Tinjauan Pustaka
2.1 Telaah Pustaka
2.1.1 Akne Vulgaris
a. Definisi
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan folikel pilosebasea yang bersifat
menahun dan dapat menyebabkan terjadinya sumbatan pengaliran sebum yang
dikeluarkan kelenjar sebasea ke permukaan kulit, sehingga kemudian timbul erupsi ke
permukaan kulit yang dimulai dengan terjadinya komedo, umumnya terjadi pada
masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris terdiri dari
berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodus, dan jaringan parut, baik
jaringan parut hipotrofik maupun hipertrofik (Wasitaatmadja, 2012).
b. Epidemiologi
Menurut Wasitaatmadja (2013), akne vulgaris merupakan masalah kulit yang
hampir seluruh manusia pernah mengalami. Akne vulgaris biasanya terjadi pada
wanita umur 14-17 tahun dan 16-19 tahun pada pria. Akne vulgaris biasanya akan
berkurang setelah masa remaja, namun dapat menetap sampai usia 30 tahun.
Manifestasi akne vulgaris pada laki-laki biasanya akan lebih berat, namun gejala
tersebut akan cepat berkurang. Ras oriental (Jepang, Cina, dan Korea) lebih jarang
mengalami akne vulgaris dibandingkan dengan ras Kaukasia (Eropa, Amerika)
(Wasitaatmadja, 2010).
c. Etiologi
Patogenesis akne vulgaris diduga berhubungan dengan banyak faktor, namun
etiologi akne vulgaris masih belum diketahui secara pasti. Menurut Wasitaatmadja
(2010), faktor yang berperan yaitu:
1. Perubahan pola keratinisasi dalam folikel.
2. Produksi sebum yang meningkat sehingga menyebabkan meningkatnya unsur
komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya lesi akne.
6
tumbuh-tumbuhan dan bahan kimia murni (butil stearat, lauril alkohol, bahan-bahan
pewarna merah D&C dan asam oleik) ( Harahap, 2000).
d. Patogenesis
Empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya akne, yaitu kenaikan
ekskresi sebum, adanya keratinisasi folikel, bakteri, dan inflamasi. Kelenjar sebasea
membesar dan mengeluarkan sebum lebih banyak pada masa pubertas sehingga akne
biasanya mulai timbul. Pertumbuhan kelenjar sebasea dan produksi sebum
dipengaruhi hormon androgen. Penderita akne mengalami peningkatan perubahan
hormon androgen yang normal beredar dalam darah ( testosteron ) ke bentuk
metabolit yang lebih aktif (5-alfa dihidrotestosteron). Hormon ini mengikat reseptor
androgen di sitoplasma dan akhirnya menyebabkan proliferasi sel penghasil sebum.
Produksi sebum yang meningkat pada penderita akne disebabkan oleh respon organ
yang berlebihan pada kelenjar sebasea terhadap kadar normal androgen dalam darah.
Sebum yang bersifat komedogenik tersusun dari campuran skualen, lilin (wax), ester
dari sterol, kolesterol, lipid polar, dan trigliserida (Harahap, 2000).
Salah satu yang penting dalam pembentukan akne adalah hiperkeratinisasi di
infundibulum dan duktus sebasea yang menghasilkan mikrokomedo. Patogenesis
hiperkeratinisasi masih belum jelas. IL-1 dilaporkan menginduksi hiperkeratinisasi di
folikel infundibulum, selain itu filagrin (filamen protein deagregasi) yang ekspresinya
meningkat diduga dapat menyebabkan gangguan dalam diferensiasi keratinosit
infundibulum. Peningkatan hormon DHT juga dapat menyebabkan hiperkeratinisasi
yang abnormal. Keratinisasi folikular mungkin dipicu oleh defisiensi asam linoleik
pada epitel folikel setempat yang akan menyebabkan hiperkeratosis folikuler dan
penurunan fungsi barier dari epitel, sehingga dinding komedo jadi lebih mudah
ditembus bahan-bahan yang dapat menyebabkan peradangan. Arti penting P. acne
dalam patogenesis akne vulgaris masih kontroversial dikarenakan P.acne merupakan
flora normal yang tinggal di kulit (Kurokawa etal., 2009).
