BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah banyak dikatakan sebagai risiko bagi negara berkembang maupun negara
maju sekalipun. Selama 20 tahun terakhir, insiden wabah penyakit demam berdarah terus meningkat dan
transmisi hiperendemik telah terjadi dan melintasi wilayah geografis yang luas.
Di Indonesia sendiri, penyakit demam berdarah juga masih menjadi persoalan yang serius. Dapat
dibayangkan, misalkan yang pernah terjadi pada tahun 2004, dalam waktu tiga bulan (januari-maret) saja
telah terjadi total 26.015 kasus di seluruh Indonesia, dengan 389 korban meninggal. Tahun ini pun
jumlahnya masih cukup tinggi.
Patut disayangkan, pendekatan pemberantasan sarang nyamuk sering tidak berhasil. Hal ini terutama
karena strategi tersebut membutuhkan bangunan kesadaran yang kuat pada diri masyarakat untuk
menjaga lingkungannya serta membangun kebiasaan yang memberi efek positif bagi kesehatannya.
Mengetahui persoalan ini, dan juga karena penyakit demam berdarah menjadi prioritas di Kabupaten
Bantul, Bupati Bantul memiliki political will yang kuat untuk menghimpun partisipasi komunitas dalam
pemberantasan sarang nyamuk. Setiap jumat dua minggu sekali, ia menggerakkan kepala-kepala dinas di
wilayah kabupaten Bantul untuk berkeliling bersama terjun langsung ke masyarakat, bersama-sama
dengan tim dari kecamatan dan dusun berkunjung dari rumah ke rumah memberi contoh dan melakukan
pemberantasan sarang nyamuk secara langsung. Selain melakukan PSN, mereka juga mensosialisasikan
Perilaku Hidup bersih dan Sehat (PHBS), mencari adanya kehamilan risiko tinggi, dan melakukan
sosialisasi isu lain, misalnya kebijakan kependudukan yang baru, dan lain-lain.
Seandainya strategi ini berhasil untuk membangun kesadaran masyarakat melakukan PSN, maka hal ini
juga akan memberi cost effectiveness pada pembiayaan penanggulangan penyakit demam berdarah.
Selama ini, penyakit demam berdarah menyabot biaya yang paling besar. Dapat dibayangkan, untuk
sekali fogging (pengasapan) saja, biaya yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp5 juta. Maka apabila
pada 2007 terdapat 578 kasus demam berdarah, dilakukan fogging sebanyak 578 kali. Selain itu, anggaan
juga dikeluarkan untuk membayar orang yang mengawasi perkembangan jentik di setiap wilayah RT. Di
Bantul, terdapat 2.465 RT yang menjadi prioritas utama pengawasan terhadap jentik. Pengawas jentik ini
mendapat bayaran sebesar Rp20.000 per bulan, jumlah yang sebenarnya masih sangat sedikit jika
dibandingkan dengan jasa pengawasan yang dilakukannya.
Oleh karena itu, sangatlah penting untuk membangun partisipasi komunitas untuk melakukan 3M plus
(menutup, menguras, menimbun plus memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida,
menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida,
menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi
setempat).
BAB II
PEMBAHASAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler
dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.
Penyakit ini banyak ditemukan didaerah tropis seperti Asia Tenggara, India, Brazil, Amerika termasuk di
seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan
air laut. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya seperti Bidan dan Pak Mantri ;-) seringkali salah dalam
penegakkan diagnosa, karena kecenderungan gejala awal yang menyerupai penyakit lain seperti Flu dan
Tipes (Typhoid).
Tanda dan Gejala Penyakit Demam Berdarah Dengue Masa tunas / inkubasi selama 3 - 15 hari sejak
seseorang terserang virus dengue, Selanjutnya penderita akan menampakkan berbagai tanda dan gejala
demam berdarah sebagai berikut :
Penyebaran penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus,
sehingga pada wilayah yang sudah diketahui adanya serangan penyakit DBD akan mungkin ada
penderita lainnya bahkan akan dapat menyebabkan wabah yang luar biasa bagi penduduk disekitarnya.
Penambahan cairan tubuh melalui infus (intravena) mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi yang berlebihan. Transfusi platelet dilakukan jika jumlah platelet menurun drastis.
Selanjutnya adalah pemberian obat-obatan terhadap keluhan yang timbul, misalnya :
Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi sampai sore, karena nyamuk
aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Misalnya hindarkan berada di lokasi yang banyak
nyamuknya di siang hari, terutama di daerah yang ada penderita DBD nya. Beberapa cara yang paling
efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode pengontrolan atau pengendalian vektornya
adalah :
PENUTUP
Serangan penyakit DBD (demam berdarah dengue bisa muncul kapan saja sepanjang tahun dan bisa
menyerang siapa saja mulai dari anak-anak hingga lanjut usia, orang yang sehat kuat hingga yang sedang
sakit, orang yang tinggal di perumahan mewah sampai yang gelandangan semua bisa kena penyakit
Demam Berdarah Dengue yang berbahaya dan mematikan.
Penyakit DBD berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat. Masyarakat yang kurang
peduli kebersihan lingkungan dan ancaman penyakit berbahaya merupakan lokasi yang sangat baik
sebagai endemik dbd. Deperlukan kesadaran dan peran aktif semua lapisan masyarakat untuk
mengenyahkan demam berdarah dengue dari lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Untuk memberantas nyamuk aedes aegypty yang menularkan demam berdarah dengue diperlukan 3M di
wilayah lingkungan tempat tinggal yaitu 3M PLUS
DAFTAR PUSTAKA
http://www.infopenyakit.com/2008/03/penyakit-demam-berdarah-dengue-dbd.html
http://hajaddb.co.cc/gejala-dan-tanda-tanda-terserang-dbd-atau-demam-berdarah-dengue
http://organisasi.org/penyakit-demam-berdarah-dengue-dbd-pengertian-penyabab-gejala-dbd
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
BAB II
PEMBAHASAN
A. CONTOH KASUS
B. EPIDEMIOLOGI
1. Penyebab
Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue dengan tipe
DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus tersebut termasuk
dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses).
Keempat type virus tersebut telah ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Virus
yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue
dengan tipe satu dan tiga. 3
2. Gejala
Gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan :
a. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari
b. Manifestasi pendarahan, dengan bentuk : uji tourniquet
positif puspura pendarahan, konjungtiva, epitaksis, melena,
dsb.
c. Hepatomegali (pembesaran hati).
d. Syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang,
tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
e. Trombositopeni, pada hari ke 3 - 7 ditemukan penurunan
trombosit sampai 100.000 /mm.
f. Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai Hematokrit.
g. Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai:
anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare kejang dan
sakit kepala.
h. Pendarahan pada hidung dan gusi.
i. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik
merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
3. Masa Inkubasi
Masa inkubasi terjadi selama 4-6 hari.
4. Penularan
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti / Aedes albopictus betina yang sebelumnya telah
membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam
berdarah lain. Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brazil dan
Ethiopia dan sering menggigit manusia pada waktu pagi dan
siang.
Orang yang beresiko terkena demam berdarah adalah
anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun, dan sebagian besar
tinggal di lingkungan lembab, serta daerah pinggiran kumuh.
Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada
musim penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat
pengaruh musim/alam serta perilaku manusia.
5. Penyebaran
Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina
pada tahun 1953. Kasus di Indonesia pertama kali dilaporkan
terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian
sebanyak 24 orang. Beberapa tahun kemudian penyakit ini
menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah
kasus sebagai berikut :
Tahun 1996 : jumlah kasus 45.548 orang, dengan jumlah
kematian sebanyak 1.234 orang.
C. PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada
pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti.
Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut
antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),
pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat
perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia,
dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh:
Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya
sekali seminggu.
Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung
seminggu sekali.
Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di
sekitar rumah dan lain sebagainya.
2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan
pemakan
jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan
fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan
sampai batas waktu tertentu.
Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat
penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan
lain-lain.
D. PENGOBATAN
E. KEBIJAKAN PEMERINTAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Musim hujan tiba maka perlu diwaspadai adanya genangan – genangan air yang terjadi
pada selokan yang buntu, gorong – gorong yang tidak lancar serta adanya banjir yang
berkepanjangan, perlu diwaspadai adanya tempat reproduksi atau berkembangbiaknya nyamuk
pada genangan – genangan tersebut sehingga dapat mengakibatkan musim nyamuk telah tiba
pula, itulah kata-kata yang melakat pada saat ini. saatnya kita melakukan antisipasi
adanya musim nyamuk dengan cara pengendalian nyamuk dengan pendekatan perlakukan sanitasi
lingkungan atau non kimiawi yang tepat sangat diutamakan sebelum dilakukannya
pengendalian secara kimiawi.
Selama ini semua manusia pasti mengatahui dan mengenal serangga yang disebut
nyamuk. Antara nyamuk dan manusia bisa dikatakan hidup berdampingan bahkan nyaris
tanpa batas. Namun, berdampingannya manusia dengan nyamuk bukan dalam makna positif.
Tetapi nyamuk dianggap mengganggu kehidupan umat manusia. Meski jumlah nyamuk
yang dibunuh manusia jauh lebih banyak daripada jumlah manusia yang meninggal karena
nyamuk, perang terhadap nyamuk seolah menjadi kegiatan tak pernah henti yang dilakukan
oleh manusia.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana
menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah,
sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.Penyakit ini banyak ditemukan didaerah
tropis seperti Asia Tenggara, India, Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia,
kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Dokter
dan tenaga kesehatan lainnya seperti Bidan dan Pak M Demam Berdarah Dengue (DBD)
kini sedang mewabah, tak heran jika penyakit ini menimbulkan kepanikan di Masyarakat.
