam, nyeri tulang, bengkak,
kemerahan, dan gerakan yang terbatas pada bagian tubuh
Anamnesis yang terkena
o Neonatus dan bayi kecil: tidak dapat menopang tubuh,
gerakan ekstremitas asimetris

o Pembengkakan fokal yang nyeri, edema, eritema, hangat.


Pemeriksaan fisik o Gerakan sendi tulang yang terlibat terbatas.
o Neonatus: pseudoparalisis atau nyeri pergerakan

 Tanda-tanda radang lokal: edema, eritema yang terlokalisir,


hangat, nyeri tekan + pemeriksaan pencitraan yang positif:
Kriteria Diagnosis radiografi, CT scan
 Etiologi: biakan darah atau aspirat pus yang positif
o Foto Rö polos. Hasil: saat awal hanya pembengkakan jaringan
lunak, atau muscle plane displacement dari metafise yang
berdekatan; lanjut (>10 hari): perubahan struktur tulang
(osteopenia, lesi litik, elevasi periosteal)
Pemeriksaan o CT scan bila melibatkan tulang dengan struktur anatomis yang
Penunjang kompleks seperti pelvis, sternum, kalkaneus. Hasil: destruksi
korteks, abses atau gas ekstra osseus, sekuester tulang
o Biakan darah, biakan + pewarnaan gram aspirat tulang atau
sendi
o Lab: lekositosis, shift to the left, bisa trombositosis, LED
meningkat, CRP (+)

 Antibiotika IV (empiris) sambil menunggu hasil biakan


o Bayi & anak < 5 thn: Cefuroxim 200-300 mg/kgBB/hari
dalam 3 dosis IV
o > 5thn: Cefazolin 100-150 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis
IV
o Pada pasien dengan penyakit sickle cell: tambahkan
cefotaxim atau ceftriaxon
o Jika alergi terhadap gol beta-lactam : clindamycin 30-
40 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis IV
o Pada pasien immunocompromised: kombinasi
vancomycin dan ceftazidim
 bila tidak memungkinkan gunakan kombinasi
Tatalaksana ampisilin dan gentamisin IV

Jika kemajuan klinis tidak memuaskan AB disesuaikan


dengan hasil biakan. Jika biakan (-), klinis tidak perbaikan
: pikirkan MRSA sebagai penyebab & berikan AB yang
sesuai yang tersedia (vancomycin), lakukan biopsi.

Lama terapi: 4-6 minggu

Osteomielitis kronis: AB dilanjutkan sampai beberapa


bulan sampai terdapat perbaikan klinis dan radiologis .

 Tindakan operasi sesuai pertimbangan ahli bedah ortopedi


 Bila harus berbaring lama dengan ekstremitas fleksi 
setelah 2-3 hari, nyeri < : mulai latihan range of motion
(ROM) pasif diteruskan sampai aktivitas normal kembali

 Pemeriksaan darah rutin, LED dan CRP diulang setiap 1


Tindak Lanjut minggu sekali
 Monitor efek samping obat: SGOT, SGPT, supresi sumsum
tulang, ureum, kreatinin
 Pemeriksaan radiologis diulang setelah 4 minggu terapi
 Syarat penghentian AB: (1) resolusi gejala klinis dan
radiologis, (2) LED normal
 Pengamatan jangka panjang: ROM sendi dan panjang tulang

Rekurensi, kontraktur, akselerasi pertumbuhan kurang, kerusakan


Komplikasi lempeng pertumbuhan, fraktur pada tulang yang terkena

Tatalaksana adekuat dan tepat  rekurensi 5-10%


Prognosis
Rekurensi  osteomielitis kronik
Taeniasis Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Definisi Adalah infeksi oleh cacing pita dewasa

Tersering: Taenia saginata (sapi), Taenia solium (babi). Umumnya


Etiologi hanya 1 cacing pita dewasa ada pada usus

Ingesti daging mentah/tidak matang yang mengandung larva /


sisteserkus  usus halus: sistiserkus  cacing pita dewasa (2
bulan): scolex menempel di dinding usus halus  parasit
Patogenesis menambah segmen-segmen baru  segmen terminal matur dan
gravid (T. saginata 10-12 mg, T. solium 5-12 mg)  50.000
telur/hari, dapat bertahan hidup sampai 25 tahun