9
e. Gejala Klinis
Akne vulgaris merupakan peradangan kronis dari pilosebasea yang ditandai
dengan komedo, papula, pustula, nodul, dan scar. Komedo merupakan bentuk yang
paling umum, komedo dapat berupa bentuk kulit yang rata atau sedikit meninggi.
Komedo dapat berbentuk komedo terbuka dengan keratin yang menghitam (black
head) dan komedo tertutup biasanya berukuran 1mm dengan papul kekuningan
(James etal., 2011). Komedo tertutup lebih mudah diraba daripada dilihat dan sangat
jarang terjadi peradangan, komedo jenis ini paling umum terjadi di dahi dan pipi
(Brown dan Burns, 2002).
Sebagian pasien akan mengalami papula dan pustula. Papula dapat dilihat
dengan bintik kecil berwarna kemerahan dan pustula dapat dilihat dengan kulit yang
sedikit meninggi dengan bagian tengah berwarna putih dengan dasar kemerahan.
Bentuk ini biasanya akan disertai dengan keluhan gatal sampai nyeri. Lesi yang
tadinya papula biasanya akan berkembang menjadi pustula. Lesi ini biasanya akan
menghilang setelah beberapa hari (Brown dan Burns, 2002).
Keadaan yang semakin parah dan peradangan yang semakin dalam akan
membuat bentuk lesi semakin besar dan semakin mudah dilihat serta diraba yang
biasanya berbentuk nodul. Lesi ini biasanya sangat mengganggu penampilan
penderita karena biasanya berlangsung lebih lama dibandingkan lesi jenis lain
(Brown dan Burns, 2002).
Jaringan parut atau scar merupakan bentuk akhir dari peradangan akne.
Jaringan parut ini pada beberapa orang bertahan seumur hidup (Brown dan Burns,
2002). Akne paling sering terjadi di wajah, leher, punggung bagian atas, dan lengan
atas. Wajah paling sering terjadi di pipi, dan lebih jarang di dahi, dagu, dan hidung.
Bagian leher yang paling sering adalah di bagian belakang. Pada lelaki muda
biasanya akan lebih parah daripada wanita muda (James etal., 2011).
10
a b c
Gambar 1. Gambaran klinis akne (a) Akne dengan komedo terbuka, (b) akne
dengan papula dan pustula, (c) akne dengan peradangan papula dan nodul
(Brown dan Burns, 2002).
f. Gradasi
Menurut Wasitaatmadja (2010), gradasi akne vulgaris menunjukkan berat
ringannya penyakit dan digunakan untuk pilihan pengobatan. Gradasi akne vulgaris
adalah sebagai berikut :
o Ringan, apabila beberapa lesi tak meradang pada 1 predileksi, sedikit lesi tak
meradang pada beberapa tempat predileksi, sedikit lesi meradang pada 1
predileksi.
o Sedang, apabila banyak lesi tak meradang pada 1 predileksi, beberapa lesi tak
meradang pada lebih dari 1 predileksi, beberapa lesi meradang pada 1
predileksi, sedikit lesi meradang pada lebih dari 1 predileksi.
o Berat, apabila banyak lesi tak meradang pada lebih dari 1 predileksi, banyak
lesi meradang pada 1 atau lebih predileksi.
Akne dinyatakan sedikit bila jumlah akne <5, dinyatakan beberapa dengan
jumlah akne 5-10, dan banyak apabila jumlah akne >10. Akne yang tidak meradang
berarti komedo putih, komedo hitam, dan papul, sedangkan akne yang meradang
berarti pustul, nodus, dan kista.
11
g. Diagnosis
Akne vulgaris dapat ditegakkan diagnosisnya berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan ekskohlasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo
ekstraktor. Sebum yang menyumbat folikel akan terlihat sebagai massa padat seperti
lilin atau massa lebih lunak seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam.
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jenis renik jarang dilakukan namun mempunyai
peran pada etiologi dan patogenesis akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2010).
Selain dari diagnosis klinis akne vulgaris, terkadang dibutuhkan pemeriksaan
pada kondisi tertentu yaitu pada wanita dengan dismenore. Pada keadaan ini perlu
dicek kadar hormon, baik kadar hormon testosteron total, kadar testosteron bebas,
dehydroepidrosterone sulfat, hormon luteinezing, dan follicle stimulating hormon
(Wasitaatmadja, 2010).