Hal ini disebabkan karena penyakit ini telah merenggut banyak nyawa. Berdasarkan data
dari Departemen Kesehatan RI terdapat 14 propinsi dalam kurun waktu bulan Juli sampai
dengan Agustus 2005 tercatat jumlah penderita sebanyak 1781 orang dengan kejadian
meninggal sebanyak 54 orang.
DBD bukanlah merupakan penyakit baru, namun tujuh tahun silam penyakit inipun
telah menjangkiti 27 provinsi di Indonesia dan menyebabkan 16.000 orang menderita, serta
429 jiwa meninggal dunia, hal ini terjadi sepanjang bulan Januari sampai April 1998
(Tempo, 2004). WHO bahkan memperkirakan 50 juta warga dunia, terutama bocah-bocah
kecil dengan daya tahan tubuh ringkih, terinfeksi demam berdarah setiap tahun.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam dengue yang disertai pembesaran
hati dan manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi
darah dan pasien jatuh syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. DBD merupakan suatu
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang penularannya dari satu penderita ke
penderita lain disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu langkah yang dapat
dilakukan untuk mencegah penyebaran DBD adalah dengan memotong siklus
penyebarannya dengan memberantas nyamuk tersebut. Salah satu cara untuk memberantas
nyamuk Aedes aegypti adalah dengan melakukan Fogging. Selain itu juga dapat dilakukan
pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan abatisasi untuk memberantas jentik nyamuk.
Program studi Kesehatan Lingkungan Program Diploma tiga Kesehatan FIK UMS sebagai
salah satu institusi yang dapat melaksanakan fogging merasa bertanggung jawab untuk
mencegah penyebaran penyakit ini. Sebagai wujud kepedulian itu maka dilaksanakan
program fogging di beberapa daerah.
Berbagai upaya pengendalian penyakit demam berdarah dengue (DBD) telah
dilaksanakan meliputi : promosi kesehatan tentang pemberantasan sarang nyamuk, pencegahan
dan penanggulangan faktor resiko serta kerja sama lintas program dan lintas sector terkait
sampai dengan tingkat desa /kelurahan untuk pemberantasan sarang nyamuk. Masalah utama
dalam upaya menekan angka kesakitan DBD adalah belum optimalnya upaya pergerakan peran
serta masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue. Oleh karena
itu partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD tersebut perlu di
tingkatkan antara lain pemeriksaan jentik secara berkala dan berkesinambungan serta
menggerakan masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD.
A. Perumusan Masalah
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan gangguan pada
pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan
perdarahan-perdarahan.
Penyakit ini banyak ditemukan didaerah tropis seperti Asia Tenggara, India, Brazil,
Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih
dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya seperti
Bidan dan Pak Mantri ;-) seringkali salah dalam penegakkan diagnosa, karena kecenderungan
gejala awal yang menyerupai penyakit lain seperti Flu dan Tipes (Typhoid).
Tanda dan Gejala Penyakit Demam Berdarah Dengue Masa tunas / inkubasi selama
3 – 15 hari sejak seseorang terserang virus dengue, Selanjutnya penderita akan
menampakkan berbagai tanda dan gejala demam berdarah sebagai berikut :
1. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38 – 40 derajat Celsius).
2. Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya jentik (puspura) perdarahan.
3. Adanya bentuk perdarahan dikelopak mata bagian dalam (konjungtiva), Mimisan
(Epitaksis), Buang air besar dengan kotoran (Peaces) berupa lendir bercampur darah
(Melena), dan lain-lainnya.
4. Terjadi pembesaran hati (Hepatomegali).
5. Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok.
6. Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3 – 7 terjadi penurunan trombosit
dibawah 100.000 /mm3 (Trombositopeni), terjadi peningkatan nilai Hematokrit diatas
20% dari nilai normal (Hemokonsentrasi).
7. Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti mual, muntah, penurunan
nafsu makan (anoreksia), sakit perut, diare, menggigil, kejang dan sakit kepala.
8. Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi.
9. Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal/sakit pada persendian.
10. Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
B. Vector penyakit demam berdarah dengue
Aedes aegypti
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Arthropoda
Kelas: Insecta
Ordo: Diptera
Famili: Culicidae
Genus: Aedes
Upagenus: Stegomyia
Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab
penyakit demam berdarah. Selain dengue, A. aegypti juga merupakan pembawa virus demam
kuning (yellow fever) dan chikungunya. Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir
semua daerah tropis di seluruh dunia. Sebagai pembawa virus dengue, A. aegypti merupakan
pembawa utama (primary vector) dan bersama Aedes albopictus menciptakan siklus persebaran
dengue di desa dan kota. Mengingat keganasan penyakit demam berdarah, masyarakat harus
mampu mengenali dan mengetahui cara-cara mengendalikan jenis ini untuk membantu
mengurangi persebaran penyakit demam berdarah.
Terjadinya penularan virus Dengue tidak dapat dilepaskan dari keberadaan vektornya,
karena tanpa adanya vektor tidak akan terjadi penularan. Ada beberapa vektor yang dapat
menularkan virus Dengue tetapi yang dianggap vektor penting dalam penularan virus ini
adalah nyamuk Aedes aegypti walaupun di beberapa negara lain Aedes albopictus cukup
penting pula peranannya seperti hasil penelitian yang pernah dilakukan di pulau Mahu
Republik Seychelles (Metsellar, 1997).
Untuk daerah urban Aedes albopictus ini kurang penting peranannya (Luft,1996).
Selain kedua spesies ini masih ada beberapa spesies dari nyamuk Aedes yang bisa bertindak
sebagai vektor untuk virus Dengue seperti Aedes rotumae, Aedes cooki dan lain-lain. Sub
famili nyamuk Aedes ini adalah Culicinae, Famili Culicidae, sub Ordo Nematocera dan
termasuk Ordo diptera (WHO, 2004).
Bila nyamuk Aedes menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia, maka
nyamuk tersebut terinfeksi oleh virus Dengue dan sekali menjadi nyamuk yang infektif maka
akan infektif selamanya (Putman JL dan Scott TW., 1996). Selain itu nyamuk betina yang
terinfeksi dapat menularkan virus ini pada generasi selanjutnya lewat ovariumnya tapi
hal ini jarang terjadi dan tidak banyak berperan dalam penularan pada manusia. Virus yang
masuk dalam tubuh nyamuk membutuhkan waktu 8-10 hari untuk menjadi nyamuk infektif bagi
manusia dan masa tersebut dikenal sebagai masa inkubasi eksternal (WHO, 1997).
2. Ciri morfologi
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh berwarna hitam
kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan gari-garis putih keperakan. Di
bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri
dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya
mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua.
Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari kondisi
lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan dan betina
tidak memiliki perbedaan dalam hal ukuran nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil dari
betina dan terdapatnya rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat
diamati dengan mata telanjang.
Untuk genus Aedes ciri khasnya bentuk abdomen nyamuk betina yang lancip ujungnya
dan memiliki cerci yang lebih panjang dari cerci nyamuk lainnya. Nyamuk dewasa mempunyai
ciri pada tubuhnya yang berwarna hitam mempunyai bercak-bercak putih keperakan atau putih
kekuningan, dibagian dorsal dari thorak terdapat bercak yang khas berupa 2 garis sejajar
di bagian tengah dan 2 garis lengkung di tepinya. Aedes albopictus tidak mempunyai garis
melengkung pada thoraknya. Larva Aedes mempunyai bentuk siphon yang tidak langsing dan
hanya memiliki satu pasang hair tuft serta pecten yang tumbuh tidak sempurna dan posisi
larva Aedes pada air biasanya membentuk sudut pada permukaan atas.
Nyamuk betina meletakkan telurnya di atas permukaan air dalam keadaan menempel
pada dinding tempat perindukannya. Telur Aedes aegypti mempunyai dinding yang
bergaris-garis dan membentuk bangunan menyerupai gambaran kain kasa. Seekor nyamuk betina
dapat meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir telur tiap kali bertelur. Pertumbuhan dari
telur sampai menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari (Srisasi G et al., 2000).
Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan
penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah.
Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi
telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga
ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam
atau merah. Demam berdarah kerap menyerang anak-anak karena anak-anak cenderung duduk
di dalam kelas selama pagi hingga siang hari dan kaki mereka yang tersembunyi di bawah
meja menjadi sasaran empuk nyamuk jenis ini.
Nyamuk dewasa betina mengisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di dalam
rumah ataupun luar rumah. Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua
puncak yaitu setelah matahari terbit (08.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam
(15.00-17.00) (Srisasi G et al., 2000).
Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang
mengarah pada peningkatan kompetensi vektor, yaitu kemampuan nyamuk menyebarkan virus.
Infeksi virus dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam mengisap darah, berulang
kali menusukkan proboscis nya, namun tidak berhasil mengisap darah sehingga nyamuk
berpindah dari satu orang ke orang lain. Akibatnya, risiko penularan virus menjadi semakin
besar.
Di Indonesia, nyamuk A. aegypti umumnya memiliki habitat di lingkungan perumahan,
di mana terdapat banyak genangan air bersih dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena
itu, jenis ini bersifat urban, bertolak belakang dengan A. albopictus yang cenderung
berada di daerah hutan berpohon rimbun (sylvan areas).