Bentuk Klinis
(Klasifikasi) Tidak ada bentuk klinis khusus

Manifestasi klinis: asimtomatis, atau keluhan ringan-sedang:


Anamnesis nausea, diare, nyeri abdomen, pruritus ani, lemah, tidak nafsu
makan, sakit kepala, iritabel

Ditemukannya proglottid pada feses atau pada daerah perianal,


Kriteria Diagnosis atau pengamatan mikroskopis proglottid atau telur cacing pita pada
feses

Pemeriksaan o Pemeriksaan tinja 3 kali berturut-turut: telur, proglottid


Penunjang o Darah rutin: eosinofilia (5-45%)

 Antihelmintik
o Praziquantel 5-10 mg/kgBB peroral 1 kali (obat
pilihan utama)  tidak tersedia di pasaran
bebas/apotik di Indonesia (hubungi bagian
Parasitologi FKUI Jakarta),
o Alternatif:
Tatalaksana  Niclosamide (yomesan) 50 mg/kgBB
peroral 1 kali untuk anak, dewasa 2 gram.
 Mebendazol atau albendazol 2x100 mg
peroral 3 hari berturut-turut
o Tindakan bedah sesuai komplikasi
 Konsultasi bedah bila terdapat acute surgical abdomen,
apendisitis, obstruksi saluran empedu atau pankreas

Angka kesembuhan dengan praziquantel >95%


Prognosis
Acute surgical abdomen, apendisitis akut, obstruksi saluran
Komplikasi empedu atau pankreas, pertumbuhan cacing pita di lokasi ektopik
(telinga tengah, jaringan adenoid, kavum uteri)

 Pemantauan keberhasilan terapi: pemeriksaan tinja 3 hari


berturut-turut setelah pemberian obat (cari scolex, proglottid,
Tindak Lanjut telur cacing pita), kemudian 3 bulan kemudian
 Pencegahan: menghindari kontak erat dengan tikus, kera dan
babi

Daftar kepustakaan Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
Demam Scarlatina Kode ICD : A38,A46
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Suatu infeksi saluran nafas atas dengan rash khas yangdisebabkan


Definisi
infeksi eksotoksin pirogen yang diproduksi oleh Streptokokus grup

A pada individu yang tidak mempunyai antibodi antitoksin

Etiologi Eksotoksin pirogen yang diproduksi oleh Streptokokus grup A

Rash timbul 24-48 jam setelah gejala infeksi saluran nafas atas.
Mulai timbul sekitar leher ke badan dan ekstremitas → rash difus →
papular, erupsi eritematous → warna merah terang pada kulit dan
memutih pada penekanan, terutama pada lipatan siku, aksila, dan
Manifestasi Klinis paha. Kulit seperti kulit angsa dan teraba kasar. Setelah 3-4 hari →
rash menghilang diikuti deskuamasi. Faring hiperemis. Lidah :
coated tongue, papil bengkak, setelah kulit deskuamasi → papil
memerah prominen seperti strawberry tongue.

Kriteria Diagnosis Kultur dari swab tenggorok → ditemukan Streptokokus grup A

 Morbili
 Roseola
Diffrential diagnosis  Penyakit Kawasaki
 Erupsi obat

Pemeriksaan Kultur swab tenggorok


Penunjang

Penisilin V 30-60 mg /kgbb/hari per oral dibagi 2-4 x/hari, atau


Eritromisin 20-40 mg/kgbb/hari terbagi 2-4x/hari, selama 10 hari,
Tatalaksana atau dosis tunggal Benzatin Penisilin G 600.000iu (BB < 30kg) atau
1.200.000iu (BB > 30kg) i.m

Demam rematik, Glomerulonefritis akut


Komplikasi

Bila cepat diobati → baik


Prognosis

1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of


Daftar kepustakaan pediatric infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB
Saunders: 2004.
2. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
Meningokoksemia Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi Neisseria meningitidis

dengan gambaran penyakit :


Definisi
 Bakteriemia tanpa sepsis
 Meningokoksemia (sepsis) tanpa meningitis
 Meningitis dengan atau tanpa meningokoksemia

Etiologi Neisseria meningitidis

Bentuk klinis meningokoksemia :