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit dapat ditujukan untuk
mengetahui etiologi dan patogenesis. Kadar asam lemak bebas meningkat pada
penderita akne vulgaris dan karena itu pencegahan dan pengobatan digunakan cara
untuk menurunkan asam lemak bebas (Wasitaatmadja, 2010).
h. Diagnosis Banding
Menurut Wasitaatmadja (2010) diagnosis banding akne vulgaris yaitu:
1. Erupsi akneiformis yang disebabkan oleh induksi obat, misalnya
kortikosteroid, INH, barbiturat, bromida, yodida, difenil hidantoin,
trimetadion, ACTH, dan lainnya. Klinis berupa erupsi papulo pustul
12
lini pertama untuk akne derajat ringan, apabila hasil pengobatan tidak
memuaskan harus ditambahkan dengan tretinoin topical atau adapalane.
Kombinasi benzoil peroksida, antibiotik topikal, dan topikal retinoid
(tretinoin, adapalane, atau tazorotene) digunakan sebagai pengobatan pada
akne derajat sedang (Whitney&Ditre, 2011). Benzoil peroksida ada dalam
beberapa formulasi ada yang dalam bentuk sabun muka, gel, krim dan lotion.
Gel biasanya lebih disukai dikarenakan sifatnya yang lebih stabil dan
dibandingkan krim maupun lotion sifat iritannya sangat minimal.
Keterbatasan yang utama adalah zat ini akan menyebabkan kemerahan, rasa
terbakar, dan kulit yang kering pada awal penggunaan dan akan berkurang
seiring dengan lama penggunaan ( Rathi, 2011).
Retinoid sudah digunakan lebih dari 30 tahun yang lalu. Target kerja
retinoid adalah mikrokomedo. Sekarang retinoid digunakan sebagai lini
pertama pada akne dengan derajat radang ringan sampai sedang dan untuk
terapi pemeliharaan. Cara kerja retinoid adalah mengurangi hiperproliferasi
epitel folikel abnormal, mengurangi penyumbatan folikel, mengurangi
mikrokomedo, dan mengurangi lesi akne baik yang sedang meradang ataupun
tidak. Tretinoin, adapalen, tazarotene, isotretinoin, metretinide,
retinaldehid,dan β-retinoil glucuronide adalah retinoid topikal yang tersedia
sekarang (Rathi, 2011). Isotretinoin efektif digunakan untuk akne vulgaris
yang berat (Whitney&Ditre, 2011). Kelebihan isotretinoin jika dibandingkan
dengan tretinoin efek antiinflamasi lebih baik dan kurang iritatif (Harahap,
2000).
Bahan antimikroba bisa digunakan apabila mengurangi populasi P.Acne
atau hasil metabolismenya, seperti lipase atau porfirin (Harahap, 2000).
Antibiotik topikal ini berfungsi untuk menghambat pertumbuhan P.Acnes dan
mengatasi peradangan. Antibiotik yang paling sering digunakan adalah
klindamisin dan eritromisin, keduanya efektif untuk peradangan jerawat
dalam bentuk topikal dengan kadar 1-4% dengan atau tanpa penambahan zink.
14
topikal, oral atau intravena yang akan ditangkap oleh sel target dalam jaringan
hiperproliferatif (kelenjar sebasea), kemudia diaktivasi menghasilkan oksigen
oleh sumber sinar (Blue U, intense pulse light ) (Wasitaatmadja, 2010).
j. Pencegahan
Menurut Wasitaatmadja (2010), terdapat beberapa cara untuk mencegah akne
vulgaris. Salah satu cara untuk menghindari terjadinya peningkatan jumlah lapisan
sebum dan perubahan isi sebum adalah dengan diet rendah lemak dan karbohidrat
meskipun efektivitasnya masih diperdebatkan dan cara lainnya adalah melakukan
perawatan kulit untuk membersihkan permukaan kulit dari kotoran dan
mikroorganisme yang berperan dalam patogenesis akne vulgaris.
