Anda di halaman 1dari 91

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327858273

Penerapan kalkulus tensor pada kasus pemintalan


benang

Book · September 2018

CITATIONS READS

14 155

1 author:

Valentinus Galih Vidia Putra


Politeknik STTT Bandung
59 PUBLICATIONS   96 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Spirit Kementerian Perindustrian RI View project

All content following this page was uploaded by Valentinus Galih Vidia Putra on 25 September 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


2017
Lab Fisika-Mekatronika
Politeknik STTT Bandung

Dr. Valentinus Galih V.P.,M.Sc.

[PENERAPAN KALKULUS
TENSOR PADA KASUS
PEMINTALAN BENANG]
Pada buku ini dibahas penerapan kalkulus tensor pada kasus pemintalan
benang terutama benang yang diproduksi menggunakan mesin rotor OE. Hasil
analisa dan pemodelan kemudian disimulasikan
i menggunakan komputasi
dengan piranti software MATLAB
PENERAPAN
KALKULUS TENSOR
PADA KASUS
PEMINTALAN
BENANG
Penulis:
Dr. Valentinus Galih Vidia Putra, S.Si., M.Sc.

Editor:
Budi Soewondo, M.Sc.

ii
PENERAPAN KALKULUS TENSOR PADA KASUS PEMINTALAN
BENANG

Penulis :
Dr. Valentinus Galih V.P.M.Sc

ISBN :978-602-72713-7-1
Editor :
Budi Soewondo, M.Sc.

Penyunting :
Andi Risnawan, S.T

Desain Sampul dan :


Tata Letak
Agustinus Budi, S.S

Penerbit :
CV. Mulia Jaya Publisher

Redaksi :
Jalan Anggajaya II No. 291-A,
Condong Catur
Kabupaten Sleman, Yogyakarta
Telp: 0812-4994-0973
Email:
cv.muliajaya291@yahoo.com

Cetakan Pertama September 2017

Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
Apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit dan penulis

iii
KATA PENGANTAR

Dengan mempersembahkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan buku yang berjudul “Penerapan Kalkulus
Tensor pada Kasus Pemintalan Benang”. Buku ini ditulis untuk
memberikan suatu pengantar tentang teori kalkulus tensor dan juga
terapannya pada dosen atau mahasiswa yang tertarik mempelajari
pemodelan mekanis benang. Penulis menyadari bahwa Buku ini dapat
diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, ucapan terima kasih kepada semua pihak yang secara
langsung dan tidak langsung memberikan kontribusi dalam penyelesaian
Buku ini. Pada kesempatan ini penulis juga menghaturkan terima kasih
kepada:

1. Direktur Politeknik STTT Bandung.

2. Para dosen dan pegawai di lingkungan Fakultas MIPA UGM dan


Politeknik STTT, Bandung.

Buku ini tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan yang


penulis tidak sadari. Untuk itu, saran dan masukan untuk perbaikan yang
membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya kecil ini dapat
berguna bagi kita semua.
Yogyakarta, 3 April 2017

Penulis

iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 𝑖v
Daftar Isi 𝑣
Bab.1 BENANG OE PADA MESIN ROTOR Hal.1
Bab.2 VEKTOR DAN TENSOR Hal.8
Bab.3 PERGERAKAN BENANG PADA
ROTOR Hal. 36
Bab.4 SIMULASI KOMPUTASI DENGAN
MATLAB Hal. 52
Lampiran-1 Hal. 56
Lampiran-2 Hal. 72
Biografi Hal. 82

v
BAB I BENANG OE PADA MESIN ROTOR
Abstrak
Pada bab ini dibahas latar belakang penelitian dan hal-hal
mengenai benang OE dengan mesin rotor serta ringkasan kajian
beberapa peneliti mengenai pemodelan benang serta kajian
eksperimen. Pada bab ini diulas tujuan pemodelan pergerakan
benang serta hasil yang didapatkan berkaitan dengan
pengaplikasian konsep kalkulus tensor dan vektor.

1.1. Latar Belakang Penelitian

Penerapan kalkulus tensor pada saat ini berkembang sangat


pesat di bidang sains dan teknik. Penjelasan matematika kalkulus
seperti diferensial dan integral pada ruang datar atau euclidean
sudah tidak mampu lagi untuk menjelaskan berbagai bentuk
pemodelan suatu materi yang bergerak dalam sistem koordinat
lengkung baik di ranah makroskopik ataupun mikroskopik.
Perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk dalam bidang industri,
di setiap negara sangat diperlukan, karena dapat menunjang
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat pada suatu negara,
salah satunya adalah industri tekstil. Dalam industri tekstil
pemintalan adalah suatu tahap awal dalam pembentukan benang
dari kumpulan serat.
Mesin spinning atau mesin pintal adalah salah satu mesin yang
digunakan dalam proses pembuatan benang. Perkembangan mesin
spinning telah dimulai pada masa pra sejarah, sebagai contoh adalah
kain mumi mesir kuno. Seiring berjalannya waktu serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengoperasian
mesin pintal manual diotamatiskan secara bertahap. (Rohlena,
1975).
Mesin pintal jenis OE (Gambar-1) adalah mesin yang sampai saat
ini banyak digunakan di industri tekstil, khususnya di Indonesia.
1
Mesin pintal open end spinning memiliki tiga buah proses mekanis,
yaitu: (1) proses pemasukan serat (fiber); (2) proses transport dan
(3) proses twisting hingga winding. Kajian mekanis untuk
memperoleh kualitas benang yang baik secara teoritik dan
eksperimen pada mesin pintal open end spinning belum dilakukan
secara detail di bagian proses pembentukan benang. Kajian gerakan
mekanis pada setiap proses mesin umumnya dapat digunakan
dengan metode kalkulus tensor secara khusus dengan menggunakan
persamaan geodesik.

Gambar-1 Mesin Rotor Spinning (Lawrence, 2003)

Salah satu bagian yang vital dalam industri tekstil adalah


pemintalan benang dari serat. Penelitian mendalam baik praktis
(eksperimental) maupun teoritis menjadi aspek yang sangat penting
dan menarik. Penelitian eksperimental pada proses pemintalan
benang yang meliputi banyak faktor ( parameter) seperti kekuatan
benang, tenacity, jumlah bulu (hairiness) dan juga bentuk benang
sudah banyak dilakukan, namun kajian teoritis yang mendalam dan
simulasi belum ditemukan dalam berbagai buku dan jurnal tekstil
khsusnya struktur benang open end spinning. Pemodelan

Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor Hal. 2


pergerakan serat untuk menganalisa struktur internal mekanik
benang terhadap parameter-parameter mesin tidak banyak
dilakukan oleh peneliti. Rohlena (1975) menyatakan bahwa
penelitian teori yang mendalam serta pemodelan matematis untuk
menjelaskan sistem pemintalan sangat diperlukan dan merupakan
suatu penelitian kajian yang penting dalam tekstil. Beberapa peneliti
yang berkecimpung dalam pemodelan tersebut adalah Backer,
Hearle dan Grosberg (1969), Hearle, dkk. (1965), Rohlena (1975),
Lawrence (2003), Lawrence (2010),Putra (2014), Putra dan Iskandar
(2014), Putra dkk. (2015 dan 2016) dan Zeidman (2003) .
Beberapa pemodelan geometri twist pada benang umumnya
menggunakan koordinat silinder dan dengan menganggap bahwa
setiap serat mengikuti bentuk pergerakan geodesik silinder. Backer,
Hearle dan Grosberg (1969) merumuskan hubungan twist terhadap
nomor benang dalam tex menggunakan analisa dimensi dan
menggunakan model geometri silinder. Hasil pemodelan Backer,
Hearle dan Grosberg (1969) memperlihatkan bahwa besar sudut
twist optimal adalah sebagai fungsi nomor benang dalam tex.
Bentuk pemodelan Hearle, dkk (1965) memiliki banyak kekurangan,
yaitu bentuk pemodelan hubungan twist terhadap nomor benang
(tex) didapatkan dengan menggunakan analisa dimensi dan
pemodelan geometri menggunakan bentuk koordinat silinder
(keadaan ideal) yang dirasakan kurang mewakili bentuk pergerakan
serat pada benang khususnya pada benang OE serta hasil pemodelan
struktur benang tidak dapat menghubungkan parameter-parameter
mesin terhadap besar sudut twist ditinjau dari pergerakan benang.
Hal yang sama dilakukan Rohlena (1975) dalam menjelaskan
hubungan twist terhadap nomor benang (tex). Rohlena (1975)
merumuskan hubungan twist terhadap nomor benang (tex) tersebut
melalui studi empiris dan analisa dimensi. Rohlena (1975) dan
Lawrence (2003,2010) memodelkan pergerakan benang dalam
mesin rotor OE dengan menganggap bahwa benang seperti sebuah
materi titik yang bergerak dalam suatu rotor yang bergerak dengan

Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor Hal. 3


kecepatan putar tertentu dan tidak menjelaskan pengaruh
pergerakan benang dalam rotor terhadap bentuk struktur geometri
benang serta tidak menjelaskan besar sudut optimal twist.
Rohlena (1975) mengatakan bahwa kajian ilmiah distribusi serat
pada benang umumnya digunakan pendekatan yaitu serat
terdistribusi secara seragam dan terdistribusi dalam bentuk silinder.
Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui struktur internal
pada benang sebagai contoh konfigurasi serat tunggal sepanjang
benang. Struktur internal pemintalan pada sebuah serat tunggal
bergantung pada rasio panjang benang terhadap panjang serat.
Rohlena (1975) secara kajian empiris menyatakan bahwa pada
benang OE, besar rasio panjang benang terhadap panjang serat Kf
adalah sebesar 0,65, sedangkan struktur internal pemintalan yang
baik memiliki rasio sebesar Kf = 0,95. Lawrence (2003) menyatakan
bahwa besar rasio panjang benang terhadap panjang serat Kf adalah
sebesar 0,63. Trommer (1995) menyatakan bahwa terdapat
batasan dalam pembuatan benang pada mesin OE, yaitu seperti rasio
diameter rotor terhadap panjang serat benang tunggal adalah
sebesar 0,7 dan besar rasio tenacity benang terhadap tenacity serat
sebesar 50%. Zeidman (2003) menjelaskan pergerakan serat dalam
benang menggunakan pemodelan geometri dalam koordinat silinder
dengan besar twist didefinisikan sebagai rasio kecepatan putar
benang terhadap kecepatan translasi benang ( vd ) dan besar migrasi
serat didefinisikan sebagai rasio panjang jejari benang terhadap
panjang benang. Pada pemodelan Zeidman (2003) tidak dijelaskan
hubungan antara nomor benang terhadap besar twist serta besar
sudut twist untuk pemodelan benang OE serta bentuk pergerakan
serat menggunakan koordinat silinder. Penelitian Zeidman (2003)
hanya menjelaskan pergerakan serat tanpa adanya pengaruh
deformasi benang pada struktur benang dalam koordinat silinder.
Penelitian secara teoritik dan mendalam untuk dapat
menjelaskan aspek-aspek mekanis pembentukan benang serta studi
analisa struktur benang dan pengaruh deformasi hingga saat ini

Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor Hal. 4


masih sangat sedikit dilakukan terutama pada benang OE. Dalam
keadaan yang seperti tersebut di atas, dirasa sangat perlu dilakukan
penelitian secara terintegrasi, baik secara teoritik maupun secara
eksperimen pada proses pemintalan dengan menggunakan
pemodelan geometri untuk mendapatkan persamaan struktur
benang yang sesuai dengan pergerakan serat yang diproduksi
dengan mesin OE. Trommer (1995) menyatakan bahwa pada proses
pemintalan terdapat suatu tenacity take-off yang digunakan untuk
menentukan besar kecepatan rotor serta diameter rotor terhadap
pengaruhnya terhadap tenacity take-off benang. Hasil penelitian
Trommer (1995) menyatakan bahwa hubungan antara tenacity dan
kecepatan rotor serta diameter rotor adalah berbanding lurus.

1.2. Rumusan Masalah


Pada beberapa penelitian pemodelan pergerakan benang umumnya
dapat dirumuskan sebagai berikut

1 Apakah teori kalkulus tensor dapat diterapkan dalam


pemodelan mekanis benang pada kasus pemintalan?
2. Bagaimanakah hubungan antara tenacity take-off benang
terhadap kecepatan putar rotor?
3. Bagaimanakah persamaan gerak benang pada rotor saat
terjadi tarikan take-off dengan menggunakan simulasi?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian teori pada pemodelan benang dapat
dijabarkan sebagai berikut:

1. Dapat menerapkan teori kalkulus tensor dalam pemodelan


mekanis benang pada kasus pemintalan.
2. Dapat menunjukkan secara teori hubungan antara tenacity
benang terhadap kecepatan putar rotor.

Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor Hal. 5


3. Dapat menunjukkan persamaan gerak benang pada rotor saat
terjadi tarikan take-off

Umumnya untuk membatasi masalah dan mempermudah


perhitungan, maka permasalahan pada penelitian dibatasi untuk
menentukan pergerakan mekanis serat-benang open end spinning
pada rotor groove dengan menggunakan koordinat polar dengan
asumsi benang disusun oleh sebuah serat seragam. Pemodelan
dengan komputasi MATLAB digunakan untuk menentukan bentuk
struktur dan mekanisme serat-benang dan kesesuaian dengan hasil
eksperimen secara literatur di industri. Metode penelitian yang
sering digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan studi
literatur dan disertai perhitungan-perhitungan dengan
menggunakan mekanika analitik dan komputasi MATLAB.

Referensi

Backer, Hearle & Grosberg, 1969, Structural Mechanics of Fibres, Yarns


and Fabrics, Wiley-Interscience, New York.

Hearle, J.W.S. dan Gupta, B.S.., 1965, Migration of Fibres in Yarns Part
III: A Study of Migration of Staple Rayon Yarn, Textile
Research Journal, No.9, Vol. 35 Hal 788-795.

Hearle, J.W.S., Gupta, B.S., dan Megchant, V.B., 1965, Migration of


Fibres in Yarns Part I: Characterization and Idealization of
Migration Behaviour, Textile Research Journal, No.4, Vol. 35
Hal 329-334.

Lawrence C.A, 2003, Fundamentals of Spun Yarn Technology, CRC


Press, New York.

Lawrence C.A, 2010, Advances in Yarn Spinning Technology ,


Woodhead Publishing, Cambridge.

Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor Hal. 6


Putra, V.G.V, Rosyid, M.F & Maruto, G, 2016, A Simulation Model of
Twist Influenced by Fibre Movement inside Yarn on Solenoid
Coordinate, Global Journal of Pure and Applied Mathematics,
No.1, Vol 12, Hal. 415-412.

Putra, V.G.V & Rosyid, M.F. , 2015, Theoretical Modeling for


Predicting the Optimum Twist Angle of Cotton Fiber Movement
on OE Yarn Made by Rotor Spinning Machine, Journal of
Applied Mathematics and Physics, Vol.3 Hal. 623-630.

Putra V.G.V dan Iskandar, 2014, Studi Pengaruh Bentuk S-Twisted Dan
Z-Twisted Terhadap Besar Twist Pada Mesin Pintal, TEXERE (
Journal of Textile Science and Technology), No.1,Vol. 12., Hal
60-65.
Putra V.G.V, 2014, Pemodelan Untuk Menentukan Hubungan Actual
Twist Tipe-Z Terhadap Kecepatan Sudut Pada Mesin Spinning
(Rotor Dan Ring Spinning), TEXERE ( Journal of Textile Science
and Technology), No.2, Vol. 12. Hal 20-26.

Rohlena, V,1975, Open-End Spinning, Elseiver Scientific Publishing


Company, New York.

Trommer, G., 1995, Rotor Spinning, Deutscher fachverlag, Frankfurt.

Zeidman, Shawney dan Herington, 2003 Fiber Migration Theory of


Ring Spun Yarn, Indian Journal of Fibre and Textile Research,
Vol 28., Hal. 123-133.

Bab.1 Benang OE pada Mesin Rotor Hal. 7


BAB 2
VEKTOR DAN TENSOR
Abstrak
Pada bab ini dibahas piranti matematika yang mendukung
penelitian, yaitu konsep vektor dan tensor dimulai dari ruang
topologi hingga deferensial geometri pada koordinat lengkung
dan ruang Riemannian.

2.1.Material dan Koordinat

Piranti matematika untuk mendeskripsikan persamaan gerak


suatu material padat yang mengalami perubahan bentuk biasanya
berdasarkan suatu asumsi bahwa material padat tersebut
terdistribusi dalam suatu ruang pada suatu waktu tertentu. Pada
setiap waktu tertentu, setiap titik pada suatu daerah tersebut diisi
oleh sebuah elemen kecil dari material padat yang disebut sebagai
partikel padat. Berlainan dengan material rigid (kaku), pada
material elastis, adanya gaya luar pada material tersebut akan
mengakibatkan adanya deformasi. Pada bab ini akan dibahas
bagaimana persamaan gerak dari suatu partikel dalam material yang
terpengaruh deformasi dapat dijelaskan dan diukur.
Diasumsikan bahwa masing-masing partikel menempati suatu
posisi tertentu dalam ruang tiga dimensi pada suatu ruang Euclidean
(ruang koordinat nyata datar)pada suatu waktu tertentu. Jika ruang
ℜ𝑡 adalah daerah ruang yang ditempati oleh setiap partikel dan
disebut sebagai ruang konfigurasi pada benda pada waktu t. ruang
konfigurasi ℜ𝑜 (ruang konfigurasi partikel sebelum terjadi
perubahan bentuk atau ruang konfigurasi alami) dipilih sebagai
ruang konfigurasi acuan, dan masing-masing partikel pada ruang
konfigurasi ini dapat diidentifikasi atau diketahui melalui
koordinatnya yaitu 𝑥 𝑜 ∈ ℜ𝑜 (yang merupakan koordinat partikel P
pada ruang konfigurasi acuanℜ𝑜 ). Setelah benda diberikan beban
8
(tegangan), maka terdapat suatu pergerakan partikel yang diiringi
dengan sebuah perubahan bentuk ( deformasi). Partikel pada benda
di ruang konfigurasi ℜ𝑜 secara kontinu berubah hingga pada suatu
posisi tertentu pada waktu t di ruang konfigurasi ℜ𝑡 dan diketahui
melalui koordinat 𝑥 𝑡 ∈ ℜ𝑡 . Diasumsikan bahwa konfigurasi pada
benda saat waktu t dapat dituliskan sebagai hubungan fungsional
dengan bentuk 𝑥 𝑡 = 𝑥 𝑡 𝑥 𝑜 , 𝑡 = 𝐹 𝑥 𝑜 , 𝑡 .
Levrino(2011) dan Mal, A.K.& Sarva (1991) menyatakan bahwa
Syarat transformasi koordinat adalah terdapat suatu pemetaan
𝐹: ℜ𝑜 → 𝐹 ℜ0 dan terdapat invers 𝐹 −1 ≔ 𝑓: ℜ𝑡 → 𝑓 ℜ𝑡 sehingga
𝐹 𝒙𝒐 , 𝑡 = 𝑓 𝒙𝒕 , 𝑡 memenuhi syarat transformasi koordinat yaitu
inversibel , bikontinu ( bijektif dan kontinu), differensiabel dan
𝝏𝒙𝒌
pemetaan C1 dengan kata lain besar Jacobian 𝒅𝑭 𝒙 = = 𝐽 ≠
𝝏𝒙𝝁
0 untuk setiap anggota 𝑥 𝑜 ∈ ℜ𝑜 saat 𝑡 > 0. Suatu pemetaan yang
diffeomorphism akan membawa suatu titik, kurva, permukaan dan
juga volume pada ruang konfigurasi ℜ𝑜 ke suatu ruang konfiguarsi
lain ℜ𝑡 dan sebaliknya. (seperti pada Gambar-1)

Gambar-1 Deformasi pada Suatu Material

2.2.Keragaman atau Manifold

Hilgert (2010) menyatakan bahwa keragaman atau manifold


adalah suatu ruang topologi yang menyerupai ruang Euclidean (
ruang koordinat nyata) di setiap titik yang berdekatan. Walaupun
sebuah manifold atau keragaman menyerupai suatu ruang

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 9


Euclidean pada tiap titik yang berdekatan, tetapi secara global tidak
sama. Jika terdapat suatu keragaman licin ℕ dengan n,m ∈ ℕ (
keragaman licin ) dan suatu peta F memetakan suatu titik di 𝑈 ⊆ ℝ𝑛
sebagai sub himpunan terbuka ke 𝐹 𝑥 ⊆ ℝ𝑚 , dengan𝐹: 𝑈 → ℝ𝑚 .
Pemetaan F disebut sebagai pemetaan yang diferensiabel (licin)
pada 𝑥 ∈ 𝑈 jika terdapat pemetaan linear 𝐿 ∈ 𝐻𝑜𝑚⁡ (ℝ𝑛 , ℝ𝑚 ) yang
homomorphism (suatu pemetaan yang menjaga struktur yang
dipilih diantara dua buah struktur aljabar) dari ℝ𝑛 ke ℝ𝑚 (seperti
pada Gambar-2 )

Gambar-2 Pemetaan Linear

Dengan suatunormatau besar ( magnitude) pada ℝ𝑛 sebagai berikut


F ( x  h)  F ( x )  L( h)
lim 0
h 0 h
F ( x  th)  F ( x )  L(th)
lim 0
t 0 t
F ( x  th)  F ( x )
lim  lim L( h )  L( h )
t 0 t t 0

F ( x  th)  F ( x )
dF ( x )( h ) : L( h )  lim
t 0 t
L(h) adalah derivatif arahF pada x di arah h, dengan h adalah
vektor basis. Suatu fungsi F di atas dikatakan kontinu dan
diferensiabel jika terdapat pemetaan 𝐶 1 . Jika (𝑒1 , … 𝑒𝑛 ) adalah
vektor-vektor basis di ℝ𝑛 , maka dapat didefinisikan bahwa

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 10


𝜕𝐹 (𝑥)
𝑑𝐹 𝑥 𝑒𝑖 ∶= dan disebut sebagai derivatif parsial 𝐹 ke-i pada x.
𝜕𝑥 𝑖
jika 𝐹 differensiabel pada setiap 𝑥 ∈ 𝑈, maka derivative parsial 𝐹
𝜕𝐹 (𝑥)
adalah suatu fungsi : 𝑈 → ℝ𝑚 yang disebut sebagai suatu fungsi
𝜕𝑥 𝑖
yang kontinu differensiabel atau pemetaan 𝐶 1 untuk semua
derivative parsialnya kontinu. Untuk 𝑘 ≥ 2, maka pemetaannya
disebut pemetaan 𝐶 𝑘 jika pemetaan 𝐹 adalah pemetaan 𝐶 1 dan
semua derivative parsialnya adalah pemetaan 𝐶 𝑘−1 .
Fungsi 𝑭 licin atau pemetaan 𝐶 ∞ adalah suatu fungsi yang dapat
dinotasikan sebagai 𝐶 𝑘 𝑈, ℝ𝑚 .Suatu ruang topologi ℝ𝑛 secara lokal
Euclidean pada dimensi n untuk setiap titik 𝑥 ∈ ℝ𝑛 , jika 𝑈 ⊆ ℝ𝑛 dan
𝑉 ⊆ ℝ𝑚 dan terdapat suatu pemetaan 𝐹: 𝑈 → ℝ𝑚 , maka terdapat
pemetaan Ck jika 𝐹: 𝑈 → ℝ𝑚 , dan dapat disebut pemetaan Ck
diffeomorphism jika terdapat pemetaan Ck dengan 𝐹: 𝑈 → 𝑉 dan
terdapat pemetaan Ck𝑔: 𝑉 → 𝑈 dengan 𝐹𝑜𝑔 = 𝑖𝑑𝑉 dan 𝑔𝑜𝐹 = 𝑖𝑑𝑈 ,
dengan fungsi 𝐹 memiliki sifat bikontinu ( bijektif, kontinu),
inversibel dan differensiabel, seperti pada Gambar-3a di bawah.
Dapat disimpulkan bahwa jika terdapat suatu diffeomorphism pada
suatu pemetaan, maka U dan V disebut Ck diffeomorphic.
Jika pemetaan Ck memiliki k=0, maka pemetaannya bersifat
homeomorphisatautopological isomorphism ( karena bikontinu,
inversibel tapi tidak differensiabel). Syarat suatu ruang topologi
dimensi n secara lokal adalah ruang Euclidean yaitu jika U dan V
disebut C0 diffeomorphic atau homeomorphic