1. Meningokoksemia Akut

Diawali faringitis, demam, mialgia, lemas, muntah, diare, dan


atau sakit kepala. Rash makulopapular timbul sebelum gejala
berat terjadi → septik syok ditandai dengan hipotensi, DIC,
asidosis, perdarahan adrenal, gagal ginjal, gagal jantung dan
koma. Petekie dan purpura dapat menonjol (purpura berat),
Manifestasi dapat disertai atau tanpa meningitis.Tersering → meningitis
klinis dengan meningokoksemia : sakit kepala, fotofobia, letargi,
muntah, kaku kuduk dan gejala rangsang meningeal yang lain,
kejang dan gejala neurologik fokal lebih sedikit dibanding
meningitis lainnya

2. Meningokoksemia Kronis

Demam, tampak tidak toksik, artralgia, sakit kepala dan rash


mirip infeksi gonokokus. Lama penyakit 6-8 minggu.

 Kultur darah, LCS, atau cairan sinovial → Neisseria


Kriteria Diagnosis meningitidis
 Kultur atau pengecatan gram dari petekia atau lesi papular →
Neisseria meningitidis

1. Sepsis

2. Meningitis lainnya

3. Rocky Mountain Spotted Fever

4. Ehrlichiosis atau epidemic tifus


Diffrential diagnosis
5. Endokarditis bakterialis

6. Autoimun vaskulitis, serum sickness, SHU, ITP, erupsi obat

7. Infeksi echovirus, coxsackie virus


8. Vaskulitis lainnya

9. Eksantem virus

10. Penyakit kawasaki

Pemeriksaan  Kultur darah, LCS, atau cairan sinovial


Penunjang  Kultur atau pengecatan gram dari petekia atau lesi papular

Penisilin G 250.000-400.000iu/kgbb/hari dibagi 4-6x/hari atau


Cefotaxime 200mg/kgbb/hari atau Ceftriaxone 100 mg/kgbb/hari
atau Kloramfenikol 75-100 mg/kgbb/hari dibagi 4x/hari, lama
Tatalaksana pemberian 5-7 hari.

Meningokoksemia dengan meningitis → lihat SP Meningitis.

Profilaksis → segera pada keluarga serumah, sekolah, dan orang


yang kontak dengan sekret penderita selama 7 hari sebelum
serangan penyakit :

 Anak-anak : Rifampisin 10mg/kgbb/dosis 2x/hari (2 hari),


Pencegahan maks.600 mg
 Bayi < 1 bulan : Rifampisin 5mg/kgbb/dosis 2x/hari (2 hari)
 Anak <12 tahun : Ceftriakson 125 mg dosis tunggal i.m.
 Anak > 12 tahun : Ceftriakson 250 mg dosis tunggal i.m
 Usia ≥ 18 tahun : Ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal

 Berat : vaskulitis, DIC, hipotensi.


 Kulit : pembentukan parut.
 Syaraf : tuli, empiema, subdural efusi, abses otak, ataxia,
Komplikasi kejang, buta, obstruktif hidrosefalus
 Perdarahan adrenal, endoftalmitis, artritis, dan vaskulitis
kutaneus (eritema nodusum), endokarditis, perikarditis,
miokarditis, pneumonia, abses paru, peritonitis.
Parotitis Epidemika (Mumps) Kode ICD : B26
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Penyakit virus akut dan menular yang ditandai oleh pembesaran


Definisi kelenjar ludah terutama kelenjar parotis.

Virus parotitis, merupakan kelompok Paramyxo virus, suatu virus


RNA tunggal yang terbungkus dalam selubung protein dan lemak
Etiologi yang memiliki zat hemaglutinasi neuroaminidase dan hemolisisn,
rusak pada pemanasan sampai 56 0 C selama 20 menit.

Terdapat 2 teori :

1. Virus masuk melalui mulut ke dalam duktus Stensen kelenjar


parotis dan terjadi multiplikasi pertama pada kelenjar ini →
viremia umum → testis, ovarium, pankreas, tiroid, ginjal, jantung,
Patogenesis dan otak.

2. Replikasi primer dalam epitel permukaan saluran nafas →


viremia umum dan lokalisasi serentak dalam kelenjar saliva da
alat tubuh lainnya.

