Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jalan adalah suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke
tempat lain. Lintasan diatas menyangkut jalur tanah yang diperkeras dan jalur tanah tanpa
perkerasan. Jalan yang akan dilewati itu menyangkut semua benda atau makhluk hidup, baik
kendaraan bermotor, gerobah, hewan, maupun manusia.
Sehingga bentuk geometriknya harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang
bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan
fungsinya, sebab tujuan akhir dari perencanaan geometrik ini adalah menghasilkan
infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio tingkat
penggunaan biaya juga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.
Perkembangan kapasitas maupun kwantitas kendaraan yang menghubungkan kota-kota antar
propinsi dan terbatasnya sumber dana untuk pembangunan jalan raya serta belum optimalnya
pengoprasian prasarana lalu lintas yang ada, merupakan persoalan utama di Indonesia dan
dibanyak Negara, terutama Negara-negara yang sedang berkembang.
Jaringan Jalan Raya merupakan penghubung antara desa dengan kota, daerah dengan
daerah, tempat yang satu dengan tempat yang lain.Untuk berlangsungnya kepentingan
ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan sebagainya. Jalan yang baik adalah jalan
yang mampu secara optimal kepada lalu lintas sesuai fungsinya serta memenuhi syarat-syarat
perencanaan yang meliputi:
a. Singkat dan pendek.
b. Ekonomis, menghindari rintangan tertentu yang akan membutuhkan biaya tambahan,
mengusahakan antara galian dan tmbunan.
c. Aman, cukup lebar sesuai dengan kelasnya, turunan dan tanjakan tidak terlalu curam dan
tikungan yang memenuhi syarat.
d. Nyaman, hendaknya situasi jalan memberi kesan yang nyaman bagi pengguna jalan sehingga
perjalanan tidak terlalu melelahkan.
1

1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan Tugas Besar ini adalah sebagai persyaratan untuk memenuhi
syarat kelulusan mata kuliah Desain Jalan Raya dan mendapat wawasan dari pengaplikasian
Geometri Jalan Raya dan Perkerasan Jalan Raya pada umumnya.

1.3 Manfaat
Manfaat dari penyusunan Tugas Besar ini adalah Mahasiswa mampu mendesain Jalan
Raya yang baik, ekonomis, aman dan nyaman untuk memenuhi unsur keselamatan pengguna
jalan raya dan tidak mengganggu ekosistem.

BAB II
LANDASAN TEORI DAN KRITERIA PERENCANAAN

2.1 Pengertian Jalan Raya


Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada
pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta
di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 2006).
Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia
dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk
menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu
tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat (Clarkson H.Oglesby,1999).
Menurut UU jalan yang terbaru, jalan dikelompokkan berdasarkan 4 hal, yaitu:
1. Sistem Jaringan Jalan
Sistem jaringan jalan ini dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu:
o Sistem Jaringan Jalan Primer
Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti rencana tata ruang dan memperhatikan
keterhubungan antar kawasan perkotaan yang merupakan pusat-pusat kegiatan seperti
menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat
kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan, dan menghubungkan antar pusat kegiatan
nasional.
o Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti rencana tata ruang wilayah
kota/kabupaten yang menghubungkan secara menerus kawasan-kawasan yang mempunyai
fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan
seterusnya sampai kepersil.
3

2. Fungsi Jalan
Berdasarkan sifat dan pergerakan lalu lintas dan angkutan jalan, fungsi jalan dibedakan atas:
o Jalan Arteri (Utama)
Merupakan jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jauh kecepatan
rata-rata tinggi dan jumlah jaln masuk dibatasi secara efisien dalam komposisi lalu lintasnya
tidak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan raya dalam kelas ini
merupakan jalan raya yang berjalur banyak dengan konstruksi perkerasan dari jenis yang
terbaik.
o Jalan Kolektor (Sekunder)
Merupakan jalan yang melayani angkutan pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
Berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya jalan sekunder dibagi dalam tiga kelas,
yaitu:
a. Kelas II A
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konstruksi permukaan jalan
dari lapisan aspal beton atau yang setara.
b. Kelas II B
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari
penetrasi berganda atau yang setara dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan
lambat dan kendaraan tak bermotor.
c. Kelas III
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari
penetrasi tunggal, dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan bermotor lambat
dan kendaraan tak bermotor.

o Jalan Lokal (Penghubung)


Merupakan jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan yang
dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Keterangan:
D : Datar
B : Bukit
G : Gunung

