Anda di halaman 1dari 26

REFRESHING

“Mata Merah Visus Menurun”

KEPANITRAAN KLINIK ILMU MATA


RUMAH SAKIT ISLAM PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016
Anatomi dan Fisiologi Kornea

Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata
yang tembus cahaya, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm
vertikal, tebal 0,6-1 mm. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh
struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mencegah
dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada
epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat transparan hilang dan edema
kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat karena akan
menghilang seiring dengan regenerasi epitel.

1
Kornea bersifat avaskuler, maka sumber-sumber nutrisi kornea berasal dari pembuluh-
pembuluh darah limbus, humor aquoeus dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan
oksigen sebagian besar dari atmosfer. Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensorik
yang didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V yang berjalan
supra koroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus membran bowman dan melepaskan
selubung schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah limbus.
Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas
lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan
epitel konjungtiva bulbaris), membran bowman, stroma, membran descemet dan lapisan
endotel.

Gambar 1. Anatomi Kornea

1. Epitel
Lapisan epitel kornea tebalnya 50m berbentuk pipih berlapis tanpa tanduk, ada satu
lapis sel basal dan sel polygonal. Sel bersifat fat soluble substance. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin
maju kedepan menjadi sel pipih, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan
sel polygonal didepannya melalui desmosom dan macula okluden. Ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal
yang saling melekat erat. Bila terjadi gangguan akan menjadi erosi rekuren. Ujung saraf
kornea berakhir di epitel, oleh karena itu kelainan pada epitel akan menyebabkan gangguan
sensibilitas korena dan rasa sakit dan mengganjal. Daya regenerasi epitel juga cukup besar.
2. Membran Bowman

2
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun
tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidak
mempunyai daya regenerasi. Kerusakan pada lapisan ini akan berakhir dengan terbentuknya
jaringan parut.
3. Stroma
Stroma merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea, mencakup sekitar 90% dari
ketebalan kornea. Bersifat water soluble substance. Terdiri atas jaringan kolagen yang
tersusun atas lamel-lamel, pada permukaannya terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian
perifer serat kolagen bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air, kadar air
diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel. Terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular yang tipis, kenyal, kuat dan bening, terletak dibawah
stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah. Membran ini
sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.

5. Endotel
Merupakan lapisan kornea yang penting untuk mempertahankan kejernihan kornea,
mengatur cairan didalam stroma kornea dan tidak mempunyai daya regenerasi, sehingga
endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga
keseimbangan cairan akibat gangguan sistem pompa endotel, maka stroma akan bengkak
karena kelebihan cairan (edema kornea) dan hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi.
Dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat trauma bedah, penyakit intraokuler dan usia
lanjut. Lapisan endotel berasal dari mesotalium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk
heksagonal dengan tebal 20-40m yang melekat pada membran descmet melalui hemi
desmosom dan zonula okluden.

3
MATA MERAH DENGAN VISUS MENURUN

I. KERATITIS
Kornea dapat mengalami peradangan (keratitis) dengan atau tanpa adanya
komponen infektif. Hal ini diikuti perbaikan jaringan , dengan pembentukan luka dan
pembuluh darah, yang berakibat pengapuran kornea dan astigmatisma, sehingga terjadi
penurunan visus. Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kekurangan air
mata, keracunan obat, alergi terhadap suatu jenis obat topikal dan reaksi konjungtivitis
kronis. Keratitis memberikan gejala silau, mata merah, dan sensasi seperti kelilipan.
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan
kornea yang terkena; yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel atau
Bowman dan keratitis profunda atau keratitis interstisialis (atau disebut juga keratitis
parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma).

1. Keratitis Pungtata
Merupakakan keratitis pada kelenjar Bowman dengan adanya inflitrat berbentuk
bercak halus pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
infeksi virus antara lain virus herpes, herpes zoster, dan vaksinia, trakoma, radiasi,
dan mata kering. Keratitis pungtata biasanya bilateral dan berjalan kronis tanpa
terlihat kelainan konjungtiva.
a. Keratitis Superfisialis
Merupakakan keratitis superfisial dengan adanya inflitrat berbentuk bintik-
bintik putih pada permukaan kornea. Terjadi pada kornea superfisial, dan
hijau saat pewarnaan fluoresen. Penyebabnya di antaralain adalah blefaritis,
keratopati, dan keracunan obat topikal.
Pasien akan mengeluh sakit, silau, mata merah, dan merasa kelilipan.
Pengobatan yang bisa diberikan adalah air mata buatan, tobramisisn tetes mata,
dan siklopegik.
b. Keratitis pungtata subepitel

4
Terjadi di daerah kelenjar bowman. Biasanya bilateral dan kronis, nampak
kelainan konjungtiva.

2. Keratitis Marginalis
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Bila
tidak diobati dapat menyebabkan tukak pada kornea. Penyakit ini dapat terjadi
berulang dengan adanya Streptococcus pneumonia, Hemophilus aegepty, Moraxella
lacunata, dan Esrichia. Biasanya penderita akan mengeluh sakit seperti kelilipan,
keluar banyak air mata, sakit, sengan fotofobia berat.
Pengobatan yang dapat diberikan berupa vitamin B dan C dosis tinggi.

3. Keratitis Interstisial
Keratitis ini terjadi pada jaringan kornea lebih dalam, merupakan keratitis
nonsupuratif profunda yang disertai dengan neovaskularisasi. Pasien biasanya akan
mengeluhkan fotofobia, keluar banyak air mata, dan penurunan visus. Kelainan ini
biasanya bilateral.
Pada kornea keruh, sehingga iris susah dilihat. Terdapat injeksi siliar disertai
pembuluh darah ke arah dalam sehingga memberikan gambaran merah pucat
“salmon patch”. Pada keratitis akibat sifilis akan ditemukan trias Hutchinson,
sadlenose, dan serologik positif terhadap sifilis.
Pengobatan yang dapat diberikan berupa tetes mata atropin untuk mencegah sinekia.