Masa inkubasi 14-24 hari. Stadium prodromal → perasaan lesu,


mialgia pada leher, sakit kepala, nafsu makan turun. Ditemukan
pembesaran satu atau kedua kelenjar ludah lainnya → bengkak
dan rasa sakit disertai demam subfebris atau normal. Dapat
Manifestasi ditemukan pembengkakan kelenjar submandibular dengan dua
klinis pola yaitu : berbentuk lonjong yang meluas ke arah depan dan
bawah mulai dari sudut tulang rahang bawah dan bentuk setengah
lonjong meluas secara langsung ke arah bawah.

Adanya suatu epidemi, gejala klinis, leukopenia dengan limfositosis


Kriteria Diagnosis relatif, peningkatan kadar amilase serum, isolasi virus,
pemeriksaan serologis atas antibodi V dengan kenaikan titer 4 kali.

 Parotitis karena sebab lain ; infeksi virus Koksaki A dan


koriomeningitis limfositik
 Parotitis supuratif
 Kalkulus saliva
Diffrential diagnosis  Osteomielitis pada ramus mandibula
 Pembesaran kelenjar limfe di bagian proksimal kelenjar
parotis biasanya disertai konjungtivitis.

Tatalaksana Simtomatis, istirahat baring disesuaikan dengan kebutuhan pasien,


makanan disesuaikan dengan kemampuan mengunyah.
Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi MMR (Measles,
Mumps, Rubella) diberikan subkutan pada anak lebih dari 15 bulan
Orkitis, Epididimitis, Meningoensefalitis, Ooforitis, Pankreatitis,
Komplikasi Nefritis, Tiroiditis, Miokarditis, Mastitis, ketulian, komplikasi okuler
dan artritis.

Daftar kepustakaan 1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of
pediatric infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB
Saunders: 2004.
2. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
3. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Waunders;
2004.
Filariasis Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi nematoda dari famili


Definisi filariodea

Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori, Onchocerca


Etiologi volvulus, Mansonella

 Cacing dewasa hidup dalam cairan dan saluran limfe serta


mengembara dalam jaringan ikat bawah kulit dan rongga
tubuh. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang akan
masuk ke dalam pembuluh darah/limfe, kemudian masuk ke
dalam peredaran darah sampai ke darah tepi dan akan terisap
oleh nyamuk.

 Dalam tubuh nyamuk mikrofilaria masuk melalui probosis dan


seterusnya kelambung nyamuk dan akan berubah menjadi
larva setelah mikrofilaria melepaskan sarungnya, kemudian
larva menembus dinding lambung nyamuk dan masuk
Patogenesis keperedaran darah nyamuk, akhirnya larva akan mencapai
daerah toraks nyamuk. Dalam toraks nyamuk larva akan
berkembang dari larva 1 menjadi larva 3 (larva infektif),
sebagian dari larva 3 menuju keabdomen dan sebagian lagi
menuju ke probocis dn dikeluarkan oleh nyamuk betina bila
menghisap darah.

 Larva yang masuk kedalam tubuh nyamuk tidak 100% akan


menjadi/mencapai stadium infektif. Pertumbuhan dan
perkembangan larva sangat dipengaruhi oleh suhu dan
keadaan tubuh nyamuk itu sendiri.

 Massa inkubasi yaitu mulai dari masuknya larva infektif ke


dalam kulit sampai pertama kali timbulnya mikrofilaria di dalam
darah tepi, lamanya bervariasi, antara 5 – 15 bulan.

 Manifestasi awal adalah nyeri hebat, pembengkakan,


kemerahan sepanjang saluran limfe dan funikulitis dangan
atau tanpa orchitis atau hidrokel, kadang-kadang disertai
Manifestasi manifestasi Tropical Pulmonary Eosinophilia. Gejala tersebut
klinis hilang bila penderita beristirahat total, tetapi cenderung utnuk
kambuh kembali bila melakukan aktivitas.

 Gejala filariasis dapat dibagi dalam 2 golongan:

1. Akibat infeksi (akut): Limfangitis, Limfadenitis, Funikulitis,


orchitis, epididymitis.

2. Akibat bendungan (Kronik): Elefantiasis, Chiluria


- Ditemukan adanya mikrofilaria dalam darah

- Sero diagnosis

▪ Skin test

▪ Complemen Fixation Test

▪ Immunofluorescent test
Kriteria Diagnosis
 Indirect Fluorescent Antibody Test

▪ ELISA

- Biopsi, dilakukan biopsi pada kelenjar limfe yang membesar,

khusus untuk O. Volvulus dilakukan biopsi dari kulit.