Semua tempat penyimpanan air bersih yang tenang dapat menjadi tempat berkembang biak
nyamuk Aedes misalnya gentong air murni, kaleng kosong berisi air hujan, bak kamar mandi
atau pada lipatan dan lekukan daun yang berisi air hujan, vas bunga berisi air dan lain-lain.
Nyamuk Aedes aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak pada kontainer yang ada dalam
rumah.
Perkembangan hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur hingga dewasa memerlukan waktu
sekitar 10-12 hari dan umur nyamuk Aedes aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai
3 bulan atau rata-rata 1,5 bulan, tergantung dari suhu kelembaban udara sekelilingnya
(Biswas et al., 1997).
Nyamuk A. aegypti, seperti halnya culicines lain, meletakkan telur pada permukaan
air bersih secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu
dengan yang lain. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan
dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar 1 ke instar 4
memerlukan waktu sekitar 5 hari. Setelah mencapai instar ke-4, larva berubah menjadi pupa
di mana larva memasuki masa dorman. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk
dewasa keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu
7 hingga 8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.
Telur Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam
keadaan kering. Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya,
larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat
berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh,
populasi larva yang melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang
cenderung lebih rakus dalam mengisap darah. Sebaliknya, lingkungan yang kaya akan nutrisi
menghasilkan nyamuk-nyamuk.
Nyamuk Aedes aegypti lebih senang mencari mangsa di dalam rumah dan sekitarnya
pada tempat yang terlindung atau tertutup. Hal ini agak berbeda dengan Aedes albopictus
yang sering dijumpai diluar rumah dan menyukai genangan air alami yang terdapat di luar
rumah misalnya potongan bambu pagar, tempurung kelapa, lubang pohon yang berisi air (Allan,
1998). Tempat peristirahatan nyamuk Aedes aegypti berupa semak-semak atau tanaman rendah
termasuk rerumputan yang terdapat di halaman/kebun/pekarangan rumah, juga berupa
benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah dan lain
sebagainya (Srisasi G et al., 2000).
Aedes aegypti merupakan spesies nyamuk yang banyak ditemukan di daerah tropis dan
subtropis yang terletak antara 35º lintang utara dan 35º lintang selatan. Selain itu Aedes
aegypti jarang ditemukan pada ketinggian lebih dari 1.000 m. Tetapi di India pernah
ditemukan pada ketinggian 2.121 m dan di California 2.400 m. Nyamuk ini mampu hidup pada
temperatur 8ºC-37ºC. Aedes aegypti bersifat Anthropophilic dan sering tinggal di dalam
rumah (WHO, 1997).
Kemampuan terbang nyamuk betina bisa mencapai 2 km tetapi kemampuan normalnya
kira-kira 40 meter. Nyamuk Aedes mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple bitters)
yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan
karena nyamuk Aedes aegypti sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini sangat
membantu Aedes aegypti dalam memindahkan virus Dengue ke beberapa orang sekaligus sehingga
dilaporkan adanya beberapa penderita DBD di dalam satu rumah (Depkes, 2004).
Memonitor kepadatan populasi Aedes aegypti merupakan hal yang penting dalam
mengevaluasi adanya ancaman penyakit Demam Berdarah Dengue di suatu daerah dan pengukuran
kepadatan populasi nyamuk yang belum dewasa dilakukan dengan cara pemeriksaan
tempat-tempat perindukan di dalam dan luar rumah. Ada 3 angka indeks yang perlu diketahui
yaitu indeks rumah, indeks kontainer dan indeks Breteau (Srisari G et al., 2000). Indeks
Breteau adalah jumlah kontainer yang positif dengan larva Aedes aegypti dalam 100 rumah
yang diperiksa. Indeks Breteau merupakan indikator terbaik untuk menyatakan kepadatan
nyamuk, sedangkan indeks rumah menunjukkan luas persebaran nyamuk dalam masyarakat.
Indeks rumah adalah prosentase rumah ditemukannya larva Aedes aegypti. Indeks kontainer
adalah prosentase kontainer yang positif dengan larva Aedes aegypti. Penelitian dari
Bancroft pada tahun 1906 memberi dasar kuat untuk mempertimbangkan Aedes aegypti sebagai
vektor dengan cara menginfeksi 2 sukarelawan di daerah tempat terjadinya infeksi alamiah.
Dasar ini didukung pula dengan hasil penelitian Cleland dan kawan-kawan tahun 1917, juga
penelitian dari Jupp tahun 1993 di Afrika Selatan yang menyatakan populasi Aedes aegypti
paling besar potensinya sebagai vektor untuk virus DEN-1 dan DEN-2 (WHO, 2002).
D. Patogenitas dbd
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus Dengue yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Virus Dengue termasuk
genus Flavivirus, famili Flaviviridae, yang dibedakan menjadi 4 serotipe yaitu DEN 1,
DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Keempat serotipe virus ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan
bahwa serotipe virus DEN 3 sering menimbulkan wabah, sedang di Thailand penyebab wabah
yang dominan adalah virus DEN 2 (Syahrurahman A et al., 1995). Penyakit ini ditunjukkan
dengan adanya demam secara tiba-tiba 2-7 hari, disertai sakit kepala berat, sakit pada
sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam merah terang, petechie dan biasanya muncul
dulu pada bagian bawah badan menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Radang
perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau
diare (Soewandoyo E., 1998).
Manifestasi klinik terwujud sebagai akibat adanya kebocoran plasma dari pembuluh
darah perifer ke jaringan sekitar. Infeksi virus Dengue dapat bersifat asimtomatik atau
simtomatik yang meliputi panas tidak jelas penyebabnya (Dengue Fever, DF), Demam Berdarah
Dengue (DBD), dan demam berdarah dengan renjatan (DSS) dengan manifestasi klinik demam
bifasik disertai gejala nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, dan timbulnya ruam pada
kulit ( Soegijanto S., 2004).
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti dan
nyamuk Aedes albopictus. Di dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistem
retikuloendotelial, dengan target utama virus Dengue adalah APC (Antigen Presenting Cells )
di mana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar
dapat juga terkena (Harikushartono et al., 2002). Segera terjadi viremia selama 2 hari
sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan
segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC
(Antigen Precenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel
T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus juga
mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali
yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen (Gubler
DJ., 1998).
Penyakit infeksi virus Dengue merupakan hasil interaksi multifaktorial yang pada
saat ini mulai diupayakan memahami keterlibatan faktor genetik pada penyakit infeksi virus,
yaitu kerentanan yang dapat diwariskan. Konsep ini merupakan salah satu teori kejadian
infeksi berdasarkan adanya perbedaan kerentanan genetik (genetic susceptibility) antar
individu terhadap infeksi yang mengakibatkan perbedaan interaksi antara faktor genetik
dengan organisme penyebab serta lingkungannya (Darwis D., 1999).
Patofisiologi primer DBD dan Dengue Shock Syndrom (DSS) adalah peningkatan akut
permeabilitas vaskuler yang diikuti kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah (Gambar 2.1). Volume
plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, yang didukung penemuan post mortem
meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi (Soedarmo, 2002).
Patogenesis DBD masih kontroversial dan masing-masing hanya dapat menjelaskan satu
atau beberapa manifestasi kliniknya dan belum dapat menjelaskan secara utuh keseluruhan
fenomena (Soetjipto et al., 2000). Beberapa teori tentang patogenesis DBD adalah The
Secondary Heterologous Infection Hypothesis, Hipotesis Virulensi Virus, Teori Fenomena
Antibodi Dependent Enhancement (ADE), Teori Mediator, Peran Endotoksin, dan Teori
Apoptosis (Soegijanto S., 2004).
Pencegahan dan pemberantasan infeksi Dengue diutamakan pada pemberantasan vektor
penyakit karena vaksin yang efektif masih belum tersedia. Pemberantasan vektor ini
meliputi pemberantasan sarang nyamuk dan pembasmian jentik. Pemberantasan sarang nyamuk
meliputi pembersihan tempat penampungan air bersih yang merupakan sarana utama
perkembangbiakan nyamuk, diikuti penimbunan sampah yang bisa menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk. Tempat air bersih perlu dilindungi dengan ditutup yang baik.
Pembasmian jentik dilakukan melalui kegiatan larvaciding dengan abate dan penebaran ikan
pemakan jentik di kolam-kolam (Soegijanto S., 2004).
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras
dan mengubur barang-barang yang bisa dijadikan sarang nyamuk. Selain itu juga melakukan
beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan
kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan
repellent, memasang obat nyamuk dan memeriksa jentik berkala sesuai dengan kondisi
setempat (Deubel V et al., 2001).
Kegiatannya dapat berupa kerja bakti untuk membersihkan rumah dan
pekarangannya, selokan selokan di samping rumah serta melakukan 3M ( Menguras kamar
mandi (termasuk mengganti air untuk minuman burung dan air dalam vas bunga), menutup
tampungan / tandon air dan mengubur barang-barang bekas yang mungkin menjadi tempat
sarang nyamuk, termasuk pecahan botol dan potongan ban bekas). Jika diperlukan dapat
ditaburkan abate dengan dosis 10 gr/ 100 liter air, untuk membunuh jentik-jentik pada bak
kamar mandi maupun kolam-kolam ikan di rumah, dalam hal ini masyarakat tidak perlu
takut kalau-kalau terjadi keracunan karena abate ini hanya membunuh jentik nyamuk dan
aman bagi manusia maupun ikan. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam memutus
rantai penularan penyakit demam berdarah adalah dengan pelaksanaan PSN oleh masyarakat,
kemudian dilakukan fogging oleh petugas dan kembali dilaksanakan PSN oleh masyarakat.