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Raya


Jalan Raya Jalan
Kalasifikasi Jalan Raya Sekunder
Utama Penghubung
Jalan Raya
I IIA IIB IIC III
Klasifikasi D B D B D B D B
D B G
Medan G G G G
Lalu Lintas
20.000 6.000-20.000 1.500-8.000 20.000 -
Harian Rerata
Kecepatan
120 100 60 40
Rencana 100 80 60 80 60 40 60 40 30
80 30
(Km/Jam)
Lebar Daerah
60 60 30 30
Penguasaan 40 40 40 30 30 30 30 30 30
60 30
Minimum (m)
Lebar
Min 2x3,5 atau
Perkerasan 2x3,50 2x3,00 3,50-6,00
2(2x3,75) 2(2x3,5)
(m)
Lebar Median
2 1,5 - - -
Minimum (m)
Lereng
Melintang 2% 2% 2% 2% 2%
Perkerasan
Lereng
Melintang 4% 4% 6% 6% 6%
Bahu
Jenis Lapisan Paling Paling Tinggi
Aspal Beton Penetrasi
Permukaan Aspal Beton Tinggi Pelebaran
(HM) Berganda
Jalan Pen.Tunggal Jalan
Miring
10% 10% 10% 10% 10%
Tikungan

Jari-Jari
560 350 350 210 210 115 210 115 210 115
Lengkung
210 115 50 50 50
Min. (m)

Landai 3% 5% 4% 6% 5% 7% 6% 8% 6% 8%
Maksimum 6% 7% 8% 10% 10%
Sumber: Departemen PU

3. Status Jalan
Jalan umum dikelompokkan menjadi 5golongan, yaitu:
a. Jalan Nasional
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di tingkat nasional.
b. Jalan Propinsi
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di tingkat propinsi.
c. Jalan Kabupaten
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di tingkat kabupaten.
d. Jalan Kota
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di tingkat kota.
e. Jalan Kota
Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di tingkat desa.
4. Kelas Jalan
Penentuan kelas jalan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan
angkutan jalan, serta spesifikasi penyediaan prasarana jalan.
Penentuannya diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu
lintas dan angkutan jalan. Pengelompokan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan
prasarana jalan, terdiri atas:
a. Jalan Bebas Hambatan
Meliputi pengendalian jalan masuk secara penuh, tidak ada persimpangan sebidang,
dilengkapi pagar ruang milik jalan, dan dilengkapi dengan median, paling sedikit 2 lajur setiap
arah, lebar lajur sekurang-kurangnya 3,5 meter.
b. Jalan Raya
Jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara terbatas
dan dilengkapi dengan median, paling sedikit 2 lajur setiap arah, lebar lajur sekurang-
kurangnya 3,5 meter.
c. Jalan Sedang
Jalan umum dengan lalu lintas jarak sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak
dibatasi, paling sedikit 2 lajur untuk 2 arah, lebar lajur paling sedikit 7 meter.
d. Jalan Kecil
Jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat, paling sedikit 2 lajur untuk 2 arahdengan
lebar jalur paling sedikit 5,5 meter.

2.2 Klasifikasi Medan dan Lereng Melintang


Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan
yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus
mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan
mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

Tabel 2.2 Klasifikasi menurut medan jalan

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

Perencanaan jalan sepantasnya disesuaikan dengan keadaan medan . namun fungsi


jalan sering kali menuntut perencanaan jalan tidak sesuai dedengan kondisi medan
dansekitarnya . hal ini menybabkan tingginya volum pekerjaan tanah keseimbangan antara
fungsi jalan dengan keadaan medan akan mempengaruhi nilai biaya pembangunan jalan
tersebut.
Dalam perencanaan jalan, keadaan medan dibagi 3 yaitu sebagai berikut:
a. Medan Datar (D)
Suatu medan dikatakan datar apabila kecepatan kendaraan truk sama atau mendekati
kecepatan mobil penumpang.
b. Medan Perbukitan (B)
Suatu medan dikatakan perbukitan apabila kecepatan kendaraan truk berkurang sampai
dibawah kecepatan mobil penumpang, tetapi belum merangkak.

c. Medan Pegunungan (P)


Suatu medan dikatakan pegunungan apabila kecepatan kendaraan truk berkurang
banyak sehingga truk tersebut merangkak melewati jalan tersebut dengan frekuensi yang
sering.

Medan datar, perbukitan dan pegunungan dapat pula dibedakan dari data besarnya
kemiringan melintangrata-rata dari potongan melintang tegak lurus sumbu jalan.
Spesifikasi standart untuk perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota dari Bipran, Bina
Marga (Rancangan Akhir) memberikan ketentuan sebagai berikut:

Tabel 2.3 Klasifikasi Medan


Jenis Medan Kemiringan Melintang Rata-Rata
Datar (D) 0 - 9,9 %
Perbukitan (B) 10 – 24,9 %
Pegunungan (P) 25,00 %
Sumber: Departemen PU

Selain medan, kita juga perlu memperhatikan tentang lereng-lereng yang melintang
pada jalan yang akan dibangun. Tiap-tiap lereng memiliki kemiringan yang berbeda.
Kemiringan melintang jalur lalu lintas dijalan lurus diperuntukkan terutama untuk kebutuhan
drainase jalan. Air yang jatuh diatas permukaan jalan supaya cepat dialirkan ke saluran-saluran
pembuangan. Kemiringan melintang bervariasi antara 2 % - 4 %, untuk lapisan permukaan
dengan mempergunakan bahan pengikat seperti aspal atau semen. Semakin kedap air lapisan
tersebut semakin kecil kemiringan melintang yang dapat digunakan.Sedangkan untuk jalan
dengan lapisan permukaan belum mempergunakan bahan pengikat seperti jalan berkerikil,
kemiringan melintang dibuat sebesar 5 %.
Kemiringan melintang jalur lalu lintas ditikungan dibuat untuk kebutuhan
keseimbangan gaya sentrifugal yang bekerja disamping kebutuhan akan drainase akan
besarnya kemiringan melintang yang dibutuhkan.