4. Keratitis bakterial
Keratitis yang disebabkan oleh bakteri, dapat berupa bakteri gram negatif atau gram
positif. Terapi antibitotik yang diberikan untuk bakteri gram negatif adalah
tobramisin 15mg/ml, gentamisin 15mg/ml, polimiksin. Antibiotik untuk gram
positif antaralain cefazolin 50mg/ml, vancomycin , dan basitrasin. Selain itu
siklopegik diberikan untuk istirahat mata.

5. Keratitis Jamur

5
Pasien biasanya akan mengeluh sakit mata hebat, berair, dan silau. Gejala yang bisa
didapatkan pada pasien adalah infiltrat yang berhifa dan satelit. Disetai juga adanya
cincin endotel dengan plak yang tampak bercabang. Diagnosis dibuat dengan
preparat KOH10% menunjukkan adanya hifa. Pengobatan yang diberikan adalah
gentamisin setiap 1-2 jam.

6. Keratitis Herpes Simpleks


Virus herpes simpleks merupakan parasit intraselular obligat, dapat ditemukan pada
mukosa rongga hidung, rongga mulut, dan mata.
Bentuk infeksi keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan
stromal. Pada yang epithelial akan mengakibatkan kerusakan sel epitel dan
membentuk ulkus kornea superfisialis. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik
tubuh terhadap virus yang menyerang reaksi antigen-antibodi yang menarik sel
radang ke dalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk
merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stromal di sekitarnya. Pengobatan
pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan
untuk menyerang virus dan reaksi radangnya.
a. Tipe epitel
Gambaran klinis infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa
konjungtivitis folikulasris akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta
pembengkakan kelenjar limfa regional. Kebanyakan penderita juga disertai
keratitis epitelial dan dapat mengenai troma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi
primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu di mana daya
tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.
Gambaran khas pada kornea adalah bentuk dendrit, akan tetapi dapat juga
bentuk lain. Secara subjektif, keratitis herpes simpleks epitelial kadang tidak
dikeluhkan oleh penderita, keluhan mungkin karena kelopak yang sedikit
membengkak atau mata berair yang bila sering diusap menyebabkan lecet kulit
palpabra. Secara objektif didapatkan iritasi yang ringan, sedikit merah, berair,
dan unilateral.

6
b. Tipe stromal
Pada serangan berulang, kornea menjadi target utama dan menimbulkan
keratitis stroma yang dapat disertai dengan uveitis. Gambaran pada kornea
adalah lesi disiformis tetapi dapat juga bentuk-bentuk lain yang tidak spesifik
dan lazim disebut keratitis meta-herpetika. Pada keadaan ini penderita datang
dengan keluhan silau, mata berair, penglihatan kabur dan pada pemeriksaan
didapatkan injeksi konjungtiva dan silier, penderita menutup matanya karena
silau, dan pada kornea didapatkan infiltrat stroma yang dapat disertai uveitis
dan hipopion.
Pada keratitis epitel/dendritik dapat diberikan trifuldin per 2 jam atau antiviral
oral 5x400mg/hari. Pada keratitis stromal

7. Keratitis Herpes Zoster


Disebabkan oleh virus varicella-zoster. Virus ini dapat menyerang saraf kranial V,
VII, dan VIII. Pada nervus trigeminus, bila yang terserang antara pons dan ganglion
Gasseri, maka akan terjadi gangguan pada ketiga cabang N V. Biasanya yang
terganggu adalah cabang oftalmik.
Bila cabang oftalmik yang terkena, maka terjadi pembengkakan kulit di daerah dahi,
alis, dan kelopak mata disertai kemerahan yang dapat disertai vesikel, dapat
mengalami supurasi, yang bila pecah akan menimbulkan sikatriks.
Bila cabang nasosiliar yang terkena, maka akan timbul vesikel di daerah hidung dan
kornea terancam. Kedua erupsi kulit tidak melewati garis median.
Biasanya penderita herpes zoster oftalmik pernah mengalami penyakit varisela
beberapa waktu sebelumnya. Dapat terjadi demam atau malaise dan rasa nyeri yang
biasanya berkurang setelah timbulnya erupsi kulit, tetapi kadang-kadang rasa nyeri
ini dapat berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Secara subjektif, biasanya penderita datang dengan rasa nyeri disertai edema kulit
yang tampak kemerahan pada daerah dahi, alis, dan kelopak atas serta sudah
disertai dengan vesikel.
Secara objektif, tampak erupsi kulit pada daerah yang dipersarafi cabang oftalmik
nervus trigeminus. Erupsi ini unilateral dan tidak melewati garis median. Palpebra

7
tampak menyempit apabila kelopak atas mengaami pembengkakan. Nyeri disertai
erupsi kulit yang tidak melewati garis median adalah khas untuk infeksi oleh herpes
zoster.biasanya juga pembengkakan kelenjar pre-aurikler regional yang sesuai
dengan sisi cabang oftalmik N V yang terkena.
Pemberian asiklovir oral maupun topikal tampak menjanjikan; bila disertai infeksi
sekunder bakterial dapat diberikan antibiotik. Dapat diberikan pula obat-obatan
yang meningkatkan sistem imunitas tubuh, obat-obatan neurotropik, serta dapat
dibantu dengan vitamin C dosis tinggi.
Pada mata, pengobatan yang bersifat simtomatik adalah tetes metil selulose,
siklopegia.
Pemberian kortikosteroid oral maupun topikal merupkan kontraindikasi karena
dapat meningkatkan aktivitas virus, memperpanjang perjalanan klinik penyakit,
serta memicu infeksi bakteri atau jamur.

8. Keratitis Flikten
Merupakan reaksi imunologi terhadap stafilokokus aureus, koksidiodes imiitis serta
bakteri patogen lainnya. Terdapat hiperemia konjungtiva, dan memberikan kesan
kurangnya air mata. Secara subjektif, penderita biasanya datang karena ada
benjolan putih kemerahan di pinggiran mata yang hitam. Apabila jaringan kornea
terkena, maka mata berair, silau, dan dapat disertai rasa sakit dan penglihatan kabur.
Terdapat benjolan putih kekuningan pada daerah limbus yang dikelilingi daerah
konjungtiva yang hiperemis.Bila kornea terkena, dapat ditemukan keratitis dengan
gambaran yang bermacam-macam; yaitu infiltrat dan neovaskularisasi. Gambaran
yang khas adalah terbentuknya papula atau pustula pada kornea atau konjungtiva
karena itu penyakit ini biasanya disebut kerato –konjungtivits flikten.
Pada tukak dapat diberikan antibiotik topikal atau oral.

