Anda di halaman 1dari 6

Menurut BNPB (2011) tindakan pasca bencana tanah longsor adalah sebagai berikut:

1. Relokasi
Prinsip-prinsip relokasi pengungsi adalah menjauhkan masyarakat dari bencana dan juga
mempertimbangkan keinginan dari masyarakat luas yaitu tempat yang aman dari bencana,
oleh karena itu BNPB tidak pernah mengambil keputusan tanpa usulan dan masukan dari
daerah-daerah yang terkena dampak bencana.
Dasar hukum ‘utama’ relokasi yang terdapat dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana tidak memuat kaidah yang mewajibkan atau memberi kuasa
perintah bagi pemerintah melakukan relokasi. Kata kunci dari kaidah hukum relokasi pada
Pasal 32 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah ‘dapat’.
Kata ‘dapat’ memiliki konsekuensi yaitu tersedianya pilihan kebijakan yang dapat ditempuh
oleh Pemerintah. Pilihan kebijakan akan sangat tergantung dari berbagai pertimbangan yang
digunakan dalam memilih.
Relokasi korban bencana adalah pilihan bukan kewajiban, dan dapat dimaknai sebagai
pilihan terakhir yang dapat tempuh ketika daerah atau kawasan dimaksud tidak dapat
digunakan atau berbahaya untuk beraktivitas. Namun pasca erupsi Merapi, relokasi seolah
menjadi keharusan atau kewajiban yang harus ditempuh. Keharusan tersebut dicarikan daya
pengabsah agar warga diwilayah yang ditentukan dapat direlokasi. Hukum menjadi alat
legitimasi, dan alat rekayasa untuk mengosongkan wilayah yang ditentukan sebagai kawasan
tertentu.
Pasal 32 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana jangan
dimaknai sebagai kaidah yang mengatur relokasi atau memindahkan penduduk dari suatu
wilayah tertentu. Karena relokasi adalah sebuah pilihan yang bertolak dari kata ‘dapat’,
artinya terdapat pilihan selain relokasi yang dapat dilakukan. Ketersediaan pilihan sebagai
konsekuensi logis dari konsep penanggulangan bencana selain kebijakan pemerintah yaitu
pencegahan, tanggap darurat dan rehabilitasi. Pencegahan bencana tidak harus ditempuh
dengan cara melakukan relokasi.
Pasal 1 angka 6 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memberikan
definisi kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Berdasarkan definisi
kegiatan pencegahan bencana juga mengemukakan pilihan kebijakan yang bisa diambil yaitu
menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Menghilangkan ancaman bencana
(alam) dengan mencegah timbulnya korban ketika bencana terjadi. Relokasi menjadi langkah
‘mutlak’ untuk menghindari potensi jatuhnya korban, yang didalamnya menunjukkan
ketiadaan opsi lain selain cara relokasi.
Berdasarkan sistematika UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal
32 yang mengatur tentang kaidah hukum relokasi berada ‘diluar’ ketentuan mengenai tahapan
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sehingga menegaskan bahwa relokasi merupakan
pilihan ketika tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan untuk melakukan penanggulangan
bencana. Artinya kegiatan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana lebih
mengutamakan kegiatan pada setiap tahapannya daripada melakukan relokasi. Relokasi
dilakukan ketika memang suatu daerah memang tidak dapat ditoleransi rawan bencana atau
potensi terjadinya bencana sangat besar yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat
dalam kurun waktu yang lama.

2. Rehabilitasi
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan pemulihan - rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
harus dilaksanakan dalam kerangka pengurangan risiko bencana yang akan datang. Mengingat
bahwa ancaman bahaya bencana akan selalu ada maka sejak awal upaya-upaya mengurangi
kerentanan fisik, sosial, dan ekonomi masyarakat harus dilakukan.
Oleh karena itu setelah kejadian bencan setiap kegiatam rehabilitasi dan rekonstruksi untuk
memulihkan keadaan masyarakat supaya bisa bangkit kembali dari keadaan keterpurukan
harus dilakukan dalam kerangka PRB yang mengntisipasi terjadinya bencana yang akan
datang.
Kegiatan antara lain meliputi:
a. Melakukan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) berdasarkan analisis resiko bencana.
Ini termasuk rencana struktur, pola ruang wilayah, dan penetapan kawasan dengan
mempertimbangkan potensi resiko bencana yang telah ditetapkan lembaga berwenang.
b. Melaksanakan kegiatan pelatihan dan bantuan modal usaha untuk mengurangi
ketergantungan masyarakat kepada sumber mata pencarian yang tidak aman dan rawan
bahaya.
c. Meningkatkan kemampuan masyarakat pada pasca bencana untuk membangun kembali
dan memperbaiki rumah, gedung dan bangunan sejenisnya yang memenuhi standar teknis
tata bangunan (arsitektur) dengan mempertimbangkan potensi resiko bencana yang telah
ditetapkan lembaga berwenang serta sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah
(RTRW). Hal ini dilakukan berdasarkan analisis resiko bencana, yang antara lain meliputi
rencana struktur dan pola ruang wilayah serta penetapan kawasan dengan
mempertimbangkan potensi resiko bencana yang telah ditetapkan lembaga berwenang.
d. Mengajak masyarakat pada pasca bencana untuk:
1) Tidak membangun kembali rumah dan sejenisnya di tepi tebing, di kaki bukit, di lereng
gunung berapi, di tepi sungai dan di pinggir pantai;
2) Tidak menggantungkan kembali sumber mata pencariannya pada kegiatan yang tidak
aman dan rawan bahaya, seperti: membuka lahan dengan cara membakar, menambang
batu/ pasir dan bahan tambang lain, membuang sampah di sungai atau saluran air dan
melakukan pembalakan/ penebangan liar.