 Limfangitis filariasis harus dibedakan dengan limfangitis


bakterial, dimana kedua gejala tersebut hampir sama

 Hernia

 Granuloma Inguinalis
Diffrential diagnosis
 Limfoma malignum

 Malaria dan infeksi bakteri lainnya

 Leprosi

 Skabies

 Ditemukan adanya mikrofilaria dalam darah tepi dengan


tetesan tebal

 Tes provokasi Dietil Carbamazine (DEC)

Mikrofilaria yang bersifat nokturnal dapat ditemukan dalam darah


tepi yang diambil pada waktu siang hari, dengan pemberian DEC 2
mg/kgbb dan darah diambil 45-50 menit setelah pemberian obat

 Menghitung mikrofilaria

Mikrofilaria dihitung dengan mengambil 0,25 ml darah yang


Pemeriksaan diencerkan dengan asetat 3% sampai menjadi 0,5 cc dan dilihat
Penunjang dibawah mikroskop dengan menggunakan Sedgwick Refler
counting Cell.

Densitas tinggi : 50 mf/ml darah

Densitas rendah : 11 – 49 mf/ml darah

Densitas sangat rendah : 1 – 10 mf/ml darah

 Cara Konsentrasi

Metode Knotts: 1 ml darah diencerkan dalam 9 ml air dan


ditambahkan 1 ml formalin 2%, kemudian dikocok dan disentrifus
dan endapan diperiksa dibawah mikroskop
 Sero diagnosis

▪ Skin test

▪ Complemen Fixation Test

▪ Immunofluorescent test

Indirect Fluorescent Antibody Test

▪ ELISA

 Biopsi, dilakukan biopsi pada kelenjar limfe yang membesar,


khusus untuk O. Volvulus dilakukan biopsi dari kulit.

a. Makrofilaria

- Preparat antimon, dosisnya 8 ml (larutan 5%) diberikan secara


intravena, selang sehari dosis dinaikkan 4 ml sampai tercapai dosis
28 ml dengan dosis total 360 ml.

- Arsenic 100 m intramuscuker/hari diberikan sebanyak 4 kali


pemberian.

b. Mikrofilaria

- DEC (Diethyl Carbamazine Citrate, Hetrazan)

Tatalaksana Cara kerja obat ini diduga mempermudah fagositosis mikrofilaria


oleh makrofag di RES. Dosis yang diberikan adalah 6
mg/kg.bb/hari diberikan 3 kali.

- Furapyrimidone

Mempunyai efek yang sama dengan DC dalam hal mikrofilarisidal.


Dosis yang dianjurkan: untuk B. Malayi 15 – 20 mg/kgbb/hari
selama 6 hari. Untuk W. Bancrofti 20 mg/kgbb/hri selama 7 hari.

- Ivermictin

Sangat paten terhadap O. Volvulus dan Loa-loa. Dosis yang


diberikan 150 mcg/kgbb dosis tunggal untuk O.Volvulus, 200
mcg/kgbb dosis tunggal untuk loa-loa.

Limfangitis, Limfadenitis, Funikulitis, Orchitis, epididymitis,


Komplikasi elefantiasis, chiluria

Daftar kepustakaan Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
NOMA (Oro facial gangrene) Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Suatu penyakit infeksi yang menghancurkan struktur jaringan lunak


Definisi dan jaringan keras pada area oral dan paraoral, meliputi
mandibula, maksila, hidung dan dapat meluas ke batas infra orbita.

1. Bakteri:

- Fusobacterium necroforum

- Prevotella intermedia

- Streptococcus α hemoliticus

- Actinomyces spp

- Escherecia coli

- Staphylococcus alfa hemoliticus

- Bacteroides spp
Etiologi - Peptostreptococcus

2. Virus:

- Measles

- Human Immunodeficiency Virus (HIV)

- Human Cytomegalo Virus (HCV)

Predisposisi

Anak umur 2-7 tahun dengan trias malnutrisi, „debilitating disease‟,


dan „oral hygiene‟ yang jelek

Faktor Risiko : Kemiskinan, malnutrisi kronis, sanitasi lingkungan


yang buruk, suplai air bersih yang tidak memadaii, peningkatan
eksposur terhadap infeksi virus dan bakteri, misal mengalami
necrotizing ulcerative gingivitis