9. Keratitis Sika
Keratitis Sika adalah keratitis yang pada dasarnya diakibatkan oleh kurangnya
sekresi kelenjar lakrimal dan atau sel globet. Secara objektif, pada tingkat dry-eye,
kejernihan permukaan konjungtiva dan kornea hilang, tes schirmer berkurang, tear-

8
film kornea mudah pecah, tear break-up time berkurang, sukar menggerakan
kelopak mata. Kelainan kornea dapat berupa erosi kornea, keratitis filamentosa,
atau pungtata. Pada kerusakan kornea yang lebih lanjut dapat terjadi ulkus kornea
dengan segala komplikasinya.
Apabila yang kurang adalah komponen air dari air mata, diberikan air mata tiruan;
sedangkan bila komponen lemaknya yang berkurang maka diberikan lensa kontak.

10. Keratitis lagoftalmus, akibat mata tidak dapat menutup sempurna, sehingga
kornea menjadi kering dan mudah terkena trauma. Dapat dikarenakan parese
Nervus VII.

11. Keratitis neuroparalitik, akibat kerusakan Nervus V

II. ULKUS KORNEA


Ulserasi kornea dapat meluas ke dua arah yaitu melebar dan mendalam. Ulkus yang kecil
dan superfisial akan lebih cepat sembuh, kornea dapat jernih kembali.
Pada ulkus yang menghancurkan membran Bowman dan stroma, akan menimbulkan
sikatriks kornea.
Gejala Subjektif sama seperti gejala keratitis. Gejala Objektif berupa injeksi siliar,
hilangnya sebagaian jaringan kornea, dan adanya infiltrat. Pada kasus yang lebih berat
dapat terjadi iritis disertai hipopion.

1. Tukak karena Bakteri


Tukak streptokokus
Gambaran tukak kornea khas, tukak yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea
(serpinginous). Tukak berwarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram. Tukak
cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin
yang dihasilkan oleh Streptokokus Pneumonia.
Pengobatan dengan Sefazolin, Basitrasin dalam bentuk tetes, injeksi subkojungtiva,
dan intravena.
Tukak stafilokokus

9
Pada awalnya berupa tukak yang berwarna putih kekuningan disertai infiltrat secara
adekuat, akan terjadi abses kornea yang disertai edema stroma dan infiltrasi sel
lekosit. Walaupun terdapat hipopion tukak seringkali indolen yaitu reaksi
radangnya minimal. Tukak kornea marginal biasanya bebas kuman dan disebabkan
oleh reaksi hipersensitifitas terhadap Stafilokokus Aureus.
Tukak Pseudomonas
Biasanya dimulai dengan tukak kecil di bagian sentral kornea dengan infiltrat
berwarna keabu-abuan disertai edema epitel dan stroma. Trauma kecil ini dengan
cepat melebar dan mendalam serta menimbulkan perforasi kornea. Tukak
mengeluarkan discharge kental berwarna kuning kehijauan.
Pengobatan diberikan Gentamaisin, tobramisin, karbensilin yang diberikan secara
lokal subkonjungtiva serta intravena.

2. Tukak Virus
Tukak kornea oleh virus herpes simpleks cukup sering dijumpai. Bentuk khas
dendrit dapat diikuiti oleh vesikel-vesikel kecil di lapisan epitel yang bila pecah
akan menimbulkan tukak. Tukak dapat juga terjadi pada bentuk diiform bila
mengalami nekrosis di bagian sentral.

3. Tukak Jamur
Tukak kornea oleh jamur akhir-akhir ini banyak ditemukan, hal ini dimungkinan
oleh penggunaan antibiotik secara berlebihan dalam waktu yang lama atau
pemakaian kortikosteroid jangka panjang, Fusarium dan sefalosporim menginfeksi
kornea setelah suatu trauma yang disertai lecet epitel.
Pengobatan obat anti jamur dengan spektrum luas. Apabila memungkinkan
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan tes sensitivitas untuk dapat memilih obat
jamur yang spesifik.

III. UVEITIS
Definisi Uveitis

10
Radang uvea dapat mengenai hanya bagian depan jaringan uvea atau selaput pelangi
(iris) dan keadaan ini disebut sebagai iritis. Bila mengenai bagian tengah uvea maka
keadaan ini disebut sebagai siklitis. Biasanya iritis akan disertai dengan siklitis yang
disebut uveitis anterior. Bila mengenai selaput hitam bagian belakang mata maka
disebut koroiditis.

Uveitis Anterior
Peradangan mengenai iris dan jaringan badan siliar (iridosiklis) biasanya unilateral
dengan onset akut.
Penyebab dari iritis tidak dapat diketahui dengan melihat gambaran klinik saja.
Penyebab uveitis anterior akut dibedakan dalam bentuk non granulomatosa dan
granulomatosa akut-kronis.

Gejala klinis dan pemeriksaan fisik


Keluhan pasien dengan uveitis anterior adalah mata sakit, mata merah, fotofobia,
penglihatan turun ringan dengan mata berair. Keluhan sukar melihat dekat pada
pasien uveitis dapat terjadi akibat ikut meradangnya otot-otot akomodasi. Pupil kecil
akibat peradangan otot sfingter pupil dan terdapatnya edema iris. Pada proses akut
dapat terjadi miopisi akibat rangsangan badan siliar dan edema lensa. Pada
pemeriksaan slit lamp dapat terlihat flare di bilik mata depan dan bila terjadi
inflamasi berat dapat terlihat hifema atau hipopion. Pada uveitis non-granulomatosa
dapat terlihat presipitat halus pada dataran belakang kornea. Pada uveitis
granulomatosa dapat terlihat presipitat besar atau mutton fat noduli Koeppe
(penimbunan sel pada tepi pupil) atau noduli Busacca (penimbunan sel pada
permukaan iris).