Gambar-3 a)Pemetaan Diffeomorphism b) Pemetaan halus


Diffeomorphism

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 11


Jika 𝑀, 𝑁 adalah dua buah keragaman dengan dimensi 𝑚, 𝑛 suatu
peta 𝐹: 𝑀 → 𝑁 dikatakan licin pada 𝑝 ∈ 𝑀 jika terdapat pemetaan
𝑈, 𝜙 dan 𝑉, 𝜓 dengan 𝑝 ∈ 𝑈 ⊂ 𝑀 dan 𝐹(𝑝) ∈ 𝑉 ⊂ 𝑁 serta
𝐹(𝑈) ⊂ 𝑉 sehingga terdapat suatu pemetaan transisi
−1
𝜓𝑜𝐹𝑜𝜙 : 𝜙(𝑈) → 𝜓(𝑉) yang licin. Fungsi 𝐹 dikatakan licin jika licin
untuk setiap titik 𝑝 ∈ 𝑀. Fungsi 𝐹: 𝑀 → 𝑁 dikatakan diffeomorphism
jika licin, bijektif dan inversnya licin serta differensiabel, sehingga
dapat didefinisikan bahwa suatu keragaman licin dimensi n adalah
suatu keragaman topologi dimensi n bersamaan dengan struktur
licin.( Gambar-3 b).
Vektor singgung 𝑋 pada p∈ 𝑀 terhadap kurva 𝑐: (−𝜖, 𝜖) → 𝑀 atau
𝑐: 𝐼 → 𝑀 pada saat 𝑡 = 0 dan 𝑐 0 = 𝑝, p∈ 𝑀adalah pemetaan
terhadap suatu fungsi licin di M ke himpunan real, yaitu
𝑐 ′ (0):𝐶 ∞ (𝑀)𝑝 → ℝ = 𝑐 ′ 0 : = 𝐶 ∞ (𝑝) ↦ ℝ dengan rumus
𝑑(𝑓𝑜𝑐 )
𝑋 𝑓 = 𝑐′ 0 𝑓 ≔ dengan 𝑓 ∈ 𝐶 ∞ (𝑝). Suatu vektor
𝑑𝑡 𝑡=0
singgung 𝑋 pada 𝑝 ∈ 𝑀 adalah suatu vektor singgung pada 𝑡 =
0 untuk beberapa kurva 𝛼: (−𝜖, 𝜖) → 𝑀 dengan 𝛼 0 = 𝑝,
yaitu 𝛼 ′ (0):𝐶 ∞ (𝑀)𝑝 → ℝ dengan 𝑋 𝑓 = 𝛼′ 0 𝑓 ≔
𝑑(𝑓𝑜𝛼 )
.Suatu vektor singgung di p∈ 𝑀 dikenal sebagai fungsional
𝑑𝑡 𝑡=0
linear jika memenuhi sifat Leibniz𝑋 𝑓𝑔 = 𝑓𝑋 𝑔 + 𝑋 𝑓 𝑔
Ruang singgung di p∈ 𝑀 dinotasikan sebagai 𝑇𝑃 𝑀 adalah
himpunan semua vektor singgung di p. beberapa vektor singgung
𝜕 𝑑𝑥 𝑖 𝜕
𝑐 ′ : = X ∈ 𝑇𝑃 𝑀 dituliskan sebagai 𝑋 ≔ 𝜕𝑥 𝑖 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑥 𝑖 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑖 dengan
𝑑𝑡 𝑝
𝜕𝑖 sebagai derivatif arah atau vektor basis.
Untingan singgung 𝑇𝑀 adalah kumpulan dari ruang singgung
𝑇𝑃 𝑀 yang diskret di 𝑝 ∈ 𝑀 dan dinotasikan sebagai𝑇𝑀 ≔ 𝑝∈𝑀 𝑇𝑃 𝑀.
Menurut Waner (2005) Ruang singgung 𝑇𝑃 𝑀 mirip dengan ruang
Euclidean ( ruang koordinat nyata) dan hubungan antara pemetaan
dari suatu ruang ke ruang yang lain adalah homeomorphism (
isomorphism secara topologi).

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 12


Medan vektor dijelaskan oleh Hilgert (2012) yaitu sebagai
berikut: setiap ruang singgung 𝑇𝑝 𝑀 akan membawa suatu struktur
unik suatu ruang vektor dimensi-n ℝ𝑛 dengan suatu pemetaan (𝜑, 𝑈)
dengan p∈ 𝑈 dan [𝛾] ∈ 𝑇𝑝 𝑀 sehingga pemetaan 𝑇𝑝 (𝜑): 𝑇𝑃 𝑀 → ℝ𝑛
dengan 𝑇𝑝 𝜑 ≔ [𝛾] ⟼ 𝜑𝑜𝛾 ′ (0) . struktur unik pada ℝ𝑛 dapat
diperlihatkan adalah suatu relasi ekivalen dengan sifat 𝑇𝑝 (𝜑) adalah
bijektif, kontinu dan inversibel (homeomorphism). Waner (2005)
menjelaskan bahwa medan vektor V pada suatu keragaman licin 𝑀
adalah pemetaan licin dari suatu keragaman licin M ke suatu
untingan singgung 𝑇𝑀, yaitu 𝑉: 𝑀 → 𝑇𝑀 dengan 𝑉 ≔ 𝑝 ↦ 𝑉(𝑝) ≡ 𝑉𝑝 .
Maka 𝑉 ≔ 𝔵(𝑀) dan 𝔵(𝑀) adalah sebuah ruang vektor ℝ ( kumpulan
dari ruang singgung) atau medan vektor licin.Untuk 𝑌, 𝑍 ∈ 𝔵(𝑀),𝑝 ∈
𝑀dan𝑎, 𝑏 ∈ ℝ, maka 𝑎𝑌 + 𝑏𝑍 𝑝 = 𝑎𝑌 + 𝑏𝑍 𝑝 = 𝑎𝑌𝑝 + 𝐵𝑍𝑝 .
Untuk 𝑌, 𝑍 ∈ 𝔵(𝑀), maka kurung Lie 𝑌, 𝑍 = 𝑌𝑍 − 𝑍𝑌,
sehinggauntuk𝑋, 𝑌, 𝑍 ∈ 𝔵(𝑀)akan memenuhi identitas Jacobi
jika [𝑋, 𝑌], 𝑍 + [𝑌, 𝑍], 𝑋 + [𝑍, 𝑋], 𝑌 = 0.
Jika 𝑀 adalah suatu keragaman licin dan 𝑝 ∈ 𝑀 maka dapat
didefinisikan bahwa ruang cotangent pada p adalah 𝑇𝑃 ∗ 𝑀 yang
merupakan sebagai ruang jodoh ( dual space) dari ruang
singgung𝑇𝑃 𝑀 di p. maka pemetaan halus 𝑓: 𝑇𝑃 𝑀 → ℝ. Dengan
ℝ ∈ 𝑇𝑃 ∗ 𝑀 ≔ (𝑇𝑃 𝑀)∗ Himpunan dari 𝑇𝑃 ∗ 𝑀 disebut sebagai vektor
cotangent atau convektor singgung. Kumpulan dari ruang cotangent
adalah untingan cotangent 𝑇 ∗ 𝑀 ≔ 𝑝∈𝑀 𝑇𝑃 ∗ 𝑀.
Medan vektor kontravarian (secara mudah dapat disebut medan
vektor) dan dinotasikan sebagai [c] : v n  n  T p M
𝑑𝑞 𝑛 𝜕
dengan 𝑐 : 𝑇𝑃 ∗ 𝑀 → ℝ dan dituliskan sebagai 𝑐 ≔ = 𝑣 𝑛 𝜕𝑛 .
𝑑𝑡 𝜕𝑞 𝑛
𝑑𝑥 𝑛 𝜕 𝑥 𝑛 𝑑𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑛
Transformasi koordinat 𝑣 𝑛 = = 𝜕𝑥 𝑚 = 𝜕𝑥 𝑚 𝑣 𝑚 merupakan
𝑑𝑡 𝑑𝑡
aturan transformasi kontravarian, sehingga vektor kontravarian 𝑣 𝑛
merupakan vektor singgung. Aturan transformasi kovarian ( vektor
𝜕𝑥 𝑚
basis) dapat dituliskan sebagai berikut 𝜕𝑛 = 𝜕𝑚 , .
𝜕𝑥 𝑛

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 13


Menurut Levrino (2011) medan vektor kontravarian
𝜕𝑥𝑛 𝜕𝑥 𝑚
𝑐 = 𝑣 𝑛 𝜕𝑛 = 𝜕𝑥 𝑚 𝑣 𝑚 𝜕𝑚 = 𝑣 𝑚 𝜕𝑚 adalah invariant tidak
𝜕𝑥 𝑛
bergantung pada kerangka. Didefinisikan bahwa ruang cotangent
pada p adalah 𝑇𝑃 ∗ 𝑀 yang merupakan ruang jodoh ( dual space) dari
ruang singgung 𝑇𝑃 𝑀 di p yang memiliki medan vektor kovarian
adalah  :  n dx   n dx  Tp * M .
n n

Suatu medan vektor kontravarian didefinisikan sebagai


pemetaan ( bersifat linear isomorfis dan bijektif/ pemetaan satu-
satu secara bersama) medan vektor kovarian ke suatu himpunan
real 𝑐 : 𝑇𝑃 ∗ 𝑀 → ℝ, dengan [c] :   [c](  )   ([ c])  Tp M (Waner,
2005). Suatu medan vektor kovarian didefinisikan sebagai pemetaan
( bersifat isomorfis dan bijektif) medan vektor kontravarian ke suatu
himpunan real  : T p M   , dengan  : [c]   ([ c])  Tp * M
(Hilgert, 2010).
Waner (2005) menyatakan bahwa Medan Tensor adalah suatu
produk tensor dari banyak medan vektor. Suatu produk tensor dari
ruang singggung𝑣𝑖 = 𝑣1 … 𝑣𝑘 didefinisikan sebagai produk tensor
dari ruang-ruang singgung yaitu𝑣1 … 𝑣𝑘 . Medan tensor dapat
didefinisikan sebagai 𝑇 ≔ 𝑣1 … 𝑣𝑘 ⟼ ℜ . Jika v  Tp M , atau
v  Tp * M , maka suatu medan tensor T yang kontravarian
didefinisikan T : Tp * M  ....  Tp * M   dan disebut sebagai
medan tensor kontravarian berderajat k di p  M dan dituliskan (
k,0). Medan tensor T kovarian didefinisikan sebagai
T : T p M  ....  T p M   dan disebut sebagai medan tensor kovarian
berderajat k di p  M dan dituliskan ( 0,l). Contoh medan tensor
adalah tensor metric yang dapat dituliskan (0,2). Medan tensor T
disebut suatu medan tensor gabungan kovarian dan kontravarian
jika memetakan T : Tp * M  Tp * M  ....  Tp M  Tp M   dan

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 14


disebut sebagai medan tensor kontravarian berderajat k dan medan
tensor kovarian berderajat ldi p  M dan dituliskan ( k,l).
Ruang vektor didefinisikan sebagai himpunan dari produk
tensor 𝑉𝑠𝑟 ≔ 𝑉 1 . . . 𝑉 𝑘 𝑉1 … 𝑉𝑠 atau T : Tp * M  ....  Tp M  

2.3.Medan Vektor Licin

Syarat dari suatu medan vektor V pada keragaman licin M adalah


medan vektor licin di M yaitu jika suatu medan vektor V pada suatu
keragaman licin 𝑀 adalah pemetaan licin 𝑉: 𝑀 → 𝑇𝑀 dengan
𝑝 → 𝑉(𝑝) ≡ 𝑉𝑝 . Maka 𝑉 ≔ 𝔵(𝑀) dengan 𝔵(𝑀) adalah sebuah medan
vektor licin di keragaman licin M. Untuk 𝑌, 𝑍 ∈ 𝔵(𝑀),𝑝 ∈ 𝑀dan𝑎, 𝑏 ∈
ℝ, maka 𝑎𝑌 + 𝑏𝑍 𝑝 = 𝑎𝑌 + 𝑏𝑍 𝑝 = 𝑎𝑌𝑝 + 𝐵𝑍𝑝 . Untuk
𝑌, 𝑍 ∈ 𝔵(𝑀), dengan kurung Lie 𝑌, 𝑍 = 𝑌𝑍 − 𝑍𝑌, maka jika
𝑋, 𝑌, 𝑍 ∈ 𝔵(𝑀), maka syarat dari suatu medan vektor pada
keragaman licin M akan memenuhi bentuk identitas Jacobi
[𝑋, 𝑌], 𝑍 + [𝑌, 𝑍], 𝑋 + [𝑍, 𝑋], 𝑌 = 0. Dapat dibuktikan identitas
Jacobi sebagai berikut
[𝑋, 𝑌], 𝑍 + [𝑌, 𝑍], 𝑋 + [𝑍, 𝑋], 𝑌 = 0
𝑋𝑌 − 𝑌𝑋, 𝑍 + 𝑌𝑍 − 𝑍𝑌, 𝑋 + 𝑍𝑋 − 𝑋𝑍, 𝑌 = 0
𝑋𝑌𝑍 − 𝑌𝑋𝑍 − 𝑍𝑋𝑌 + 𝑍𝑌𝑋 + 𝑌𝑍𝑋 − 𝑍𝑌𝑋 − 𝑋𝑌𝑍 − 𝑋𝑍𝑌
+ 𝑍𝑋𝑌 − 𝑋𝑍𝑌 − 𝑌𝑍𝑋 + 𝑌𝑋𝑍 = 0

2.4. Keragaman Riemann dan Tensor Metrik

Produk skalar atau perkalian dalam pada suatu ruang vektor V


adalah suatu fungsi … : 𝑉 × 𝑉 → ℝ dan memiliki sifat:
1. Simetri 𝑢, 𝑣 = 𝑣, 𝑢 ; 𝑢, 𝑣 ∈ 𝑉.
2. Bilinear 𝑢, 𝑎𝑣 + 𝑏𝑤 = 𝑎 𝑢, 𝑣 + 𝑏 𝑢, 𝑤 ; 𝑎, 𝑏 ∈ ℝ
3. Non-degenerate jika 𝑢, 𝑣 = 0 untuk setiap 𝑣, maka 𝑢 = 0
4. Positif definite 𝑢, 𝑣 > 0, non singular.
5. Inversibel .

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 15


6. Suatu pasangan (𝑀, 𝑔) sebuah keragaman 𝑀 yang dilengkapi
dengan sebuah metrik Riemann 𝑔 disebut sebagai keragaman
Riemann.

Bentuk tensor yang memiliki sifat produk skalar seperti di atas


disebut sebagai tensor fundamental atau tensor metrik. Contoh dari
tensor metrik adalah metrik Euclidean ( ruang datar-3) dan metrik
Minkowskian (ruang datar-4). Metrik Riemann adalah pemetaan
𝑔𝑝 : 𝑀 → ℝ dengan 𝑝 ∈ 𝑀 dan untuk setiap 𝑢, 𝑣 ∈ 𝔵(𝑀) dan
𝑝 ↦ 𝑣, 𝑢 (p) yang licin, maka sifat dari metrik Riemann adalah
simetri, positif definite dan medan tensor (0,2) pada keragaman M.
Jika diberikan suatu keragaman Riemannian (𝑀, 𝑔) dan suatu peta
(𝑈, 𝑥 𝑖 ) dengan suatu pemetaan 𝑔𝑖𝑗 : 𝑈 → ℝ yang memetakan
𝜕 𝜕
𝑝 ↦ 𝑔𝑖𝑗 𝑝 ≔ , 𝜕𝑥 𝑗 𝑝 dengan 𝑝 ∈ 𝑈 ⊆ 𝑀, maka sifat 𝑔𝑖𝑗 adalah
𝜕𝑥 𝑖
simetri dan positif definite. Fungsi 𝒈𝒊𝒋 disebut sebagai wakilan lokal
dari metrik Riemann 𝑔 terhadap peta (𝑈, 𝑥 𝑖 ). Jika (𝑀, 𝑔) adalah
keragaman Riemann dan 𝑝 ∈ 𝑀 maka dapat didefinisikan panjang
dari suatu vektor singgung 𝑣 ∈ 𝑇𝑝 𝑀adalah 𝑣 ≔ 𝑣, 𝑣 𝑝 . Dua buah
vektor dikatakan orthogonal jika 𝑢, 𝑣 ∈ 𝑇𝑝 𝑀 dengan 𝑢, 𝑣 𝑝 = 0 dan
dikatakan orthonormal jika 𝑢, 𝑣 𝑝 = 0dan 𝑢 = 1.
Levrino (2011),Clarke, D.A., (2011) dan Moore (1934)
menyatakan bahwa transformasi koordinat bergantung pada tensor
metrik, sifat dari tensor metrik adalah simetri pada bagian kovarian,
yaitu 𝑔𝑖𝑗 = 𝑔𝑗𝑖 , tidak singular 𝑔𝑖𝑗 ≠ 0, merupakan tensor dengan
pemetaan C2 diffeomorphism (differensiabel, inversibel, kontinu dan
bijektif) serta 𝑔𝑖𝑗 adalah positive definite. Dengan pemetaan C2
diffeomorphism maka tensor metrik 𝑔𝑖𝑗 memiliki invers metrik
𝒈𝒊𝒋 = 𝒈𝒊𝒋 −𝟏 . Tensor metrik dapat digunakan untuk membuat sebuah
tensor baru, yaitu dengan melakukan perkalian dalam ( inner
product) antara suatu tensor dengan tensor metrik. Bentuk
perkalian dalam untuk mendapatkan tensor baru disebut sebagai

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 16


operasi lowering atau raising pada sebuah tensor dan dijabarkan
sebagai berikut ( Moore, 1934) :
𝜕𝑟
𝑣 = 𝜇 𝑥 𝜇 = 𝛽𝜇 𝑥 𝜇 = 𝑥𝑐 𝛽 𝑐
𝜕𝑥
𝛽 𝑐 = 𝐾𝜇𝑐 𝛽𝜇
𝛽 𝑠 ∙ 𝛽 𝑐 = 𝐾𝜇𝑐 𝛽 𝑠 ∙ 𝛽𝜇
𝑔 𝑠𝑐 = 𝐾𝜇𝑐 𝛿𝜇𝑠 = 𝐾 𝑠𝑐
𝛽 𝑐 = 𝑔𝜇𝑐 𝛽𝜇 = 𝑔𝜇𝑐 −1 𝛽𝜇

2.5. Koneksi Affine

Koneksi affine, ∇ , adalah jenis derivatif arah dari suatu medan


vektor pada sebuah keragaman M dan bukanlah sebuah medan
tensor karena suatu derivative arah pada V, dinotasikan ∇X 𝑉, tidak
linear𝐶 ∞ 𝑀 . Setiap keragaman licin minimal akan memiliki
minimal sebuah koneksi affine. (Waner,2005)
Jika suatu medan vektor 𝑉 pada ℝ𝑛 , memetakan 𝑉: ℝ𝑛 → ℝ𝑛 dan
diambil suatu titik 𝑝 ∈ ℝ𝑛 dan sebuah vektor singgung 𝑋 ∈ 𝑇𝑝 ℝ𝑛 ≅
ℝ𝑛 dan dinotasikan bahwa ∇X 𝑉 adalah suatu derivative arah di
medan vektor 𝑉 pada p dengan arah 𝑋 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑖 sehingga dapat
𝜕𝑉
dituliskan ∇X 𝑉 = X𝑉 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑖 𝑉 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑥 𝑖 ∈ 𝑇𝑝 ℝ𝑛 ( Waner, 2005).
Koneksi affine atau Koneksi linear pada suatu keragaman 𝑀
adalah pemetaan ∇: 𝔵(𝑀) × 𝔵(𝑀) → 𝔵(𝑀) yaitu memetakan
(𝑋, 𝑌) → ∇X 𝑌 untuk setiap 𝑌 ∈ 𝔵 𝑀 yang memenuhi syarat: 1)
pemetaan 𝑋 → ∇X 𝑌 adalah linear 𝐶 ∞ 𝑀 , sehingga ∇𝑓𝑋 +𝑔𝑌 𝑉 =
𝑓∇X 𝑉 + 𝑔∇X 𝑉, untuk semua 𝑓, 𝑔 ∈ 𝐶 ∞ 𝑀 dan 𝑋, 𝑌 ∈ 𝔵 𝑀 . Contoh
jika ∇𝑓𝑋 𝑉 = 𝑓∇X 𝑉 dengan 𝑉 = (1 + 𝑥)2 misal 𝑓(𝑥) = (1 + 𝑥), maka
𝑑𝑉 (𝑥) 𝜕𝑉 (𝑥) 𝑑𝑓 (𝑥) 𝜕𝑉 (𝑥) 𝑑𝑉 (𝑥) 𝜕𝑉 (𝑥)
= 𝜕𝑓 (𝑥) = 𝜕𝑓 (𝑥) dengan = 𝜕𝑓 (𝑥) = ∇𝑓𝑋 𝑉; 2) untuk
𝑑𝑥 𝜕𝑥 𝑑𝑥
∇X 𝑎𝑉 + 𝑏𝑊 = 𝑋𝑎𝑉 + 𝑋𝑏𝑊 = 𝑎∇X 𝑉 + 𝑏∇X 𝑊 untuk 𝑎, 𝑏 ∈ ℝ
dan𝑉, 𝑊, 𝑋 ∈ 𝔵 𝑀 ; 3)∇X 𝑓𝑉 = 𝑓∇X 𝑉 + 𝑋 𝑓 . 𝑉 untuk 𝑓 ∈ 𝐶 ∞ 𝑀
dan 𝑋, 𝑉 ∈ 𝔵 𝑀 .