2.3 Perencanaan Alinemen Horizontal


Alinemen horizontal atau trase suatu jalan adalah proyeksi sumbu jalan tegak lurus
bidang kertas (peta) terdiri dari garis lurus dan garis lengkung.
Garis lengkung horizontal adalah bagian yang lengkung dari jalan yang ditempatkan
antara dua garis lurus untuk mendapatkan perubahan jurusan yang bertahap.
Dalam merencanakan garis lengkung perlu diketahui hubungan antara design speed
dengan lengkung, dan hubungan keduanya dengan superelevasi. Hubungan ini diturunkan dari
rumus-rumus mekanika, dan harga yang dipakai untuk perencanaan tergantung dari batas-batas
praktis dan faktor-faktor yang ditentukan secara empiris.
Bila kendaraan melintasi suatu lengkung dengan bentuk lingkaran, maka kendaraan ini
akan didorong secara radial keluar oleh gaya sentrifugal yang akan diimbangi oleh komponen
berat kendaraan yang diakibatkan superelevasi dari jalan dan oleh gesekan samping (side
friction) antara ban kendaraan dengan permukaan jalan.

Gambar 2.1 Kesetimbangan Gaya di Tikungan Jalan

Gaya-gaya dalam keadaan setimbang, maka:


= G. Sin  + Fs
= G. Sin  + f( G Cos  + )
- f. = G. Sin  + f.G Cos 
(Cos  - f. Sin ) = G. Sin  + f.G Cos 
Persamaan di atas dibagi dengan Cos , didapat:
(1 - f. Tan ) = G. Tan  + f.G
Jika miring permukaan jalan disebut dengan superelevasi dan diberi simbol e, maka
akan didapat e = Tan 
Persamaan akan berubah menjadi:
(1 - f. e) = G. e + f.G
Dengan membagi G di ruas kiri dan kanan, maka didapat:
=
karena nilai perkalian antara e.f kecil, maka dapat diabaikan, sehingga rumus lengkung
horizontal menjadi sbb:
e+f=
Jika v dalam km/j; g =9,81 m/d2; dan R dalam satuan meter, diperoleh:
e+f=

Gambar 2.2 Derajat Lengkung

Untuk menyatakan suatu lengkung horizontal, di atas dapat dinyatakan dalam Radius
(R), dapat pula dinyatakan dalam Derajat Lengkung (D). Derajat Lengkung adalah sudut pusat
yang terjadi dengan busur lingkaran 100 feet (25 m).

=
D= (R dalam satuan feet)
D= (R dalam satuan meter)
Semakin besar R, maka D semakin kecil dan semakin tumpul lengkung horizontal
rencana.Sebaliknya semakin kecil R maka semakin besar D dan semakin tajam lengkung
horizontalnya.
Bagian yang sangat kritis pada alinemen horizontal adalah bagian tikungan, dimana
terdapat gaya yang akan melempar kendaraan keluar dari tikungan yang disebut gaya
Sentrifugal.
Dalam suatu perencanan alinemen horizontal, terdapat 3 macam bentuk lengkung
horizontal, antara lain:
a. Full Circle (FC)
Bentuk tikungan ini adalah jenis tikungan yang terbaik, dimana mempunyai jari-jari
besar dengan sudut yang kecil.Yaitu hanya dapat digunakan jika jari-jari tikungan R yang
direncanakan besar dan nilai superelevasi e lebih kecil dari 3%.Batas besaran R minimum di
Indonesia ditetapkan oleh Bina Marga sebagai berikut:

Tabel 2.4 Batas Besaran Minimum


Kecepatan Rencana Jari-Jari Lengkungan
(Km/Jam) Minimum (m)
120 2000
100 1500
80 1100
60 700
40 300
30 100
Sumber: Departemen PU

b. Spiral Circle Spiral (SCS)


Lengkung spiral – circle – spiral pada umumnya digunakan jika nilai superelevasi e 3% dan
panjang Ls 20 meter.
c. Spiral Spiral (SS)
Lengkung spiral – spiral pada umumnya digunakan jika nilai superelevasi e 3% dan panjang
Ls 20 meter.