Jika cara ini telah dilakukan oleh seluruh masyarakat secara merata di berbagai wilayah,
artinya tidak hanya satu Rt atau Rw saja, tetapi telah meluas di semua wilayah maka
pemberantasan demam berdarah akan lebih cepat teratasi. Sebab jika hanya satu daerah saja
yang melaksanakan program tersebut namun daerah lainnya tidak, maka dimungkinkan
orang yang berasal dari wilayah yang telah bebas namun berkunjung ke daerah yang masih
terdapat penderita demam berdarah dan tergigit oleh nyamuk Aedes aegypti akan tertular
demam berdarah pula dan dengan cepat penyakit inipun akan tersebar luas kembali.
Pemerintah juga memberdayakan masyarakat dengan mengaktifkan kembali
(revitalisasi) pokjanal DBD di Desa/Kelurahan maupun Kecamatan dengan fokus pemberian
penyuluhan kesehatan lingkungan dan pemeriksaan jentik berkala. Perekrutan warga
masyarakat sebagai Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dengan fungsi utama melaksanakan
kegiatan pemantauan jentik, pemberantasan sarang nyamuk secara periodik dan penyuluhan
kesehatan. Peran media massa dalam penanggulangan KLB DBD dan sebagai peringatan dini
kepada masyarakat juga ditingkatkan. Dengan adanya sistem pelaporan dan pemberitahuan
kepada khalayak yang cepat diharapkan masyarakat dan departemen terkait lebih wasapada.
Intensifikasi pengamatan (surveilans) penyakit DBD dan vektor dengan dukungan
laboratorium yang memadai di tingkat Puskesmas Kecamatan/Kabupaten juga perlu dibenahi
(Kristina et al., 2004).
Beberapa upaya untuk menurunkan, menekan dan mengendalikan nyamuk dengan cara
pengelolaan lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Modifikasi Lingkungan
Yaitu setiap kegiatan yang mengubah fisik lingkungan secara permanen agar tempat
perindukan nyamuk hilang. Kegiatan ini termasuk penimbunan, pengeringan, pembuatan
bangunan (pintu, tanggul dan sejenisnya) serta pengaturan sistem pengairan (irigasi).
Kegiatan ini di Indonesia populer dengan nama kegiatan pengendalian sarang nyamuk ”3M”
yaitu dari kata menutup, menguras dan menimbun berbagai tempat yang menjadi sarang
nyamuk.
2. Manupulasi Lingkungan
Yaitu suatu bentuk kegiatan untuk menghasilkan suatu keadaan sementara yang tidak
menguntungkan bagi keberadaan nyamuk seperti pengangkatan lumut dari laguna, pengubahan
kadar garam dan juga sistem pengairan secara berkala di bidang pertanian.
3. Mengubah atau Memanipulasi Tempat Tinggal dan Tingkah Laku
Yaitu kegiatan yang bertujuan mencegah atau membatasi perkembangan vektor dan
mengurangi kontak dengan manusia. Pendekatan ini dilakukan dengan cara menempatkan dan
memukimkan kembali penduduk yang berasal dari sumber nyamuk (serangga) penular penyakit,
perlindungan perseorangan (personal protection), pemasangan rintangan-rintangan
terhadap kontak dengan sumber serangga vektor, penyediaan fasilitas air, pembuangan air,
sampah dan buangan lainnya.
4. Pengendalian Hayati
Yaitu cara lain untuk pengendalian non kimiawi dengan memanfaatkan musuh-musuh
alami nyamuk. Pelaksanaan pengendalian ini memerlukan pengetahuan dasar yang memadai baik
mengenai bioekologi, dinamika populasi nyamuk yang akan dikendalikan dan juga bioekologi
musuh alami yang akan digunakan. Dalam pelaksanaanya metode ini lebih rumit dan
hasilnyapun lebih lambat terlihat dibandingkan dengan penggunaan insektisida.
Pengendalian hayati baru dapat memperlihatkan hasil yang optimal jika merupakan bagian
suatu pengendalian secara terpadu.
5. Musuh alami yang yang digunakan dalam pengendalian hayati adalah predator, patogen
dan parasit.
a. Predator
Adalah musuh alami yang berperan sebagai pemangsa dalam suatu populasi nyamuk.
Contohnya beberapa jenis ikan pemakan jentik atau larva nyamuk.Ikan pemakan jentik nyamuk
yang telah lama digunakan sebagai pengendali nyamuk adalah ikan jenis guppy dan ikan kepala
timah. Jenis ikan lain yang dikembangkan adalah ikan mas, mujahir dan ikan nila di
persawahan. Selain ikan dikenal pula larva nyamuk yang bersifat predator yaitu jentik
nyamuk Toxorrhynchites yang ukurannya lebih besar dari jentik nyamuk lainnya ( sekitar
4-5 kali ukuran larva nyamuk Aedes aegypti). Di beberapa negara pemanfaatan larva
Toxorrhynchites telah banyak dilakukan dalam rangkaian usaha memberantas nyamuk demam
berdarah secara tepadu.
b. Patogen
Merupakan jasad renik yang bersifat patogen terhadap jentik nyamuk. Sebagai contoh
adalah berbagai jenis virus (seperti virus yang bersifat cytoplasmic polyhedrosis),
bakteri (seperti Bacillus thuringiensis subsp.israelensis, B. sphaericus), protozoa
(seperti Nosema vavraia, Thelohania) dan fungi (seperti Coelomomyces, Lagenidium,
Culicinomyces)
c. Parasit
Yaitu mahluk hidup yang secara metabolisme tergantung kepada serangga vektor dan
menjadikannya sebagai inang. Contohnya adalah cacing Nematoda seperti Steinermatidae
(Neoplectana), Mermithidae (Romanomermis) dan Neotylenchidae (Dalandenus) yang dapat
digunakan untuk mengendalikan populasi jentik nyamuk dan serangga pengganggu kesehatan
lainnya. Nematoda ini memerlukan serangga sebagai inangnya, masuk ke dalam rongga tubuh,
merusak dinding dan jaringan tubuh serangga tersebut. Jenis cacing Romanomermis
culiciforax merupakan contoh yang sudah diproduksi secara komersial untuk mengendalikan
nyamuk.
Meskipun demikian pemanfaatan spesies Nematoda sampai saat ini masih terbatas pada
daerah-daerah tertentu karena sebaran spesiesnya terbatas, hanya menyerang pada fase dan
spesies serangga tertentu dan memerlukan dasar pengetahuan bioekologi yang kuat.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan masalah yang telah dibuat, dapat diambil kesimpulan
bahwa fogging merupakan salah satu upaya untuk memberantas nyamuk yang merupakan
vektor penyakit demam berdarah sehingga rantai penularan penyakit dapat diputuskan.
Selain fogging juga dapat dilakukan abatisasi, yaitu penaburan abate dengan dosis 10 gram
untuk 100 liter air pada tampungan air yang ditemukan jentik nyamuk. Penyuluhan dan
penggerakan masyarakat dalam PSN ( Pemberantasan Sarang Nyamuk ) dengan 3M, yaitu :
Menguras
Menutup tampungan air, dan
Mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk juga dapat menjadi
cara untuk memberantas DBD.
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam mengobati penyakit DBD diantaranya
yaitu:
Mengatasi perdarahan.
Mencegah keadaan syok.
Menambah cairan tubuh dengan infus.
Untuk mencegah DBD, dapat dilakukan dengan cara menghindari gigitan nyamuk
pada waktu pagi hingga sore hari dengan cara mengoleskan lotion anti nyamuk.
B. SARAN
1. Setiap individu sebaiknya mengerti dan memahami bahaya dari penyakit DBD tersebut,
sehingga setiap individu tersebut bisa lebih merasa khawatir dan mampu menjaga diri dan
lingkungannya dari kemungkinan terserangnya demam berdarah.
2. P e r l u n ya d i g a l a k k a n G e r a k a n 3 M p l u s , tidak hanya bila terjadi wabah tetapi
harusdijadikan gerakan nasional melalui pendekatan masyarakat.
3. Early Warning Outbreak Recognition System (EWORS) perlu dilakukan
secara berdaya guna dan berhasil guna.
4. Segenap pihak yang terkait dapat bekerja sama untuk mencegah DBD.18
DAFTAR PUSTAKA
Gerakan 3M plus
Seperti yang sudah disebutkan di atas, gerakan 3M telah diperbaharui. Selain
perubahan dalam M yang ketiga, pemerintah juga menambahkan anjuran-anjuran
baru. Pencegahan DBD dengan 3M plus bertujuan untuk menghindari gigitan nyamuk
dan mencegah nyamuk bersembunyi di rumah. Ikuti cara-cara sederhana berikut ini
untuk mengaplikasikan 3M plus:
Pasang kasa nyamuk di pintu dan jendela, dan gunakan kelambu saat tidur.
Gunakan semprotan antinyamuk, terutama di kolong meja dan tempat tidur, serta di
belakang furnitur.
Biarkan matahari masuk semaksimal mungkin. Bersihkan kaca jendela yang buram agar
sinar matahari tidak terhalang.