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 17


Jika terdapat sebuah medan vektor 𝑌 pada ℝ𝑛 dan 𝑝 ∈ ℝ𝑛 ∈ 𝑀
dan terdapat vektor singgung pada 𝑋 ∈ 𝑇𝑝 ℝ𝑛 ≅ ℝ𝑛 . Disimbolkan
bahwa ∇X 𝑌 adalah derivatif arah pada medan vektor Y di p dengan
arah X pada sebuah keragaman M, maka ∇X 𝑌 ∈ 𝑇𝑝 ℝ𝑛 . Jika
didefinisikan bahwa 𝑋 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑖 , dengan 𝝏𝒊 sebagai derivatif arah atau
vektor basis maka ∇X 𝑌 = X𝑌 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑖 𝑌. ∇ adalah koneksi affine pada
suatu keragaman M dan jika 𝑋, 𝑌 ∈ 𝔛(𝑀) yang ditunjukkan pada
kerangka lokal 𝜕𝑖 pada 𝑈 ⊂ 𝑀di TM oleh X=𝑣 𝑖 𝜕𝑖 danY=𝑦 𝑗 𝜕𝑗 , maka
seperti pada Gambar-4 di bawah

Gambar-4 Koneksi Affine pada Keragaman M

Derivative arah di medan vektor 𝑌 pada p dengan arah 𝑋 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑖


∇X 𝑌 = X𝑌 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑖 𝑌
Suatu vektor singgung di p∈ 𝑀 dikenal sebagai fungsional linear jika
memenuhi sifat Leibniz 𝑋 𝑓𝑔 = 𝑓𝑋 𝑔 + 𝑋 𝑓 𝑔
∇𝑣 𝑖 𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 = 𝑣 𝑖 ∇𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 = 𝑣 𝑖 𝑦 𝑗 ∇𝜕 𝑖 𝜕𝑗 + ∇𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗
= 𝑣 𝑖 𝑦 𝑗 ∇𝜕 𝑖 𝜕𝑗 + 𝜕𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗
= 𝑣 𝑖 𝑦 𝑗 ∇𝜕 𝑖 𝜕𝑗 + 𝑣 𝑖 𝜕𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 = 𝑣 𝑖 𝑦 𝑗 ∇𝜕 𝑖 𝜕𝑗 + 𝑋 𝑦 𝑗 𝜕𝑗
= 𝑣 𝑖 𝑦 𝑗 Γ𝑖𝑗𝑘 𝜕𝑘 + 𝑋 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 = 𝑣 𝑖 𝑦 𝑗 Γ𝑖𝑗𝑘 + 𝑋 𝑦 𝑘 𝜕𝑘
∇i y k = ∂i y k + Γ𝑖𝑗𝑘 𝑦 𝑗
Pada ruang Euclidean, maka dapat dituliskan
∇X 𝑌 p = ∇𝑣 𝑖 𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 = 𝑋 𝑦 𝑘 𝜕𝑘 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑖 𝑦 𝑘 𝜕𝑘 = 𝑣 𝑖 𝜕𝑖 𝑌
𝑌 𝑝 + 𝑡𝑋𝑝 − 𝑌(𝑝)
= lim
𝑡→0 𝑡
Turunan kovarian didapatkan sebagai berikut ( Moore, E.N 1934)
𝜕𝑥 𝑚
𝐴𝜇 = 𝐴
𝜕𝑥 𝜇 𝑚

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 18


𝜕𝐴𝜇 𝜕 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑚 𝜕 𝜕 𝜕𝑥 𝑚
= 𝐴 = 𝐴 + 𝑞 𝐴𝑚
𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝜇 𝑚 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑞 𝑚 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜇
𝜕𝐴𝜇 𝜕𝑥 𝑚 𝜕 𝐴𝑚 𝜕𝑥 𝑓 𝜕2𝑥𝑚
= + 𝐴
𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑓 𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝜇 𝑚
𝜕𝐴𝜇 𝜕𝑥 𝑚 𝜕 𝐴𝑚 𝜕𝑥 𝑓 𝜕 2 𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝐻
= + 𝐴
𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑓 𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑚 𝐻
𝜕𝐴𝜇 𝜕𝑥 𝑓 𝜕𝑥 𝑚 𝜕 𝐴𝑚 H
= + Γqμ 𝐴𝐻
𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑓
𝜕𝐴𝜇 𝜕𝑥 𝑓 𝜕𝑥 𝑚 𝜕 𝐴𝑚 H H
= + Γqμ 𝐴𝐻 = Γqμ 𝐴𝐻
𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝑞 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑓
𝜕𝐴𝜇
𝑑𝐴𝜇 = 𝑞 𝑑𝑥 𝑞 = Γqμ H
𝐴𝐻 𝑑𝑥 𝑞
𝜕𝑥
𝜕𝐴𝜇 H
𝑞
− Γqμ 𝐴𝐻 𝑑𝑥 𝑞 = 0
𝜕𝑥
𝜕𝐴𝜇 H
− Γqμ 𝐴𝐻 ≡ 𝐴𝜇 ;𝑞
𝜕𝑥 𝑞
H
𝐴𝜇 ;𝑞 = 𝐴𝜇 ,𝑞 − Γqμ 𝐴𝐻

Turunan pada sebuah medan tensor yang terdiri dari dua buah
medan vektor terhadap suatu vektor singgung dapat dijabarkan
sebagai berikut

∇𝑥 𝑖 𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 𝑧 𝑘 𝜕𝑘 = 𝑥 𝑖 ∇𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 𝑧 𝑘 𝜕𝑘
= 𝑥 𝑖 ∇𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 𝑧 𝑘 𝜕𝑘 + 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 ∇𝜕 𝑖 𝑧 𝑘 𝜕𝑘
𝛻𝑥 𝑖 𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 𝑧 𝑘 𝜕𝑘
= 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑗𝑐 𝑦 𝑗 + 𝑋 𝑦 𝑐 𝜕𝑐 𝑧 𝑘 𝜕𝑘
+ 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑘𝑚 𝑧 𝑘 + 𝑋 𝑧 𝑚 𝜕𝑚

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 19


∇𝑥 𝑖 𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 𝑧 𝑘 𝜕𝑘
= 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑗𝑐 𝑦 𝑗 𝑧 𝑘 + 𝑋 𝑦 𝑐 𝑧 𝑘 𝜕𝑐 𝜕𝑘
+ 𝑦 𝑗 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑘𝑚 𝑧 𝑘 + 𝑦 𝑗 𝑋 𝑧 𝑚 𝜕𝑗 𝜕𝑚
𝑗
= 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑐 𝑦 𝑐 𝑧 𝑚 + 𝑋 𝑦 𝑗 𝑧 𝑚 𝜕𝑗 𝜕𝑚
+ 𝑦 𝑗 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑘𝑚 𝑧 𝑘 + 𝑦 𝑗 𝑋 𝑧 𝑚 𝜕𝑗 𝜕𝑚
∇𝑥 𝑖 𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 𝑧 𝑘 𝜕𝑘
𝑗
= 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑐 𝑦 𝑐 𝑧 𝑚 + 𝑋 𝑦 𝑗 𝑧 𝑚 + 𝑦 𝑗 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑘𝑚 𝑧 𝑘

+ 𝑦 𝑗 𝑋 𝑧𝑚 𝜕𝑗 𝜕𝑚
𝑗
= 𝑋 𝑦 𝑗 𝑧 𝑚 + 𝑦 𝑗 𝑋 𝑧 𝑚 + 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑐 𝑦 𝑐 𝑧 𝑚
+ 𝑦 𝑗 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑘𝑚 𝑧 𝑘 𝜕𝑗 𝜕𝑚
𝑗
∇𝑥 𝑖 𝜕 𝑖 𝑦 𝑗 𝜕𝑗 𝑧 𝑘 𝜕𝑘 = ∇i 𝑇𝑗𝑚 + 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑐 𝑇 𝑐𝑚 + 𝑥 𝑖 Γ𝑖𝑘𝑚 𝑇𝑗𝑘 𝜕𝑗 𝜕𝑚
𝑗
= 𝑇,𝑖 𝑗𝑚 + Γ𝑖𝑎 𝑇 𝑎𝑚 + Γ𝑖𝑎𝑚 𝑇𝑗𝑎 𝜕𝑗 𝜕𝑚
Pada kerangka lokal dapat dituliskan sebagai berikut
𝑗
d𝑖 𝑇𝑗𝑚 = ∇𝑖 𝑇𝑗𝑚 + Γ𝑖𝑎 𝑇 𝑎𝑚 + Γ𝑖𝑎𝑚 𝑇𝑗𝑎
d𝑖 𝐴𝑗𝑚 = d𝑖 𝐴𝑗 𝐴𝑚 + 𝐴𝑗 d𝑖 𝐴𝑚 + d𝑖 𝐴𝑗 𝐴𝑚
𝑗 𝑗
d𝑖 𝐴𝑗𝑚 = ∇𝑖 𝐴𝑗𝑚 + 𝐴𝑗 Γ𝑖𝑎𝑚 𝐴𝑎 + Γ𝑖𝑎 𝐴𝑎 𝐴𝑚 = ∇𝑖 𝑇𝑗𝑚 + Γ𝑖𝑎 𝑇 𝑎𝑚 + Γ𝑖𝑎𝑚 𝑇𝑗𝑎

Untuk tensor kovarian didapatkan menggunakan anologi turunan


terhadap suatu metrik
𝜕𝑔𝑛𝑚
= 𝜕μ 𝛽n . 𝛽m = 𝛽n . 𝜕μ 𝛽m + 𝜕μ 𝛽n . 𝛽m
𝜕𝑥 𝜇
ρ ρ
𝜕μ 𝛽n . 𝛽m = 𝛽n . Γμm 𝛽ρ + Γμn 𝛽ρ . 𝛽m
ρ ρ
𝜕μ 𝛽n . 𝛽m = Γμm 𝑔nρ + Γμn 𝑔ρm
𝜕𝑔𝑛𝑚 ρ ρ
𝑑𝑔𝑛𝑚 = 𝑑𝑥 𝜇 = Γμm 𝑔nρ + Γμn 𝑔ρm 𝑑𝑥 𝜇 = 0
𝜕𝑥 𝜇
𝜕𝑔𝑛𝑚 ρ ρ
𝜇
− Γμm 𝑔nρ − Γμn 𝑔ρm 𝑑𝑥 𝜇 = 0
𝜕𝑥
ρ ρ
∇μ 𝑔𝑛𝑚 − Γμn 𝑔ρm − Γμm 𝑔nρ = dμ 𝑔𝑛𝑚

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 20


dμ 𝑔𝑛𝑚 = ∇μ (𝐴𝑛 𝐴𝑚 ) − 𝐴𝑛 ∇μ (𝐴𝑚 ) − ∇μ (𝐴𝑛 )𝐴𝑚
ρ ρ
= ∇μ (𝑔𝑛𝑚 ) − 𝐴𝑛 Γμm 𝐴ρ − Γμn 𝐴ρ 𝐴𝑚
𝜕𝑔𝑛𝑚 ρ ρ
= − Γμm 𝑔nρ − Γμn 𝑔ρm
𝜕𝑥 𝜇
Maka dapat dituliskan bahwa
𝜕𝑔𝑛𝑚 ρ ρ
dμ 𝑔𝑛𝑚 = 𝜇
− Γμm 𝑔nρ − Γμn 𝑔ρm
𝜕𝑥
Untuk tensor gabungan dapat digunakan relasi berikut
𝜌
𝑑𝜇 𝑇𝑚 = 𝑑𝜇 (𝐴𝜌 𝐴𝑚 ) + 𝑑𝜇 (𝐴𝜌 )𝐴𝑚 − 𝐴𝜌 𝑑𝜇 (𝐴𝑚 )
𝜌 𝜌
= 𝑑𝜇 𝑇𝑚 + 𝛤𝜇𝑘 𝐴𝑘 𝐴𝑚 − 𝐴𝜌 𝛤𝜇𝑚
𝑘
𝐴𝑘
𝜌 𝜌 𝜌
= 𝑑𝜇 𝑇𝑚 + 𝛤𝜇𝑘 𝑇𝑚𝑘 − 𝛤𝜇𝑚
𝑘
𝑇𝑘

2.6. Panjang Vektor Singgung

Jika (𝑀, 𝑔) adalah keragaman Riemann dan 𝑝 ∈ 𝑀 maka dapat


didefinisikan panjang dari suatu vektor singgung 𝑣 ∈ 𝑇𝑝 𝑀adalah
𝑣 ≔ 𝑣, 𝑣 𝑝
𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑓
𝑑𝑠 = 𝜇 ∙ 𝑚 𝑑𝑥 𝑑𝑥 = 𝜇 𝛽𝑘 ∙ 𝑚 𝛽𝑓 𝑑𝑥 𝜇 𝑑𝑥 𝑚
2 𝜇 𝑚
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥
𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑓
= 𝜇 𝑚 𝑔𝑘𝑓 𝑑𝑥 𝜇 𝑑𝑥 𝑚 = 𝑔𝑘𝑓 𝑑𝑥 𝜇 𝑑𝑥 𝑚
𝜕𝑥 𝜕𝑥
𝑑𝑠 = 𝑔𝑘𝑓 𝑑𝑥 𝜇 𝑑𝑥 𝑚

2.7.Luas Elemen Permukaan

Dapat dijabarkan luas elemen suatu permukaan adalah sebagai


berikut (Margenau, 1956)
𝜕𝑟 𝜕𝑟
𝑑𝐴1 = 𝑑𝑠2 × 𝑑𝑠3 = 2 𝑑𝑥 2 × 3 𝑑𝑥 3 = 𝛽2 × 𝛽3 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3
𝜕𝑥 𝜕𝑥
Besar skalar luas permukaan tersebut adalah

𝑑𝐴1 = 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽2 × 𝛽3 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 21


Dapat dijabarkan
𝑨 × 𝑩 ∙ 𝑪 × 𝑫 = 𝐴𝑖 𝑒𝑖 × 𝐵𝑗 𝑒𝑗 ∙ 𝐶𝑘 𝑒𝑘 × 𝐷𝑛 𝑒𝑛
= 𝐴𝑖 𝐵𝑗 𝜀𝑖𝑗𝑚 𝑒𝑚 ∙ 𝐶𝑘 𝐷𝑛 𝜀𝑘𝑛𝑚 𝑒𝑚 = 𝐴𝑖 𝐵𝑗 𝐶𝑘 𝐷𝑛 𝜀𝑖𝑗𝑚 𝜀𝑘𝑛𝑚
= 𝐴𝑖 𝐵𝑗 𝐶𝑘 𝐷𝑛 𝛿𝑖𝑘 𝛿𝑗𝑛 − 𝛿𝑖𝑛 𝛿𝑗𝑘 = 𝐴𝑖 𝐵𝑗 𝐶𝑖 𝐷𝑗 − 𝐴𝑖 𝐵𝑗 𝐶𝑗 𝐷𝑖
= 𝑨. 𝑪 𝑩. 𝑫 − 𝑨. 𝑫 𝑩. 𝑪
𝑨 × 𝑩 ∙ 𝑨 × 𝑩 = 𝑨. 𝑨 𝑩. 𝑩 − 𝑨. 𝑩 𝑩. 𝑨
sehingga

𝑑𝐴1 = 𝑔22 𝑔33 − 𝑔23 2 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3


Dapat dilakukan cara yang sama, sehingga didapatkan bahwa

𝑑𝐴2 = 𝑔33 𝑔11 − 𝑔31 2 𝑑𝑥 3 𝑑𝑥1

𝑑𝐴3 = 𝑔11 𝑔22 − 𝑔12 2 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 2

2.8. Volume Suatu Elemen

Dapat dijabarkan volume suatu elemen sebagai berikut di bawah


(Margenau, 1956)
𝑑𝑉 = 𝑑𝑠1 ∙ 𝑑𝑠2 × 𝑑𝑠3 = 𝛽1 𝑑𝑥 1 ∙ 𝛽2 × 𝛽3 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3
𝑑𝑉 = 𝛽1 𝛽2 𝛽3 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3
Jika 𝑑𝑠2 × 𝑑𝑠3 = 𝛽2 × 𝛽3 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3 = 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3 𝛽1 = 𝑑𝑟, maka
𝑑𝑉 = 𝑑𝑠1 ∙ 𝑑𝑟
Dengan mengingat bahwa
𝜕𝑟
𝑑𝑟 = 𝜇 𝑑𝑥 𝜇 = 𝛽𝜇 𝑑𝑥 𝜇 = 𝑑𝑥𝜇 𝛽 𝜇
𝜕𝑥
𝑑𝑟 ∙ 𝛽 𝑚 = 𝛽𝜇 𝑑𝑥 𝜇 ∙ 𝛽 𝑚
𝑑𝑟 ∙ 𝛽 𝑚 = 𝑑𝑥 𝜇 ∙ 𝛿𝜇𝑚 = 𝑑𝑥 𝑚
Sehingga
𝑑𝑟 = 𝛽𝑚 𝑑𝑥 𝑚 = 𝛽𝑚 𝑑𝑟 ∙ 𝛽 𝑚
Dengan cara yang sama didapatkan bahwa

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 22


𝑑𝑟 = 𝑑𝑟 ∙ 𝛽𝑚 𝛽 𝑚 = 𝛽𝑚 𝑑𝑟 ∙ 𝛽 𝑚
Sehingga besar volume suatu elemen
𝑑𝑉 = 𝑑𝑠1 ∙ 𝑑𝑟 = 𝑑𝑠1 ∙ 𝑑𝑟 ∙ 𝛽𝑚 𝛽 𝑚
𝑑𝑉 = 𝑑𝑠1 ∙ 𝑑𝑟 ∙ 𝛽1 𝛽1 + 𝑑𝑟 ∙ 𝛽2 𝛽 2 + 𝑑𝑟 ∙ 𝛽3 𝛽 3
𝑑𝑉 = 𝑑𝑥 1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3 𝛽1
∙ 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽1 𝛽1 + 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽2 𝛽 2

+ 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽3 𝛽 3
Margenau (1956) dan Moore (1934) menyatakan bahwa
𝛽2 × 𝛽3 𝛽2 × 𝛽3
𝛽1 = =
𝛽2 𝛽3 𝛽1 𝑣

𝛽3 × 𝛽1 𝛽3 × 𝛽1
𝛽2 = =
𝛽2 𝛽3 𝛽1 𝑣

𝛽1 × 𝛽2 𝛽1 × 𝛽2
𝛽3 = =
𝛽2 𝛽3 𝛽1 𝑣
Sehingga
𝑑𝑉 = 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3 𝛽1
𝛽2 × 𝛽3 𝛽3 × 𝛽1
∙ 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽1 + 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽2
𝑣 𝑣
𝛽1 × 𝛽2
+ 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽3
𝑣
𝛽1
𝑑𝑉 = 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3 ∙ 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽1 𝛽2 × 𝛽3 + 𝛽1
𝑣

∙ 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽2 𝛽3 × 𝛽1 + 𝛽1

∙ 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽3 𝛽1 × 𝛽2

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 23


Dengan mengingat bahwa

𝑑𝑉 = 𝑑𝑠1 ∙ 𝑑𝑟 = 𝑑𝑠1 ∙ 𝑑𝑟 ∙ 𝛽𝑚 𝛽 𝑚 = 𝑑𝑠1 ∙ 𝛽𝑚 𝑑𝑟 ∙ 𝛽 𝑚


= 𝑑𝑠1 ∙ 𝛽1 𝑑𝑟 ∙ 𝛽1 + 𝑑𝑠1 ∙ 𝛽2 𝑑𝑟 ∙ 𝛽 2 + 𝑑𝑠1
∙ 𝛽3 𝑑𝑟 ∙ 𝛽 3
𝑑𝑉 = 𝛽1 𝑑𝑥1 ∙ 𝛽1 𝑑𝑟 ∙ 𝛽1 + 𝛽2 𝑑𝑟 ∙ 𝛽 2 + 𝛽3 𝑑𝑟 ∙ 𝛽 3

Sehingga dapat dituliskan


𝛽1
𝑑𝑉 = 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3
𝑣
∙ 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽2 × 𝛽3 𝛽1

+ 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽3 × 𝛽1 𝛽2

+ 𝛽2 × 𝛽3 ∙ 𝛽1 × 𝛽2 𝛽3
Dengan mengingat bahwa
𝑨 × 𝑩 ∙ 𝑪 × 𝑫 = 𝑨. 𝑪 𝑩. 𝑫 − 𝑨. 𝑫 𝑩. 𝑪
Maka dengan mengingat bahwa 𝛽𝑖 ∙ 𝛽𝑗 = 𝑔𝑖𝑗 , sehingga
𝛽1
𝑑𝑉 = 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3
𝑣
∙ 𝑔22 𝑔33 − 𝑔23 𝑔32 𝛽1 + 𝑔23 𝑔31 − 𝑔21 𝑔33 𝛽2
+ 𝑔21 𝑔32 − 𝑔22 𝑔31 𝛽3
1
𝑑𝑉 = 𝑑𝑥 1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3 𝑔22 𝑔33 − 𝑔23 𝑔32 𝛽1 ∙ 𝛽1
𝑣
+ 𝑔23 𝑔31 − 𝑔21 𝑔33 𝛽1 ∙ 𝛽2 + 𝑔21 𝑔32 − 𝑔22 𝑔31 𝛽1 ∙ 𝛽3

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 24


𝛽1 𝛽2 𝛽3 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3
1
= 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3 𝑔22 𝑔33 − 𝑔23 𝑔32 𝑔11
𝛽2 𝛽3 𝛽1
+ 𝑔23 𝑔31 − 𝑔21 𝑔33 𝑔12 + 𝑔21 𝑔32 − 𝑔22 𝑔31 𝑔13
𝛽1 𝛽2 𝛽3 = 𝑔22 𝑔33 − 𝑔23 𝑔32 𝑔11 + 𝑔23 𝑔31 − 𝑔21 𝑔33 𝑔12
1/2
+ 𝑔21 𝑔32 − 𝑔22 𝑔31 𝑔13 = 𝑔
Maka dapat ditentukan bahwa
𝑑𝑉 = 𝛽1 𝛽2 𝛽3 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3 = 𝑔 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 3

2.9.Vektor Satuan dan Vektor Basis

Dapat dijelaskan hubungan antara vektor satuan dengan vektor


basis sebagai berikut (Margenau (1956) dan Clarke (2011)):
Suatu vektor dapat dituliskan sebagai berikut
𝑑𝑟 = 𝑑𝑥(𝑖) 𝒖(𝑖)
Dalam konsep vektor dalam suatu vektor basis dapat dituliskan
sebagai berikut ( Clarke, 2011)
𝑑𝑟 = 𝑕(𝑖) 𝒖(𝑖) 𝑑𝑥 𝑖 = 𝜷𝒊 𝑑𝑥 𝑖
2
𝑑𝑟 = 𝑕(𝑖) 𝑕(𝑗 ) 𝒖(𝑖) ∙ 𝒖(𝑗 ) 𝑑𝑥 𝑖 𝑑𝑥 𝑗 = 𝜷𝒊 ∙ 𝜷𝒋 𝑑𝑥 𝑖 𝑑𝑥 𝑗
Maka
𝑕(𝑖) 𝑕(𝑗 ) 𝒖(𝑖) ∙ 𝒖(𝑗 ) = 𝜷𝒊 ∙ 𝜷𝒋
𝑔𝑖𝑗 = 𝑕(𝑖) 𝑕(𝑗 ) 𝒖(𝑖) ∙ 𝒖(𝑗 )
Clarke (2011) menyatakan bahwa metrik untuk sistem koordinat
orthogonal dapat dinyatakan sebagai berikut
𝑔𝑖𝑗 = 𝑕(𝑖) 𝑕(𝑗 ) 𝛿𝑖𝑗
𝛿 𝑖𝑗
𝑔𝑖𝑗 =
𝑕𝑖 𝑕𝑗
Dapat diperlihatkan hubungan besar panjang suatu vektor
𝑑𝑟 = 𝑑𝑟
𝑕(𝑖) 𝒖(𝑖) 𝑑𝑥 𝑖 = 𝑑𝑥(𝑖) 𝒖(𝑖)

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 25


𝑕(𝑖) 𝒖(𝑖) 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥𝑗 = 𝑑𝑥(𝑖) 𝒖(𝑖)
Sehingga didapatkan bahwa besar panjang adalah
𝑑𝑥(𝑖) = 𝑕(𝑖) 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥𝑗
Sedangkan hubungan antara vektor satuan dengan vektor basis
adalah
𝑑𝑟 = 𝑑𝑟
𝑕(𝑖) 𝒖(𝑖) 𝑑𝑥 𝑖 = 𝜷𝒊 𝑑𝑥 𝑖
𝜷𝒊 = 𝑕(𝑖) 𝒖(𝑖)
𝜷𝒊 𝜷𝒊
𝒖(𝑖) = =
𝑕(𝑖) 𝑔𝑖𝑖
Atau dapat pula dalam bentuk
𝜷𝒊 𝑔𝑖𝑗 𝜷𝑗
𝒖(𝑖) = =
𝑕(𝑖) 𝑕(𝑖)
𝑔𝑖𝑗 𝜷𝑗 𝑕(𝑖) 𝑕(𝑗 ) 𝛿𝑖𝑗 𝜷𝑗
= = 𝑕(𝑖) 𝜷𝑖
𝑕(𝑖) 𝑕(𝑖)
𝒖 𝑖 𝒖𝑖
𝜷𝑖 = =
𝑕𝑖 𝑔𝑖𝑖
𝒖(𝑖) = 𝑕(𝑖) 𝜷𝑖
Untuk system Nonortogonal, maka
𝑔𝑖𝑗 𝜷𝑗
𝒖(𝑖) =
𝑕(𝑖)
𝑕𝑖 𝒖𝑖 𝑔𝑖𝑖 𝒖 𝑖
𝜷𝑗 = =
𝑔𝑖𝑗 𝑔𝑖𝑗
𝜷𝑖 = 𝑔𝑖𝑗 𝜷𝒋 = 𝑔𝑖𝑗 𝑕(𝑖) 𝒖(𝑖) = 𝑔𝑖𝑗 𝑔𝑖𝑖 𝒖(𝑖)
Maka
𝑔𝑖𝑖
= 𝑔𝑖𝑗 𝑔𝑖𝑖
𝑔𝑖𝑗
𝑔𝑖𝑗 = 𝑔𝑖𝑗 −1
Yang sesuai dengan definisi Levrino (2011), Clarke, D.A., (2011) dan
Moore (1934). Hubungan antara vektor satuan dan vektor basis
dapat dijabarkan sebagai berikut

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 26


𝜷𝒊
𝑑𝑟 = 𝑑𝑥(𝑖) 𝒖(𝑖) = 𝑕(𝑖) 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥𝑗 = 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥𝑗 𝜷𝒊 = 𝜷𝒊 𝑑𝑥 𝑖
𝑕(𝑖)
Menurut Margenau (1956) 𝑕(𝑖) adalah suatu faktor skala ( bukan
sebuah tensor). Menurut Clarke ( 2011) dapat dihubungkan besar
tensor secara fisik dengan tensor kontravarian dan juga kovarian
sebagai berikut: Jika tensor orde-1 dituliskan sebagai berikut𝑑𝑥(𝑖) =
𝑕(𝑖) 𝑔𝑖𝑗 𝑑𝑥𝑗 , maka medan tensor adalah suatu produk tensor dari
banyak medan vektor dan dapat didefinisikan sebagai 𝑇: 𝑣1 × … ×
𝑣𝑘 → ℝ, sehingga besar tensor fisik dapat dituliskan sebagai berikut
𝑻 𝒊𝒋 𝑻 𝒊𝒋
𝑻𝒊𝒋 = =
𝑕𝑖 𝑕𝑗 𝑔𝑖𝑖 𝑔𝑗𝑗
Untuk system Nonortogonal, maka
𝜷𝑗 = 𝑔𝑖𝑗 𝑔𝑖𝑖 𝒖(𝑖)
𝑻𝑖𝑗 = 𝑔𝑖𝑚 𝑔 𝑗𝑛 𝑔𝑖𝑖 𝑔𝑗𝑗 𝑻(𝑖𝑗 )

2.10. Gradien dari Skalar

𝜵 = 𝛽 𝑖 ∇𝑖 = 𝑔𝑖𝑗 𝛽𝑗 ∇𝑖 = 𝑔𝑖𝑗 𝑔𝑗𝑗 𝑢𝑗 ∇𝑖


Dengan notasi
𝐴𝑖 = 𝑔𝑖𝑗 𝑔𝑗𝑗 𝐴(𝑗 )
𝑇 𝑖𝑗 = 𝑔𝑖𝑚 𝑔 𝑗𝑛 𝑔𝑚𝑚 𝑔𝑛𝑛 𝑇(𝑚𝑛 )
𝜵 = 𝑔11 𝛻1 + 𝑔21 𝛻2 + 𝑔31 𝛻3 𝑔11 𝑢(1)
+ 𝑔12 𝛻1 + 𝑔22 𝛻2 + 𝑔32 𝛻3 𝑔22 𝑢(2)
13 23 33
+ 𝑔 𝛻1 + 𝑔 𝛻2 + 𝑔 𝛻3 𝑔33 𝑢(3)
= 𝑔 𝛻1 𝑔11 𝑢(1) + 𝑔 𝛻2 𝑔22 𝑢(2) + 𝑔33 𝛻3 𝑔33 𝑢(3)
11 22

2.11. Simbol Christoffel

Simbol christoffel adalah salah satu jenis dari koneksi affine.