Dalam perencanaan alinemen horizontal perlu dipertimbangkan beberapa hal sebagai


berikut:
1. Ketentuan-ketentuan dasar yang tercantum pada daftar standart perencanaan geometri jalan.
2. Jenis-jenis lengkung peralihan
 Full Sircle
Lengkung ini dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Tc = R*tg ( )
E= –R
Lc = * R
Dengan,
Tc: Panjang tangen dari PI “point of interaction” (m)
: titik awal peralihan dari posisi lurus kelengkung
R : Jari-jari alinemen horizontal (m)
: Sudut alinemen horizontal (°)
E : Jarak dari PI ke sumbu jalan arah pusat lingkaran (m)
Lc : Panjang busur lingkaran (m)
 Spiral Circle Spiral
Parameter lengkung S-C-S sebagai berikut:
s=
Lc =
p = - R (1- cos )
k = Ls - - R*sin
Ts = (R + p)* tg + k
E= -R
Xs = Ls (1- )
Ys =
Dengan,
: Sudut spiral pada titik SC
Ls : Panjang lengkung spiral
R : Jari-jari alinemen horizontal (m)
: Sudut alinemen horizontal (°)
Lc : Panjang busur lingkaran (m)
Ts : Jarak titik Ts dari PI (m)
titik awal mulai masuk ke daerah lengkung
E : Jarak dari PI ke sumbu jalan arah pusat lingkaran (m)
Xs,Ys : Koordinat titik peralihan dari spiral ke circle (m)
 Spiral Spiral
Parameter lengkung S-S sebagai berikut:
s=
p = - (1 - )
k = Ls - - R* Sin
Ts = (R + p) * tg ( + k
E= –R
Dengan,
s : Sudut spiral pada titik SC=CS
Ls : Panjang lengkung spiral
R : Jari-jari alinemen horizontal (m)
: Sudut alinemen horizontal (°)
Ts : Jarak titik Ts dari PI (m)
titik awal mulai masuk ke daerah lengkung
E : Jarak dari PI ke sumbu jalan arah pusat lingkaran (m)
3. Penampang Melintang
Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan tegak lurus pas As jalan yang
menunjukkan bentuk serta susunan bagian-bagian jalan yang bersangkutan dalam arah
melintang. Maksud dari penggambaran profil melintang disamping untuk memperlihatkan
bagian-bagian jalan juga untuk membantu dalam menghitung luas penampang melintang jalan.
4. Kemiringan Pada Tikungan (Superelevasi)
Pada suatu tikungan jalan, kendaraan yang lewat akan terdorong keluar secara radial
oleh gaya sentrifugal yang diimbangi oleh:
 Komponen yang berkendaraan yang diakibatkan oleh adanya superelevasidari jalan.
 Gesekan samping antara berat kendaraan dengan perkerasan jalan.
Kemiringan superelevasi maksimum terdapat pada bagian busur tikungan sehingga
perlu diadakan perubahan dari tikungan kemiringan maksimum berangsur-angsur kemiringan
normal.
Dalam melakukan perubahan pada kemiringan melintang jalan, terdapat 3 metode
pelaksanaan, yaitu:
 Mengambil sumbu As jalan sebagai sumbu putar
 Mengambil tepi jalan sebagai sumbu putar
 Mengambil tepi luar jalan sebagai sumbu putar
5. Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan
Untuk membuat tikungan suatu jalan tetap sama baik pada bagian lurus maupun
tikungan perlu diadakan pelebaran perkerasan pada tikungan tergantung pada:
 Jari-jari tikungan (R)
 Sudut tikungan ( )
 Kecepatan tikungan (Vr)
Rumus:
b’ = 2,4 + R –
Td =
z=
Dengan,
R : Jari-jari tikungan
p : Jarak ban muka dan ban belakang
A : Jarak ujung mobil dan ban depan
Vr : Kecepatan rencana
Rumus:
W=B-L
Dengan,
B : Lebar jalan
L : Lebar badan jalan (kelas IIB = 7,0)
Syarat:
Bila B 7, maka tidak perlu pelebaran
Bila B 7, maka perlu pelebaran

2.4 Perencanaan Alinemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah perpotongan antara bidang vertikal dengansumbu jalan.
Untuk jalan dengan dua lajur, alinyemen vertikal ini adalahperpotongan bidang vertikal melalui
sumbu atau as jalan. Didalam perancangangeometrik jalan harus diusahakan agar alinyemen
vertikal mendekati permukaantanah asli yang secara teknis berfungsi sebagai tanah dasar,untuk
dapatmengurangi pekerjaan tanah
Dalam perencaan alinyemen vertikal mengambil spesifikasi Teknis dari bab
perencanaan yaitu besarnya kecepatan rencana 50 km/jam. Besaran kecepatan rencana ini yang
akan dipakai dalam klasifikasi perencanaan alinyemen vertikal yang akan ditentukan
berdasarkan Dirjen Bina Marga “Standar Perencanaan Geometri untuk Jalan Perkotaan, 1992”
adalah sebagai berikut :
a. Panjang lengkung minimum vertikal = 50 meter
b. Jari-jari minimum lengkung vertikal
1. Cekung = 1000 meter
2. Cembung = 1400 meter
c. Jarak pandang menyiap
Adalah jarak pandang yang dibutuhkan sehingga aman dalam melakukangerakan
menyiap dalam keadaan normal. Besarnya jarak pandang menyiap untuk mengurangi kejutan
dalam berkendara.
Alinemen vertical terdiri atas bagian landai vertical dan bagian lengkung vertical.
Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertical dapat berupa landai positif
(tanjakan), atau landai negative (turunan) atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertical
dapat berupa lengkung cekung/cembung.
a. Landai maksium
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak terus
tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan
truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih
dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. Kelandaian maksimum
(yang diijinkan) untuk berbagi VR ditetapkan dapat dilihat dalam tabel, yaitu :

Tabel 2.5 Kelandaian Maksimum


VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kelandaian
3 3 4 5 8 9 10 10
Maksimal (%)
Sumber: Departement PU

Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan
dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian hingga penurunan kecepatan tidak lebih dari
separuh VR. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari 1 menit. Panjang kritis dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2.6 Panjang Kritis


Kecepatan pada awal tanjakan Kelandaian (%)
(km/jam) 4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
Sumber: Departement PU

b. Lengkung vertical
Lengkung vertical harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan
kelandaian dengan tujuan :
 Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian
 Menyediakan jarak pandang henti
Lengkung vertical dalam tata cara ini ditetapkan berbentuk parabola sederhana,
 Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikan cembung, panjangnya
ditetapkan dengan rumus :
L = AS²/405
 Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertical cekung, panjangnya
ditetapkan dengan rumus :
L = 2S – 405/A
Panjang minimum lengkung vertical ditentukan dengan rumus :
L = A.Y
L = S²/405
Dimana :
L = Panjang lengkung vertical (m)
A = Perbedaan grade (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10 cm dan tinggi mata 120 cm.
Y dipengaruhi oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan dan penampilan. Y
ditentukan sesuai tabel :

Tabel 2.7 Faktor Kenyamanan Penampilan


Kecepatan rencana (km/jam) Faktor penampilan kenyamanan Y
<40 1.5
40-60 3
>60 8
Sumber: Departement PU
Panjang lengkung vertical bisa ditentukan langsung sesuai tabel di bawah ini yang
didasarkan pada penampilan, kenyamanan dan jarak pandang.

Tabel 2.8 Panjang Lengkung Vertikal


Kecepatan rencana Perbedaan kelandaian Panjang lengkung
(km/jam) memanjang (%) (m)
<40 1 20-30
40-60 0.6 40-80
>60 0.4 80-150
Sumber: Departement PU

c. Lajur pendakian
Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk yang bermuatan berat atau
kendaraan lain yang berjalan lambat dari kendaraan lain pada umumnya, agar kendaraan lain
dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan
lajur arah berlawanan. Lajur pendakian harus desediakan pada ruas jalan yang mempunyai
kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya padat.
Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
 Disediakan pada jalan arteri atau kolektor.
 Apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR> 15000 smp/hari dan persentase truk
>15 %.
Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Lajur pendakian dimulai 30 m
dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45 m dan berakhir 50 m sesudah
puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45 m.jarak minimum antara 2 lajur pendakian
adalah 1.5 km.
d. Koordinasi alinemen
Alinemen vertical, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah elemen
jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan sedemikian sehingga menghasilkan
suatu bentuk jalan yang baik dalam arti memudahkan pengemudi mengemudikan
kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut
diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang
akan dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi awal.
Koordinasi alinemen vertical dan alinemen horizontal harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
 Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertical dan secara ideal alinemen
horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinemen vertical.
 Tikungan tajam pada bagian bawah lengkung vertika cekung atau pada bagian atas lengkung
vertical cembung harus dihindarkan.
 Lengkung vertical cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan.
 2 atau lebih lengkung vertical dalam 1 lengkung horizontal harus dihindarkan.
 Tikungan tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan.
e. Jarak Pandang
Jarak pandang adalah jarak dimana pengemudi dapat melihat benda yang
menghalanginya, baik yang bergerak maupun tidak bergerak dalam batas mata pengemudi
dapat melihatdan menguasai kendaraan pada suatu jalur lalu lintas.
Jarak pandang bebas dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Jarak Pandang Henti (dH)
Jarak yang ditempuh pengemudi untuk menghentikan kendaraan yang bergerak setelah
melihat adanya rintangan pada lajur yang dilaluinya.
Besarnya jarak pandang henti minimum sangat tergantung pada kecepatan rencana
jalan.
Rumus:
d = 0,278 V.t +

Dimana:
fm: Koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang jalan.
V: Kecepatan kendaraan (Km/Jam)
t: Waktu reaksi = 2,5 detik

Tabel 2.9 Jarak Pandang Henti Minimum


Kecepatan Kecepatan Koefisien
d Perhitungan d Perhitungan d Desain
Rencana, Vr Jalan, Vj Gesek Jalan,
untuk Vr (m) untuk Vj (m) (m)
(Km/Jam) (Km/Jam) fm
30 27 0,400 29,71 25,94 25-30
40 36 0,375 44,60 38,63 40-45
50 45 0,350 62,87 54,05 55-65
60 54 0,330 84,65 72,32 75-85
70 63 0,313 110,28 93,71 95-110
80 72 0,300 139,59 118,07 120-140
100 90 0,285 207,64 174,44 175-210
120 108 0,280 285,87 239,06 240-285
Sumber: Sukirman 1994

2. Jarak Pandang Menyiap (dM)


Jarak minimum didepan kendaraan yang direncanakan harus dapat dilihat pengemudi
agar proses menyiap kendaraan didepannya dapat dilakukan tanpa terjadi tabrakan dengan
kendaraan dari arah yang berlawanan. Besarnya jarak menyiap standar adalah sebagai berikut:
d = d1+d2+d3+d4
Keterangan:
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang hendak menyiap dan
membawa kendaraannya yang hendak membelok ke lajur kanan.
d2 = Jarak yang ditempuh kendaraan yang menyiap selama berada pada lajur sebelah kanan.
d3 = Jarak bebas yang harus disediakan antara kendaraan yang menyiap dengan kendaraan yang
berlawanan arah setelah gerakan menyiap dilakukan.
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah selama 2/3 dari waktu yang
diperlukan oleh kendaraan yang menyiap berada pada jalur sebelah kanan atau sama dengan
2/3 d2.
Rumus:
d1 = 0,278 t1
d2 = 0,278 V t2
d3 = 30 100 m
d4 = * d2
Dimana:
t1 = Waktu reaksi yang besarnya tergantung pada kecepatan yang sesuai dengan persamaan
t1 = 2,12 + 0,026 V
t2 = Waktu dimana kendaraan yang menyiap berada pada jalur kanan yang dapat ditentukan dengan
mempergunakan korelasi
t2 = 6,56 + 0,048 V
m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang disiap = 15Km/Jam
V = Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dalam perhitungan dapat dianggap sama dengan
kecepatan rencana, Km/Jam
a = Percepatan rata-rata yang besarnya tergantung pada kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap
yang dapat ditentukan dengan menggunakan korelasi
a = 2,052 + 0,0036 V
Jarak pandang menyiap minimum
dmin = 2/3 d2 + d3 + d4

Tabel 2.9 Jarak Pandang Menyiap Minimum


Jarak Jarak
Kecepatan Jarak Pandangan Pandangan Jarak Pandangan Pandangan
Rencana, Vr Menyiap Standar Menyiap Menyiap Minimum Menyiap
(Km/Jam) Perhitungan (m) Standar Desain Perhitungan (m) Minimum
(m) Desain (m)
30 146 150 109 100
40 207 200 151 150
50 274 275 196 200
60 353 350 250 250
70 437 450 307 300
80 527 550 368 400
100 720 750 496 500
120 937 950 638 650

PENDAHULUAN

CONTOH PERHITUNGAN GEOMETRIK JALAN RAYA. Perencanaan geometrik adalah


bagian dari perencanaan jalan dimana geometrik atau dimensi nyata jalan beserta bagian-
bagiannya disesuaikan dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu lintas. Melalui perencanaan
geometrik ini perencana berusaha menciptakan sesuatu hubungan yang baik antara waktu dan
ruang sehubungan dengan kendaraan yang bersangkutan, sehingga dapat menghasilkan
efisiensi keamanan serta kenyamanan yang paling optimal dalam pertimbangan ekonomi
yang paling layak.Perencanaan geometrik pada umumnya menyangkut aspek perencanaan
jalan seperti lebar, tikungan, landai, jarak pandang dan juga kombinasi dari bagian-bagian
tersebut.Perencanaan geometrik ini berhubungan erat dengan arus lalu lintas, sedangkan
perencanaan konstruksi jalan lebih bersangkut paut dengan beban lalu lintas tersebut.

Pengertian Jalan Raya


Menurut Silvia Sukirman Jalan raya atau jalur lalu lintas (tranvelled way = carriage way)
adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan untuk lalu lintas kenderaan.
Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa lajur (lane) kenderaan. Lajur kenderaan yaitu bagian dari
jalur lalu lintas yang khusus diperun tukan untuk dilewati oleh suatu rangkaian kenderaan
beroda empat atau lebih dalam satu arah . jadi jumlah jalur minimal untuk jalan 2 arah dan
pada umumnya disebut sebagai jalan 2 lajur 2 arah. Jalur lalu lintas untuk satu arah minimal
terdiri dari 1 lajur lalu lintas.

Klasifikasi Jalan
Factor-faktor pokok pada klasifikasi jalan jalan raya untuk penerapan pengendalian dan
kreteria perencanaan geometrik adalah Volume Lalu lintas Rencana (VLR), fungsi jalan raya
dan kondisi medan.
Menurut peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, jalan dibagi atas beberapa kelas yang
telah ditetapkan berdasarkan fungsi dan volumenya, serta sifat-sifat lalu lintas berdasarkan
ketentuan Dirjen Bina Marga. Adapun penggolongan tersebut sebagai syarat batas dalam
perencanaan suatu jalan yang
Sesuai dengan fungsinya. Penggolongan kelas jalan tersebut diperlihatkan pada tabel 2.1
berikut :

Tabel 2.1 : Penggolongan kelas jalan


Fungsi Medan VLR ( smp / hari )
30.000
> 30. 000 10.000 
>10.000
D
Kelas III Kelas III Kelas IV
JALAN B
KOLEKTOR Kelas III
G Kelas III Kelas IV

Sumber : Spesxifikasi standar untuk pertencanaan geometrik jalan luar kota


(Rancangan akhir), 1990

BAGIAN-BAGIAN JALAN

Bagian yang bermanfaat untuk lalu lintas, terdiri dari: jalur lalu lintas, lajur lalu lintas, bahu
jalan, trotoar, median
Bagian yang bermanfaat untuk drainase jalan, terdiri dari: ditch, kemiringan melintang jalan
maupun bahu, kemiringan lereng

1. Bagian pelengkap, terdiri dari: kerb, guard rail atau parapet


2. Bagian konstruksi jalan, terdiri dari: lapisan surface, lapisan pondasi atas maupun
bawah, lapisan tanah dasar
3. Ruang manfaat jalan (Rumaja)
4. Ruang milik jalan (Rumija)
5. Ruang pengawasan jalan (Ruwasja)

jalur lalu lintas (travelled/carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang
diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan.
Lajur lalu lintas adalah bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan untuk dilewati
oleh satu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah.
Bahu jalan adalahjalur yang terletak pada berdampingan jalur lalu lintas dengan ataupun
tanpa diperkeras
Trotoar (side walk) adalah jalur yang terletak bersisian dengan jalur lalu lintas yang khusus
diperuntukkan bagi pejalan kaki (pedestrian)

jalur lalu lintas (travelled/carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang
diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan. Sedangkan Lajur lalu lintas adalah bagian dari
jalur lalu lintas yang khusus diperuntukkan untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan
beroda empat atau lebih dalam satu arah.

PARAMETER DESIGNE

1. Kendaraan rencana
2. Kecepatan
3. Volume lalu lintas
4. Tingkat pelayanan
5. Jarak pandang

ALINEMEN HORIZONTAL

Alinemen horizontal (trase jalan) adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horisontal.
Alinemen horisontal tersusun atas garis lurus dan garis lengkung (busur) atau lebih dikenal
dengan istilah tikungan. Busur terdiri atas busur lingkaran saja (full-circle), busur peralihan
saja (spiral-spiral), atau gabungan busur lingkaran dan busur peralihan (spiral-circlespiral).

Gaya Apa Saja yang Terjadi di Tikungan ?


F=ma
F = (G.V^2)/(g.R)

Dimana :
F = gaya sentrifugal
m = massa kendaraan
a = percepatan sentrifugal
G = berat kendaraan
g = gaya gravitasi
V = kecepatan kendaraan
R = jari-jari tikungan

Gaya yang mengimbangi gaya sentrifugal adalah berasal dari :


• Gaya gesekan melintang roda (ban) kendaraan yang sangat
dipengaruhi oleh koefisien gesek (= f)
• Superelevasi atau kemiringan melintang permukaan jalan (= e)

Ketajaman lengkung horisontal (tikungan) dinyatakan dengan besarnya radius lengkung (R)
atau dengan besarnya derajat lengkung (D). Derajat lengkung (D) adalah besarnya sudut
lengkung yang menghasilkan panjang busur 25 meter.

D = (25/π.R) . 360
D = 1432.39 / R
Radius lengkung (R) sangat dipengaruhi oleh besarnya superelevasi (e) dan koefisien gesek
(f) serta kecepatan
rencana (V) yang ditentukan. Untuk nilai superelevasi dan koefisien gesek melintang
maksimum pada suatu kecepatan yang telah ditentukan akan meghasilkan lengkung tertajam
dengan radius minimum (Rmin).

Pada jalan lurus dimana radius lengkung tidak berhingga perlu direncanakan super elevasi
(en) sebesar 2 – 4 persen
untuk keperluan drainase permukaan jalan.

Secara teori pada tikungan akan terjadi perubahan dari radius lengkung tidak berhingga (R~)
pada bagian lurus menjadi radius lengkung tertentu (Rc)pada bagian lengkung dan
sebaliknya. Untuk mengimbangi perubahan gaya sentrifugal secara bertahap diperlukan
lengkung yang merupakan peralihan dari R~ menuju Rc dan kembali R~
Lengkung peralihan ini sangat dipengaruhi oleh sifat pengemudi, kecepatan kendaraan, radius
lengkung dan superelevasi jalan. Pencapaian superelevasi dari en menjadi emaks dan kembali
menjadi en dilakukan pada awal sampai akhir lengkung secara bertahap. Panjang lengkung
peralihan (Ls) diperhitungkan dari superelevasi sebesar en sampai superelevasi mencapai
emaks.

Panjang lengkung peralihan (Ls) yang digunakan dalam perencanaan adalah yang terpanjang
dari pemenuhan persyaratan untuk:
• Kelandaian relatif maksimum
Modifikasi rumus SHORT

Berdasarkan panjang perjalanan selama waktu tempuh 3 detik (Bina Marga) atau 2 detik
(AASHTO)Ls = (V/3.6) . T

Kelandaian relatif maksimum (1/m) berdasarkan kecepatan rencana berikut :

No Kecepatan Rencana (Vr)


20 30 40 50 60 80 100
Bina
1/50 1/75 1/100 1/115 1/125 1/150 1/100
Marga

No Kecepatan Rencana (Vr)


32 48 64 80 88 96 104
AASHTO 1/33 1/150 1/175 1/200 1/213 1/222 1/244

Diagram Superelevasi

Merupakan penggambaran pencapaian superelevasi dari lereng normal (en) sampai lereng
maksimal (e maks), sehingga dapat ditentukan diagram penampang melintang setiap titik
(stationing) pada suatu tikungan yang direncanakan.

Jenis-Jenis Tikungan

 Full Circle,
 Spiral – Circle – Spiral,
 Spiral – Spiral,

Full Circle
Karena hanya terdiri dari lengkung sederhana saja, maka perlu adanya lengkung peralihan
fiktif (Ls`) untuk mengakomodir perubahan superelevasi secara bertahap. Bina marga
menempatkan ¾ Ls` pada bagian lurus dan ¼ Ls` pada bagian lengkung • AASHTO
menmpatkan 2/3 Ls` pada bagian lurus dan 1/3 Ls` pada bagian lengkung.
Spiral – Circle – Spiral
Lc untuk lengkung type S – C – S sebaiknya ≥ 20 meter

Spiral – Spiral

Rc yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang diperlukan dari Ls berdasarkan
landai relatif lebih besar dari
pada Ls berdasarkan modifikasi SHORT serta Ls berdasarkan panjang perjalanan selama 3
detik (Bina Marga) atau selama 2 detik (AASHTO).

Pelebaran Pada Lengkung

b = lebar kendaraan rencana


B = lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah dalam
U = B-b
C = lebar kebebasan samping di kiri dan kanan kendaraan
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan
Bn = lebar total perkerasan pada bagian lurus
Bt = lebar total perkerasan di tikungan
n = jumlah lajur
Bt = n(Bt + C) + Z
Db= tambahan lebar perkerasan di tikungan = Bt - Bn

Rw = radius lengkung terluar dari lintasan kendaraan pada lengkung horisontal untul lajur
sebelah dalam, besarnya dipengaruhi oleh tonjolan
depan (A) kendaraan dan sudut belokan roda depan (a). Ri = radius lengkung terdalam dari
lintasan kendaraan pada lengkung horisontal untuk lajur sebelah dalam, besarnya dipengaruhi
oleh jarak gandar kendaraan (p).

ALINEMEN VERTIKAL

Alinemen vertikal (kelandaian) adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang


permukaan perkerasan jalan sehingga sering dikenal dengan penampang memanjang jalan.
Faktor yang menjadi pertimbangan penentuan alinemen vertikal adalah: kondisi tanah dasar,
keadaan medan (terrain), fungsi jalan, hwl/lwl, kelandaian yang masih memungkinkan.
Kelandaian dibaca dari kiri ke kanan; diberi nilai positif untuk pendakian dari kiri ke kanan
dan nilai negatif untuk penurunan dari kiri ke kanan.

Kelandaian

Landai minimum; landai idealnya sebesar 0% (datar), landai 0.15% disarankan untuk jalan
menggunakan kerb, landai 0.3 – 0.5% disarankan untuk jalan di daerah galian menggunakan
kerb. Landai maksimum; adalah kelandaian tertentu dimana kelandaian akan mengakibatkan
berkurangnya kecepatan yang masih lebih besar dari setengah kecepatan rencana.

Vr (Km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40


Kelandaian Max (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

Panjang kritis (meter) sangat diperlukan sebagai batasan kelandaian maksimum agar
pengurangan kecepatan tidak lebih dari kecepatan rencana (tabel di bawah)

Kelandaian
Vr (Km/jam) (%)
4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80

Pada jalan berlandai dengan LHR yang tinggiperlu dibuat lajur pendakian untuk menampung
kendaraan (khususnya kend berat) yang sering mengalami penurunan kecepatan agar tidak
mengganggu lalu lintas dengan kecepatan yang lebih tinggi.

TYPE ALINEMEN VERTIKAL

Lengkung vertikal cembung

Lengkung vertikal cekung

Anda mungkin juga menyukai