.
"bu tolong maafkan kami bu, tadi kami ada keperluan keluar, rupanya
keperluannya lama jadinya kami gak masuk d jam pelajaran ibu. Kami
salah bu maafkan kami bu"
mereka terus saja berbicara tanpa kuminta sambil terisak-isak. Aku tetap
diam dan sibuk dengan pekerjaanku.
"Buuu.... ayolah... keluarkan suaranya, marahlah sama kami bu, tolong
jangan diam begini bu..huu..hu..ampun bu gak akan kami ulangi lagi bu"
Dini terus memohon sambil memegang lututku.
Semarah-marahnya aku akhirnya luluh juga dengan isak tangis mereka
yang sepertinya "tulus" dalam penyesalan.
ku pandangi mereka bergantian, sejenak muncul berbagai macam rasa
dihatiku, marah, sedih, kecewa, kasihan, cemas semuanya menyatu
mengaduk-ngaduk naluri ke"guruanku"
Mmmhhhhh.... aku menghela nafas berat. Apa yang harus aku lakukan.
Marah? tentu saja, tapi melampiaskannya dalam bentuk ceramah panjang
rasanya gak "ngena" karena bagiku mereka bukan anak biasa, mereka
adalah aset bangsa yang harus diselamatkan dari kepolosan yang
terkadang terlalu polos sehingga mudah diracuni oleh lintasan-lintasan
pikiran liar. Jika terus dibiarkan bisa menghancurkan mereka secara
perlahan namun pasti.
Mmmm...Sesuatu terlintas dalam pikiranku
"Baiklah dini, tisa, buayu akan memanggil orang tua kalian. Silahkan
masuk kelas sekarang, bawa tas kalian dan tunggu surat
pemanggilannya"
"Buu....janganlah panggil orang tua bu, dini mohon bu, dini gak sanggup
bilangnya ke mama bu. Apa nanti kata mama bu...ghnghuu..huu.."
"Iya bu..tolonglah kami bu, janganlah panggil orang tua bu..hu..hu suara
tisa terdengar lemah disertai isakan tangisnya yang pilu.
"Naak...kenapa tidak berfikir seperti itu sebelum melakukannya", ucapku
lembut. "Semuanya sudah terjadi, bagaimanapun orang tua kalian harus
tau perangai anaknya disekolah ini"
"Ibuuuuuu....nghuu...nghuu.."
"Dini dan tisa harus berani menghadapi kemarahan orang tua, berani
berbuat, berani bertanggung jawab" ucapku tegas.