Memiliki sifat simetri pada bagian kovarian dan besarnya pada
ruang datar akan bernilai nol.

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 27


Turunan dari posisi dapat dijabarkan sebagai berikut
𝑑𝑟 𝑑 𝜇
𝑣= = 𝑥 𝛽𝜇
𝑑𝑡 𝑑𝑡
𝜇
𝑑 𝜇 𝑑 𝑥 𝑑
𝑥 𝛽𝜇 = 𝛽𝜇 + 𝑥 𝜇 𝛽
𝑑𝑡 𝑑𝑡 𝑑𝑡 𝜇
𝜇 𝑚
𝑑 𝜇 𝑑 𝑥 𝑑𝑥 𝜇
𝑑 𝑑𝑥 𝑚
𝑥 𝛽𝜇 = 𝛽 +𝑥 𝛽
𝑑𝑡 𝑑𝑥 𝑚 𝑑𝑡 𝜇 𝑑𝑥 𝑚 𝜇 𝑑𝑡
𝑑 𝜇 𝑑 𝑥𝜇 𝑚 𝜇 c 𝑚
𝑑 𝑥𝑐
𝑥 𝛽𝜇 = 𝑥 𝛽𝜇 + 𝑥 Γmμ 𝑐𝛽 𝑥 = + 𝑥 𝜇 Γmμ
c
𝛽𝑐 𝑥 𝑚
𝑑𝑡 𝑑𝑥 𝑚 𝑑𝑥 𝑚
𝑑 𝑥𝑐
𝑣= + 𝑥 𝜇 Γmμ
c
𝛽𝑐 𝑥 𝑚
𝑑𝑥 𝑚
c 𝑑
Pada ruang datar Simbol Christoffel Γμm = 𝑑𝑥 𝑚 𝛽𝜇 = 0, maka
𝑐 𝑐
𝑑 𝑥 𝑚
𝑑𝑥 𝑚
𝑣= 𝑚
𝛽𝑐 𝑥 = 𝑚
𝑣 𝛽𝑐 = 𝑣 𝑐 𝛽𝑐
𝑑𝑥 𝑑𝑥
Turunan dari kecepatan dapat dijabarkan sebagai berikut
Simbol Christoffel dapat dijabarkan sebagai berikut
𝑑𝑣 𝑑 𝜕𝑟 𝜇
𝑎= = 𝑥
𝑑𝑡 𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝜇
𝑑 𝜕𝑟 𝜇 𝑑 𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝑑 𝜇 𝑑 𝜕𝑟 𝜕𝑟
𝜇
𝑥 = 𝑥𝜇 𝜇
+ 𝜇 𝑥 = 𝑥𝜇 𝜇
+ 𝜇 𝑥𝜇
𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝑑𝑡 𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝜕𝑥
𝑑 𝜕𝑟 𝑑𝛽𝜇
𝑥𝜇 𝛽𝜇 + 𝜇 𝑥 𝜇 = 𝑥 𝜇 𝑥 𝑚 𝑚 + 𝛽𝜇 𝑥 𝜇
𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝑑𝑥
= 𝑥 𝑥 Γμm 𝛽𝑠 + 𝛽𝜇 𝑥 𝜇
𝜇 𝑚 s

𝑥 𝜇 𝑥 𝑚 Γmμ
s
𝛽𝑠 + 𝛽𝜇 𝑥 𝜇 = 𝑥 𝜇 𝑥 𝑚 Γμm
s
+ 𝑥 𝑠 𝛽𝑠 = 𝑎 𝑠 𝛽𝑠 = 𝑎
Dengan
s
𝑑𝛽𝜇 𝑑 𝑑𝜉 𝑐
Γμ𝑣 𝛽𝑠 = 𝑣 = 𝑣
𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝜇
s λ λ
𝑑𝑥 λ 𝑑 𝑑𝜉 𝑐
Γμ𝑣 𝛽𝑠 ∙ 𝛽 = Γμ𝑣 = 𝑐 𝑣
𝑑𝜉 𝑑𝑥 𝑑𝑥 𝜇
Maka dapat dijabarkan bahwa saat pada kerangka K
λ
𝜕𝑥 λ 𝜕 2 𝜉 𝑐
Γμv = 𝑐 𝜇 𝑣
𝜕𝜉 𝜕𝑥 𝜕𝑥
Sedangkan pada kerangka K’

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 28


λ
𝜕𝑥 λ 𝜕 2 𝜉 𝑐
Γμv = 𝑐 𝜇 𝑣
𝜕𝜉 𝜕𝑥 𝜕𝑥
Syarat sebuah tensor adalah adanya keseragaman seperti di bawah
λ
𝜕𝑥 λ 𝜕𝑥 d 𝜕𝑥 e c
Γμv = 𝑐 μ v Γde
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥
Tetapi bentuk penjabaran dari
λ
𝜕𝑥 λ 𝜕 2 𝜉 𝑐 𝜕𝑥 λ 𝜕𝑥 𝑑 𝜕 2 𝜉 𝑐 𝜕𝑥 λ 𝜕𝑥 𝑑 𝜕 𝜕𝜉 𝑐
Γμv = 𝑐 𝜇 𝑣= 𝑑 𝑐 =
𝜕𝜉 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝜉 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑣 𝜕𝑥 𝑑 𝜕𝜉 𝑐 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑣
λ
𝜕𝑥 λ 𝜕𝑥 𝑑 𝜕 𝜕𝜉 𝑐 𝜕𝑥 𝑚
Γμv = 𝑑 𝑐 𝜇
𝜕𝑥 𝜕𝜉 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑣
𝜕𝑥 λ 𝜕𝑥 𝑑 𝜕 𝜕𝜉 𝑐 𝜕𝑥 𝑚
= 𝑑 𝑐
𝜕𝑥 𝜕𝜉 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑣
𝜕𝑥 λ 𝜕𝑥 𝑑 𝜕𝜉 𝑐 𝜕 𝜕𝑥 𝑚
+ 𝑑 𝑐 𝑚
𝜕𝑥 𝜕𝜉 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑣
λ
𝜕𝑥 λ 𝜕𝑥 𝑑 𝜕𝑥 𝑠 𝜕 𝜕𝜉 𝑐 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 λ 𝜕𝑥 𝑑 𝜕 𝜕𝑥 𝑚
Γμv = 𝑑 𝑐 +
𝜕𝑥 𝜕𝜉 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑠 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑣 𝜕𝑥 𝑑 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑣
𝜕𝑥 λ 𝜕𝑥 𝑠 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑑 𝜕 𝜕𝜉 𝑐
= 𝑑 𝜇
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝑣 𝜕𝜉 𝑐 𝜕𝑥 𝑠 𝜕𝑥 𝑚
𝜕𝑥 λ 𝜕 𝜕𝑥 𝑚
+ 𝑚
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑣
𝜕𝑥 λ 𝜕𝑥 𝑠 𝜕𝑥 𝑚 d 𝜕𝑥 λ 𝜕 𝜕𝑥 𝑚
= 𝑑 𝜇 Γ +
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝑣 sm 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑣
Sehingga simbol christoffel bukanlah tensor. Sifat dari koneksi ini
adalah simetri pada bagian kovarian.
s s
1
Γμm = Γmμ = 𝑔 𝑠𝑐 𝑑𝑚 𝑔μc + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ
2
𝑑𝑚 𝑔μc = 𝑑𝑚 𝛽μ . 𝛽c = 𝛽μ . 𝜕𝑚 𝛽c + 𝛽c . 𝜕𝑚 𝛽μ
𝑑μ 𝑔cm = 𝛽c . 𝜕μ 𝛽m + 𝛽m . 𝜕μ 𝛽c
−𝑑𝑐 𝑔mμ = −𝛽m . 𝜕𝑐 𝛽μ − 𝛽μ . 𝜕𝑐 𝛽m

Dengan menjumlahkan persamaan di atas, maka

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 29


𝑑𝑚 𝑔μc + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = 𝛽c . 𝜕𝑚 𝛽μ + 𝛽c . 𝜕μ 𝛽m
1
𝑑 𝑔 + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = 𝛽c . 𝜕𝑚 𝛽μ
2 𝑚 μc
1
𝑑 𝑔 + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = 𝛽c . Γmd μ 𝛽d
2 𝑚 μc
1 d
𝑑 𝑔 + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = 𝑚μ, c = Γmμ 𝑔cd
2 𝑚 μc
1 𝑠𝑐 d
𝑔 𝑑𝑚 𝑔μc + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = Γmμ 𝑔cd 𝑔 𝑠𝑐
2
1 𝑠𝑐
𝑔 𝑑𝑚 𝑔μc + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = Γmμ d
δsd = Γmμs
2
2.12. Divergensi dari Vektor
𝑗 1
𝛁y = ∇i 𝑦 𝑗 + Γ𝑖𝑘 𝑦 𝑘 = ∂i y j + 𝑔 𝑗𝑠 (𝜕𝑖 𝑔𝑘𝑠 + 𝜕𝑘 𝑔𝑠𝑖 − 𝜕𝑠 𝑔𝑖𝑘 )𝑦 𝑘
2
1
𝛁 ∙ y = ∇i 𝑦 𝑖 + Γ𝑖𝑘𝑖 𝑦 𝑘 = ∇i y i + 𝑔𝑖𝑠 (𝜕𝑖 𝑔𝑘𝑠 + 𝜕𝑘 𝑔𝑠𝑖 − 𝜕𝑠 𝑔𝑖𝑘 )𝑦 𝑘
2
1
𝛁 ∙ y = ∇i y i + 𝑔𝑖𝑠 𝜕𝑖 𝑔𝑘𝑠 + 𝑔𝑖𝑠 𝜕𝑘 𝑔𝑠𝑖 − 𝑔𝑖𝑠 𝜕𝑖 𝑔𝑠𝑘 𝑦 𝑘
2
1 ∂i y i 1 𝑦𝑘
= ∂i y i + 𝑔𝑖𝑠 𝜕𝑘 𝑔𝑠𝑖 𝑦 𝑘 = + 𝑔𝑖𝑠 𝜕𝑘 𝑔𝑠𝑖
2 𝑕(𝑖) 2 𝑕(𝑘)
Dapat dituliskan dalam bentuk lain
1 1 𝑖
𝛁 ∙ y = ∇i 𝑦 𝑖 + Γ𝑖𝑘𝑖 𝑦 𝑘 = 𝛻𝑖 y(i) + Γ y
𝑕𝑖 𝑕 𝑘 𝑖𝑘 (k)

2.13. Gradient dari Vektor


d𝑖 𝐴𝑗 = ∇𝑖 𝐴𝑗 − Γ𝑖𝑗𝑘 𝐴𝑘
2.14. Divergensi dari Tensor

𝑗
d𝑖 𝑇𝑗𝑚 = ∇𝑖 𝑇𝑗𝑚 + Γ𝑖𝑎 𝑇 𝑎𝑚 + Γ𝑖𝑎𝑚 𝑇𝑗𝑎
𝛁 ∙ T = d𝑖 𝑇 𝑖𝑚 = ∇𝑖 𝑇 𝑖𝑚 + Γ𝑖𝑎𝑖 𝑇 𝑎𝑚 + Γ𝑖𝑎𝑚 𝑇 𝑖𝑎
1 1 1
= ∇𝑖 𝑇 𝑖𝑚 + Γ𝑖𝑎𝑖 𝑇 𝑎𝑚 + Γ𝑚 𝑇
𝑕(𝑖) 𝑕(𝑚 ) 𝑕(𝑎) 𝑕(𝑚 ) 𝑕(𝑎) 𝑕(𝑖) 𝑖𝑎 𝑖𝑎
2.15. Curl dari Vektor

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 30


Dapat didefinisikan bahwa curl suatu vektor adalah
𝛁 × 𝑨 = d𝑖 𝐴𝑗 − d𝑗 𝐴𝑖 = ∇𝑖 𝐴𝑗 − Γ𝑖𝑗𝑘 𝐴𝑘 − ∇𝑗 𝐴𝑖 − Γ𝑗𝑖𝑘 𝐴𝑘 = ∇𝑖 𝐴𝑗 − ∇𝑗 𝐴𝑖

2.16. Laplacian Vektor


𝛻2𝑨 = 𝛁 𝛁 ∙ 𝐀 − 𝛁 × 𝛁 × 𝑨
𝛁 𝛁 ∙ 𝐀 = 𝛻2 𝑨 + 𝛁 × 𝛁 × 𝑨
atau
𝑗
𝐴𝑖,𝑗 = 𝑔 𝑗𝑘 𝐴𝑖,𝑗 = 𝑔 𝑗𝑘 ,𝑘
𝐴𝑖,𝑗 + 𝑔 𝑗𝑘 𝐴𝑖,𝑗
,𝑘 ,𝑘
2.17. Gradient dari Divergensi Vektor
𝑗
𝛁 𝛁 ∙ 𝐀 = 𝐴𝑗 ,𝑖
2.18. Laplacian Skalar

Laplacian skalar didefinisikan sebagai


𝛻 2 𝑓 = 𝛁 ∙ 𝛁𝑓 = 𝛁 ∙ 𝐲
1 1 𝑖
𝛁 ∙ 𝐲 = ∇i 𝑦 𝑖 + Γ𝑖𝑘𝑖 𝑦 𝑘 = 𝛻𝑖 y(i) + Γ y
𝑕𝑖 𝑕 𝑘 𝑖𝑘 (k)
Sehingga dapat dituliskan sebagai
1 1 𝑖
𝛁 ∙ 𝛁𝑓 = 𝛻𝑖 𝛻 𝑖 𝑓 + 𝛤𝑖𝑘𝑖 𝛻𝑘 𝑓 = 𝛻𝑖 𝛻(i) 𝑓 + Γ 𝛻 𝑓
𝑕𝑖 𝑕 𝑘 𝑖𝑘 (k)

2.19. Koneksi Levi-Civita

Sebuah koneksi Affine ∇ disebut simetri jika komutator


𝑋, 𝑌 = ∇X Y − ∇Y X = − 𝑌, 𝑋 = 0 ( komutatif dan simetri) untuk
simetri pada 𝑋, 𝑌, 𝑍 ∈ 𝔛(𝑀). Didefinisikan sebuah tensor Torsi pada
∇ adalah 𝑇: 𝔛 𝑀 × 𝔛 𝑀 → 𝔛 𝑀 yang memetakan (X,Y) →
𝑇 𝑋, 𝑌 ≔ ∇X Y − ∇Y X − 𝑋, 𝑌 . Sifat tensor T adalah 𝐶 ∞ (𝑀)-linear
serta antisimetri. Jika produk skalar pada koneksi Affine kompatibel
dengan metrik g yaitu mengikuti 𝑋, 𝑌 = ∇X Y + ∇Y X. Diberikan
sebuah keragaman Riemannian (𝑀, 𝑔) dan terdapat suatu koneksi
Affine ∇pada keragaman M yang simetri ( mengikuti kurung Lie)

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 31


dan kompatibel dengan 𝑔. Bentuk koneksi antara koneksi Affine dan
metrik 𝑔 dapat dihubungkan dengan koneksi Levi-Civita.
Syarat bahwa ∇ compatibel dengan metrik 𝑔 adalah

𝑋 𝑔 𝑌, 𝑍 = 𝑔 ∇X Y, Z + g Y, ∇X Z
𝑋 Y, Z = ∇X Y, Z + 𝑌, ∇X Z
∇X Y, Z = 𝑋 Y, Z − 𝑌, ∇X Z = 𝑋 Y, Z − 𝑌, 𝑋, 𝑍 + ∇Z X
∇X Y, Z = 𝑋 Y, Z − 𝑌, 𝑋, 𝑍 + ∇Z X … (𝑎)
Lakukan hal yang sama
∇Y Z, X = 𝑌 Z, X − 𝑍, 𝑌, 𝑋 + ∇X Y … (𝑏)
− ∇Z X, Y = −𝑍 X, Y + 𝑋, 𝑍, 𝑌 − ∇Y Z … (𝑐)
Jumlahkan ketiga persamaan di atas, maka
∇X Y, Z + ∇Y Z, X − ∇Z X, Y
= 𝑋 Y, Z − 𝑌, 𝑋, 𝑍 + ∇Z X + 𝑌 Z, X
− 𝑍, 𝑌, 𝑋 + ∇X Y − 𝑍 X, Y + 𝑋, 𝑍, 𝑌 − ∇Y Z
∇X Y, Z + ∇Y Z, X − ∇Z X, Y
= 𝑋 Y, Z − 𝑌, 𝑋, 𝑍 + Y, ∇Z X + 𝑌 Z, X − 𝑍, 𝑌, 𝑋
+ 𝑍, ∇X Y − 𝑍 X, Y + 𝑋, 𝑍, 𝑌 − 𝑋, ∇Y Z
∇X Y, Z + ∇Y Z, X − ∇Z X, Y
= 𝑋 Y, Z − 𝑌, 𝑋, 𝑍 − ∇Z X, Y + 𝑌 Z, X − 𝑍, 𝑌, 𝑋
− ∇X Y, Z − 𝑍 X, Y + 𝑋, 𝑍, 𝑌 + ∇Y Z, X
2 ∇X Y, Z = 𝑋 Y, Z − 𝑌, 𝑋, 𝑍 + 𝑌 Z, X − 𝑍, 𝑌, 𝑋 − 𝑍 X, Y
+ 𝑋, 𝑍, 𝑌
1
∇X Y, Z = 𝑋 Y, Z + 𝑌 Z, X − 𝑍 X, Y − 𝑌, 𝑋, 𝑍 − 𝑍, 𝑌, 𝑋
2
+ 𝑋, 𝑍, 𝑌
1
∇X Y, Z = 𝑋 Y, Z + 𝑌 Z, X − 𝑍 X, Y − 𝑌, − 𝑍, 𝑋 − 𝑍, − 𝑋, 𝑌
2
+ 𝑋, − 𝑌, 𝑍
1
∇X Y, Z = 𝑋 Y, Z + 𝑌 Z, X − 𝑍 X, Y + 𝑌, 𝑍, 𝑋 + 𝑍, 𝑋, 𝑌
2
− 𝑋, 𝑌, 𝑍
Dengan menggunakan persamaan ∇X 𝑌 = X𝑌, serta
𝑋, 𝑌 = ∇X Y − ∇Y X dan 𝑋, 𝑌 = ∇X Y + ∇Y X, maka dapat dibuktikan

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 32


bahwa 𝑌, 𝑍, 𝑋 + 𝑍, 𝑋, 𝑌 − 𝑋, 𝑌, 𝑍 = 0, yang dikarenakan
𝑋, 𝑌, 𝑍 ∈ 𝔛(𝑀) dan ∇ simetri ( Hilgert, 2010), sehingga
1
∇X Y, Z = 𝑋 Y, Z + 𝑌 Z, X − 𝑍 X, Y
2
1
= 𝑑𝑋 𝛽Y , 𝛽Z + 𝑑𝑌 𝛽Z , 𝛽X − 𝑑𝑍 𝛽X , 𝛽Y
2
1
XY, Z = 𝑑𝑋 𝑔YZ + 𝑑Y 𝑔ZX − 𝑑𝑍 𝑔XY
2
Penjabaran lain adalah

s s
1 𝑠𝑐
Γμm = Γmμ = 𝑔 𝑑𝑚 𝑔μc + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ
2
𝑑𝑚 𝑔μc = 𝑑𝑚 𝛽μ . 𝛽c = 𝛽μ . 𝜕𝑚 𝛽c + 𝛽c . 𝜕𝑚 𝛽μ
𝑑μ 𝑔cm = 𝛽c . 𝜕μ 𝛽m + 𝛽m . 𝜕μ 𝛽c
−𝑑𝑐 𝑔mμ = −𝛽m . 𝜕𝑐 𝛽μ − 𝛽μ . 𝜕𝑐 𝛽m
Dengan menjumlahkan persamaan di atas, maka didapatkan
𝑑𝑚 𝑔μc + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = 𝛽c . 𝜕𝑚 𝛽μ + 𝛽c . 𝜕μ 𝛽m
1
𝑑 𝑔 + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = 𝛽c . 𝜕𝑚 𝛽μ
2 𝑚 μc
1
𝑑 𝑔 + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = 𝛽c . Γmd μ 𝛽d
2 𝑚 μc
1 d
𝑑 𝑔 + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = Γmμ 𝑔cd
2 𝑚 μc
1 𝑠𝑐 d
𝑔 𝑑𝑚 𝑔μc + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = Γmμ 𝑔cd 𝑔 𝑠𝑐
2
1 𝑠𝑐
𝑔 𝑑𝑚 𝑔μc + 𝑑μ 𝑔cm − 𝑑𝑐 𝑔mμ = Γmμ d
δsd = Γmμs
2

2.20. Tensor Riemann

Jika diberikan bahwa 𝐴 ∈ 𝔵(𝑀) sehingga secara umum dapat


dituliskan bahwa ∇X ∇Y A − ∇Y ∇X A ≠ 0, maka untuk
H H
𝐴𝑛;𝑚 = 𝜕𝑚 𝐴𝑛 − Γmn 𝐴𝐻 = 𝐴𝑛,𝑚 − Γmn 𝐴𝐻 ≡ 𝑇𝑛𝑚
Dengan
ρ ρ
dμ 𝑇𝑛𝑚 = ∇μ 𝑇𝑛𝑚 − Γμn 𝑇ρm − Γμm 𝑇nρ
Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 33
dan
ρ ρ
dm 𝑇𝑛μ = ∇m 𝑇𝑛μ − Γmn 𝑇ρμ − Γmμ 𝑇nρ
Maka selisih dari kedua persamaan di atas dapat dituliskan
ρ ρ
dμ 𝑇𝑛𝑚 − dm 𝑇𝑛μ = ∇μ 𝑇𝑛𝑚 − Γμn 𝑇ρm − ∇m 𝑇𝑛μ + Γmn 𝑇ρμ
ρ ρ
dμ 𝑇𝑛𝑚 − dm 𝑇𝑛μ = ∇μ 𝑇𝑛𝑚 − ∇m 𝑇𝑛μ + Γmn 𝑇ρμ − Γμn 𝑇ρm
dμ 𝑇𝑛𝑚 − dm 𝑇𝑛μ
H H
= ∇μ 𝐴𝑛,𝑚 − Γmn 𝐴𝐻 − ∇m 𝐴𝑛,μ − Γμn 𝐴𝐻
ρ H ρH
+ Γmn 𝐴𝑝,μ − Γpμ 𝐴𝐻 − Γμn 𝐴𝑝,m − Γpm 𝐴𝐻
Jika diberikan sebuah keragaman Riemann ℝ𝑛 , 𝑔𝑒𝑢𝑐𝑙𝑖𝑑 , maka
∇∂ m ∂n = 0 untuk semua m,n dan 𝑀, μ = ∇M N − ∇N M = 0 dengan
𝑴 = ∂m , 𝑵 = ∂μ
∇∂ m 𝑵 = ∇∂ m ∂μ = M ∂μ + ∇∂ m ∂μ = 0
Maka
H H ρ H ρ H
dμ 𝑇𝑛𝑚 − dm 𝑇𝑛μ = ∇m Γμn 𝐴𝐻 − ∇μ Γmn 𝐴𝐻 + Γμn Γpm 𝐴𝐻 − Γmn Γpμ 𝐴𝐻
H H H ρ H ρ
= ∇m Γμn − ∇μ Γmn + Γμn Γpm − Γmn Γpμ 𝐴𝐻
H H ρH ρ H
∇m Γnμ − ∇μ Γnm + Γμn Γpm − Γmn Γpμ 𝐴𝐻 = dμ 𝑇𝑛𝑚 − dm 𝑇𝑛μ
H H ρH H ρ H
Γnμ,m − Γnm ,μ + Γnμ Γpm − Γnm Γpμ 𝐴𝐻 = R nμm 𝐴𝐻
ρ ρ
RHnμm = Γnμ,m
H H
− Γnm H H
,μ + Γnμ Γpm − Γnm Γpμ
Tensor Ricci dapat ditentukan sebagai
R nm = RHnHm
Besar skalar kelengkungan Besar skalar kelengkungan
𝑅 = 𝑔𝑛𝑚 R nm

Kesimpulan

Telah dijelaskan pada bab ini piranti matematika yang


mendukung penelitian, yaitu konsep vektor dan tensor dimulai
dari ruang topologi hingga deferensial geometri pada koordinat
lengkung dan ruang Riemannian sehingga teori kalkulus tensor
dapat diterapkan dalam pemodelan mekanis benang pada kasus
pemintalan.