Bersihkan secara rutin semua tirai dan karpet yang mengumpulkan debu. Ingatlah bahwa
nyamuk suka bersembunyi di barang-barang berdebu.
Jika memiliki kebun, tanam tumbuhan-tumbuhan berbau yang tidak disukai nyamuk,
misalnya serai, kemangi, dan lavender.
Kosongkan rumah dan gudang sebisa mungkin dari barang-barang yang tidak diperlukan
untuk menghilangkan tempat-tempat nyamuk bersembunyi dan agar rumah menjadi lebih lapang.
Jangan biarkan baju dan handuk menggantung terlalu lama. Handuk dan baju kotor
merupakan tempat yang digemari nyamuk karena nyamuk suka aroma tubuh manusia. Cuci baju
kotor dan ganti handuk secara berkala.
Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan
kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam
lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Gambaran keadaan masyarakat
Indonesia pada masa depan atau visi yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan
tersebut dirumuskan sebagai Indonesia Sehat 2011. Untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang optimal Program Pemberantasan Penyakit menitik beratkan kegiatan pada
upaya mencegah berjangkitnya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan kematian serta
mengurangi akibat buruk dari penyakit menular maupun tidak menular.
Penyakit menular masih menjadi masalah prioritas dalam pembangunan kesehatan masyarakat
di Indonesia. Dalam daftar SPM (SK MENKES No.145710 Oktober 2003) sejumlah penyakit
menular dicantumkan sebagai masalah yang wajib menjadi prioritas oleh daerah. Masalah
penyakit menular masih memprihatinkan, beberapa jenis penyakit bahkan menunjukkan
kecenderungan meningkat dan belum berhasil diatasi seperti TB paru, malaria, dan demam
berdarah.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ataupun Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yang dapat
bermanifestasi sebagai Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan suatu penyakit menular tidak
langsung. Cara penularannya melalui vektor nyamuk Ae. aegypti dan Aedes albopictus.
Berdasar pengalaman sampai saat ini, pada umumnya yang paling berperanan dalam penularan
adalah Ae. aegypti, karena hidupnya di dalam dan disekitar rumah; sedangkan Aedes
albopictus di kebun-kebun, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia.ii Penyakit DBD
bersifat endemis, sering menyerang masyarakat dalam bentuk wabah dan disertai dengan angka
kematian yang cukup tinggi, khususnya pada mereka yang berusia dibawah 15 tahun dimana
angka kesakitan dan kematian tersebut digunakan sebagai indikator dalam menilai hasil
pembangunan kesehatan dan sebagai akibatnya angka kesakitan dan kematian nasional selalu
tinggi. Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang cukup serius
untuk diwaspadai, karena sering menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian pada banyak
orang terutama anak-anak.
Di Indonesia, DBD cenderung semakin meningkat jumlah penderitanya dan semakin menyebar
luas. Tahun 1968 penyakit ini baru terjangkit di Jakarta dan Surabaya. Dua puluh tahun
kemudian, DBD telah menjangkiti 201 Dati II di seluruh Indonesia. Peningkatan jumlah
penderita terjadi periodik setiap 5 tahun. Kejadian Luar Biasa terakhir pada tahun 1988
dengan jumlah penderita dirawat di rumah sakit 47.573 orang, dengan jumlah yang meninggal
dunia 1.527 (CFR 3,2 %). Semula diperkirakan bahwa penyakit DBD hanya terjadi di daerah
perkotaan saja tetapi ternyata dugaan tersebut salah, karena sekarang banyak ditemukan
dipelosok pedesaan.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah penderita serta semakin luas penyebaranya.
Kondisi lingkungan yang buruk, genangan air yang tertampung dalam suatu wadah, tempat
pemukiman yang padat khususnya daerah perkotaan, kurangnya kesadaran masyarakat akan
kebersihan khususnya untuk menguras bak mandi dan gerakan pemberantasan sarang nyamuk,
adalah merupakan faktor pencetus berkembang biaknya nyamuk Ae. aegypti sebagai penyebab
penyakit Demam Berdarah. Upaya–upaya pencegahan seperti Program Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) Abatatisasi, dan Fogging, sudah sering dilakukan baik yang dilaksanakan oleh
masyarakat itu sendiri ataupun oleh pihak instansi pemerintah, namun kenyataanya penyakit
tersebut masih tetap muncul bahkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Disamping
itu juga diduga kuat ada pengaruh pada aspek lingkungan Fisik, lingkungan Biologi,
lingkungan Sosial, Program , Regulasi, Tehnis Operasional, dan Peran Serta masyarakat
dalam Program Pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue mulai dari Perencanaan
(Planning) Pelaksanaan (Actuating) dan Monitoring (Controling ). Hal tersebut dapat
dilihat dari input, proses, output dan outcamenya, sehingga identifikasi, analisis dan
evaluasi yang menyangkut lingkungan terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue menjadi
sesuatu yang sangat penting.
1. Virus Dengue
Virus dengue termasuk famili Flaviviridae, yang berukuran kecil sekali + 35-45 nm. Virus
dapat tetap hidup (survive) di alam melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama, transmisi
vertikal dalam tubuh nyamuk. Virus ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya, yang
nantinya menjadi nyamuk dewasa. Virus juga dapat ditularkan dari nyamuk jantan pada nyamuk
betina melalui kontak seksual. Mekanisme kedua, transmisi virus dari nyamuk ke dalam tubuh
makhluk Vertebrata dan sebaliknya.
2. Virus Dengue dalam Tubuh Nyamuk
Virus dengue didapatkan nyamuk Aedes pada saat melakukan gigitan pada manusia (vertebrata)
yang sedang mengandung virus dengue dalam darahnya (viraemia). Virus yang sampai ke dalam
lambung nyamuk akan mengalami replikasi (membelah diri atau berkembang biak), kemudian
akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjar ludah.
3. Virus Dengue dalam Tubuh Manusia
Virus dengue memasuki tubuh manusia melalui proses gigitan nyamuk yang menembus kulit.
Setelah nyamuk mengigit manusia disusul oleh periode tenang + 4 hari, virus melakukan
replikasi secara cepat dalam tubuh manusia virus akan memasuki sirkulasi darah (viraemia)
apabila jumlah virus sudah cukup, dan manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala panas.
Tubuh memberi reaksi setelah adanya virus dengue dalam tubuh manusia. Bentuk reaksi
terhadap virus antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda dan akan
memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis dan perjalanan penyakit.
Demam dengue ditandai oleh gejala-gejala klinik berupa demam, nyeri pada seluruh tubuh,
ruam dan perdarahan. Gejala-gejala tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Demam
Demam yang terjadi pada infeksi virus dengue timbulnya mendadak, tinggi (dapat mencapai
39-40 oC) dan dapat disertai dengan menggigil. Demam hanya berlangsung untuk 5-7 hari.
Pada saat demamnya berakhir, sering kali dalam turunnya suhu badan secara tibatiba (lysis),
disertai dengan berkeringat banyak, dimana anak tampak agak loyo. Demam ini dikenal juga
dengan istilah demam biphasik, yaitu demam yang berlangsung selama beberapa hari sempat
turun ditengahnya menjadi normal kemudian naik lagi dan baru turun lagi saat penderita
sembuh.
2. Nyeri seluruh tubuh
Dengan timbulnya gejala panas pada penderita infeksi virus dengue, maka disusul dengan
timbulnya keluhan nyeri pada seluruh tubuh. Pada umumnya yang dikeluhkan berupa nyeri
otot, nyeri sendi, nyeri punggung, nyeri ulu hati dan nyeri pada bola mata yang semakin
meningkat apabila digerakkan. Gejala nyeri yang timbul dalam kalangan masyarakat awam
di sebut dengan istilah flu tulang.
3. Ruam
Ruam yang terjadi pada infeksi virus dengue dapat timbul pada saat awal panas yang berupa
~flushing~ yaitu berupa kemerahan pada daerah muka, leher dan dada. Ruam juga dapat timbul
pada hari ke-4 sakit berupa bercak-bercak merah kecil, seperti : bercak pada penyakit
campak.
4. Perdarahan
Infeksi virus dengue terutama pada bentuk klinis demam berdarah dengue selalu disertai
dengan tanda perdarahan. Tanda perdarahan tidak selalu didapat secara spontan oleh
penderita, bahkan pada sebagian besar penderita tanda perdarahan muncul setelah dilakukan
test tourniquet.
Penyebab Demam Berdarah Dengue
Virus dengue yang dikenal saat ini ada empat serotipe. Keempatnya saling berkaitan sifat
antigennya. Infeksi pertama dengan salah satu serotipe hanya akan memberikan proteksi
sebagian terhadap ketiga serotipe lainnya, dan memungkinkan terjadi infeksi dengan ketiga
serotipe yang lain tersebut. Menurut Depkes RI6 bahwa teori infeksi sekunder “The
Secondary Heterologus Infection Hypothesis” yang dikemukakan oleh Halstead (1980)
menyebutkan bahwa seseorang dapat menderita DBD jika mendapat infeksi ulangan tipe virus
dengue berbeda. Misalnya : infeksi pertama oleh virus dengue tipe–1 (DEN-1) menyebabkan
terbentuknya antibodi DEN -1, apabila kemudian terkena infeksi berikut oleh virus dengue
tipe-2 (DEN-2) dalam waktu 6 bulan sampai 5 tahun pada sebagian dari yang mendepat infeksi
kedua itu dapat terjadi suatu reaksi imunologis antara virus DEN-2 sebagai antigen dengan
antibody DEN – 1 yang dapat mengakibatkan gejala Demam Berdarah dengue. Halstead, dkk.