Klasifikasi
Menurut klinisnya uveitis anterior dibedakan dalam uveitis anterior akut yaitu uveitis
yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan bersifat simptomatik dan
uveitis anterior kronik uveitis yang berlangsung selama > 6 minggu bahkan sampai

11
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat
asimtomatik. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui.
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-
granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Penyakit peradangan traktus uvealis
umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia pertengahan.
Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus uvealis ini,
yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-
sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear.
Uveitis granulomatosa yaitu adanya invasi mikroba aktif ke jaringan oleh bakteri.
Dapat mengenai uvea bagian anterior maupun posterior. Infiltrat dominan sel limfosit,
adanya aggregasi makrofag dan sel-sel raksasa multinukleus. Pada kasus berat dapat
terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior.
Perbedaan Uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa
Non- Granulomatosa
Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau
Fotofobia Nyata ringan
Penglihatan Sedang Ringan
Kabur Nyata Nyata
Merah Putih halus Ringan
Sirkumneal Kecil dan tak Kelabu besar
Keratic teratur (“mutton fat”)
precipitates Kadang-kadang Kecil dan tak
Pupil Tidak ada teratur
Sinekia Uvea anterior Kadang-kadang
posterior Akut Kadang-kadang
Noduli iris Sering Uvea anterior,
Lokasi posterior,difus
Perjalanan Kronik
penyakit Kadang-kadang

12
Kekambuhan

Uveitis Posterior/Koroditis
Koroditas adalah peradangan lapis koroid bola mata dapat dalam bentuk :
 koroiditas anterior, radang koroid perifer
 koroiditas areolar, koroiditis, bermula di daerah makula lutea dan menyebar
ke perifer
 koroiditas difusa atau diseminata, bercak peradangan koroid tersebar di
seluruh fundus okuli
 koroiditas eksudatif, koroiditis disertai bercak-bercak eksudatif
 koroiditis juksta papil
Gejalanya berupa penglihatan buram terutama bila mengenail daerah sentral makula,
bintik terbang, vitreous keruh, mata jarang menjadi merah, tidak sakit dan fotofobia,
infiltrat dalam retina dan koroid, edema papil, perdarahan retina dan vaskular
sheating.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh trauma, pasca bedah, infeksi melalui sebaran
darah seperti TBC, syphilis dan toksoplasma, juga penyakit autoimun : oftalmia
simpatikum, VKH, easles disease.
Penyulit yang dapat timbul adalah glaukoma, katarak, dan ablasia retina.

Pemeriksaan Oftalmologi
Pemeriksaan fisik tidak jauh berbeda dengan gejala yang dapat timbul pada
uveitis, hasil pemeriksaan yang didapat bervariasi tergantung dari lokasi, penyebab
dan patogenesis dari proses inflamasi yang terjadi. Pemeriksaan jaringan mata yang
menyeluruh dapat memberikan hasil yang sangat membantu dalam penentuan
diagnosis.
 Konjungtiva
Didapatkan injeksi siliar (injeksi perilimbal, kemerahan sirkumkorneal akibat
dilatasi pembuluh-pembuluh darah limbus, merupakan karakteristik dari uveitis
anterior) atau nodul (pada sarkoidosis).

13
 Kornea,
Ditemukan adanya presipitat keratik, merupakan kumpulan sel-sel mediator
inflamasi pada permukaan endotel kornea. Presipitat tersebut tampak berupa deposit
putih halus. Presipitat keratik berukuran kecil umumnya ditemukan pada uveitis non-
granulomatosa, sedangkan presipitat berukuran besar biasanya ditemukan pada
uveitis granulomatosa, yang dikenal dengan ”mutton fat”.
Presipitat Keratik
Presipitat keratik awal biasanya berwarna putih dan akan menjadi lebih
berpigmen dan mengkerut seiring dengan berjalannya waktu. Selain itu, pada kornea
dapat timbul gambaran dendrit epitel, ”geographic ulcers” atau terdapat skar pada
stroma pada kasus keratouveitis pada herpes.
Mekanisme inflamasi yang terjadi pada tingkat seluler akan menimbulkan
gambaran ”cells” dan ”flare” pada aqueous humor.
Cells and Flare
Pada kasus-kasus uveitis anterior yang berat, dapat terjadi penimbunan fibrin
dan/atau pembentukan hipopion.
 Iris
Ditemukan sinekia anterior yaitu iris melekat pada kornea maupun sinekia
posterior yaitu iris melekat pada lensa. Bila proses berlanjut terus maka akan
timbul ”pupillary block”, ”iris bombé” dan/atau glaukoma sudut tertutup.
Iris Bombé
Terdapat nodul yang terdiri atas kelompok sel-sel putih tampak di tepian pupil
iris (Nodul Koeppe bila timbul pada batas pupil, dan Nodul Bussaca bila timbul pada
stroma iris) atau terdapat granuloma yang nyata.hal ini terhadi pada uveitis
granulomatosa. Adanya atrofi iris pada beberapa bagian saja merupakan ciri khas
pada penyakit herpes. Pada pemeriksaan pupil, akan didapatkan pupil yang miosis.
 Lensa
Pemeriksaan yang mungkin didapat adalah adanya katarak. Katarak merupakan
komplikasi yang sering timbul dalam klinis pasien uveitis. Katarak biasanya terjadi
pada uveitis yang telah berlangsung lama atau pada uveitis dengan pemakaian
kortikosteroid jangka panjang. Pada vitreous humor, akan tampak