Menghindari faktor pemicu terjadinya akne misalnya hidup teratur dan sehat,
cukup istirahat, olahraga sesuai kondisi tubuh, dan hindari stress. Kosmetika
digunakan dengan sewajarnya, tidak menggunakan dalam jumlah banyak dan jangka
waktu yang lama. Menjauhi minuman keras, merokok, makanan pedas, lingkungan
yang tidak sehat, dan sebagainya agar mencegah terpacunya aktivitas kelenjar minyak
(Wasitaatmadja, 2010).
Informasi yang cukup harus diberikan pada penderita mengenai penyebab
penyakit, pencegahan dan cara maupun lama pengobatannya, serta prognosisnya. Hal
ini agar pasien tidak putus asa atau terlalu berharap terhadap usaha
penatalaksanaannya (Wasitaatmadja, 2010).
2.1.2 Tidur
a. Definisi Tidur
Menurut WHO (2004), tidur adalah kebutuhan dasar manusia dan sangat
penting untuk kesehatan yang baik, kualitas hidup yang baik, dan penampilan yang
maksimal sepanjang hari. Menurut Guyton&Hall (2007), tidur adalah suatu keadaan
bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang
sensorik atau dengan rangsangan lain.
18
b. Fisiologi Tidur
Kebanyakan orang dewasa tidur selama 7-8 jam sehari meskipun waktu, lama,
dan struktur internal berbeda dipengaruhi usia. Orang dewasa dengan rentan tidur
kurang dari empat jam dan lebih dari sembilan jam memiliki mortalitas yang lebih
tinggi (Isselbacher, 2006).
Tidur adalah suatu proses aktif, bukan hanya tidak terjaga. Aktivitas otak
keseluruhan tidak berkurang selama tidur. Selama stadium-stadium tidur tertentu,
penyerapan O2 oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat terjaga normal
(Isselbacher, 2006).
Profil polisomnografi dibagi menjadi dua stadium tidur yaitu stadium REM
(gerakan mata cepat atau mimpi atau desinkronisasi) dan stadium NREM ( gerakan
mata tidak cepat atau sinkron). NREM dibagai menjadi empat stadium. NREM
stadium satu merupakan transisi dari bangun yang ditandai dengan perubahan alfa
reguler, dan munculnya amplitudo rendah, pola frekuensi campuran, dan gerakan
mata berputar. NREM stadium dua ditandai dengan terbentuknya kompleks K dan
kumparan tidur yang saling bertumpang tindih Saat awal tidur seseorang berpindah
dari tidur ringan stadium 1 ke tidur stadium 4 selama periode tiga puluh sampai
empat puluh lima menit, kemudian berbalik melalui stadium-stadium yang sama
dalam periode waktu yang sama. Kompleks K merupakan discharge negatif
(upward), amplitudo tinggi, lambat yang diikuti dengan defleksi positif (downward).
NREM stadium 3 adalah delta tidur dengan 20-50 % merupakan delta dengan
amplitudo tinggi. Kumparan tidur tetap ada, gerakan bola mata tidak ada, dan
aktivitas EMG menetap pada kadar yang rendah. NREM stadium 4 mirip dengan
stadium 3 yaitu gelombang delta sekitar 50 % (Isselbacher, 2006).
Tidur REM ditandai oleh EEG frekuensi campuran, amplitudo rendah
(Isselbacher, 2006). Tidur REM terjadi gerakan mata cepat dan menghentak namun
simetris. Fase ini juga terdapat atonia otot skelet dan berkaitan dengan peningkatan
nadi, tekanan darah, aliran darah ke otak, metabolisme otot dan ereksi penis pada
pria (Treasaden, 2011). Tidur REM berlangsung 5-30 menit. Bila seseorang sangat
19
mengantuk, setiap tidur REM berlangsung singkat dan bahkan mungkin tidak ada,
sebaliknya sewaktu orang menjadi semakin lebih nyenyak durasi tidur REM juga
semakin lama. Tidur REM biasanya disertai mimpi yang aktif dan pergerakan otot
tubuh yang aktif. Pada tidur REM, otak menjadi sangat aktif dan metabolisme di
seluruh otak meningkat sebanyak 20%. Pada EEG pola gelombang otak serupa
dengan yang terjadi selama keadaan sehat (Guyton&Hall, 2007).