(1970) berkeyakinan bahwa Demam Berdarah Dengue yang disertai syok (dengue shock
syndrome/DSS) dapat terjadi pada anak berumur kurang dari 1 tahun dengan infeksi virus
dengue pertama kali, oleh karena anak tersebut dilahirkan dari ibu yang mempunyai
immunitas terhadap dengue yang diberikan kepada bayinya melalui plasenta. Hypothesa yang
lain mengemukakan bahwa infeksi dari setiap tipe virus dengue yang virulen dapat
mengakibatkan timbulnya gejala Demam Berdarah Dengue yang disebut dengan Teori Infeksi
Primer (Ditjen PPM & PLP, 1986).7
Demam berdarah baru terjadi apabila telah terinfeksi oleh virus dengue untuk kedua kalinya,
atau mendapat virus dari sumber yang tidak sama. Infeksi yang pertama dengan atau tampa
obat, demam tersebut sering sembuh sendiri atau berlalu begitu saja tanpa disadari oleh
penderitanya. Orang yang terinfeksi kedua kalinya pada darah atau pipa-pipa pembuluh darah
dalam di dalam tubuh yang telah terkontaminasi virus dengue itu menjadi lebih sensitif
terhadap serangan yang kedua kali sehingga dalam tubuh mereka yang telah terkena virus
dengue biasanya akan terjadi reaksi yang lebih dahsyat atau hypersensitivity, reaksi yang
berlebihan atau terlalu sensitif itulah yang sesungguhnya menimbulkan tanda-tanda atau
gejala yang disebut dengan demam berdarah (Indrawan, 2001).
Penularan penyakit terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), alat tusuknya
yang disebut proboscis akan mencari kapiler darah. Setelah diperoleh, maka dikeluarkan
liur yang mengandung zat anti pembekuan darah (anti koagulan), agar darah mudah di hisap
melalui saluran proboscis yang sangat sempit. Bersama liurnya inilah virus dipindahkan
kepada orang lain.
Penyebaran
Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 m, maksimal 100 m, tetapi secara pasif nyamuk
dapat berpindah lebih jauh, misalnya : karena angin atau terbawa kendaraan. Ae. aegypti
tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Aedes dapat hidup dan berkembangbiak sampai
ketinggian daerah + 1.000 m dari permukaan air laut, apabila berada di atas ketinggian
+ 1.000 m nyanuk tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara
terlalu rendah (Depkes RI, 1992)v. Nyamuk Aedes pada saat ini telah terdapat hampir di
seluruh pelosok Indonesia tidak terkecuali lagi di daerah atau tempat-tempat yang
ketinggiannya mencapai lebih dari 1.000 m di atas permukaan laut yang dahulu dianggap
tidak dapat didatangi atau dihuni oleh nyamuk tersebut (Indrawan, 2001). Kejadian penyakit
DBD pertama kali ditemukan Manila, Filiphina pada tahun 1953. Kejadian di Indonesia
pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak
24 orang. Beberapa tahun kemudian penyakit DBD menyebar kebeberapa propinsi di Indonesia
(Depkes RI, 2004).
Pusat-pusat Penularan
Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat penularan virus dengue adalah kepadatan vektor,
mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, dan susceptibilitas dari penduduk. Mobilitas
penduduk memegang peranan penting pada penularan virus dengue, karena jarak terbang nyamuk
Ae. aegypti yang sangat terbatas, yaitu 100m. Tempat yang potensial untuk terjadi
penularan DBD menurut Depkes RI (1992) adalah :
Nyamuk Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur - larva - pupa - dewasa.
Stadium telur, larva dan pupa hidup didalam air, sedangkan stadium dewasa hidup diluar
air. Pada umumnya telur akan menetas dalam 1 - 2 hari setelah terendam dengan air. Stadium
jentik biasanya berlangsung antara 5 - 15 hari, dalam keadaan normal berlangsung 9 -10
hari. Stadium berikutnya adalah stadium pupa yang berlangsung 2 hari, kemudian selanjutnya
menjadi dewasa dan melanjutkan siklus berikutnya. Dalam suasana yang optimal,
perkembangan dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu sedikitnya 9 hari . Nyamuk Aedes
albopictus dalam berkembang biaknya juga mengalami metamorfosis sempurna dengan lama
berkembang biaknya dari telur hingga dewasa adalah 7 - 14 hari dengan tiap-tiap fase :
telur - jentik : 1- 2 hari, jentik kepompong 7 - 9 hari dan kepompong - dewasa 2-3 hari .
Antara nyamuk Ae. aegypti dan Aedes albopictus lama siklus hidupnya tidak berbeda jauh.
Tempat Perindukan
Tempat perindukan nyamuk Aedes berupa genangan air yang tetampung disuatu wadah yang
disebut kontainer, bukan pada genangan air di tanah. Kontainer ini dibedakan menjadi 3
macam, yaitu :
a. Tempat penampungan air yang bersifat tetap (TPA)
Penampungan ini biasanya dipakai untuk keperluan rumah tangga seharihari, pada umumnya
keadaan airnya adalah jernih, tenang dan tidak mengalir seperti bak mandi, bak WC, drum
penyimpanan air dan lain-lain.
b. Bukan tempat penampungan air (non TPA).
Adalah kontainer atau wadah yang bisa menampung air, tetapi bukan untuk keperluan
sehari-hari seperti tempat minum hewan piaraan, barang bekas (ban, kaleng, botol, pecahan
piring/gelas), vas atau pot bunga dan lain-lain.
c. Tempat perindukan alami.
Bukan tempat penampungan air tetapi secara alami dapat menjadi tempat penampungan air
misalnya potongan bambu, lubang pagar, pelepah daun yang berisi air dan bekas tempurung
kelapa yang berisi air. Berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap perindukan
nyamuk didapatkan bahwa :
1) Tempat perindukan alami lebih disukai bila dibandingkan dengan non alami.
2) Jenis kontainer tanah liat dan bambu paling disukai bila dibandingkan kontainer semen,
kaca/gelas, aluminium dan plastik
3) Warna-warna kontainer terang (coklat muda, kuning dan merah) lebih disukai sebagai
tempat berkembang biak.
4) Semakin dalam jarak permukaan air ke permukaan bejana semakin banyak didapatkan larva.
Habitat vektor
Habitat vektor mempelajari hubungan antara vektor dan lingkungannya atau mempelajari
bagaimana pengaruh lingkungan terhadap vektor. Lingkungan ada 2 macam, yaitu Lingkungan
Fisik dan Biologi juga sedikit dipengaruhi oleh Lingkungan Sosial.
a. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik ada bermacam-macam misalnya tata rumah, jenis kontainer, ketinggian
tempat dan iklim.
1) Jarak antara rumah
Jarak rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah lain, semakin dekat
jarak antar rumah semakin mudah nyamuk menyebar kerumah sebelah menyebelah. Bahan-bahan
pembuat rumah, konstruksi rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah
menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk. Berbagai
penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi perumahan yang berdesak- desakan
dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang penyakit.
2) Macam kontainer
Termasuk macam kontainer disini adalah jenis/bahan kontainer, letak kontainer, bentuk,
warna, kedalaman air, tutup dan asal air mempengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat
bertelur.
3) Ketingian tempat
Pengaruh variasi ketinggian berpengaruh terhadap syarat-syarat ekologis yang diperlukan
oleh vektor penyakit. Di Indonesia nyamuk Ae. aegypti dan Aedes albopictus dapat hidup
pada daerah dengan ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut
4) Iklim
Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik, yang terdiri dari: suhu udara,
kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin
a) Suhu udara
Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi metabolismenya menurun atau bahkan
terhenti bila suhunya turun sampai dibawah suhu kritis. Pada suhu yang lebih tinggi dari
350 c juga mengalami perubahan dalam arti lebih lambatnya proses-proses fisiologis,
rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25 0 C - 270 C. Pertumbuhan nyamuk
akan terhenti sama sekali bila suhu kurang 100 C atau lebih dari 400 C.
b) Kelembaban nisbi
Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan keadaan rumah menjadi basah dan
lembab yang memungkinkan berkembangbiaknya kuman atau bakteri penyebab penyakit.