14
gambaran ”snowball opacities”, berupa infiltrasi sel-sel, yang pada umumnya terlihat
pada uveitis intermediate dan sarkoidosis. Selain itu, juga tampak adanya traksi pada
retina, atau pembentukan membran siklitik dibelakang lensa.
Manifestasi uveitis posterior yang dapat ditemukan pada pemeriksaan, antara lain:
 ”Disc eccema”
 Edema makula
 Vaskulitis retina
 Eksudat perivaskular
 Retinitis atau koroiditis fokal atau difus
 Eksudat pars plana (”snowbanking”)
 Pelepasan retina
 Atrofi retinokoroidal
 Neovaskularisasi retina dan koroid.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memastikan etiologi , sehingga,
sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium, sebaiknya dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik agar dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yang
terarah. Pemeriksaan laboratorium pada umumnya tidak diperlukan untuk uveitis
anterior, terutama jika jenisnya non-granulomatosa dan jelas sensitif terhadap terapi
non-spesifik.
Pada uveitis anterior maupun posterior yang tidak responsif terhadap terapi, atau
bila uveitis yang terjadi bilateral atau granulomatosa atau rekuren, maka harus
ditentukan diagnosis etiologinya. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
antara lain :
 LED
 Foto Rontgen Thorax
 Titer Lyme
 Tes Mantoux
 ANA (Antinuclear Antibody)
 RPR (Rapid Plasma Reagin)
15
 VDRL (Venereal Disease Research Laboratory)
 PPD (Purified Protein Derivative)
 ELISA
Hampir semua pemeriksaan penunjang pada uveitis merupakan pemeriksaan
laboratorium khusus yang akan dilakukan hanya dengan alasan dan indikasi yang
jelas. Dengan indikasi yang jelas, maka pemeriksaan tersebut baru akan bernilai
diagnostik. Tidak ada aturan pasti yang menentukan pemakaian pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut. Kuncinya adalah dengan memaksimalkan kemampuan
anamnesis, penilaian keseluruhan sistem tubuh dan pemeriksaan fisik secara umum
dan oftalmologik sehingga dapat ditentukan indikasi pemeriksaan penunjang yang
diperlukan.
DIAGNOSIS
Uveitis sering berhubungan dengan penyakit sistemik lainnya, oleh sebab itu, ada
baiknya dilakukan anamnesis yang komprehensif serta pemeriksaan fisik yang
menyeluruh pada setiap pasien dengan inflamasi intraokuler. Pemeriksaan yang
menyeluruh tersebut dapat membantu dalam penentuan diagnosis yang tepat sehingga
faktor penyebab dapat ditangani dengan baik.
Anamnesis
 Riwayat penyakit sekarang; meliputi onset, gejala yang timbul, perjalanan penyakit
dan gejalanya serta perawatan yang telah didapat.
 Riwayat penyakit mata sebelumnya; apakah ada episode penyakit dengan gejala yang
sama sebelumnya, terapi dan respon terapi yang telah didapat, riwayat trauma atau
operasi pada mata sebelumnya.
 Riwayat penyakit lain sebelumnya; riwayat penyakit-penyakit sistemik (terutama
sarkoidosis, juvenile rhematoid arthritis, AIDS, tuberkulosis, dan sifilis), riwayat
penggunaan obat-obatan (terutama obat-obatan imunosupresif).
 Riwayat sosial; meliputi pola diet sehari-hari, pola seksual dan penggunaan obat-
obatan terlarang.
 Data demografik; seperti: usia, ras dan jenis kelamin.
 Riwayat geograf; seperti: tempat lahir, lingkungan tempat tinggal, dan apakah sehabis
melakukan perjalanan ke luar kota atau luar negeri.

16
 Riwayat penyakit keluarga; penyakit-penyakit sistemik yang menular dalam keluarga
(seperti: tuberkulosis), riwayat menderita uveitis dalam keluarga.
 Tinjauan sistemik :
- Umum : demam, berat badan, malaise, keringat malam
- Rheumatologi : arthralgia, low back pain, joint stiffness
- Dermatologi : rash, alpecia, vitiligo, gigitan serangga
- Neurologi : tinitus, sakit kepala, meningismus, parestesia, paralisis
- Respiratori : sesak nafas, batuk, dan produksi sputum
- Gastrointstinal : diare, melena
- Genitourinaria : disuria, ulkus genitalia, balanitis

Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan uveitis adalah mengobati proses inflamasi pada
mata secara efektif serta meminimalkan komplikasi yang mungkin timbul baik dari
penyakitnya itu sendiri maupun dari terapi yang diberikan. Agar tujuan pengobatan
dapat dicapai, maka diperlukan pemeriksaan yang baik, karena, beberapa kondisi
memerlukan tindakan tertentu seperti pemberian obat kortikosteroid, sedangkan pada
kondisi lain tidak dianjurkan karena penggunaan kortikosteroid jangka panjang akan
menyebabkan pembentukan katarak dan meningkatkan tekanan intraokuler.
Mydriatic dan Cycloplegic
Pengobatan topikal ini digunakan untuk mengatasi spasme siliare yang biasanya
muncul pada uveitis anterior akut dan untuk melepaskan sinekia posterior yang
terbentuk dan/atau mencegah perkembangan sinekia baru.
Obat-obatan yang bersifat long acting seperti homatropine, scopolamine atau
atropine, digunakan untuk mengatasi spasme siliare; sedangkan obat-obatan yang
durasi kerjanya lebih singkat seperti tropicamide atau cyclopentolate digunakan untuk
mencegah pembentukan sinekia posterior pada pasien yang memnderita iridocyclitis
kronik serta mengurangi gejala fotofobia.
Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan terapi primer pada pasien uveitis. Kortikosteroid
menekan kerja sistem imun serta memiliki efek anti-inflamasi melalui beberapa

17
mekanisme. Kortikosteroid dapat diberikan secara topikal, melalui injeksi periokular
atau intravitreal atau diberikan secara sistemik.
Pemberian secara topikal diutamakan pada pasien dengan uveitis anterior.
Penetrasi menuju segmen posterior pada pemberian topikal sangat buruk, kecuali bila
pasien tersebut pseudofakia atau afakia. Secara umum, kortikosteroid yang dianjurkan
pada pemberian topikal adalah prednisolon asetat.
Pemberian kortikosteroid melalui periokular paling baik digunakan untuk pasien
dengan uveitis intermediate, uveitits posterior atau terdapat edema makula, terutama
bila unilateral. Terapi ini juga dapat digunakan pada pasien dengan uveitis anterior
berat yang tidak responsif terhadap pengobatan topikal. penyuntikan biasanya
dilakukan melalui kapsul sub-Tenon atau secara trans-septal dengan anestesi lokal.
Obat yang diberikan biasanya yang kerja panjang seperti methylprednisolone asetat
setiap 3-4 minggu hingga efek yang diinginkan tercapai. Tindakan ini tidak boleh
dilakukan pada uveitis akibat infeksi dan harus berhati-hati pada pasien dengan
riwayat peningkatan tekanan intraokular.
Jalur sistemik digunakan pada pasien dengan uveitis posterior berat atau
panuveitis, terutama jika bilateral, atau pada kasus-kasus uveitis anterior berat yang
tidak responsif terhadap pengibatan topikal maupun injeksi periokular. Diawali
dengan dosis besar (1-2mg/kgBB/hari) dan kemudian diturunkan secara bertahap
setelah 2-3 minggu.
AINS (Anti Inflamasi Non-Steroid)
AINS tidak mengambil peranan penting dalam pengobatan uveitis. AINS dalam
perjalanannya akan digunakan sebagai terapi ajuvan pada penggunaan kortikosteroid.
Terapi Imunosupresif
Terapi imunosupresif telah secara umum digunakan pada pasien dengan uveitis
berat dan mengancam penglihatan yang tidak responsif terhadap terapi kortikosteroid
yang adekuat atau pada pasien yang mengalami efek samping berat terhadap
kortikosteroid. Namun, terdapat penelitian yang mengatakan bahwa terapi ini lebih
baik serta mengurangi angka morbiditas jika dibandingkan dengan penggunaan
kortikosteroid jangka panjang (penggunaan kortikosteroid lebih dari 6 bulan dengan
dosis lebih dari 10 mg/hari). Indikasi awal penggunaan terapi imunosupresif ini antara