Fase NREM stadium 1-4 terjadi dalam 45-60 menit setelah awitan tidur. Tidur
gelombang lambat menonjol pada sepertiga malam pertama. Presentase gelombang
lambat tergantung oleh beberapa faktor yang paling banyak adalah faktor usia. Fase
tidur gelombang lambat paling menonjol terjadi pada masa anak-anak dan akan
menurun tajam saat usia pubertas hingga dekade ketiga. Setelah usia 30 tahun
penurunan akan terjadi secara progresif. Orang tua yang sehat terutama pada laki-laki
fase tidur gelombang lambat tidak ada sama sekali. Tidur REM pertama muncul
setelah 80 menit awitan tidur. Awitan tidur REM yang lebih cepat terutama pada
dewasa muda mungkin merupakan suatu patologi terutama kalau awitan kurang dari
30 menit. Keadaan ini menandakan suatu patolgi misalnya depresi endogen,
narkolepsi, gangguan irama sirkardian atau pemutusan obat. Tidur fase REM pada
masa anak-anak terdiri dari 50 persen waktu tidur, sedangkan pada masa tua hampir
keseluruhan adalah fase REM. Siklus REM dan NREM bergantian sepanjang malam
selama 90-110 menit (Isselbacher, 2006).
Panjang waktu tidur bervariasi berdasarkan usia. Bayi yang baru lahir pada
minggu pertama rata-rata tidur selama 16 jam. Seiring dengan bertambahnya usia
waktu yang dibutuhkan tidur semakin berkurang. Anak pada usia 6-9 tahun
membutuhkan waktu 10,5 jam untuk tidur. Pada usia dewasa muda 14-18 tahun rata-
rata membutuhkan waktu tidur selama 8-8,5 jam. Dan pada usia tua diatas 80 tahun
rata-rata tidur 5,75-6 jam (Treasedan,2011)
Semua sistem fisiologi tubuh dipengaruhi oleh tidur. Pada sistem
kardiovaskular, tekanan darah dan nadi akan turun pada fase NREM. Disritmia dapat
terjadi secara selektif pada fase REM. Sistem pernafasan juga dipengaruhi fase tidur,
20
frekuensi nafas akan menurun pada fase NREM dan menjadi bervariasi pada fase
tidur REM. Refleks batuk berubah atau tidak ada selama tidur (Isselbacher, 2006).
Fungsi endokrin juga bervariasi pada fase tidur. Tidur gelombang lambat
dihubungkan dengan hormon pertumbuhan pada laki-laki muda. Peningkatan
prolaktin juga berhubungan dengan tidur secara keseluruhan. Tidur juga berefek
kompleks pada leutenizing hormone (LH), saat pubertas dihubungkan dengan
peningkatan LH, pada wanita yang matang menghambat LH pada fase folikuler awal
fase menstrual. Awitan tidur dihubungkan dengan inhibisi TSH dan ACTH
(Isselbacher, 2006).
(WHO, 2004). Kurang tidur dapat menurunkan hormon kortisol, seperti diketahui
hormon kortisol berhubungan dengan kemampuan menghadapi stress (Vgontzas et.al,
2004). Stress berhubungan dengan peningkatan kerja kelenjar sebasea. Pengeluaran
sebum yang berlebihan bersifat komedogenik yang merupakan salah satu patogenesis
akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2010). Stress juga akan cenderung membuat penderita
memanipulasi akne secara mekanis, sehingga terjadi kerusakan pada dinding folikel
dan timbul lesi beradang yang baru. Tidak hanya pengurangan hormon kortisol
namun kurang tidur juga dapat meningkatkan sitokin-sitokin proinflamasi yaitu IL-6
dan TNF-α yang kemudian akan memperparah inflamasi dari akne vulgaris (Vgontzas
et.al, 2004).
22
Akne Vulgaris
Terapi Pengobatan
Variabel Pengganggu
Genetik
Usia
Kosmetik
Stress
Diet
Sinar UV
Hormon
2.4 Hipotesis
Terdapat hubungan antara kualitas dan kuantitas tidur dengan kejadian dan
keparahan akne vulgaris.