Anda di halaman 1dari 1

Nadir Terakhir

Petang ini aku bersedekap pada sendunya waktu dalam ruang yang kosong
Meresapi nelangsa yang beradu cepat dengan logika
Seiring melemahnya tarian para nadi dalam mimpi yang sebentar lagi panjang
Dengan mata tertutup
Kukenang saat fajar masa muda mendekatimu dengan gembira
Kau dengan pongah membuat punggungku bertekuk menapak tanah
Dan aku menjadi narapidana terbelenggu pengap
Tahun-tahunmu dipenuhi sukacita dan era keemasan yang bebas dari batas nan buncah
Sedang aku terpenjara teralis dukacita paling bisu
Di sana temaram bak benih yang tumbuh dan mengekangku menuju jalan keluar
Kerumitan demi kerumitan menenun batin yang kosong
Kekosongan membuatku kecewa untuk belajar merasakan cinta dan kesedihan
Aku juga tidak mengerti air yang keluar dari mataku adalah apa
Yang kutahu, setiap kali kupejamkan mata, aku selalu melihat bukit-bukit berjabat penuh
kedamaian
Saat kututup telinga dari kata-kata yang mengerutkan hati, aku mendengar gemerisik dahan dan
gemericik air merangkai melodi yang indah dan menenangkan
Tetapi aku tidak pernah bisa membuka mulutku sekali saja untuk sekedar bertahan diri
Aku mengenali kesendirian memiliki mulut yang datang menyapaku dengan ramah penuh
kelembutan
Tetapi ia juga punya para geligi yang siap mengoyak hati dan membuatnya rusak oleh dukacita
dan ketidakberdayaan.
Dukacita menghantuiku pada masa di mana laut tak mampu menghapus jejakmu dari bibir pantai
Dukacita akibat rasa sakit dalam batinku yang kesepian memaknai cinta
Ia telah melepas fajarku menemu senja
Nafasku tinggal sepenggal, di titik-titik nadir, aku buta nir rasa pada para surgawi, yang terlintas
hanyalah para iblis neraka yang menggerogoti hati manusia jahat, telah bersiap membawa jiwaku
menuju persidangan semesta maha sulit.

Anda mungkin juga menyukai