18
lain pada sindrome Behçet, sindrome Vogt-Kayanagi-Harada, uveitis simpatik dan
nekrosis sklerouveitis.
Sediaan yang sering digunakan adalah antimetabolit, yaitu, methotrexate,
azathriopine dan mycophenolate; Alkylating agents, yaitu, cyclophosphamide dan
chlorambucil; serta sel-T inhibitor, yaitu, cyclosporine dan tacrolimus.
Antimetabolit digunakan pada uveitis non-infeksi yang kronis, seperti
iridocyclitis pada JRA, panuveitis, sarkoidosis serta scleritis. Dosis yang diberikan
adalah 7,5-25mg/hari baik secara oral, subkutan maupun intramuskular. Pada uveitis
simpatika, sindrom Behçet, sindrom VKH dan uveitis intermediate, Azhatriopine
biasanya diberikan sebesar 1-3mg/kgBB/hari. Mycophenolate biasanya diberikan 2x1
gram pada pasien yang intoleran terhadap methotrexate atau azhatriopine.
Cyclophosphamide dan chlorambucil biasanya digunakan pada uveitis simpatika,
intermediate serta sindrom Behçet. Dosis cyclophosphamide adalah 1-3
mg/kgBB/hari, sedangkan cjlorambucil adalah 0,1-0,2mh/kgBB/hari.
Efek primer dari sel-T inhibitor adalah menginhibisi aktivasi sel-T, namun,
mekanisme pastinya masih diperdebatkan. Pegobatan ini biasanya dikombinasi
dengan pemberian kortikosteroid.
Terapi imunosupresif ini memiliki efek samping yang mengancam nyawa. Efek
samping paling berat adalah toksisitasnya terhadap ginjal dan hepar, supresi sumsum
tulang dan efek teratogenik. Sehingga, diperlukan pengawasan yang ketat, seperti
pemeriksaan darah lengkap serta fungsi hati selama perawatan

Terapi terbaru
Saat ini sedang dipelajari pengobatan uveitis dengan Sitokin inhibitor.
Pengobatan ini dipelajari untuk setiap tipe uveitis. Penelitian lain, yaitu penyuntikan
immunoglobulin dan interferon secara intravena menunjukkan efek yang baik
terhadap beberapa pasien uveitis. Terdapat percobaan pengobatan dengan implantasi
intravitreal yang menempatkan kortikosteroid fluocinolone asetat secara langsung ke
dalam mata. Terapi ini diharapkan dapat memberikan efek yang konsisten pada
intraokular tanpa efek samping sistemik.

19
Komplikasi
Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior perifer, yang menghalangi
aqueous humor keluar di sudut kamera anterior sehingga timbul glaukoma. Sinekia
posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan berkumpulnya
aqueous humor dibelakang iris, sehingga menonjol iris ke depan. Pelebaran pupil
sejak dini dan terus menerus dapat mengurangi kemungkinan timbulnya sinekia
posterior. Beta blocker topikal dapat digunakan pada glaukoma akibat uveitis. Pada
kasus berat, inhibitor anhidrase karbonik sistemik sangat membantu. Obat ini juga
bekerja mengurangi produksi aqueous humor.
Uveitis yang kronis dapat mengakibatkan hiposekresi dari aqueous humor, yang
berakibat menurunnya suplai nutrisi ke struktur segmen anterior, terjadu formasi
membran siklitik, dan pelepasan korpus siliaris.
Gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak. Katarak sering timbul
pada uveitis menahun. Operasi katarak sebaiknya dilakukan 3-4 bulan setelah uveitis
tenang. Prognosis operasi katarak pada kasus demikian tergantung pada penyebab
uveitis.
Ablasio retina dapat timbul akibat traksi atau tarikan pada retina oleh benang-
benang vitreus. Edema kistoid makula dan degenerasi makula dapat terjadi pada
uveitis anterior yang beepanjangan. Kortikosteroid sistemik atau periokular dapat
digunakan untuk terapi edema makular, jika tidak berhasil, maka dapat digunakan
terapi imunosupresif. Berkurangnya penglihatan hingga kebutaan juga merupakan
salah satu komplikasi dari uveitis.

Prognosis
Uveitis merupakan kondisi penyakit yang berpotensi dalam menimbulkan
kebutaan. Uveitis juga dapat berakhir dengan komplikasi yang serius pada mata.
Dengan pengobatan yang adekuat, serangan uveitis non-granulomatosa umumnya
berlangsung beberapa hari sampai minggu, namun, pasien akan sering mengalami
kekambuhan. Uveitis granulomatosa berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan,
kadang-kadang dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan

20
permanen dengan penurunan penglihatan yang nyata walau dengan pengobatan yang
terbaik sekali.