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 34


Referensi

Clarke, D.A., 2011, A Primer on Tensor Calculus, Saint Mary’s


University, Halifax NS.

Hilgert dan Karl, 2010, Structure and Geometry of Lie Group,


Springer, New York.
Levrino, 2011, Elastic Continua as Seen from Cosmology, Thesis,
Politecnico Di Torino, Turin.

Mal, A.K., & Sarva,1991, Deformation of Elastic Solid, Prentice Hall,


Inc, New Jersey.

Margenau, H., 1956, The Mathematics of Physics and Chemistry,


East-West Press Private Ltd. New Delhi.

Moore, E.N., 1934, Theoretical Mechanics, John Wiley &Sons, New


York.

Waner, 2005, Introduction to Differential Geometry & General


Relativity, Department of Mathematics and Physics, Hofstra
University, New York.

Bab.2 Vektor dan Tensor Hal. 35


BAB 3
PERGERAKAN BENANG PADA ROTOR

Abstrak
Pada bab ini dibahas pemodelan gerakan benang pada
rotor serta besar tenacity take-off yang diijinkan pada
proses pemintalan benang yang dipengaruhi oleh
kecepatan putar rotor pada rotor groove serta pengaruh
diameter rotor. Pada bab ini digunakan piranti matematika
pada bab 2 yaitu kalkulus tensor.

3.1. Persamaan Penting pada Kasus Koordinat Polar

Beberapa peneliti yang berkecimpung dalam pemodelan


pergerakan ebnang serta struktur internal benang adalah Backer,
Hearle dan Grosberg (1969), Hearle, dkk. (1965), Rohlena (1975),
Lawrence (2003), Lawrence (2010),Putra (2014), Putra dan Iskandar
(2014), Putra VGV dkk. (2015 dan 2016) dan Zeidman (2003) .
Pada bab ini dianalisa pergerakan benang pada rotor berjejari
𝑅 = 𝑟 dengan menggunakan koordinat polar. Benang berputar pada
rotor dengan suatu kecepatan 𝜃 dan ditarik oleh suatu gaya take-off
𝐹𝑜 . Benang bermassa m mengalami dua buah gaya, yaitu gaya
internal (deformasi) dan eksternal. Gaya internal diakibatkan
adanya deformasi pada benang, sedangkan gaya eksternal
diakibatkan adanya tarikan oleh gaya take-off (spinning tension).
Gambar-1 memperlihatkan pergerakan benang pada rotor.

Gambar-1 Pergerakan Benang pada Rotor


36
Untuk menjabarkan bentuk persamaan gerak benang pada rotor dan
menghitung besar gaya take-off yang dibutuhkan, maka dapat
dilakukan transformasi koordinat dari koordinat kartesian ke
koordinat polar yang dirumuskan sebagai berikut

𝑆 = 𝑥, 𝑦 = (𝑟 𝑐𝑜𝑠𝜃, 𝑟 𝑠𝑖𝑛𝜃 ) (1)

Maka Transformsi vektor dari koordinat 𝑥𝑡 ∈ ℜ𝑡 ke koordinat


𝑥𝑜 ∈ ℜ𝑜 adalah sebagai berikut

~ dx 1 dx 2 dx dy (2)
1  ~ 1 1  ~ 1  2  i  j
dx dx dr dr
~
1  cos  .i  sin  . j (3)
~ dx 1 dx 2 dx dy
 2  ~ 2 1  ~ 2  2  i j
dx dx d d (4)
~
 2  r sin  .i  r cos  . j (5)

Besar vektor satuan dapat ditentukan sebagai berikut 𝑢(𝑖) =


1
βi (Margenau (1956) dan Clarke(2011))dengan indeks 𝑖 tidak
𝑔 𝑖𝑖
dijumlahkan.

𝛽1 𝑔11 𝑟 𝑐𝑜𝑠𝜃 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑖


= = (7)
𝛽2 𝑔22 𝜃 −𝑟𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑟𝑐𝑜𝑠𝜃 𝑗
𝑟 𝑐𝑜𝑠𝜃 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑖
=
𝜃 −𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑐𝑜𝑠𝜃 𝑗 (8)

Besar kuadrat elemen panjang dan tensor metrik dapat ditentukan


sebagai berikut

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 37


𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑓
𝑑𝑠 = 𝜇 ∙ 𝑚 𝑑𝑥 𝑑𝑥 = 𝜇 𝛽𝑘 ∙ 𝑚 𝛽𝑓 𝑑𝑥 𝜇 𝑑𝑥 𝑚
2 𝜇 𝑚
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥
𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑓
= 𝜇 𝑚 𝑔𝑘𝑓 𝑑𝑥 𝜇 𝑑𝑥 𝑚 = 𝑔𝑘𝑓 𝑑𝑥 𝜇 𝑑𝑥 𝑚
𝜕𝑥 𝜕𝑥 (9)
1 0 (10)
𝑔𝑘𝑓 = 2
0 𝑟
Tensor metrik pada koordinat lengkung adalah tensor dengan
pemetaan C2 diffeomorphism (differensiabel, inversibel, kontinu dan
bijektif) serta 𝑔𝑖𝑗 adalah positive definite. Dengan pemetaan C2
diffeomorphism maka tensor metrik 𝑔𝑖𝑗 memiliki invers metrik
𝑔𝑖𝑗 = 𝑔𝑖𝑗 −1 pada koordinat datar tensor metrik dapat dituliskan
sebagai 𝛿 𝑖𝑗 = 𝛿𝑖𝑗 −1 . Sifat dari tensor metrik pada koordinat datar
adalah inversibel, kontinu, bijektif dan differensiabel.

−1 1 𝑟2 0 = 1 0
𝑔𝑘𝑓 = 𝑔𝑘𝑓 =
𝑟2 0 1 0 𝑟 −2 (11)

Panjang kuadrat elemen garis adalah


𝑑𝑠 2 = 𝑔𝑘𝑓 𝑑𝑥 𝑘 𝑑𝑥 𝑓 = 𝑔1𝑓 𝑑𝑥1 𝑑𝑥 𝑓 + 𝑔2𝑓 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 𝑓
= 𝑔11 𝑑𝑥1 𝑑𝑥1 + 𝑔21 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥1
+ 𝑔12 𝑑𝑥 1 𝑑𝑥 2 + 𝑔22 𝑑𝑥 2 𝑑𝑥 2 (12)
𝑑𝑠 2 = 𝑔𝑘𝑓 𝑑𝑥 𝜇 𝑑𝑥 𝑚 = 𝑑𝑟 + 𝑟 2 𝑑𝜃 2 (13)

Besar nabla dapat ditentukan menggunakan


𝛁 = βm ∇m = g mn βn ∇m (14)
𝛁 = g mn 𝑣 un ∇m (15)
Dengan 𝑣 adalah suatu besaran skalar dengan besar g nn .
Besar gradient atau kemiringan dari skalar adalah
𝜵𝑓 = 𝑔𝑚𝑛 𝑣 𝑢𝑛 𝛻𝑚 𝑓 = 𝑔𝑖𝑗 𝑔𝑖𝑖 𝑢(𝑖) 𝛻𝑖 𝑓𝜵
= 𝑔11 𝛻1 + 𝑔21 𝛻2 𝑓 𝑔11 𝑢(1)
+ 𝑔12 𝛻1 + 𝑔22 𝛻2 𝑓 𝑔22 𝑢(2)
(16)

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 38


𝜵𝑓 = 𝑔11 𝛻1 𝑓 𝑔11 𝑢(1) + 𝑔22 𝛻2 𝑓 𝑔22 𝑢(2)
1 (17)
= 𝛻𝑟 𝑓𝑟 + 𝛻𝜃 𝑓𝜃
𝑟

Divergensi dari vektor adalah


1
𝛁 ∙ y = ∇i 𝑦 𝑖 + Γ𝑖𝑘𝑖 𝑦 𝑘 = ∇i y i + 𝑔𝑖𝑠 (𝜕𝑖 𝑔𝑘𝑠 + 𝜕𝑘 𝑔𝑠𝑖 − 𝜕𝑠 𝑔𝑖𝑘 )𝑦 𝑘
2
1
𝛁 ∙ y = ∇i y i + 𝑔𝑖𝑠 𝜕𝑖 𝑔𝑘𝑠 + 𝑔𝑖𝑠 𝜕𝑘 𝑔𝑠𝑖 − 𝑔𝑖𝑠 𝜕𝑖 𝑔𝑠𝑘 𝑦 𝑘
2
1 ∂i y i 1 𝑦𝑘
= ∂i y i + 𝑔𝑖𝑠 𝜕𝑘 𝑔𝑠𝑖 𝑦 𝑘 = + 𝑔𝑖𝑠 𝜕𝑘 𝑔𝑠𝑖
2 𝑕(𝑖) 2 𝑕(𝑘)
Sehingga
1
𝛁 ∙ y = ∇1 y1 + ∇2 y 2 + 𝑔22 𝜕1 𝑔22 𝑦 1
2
y𝜃 1 (18)
= 𝛻𝑟 y(r) + 𝛻𝜃 + y(r)
𝑟 𝑟
1 1 1 1
𝛁 ∙ y = 𝛻𝑟 y(r) + 𝛻𝜃 y 𝜃 + y(r) = 𝛻𝑟 𝑟y(r) + 𝛻𝜃 y 𝜃
𝑟 𝑟 𝑟 𝑟 (19)
Dapat pula dikerjakan dengan menggunakan notasi dyadic. Menurut
Mal, A.K dan Sarva (1991) penulisan notasi dengan dyadic dapat
dituliskan 𝐲 = y(r) 𝑟 + y(𝜃) 𝜃 , maka
𝜕 1 𝜕 (20)
𝛁𝐲 = 𝑟+ 𝜃 y(r) 𝑟 + y(𝜃) 𝜃
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃
𝜕 1 𝜕 (21)
𝛁𝐲 = y(r) 𝑟 + y(𝜃) 𝜃 𝑟 + y 𝑟 + y(𝜃) 𝜃 𝜃
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 (r)
𝜕 𝜕
𝛁𝐲 = 𝑟𝑟 y(r) + 𝑟𝜃 y(𝜃)
𝜕𝑟 𝜕𝑟
1 𝜕 1 𝜕 𝜕𝑟
+ y(r) 𝑟𝜃 + y(𝜃) 𝜃𝜃 + y(r) 𝑟
𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝜕𝜃 𝜕𝑟
𝜕𝜃 1 𝜕 1 𝜕
+ y(𝜃) 𝑟 + y(r) 𝜃 𝑟 + y(𝜃) 𝜃 𝜃
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝜕𝜃 (22)
dengan menggunakan persamaan (8) didapatkan bahwa
𝜕𝑟 (23)
= −𝑠𝑖𝑛𝜃𝑖 + 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑗
𝜕𝜃

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 39


𝜕𝜃 (24)
= −𝑐𝑜𝑠𝜃𝑖 − 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑗 = − 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑖 + 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑗
𝜕𝜃
Dengan melakukan invers matrik persamaan (8)
didapatkan bahwa (25)
𝑟 𝑐𝑜𝑠𝜃 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑖
=
𝜃 −𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑐𝑜𝑠𝜃 𝑗 (26)
𝑟 𝑎 𝑏 𝑖
=
𝜃 𝑐 𝑑 𝑗
𝑖 1 𝑑 −𝑏 𝑟
= (27)
𝑗 𝑎𝑑 − 𝑏𝑐 −𝑐 𝑎 𝜃
𝑖 𝑐𝑜𝑠𝜃 −𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑟
= = 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑟 − 𝑠𝑖𝑛𝜃𝜃
𝑗 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑐𝑜𝑠𝜃 𝜃 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑟 + 𝑐𝑜𝑠𝜃𝜃
Sehingga
𝜕𝑟 𝜕𝜃
= =0
𝜕𝑟 𝜕𝑟
𝜕𝑟 𝜕
= 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑖 + 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑗 = −𝑠𝑖𝑛𝜃𝑖 + 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑗 (28)
𝜕𝜃 𝜕𝜃
= −𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑟 − 𝑠𝑖𝑛𝜃𝜃
+ 𝑐𝑜𝑠𝜃 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑟 + 𝑐𝑜𝑠𝜃𝜃 = 𝜃
𝜕𝜃
= −𝑐𝑜𝑠𝜃𝑖 − 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑗
𝜕𝜃
= −𝑐𝑜𝑠𝜃 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑟 − 𝑠𝑖𝑛𝜃𝜃 (29)
− 𝑠𝑖𝑛𝜃 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑟 + 𝑐𝑜𝑠𝜃𝜃 = −𝑟
𝜕 𝜕
𝛁𝐲 = 𝑟𝑟 y(r) + 𝑟𝜃 y(𝜃)
𝜕𝑟 𝜕𝑟
1 𝜕 1 𝜕 𝜕𝑟
+ y(r) 𝑟𝜃 + y(𝜃) 𝜃𝜃 + y(r) 𝑟
𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝜕𝜃 𝜕𝑟
𝜕𝜃 1 𝜕 1 𝜕
+ y(𝜃) 𝑟 + y(r) 𝜃 𝑟 + y(𝜃) 𝜃 𝜃
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝜕𝜃 (30)
𝜕 1 𝜕 1
𝛁. 𝐲 = 𝑟𝑟 y(r) + y(𝜃) 𝜃𝜃 + y(r) 𝜃 𝜃
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 (31)
Sehingga didapatkan bahwa

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 40


y𝜃 1
𝛁 ∙ 𝐲 = 𝛻𝑟 y(r) + 𝛻𝜃 + y(r)
𝑟 𝑟 (32)

Divergensi dari Tensor

Untuk komponen sepanjang sumbu-r didapatkan bahwa


𝛁 ∙ 𝑇 = d𝑖 𝑇 𝑖𝑚 = T𝑖 𝑖𝑚 (34)
d𝑖 𝑇 𝑖1 = ∇𝑖 𝑇 𝑖1 + Γ𝑖𝑎𝑖 𝑇 𝑎1 + Γ𝑖𝑎1 𝑇 𝑖𝑎
d𝑖 𝑇 𝑖1 = ∇𝑖 𝑇 𝑖1 + Γ𝑖𝑎𝑖 𝑇 𝑎1 + Γ𝑖𝑎1 𝑇 𝑖𝑎 (35)
1 𝑎1 1 1𝑎 2 𝑎1
= ∇1 𝑇 11 + Γ1𝑎 𝑇 + Γ1𝑎 𝑇 + ∇2 𝑇 21 + Γ2𝑎 𝑇
1 2𝑎
+ Γ2𝑎 𝑇
11 11
d1 𝑇 = ∇1 𝑇 + Γ11 1 11
𝑇 + Γ11 1 11
𝑇 + ∇2 𝑇 21 + Γ21 2 11 1 21
𝑇 + Γ21 𝑇 (36)
1 21 1 12 2 21 1 22
+ Γ12 𝑇 + Γ12 𝑇 + Γ22 𝑇 + Γ22 𝑇
2 11 1 22 (37)
d1 𝑇 = ∇1 𝑇 11 + ∇2 𝑇 21 + Γ21
11
𝑇 + Γ22 𝑇
𝑟𝑟 𝜃𝑟
𝜕𝑇 𝜕𝑇 1
d1 𝑇 11 = + + 𝑇 𝑟𝑟 − 𝑟𝑇 𝜃𝜃 (38)
𝜕𝑟 𝜕𝜃 𝑟
𝜕𝑇(𝑟𝑟 ) 1 𝜕𝑇(𝜃𝑟 ) 1 𝑟
= + + 𝑇(𝑟𝑟 ) − 2 𝑇(𝜃𝜃 )
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝑟
(39)
𝜕𝑇(𝑟𝑟 ) 1 𝜕𝑇(𝜃𝑟 ) 1 1
d1 𝑇 11 = + + 𝑇(𝑟𝑟 ) − 𝑇(𝜃𝜃 )
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝑟 (40)
𝜕𝑇 𝑟𝑟 1 𝜕𝑇 𝜃𝑟 1
d1 𝑇 11 = + + 𝑇 𝑟𝑟 − 𝑇 𝜃𝜃
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 (41)
Dengan cara yang sama didapatkan bahwa
𝜕𝑇 𝑟𝜃 1 𝜕𝑇 𝜃𝜃 2
d2 𝑇 22 = + + 𝑇 𝑟𝜃 (42)
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟
Bentuk di atas didapatkan dengan mengingat bahwa
𝑨𝒊 𝑨𝒊
𝑨𝒊 = =
𝑕𝑖 𝑔𝑖𝑖
𝑻 𝒊𝒋 𝑻 𝒊𝒋
𝑻𝒊𝒋 = =
𝑕𝑖 𝑕𝑗 𝑔𝑖𝑖 𝑔𝑗𝑗
Untuk menentukan divergensi dari tensor pada sumbu-r dengan
menggunakan notasi dyadic dapat dikerjakan sebagai berikut. Dalam

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 41


bentuk vektor, maka divergensi dari sebuah vektor pada koordinat
polar adalah sebagai berikut
y 𝜃 1
𝛁 ∙ 𝐲 = 𝛻𝑟 y(r) + 𝛻𝜃 + 𝑟 y(r) (43)
𝑟
Pada koordinat bola, divergensi dari tensor dapat dijabarkan sebagai
berikut
1 1
𝛁 ∙ 𝐭 = 𝛻𝑟 𝐭 (𝐫) + 𝛻𝜃 𝐭 𝜽 + 𝐭 (𝐫) (44)
𝑟 𝑟

𝒕(𝒓) 𝑇 𝑟𝑟 𝑇 𝑟𝜃 𝑟 𝑟𝑟 𝑟𝜃 𝑟
Dengan nilai 𝐭 = = 𝑇𝜃𝑟 𝑇𝜃𝜃
𝜽 𝑇 𝜃𝑟 𝑇 𝜃𝜃 𝜃 𝑇 𝑇 𝜃
Dengan perhitungan lebih lanjut didapatkan bahwa

𝜕𝑇 𝑟𝑟 1 𝜕𝑇 𝜃𝑟 1
𝛁∙𝐭= + + 𝑇 𝑟𝑟 − 𝑇 𝜃𝜃
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟
Nilai koneksi affine
1
Γ1 11 = g11 𝑑 𝑔 + 𝑑1 𝑔11 − 𝑑1 𝑔11 = 0
2 1 11
1
Γ1 12 = Γ1 21 = g11 𝑑1 𝑔21 + 𝑑2 𝑔11 − 𝑑1 𝑔12 = 0
2
1
Γ1 22 = g11 𝑑2 𝑔21 + 𝑑2 𝑔12 − 𝑑1 𝑔22 = −𝑟
2
1
𝛤 2 11 = 𝑔22 𝑑1 𝑔12 + 𝑑1 𝑔21 − 𝑑1 𝑔11 = 0
2
1 1
𝛤 2 12 = 𝛤 2 21 = 𝑔22 𝑑1 𝑔22 + 𝑑2 𝑔21 − 𝑑1 𝑔12 =
2 𝑟
1
𝛤 2 22 = g 22 𝑑2 𝑔22 + 𝑑2 𝑔22 − 𝑑2 𝑔22 = 0
2

Untuk menentukan persamaan gerak dapat digunakan

𝑑𝑣 𝑑 𝜕𝑟 𝜇
𝑎= = 𝑥
𝑑𝑡 𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝜇

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 42


𝑑 𝜕𝑟 𝜇 𝑑 𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝑑 𝜇
𝜇
𝑥 = 𝑥𝜇 𝜇
+ 𝜇 𝑥
𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝑑𝑡
𝑑 𝜕𝑟 𝜕𝑟
= 𝑥𝜇 + 𝑥𝜇
𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝜇
𝑑 𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝑑
𝑥𝜇 + 𝜇 𝑥𝜇 = 𝑥𝜇 𝛽 + 𝛽𝜇 𝑥 𝜇
𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝜇 𝜕𝑥 𝑑𝑡 𝜇
𝑑 𝜕𝑟 𝑑𝛽𝜇
𝑥𝜇 𝛽𝜇 + 𝜇 𝑥 𝜇 = 𝑥 𝜇 𝑥 𝑚 𝑚 + 𝛽𝜇 𝑥 𝜇
𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝑑𝑥
= 𝑥 𝑥 Γμm 𝛽𝑠 + 𝛽𝜇 𝑥 𝜇
𝜇 𝑚 s

𝑥 𝜇 𝑥 𝑚 Γmμ
s
𝛽𝑠 + 𝛽𝜇 𝑥 𝜇 = 𝑥 𝜇 𝑥 𝑚 Γμm
s
+ 𝑥 𝑠 𝛽𝑠 = 𝑎 𝑠 𝛽𝑠 = 𝑎
𝑑2 𝑥 𝑠 𝑠 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝛼 𝛽
+ Γ𝛼𝛽 = 𝑎𝑠
𝑑𝑡 2 𝑑𝑡 𝑑𝑡
Sehingga didapatkan bahwa
𝑑2 𝑥1 1 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝛼 𝛽
+ Γ𝛼𝛽 = 𝑎1
𝑑𝑡 2 𝑑𝑡 𝑑𝑡
𝑑2 𝑟
2
− 𝑟𝜃 2 = 𝑎𝑟 (45)
𝑑𝑡
𝑑2 𝑥 2 2 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝛼 𝛽
+ Γ𝛼𝛽 = 𝑎2
𝑑𝑡 2 𝑑𝑡 𝑑𝑡
𝑑2 𝜃 2
+ 𝜃𝑟 = 𝑎𝜃 (46)
𝑑𝑡 2 𝑟
Jika digunakan persamaan Cauchy, maka dapat dirumuskan
𝑖𝑗 𝑖 𝑖
𝜎 ,𝑗 + 𝑓 = 𝑚𝑎
Jika ditinjau pada sumbu r, maka bentuk persamaan gerak adalah
𝜎 11 ,1 + 𝑓 1 = 𝑚𝑎1
∇ ∙ 𝜎 + 𝒇 = 𝑚𝒂
𝜕𝜎 𝑟𝑟 1 𝜕𝜎 𝜃𝑟 1
+ + 𝜎 𝑟𝑟 − 𝜎 𝜃𝜃 + 𝑓(𝑟)
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟
= 𝑚𝑎 𝑟
𝜕𝜎 𝑟𝑟 1 𝜕𝜎 𝜃𝑟 1
+ + 𝜎 𝑟𝑟 − 𝜎 𝜃𝜃 + 𝑓(𝑟)
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟
𝑑2 𝑟 (47)
=𝑚 2
− 𝑟𝜃 2
𝑑𝑡