Kelembaban yang baik berkisar antara 40 % - 70%. Untuk mengukur kelembaban udara digunakan
hidrometer, yang dilengkapi dengan jarum penunjuk angka relatif kelembaban.9
c) Curah hujan
Hujan berpengaruh terhadap kelembaban nisbi udara dan tempat perindukan nyamuk juga
bertambah banyak.
d) Kecepatan angin
Kecepatan angin secara tidak langsung berpengaruh pada kelembaban dan suhu udara,
disamping itu angin berpengaruh terhadap arah penerbangan nyamuk. Meskipun kondisi iklim
dari suatu daerah berpengaruh terhadap vektor penyakit, mengingat keterbatasan alat maka
pada penelitian ini yang akan dilakukan pengukuran langsung adalah suhu udara dan
kelembaban udara.
b. Lingkungan Biologi
Nyamuk Ae. aegypti dalam perkembanganya mengalami metamorfosis lengkap yaitu mulai dari
telur-larva-pupa- dewasa. Telur Ae. aegypti berukuran lebih kurang 50 mikron, berwarna
hitam berbentuk oval menyerupai torpedo dan bila terdapat dalam air dengan suhu 20-40
ºC akan menetas menjadi larva instar I dalam waktu 1-2 hari. Pada kondisi optimum larva
instar 1 akan berkembang terus menjadi instar II, instar III dan instar IV, kemudian
berubah menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu antara 2-3 hari. Pertumbuhan dan
perkembangan nyamuk Ae. aegypti sejak dari telur sampai nyamuk dewasa memerlukan waktu
7-14 hari dan nyamuk jantan lebih cepat menetasnya bila dibandingkan nyamuk betina. Larva
nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berturut-turut pada bejana yang terbuat dari
metal, tanah liat, semen, dan plastik. Lingkungan biologi yang mempengaruhi penularan
DBD terutama adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi
kelembaban dan pencahayaan didalam rumah. Adanya kelembaban yang tinggi dan kurangnya
pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap
beristirahat.
c. Lingkungan Sosial
Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang memperhatikan kebersihan
lingkungan seperti kebiasaan menggantung baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan
membersihkan TPA, kebiasaan membersihkan halaman rumah, dan juga partisipasi masyarakat
khususnya dalam rangka pembersihan sarang nyamuk, maka akan menimbulkan resiko terjadinya
transmisi penularan penyakit DBD di dalam masyarakat. Kebiasaan ini akan menjadi lebih
buruk dimana masyarakat sulit mendapatkan air bersih, sehingga mereka cenderung untuk
menyimpan air dalam tandon bak air, karena TPA tersebut sering tidak dicuci dan dibersihkan
secara rutin pada akhirnya menjadi potensial sebagai tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti.
Bionomik Vektor
Bionomik adalah kebiasaan tempat perindukan (breeding habit), kebiasaan menggigit
(feeding habit), kebiasaan beristirahat (resting habit) dan jarak terbang.
1. Tempat perindukan nyamuk (Breeding Habit)
Tempat perindukan nyamuk Aedes berupa genangan-genangan air yang tertampung di suatu wadah
yang disebut dengan kontainer bukan genangan air di tanah. Tempat bertelur yang disukai
oleh nyamuk betina adalah dinding vertikal bagian dalam dari tempat atau kontainer yang
berisi air sedikit dibagian atas permukaan air, dan terlindung dari cahaya matahari
langsung dan nyamuk betina bertelur disaat-saat segera sebelum matahari terbenam. Tempat
penampungan air yang ada di masyarakat biasanya berupa bak mandi dengan bahan terbuat
dari porselin ataupun plesteran biasa, gentong dari tanah, drum dan lain-lain.
2. Kebiasaan menggigit (Feeding Habit).
Berdasarkan penelitian kebiasaan menggigit nyamuk betina Ae. aegypti terutama antara
pukul 08.00 - 13.00 dan 15.00 -17.00 WIB, dengan demikian dapat dikatakan bahwa nyamuk
betina menggigit pada pagi dan sore hari. Tempat menggigit lebih banyak di dalam rumah
daripada di luar rumah. Menggigit dan menghisap darah manusia dan bisa menggigit beberapa
kali hal ini dikarenakan pada siang hari nyamuk belum kenyang dalam mengambil darah, orang
yang digigit sudah aktif bergerak, kemudian nyamuk terbang dan menggigit orang lagi sampai
cukup darah untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya.
3. Kebiasaan beristirahat (Resting Habit)
Setelah menggigit selama menunggu pematangan telur nyamuk akan hinggap di tempat-tempat
dimana terdapat kondisi yang optimum untuk beristirahat, setelah itu nyamuk akan bertelur
dan menghisap darah lagi. Tempat-tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap/ istirahat
adalah tempat-tempat yang gelap, lembab dan sedikit dingin, juga pada baju-baju yang
bergantungan.
4. Jarak terbang
Nyamuk Ae. aegypti sehari-hari mempunyai kebiasaan terbang dekat permukaan tanah dan
bergerak ke semua arah untuk mencari mangsa, mencari tempat bertelur, mencari tempat
beristirahat dan melakukan perkawinan. Nyamuk betina dapat tebang rata-rata 50 meter,
dan ada kalanya sampai sejauh dua kilometer. Di daerah yang padat penduduknya dan cukup
banyak tempat air untuk bertelur, kemungkinan terjadi penyebaran sampai jauh sedikit
sekali.
Kepadatan Vektor
Untuk mengetahui kepadatan vektor disuatu lokasi dapat dilakukan beberapa survai yang
dipilih secara acak yang meliputi : Survai nyamuk, survai jentik dan survai perangkap
telur. Sesuai dengan penelitian ini hanya akan dibahas tentang survai jentik. Survai
jentik dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap semua tempat air didalam dan diluar
rumah dari seratus rumah yang diperiksa disuatu daerah dengan mata telanjang untuk
mengetahui ada tidaknya jentik. Dalam pelaksanaan survei ada 2 metode yang meliputi :
1. Metode singgle larva
Survai ini dilakukan dengan mengambil satu jentik disetiap tempat genangan air yang
ditemukan ada jentiknya untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut jenis jentiknya.
2. Metode visual
Survai ini dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan
air tanpa mengambil jentiknya. Dalam program pemberantasan penyakit demam berdarah dengue,
survai jentik yang biasa digunakan adalah cara visual.
Pemberantasan Vektor
Pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD seperti juga penyakit menular lainnya
didasarkan pada usaha pemutusan rantai penularannya. Pada penyakit DBD yang merupakan
komponen epidemiologi adalah terdiri dari virus dengue, nyamuk Ades aegypti dan manusia.
Oleh karena sampai saat ini belum terdapat vaksin atau obat yang efektif untuk virus dengue,
maka pemberantasan ditujukan terutama pada manusia dan vektornya. Yang sakit diusahakan
agar sembuh guna menurunkan angka kematian, sedangkan yang sehat terutama pada kelompok
yang paling tinggi terkena resiko, diusahakan agar jangan mendapatkan infeksi penyakit
DBD dengan cara memberantas vektornya.
Menurut Harmadi Kalim (1976), sampai saat ini pemberantasan vektor masih merupakan pilihan
yang terbaik untuk mengurangi jumlah penderita DBD. Strategi pemberantasan vektor ini
pada prinsipnya sama dengan strategi umum yang telah dianjurkan oleh WHO dengan diadakan
penyesuaian tentang ekologi vektor penyakit di Indonesia. Strategi tersebut terdiri atas
40 perlindungan perseorangan, pemberantasan vektor dalam wabah dan pemberantasan vektor
untuk pencegahan wabah, dan pencegahan penyebaran penyakit DBD. Untuk mencapai sasaran
sebaik-baiknya perlu diperhatikan empat prinsip dalam membuat perencanaan pemberantasan
vektor, yaitu :
1. Mengambil manfaat dari adanya perubahan musiman keadaan nyamuk oleh pengaruh alam,
dengan melakukan pemberantasan vektor pada saat kasus penyakit DBD paling rendah.
2. Memutuskan lingkaran penularan dengan cara menahan kepadatan vektor pada tingkat yang
rendah untuk memungkinkan penderita-penderita pada masa viremia sembuh sendiri.
3. Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah dengan potensi penularan tinggi,
yaitu daerah padat penduduknya dengan kepadatan nyamuk cukup tinggi.
4. Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat-pusat penyebaran seperti sekolah, Rumah
Sakit, serta daerah penyangga sekitarnya. Pemberantasan vektor dapat dilakukan pada
stadium dewasa maupun stadium jentik.
a. Pemberantasan vektor stadium dewasa
Pemberantasan vektor penyakit DBD pada waktu terjadi wabah sering dilakukan fogging atau
penyemprotan lingkungan rumah dengan insektisida malathion yang ditujukan pada nyamuk
dewasa. Caranya adalah dengan menyemprot atau mengasapkan dengan menggunakan mesin
pengasap yang dapat dilakukan melalui darat maupun udara.
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengasapan rumah dengan malathion sangat
efektif untuk pemberantasan vektor. Namun kegiatan ini tanpa didukung dengan aplikasi
abatisasi, dalam beberapa hari akan meningkat lagi kepadatan nyamuk dewasanya, karena
jentik yang tidak mati oleh pengasapan akan menjadi dewasa, untuk itu dalam pemberantasan
vektor stadium dewasa perlu disertai aplikasi abatisasi.
b. Pemberantasan vektor stadium jentik.
Pemberantasan vektor stadium jentik dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida maupun
tanpa insektisida.
1.Pemberantasan jentik dengan insektisida.
Insektisida yang digunakan untuk memberantas jentik Ae. aegypti disebut larvasida yaitu
Abate (temephos). Abate SG 1 % diketahui sebagai larvasida yang paling aman dibanding
larvasida lainnya, dengan rekomendasi WHO untuk dipergunakan sebagai pembunuh jentik
nyamuk yang hidup pada persediaan air minum penduduk, sehingga kegiatannya sering disebut
abatisasi. Untuk pemakaiannya dengan dosis 1 ppm (part per-million), yaitu setiap 1 gram
Abate 1 % untuk setiap 10 liter air. Abate setelah ditaburkan ke dalam air maka butiran
pasir akan jatuh sampai ke dasar dan racun aktifnya akan keluar serta menempel pada
pori-pori
dinding tempat air, dengan sebagian masih tetap berada dalam air. Tujuan abatisasi adalah
untuk menekan kepadatan vektor serendahrendahnya secara serentak dalam jangka waktu yang
lebih lama, agar Sedang fungsi abatisasi bisa sebagai pendukung kegiatan foging yang
dilakukan secara bersama-sama, juga sebagai usaha mencegah letusan atau meningkatnya
penderita DBD.