3. Rekonstruksi
Penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan longsor tidak menjadi
pertimbangan utama untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor, karena
kerentanan untuk bangunan-bangunan yang dibangun pada jalur tanah longsor hampir 100%.
Ada beberapa tindakan perlindungan dan perbaikan yang bisa ditambah untuk tempat-
tempat hunian, antara lain:
a. Perbaikan drainase tanah (menambah materi-materi yang bisa menyerap).
b. Modifikasi lereng (pengurangan sudut lereng sebelum pem-bangunan).
c. Vegetasi kembali lereng-lereng.
d. Beton-beton yang menahan tembok mungkin bisa menstabilkan lokasi hunian.
4. Tindakan Lanjut Pasca Rekonstruksi
Hasil studi/penelitian pasca bencana merupakan salah satu pertimbangan dasar untuk
perencanaan dan pengembangan pengelolaan bencana.
e. Investigasi Lapangan.
f. Pengumpulan data primer dan sekunder.
g. Analisis dan kajian penyebab bencana.
h. Kesimpulan.
i. Rekomendasi untuk Action Plan (Pengertiannya mulai 1 tahap studi lanjut yang
komprehensif, 2. perencanaan, 3. pelaksanaan pembangunan (perbaikan, pemeliharaan,
pembangunan baru), 4. proses operasional dan 5. pemeliharaan, 6. monitoring dan
evaluasi).
Hasil penelitian merupakan salah satu referensi dalam menentukan pola pengelolaan
bencana spasial secara lokal, regional, kabupaten/kota, propinsi maupun nasional dan
temporal untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
Untuk skala lokal maka tindakan-tindakan nyata dalam pengelolaan bencana diantaranya
perbaikan dari daerah yang terkena bencana termasuk pemulihan (recovery) ataupun
pembangunan baru secara fisik. Di samping itu pemulihan yang bersifat psikis diperlukan
untuk memperkecil atau kalau bisa menghilangkan trauma dari masyarakat yang terkena
musibah. Dalam pemulihan ini juga diupayakan tindakan-tindakan untuk peningkatan
pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat bahwa kondisi geografis dan geologi di
wilayahnya mempunyai potensi terjadi bencana. Skala lokal lebih bersifat tindakan nyata.
Skala regional adalah upaya-upaya untuk keterpaduan antar wilayah baik lokal,
kabupaten/kota, propinsi dan nasional. Pembuatan peraturan daerah tentang pengelolaan
bencana dan buku pedoman pengelolaan bencana merupakan dua dari banyak bentuk dari
perencanaan dan pengembangan.
Studi/penelitian pasca bencana menfokuskan kepada bencana spesifik yang terjadi di
lokasi tertentu. Penelitian lebih dominan kepada pencarian penyebab bencana. Penentuan
penyebab bencana tertentu dan solusi secara lebih spesifik dijelaskan dan diuraikan. Di
samping itu juga evaluasi dan monitoring kegiatan-kegiatan pasca bencana yang sudah
dilakukan dikaji untuk referensi dan masukan dalam meng-update pengelolaan bencana yang
sudah ada.
Hal ini perlu dilakukan karena pada hakekatnya pengelolaan bencana itu bersifat dinamis
khususnya yang terkait dengan daya rusak air sehingga bentuk-bentuk normatif dari
pengelolaan bencana harus selalu disesuaikan dengan kondisi yang realistis di lapangan.
Dengan kata lain, setiap produk dari pengelolaan bencana seperti: peraturan, norma,
standard, pedoman dan manual harus secara kontinyu dievaluasi dan diperbaiki
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Anda mungkin juga menyukai