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 43


Tensor regangan dijabarkan sebagai berikut (48)
𝑑𝐿2 = 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑚 𝑑𝑥 𝑛
𝑑𝐿2 = 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑚 + 𝑑𝑢𝑚 𝑑𝑥 𝑛 + 𝑑𝑢𝑛 (49)
2 𝑚
𝜕𝑢𝑚 𝑘 𝑛
𝜕𝑢𝑛 𝑗
𝑑𝐿 = 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 + 𝑑𝑥 𝑑𝑥 + 𝑗 𝑑𝑥
𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 (50)
𝑛
𝜕𝑢
𝑑𝐿2 = 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑚 𝑑𝑥 𝑛 + 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑚 𝑑𝑥 𝑗
𝜕𝑥 𝑗
𝜕𝑢𝑚 𝑘 𝜕𝑢𝑚 𝑘 𝜕𝑢𝑛 𝑗 (51)
+ 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑛 𝑑𝑥 +𝑔 𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑗
𝜕𝑢𝑚 𝑗
𝑑𝐿2 = 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑚 𝑑𝑥 𝑛 + 𝑑𝑥 𝑚 𝑑𝑥
𝜕𝑥 𝑗
𝜕𝑢𝑛 𝜕𝑢𝑚 𝜕𝑢𝑛 𝑘 𝑗 (52)
+ 𝑑𝑥 𝑛 𝑘 𝑑𝑥 𝑘 +𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑗
𝜕𝑢𝑚 𝑚 𝑗 𝜕𝑢𝑛 𝑛 𝑘
𝑑𝐿2 ≈ 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑚 𝑑𝑥 𝑛 + 𝑑𝑥 𝑑𝑥 + 𝑘 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝜕𝑥 𝑗 𝜕𝑥
𝑚 𝑛
𝜕𝑢 𝜕𝑢 (53)
+ 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑘 𝑑𝑥 𝑗
𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑗
2 𝑚 𝑛
𝜕𝑢𝑚 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑗 𝜕𝑢𝑛
𝑑𝐿 ≈ 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑑𝑥 + + 𝑑𝑥 𝑛 𝑑𝑥 𝑘
𝜕𝑥 𝑗 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑛 𝜕𝑥 𝑘
𝜕𝑢𝑛 𝜕𝑢𝑛 𝑘 𝑗 (54)
+ 𝑘 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝑗
𝜕𝑢𝑚 𝑚 𝑗 𝜕𝑢𝑛
𝑑𝐿2 ≈ 𝑔𝑚𝑛 𝑑𝑥 𝑚 𝑑𝑥 𝑛 + 𝛿 𝛿 + 𝑑𝑥 𝑛 𝑑𝑥 𝑘
𝜕𝑥 𝑗 𝑘 𝑛 𝜕𝑥 𝑘
𝜕𝑢𝑛 𝜕𝑢𝑛 𝑘 𝑗 (55)
+ 𝑘 𝑑𝑥 𝑑𝑥
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝑗
2 2
𝜕𝑢𝑘 𝜕𝑢𝑗 𝜕𝑢𝑛 𝜕𝑢𝑛
𝑑𝐿 ≈ 𝑑𝐿 + + + 𝑑𝑥 𝑗 𝑑𝑥 𝑘
𝜕𝑥 𝑗 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑗 (56)
𝜕𝑢𝑘 𝜕𝑢𝑗 𝜕𝑢𝑛 𝜕𝑢𝑛
𝑑𝐿2 ≈ 𝑑𝐿2 + + + 𝑑𝑥 𝑗 𝑑𝑥 𝑘
𝜕𝑥 𝑗 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑗
= 𝑑𝐿2 + 2𝑒𝑘𝑗 𝑑𝑥 𝑘 𝑑𝑥 𝑗 (57)
𝑑𝐿2 − 𝑑𝐿2 = 2𝑒𝑘𝑗 𝑑𝑥 𝑘 𝑑𝑥 𝑗 (58)
Jika vektor pergeseran sangat kecil, maka
𝜕𝑢𝑘 𝜕𝑢𝑗 𝜕𝑢𝑛 𝜕𝑢𝑛 1 𝜕𝑢𝑘 𝜕𝑢𝑗 (59)
𝑒𝑘𝑗 = 𝑗
+ 𝑘+ 𝑘 𝑗
≈ +
𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 𝜕𝑥 2 𝜕𝑥 𝑗 𝜕𝑥 𝑘

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 44


Maka dapat dijabarkan bahwa
1 𝜕𝑢𝑘 𝜕𝑢𝑗 1
𝑒𝑘𝑗 ≈ + = 𝑢 + 𝑢𝑗 ,𝑘
2 𝜕𝑥 𝑗 𝜕𝑥 𝑘 2 𝑘,𝑗 (60)
1 1
𝒆 = 𝛁𝒖 + (𝛁𝒖)𝑇 = 𝛁𝒖 + 𝒖𝛁 = 𝛁𝒖
2 2 (61)
Dengan menggunakan persamaan (31) didapatkan bahwa
𝜕 𝜕 1 𝜕 1 𝜕
𝒆 = 𝛁𝐮 = 𝑟𝑟 u(r) + 𝑟𝜃 u(𝜃) + u(r) 𝑟𝜃 + u 𝜃𝜃
𝜕𝑟 𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝜕𝜃 (𝜃)
𝜕𝑟 𝜕𝜃
+ u(r) 𝑟 + u(𝜃) 𝑟
𝜕𝑟 𝜕𝑟
1 𝜕 1 𝜕
+ u(r) 𝜃 𝑟 + u(𝜃) 𝜃 𝜃 (62)
𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝜕𝜃
𝜕 1 𝜕 1 𝜕u(r) u(𝜃)
u(r) + −
𝜕𝑟 2 u(𝜃) 𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟
𝒆= (63)
1 𝜕u(𝜃) 1 𝜕u(r) u(𝜃) 1 𝜕u(𝜃) u(r)
+ − +
2 𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟

Hubungan antara tensor tegangan dan tensor regangan


𝜎 𝑖𝑗 = 𝐾 𝑖𝑗𝑘𝑚 𝑒𝑘𝑚
Pada keadaan isotrop dan seragam dapat dituliskan sebagai berikut
Martin (2005)
𝐾 𝑖𝑗𝑘𝑚 = 𝜆𝛿 𝑖𝑗 𝛿 𝑘𝑚 + 𝜇 𝛿 𝑖𝑘 𝛿 𝑗𝑚 + 𝛿 𝑖𝑚 𝛿 𝑗𝑘
Dengan 𝜆 adalah konstanta Lame dan 𝜇 modulus geser
𝜎 𝑖𝑗 = 𝜆𝛿 𝑖𝑗 𝛿 𝑘𝑚 𝑒𝑘𝑚 + 𝜇 𝛿 𝑖𝑘 𝛿 𝑗𝑚 + 𝛿 𝑖𝑚 𝛿 𝑗𝑘 𝑒𝑘𝑚
1
𝜎 𝑖𝑗 = 𝜆𝛿 𝑖𝑗 𝛿 𝑘𝑚 𝑢 + 𝑢𝑚 ,𝑘
2 𝑘,𝑚
1
+ 𝜇 𝛿 𝑖𝑘 𝛿 𝑗𝑚 + 𝛿 𝑖𝑚 𝛿 𝑗𝑘 𝑢 + 𝑢𝑚 ,𝑘
2 𝑘,𝑚
1 𝜕𝑢𝑘 𝜕𝑢𝑚
𝜎 𝑖𝑗 = 𝜆𝛿 𝑖𝑗 𝛿 𝑘𝑚 +
2 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑘
1 𝜕𝑢𝑘 𝜕𝑢𝑚
+ 𝜇 𝛿 𝑖𝑘 𝛿 𝑗𝑚 + 𝛿 𝑖𝑚 𝛿 𝑗𝑘 +
2 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑘

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 45


𝑖𝑗 𝑖𝑗
1 𝜕𝛿 𝑘𝑚 𝑢𝑘 𝜕𝛿 𝑘𝑚 𝑢𝑚
𝜎 = 𝜆𝛿 +
2 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑘
1 𝜕𝑢𝑘 𝜕𝑢𝑚
+ 𝜇 𝛿 𝑖𝑘 𝛿 𝑗𝑚 + 𝛿 𝑖𝑚 𝛿 𝑗𝑘 +
2 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑘
𝑖𝑗 𝑖𝑗
1 𝜕𝑢𝑚 𝜕𝑢𝑘
𝜎 = 𝜆𝛿 +
2 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑘
𝜇 𝜕𝑢𝑘
+ 𝛿 𝑖𝑘 𝛿 𝑗𝑚 + 𝛿 𝑖𝑚 𝛿 𝑗𝑘
2 𝜕𝑥 𝑚
𝜕𝑢𝑚
+ 𝛿 𝑖𝑘 𝛿 𝑗𝑚 + 𝛿 𝑖𝑚 𝛿 𝑗𝑘
𝜕𝑥 𝑘
1 𝜕𝑢𝑚 𝜕𝑢𝑘
𝜎 𝑖𝑗 = 𝜆𝛿 𝑖𝑗 +
2 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑘
𝜇 𝜕𝑢𝑖 𝜕𝑢 𝑗 𝜕𝑢 𝑗 𝜕𝑢𝑖
+ 𝛿 𝑗𝑚 + 𝛿 𝑖𝑚
+ 𝛿 𝑖𝑘
+ 𝛿 𝑗𝑘
2 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑘 𝜕𝑥 𝑘

𝑖𝑗 𝑖𝑗
1 𝜕𝑢𝑚 𝜕𝑢𝑘
𝜎 = 𝜆𝛿 +
2 𝜕𝑥 𝑚 𝜕𝑥 𝑘
𝜇 𝜕𝑢𝑖 𝜕𝑢 𝑗 𝜕𝑢 𝑗 𝜕𝑢𝑖
+ + + +
2 𝛿𝑗𝑚 𝜕𝑥 𝑚 𝛿𝑖𝑚 𝜕𝑥 𝑚 𝛿𝑖𝑘 𝜕𝑥 𝑘 𝛿𝑗𝑘 𝜕𝑥 𝑘

𝑖𝑗 𝑖𝑗
1 𝜕𝑢𝑚 𝜕𝑢𝑘 𝜇 𝜕𝑢𝑖 𝜕𝑢 𝑗 𝜕𝑢 𝑗 𝜕𝑢𝑖
𝜎 = 𝜆𝛿 𝑚
+ 𝑘 + + + +
2 𝜕𝑥 𝜕𝑥 2 𝜕𝑥𝑗 𝜕𝑥𝑖 𝜕𝑥𝑖 𝜕𝑥𝑗
𝜆 𝑚 𝜇
𝜎 𝑖𝑗 = 𝛿 𝑖𝑗 𝑢 ;𝑚 + 𝑢𝑘 ;𝑘 + 𝑢𝑖,𝑗 + 𝑢 𝑗 ,𝑖 + 𝑢𝑖,𝑗 + 𝑢 𝑗 ,𝑖
2 2
𝜎 𝑖𝑗 = 𝛿 𝑖𝑗 𝜆𝑒 + 2𝜇𝑒 𝑖𝑗 = 𝜆 𝑡𝑟 𝑒 𝑰 + 2𝜇𝑒
1 𝜕𝑢 𝑘 𝜕𝑢
Dengan 𝑒𝑘𝑗 ≈ 2 + 𝜕𝑥 𝑘𝑗
𝜕𝑥 𝑗
𝑗
Jika 𝜎 𝑖𝑗 = 𝐻 𝑖 𝐾𝑗 = 𝑔𝑖𝑝 𝐻𝑝 𝐾𝑗 = 𝑔𝑖𝑝 𝜎𝑝 , maka
𝜎 𝑖𝑗 ,𝑗 + 𝑓 𝑖 = 𝑚𝑎𝑖
𝑗
𝑔𝑖𝑝 𝜎𝑝,𝑗 + 𝑔𝑖𝑝 𝑓𝑝 = 𝑚𝑔𝑖𝑝 𝑎𝑝
𝑗
𝜎𝑝,𝑗 + 𝑓𝑝 = 𝑚𝑎𝑝
Dengan

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 46


𝜎 𝑖𝑗 = 𝛿 𝑖𝑗 𝜆𝑒 + 2𝜇𝑒 𝑖𝑗
𝑗 𝑗 𝑗
𝑔𝑖𝑝 𝜎𝑝 = 𝑔𝑖𝑝 𝛿𝑝 𝜆𝑒 + 2𝜇𝑔𝑖𝑝 𝑒𝑝
𝑗 𝑗 𝑗 𝑗 𝑗 1
𝜎𝑝 = 𝛿𝑝 𝜆𝑒 + 𝜇𝑒𝑝 = 𝛿𝑝 𝜆𝑒 + 2𝜇𝑔 𝑗𝑘 𝑒𝑝𝑘 = 𝛿𝑝 𝜆𝑒 + 2𝜇𝛿 𝑗𝑘 𝑢 + 𝑢𝑝,𝑘
2 𝑘,𝑝
𝑗
= 𝛿𝑝 𝜆𝑒 + 𝜇𝛿 𝑗𝑘 𝑢𝑘,𝑝 + 𝑢𝑝,𝑘
𝑗
= 𝛿𝑝 𝜆𝑢𝑚 ;𝑚 + 𝜇𝛿 𝑗𝑘 𝑢𝑘,𝑝 + 𝑢𝑝,𝑘
Persamaan diatas sesuai dengan hasil studi Levrino (2011), maka
𝑗 𝑗
𝜎𝑝,𝑗 = 𝛿𝑝 𝜆𝑢𝑚 ;𝑚𝑗 + 𝜇𝛿 𝑗𝑘 𝑢𝑘,𝑝𝑗 + 𝑢𝑝,𝑘𝑗
𝑗 𝑗 𝑗
𝜎𝑝,𝑗 = 𝛿𝑝 𝜆𝑢𝑚 ;𝑚𝑗 + 𝜇𝑢,𝑝𝑗 + 𝜇𝛿 𝑗𝑘 𝑢𝑝,𝑘𝑗
𝑗
𝜎𝑝,𝑗 = 𝜆𝑢𝑚 ;𝑚𝑝 + 𝜇𝑢,𝑚𝑝
𝑚
+ 𝜇𝛿 𝑗𝑘 𝑢𝑝,𝑘𝑗
𝑗 𝑚
𝜎𝑝,𝑗 = (𝜆 + 𝜇)𝑢,𝑚𝑝 + 𝜇 𝑔 𝑗𝑘 𝐴𝑝,𝑘 ,𝑗
𝑗 𝟐
𝜎𝑝,𝑗 = 𝜆 + 𝜇 𝜵 𝜵 ∙ 𝒖 + 𝜇𝜵 𝒖
Sehingga dapat dituliskan
𝜆 + 𝜇 𝜵 𝜵 ∙ 𝒖 + 𝜇𝜵𝟐 𝒖 + 𝒇 = 𝑚𝒂 (64)
Maka bentuk persamaan gerak benang pada rotor dapat digunakan
persamaan (47) dan persamaan (64)
𝜕𝜎 𝑟𝑟 1 𝜕𝜎 𝜃𝑟 1 𝑑2 𝑟
+ + 𝜎 𝑟𝑟 − 𝜎 𝜃𝜃 + 𝑓(𝑟) = 𝑚 − 𝑟𝜃 2
𝜕𝑟 𝑟 𝜕𝜃 𝑟 𝑑𝑡 2
𝑑2 𝑟
𝜆 + 𝜇 𝜵 𝜵 ∙ 𝒖 + 𝜇𝜵𝟐 𝒖 + 𝑓(𝑟) = 𝑚 − 𝑟𝜃 2 (65)
𝑑𝑡 2
𝑑2 𝑟
𝑓𝑏𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔 + 𝑓(𝑟) = 𝑚 − 𝑟𝜃 2
𝑑𝑡 2
𝑑2 𝑟
𝑓𝑏𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔 − 𝐹𝑡𝑎𝑘𝑒 −𝑜𝑓𝑓 = 𝑚 − 𝑟𝜃 2
𝑑𝑡 2
𝑑2𝑟
Jika 𝑑𝑡 2 = 0 dan gaya deformasi benang dapat diabaikan, maka
𝐹𝑡𝑎𝑘𝑒 −𝑜𝑓𝑓 = 𝑚𝑟𝜃 2
Besar gaya take-off 𝑑𝐹𝑡𝑎𝑘𝑒 −𝑜𝑓𝑓 untuk tiap perubahan massa 𝑑𝑚, jika
besar jejari rotor 𝑟 dan kecepatan putar rotor konstan 𝜔 dapat
ditentukan sebagai berikut
𝑑𝐹𝑡𝑎𝑘𝑒 −𝑜𝑓𝑓 = 𝑑𝑚 𝑟𝜔2

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 47


𝑑𝐹𝑡𝑎𝑘𝑒 −𝑜𝑓𝑓 = 𝜆𝑑𝑟 𝑟𝜔2
𝜆𝜔2 2
𝐹𝑡𝑎𝑘𝑒 −𝑜𝑓𝑓 = 𝑅 − 𝑟2
2
Maka besar tenacity atau ketahanan benang dengan nomor benang
dalam tex yaitu 𝑇𝑡 adalah
𝐹𝑡𝑎𝑘𝑒 −𝑜𝑓𝑓 𝐹𝑡𝑎𝑘𝑒 −𝑜𝑓𝑓 𝜔2 2
= = 𝑅 − 𝑟2 (66)
𝜆 𝑇𝑡 2
Saat di daerah Navel atau nozzle, maka 𝑟 = 0
𝑅 2 𝜔2 1
𝑅𝑡𝑎𝑘𝑒 −𝑜𝑓𝑓 = = 𝑛𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 2 𝜋 2 𝑑𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 2 (67)
2 2
Hubungan antara tegangan take-off nozzle terhadap kecepatan rotor
untuk diameter rotor konstan diperlihatkan pada Gambar-2

Gambar-2 Hubungan antara Tegangan Take-Off Nozzle terhadap


Kecepatan Rotor

Untuk memperlihat hubungan antara tenacity dan diameter rotor


untuk kecepatan rotor yang berebda dapat dilakukan simulasi
menggunakan persamaan (66) dengan nilai konstanta yang berubah
(misalkan nrotor =1(biru tua), 2 (hijau), 3 (merah), 2 (biru muda).
Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar-3 di bawah ini.

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 48


Gambar-3 Hubungan Tenacity terhadap Diameter Rotor (kecepatan
rotor berbeda)

Pada Gambar-3 dapat dijelaskan bahwa hubungan tenacity


terhadap diamater rotor membentuk grafik parabola. Semakin besar
kecepatan rotor maka menghasilkan tenacity take-off yang lebih
besar. Dengan melakukan pemodelan pergerakan benang dalam
rotor yang digambarkan pada Gambar-1 dan hasil pemodelan
tenacity take-off terhadap kecepatan rotor yang digambarkan pada
Gambar-2 yang didapatkan dari persamaan (67) sesuai dengan hasil
penelitian Trommer (1995) yang menyatakan bahwa besar yarn
tension untuk nomor benang Tex adalah (1,4.10-13)nR2dR2 [cN/Tex].
Persamaan (67) disebut sebagai gaya tegangan tiap satuan tex yang
dihasilkan pada daerah take-off nozzle sesaat setelah keluar dari
rotor. Persamaan gerak benang pada rotor secara umum dapat
diperlihatkan pada persamaan (65).

Kesimpulan
Telah dijelaskan pada bab ini pemodelan gerakan benang pada rotor
serta besar tenacity take-off yang diijinkan pada proses pemintalan

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 49


benang yang dipengaruhi oleh kecepatan putar rotor pada rotor
groove serta pengaruh diameter rotor menggunakan persamaan
(65) pada kasus umum dan persamaan (67) pada kasus khusus.

Referensi
Backer, Hearle & Grosberg, 1969, Structural Mechanics of Fibres, Yarns
and Fabrics, Wiley-Interscience, New York.

Clarke, D.A., 2011, A Primer on Tensor Calculus, Saint Mary’s


University, Halifax NS.

Hearle, J.W.S. dan Gupta, B.S.., 1965, Migration of Fibres in Yarns Part
III: A Study of Migration of Staple Rayon Yarn, Textile
Research Journal, No.9, Vol. 35 Hal 788-795.

Hearle, J.W.S., Gupta, B.S., dan Megchant, V.B., 1965, Migration of


Fibres in Yarns Part I: Characterization and Idealization of
Migration Behaviour, Textile Research Journal, No.4, Vol. 35
Hal 329-334.

Hilgert dan Karl, 2010, Structure and Geometry of Lie Group, Springer,
New York.

Lawrence CA, 2003, Fundamentals of Spun Yarn Technology, CRC


Press, New York.

Lawrence, Erdem & Cherian, 2005, Wrapper Fibres in Open-End Rotor-


Spun Yarns: Yarn Properties and Wrapper Fibres, FIBRES &
TEXTILES JOURNAL, No. 2,Vol. 13, Hal 8-15.

Lawrence CA, 2010, Advances in Yarn Spinning Technology ,


Woodhead Publishing, Cambridge.

Levrino, 2011, Elastic Continua as Seen from Cosmology, Thesis,


Politecnico Di Torino, Turin.

Mal, A.K., & Sarva,1991, Deformation of Elastic Solid, Prentice Hall,


Inc, New Jersey.

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 50


Margenau, H., 1956, The Mathematics of Physics and Chemistry, East-
West Press Private Ltd. New Delhi.

Moore, E.N., 1934, Theoretical Mechanics, John Wiley &Sons, New


York.

Putra, V.G.V, Rosyid, M.F & Maruto, G, 2016, A Simulation Model of


Twist Influenced by Fibre Movement inside Yarn on Solenoid
Coordinate, Global Journal of Pure and Applied Mathematics,
No.1, Vol 12, Hal. 415-412.

Putra, V.G.V & Rosyid, M.F. , 2015, Theoretical Modeling for


Predicting the Optimum Twist Angle of Cotton Fiber Movement
on OE Yarn Made by Rotor Spinning Machine, Journal of
Applied Mathematics and Physics, Vol.3 Hal. 623-630.

Putra, V.G.V dan Iskandar, 2014, Studi Pengaruh Bentuk S-Twisted Dan
Z-Twisted Terhadap Besar Twist Pada Mesin Pintal, TEXERE (
Journal of Textile Science and Technology), No.1,Vol. 12., Hal
60-65.

Putra, V.G.V 2014, Pemodelan Untuk Menentukan Hubungan Actual


Twist Tipe-Z Terhadap Kecepatan Sudut Pada Mesin Spinning
(Rotor Dan Ring Spinning), TEXERE ( Journal of Textile Science
and Technology), No.2, Vol. 12. Hal 20-26.

Rohlena, V,1975, Open-End Spinning, Elseiver Scientific Publishing


Company, New York.

Trommer, G., 1995, Rotor Spinning, Deutscher fachverlag, Frankfurt.

Waner, 2005, Introduction to Differential Geometry & General


Relativity, Department of Mathematics and Physics, Hofstra
University, New York.

Zeidman, Shawney dan Herington, 2003 Fiber Migration Theory of


Ring Spun Yarn, Indian Journal of Fibre and Textile Research,
Vol 28., Hal. 123-133.

Bab.3 Pergerakan Benang pada Rotor Hal. 51


BAB 4
SIMULASI KOMPUTASI DENGAN MATLAB
Abstrak
Pada bab ini dibahas simulasi komputasi dengan komputer yang
mendukung penelitian pergerakan materi, yaitu dengan
menggunakan software MATLAB. Pada simulasi digunakan listing
program pada jendela kerja

4.1. Simulasi Matlab

Dari persamaan (66) dapat dimodelkan hubungan antara tenacity


take-off terhadap yarn path (diameter rotor) dengan listing program
sebagai berikut: (jika diandaikan jejari rotor groove adalah 𝑅 =33)
.
>> rho=linspace(33,0); % pergerakan yarn sepanjang jejari rotor groove
>> Ro=(33^2-rho.^2); %tenacity dalam cN/Tex
>> plot(rho,Ro)

Hasil simulasi MATLAB dapat dilihat pada Gambar-1 di bawah.

Gambar-1. Hubungan Tenacity terhadap Yarn Path.

Pada Gambar-1 dapat dijelaskan bahwa hubungan antara tenacity


take-off terhadap diameter rotor yaitu tenacity terbesar ada di
daerah nozzle dan besar tenacity mengikuti persamaan (66). Untuk
52
kecepatan rotor yang konstan didapatkan hasil bahwa semakin
besar diameter rotor maka semakin besar tenacity take-off
Dari persamaan (66) didapatkan hasil penyelesaian yang sesuai
dengan eksperimen Trommer (1995), Putra (2016) yang
menyatakan bahwa besar tenacity take-off akan bergantung pada
kecepatan putar rotor dan diameter rotor.
Untuk memperlihatkan pengaruh kecepatan rotor terhadap
tenacity take-off dapat dilakukan simulasi menggunakan persamaan
(66) dengan nilai konstanta yang berubah (1(biru dengan kecepatan
rotor terrendah), 2(hijau dengan kecepatan rotor sedang), 3(merah
dengan kecepatan rotor tertinggi)). dengan listing program sebagai
berikut:

>> rho=linspace(33,0);
>> Ro=(33^2-1*rho.^2); %tenacity rotor 1 dalam cN/Tex
>> Ri= (33^2-2*rho.^2); %tenacity rotor 2 dalam cN/Tex
>> R3=3*(33^2-3*rho.^2); %tenacity rotor 3 dalam cN/Tex
>> plot(rho,Ro,'.',rho,Ri,'+',rho,R3)

Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar-2 di bawah ini.