Demam, pembengkakan di area oronasal berserta pus  terjadi


krusta  flare-up infeksi  jaringan granulasi  nekrosis,
Manifestasi diskolorisasi (jaringan biru kehitaman)  lokalisasi jaringan
klinis nekrosis  lesi mengering, proliferasi jaringan epitel pada tepi lesi
 lesi seperti sembuh, tanda infeksi aktif negatif  terlepasnya
jaringan lunak yang menutupi lesi  terbentuk fistel orokutaneus
 nekrosi lengkap  tulang terekspos(+)
1. Koreksi dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan kondisi
malnutrisinya.

2. Pengobatan penyakit yang mendahului/mendasari (seperti


malaria atau measles)

Tatalaksana 3. Pemberian antibiotika yang sesuai dengan kultur, resistensi dan


sensitivitas (sebelum hasil kultur didapatkan, pemberian penisilin
dan metronidazol cukup efektif).

4. Perawatan luka dengan antiseptik.

5. Pembersihan jaringan nekrotik dengan pembedahan.

1. Terjadi ankylosing dan hilangnya sebagian jaringan rahang,


mulut dan pipi.

2. Impairment dalam berbicara dan mengunyah.


Komplikasi
3. Gangguan fisik dan psikologis pada tumbuh kembang anak.

4. Komplikasi sistemik berupa toksemia, dehidrasi dan


bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian.

Prognosis Morbiditas dan mortalitas tinggi.


PATOGENESIS

INFECTION
(eg Measles, Herpesviridae)

STRESS

Fever
Neutropenia Anorexia
T-Cell Immunosuppression Nutrient Needs ↑
Complement Consumption Tissue Catabolism ↑
Hypercortisolemia
Th 1  Th 2 Shift

IMPAIRED HOST MALNUTRITION POOR DIET


RESISTANCE (eg Micronutrient Deficiencies)

POOR ORAL
STRESS
HYGIENE

Local Viral Multiplication in the Mouth


Impaired Oral Mucosal Immunity
Altered Structural Integrity of Oral Mucosa Impaired
Selective Growth of Pathogenic Bacteria Salivary Gland
Reduced T-Cell Function Function
Impaired PMN Function

ACUTE NECROTIZING GINGIVITIS


AND OTHER ORAL MUCOSAL ULCERS

Specific Microorganisms
eg Fusobacterium Necrophorum,
Prevotella Intermedia

NOMA
Abses Retrofaringeal Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Abses retrofaringeal adalah infeksi yang terjadi pada rongga


Definisi
retrofaring, disebabkan kuman gram positif dan gram negatif.

 Kuman aerobik, misal: Streptococcus beta hemoliticus dan


Staphylococcus aureus
Etiologi  Kuman anaerobik, misal: Bacteiroides dan Veinonella
 Kuman gram negatif, misal: Haemophillus parainfluenzae dan
Bartonella henselae

Rongga retrofaringeal adalah suatu rongga yang terletak di


belakang faring yang dibatasi oleh: fascia buccofaringeal di bagian
Patogenesis
anterior, fascia prevertebral di bagian posterior dan di sebelah
lateral terdapat carotid sheath, rongga ini meluas di bagian atas
dasar tengkorak dan di bagian bawah dengan mediastinum.

 Pada anak-anak usia > 1 tahun: dijumpai gejala nyeri


tenggorokan, demam, pembengkakan daerah leher, batuk dan
odynophagia (rasa nyeri akibat pembengkakan di daerah
orofaring).
 Pada anak usia < 1 tahun: dijumpai gejala demam,
Manifestasi pembengkakan leher, intake oral yang menurun, rhinorrhea,
klinis letargi dan batuk.
 Pemeriksaan klinis pada bayi dan anak dijumpai: adenopati
cervical, retropharyngeal bulge, demam, stridor, tortikolis,
pembengkakan leher, agitasi, massa pada leher, letargi, distres
pernafasan.

 Dilakukan pemeriksaan darah rutin (dijumpai leukositosis),


kultur darah, kultur pus, dan CRP

 Foto rontgent lateral leher: tampak gambaran pelebaran


jaringan lunak retrofaring (setinggi C2 pelebaran mencapai 7
mm dan setinggi C6 pelebaran mencapai 14 mm), bila terjadi
pelebaran space paravertebral maka akan tampak gambaran
Pemeriksaan air fluid level, adanya gas dalam jaringan atau benda asing
Penunjang
 CT Scan leher: dengan menggunakan kontras maka akan
tampak lesi hipodens pada area retrofaring yang dikelilingi
gambaran cincin pada bagian pinggirnya. CT scan berguna
untuk melihat kasus-kasus abses retrofaringeal yang tidak
terdeteksi oleh foto rontgent leher, sebagai panduan sebelum
diadakannya tindakan operatif, serta berguna untuk
membedakan kasus abses retrofaring atau limfadenopati
retrofaring pada anak kecil.
 Foto rontgent dada: dilakukan bila terjadi komplikasi
pneumonia aspirasi atau mediastinitis.

 Penggunaan Oksigen intranasal 2 l/menit


 IFVD dipasang bila ada tanda-tanda dehidrasi dan low
intake
 Antibiotika: kombinasi antibiotika gram positif dan gram
negatif.
a. Kombinasi klindamisin dan metronidazol. Dosis
klindamisin 25-40 mg/kg BB/hari IV dibagi per 6-8 jam,
ditambah metronidazol 30 mg/kg BB/hari IV dibagi 8
jam.
Tatalaksana
b. Kombinasi penisilin dan metronidazol. Dosis penisilin
25.000 IU/kg BB IV tiap 6 jam dan metronidazol 30
mg/kg BB/hari IV dibagi 8 jam.
c. Golongan sefalosporin, misalnya Cefoxitin dosis 80-160
mg/kg BB/ hari tiap 6 jam.
 Intubasi dengan Endotracheal tube (ETT) dilakukan bila
terjadi obstruksi pada jalan nafas dan distres pernapasan.
 Konsul Bagian THT untuk tindakan:
* Cricothyrotomy (dilakukan bila intubasi dengan ETT gagal)
* Tracheostomy (dilakukan sebagai manajemen obstruksi
jalan nafas yang definitif)

Obstruksi jalan napas, mediastinitis, dislokasi atlantooccipital,


abses epidural, sepsis, Acute Respiratory Distress Sdyndrome
(ARDS), erosi dari vertebra servikal II dan III, defisit nervi kraniales
Komplikasi
(IX-XII), trombosis septik dari vena jugularis, atau perdarahan
sekunder akibat dari erosi pada arteri carotid, penekanan pada
arteri carotid dan vena jugularis interna, kelumpuhan syaraf wajah,
kematian.

 Umumnya baik bila terdeteksi lebih dini, tatalaksana cepat


Prognosis
dan komplikasi belum terjadi.
 Kematian dapat mencapai 40-50% bila telah terjadi
komplikasi yang berat.
Morbili Kode ICD : B05
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Morbili adalah penyakit virus akut yang disebabkan virus morbili


Definisi yang ditandai oleh panas diikuti dengan keluarnya ruam yang
kemudian menghitam pada akhir perjalanan penyakit.

Etiologi Virus morbili termasuk dalam famili Paramyxovirus

Patogenesis

eksantema kulit (10-14 hari setelah infeksi).

1 Stadium inkubasi : tanpa gejala (10 - 12 hari)


2 Stadium prodromal : panas nonspesifik disertai batuk-
batuk, coryza, konjungtivitis, fotofobia, anoreksia, malaise.
Bentuk klinis 3 Stadium erupsi: ruam makulopapuler pada seluruh tubuh
yang dimulai di belakang telinga
4 Stadium konvalesen: ruam lebih jarang dan menjadi
hiperpigmentasi disertai keadaan umum yang membaik.

Dimulai dengan panas yang tinggi, terus menerus disertai batuk,


Anamnesis coryza, konjungtivitis, kemudian keluar ruam yang menyebar ke
seluruh tubuh.

1 Ditemukan ruam makulopapular mulai dari belakang telinga


Pemeriksaan fisik menyebar ke leher, dada dan seluruh tubuh
2 Koplik‟s spot ditemukan 24 jam sebelum timbul ruam dan
menghilang pad hari ketiga timbulnya rash (spesifik untuk
morbili)

1 Anamnesis : perjalanan penyakit yang khas


2 Pemeriksaan fisik : ruam yang spesifik
Kriteria Diagnosis ditemukan koplik‟s spot

3 Laboratorium rutin, sputum, sekret nasal, HI dan CF test

Laboratorium:
Pemeriksaan 1 Darah rutin : lekopenia
penunjang 2 Sputum, sekresi nasal, sedimen urine : multinucleated giant
cells
3 HI & CF (+) 1 - 3 hari setelah timbul ruam
1 Simptomatis : antipiretika, sedatif, antitusif
2 Suportif : perbaiki KU, cairan parenteral bila intake tidak
masuk
3 Vitamin A:
Tatalaksana Usia < 1 tahun: 100.000 IU hari ke-1, 2 dan 14
Usia ≥ 1 tahun: 200.000 IU hari ke-1, 2 dan 14

4 Antibiotika : diberikan bila disertai infeksi sekunder


5 Steroid : bila disertai ensefalitis

Komplikasi Pneumonia, gastroenteritis, otitis media, mastoiditis, ensefalitis,


gangguan gizi

Prognosis Tanpa komplikasi : baik

1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of


pediatric infectious disease, 5th ed. Philadelphia: WB
Saunders: 2004.
Daftar kepustakaan 2. Sumarmo SPS, Herry G, Sri Rezeki SH, Hindra IS. Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis.Edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2008.
3. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Waunders;
2004.
Okular Kongenital Toksoplasmosis Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. ……………..
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Infeksi
Klinis ……………….. Dr. Yulia Iriani, Sp.A

Infeksi yang disebabkan oleh Toksoplasma Gondii yang terjadi


Definisi melalui transplasental pada ibu hamil yang terinfeksi pada
trimester III kehamilan

Etiologi Toksoplasma Gondii, bersifat Obligat intraseluler

Ibu hamil terinfeksi melalui cara tertelan makanan yang


terkontaminasi ookista T. Gondii  GI Tract  berubah bentuk
menjadi takizoid dan bermutliplikasi  sel yang terinfeksi ruptur 
Patogenesis menyebar melalui sistem limfogen dan hematogen  merangsang
Th1 untuk memproduksi sitokin, IL 12, interferon gamma, dan TNF
α. Dua minggu setelah terinfeksi akan timbul antibodi imunoglobulin
dari toksoplasma gondii (dan dapat dideteksi)

 Manifestasi klinis tergantung dari sistem imun penderita,


biasanya ada gejala konstitusional berupa demam, malaise

Manifestasi  Kongenital toksoplasmosis : pada neonatus adanya


klinis hidrosefalus, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial,

 Ocular toksoplasmosis : merupakan suatu reaksi akut akibat


hipersensitivitas yang patogenesisnya tidak diketahui secara
pasti. Keterlibatan okular ini berdasarkan pemeriksaan
oftalmologi dimana ditemukannya lesi pasa retina

 Dengan pemeriksaan serologi IgM dan IgG (ELISA). Aviditas


IgG : untuk melihat infeksi 12-16 minggu yang lalu
Kriteria Diagnosis
 Ophtalmologi : untuk melihat lesi berupa fokus yang berwarna
abu-abu keputihan akibat nekrosis dari retina, vaskulitis,
perdarahan serta uveitis

 Serologi IgM dan IgG (ELISA)


Pemeriksaan
Penunjang  Ophtalmologi

 Pirimetamin : Initial dose : 2 mg/kg/hari selama 5 hari.


Selanjutnya (mulai hari ke-6) 1 mg/kg/hari, diberikan selama 6
Tatalaksana bulan

 Sulfadiazine : Initial Dose 100 mg/kg/hari selama 5 hari.


Selanjutnya (mulai hari ke 6) 50 mg/kg/hari, diberikan selama
6 bulan
 Asam Folat : 5 mg/kg/hari selang hari diberikan selama
pemberian pirimetamin dan sulfadiazin

 Clindamisin : 8-20 mg/kg/hari diberikan selama 6 bulan

 Kortikosteroid : 1-1,5 mg/kg/hari initial dose diberikan pada


hari ke 6 (penurunan dosis pirimetamin dan sulfadiazin),
diberikan dosis penuh selama 1 minggu, kemudian di
Tappering off dalam 1 bulan

Anda mungkin juga menyukai