2. Pemberantasan jentik tanpa insektisida.
Cara pemberantasan vektor stadium jentik tanpa menggunakan insektisida lebih dikenal
dengan pembersihan sarang nyamuk (PSN). Kegiatan ini merupakan upaya sanitasi untuk
melenyapkan kontainer yang tidak terpakai, agar tidak memberi kesempatan pada nyamuk Ae.
aegypti untuk berkembang biak pada kontainer tersebut. Caranya adalah dengan membersihkan
pekarangan rumah dari kontainer yang tidak terpakai dengan menanam, membakar, atau dengan
menguras, menggosok dinding bak mandi atau tempayan dan tempat penampungan air lain secara
teratur setiap seminggu sekali.
a. Penemuan kejadian
b. Penanggulangan fokus
c. Abatisasi masal
b. Penyuluhan kepada masyarakat
c. Pendidikan atau peningkatan ketrampilan dan penelitian
Strategi kegiatan pemberantasan selanjutnya disesuaikan dengan tingkat kerawanan suatu
penyakit DBD yang meliputi desa/kelurahan endemis dan non endemis yang terdiri dari
desa/kelurahan sporadis, desa/kelurahan
potensial dan desa/ kelurahan bebas :
a. Desa/kelurahan endemis
Desa/kelurahan yang dalam 3 tahun terakhir, terdapat kasus ataupun kematian karena demam
berdarah dengue secara berurutan, meskipun jumlahnya hanya satu.
b. Desa/kelurahan sporadis
Desa/kelurahan yang dalam 3 tahun terakhir terdapat kasus ataupun kematian karena penyakit
demam berdarah dengue tetapi tidak berurutan disetiap tahunnya .
c. Desa/kelurahan potensial
Desa/kelurahan yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah diketemukan kasus ataupun kematian
karena penyakit demam berdarah dengue, tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan
transportasi yang
ramai dengan wilayah lain dan persentase ditemukan jentik lebih 5 %
d. Desa/kelurahan bebas
Desa/kelurahan yang tidak pernah terjangkit DBD, dan ketinggiannya lebih dari 1000 m dari
permukaan laut, atau yang ketianggiannya kurang dari 1000 m tetapi persentase rumah yang
diketemukan jentik kurang dari 5 %.
Dalam proyek intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular (PPM) telah dilakukan banyak
studi (riset) yang dilaksanakan Ditjen P2M, yang antara lain juga menemukan beberapa
faktor resiko terhadap penyakit menular tertentu. Misalnya adalah hubungan antara
pengangkutan batu bara dengan ratusan truk perhari di Banjarmasin ternyata berkaitan
dengan ISPA, perkembangan kebun salak di Banjarnegara dengan malaria, domestic indoor
polution berkaitan dengan pnemonia, dll. Dengan pengalaman dalam proyek IPPM tersebut
Ditjen P2M, memutuskan untuk mengembangkan konsep manajemen Program Pemberantasan
Penyakit Menular untuk tingkat daerah. Konsep tersebut menekankan beberapa hal yaitu :
1. Perencanaan dan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit Menular harus berdasar
fakta ( evidence based)
2. Manajemen P2M harus menjamin intervensi yang menyeluruh/holistik meliputi :
a. Penemuan Kejadian
b. Pengobatan
c. Intervensi terhadap faktor resiko perilaku
d. Intervensi terhadap faktor resiko lingkungan
e. Menggalang kemitraan seluas-luasnya.
3. Kemampuan manajemen seperti diatas perlu dikembangkan pada tingkat daerah, sejalan
dengan kebijakan desentralisasi yang sudah dilaksanakan di Indonesia.
Konsep dasar manajemen Pemberantasan Penyakit Menular tersebut kemudian diuraikan menjadi
fungsi-fungsi manajemen yang lebih operasional. Bentuk operasional tersebut terdiri dari
5 fungsi pokok yaitu :
Beberapa pengertian yang termasuk dalam konsep manajemen Pemberantasan Penyakit Menular
adalah sebagai berikut :
1. Manajemen P2M
Tatalaksana pemberantasan dan pengendalian penyakit dengan cara mengendalikan sumber
penyakit dan atau berbagai faktor resiko penyakit secara paripurna dalam suatu perencanaan
dan tindakan yang terintegrasi berdasar pada fakta yang dikumpulkan secara sistematik
periodik dan terpercaya dalam suatu wilayah.
2. Faktor resiko
Semua faktor yang berperan dalam kejadian penyakit menular yaitu :
a. Adalah faktor kependudukan seperti umur, kebiasaan, pekerjaan, perilaku, pendidikan
dan sebagainya.
b. Faktor lingkungan yang mengandung mikroba atau potensi penyebab penyakit seperti virus,
bakteri, bahan kimia toksik maupun zat yang bersifat radiatif.
c. Kebijakan-kebijakan yang mendorong timbulnya kondisi lingkungan dan perilaku yang
tidak sehat, seperti penggalian pasir, kontak seksual bebas, merokok ditempat umum atau
disekitar ibu hamil atau anak-anak.
3. Sumber penyakit
Sumber penyakit menular bisa berasal atau berada dalam satu wilayah bisa berasal dari
luar wilayah, karena mobilitas penduduk. Demikian pula media transmisi seperti pangan,
air, udara, ataupun binatang penular bisa berasal dari luar wilayah. Oleh sebab itu
penyakit menular memiliki sifat lintas batas.
4. Wilayah
Wilayah memiliki dua pengertian :
a. Wilayah dalam pengertian ekosistem. Penyakit menular akar kuat, (bounded) kedalam
ekosistem, terutama yang dikeluarkan oleh binatang penular atau melalui reservoir
penyakit.
b. Wilayah bisa bermakna wilayah kewenangan administratif pembangunan seperti kabupaten,
dan pemerintah kota. Dengan demikian pemberantasan penyakit menular meski secara
administratif merupakan kewenangan para Bupati dan Walikota, masalah penyakit menular
pada hakekatnya adalah “borderless” atau lintas batas. Beberapa penyakit menular
mempunyai sifat lintas batas Negara dan antar wilayah, khususnya berkaitan dengan dinamika
mobilitas penduduk, barang dan jasa (teknologi). Oleh sebab itu kerjasama antar wilayah
administratif / negara amat diperlukan.
5. Kemitraan
Mengingat bahwa berbagai faktor resiko berada dalam kewenangan sektor-sektor yang berbeda
maka kemitraan merupakan salah satu upaya esensial dalam pemberantasan penyakit menular.
Demikian pula peran lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan sangat
menentukan keberhasilan berbagai intervensi dalam pemberantasan penyakit menular. Bahkan
peran keluarga sebagai unit terkecil dalam lembaga masyarakat juga sangat besar perananya
seperti misalnya dalam intervensi faktor resiko perilaku.
Penanggulangan Seperlunya
1. Penanggulangan seperlunya dilakukan untuk mencegah/membatasi penularan penyakit DBD
di rumah penderita/tersangka penyakit DBD dan lokasi sekitarnya serta di tempat umum
(misalnya : sekolah) yang diperkirakan dapat menjadi sumber penularan penyakit DBD lebih
lanjut. Kegiatan yang dilakukan adalah penyemprotan insektisida oleh petugas kesehatan
dan/atau pemberantasan sarang nyamuk (PSN) oleh masyarakat serta penyuluhan kepada
masyarakat.
2. Jenis kegiatan yang dilakukan ini berdasarkan hasil penyelidikan
epidemiologi :
a. Bila ditemukan penderita/tersangka penyakit DBD lainya, atau ditemukan 3 atau lebih
penderita panas tanpa sebab yang jelas dan ditemukan jentik dilakukan penyemprotan
insektisida di rumah penderita dan sekitarnya dalam radius 200 meter, 2 siklus dengan
interval ± 1 minggu, penyuluhan serta pengerahan masyarakat untuk PSN.
b. Bila tidak ditemukan penderita seperti tersebut diatas tetapi ditemukan jentik
dilakukan penggerakan masyarakat untuk PSN dan penyuluhan.
c. Bila tidak ditemukan penderita seperti tersebut diatas dan tidak ditemukan jentik
dilakukan penyuluhan kepada masyarakat.
Analisa situasi dilakukan dengan cara melakukan kajian terhadap beberapa aspek :
1. Aspek masyarakat
Ukuran/informasi yang dihasilkan :
a. Gambaran partisipasi masyarakat dalam pemberantasan Demam
Berdarah Dengue
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat tersebut di masing-masing
daerah.
c. Potensi keluarga dan kelompok masyarakat lain seperti tokoh formal, tokoh informal,
kader kesehatan dan lain-lain.
d. Kontribusi keluarga dan kelompok lainya seperti LSM, lintas sektor, pihak swasta dan
lain-lain.
2. Aspek Manajemen/Kebijakan
Ukuran / informasi yang dihasilkan :
a. Unsur input adalah semua hal yang diperlukan untuk dapat menyelenggarakan program
pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Unsur input ini banyak macamnya yang terpenting
adalah sarana (material) kebijakan (policy), organisasi (organization) dan lain-lain.
b. Proses adalah semua tindakan yang dilakukan dalam program pemberatasan Demam Berdarah
Dengue, seperti misalnya surveilans, PSN, fokus pemberantasan dan lain-lain.
c. Output adalah yang menunjuk pada penampilan (cakupan) program pemberantasan DBD.