Gambar-2. Tenacity dengan Kecepatan Rotor yang Berbeda


(Diamater Rotor Sama).
Bab.4 Simulasi Komputasi dengan MATLAB Hal. 53
Pada Gambar-2 dapat dijelaskan bahwa semakin besar kecepatan
rotor maka semakin besar tenacity take-off. Hal ini menunjukkan
kecepatan rotor mempengaruhi tenacity take-off.
Untuk memperlihat hubungan antara tenacity take-off pada navel
dan diameter rotor untuk kecepatan rotor yang berbeda dapat
dilakukan simulasi menggunakan persamaan (67) dengan nilai
konstanta yang berubah (misalkan nrotor =1(biru tua), 2 (hijau), 3
(merah), 2 (biru muda) dengan listing program sebagai berikut:

>> rho=linspace(0,20);%diameter rotor


>> Ro=rho.^2;%tenacity rotor n1
>> R1=2*rho.^2; %tenacity rotor n2
>> R2=3*rho.^2; %tenacity rotor n3
>> R3=4*rho.^2; %tenacity rotor n4
>> plot(rho,Ro,'.',rho,R1,'+',rho,R2,rho,R3,'o')

Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar-3 di bawah ini.

Gambar-3. Hubungan Tenacity terhadap Diameter Rotor


(Kecepatan Rotor Berbeda)

Pada Gambar-3 dapat dijelaskan bahwa hubungan tenacity


terhadap diamater rotor membentuk grafik parabola. Semakin besar
kecepatan rotor maka menghasilkan tenacity take-off yang lebih
besar.

Bab.4 Simulasi Komputasi dengan MATLAB Hal. 54


Kesimpulan

Telah dibahas simulasi komputasi dengan komputer yang


mendukung penelitian pergerakan materi, yaitu dengan
menggunakan software MATLAB. Pada simulasi digunakan listing
program pada jendela kerja

Referensi

Putra, Purnomosari dan Ngadiono., 2016, Pengantar Listrik Magnet


dan terapannya, CV. Mulia Jaya, Yogyakarta.

Putra, V.G.V, Rosyid, M.F & Maruto, G, 2016, A Simulation Model of


Twist Influenced by Fibre Movement inside Yarn on Solenoid
Coordinate, Global Journal of Pure and Applied Mathematics,
No.1, Vol 12, Hal. 415-412.

Trommer, G., 1995, Rotor Spinning, Deutscher Fachverlag, Frankfurt.

Bab.4 Simulasi Komputasi dengan MATLAB Hal. 55


LAMPIRAN-1

L.1. Teori Himpunan

Pada lampiran ini akan dijelaskan ini tentang teori himpunan dan
dijelaskan tentang notasi dasar pada teori himpunan. Umumnya
himpunan dinotasikan dengan huruf besar, seperti 𝑈, 𝑉, sedangkan
anggota- anggota dari himpuanan tersebut dinotasikan dengan huruf
kecil, seperti 𝑢, 𝑣, sehingga dapat dituliskan bahwa 𝑢 ∈ 𝑈 dan 𝑣 ∈ 𝑉,
yang bermakna bahwa 𝑢 adalah anggota dari himpunan 𝑈 dan 𝑣 adalah
anggota dari himpunan 𝑉 , sedangkan 𝑣 ∉ 𝑈 memiliki arti bahwa 𝑣
bukan anggota himpunan dari 𝑈. Lambang " = " merupakan lambang
identity logical, sehingga jika dituliskan bahwa 𝑢 = 𝑣, maka anggota 𝑢
1 2
dan 𝑣 adalah suatu objek yang sama. Contoh 𝑢 = 2 dan 𝑣 = 4, maka
dapat dituliskan bahwa 𝑢 = 𝑣, jika 𝑢 dan 𝑣 adalah objek yang berbeda,
maka dapat dituliskan 𝑢 ≠ 𝑣. Jika 𝑈 adalah sub himpunan dari 𝑉, maka
dapat dituliskan bahwa 𝑈 ⊂ 𝑉, sedangkan untuk notasi 𝑈 ⊆ 𝑉
bermakna bahwa 𝑈 adalah sub himpunan dari V atau 𝑈 sama dengan 𝑉.
Untuk menuliskan bahwa anggota-anggota 𝑢1 , 𝑢2 , 𝑢3 adalah elemen
dari himpunan 𝑈, maka dapat dituliskan 𝑈 = 𝑢1 , 𝑢2 , 𝑢3 , dan jika
ternyata anggota 𝑢𝑖 adalah anggota-anggota dari himpunan bilangan
bulat, maka dapat dituliskan 𝑈 = 𝑢𝑖 𝑢𝑖 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎𝑕 𝑏𝑖𝑙. 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑡 .
Himpunan Union “∪ " diartikan sebagai kata “atau”, sebagai
contoh 𝐴 ∪ 𝐵, maka dapat diartikan bahwa 𝐴 ∪ 𝐵 = 𝑥 𝑥 ∈ 𝐴 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑥 ∈
𝐵, yang dibahasakan yaitu 𝑥, dimana 𝑥 adalah anggota himpunan 𝐴 atau
𝑥 anggota himpunan 𝐵. Dapat dijelaskan dengan Gambar-1 sebagai
berikut

Lampiran-1 Hal. 56
Gambar-1 𝑨 ∪ 𝑩 = 𝒙 𝒙 ∈ 𝑨 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒙 ∈ 𝑩
Irisan/ intersection dari himpunan dapat diartikan sebagai “dan”
sebagai contoh 𝐴 ∩ 𝐵, maka dapat diartikan bahwa 𝐴 ∩ 𝐵 =
𝑥 𝑥 ∈ 𝐴 𝑑𝑎𝑛 𝑥 ∈ 𝐵 , yang dibahasakan yaitu 𝑥, dimana 𝑥 adalah
anggota himpunan 𝐴 dan 𝑥 anggota himpunan 𝐵. Dapat dijelaskan
dengan Gambar-2, sedangkan 𝐴 ∩ 𝐴 = ∅ menyatakan bahwa 𝐴 dan 𝐴
adalah disjoint ( tidak selibat). Himpunan kosong ∅ adalahh himpunan
yang tidak memiliki elemen ( Gambar-3).

Gambar-2 𝑨 ∩ 𝑩 = 𝒙 𝒙 ∈ 𝑨 𝒅𝒂𝒏 𝒙 ∈ 𝑩
Dapat diperlihatkan pada Gambar-3 suatu himpunan kosong.
Dinotasikan 𝐴 ∩ ∅ = ∅, sedangkan 𝐴 ∪ ∅ = 𝐴

Gambar-3 Himpunan Kosong

Lampiran-1 Hal. 57
Perbedaan dari dua buah himpunan dapat dinotasikan sebagai 𝐴 − 𝐵
yang dapat dirumuskan sebagai 𝐴 − 𝐵 = 𝐴⋂𝐵 dan dapat diperlihatkan
pada Gambar-4 di bawah

Gambar-4 Perbedaan dari Dua Himpunan

Munkres, J.R. (1999) dan Hilgert dan Karl, (2010) menyatakan


bahwa relasi ekivalensi , 𝐸 ⊆ 𝐸 ′ , merupakan bentuk relasi kelas
ekivalensi, yaitu dijelaskan sebagai berikut: jika diberikan suatu
subhimpunan dari himpunan 𝐴, yaitu 𝐸 dan 𝐸′, maka jika relasi
ekivalensi pada 𝐸 ditentukan dengan sebuah elemen titik 𝑥 dan relasi
ekivalensi pada 𝐸′ ditentukan dengan sebuah elemen titik 𝑥′ dan
andaikan 𝐸 ∩ 𝐸′ ≠ ∅, dan sebuah titik 𝑦 adalah titik pada irisan 𝐸 ∩ 𝐸′,
maka 𝐸 ⊆ 𝐸′ ( Gambar-5)

Gambar-5 Relasi Ekivalensi


Dari definisi jika 𝑦 ∼ 𝑥, notasi ∼ menunjukkan kelas ekivalensi,
dan 𝑦 ∼ 𝑥′ dengan menggunakan sifat simetri, maka dapat dituliskan
bahwa 𝑥 ∼ 𝑦 dan 𝑥′ ∼ 𝑦, sehingga 𝑥 ∼ 𝑥′ dan jika sebuah titik lain
𝑤 ∈ 𝐸, maka dapat dituliskan bahwa 𝑤 ∼ 𝑥 dan 𝑤 ∼ 𝑥′, sehingga dapat
disimpulkan bahwa 𝐸 ⊂ 𝐸′, dari sifat kesimetrian maka dapat
Lampiran-1 Hal. 58
disimpukan juga bahwa 𝐸′ ⊂ 𝐸, atau dapat dituliskan bahwa 𝐸 = 𝐸′,
sehingga dapat dituliskan baha 𝐸′ ⊆ 𝐸 dan sebaliknya.

L.2. Himpunan Terbuka


Jika terdapat suatu ruang Euclidean dimensi-n, sebagai berikut
𝐸𝑛 = 𝑦1 , 𝑦2 , … 𝑦𝑛 𝑦𝑖 ∈ ℝ
Dengan 𝐸1 adalah garis nyata ( real line) dan 𝐸2 adalah ruang Euclidean
( ruang koordinat nyata yang terdefinisi pada himpunan nyata ℝ)
dimensi-2 dan 𝐸3 adalah ruang Euclidean dimensi-3. Suatu norm atau
besar dari 𝑦 = 𝑦1 , 𝑦2 , … 𝑦𝑛 𝑦𝑖 ∈ ℝ di 𝐸𝑛 adalah
𝑦 = 𝑦1 2 + 𝑦2 2 + ⋯ + 𝑦𝑛 2
Jarak antara dua buah titik 𝑦 = 𝑦1 , 𝑦2 , … 𝑦𝑛 𝑦𝑖 ∈ ℝ dan 𝑧 =
𝑧1 , 𝑧2 , … 𝑧𝑛 𝑧𝑖 ∈ ℝ di 𝐸𝑛 adalah
𝑟 = 𝑦−𝑧 = 𝑦1 − 𝑧1 2 + ⋯ + 𝑦𝑛 − 𝑧𝑛 2

Dengan sifat 𝑛𝑜𝑟𝑚 adalah


𝑟 ≥0
𝑦 + 𝑧 ≤ 𝑦 + 𝑧 dengan 𝑦, 𝑧 ∈ 𝐸𝑛
𝑦 − 𝑧 ≤ 𝑦 − 𝑤 + 𝑧 − 𝑤 dengan 𝑦, 𝑧, 𝑤 ∈ 𝐸𝑛

Himpunan terbuka / open set didefinisikan sebagai kumpulan anggota


tanpa daerah batasnya, sebagai contoh adalah suatu daerah padat tanpa
daerah batasnya, dan jika daerah batasnya dimasukkan, maka akan
didapatkan himpunan tertutup ( closed set). Contoh jika 𝑎 ∈ 𝐸𝑛 (𝐸𝑛
terbuka dan terdaapt ∅ terbuka), bola terbuka dengan pusat 𝑎 dan jejari
𝑟, adalah sub himpunan dari bola terbuka 𝐵 𝑎, 𝑟 = 𝑥 ∈ 𝐸𝑛 𝑥 −
𝑎<𝑟 memenuhi syarat sebagai suatu himpunan terbuka jika 𝑥∈𝐵𝑎,𝑟 dan
juga 𝑠 = 𝑟 − 𝑥 − 𝑎 dengan 𝐵 𝑎, 𝑠 ⊂ 𝐵 𝑎, 𝑟 .
L.3. Operasi Himpunan

Lampiran-1 Hal. 59
Jika terdapat tiga buah himpunan, yaitu 𝐴, 𝐵, 𝐶 dan terdapat suatu
operasi himpunan sebagai berikut 𝐴 ∪ (𝐵 ∩ 𝐶) serta (𝐴 ∪ 𝐵) ∩ 𝐶, maka
dapat diperlihatkan pada Gambar-6 hasil operasi himpunan tersebut

Gambar-6 Operasi Himpunan

Jika sebuah objek 𝑎 adalah sebuah anggota/ elemen dari himpunan


𝐴 = 𝑎, 𝑏, 𝑐 dan 𝑅 = 𝑎 , 𝑆 = 𝑏 , 𝑇 = 𝑐 adalah sub himpunan dari
himpunan 𝐴, jika 𝐴 adalah himpunan dari semua sub himpunan
℘ 𝐴 = 𝑎, 𝑏, 𝑐 , maka pernyataan di atas dapat dituliskan
𝑎 ∈ 𝐴, {𝑎} ⊂ 𝐴 atau 𝑅 ⊂ 𝐴, 𝑎 ∈ ℘(𝐴)
L.4. Fungsi

Munkres, J.R. (1999) menyatakan bahwa suatu fungsi 𝑓


didefinisikan sebagai kaedah atau cara penyerahan suatu sub
himpunan, 𝑈 ⊂ ℜ, bersama dengan sebuah himpunan 𝑉 yang terdiri
dari suatu himpunan bayangan dari sub himpunan 𝑈. Domain ℜ dari
sub himpunan 𝑈 disebut sebagai domain dari fungsi 𝒇, sedangkan
bayangan dari sub himpunan 𝑈 disebut sebagai bayangan dari fungsi 𝑓
dan himpunan 𝑉 disebut sebagai range fungsi 𝒇.
Jika suatu fungsi memiliki domain 𝑈 dan range 𝑉, maka dapat
dituliskan sebagai 𝐹: 𝑈 → 𝑉. Fungsi 𝑓 dapat diartikan sebagai pemetaan
dari 𝑈 ke 𝑉 atau fungsi dari 𝑈 ke 𝑉. Jika 𝐹: 𝑈 → 𝑉 dan 𝑎 ∈ 𝑈, maka
dapat dituliskan bahwa 𝑓(𝑎) ∈ 𝑉 dengan 𝑓(𝑎) adalah suatu elemen
yang unik dari elemen 𝑉. jika dinotasikan bahwa ℜ adalah himpunan
Lampiran-1 Hal. 60
real dan suatu fungsi 𝑓 memetakan suatu anggota 𝑥 ∈ ℜ ke suatu range
ℜ, maka dapat dituliskan sebagai berikut 𝑓: ℜ → ℜ dan fungsinya dapat
dituliskan sebagai 𝑓(𝑥). Hilgert dan Karl (2010) menyatakan jika
𝑈 ⊆ ℜ𝑛 dan 𝑉 ⊆ ℜ𝑚 dan terdapat suatu pemetaan 𝑓: 𝑈 → 𝑉, maka
disebut pemetaan Ck jika 𝑓: 𝑈 → ℜ𝑚 , dan dapat disebut pemetaan Ck
diffeomorphism jika terdapat pemetaan Ck dengan 𝑓: 𝑈 → 𝑉 dan
terdapat pemetaan Ck yaitu 𝑔: 𝑉 → 𝑈 dengan 𝑓𝑜𝑔 = 𝑖𝑑𝑉 dan 𝑔𝑜𝑓 =
𝑖𝑑𝑈 , dengan fungsi 𝑓 memiliki sifat bikontinu ( bijektif, kontinu),
inversibel dan differensiabel, seperti pada Gambar-7 di bawah. Dapat
disimpulkan bahwa jika terdapat suatu diffeomorphism pada suatu
pemetaan, maka domain U dan V disebut Ck diffeomorphic. Jika
pemetaan Ck memiliki 𝑘 = 0, maka pemetaannya bersifat
homeomorphis/ topological isomorphism ( karena tidak differensiabel).

Gambar-7 Pemetaan Suatu Himpunan


Dapat diketahui penjabaran aturan rantai ( chain rule), yang
mengharuskan bahwa suatu pemetaan peta f memetakan suatu titik di
U   n , yaitu x ke V  m , dengan 𝑓: 𝑈 → 𝑉 terdapat pemetaan
g : V   B yang merupakan pemetaan diferensiabel, maka pemetaan
g(f(x))=gof(x) adalah pemetaan yang diferensiabel (Gambar-8)

Lampiran-1 Hal. 61
Gambar-8Aturan Rantai

Suatu fungsi didefinisikan sebagai injektif ( one-to-one) jika setiap


pasangan titik yang berbeda di 𝑨 akan memiliki suatu bayangan titik
dalam pengaruh fungsi 𝑓 yang berbeda juga di B. Dapat dinyatakan
bahwa bayangan dari pemetaan hanya akan memetakan satu elemen
yang berbeda pada domain di 𝐴, untuk mempermudah dalam
pemahaman, maka dapat dimisalkan fungsi yang memiliki sifat seperti
ini adalah sebagai fungsi ”jomblo”. (Gambar-9) di bawah

Gambar-9 Fungsi Injektif

Suatu fungsi dikatakan surjektif jika setiap titik pada elemen 𝐵


adalah bayangan dari elemen 𝐴, dapat dimisalkan sebagai fungsi
”poligami” ( Gambar-10) sebagai berikut

Gambar-10 Fungsi Surjektif

Lampiran-1 Hal. 62
Suatu fungsi memiliki sifat injektif dan surjektif, maka dapat
dikatakan sebagai fungsi bijektif atau one-to-one correspondence dan
dapat dimisalkan sebagai fungsi ”keadaan ideal” ( Gambar-11)

Gambar-11 Fungsi Bijektif

Jika 𝑓: 𝐴 → 𝐵 adalah fungsi bijektif (one-to-one correspondence),


maka akan terdapat suatu pemetaan dari 𝐵 ke 𝐴, yaitu 𝑓 −1 : 𝐵 → 𝐴 yang
bijektif. Suatu istilah Homomorphism adalah suatu pemetaan yang
menjaga struktur yang dipilih diantara dua buah struktur aljabar dan
Isomorphism ( bijektif homomorphism) didefinisikan sebagai suatu
pemetaan yang memiliki sifat injektif dan surjektif ( bijektif),
inversibel, sedangkan Homoemorphism adalah “isomorphism secara
topologi” yang memiliki sifat pemetaan isomorphism dan fungsi
kontinu.

L.5. Fungsi Kontinu

Munkres, J.R. (1999) menyatakan bahwa jika 𝑋 dan 𝑌 adalah suatu


ruang topologi, sebuah fungsi 𝑓: 𝑋 → 𝑌 dikatakan kontinu jika masing-
masing sub himpunan terbuka 𝑉 pada 𝑌 atau 𝑉 ⊂ 𝑌, maka
himpunan 𝑓 −1 𝑉 dengan 𝑓 −1 : 𝑉 → 𝑋 adalah suatu sub himpunan
terbuka pada 𝑋. pada teori kalkulus dijelaskan sifat kontinuitas dari
berbagai macam fungsi, sebagai contoh adalah suatu fungsi kurva pada
kurva lain atau pada permukaan 𝑓: ℜ → ℜ atau 𝑓: ℜ → ℜ2 dan fungsi
Lampiran-1 Hal. 63
kurva pada ruang 𝑓: ℜ → ℜ3 , serta medan vektor pada permukaan
𝑓: ℜ2 → ℜ2 dsb ( catatan suatu fungsi kontinu umumnya memiliki
domain minimal sama dengan range, jika daerah range lebih kecil dari
domain, maka fungsi tersebut tidak kontinu sifat inclusion). Kondisi
bahwa 𝑓 −1 adalah fungsi kontinu adalah bahwa untuk masing-masing
himpunan terbuka 𝑈 pada 𝑋 atau 𝑈 ⊆ 𝑋, maka invers bayangan dari 𝑈
dengan pemetaan 𝑓 −1 : 𝑌 → 𝑋 terbuka di 𝑌, tetapi invers bayangan dari
𝑈 , yaitu 𝑓 −1 𝑈 dengan pemetaan 𝑓 −1 : 𝑌 → 𝑋 akan sama dengan
bayangan 𝑈 , f(U) dengan pemetaan 𝑓: 𝑋 → 𝑌.
Syarat suatu fungsi kontinu pada suatu ruang topologi 𝑋, 𝑌, 𝑍:
 Suatu fungsi konstan, 𝑓: 𝑋 → 𝑌 dengan semua pemetaan pada 𝑋
akan menuju ke sebuah titik tunggal 𝑦𝑜 pada Y, sebagai contoh
𝑑
𝑓: 𝑋 → 𝑌, dengan fungsi 𝑓(𝑥) = 𝑑𝑥 , 𝑋 = 𝑥 𝑥 adalah bil. real
dan 𝑌 = 𝑦 𝑦 adalah bil. real , maka 𝑓 𝑥 = 0 untuk semua
nilai 𝑥 ∈ 𝑋.
 Inclusion. Jika suatu fungsi 𝐴 ⊂ 𝑋, maka 𝑓: 𝐴 → 𝑋 adalah suatu
fungsi yang kontinu, contoh 𝐴 = 1,3 dan
𝑋 = 𝑥 𝑥 adalah bil bulat positif , maka untuk 𝑓 𝑥 = 2𝑥 + 1
akan ditemukan bahwa 𝑓: 𝐴 → 𝑋 dengan invers 𝑓 −1 : 𝑋 → 𝐴.
 Composite atau gabungan. Jika suatu fungsi-fungsi kontinu
𝑓: 𝑋 → 𝑌 dan 𝑔: 𝑌 → 𝑍, maka 𝑔 ∘ 𝑓: 𝑋 → 𝑍 adalah fungsi
kontinu.
 Restricting. Suatu fungsi dikatakan kontinu jika 𝐴 ⊂ 𝑋 dan
𝑓: 𝑋 → 𝑌, maka fungsi yang dibatasi, 𝑔 ≔ 𝑓 𝐴: 𝐴 → 𝑌 adalah
fungsi yang kontinu. ( 𝑔(𝑥) ⊂ 𝑓(𝑥))
 Kontinu pada masing-masing titik, yaitu jika suatu fungsi 𝑓 −1
untuk masing-masing himpunan terbuka 𝑈 pada ℜ𝑛 atau
𝑈 ⊆ ℜ𝑛 , dan 𝑉 ⊆ ℜ𝑚 maka pemetaan 𝑔 ≔ 𝑓 −1 : ℜ𝑚 → ℜ𝑛
terbuka di ℜ𝑚 , sehingga jika terdapat pemetaan dengan 𝑓: 𝑈 →

Lampiran-1 Hal. 64
𝑉 dan terdapat pemetaan 𝑔: 𝑉 → 𝑈 dengan 𝐹𝑜𝑔 = 𝑖𝑑𝑉 dan
𝑔𝑜𝐹 = 𝑖𝑑𝑈 , seperti pada Gambar-12

Gambar-12 Fungsi Kontinu

Homeomorphism adalah suatu fungsi yang memiliki pemetaan


dengan syarat kontinu, bijektif dan inversibel. Andaikan 𝑋, 𝑌 adalah
ruang topologi dan 𝑓: 𝑋 → 𝑌 adalah fungsi yang bijektif dan jika baik
𝑓: 𝑋 → 𝑌 ataupun 𝑓 −1 : 𝑌 → 𝑋 kontinu, maka fungsi 𝑓 disebut
homeomorphism . Munkres, J.R. (1999)
Kondisi bahwa 𝑓 −1 adalah fungsi kontinu yaitu bahwa untuk
masing-masing himpunan terbuka 𝑈 pada 𝑋 atau 𝑈 ⊆ 𝑋, maka invers
bayangan dari 𝑈 dengan pemetaan 𝑓 −1 : 𝑌 → 𝑋 terbuka di 𝑌, tetapi
invers bayangan dari 𝑈, 𝑓 −1 , dengan pemetaan 𝑓 −1 : 𝑌 → 𝑋 akan sama
dengan bayangan 𝑈 yaitu 𝑓 dengan pemetaan 𝑓: 𝑋 → 𝑌, seperti pada
Gambar-13 di bawah , dengan kata lain suatu fungsi dikatakan
homeomorphism jika memiliki hubungan kebersesuaian secara bijektif
𝑓: 𝑋 → 𝑌, yaitu jika 𝑓(𝑈) terbuka bila dan hanya bila 𝑈 terbuka

Gambar-13 Fungsi Homeomorphism

Lampiran-1 Hal. 65
Jika suatu fungsi memiliki hubungan kebersesuaian secara bijektif
𝑓: 𝑋 → 𝑌 yang tidak hanya di ruang topologi 𝑋 dan Y, tetapi juga
kumpulan semua himpunan terbuka 𝑋, 𝑌. Sebagai contoh buktikan jika
𝑋 = 𝑥 𝑥 adalah bil. real dan 𝑌 = 𝑦 𝑦 adalah bil. real serta terdapat
suatu fungsi 𝑓: 𝑋 → 𝑌 dengan 𝑓 𝑥 = 3𝑥 + 1, maka akan terdapat
1
invers 𝑔: = 𝑓 −1 : 𝑌 → 𝑋 dengan 𝑔 𝑦 = 3 (𝑦 − 1), sehingga dapat
ditentukan bahwa fungsi 𝑓 tersebut adalah homeomorphism. Pernyataan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Homeomorphism adalah
suatu fungsi yang memiliki pemetaan dengan syarat kontinu, bijektif
dan inversibel. Suatu fungsi yang bijektif dan memiliki hubungan
kebersesuaian secara bijektif, maka akan bersifat kontinu dan bijektif.
Suatu fungsi yang bijektif akan memiliki sifat inversibel, sehingga jika
dapat dibuktikan bahwa sifatnya bijektif dan terdapat inversibel, maka
fungsi tersebut dapat dikatakan homeomorphism. 𝑓 0 = 1, 𝑓 1 =
4, 𝑓 2 = 7 sedangkan 𝑓 −1 1 = 1, 𝑓 −1 4 = 1, 𝑓 −1 7 = 2 dengan
kata lain dapat dituliskan bahwa 𝑓 −1 = 𝑓 yag merupakan suatu fungsi
kontinu seperti pada Gambar-14 di bawah