IV. GLAUKOMA AKUT


Mata merah dengan penglihatan turun mendadak merupakan glaukoma sudut
tertutup akut. Glaukoma sudut tertutup akut ditandai dengan tekanan intraokular yang
meningkat secara mendadak, dan terjadi pada usia lebih dari 40 tahun dengan sudut
bilik mata sempit disertai oleh pencekungan diskus optikus dan penyempitan
lapangan pandang.
Definisi
Glaukoma akut adalah penyakit mata yang disebabkan oleh tekanan intraokular
(TIO) yang mendadak meningkat sangat tinggi. Keadaan tersebut dapat menyebabkan
kebutaan.
Fisiologi Dasar Tekanan Intra Okular
Tingkat tekanan intraokular tergantung pada keseimbangan antara produksi dan
ekskresi akueous humor. Akueous dihasilkan oleh prosesus siliaris ke dalam bilik
mata posterior. Kemudian akueous mengalir melalui pupil menuju ke bilik mata
anterior dan meninggalkan mata mengalir melalui jalinan trabekula, kanal schlemm
dan vena episklera (jalur konvensional). Sebagian kecil akueous mengalir melalui
korpus siliaris ke ruang suprakoroid dan kedalam vena pada sklera (jalur uveosklera).
Jenis glaukoma
Berdasarkan etiologinya, glaukoma dapat dibagi menjadi:
1. Glaukoma primer : timbul pada mata yang memiliki bakat bawaan
biasanya bilateral dan diturunkan. Termasuk di dalamnya adalah glaukoma sudut
tertutup akut primer.
2. Glaukoma sekunder: merupakan penyulit penyakit mata lainnya (ada
penyebab), biasanya unilateral. Termasuk di dalamnya adalah glaukoma sekunder
yang disebabkan oleh dislokasi lensa, uveitis, glaukoma fakolitik, dan trauma.

Glaukoma sudut tertutup akut primer


Epidemiologi

21
Di Amerika Serikat, glaukoma sudut tertutup akut primer terjadi pada 1-40 per
1000 orang, hal ini juga dipengaruhi oleh ras. Penyakit ini terjadi pada 1 per 1000
orang Kaukasian, sedangkan pada ras Asia lebih sering yaitu 1 per 100 orang dan
pada ras Eskimo 1 per 100 orang. Glaukoma jenis ini lebih banyak terjadi pada
perempuan. Pada usia 60-70 tahun, risiko untuk menderita glaukoma jenis ini
meningkat.

Patofisiologi
Pada glaukoma sudut tertutup primer, terjadi aposisi dari iris dan lensa yang
menyebabkan kontak antara iris dan lensa, disebut sebagai blokade pupil. Blokade
pupil ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intraokular di kamera okuli
posterior sehingga akan menyebabkan iris menempel pada kornea di bagian perifer
dan struktur iris terdorong ke depan, keadaan ini disebut iris bombe. Glaukoma akut
primer terjadi apabila terbentuk iris bombe yang menyebabkan sumbatan sudut
kamera anterior oleh iris perifer. Hal ini akan menyumbat aliran humor akueus dan
tekanan intraokular akan meningkat dengancepat. Keadaan ini akan menimbulkan
nyeri hebat, kemerahan, dan penglihatan yang kabur. Glaukoma sudut tertutup terjadi
pada mata yang sudah mengalami penyempitan anatomik sudut kamera anterior
(terutama dijumpai pada hipermetropi). Serangan akut biasanya terjadi pasien usia tua
seiring dengan pembesaran kristalin lensa yang berkaitan dengan proses penuaan.
Gejala dan tanda klinis
Glaukoma sudut tertutup akut primer ditandai oleh adanya gejala kekaburan
penglihatan mendadak yang disertai dengan nyeri hebat, rasa pegal di sekitar mata,
mata merah, melihat lingkaran-lingkaran berwarna seperti pelangi di sekitar sinar
lampu (halo), mual dan muntah. Selain itu perlu ditanyakan faktor presipitasi
serangan akut seperti pemakaian obat yang berfungsi melebarkan pupil
(simpatomimetik, antikolinergik), berdiam lama di tempat yang kurang terang atau
gelap dan berhubungan dengan emosional.
Pada pemeriksaan oftalmologi dapat ditemukan injeksi silier yang lebih hebat
di dekat limbus kornea-skleral dan berkurang ke arah forniks; pembuluh darah tidak
bergerak dengan konjungtiva; mid-dilatasi pupil dan tidak bereaksi terhadap sinar;

22
kornea tampak edema dan keruh; dan kamera okuli anterior yang sempit. Pada
pemeriksaan tekanan intraokular meningkat, visus sangat turun hingga 1/300, lapang
pandang menyempit dan kamera okuli anterior sempit pada gonioskopi.

Diagnosis banding
Diagnosis banding glaukoma sudut tertutup akut adalah iritis akut dan
konjungtivitis akut. Dari gejala dan tanda klinis, penyakit ini dapat dibedakan. Pada
iritis akut nyeri dapat ringan sampai hebat; pupil miosis dengan reaksi cahaya lambat
atau hilang; injeksi silier yang dalam; kornea biasanya jernih, tidak edema; onset
serangan bersifat perlahan; visus turun sedikit; tekanan intraokular normal; di kamera
anterior tampak sel-sel.
Pada konjungtivitis akut nyeri bersifat membakar dan gatal; injeksi konjungtiva
yaitu lebih jelas di forniks dan berkurang ke arah limbus, pembuluh superfisial
bergerak dengan konjungtiva; pupil normal; kornea jernih dan normal; sekresi pus;
serangan perlahan; visus dan tekanan intraokular normal.

Tatalaksana
Glaukoma sudut tertutup akut merupakan keadaan kedaruratan oftalmologik.
Terapi pada awalnya ditujukan untuk menurunkan tekanan intraokular secepatnya.
Obat-obatan yang dapat dipilih adalah:
 Acetazolamide IV atau oral : 500 mg dilanjutkan 4x250 mg/hari
Bekerja sebagai inhibitor karbonik anhidrase yang dapat menekan produksi
humor akueus. Tidak boleh diberikan dalam jangka waktu yang lama karena memiliki
banyak efek samping sistemik.
 Solutio Glycerin 50% : 4 x 100-150 cc/hari
Merupakan agen hiperosmotik yang berfungsi menurunkan volume vitreus.
 Penghambat beta adrenergik topikal, dapat dipilih timolol maleat 0,25%
dan 0,5% atau betaxolol 0,25% dan 0,5% dan lainnya. Obat ini berfungsi untuk
menurunkan produksi humor akueus.

23
 Kemudian dapat diberikan pilocarpin 4% secara intensif misal 1 tetes tiap
15 menit selama 1-2 jam. Pilocarpin merupakan golongan parasimpatomimetik yang
berfungsi meningkatkan aliran humor akueus melalui jalinan trabekular karena
kontraksi otot-otot silier.
 Tetes mata steroid dapat diberikan untuk mengurangi rekasi inflamasi
sehingga mengurangi terjadinya kerusakan iris dan jaringan trabekular lebih lanjut.
 Kadang perlu ditambahkan obat analgesik dan antiemetik.
Setelah tekanan intraokular dapat dikontrol, harus dilakukan iridektomi perifer
untuk membentuk hubungan permanen antara kamera okuli anterior dan posterior
sehingga kekambuhan iris bombe dapat dicegah. Hal ini paling sering dilakukan
dengan neodinium:YAG laser. Iridektomi perifer secara bedah diindikasikan apabila
terapi laser tidak berhasil. Prosedur alternatif bila sebagian besar sudut bilik mata
depan masih tertutup dapat dipilih operasi trabekulektomi. Pada sebagian besar kasus,
dilakukan iridotomi dengan laser untuk mata sebelahnya sebagai profilaksis.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada glaukoma sudut tertutup akut adalah
penurunan tajam penglihatan yang permanen, serangan berulang, serangan pada mata
sebelahnya, dan oklusi arteri dan vena sentral.
V. ENDOFTALMITIS
Endoftalmitis merupakan peradangan berat dalam bola mata, biasanya akibat infeksi
setelah trauma atau bedah, atau endogen akibat sepsis. Pasien biasanya mengeluhan
nyeri dan mata merah. Berbentuk radang supuratif di dalam rongga mata dan struktur
di dalam nya. Peradangan supuratif di dalam bola mata akan memberikan abses di
dalam badan kaca. Penyebab endoftalmitis supuratif adalah kuman dan jamur yang
masuk bersama trauma tembus (eksogen) atau sistemik melalui peredaran darah
(endogen).
Endoftalmitis eksogen dapat terjadi akibat trauma tembus atau infeksi sekunder pada
tinclakan pembedahan yang membuka bola mata.
Endoftalmitis endogen terjadi akibat penyebaran bekteri, jamur, ataupun parasit dari
fokus infeksi di dalam tubuh. Bakteri yang sering merupakan penyebab adalah
stafilokok, streptokok, pneumokok, pseudomonas dan basil sublitis. Jamur yang

24
sering mengakibatkan endoftalmitis supuratif adalah aktinomises, aspergilus,
fitomikosis sportrikum dan kokidioides. Peradangan yang disebabkan bakteri akan
memberikan gambaran klinik rasa sakit yang sangat, kelopak merah dan bengkak,
kelopak sukar dibuka, konjungtiva kemotik dan merah, komea keruh, bilik mata
depan keruh yang kadang-kadang disertai dengan hipopion. Kekeruhan ataupun abses
di dalam badan kaca, keadaan ini akan memberikan refleks pupil berwama putih
sehingga gambaran seperti retinoblastoma atau pseucloretinoblastoma. Endoftalmitis
yang disebabkan jamur masa inkubasi lambat kadang-kadang sampai 14 hari
setelah infeksi dengan gejala mata merah dan sakit. Di dalam badan kaca
ditemukan masa putih abu-abu, hipopion ringan, bentuk abses satelit di dalam
badan kaca, dengan proyeksi sinar yang baik. Endoftalmitis diobati dengan
antibiotika melalui periokular atau subkonjungtiva.
Dari hasil pemeriksaan akan ditemukan
- visus sangat menurun (1/300 sampai 1/~)
- sekret (+/-)
- konjungtiva bulbi /; hiperemis, injeksi siliaris, injeksi konjungtiva, kemosis
- kornea : keruh
- COA : hipopion
- Pupil, iris dan lensa biasanya sulit dinilai
- Funduskopi sulit dinilai
- USG : gambaran endoltalmitis
- TIO meningkat

Pengobatan yang dapat diberikan berupa Antibiotik topikal dan sistemik


ampisilin 2 gram/hari dan kloramfenikol 3 gram/hari. Antibiotik yang sesuai
untuk kausa bila kuman adalah stafilokok, basitrasin (topikal), metisilin
(subkojuntiva dan IV). Sedang bila pnemokokus, streptokokus dan stafilokokus -
penisilin G (top, subkonj dan IV). Neiseria - penisilin G (top. Subkonj. dan IV).
Pseudomonas diobati dengan gentamisin; tobramisin dan karbesilin (top.
Subkonj. dan IV). Batang gram negatif. dengan gentamisin; tobramisin dan

25
karbesilin (top. subkonj. dan IV). Batang gram negatif lain - gentamisin (top.
subkonj. dan IV).
Sikloplegik diberikan 3 kali sehari tetes mata. Kortikosteroid dapat diberikan
dengan hati-hati. Apabila pengobatan gagal dilakukan eviserasi. Enukleasi
dilakukan bila mata telah tenang dan ftisis bulbi. Penyebabnya jamur cliberikan
amfoterisin B150 mikro gram sub - konjungtiva.
Penyulit endoftamitis adalah bila proses peradangan mengenai ketiga lapisan
mata (retina koroid dan sklera) dan badan kaca maka akan mengakibatkan
panoftalmitis. Prognosis endoftamitis dan panoftalmitis sangat buruk terutama
bila disebabkan jamur atau parasit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan D. and Riordan-Eva P. Glaucoma. In: Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P,


editors. General ophtalmology. 15th edition. USA: Appleton and Lange; 1999. p. 200-14.

2. Ilyas,Sidharta. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan V. Balai Penerbitan FKUI. Jakarta. 2015
3. Ilyas,Sidharta;Mailangkay;Taim,Hilman;Saman,Raman;Simarmata,Monag;Widodo,Purb
o. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi III.
Sagung Seto. Jakarta. 2010.

26

Anda mungkin juga menyukai