Gambar-14 Contoh Fungsi Homeomorphism


Diffeomorphism adalah sutau fungsi homeomorphism yang
differensiabel. Syarat suatu fungsi yang differensiabel adalah Jika
terdapat suatu keragaman licin ℕ dengan n,m ∈ ℕ (keragaman
licin) dan suatu peta F memetakan suatu titik di 𝑈 ⊆ ℝ𝑛 sebagai

Lampiran-1 Hal. 66
sub himpunan terbuka ke 𝐹 𝑥 ⊆ ℝ𝑚 , dengan 𝐹: 𝑈 → ℝ𝑚 .
Pemetaan F disebut sebagai pemetaan yang diferensiabel (licin)
pada 𝑥 ∈ 𝑈 dan 𝑕 ∈ ℝ𝑛 jika terdapat pemetaan linear 𝐿 ∈
𝐻𝑜𝑚⁡ (ℝ𝑛 , ℝ𝑚 ) yang homomorphism (suatu pemetaan yang
menjaga struktur yang dipilih diantara dua buah struktur aljabar)
dari ℝ𝑛 ke ℝ𝑚 (seperti pada Gambar-15 )

Gambar-15 Pemetaan Linear

Dengan suatu norm atau perilaku sebagai berikut


F ( x  h)  F ( x )  L( h)
lim 0
h 0 h

F ( x  th)  F ( x )  L(th)
lim 0
t 0 t

F ( x  th)  F ( x )
lim  lim L( h )  L( h )
t 0 t t 0

F ( x  th)  F ( x )
dF ( x )( h ) : L( h )  lim
t 0 t

Lampiran-1 Hal. 67
L(h) adalah derivatif arah F pada x di arah h, dengan h adalah
vektor basis. Suatu fungsi F di atas dikatakan kontinu dan
diferensiabel jika terdapat pemetaan 𝐶 1 . Jika (𝑒1 , … 𝑒𝑛 ) adalah
vektor-vektor basis di ℝ𝑛 , maka dapat didefinisikan bahwa
𝜕𝐹 (𝑥)
𝑑𝐹 𝑥 𝑒𝑖 ∶= dan disebut sebagai derivatif parsial 𝐹 ke-i pada
𝜕𝑥 𝑖
x. jika 𝐹 differensiabel pada setiap 𝑥 ∈ 𝑈, maka derivative parsial 𝑭
𝝏𝑭(𝒙)
adalah suatu fungsi : 𝑼 → ℝ𝒎 yang disebut sebagai suatu
𝝏𝒙𝒊
fungsi yang kontinu differensiabel atau pemetaan 𝑪𝟏 untuk semua
derivative parsialnya kontinu. Untuk 𝑘 ≥ 2, maka pemetaannya
disebut pemetaan 𝐶 𝑘 jika pemetaan 𝐹 adalah pemetaan 𝐶 1 dan
semua derivative parsialnya adalah pemetaan 𝐶 𝑘−1 .
Fungsi 𝑭 licin atau pemetaan 𝐶 ∞ adalah suatu fungsi yang dapat
dinotasikan sebagai 𝐶 𝑘 𝑈, ℝ𝑚 . Suatu ruang topologi ℝ𝑛 secara
lokal Euclidean pada dimensi n untuk setiap titik 𝑥 ∈ ℝ𝑛 , jika
𝑈 ⊆ ℝ𝑛 dan 𝑉 ⊆ ℝ𝑚 dan terdapat suatu pemetaan 𝐹: 𝑈 → ℝ𝑚 ,
maka terdapat pemetaan Ck jika 𝐹: 𝑈 → ℝ𝑚 , dan dapat disebut
pemetaan Ck diffeomorphism jika terdapat pemetaan Ck dengan
𝐹: 𝑈 → 𝑉 dan terdapat pemetaan Ck fungsi 𝑔: 𝑉 → 𝑈 dengan
𝐹𝑜𝑔 = 𝑖𝑑𝑉 dan 𝑔𝑜𝐹 = 𝑖𝑑𝑈 , dengan fungsi 𝐹 memiliki sifat bikontinu
(bijektif, kontinu), inversibel untuk fungsi 𝐹 dan turunan fungsi
serta differensiabel, seperti pada Gambar-16a di bawah. Dapat
disimpulkan bahwa jika terdapat suatu diffeomorphism pada suatu
pemetaan, maka domain U dan V disebut Ck diffeomorphic.
Jika pemetaan Ck memiliki k=0, maka pemetaannya bersifat
homeomorphis atau topological isomorphism (karena bikontinu,
inversibel tapi tidak differensiabel). Syarat suatu ruang topologi
dimensi n secara lokal adalah ruang Euclidean yaitu jika domain U
dan V disebut C0 diffeomorphic atau homeomorphic

Lampiran-1 Hal. 68
Gambar-16 a)Pemetaan Diffeomorphism b) Pemetaan halus
Diffeomorphism

Pemetaan Ck diffeomorphism memenuhi aturan rantai sebagai


berikut jika 𝑈 ⊆ ℝ𝑛 dan 𝑉 ⊆ ℝ𝑚 dan terdapat suatu pemetaan
𝐹: 𝑈 → ℝ𝑚 , dan dapat disebut pemetaan Ck diffeomorphism jika
terdapat pemetaan Ck dengan 𝐹: 𝑈 → 𝑉 dan terdapat pemetaan Ck
fungsi 𝑔: 𝑉 → 𝑈 dengan 𝐹𝑜𝑔 = 𝑖𝑑ℝ𝑚 dan 𝑔𝑜𝐹 = 𝑖𝑑ℝ𝑛 yang disebut
sebagai pemetaan Ck dan untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑈 maka akan memiliki
𝑖𝑑ℝ𝑛 = 𝑑 𝑔𝑜𝐹 𝑥 = 𝑑 𝑔 𝐹 𝑥 𝑜𝑑 𝐹 𝑥
serta
𝑖𝑑ℝ𝑚 = 𝑑 𝐹𝑜𝑔 𝑥 = 𝑑 𝐹 𝑥 𝑜𝑑𝑔 𝐹 𝑥 .

Domain 𝑈 ⊆ ℝ𝑛 dan 𝑉 ⊆ ℝ𝑚 disebut sebagai Ck diffeomorphic,


sehingga 𝑑𝐹 𝑥 : ℝ𝑛 → ℝ𝑚 dapat dikatakan isomorphism yang
linear dengan dimensi 𝑛 = 𝑚.

Lampiran-1 Hal. 69
Suatu fungsi dikatakan sebagai lokal diffeomorphism (tidak
global diffeomorphism) jika terdapat suatu pemetaan dengan jika
𝑈 ⊆ ℝ𝑛 dan 𝑉 ⊆ ℝ𝑚 serta 𝐹: 𝑈 → 𝑉 dan terdapat pemetaan Ck
dengan 𝐹: 𝑈 → 𝑉 dan terdapat pemetaan Ck fungsi 𝑔: 𝑉 → 𝑈 dengan
𝐹𝑜𝑔 = 𝑖𝑑ℝ𝑚 dan 𝑔𝑜𝐹 = 𝑖𝑑ℝ𝑛 , tetapi fungsi tersebut tidak memiliki
sifat di atas untuk pemetaan 𝐹: 𝑈 → ℝ𝑚 . contoh jika suatu fungsi
𝐹: ℝ𝑛 → ℝ𝑚 dengan F  ( x, y , z )  (  cos  ,  sin  , z ). , maka dengan
aturan transformasi koordinat
𝜕𝒓
𝑑𝒓 = 𝑛 𝑑𝑥 𝑛 = 𝜷𝑛 𝑑𝑥 𝑛
𝜕𝑥
1 2
~ dx dx dx 3 dx dy dz
1  ~1 1  ~1  2  ~1  3  i j k
dx dx dx d d d
~ dx dy dz
1  i j k  cos  .i  sin  . j  0.k
d d d
~ dx 1 dx 2 dx 3 dx dy dz
 2  ~ 2 1  ~ 2  2  ~ 2  3  i j k
dx dx dx d d d
~ dx dy dz
2  i j k    sin  .i   cos  . j  0.k
d d d

~ dx dy dz
3  i j  k  0.i  0. j  k
dz dz dz
Dalam bentuk matrik menghasilkan
~
  1   cos  sin  0  i 
~    
  2      sin   cos  0  j .
 ~  
 3   0 0 1  k 

Lampiran-1 Hal. 70
 cos  sin  0
 
Nilai determinan dari    sin   cos  0  ≠ 0, maka sifat
 1 
 0 0
dari matrik tersebut adalah inversibel (sifat bijektif), kontinu,
differensiabel tapi tidak global diffeomorphism dengan pemetaan
𝐹: 𝑈 → ℝ𝑚 dan sebaliknya, karena tidak injektif untuk nilai
𝐹 𝑥, 𝑦, 𝑧 = 𝐹(𝑥 + 2𝜋, 𝑦 + 2𝜋, 𝑧), sehingga pemetaan hanya bersifat
lokal diffeomorphism 𝐹: 𝑈 → 𝑉 dan sebaliknya.

L.6. Penempelan Permukaan Licin pada E3


Menurut Munkres, J.R. (1999) menyatakan bahwa suatu permukaan
ditempelkan di 𝐸3 adalah kumpulan tiga buah fungsi-fungsi bernilai
real (𝑥 𝑘 = 𝑥1 , 𝑥 2 , 𝑥 3 ) yang licin dari dua buah variabel 𝑥 𝜇 = 𝑥1 , 𝑥 2 .
dengan 𝑥1 = 𝑥 1 𝑥1 , 𝑥 2 ; 𝑥 2 = 𝑥 2 𝑥1 , 𝑥 2 dan 𝑥 3 = 𝑥 3 𝑥1 , 𝑥 2 .
Pemetaan fungsi 𝑓: 𝐸2 → 𝐸3 adalah pemetaan satu-satu dengan 𝑥1 , 𝑥 2
adalah koordinat lokal atau parameter-parameter, sedangkan (𝑥 𝑘 =
𝑥1 , 𝑥 2 , 𝑥 3 ) disebut sebagai koordinat Global atau koordinat yang
membenamkan (ambient coordinate) . Syarat dari penempelan
permukaan licin pada E3 adalah jika parameter-parameter atau
𝝏𝒙𝒌
koordinat lokal tidak bernilai nol pada semua = 𝐽 ≠ 0 (non
𝝏𝒙𝝁
singular) dan haruslah bernilai positif definite. Contoh dari penempelan
permukaan licin pada E3 adalah
 Permukaan datar pada E3
 Sebuah permukaan Bola 𝑥 2 + 𝑦 2 + 𝑧 2 = 1 dengan 𝑥, 𝑦, 𝑧 =
(𝑠𝑖𝑛𝜃𝑐𝑜𝑠𝜑, 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑠𝑖𝑛𝜑, 𝑐𝑜𝑠𝜃)
 Torus dengan radius 𝑎>𝑏 dengan
S  ( x , y , z )  (( a  b cos  ) cos u, ( a  b cos  ) sin u, b sin  )

Lampiran-1 Hal. 71
LAMPIRAN-2

L.1 Penyelesaian dengan MATLAB

Pada lampiran ini akan dipelajari penggunaan MATLAB untuk


menyelesaikan persamaan-persamaan matematik serta pemodelan
dengan menggunakan simulink.

Sebagai contoh terdapat suatu persamaan deferensial sebagai berikut


𝑑2 𝑦 2
𝑑𝑦
= 𝜇 1 − 𝑦 −𝑦
𝑑𝑥 2 𝑑𝑥
Maka pemodelan dengan menggunakan simulink dapat didesain sebagai
berikut di bawah ( Gambar-1)

Gambar-1 Pemodelan dengan Menggunakan Mux

Hasil keluaran dapat diperlihatkan pada Gambar-2 di bawah

Gambar-2 Hasil Keluaran dengan Menggunakan Mux


Lampiran-2 Hal. 72
MATLAb juga dapat digunakan untuk menganalisa suatu gerbang
logika pada rangkaian listrik seperti pada Gambar di bawah

Gambar-3 Gerbang Logika pada Rangkaian IC

Dapat diperlihatkan suatu gerbang logika menggunakan MATLAB


menggunakan menu seperti pada Gambar-4 di bawah

Gambar-4 Menu Gerbang Logika


Contoh penggunaan simulink dengan menggunakan MATLAB pada
gerbang logika dapat diperlihatkan pada Gambar-5 di bawah

Lampiran-2 Hal. 73
Gambar-5 Gerbang Logika pada Rangkaian IC dengan MATLAB

MATLAB juga menyediakan suatu simulink untuk menganalisa


rangkaian listrik, yaitu pada menu Simulink di Library, seperti pada
Gambar-6

Gambar-6 Menu Rangkaian Listrik pada MATLAB

Lampiran-2 Hal. 74
Sebagai contoh akan digunakan menu simulink untuk menganalisa
rangkaian sederhana. Dalam membuat skema, terlebih dahulu harus
digunakan powergui dan dipilih menu configure parameters yang dapat
diambil pada menu seperti pada Gambar-7 di bawah

Gambar-7 Menu Powergui

Menu tampilan skema listrik yang akan dipasang dapat dijalankan


dan hasil program dapat ditampilkan pada layar seperti pada Gambar-8
di bawah

Gambar-8 Contoh Program MATLAB

Lampiran-2 Hal. 75
MATLAB juga menyediakan menu untuk menyelesaikan bentuk
persamaan matematis suatu rangkaian elektronika, seperti rangkaian R-
C yaitu sebagai berikut
𝑉=0
𝑄
𝐼𝑅 + = 𝑉𝐷𝐶
𝐶
1
𝐼𝑅 + 𝐼𝑑𝑡 = 𝑉𝐷𝐶 = 𝜀
𝐶
1
𝑉𝑅 = 𝜀 − 𝐼𝑑𝑡
𝐶
Dapat diselesaikan dengan MATLAB jika nilai 𝑅 = 𝐶 = 1 , seperti
pada Gambar-9

Gambar-9 Simulasi MATLAB Rangkaian RC

Untuk rangkaian RLC maka dapat dibuat sebuah listing program


sebagai berikut
𝑉=0

Lampiran-2 Hal. 76
𝑄 𝑑𝐼
𝐼𝑅 + + 𝐿 = 𝑉𝐷𝐶
𝐶 𝑑𝑡
1 𝑑𝐼
𝐼𝑅 + 𝐼𝑑𝑡 + 𝐿 = 𝜀
𝐶 𝑑𝑡
1 𝑑𝐼
𝑉𝑅 = 𝜀 − 𝐼𝑑𝑡 − 𝐿
𝐶 𝑑𝑡
Hasil simulasi memperlihatkan sebagai berikut Gambar-10 jika
𝑅=𝐿=𝐶=1

Gambar-10 Simulasi MATLAB Rangkaian RLC

Beberapa contoh pemrograman dengan Matlab

1. Dapat diperlihatkan pemodelan untuk rangkaian R-C sebagai


berikut

Gambar-11 Rangkaian RC

Lampiran-2 Hal. 77
Pemodelan secara komputasi didapatkan bahwa

Gambar-12 Pemodelan secara Komputasi

Hasil simulasi dapat diperlihatkan pada powergui

Gambar-13 Hasil Pemodelan pada LTI Viewer


Tegangan vs Time

Untuk memperlihatkan besar tegangan terhadap frekuensi, maka dapat


digunakan menu edit pada LTI Viewer dan menggantinya ke menu
Bode, seperti pada Gambar-14

Gambar-14 Tegangan vs Frekuensi

Lampiran-2 Hal. 78
Berbagai bentuk pemodelan teori rangkaian RC dapat diperlihatkan
sebagai berikut:
Untuk mencari arus pada kapasitor:
𝑉=0
𝑄
𝐼𝑅 + = 𝑉𝐷𝐶
𝐶
1
𝐼𝑅 + 𝐼𝑑𝑡 = 𝜀
𝐶
𝜀 1
𝐼= − 𝐼𝑑𝑡
𝑅 𝑅𝐶
Untuk mencari tegangan pada kapasitor:
𝑉=0
𝑑𝑄 𝑄
𝑅+ =𝜀
𝑑𝑡 𝐶
𝑑𝑄 𝜀 𝑄
= −
𝑑𝑡 𝑅 𝑅𝐶

𝑄
Gambar-15 Tegangan 𝑽 = vs Time
𝐶

2. Untuk rangkaian R-L dapat diperlihatkan sebagai berikut

Lampiran-2 Hal. 79
Gambar-16 Rangkaian R-L
Hasil tegangan terhadap waktu dapat diperlihatkan pada Gambar-17 di
bawah ( pada powergui )

Gambar-17 Kurva Tegangan vs Time


Pemodelan teori dapat diperlihatkan sebagai berikut
Untuk mencari arus pada induktor:
𝑉=0
𝑑𝐼
𝐿 + 𝐼𝑅 = 𝑉𝐷𝐶
𝑑𝑡
𝑑𝐼 1 𝜀
+ 𝐼𝑅 =
𝑑𝑡 𝐿 𝐿
𝑑𝐼 𝜀 𝐼𝑅
= −
𝑑𝑡 𝐿 𝐿

Lampiran-2 Hal. 80
Dapat dikerjakan menggunakan rangkaian integrator untuk menentukan
𝑑𝐼
besar tegangan 𝑉 = 𝐿 𝑑𝑡 sebagai berikut ( Gambar-18)

Gambar-18 Tegangan pada Induktor vs Time

L.2. Latihan Soal


1. Buatlah persamaan Fisika yang mewakili gambar berikut

Lampiran-2 Hal. 81
BIOGRAFI PENULIS

Dr. Valentinus Galih Vidia Putra, S.Si., M.Sc lahir di


desa Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Pendidikan
dasar sampai menengah diselesaikan di kota kecil Bekasi,
Jawa Barat.
Penulis menamatkan pendidikan starta satu (S-1) dan Master (S-2) Fisika di Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FMIPA UGM dengan predikat Cumlaude.
Program Doktor diselesaikannya di Universitas yang sama juga dengan predikat
Cumlaude dan dalam waktu tiga tahun sepuluh bulan dengan topik disertasi
pemodelan serat benang pada mesin open end spinning.
Kegiatan Organisasi dan Riwayat pekerjaan penulis:
1. Asisten Tugas Lab I, II dan III di Laboratorium Fisika UGM (2007-2009).
2. Tim panitia Lomba Fisika Nasional (TOP COP UGM), UGM, Yogyakarta(
2007).
3. Tim Koordinator Lomba cerdas cermat KKN-PPM UGM, Yogyakarta di
Purworejo (2008).
4. Anggota keluarga mahasiswa Katolik (KMKath), UGM, Yogyakarta (2005-
2010).
5. Pengajar Fisika dan Matematika SMA, LBB SSC, Yogyakarta (2010-2012).
6. Pengajar Olimpiade Sains Nasional Fisika SMA De Britto,Yogyakarta dan
SMP IPH School, Surabaya (2011-2013).
7. Asisten dosen Mata Kuliah Fisika Matematika, Prodi Geofisika, Jurusan
Fisika UGM, Yogyakarta (2012).
8. Dosen Fakultas Teknik Informatika Universitas Dian Nuswantoro, Semarang,
Mata kuliah: Fisika dasar I dan 2, Pengantar Elektronika Dasar, (2012-2013).

Biografi Penulis Hal. 82


9. Dosen Fisika, Politeknik STTT, Bandung, Mata Kuliah: Utilitas I, Otomasi,
Mekatronika Tekstil, Praktikum Mekatronika Tekstil, Praktikum Fisika Dasar
I dan 2 (2014-sekarang).
Kegiatan Ilmiah yang pernah diikuti:

1. Indonesian Textile Conference, Seminar NasionalTekstil2014


2. Seminar Nasional Pekan Ilmiah Fisika XXV
3. The 2nd International Conference on Kinematics, Mechanics of Rigid Bodies
and Materials ( MECHKINEMATICS 2014)
4. The 4th International Conference on Theoretical and Applied Physics
(ICTAP) 2014

Karya Ilmiah yang pernah ditulis:

No Bidang Karya Ilmiah Judul Identitas Karya Ilmiah

1 Tekstil Jurnal Pemodelan Untuk TEXERE ( Journal of


Nasional Menentukan Hubungan Textile Science and
Tekstil Actual Twist Tipe-Z Technology) Vol. 12
Terhadap Kecepatan No.1, ISSN 1411309-0 ,
Sudut pada Mesin (2014),sebagai penulis ke-
Spinning (Rotor dan 1
Ring Spinning)
2 Tekstil Jurnal Studi Pengaruh Bentuk TEXERE ( Journal of
Nasional S-Twisted dan Z- Textile Science and
Tekstil Twisted Terhadap Technology) Vol. 12
Besar Twist pada Mesin No.2, ISSN 1411309-0 ,
Pintal (2014), sebagai penulis
ke-1
3 Tekstil Prosiding Studi Pengaruh Bentuk Prosiding Seminar
Seminar Permukaan Navel Nasional Tekstil 2014,
Nasional terhadap Hairiness ISSN 2356-5055, Volume
Tekstil (Pendekatan Teori dan 1, Nomor 1 (2014)
Validasi Eksperimen) penulis ke-1
4 Tekstil Prosiding Hubungan Actual Twist Prosiding Seminar
Seminar Tipe-Z terhadap Nasional Tekstil 2014,
Nasional Kecepatan Benang pada ISSN 2356-5055, Volume
Tekstil Mesin Pintal 1, Nomor 1 (2014)
(Pendekatan Fisika) penulis ke-1

Biografi Penulis Hal. 83


5 Tekstil Prosiding Pemodelan untuk Prosiding Seminar
Seminar Menentukan Hubungan Nasional Tekstil 2014,
Nasional Twist terhadap Nomor ISSN 2356-5055, Volume
Tekstil Benang Nm pada Mesin 1, Nomor 1 (2014)
Rotor Open-End penulis ke-1
Spinning Menggunakan
Metode Lagrange dan
Komputasi Numerik
(Pendekatan Fisika)
6 Fisika Prosiding Analisa Teori untuk Prosiding Seminar
Seminar Menentukan Yarn Nasional Fisika, ISSN
Nasional Tension pada Mesin 2339-160X, Volume 2,
Fisika Open End Spinning ( Nomor 1 (2014) sebagai
analisa Fisika) penulis ke-2
7 Fisika Prosiding Analisa Teori Prosiding Seminar
Seminar Pembentukan Twist Nasional Fisika, ISSN
Nasional pada Mesin Air Jet 2339-160X, Volume 2,
Fisika Spinning Tipe Murata Nomor 1 (2014) sebagai
Vortex Spinning penulis ke-2
8 Fisika Prosiding Pengenalan Sistem Prosiding Seminar
Seminar kerangka Acuan Non Nasional Fisika, ISSN
Nasional Inersia pada Pengaruh 2339-160X, Volume 2,
Fisika Bentuk S-Twist dan Z- Nomor 1 (2014) sebagai
Twist terhadap besar penulis ke-1
Twist pada Mesin
Pintal Ring Spinning
9 Fisika Prosiding Bentuk Pemodelan Prosiding Simposium
Seminar Pergerakan Serat- Nasional Inovasi dan
Nasional Benang dalam Pembelajaran Sains 2015
Fisika Tampang Lintang (SNIPS 2015)
Struktur Benang Ring 8 dan 9 Juni 2015,
Spinning (Tinjauan Bandung, Indonesia
Fisika Teori)
10 Fisika Jurnal Theoretical Modeling Journal of Applied
Internasional for Predicting the Mathematics and Physics,
Optimum Twist Angle (2015), 3, 623-630,
of Cotton Fiber Published Online May
Movement on OE Yarn 2015 in SciRes.
Made by Rotor http://dx.doi.org/10.4236/j
Spinning Machine amp.2015.35074 penulis 1
11 Fisika Jurnal Predicting the Actual Applied Mechanics and
Internasional Strength of Open-End Materials , indexed by

Biografi Penulis Hal. 84


Spun Yarn Using scopus , Vol 780 (2015)
Mechanical Model pp 69-74 © (2015) Trans
Tech Publications,
Switzerland
doi:10.4028/www.scientif
ic.net/AMM.780.69
penulis ke-2
12 Fisika Jurnal A Simulation Model of Global Journal Pure and
Internasional Twist Influenced by Applied Mathematics,
Fibre Movement inside indexed by scopus (2016)
Yarn on Solenoid
Coordinate

Biografi Penulis Hal. 85

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai