Kerusakan Lahan Gambut Dan Upaya
Kerusakan Lahan Gambut Dan Upaya
Upaya Konservasinya
Indonesia dikenal sebagai salah satu dari 17 negara megadiversity, dengan dua dari 25
hotspots dunia (area-area yang memiliki keanekaragaman yang tinggi). Sejarah geologi
pembentukan yang berbeda di antara pulau-pulau di Indonesia, variasi iklim dari bagian barat
yang lembab sampai bagian timur yang kering sangat mempengaruhi pembentukan ekosistem
dan distribusi flora maupun fauna yang ada di dalamnya.
Diperkirakan sekitar 90 tipe ekosistem terdapat di Indonesia, mulai dari padang salju di
puncak Jayawijaya, alpin, subpegunungan, pegunungan hingga hutan hujan dataran rendah,
padang rumput, savana, rawa, gambut, hutan pantai, muara dan pesisir pantai, mangrove,
padang lamun, terumbu karang hingga perairan laut dalam.
Semua sumberdaya alam tersebut, baik di darat, laut maupun di udara, yang berupa tanah,
air, mineral, flora, fauna termasuk plasma nutfah dan lain-lain, merupakan anugerah Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan modal dasar yang perlu dikelola dan dimanfaatkan
sebaik-baiknya secara optimal dan lestari sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, baik bagi masa kini maupun bagi
generasi mendatang.
Salah satu tipe ekosistem penting yang terdapat di Indonesia adalah lahan gambut. Lahan
gambut merupakan ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh tingginya akumulasi bahan
organik dengan laju dekomposisi yang rendah. Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40
juta ha, dimana 50% diantaranya terdapat di Indonesia, yaitu sekitar 18,8 juta ha (atau sekitar
10,8% dari luas daratan Indonesia).
Lahan gambut di Indonesia tersebar di beberapa pulau, antara lain di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Dari ke empat pulau utama sebaran lahan gambut tersebut, baru di
Pulau Sumatera terdapat data yang cukup detil tentang sebaran, luas dan kandungan karbon
dari lahan gambut, dimana dari total luasan lahan gambut di Indonesia, sekitar 7,2 juta ha
atau 35% nya diantaranya terdapat di Pulau Sumatera.
Sebaran utama lahan gambut di Pulau Sumatera adalah di Provinsi Riau, Jambi dan
palembang dengan kedalaman gambut bervariasi antara dangkal/tipis (kedalaman 50-100 cm)
hingga sangat dalam/sangat tebal (kedalamannya lebih dari 400 cm), dengan total kandungan
karbon sebesar ± 18 juta ton (tabel 1).
Tabel 1. Sebaran, Luas dan Kandungan Karbon pada Lahan Gambut Pulau Sumatera (Tahun
2002).
Manusia (atau masyarakat) sangat tergantung kepada sumberdaya alam hayati dengan
segenap keanekaan dan fungsinya. Tingkat ketergantungan dan kebutuhan akan sumberdaya
alam hayati ini berbeda-beda, tergantung dari pola ekonomi dan kebudayaan masyarakat;
mulai dari masyarakat peramu, masyarakat peladang/petani sampai ke masyarakat industri.
Ada masyarakat yang membutuhkan sumberdaya alam hayati hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar hidup sehari-hari (subsistence), namun ada masyarakat yang membutuhkan
sumberdaya alam hayati yang sangat berlebihan.
Sumber daya alam hayati memiliki sifat bisa memperbaharui dirinya (renewable resources),
akan tetapi kemampuannya untuk memperbaharui dirinya tersebut bukan tidak terbatas.
Apabila pemanfaatan sumberdaya alam hayati telah melampaui kemampuan tersebut maka
keberadaan sumberdaya alam hayati tersebut akan menjadi irreversible (tidak bisa pulih
kembali).
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting bagi suatu wilayah, karena secara
alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar, dengan
demikian lahan gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan kemarau. Secara
ekologis, ekosistem lahan gambut merupakan tempat perkembangbiakan ikan yang ideal,
selain itu juga menjadi habitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar, termasuk jenis-jenis
endemik dan dilindungi.
Fungsi dan manfaat lahan gambut secara lebih terinci dapat diuraikan sebagai berikut :
Perlu dipahami bahwa keberadaan, fungsi dan dampak akibat kerusakan sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya tidak mengenal batas-batas wilayah administrasi (misalnya batas
kabupaten, batas propinsi atau bahkan batas negara). Pengelolaan sumber daya alam hayati
yang kurang baik (misalnya eksploitasi yang berlebihan, dsb.) di daerah hulu/daerah tinggi
(upstream, upperland) dampaknya tidak hanya dirasakan diderah yang bersangkutan,
melainkan akan dirasakan oleh daerah-daerah dibawahnya (downstream, lowland).
Sebagian besar lahan gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan yang cukup
mengkhawatirkan sebagai akibat dari adanya kegiatan-kegiatan yang kurang/tidak
berwawasan lingkungan. Kegiatan yang merusak antara lain pembakaran lahan gambut
dalam rangka persiapan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan lain-lain; penebangan
hutan gambut yang tidak terkendali (baik legal maupun ilegal) untuk diambil kayunya,
pembangunan saluran-saluran irigasi/parit/kanal untuk tujuan pertanian maupun transportasi.
Disamping itu, kerusakan hutan dan lahan gambut juga menyebabkan hilangnya
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam didalamnya. Keberadaan parit dan sluran di
lahan gambut (baik untuk mengangkut kayu, produk pertanian maupun lalu lintas air) tanpa
adanya sistem pengatur air yang memadai telah menyebabkan keluarnya air dari dalam tanah
gambut ke sungai di sekitarnya tanpa kendali, sehingga lahan gambut tersebut di musim
kemarau menjadi kering dan mudah terbakar.
Sebagai akibat kerusakan lahan gambut dalam satu dasawarsa terakhir di Pulau Sumatera,
telah menyebabkan penyusutan kandungan karbon sebesar ± 3,5 milyar ton karbon.
Memperhatikan peranan, manfaat, ancaman kerusakan lahan gambut, maka perlu dilakukan
upaya secara bersama-sama, agar dapat menyelamatkan dan melestarikan kawasan lahan
gambut beserta segenap potensi, fungsi dan manfaatnya bagi kesejahteraan kita semua
melalui upaya:
Kegiatan identifikasi dan inventarisasi potensi ekosistem lahan gambut merupakan langkah
yang harus dilakukan sebelum upaya pemanfaatan dan konservasi dapat dilaksanakan secara
terpadu dan menyeluruh. Upaya ini masih perlu dilakukan mengingat luasnya wilayah negara
kita.
Informasi-informasi mengenai apa itu kawasan/ekosistem lahan gambut, potensi, fungsi dan
manfaatnya sangat penting bagi masyarakat yang sebagian besar tidak mengetahuinya.
Pemanfaatan terhadap potensi ekosistem lahan gambut hanya mungkin dilakukan sepanjang
hal tersebut dilakukan berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mengenai keberadaan
populasi dan habitat dari kehidupan penghuni kawasan lahan gambut yang mengandung
potensi penting namun juga memiliki sifat keterbatasan.
Mengingat ekosistem lahan gambut tidak mengenal batas administrasi pemerintahan maka
upaya konservasi haruslah dilakukan melalui pendekatan:
Sasarannya adalah terwujudnya akses bagi para pihak untuk ikut berbagi peran, tanggung
jawab dan mendapatkan manfaat secara adil terhadap ekosistem lahan gambut. Pengelolaan
Bersama merujuk pada proses dan alat pemecahan masalah, penanganan peluang atau
pengelolaan kepentingan bersama dalam pengelolaan SDAH&E, selaras dengan rekomendasi
dari Kongres kehutanan Dunia :
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik >
18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk
dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air
dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang
(back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk
maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh
kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat
perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu
pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik
(Hardjowigeno, 1986).
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan
ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk
secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan
gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya
tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-
lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1a dan 1b).
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen
karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen
biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu
tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah
kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut
topogen. Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan
memberntuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 1c). Gambut
yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang
pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya
dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.
Klasifikasi Gambut
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols
yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan
lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3
dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 2003).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat
kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.
Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya
tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan
seratnya < 15%.
Gambut hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut setengah lapuk,
sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan
seratnya 15 – 75%.
Gambut fibrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum melapuk, bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih
tersisa.
Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-
basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut
yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan
mineral dan basa-basa sedang
Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik
Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya
dipengaruhi oleh air hujan
Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat
pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan
lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
Sumber: Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor,
Indonesia [http://www.worldagroforestry.org/downloads/publications/PDFs/B16019.PDF]
Lahan gambut adalah wadah persediaan karbon, karena itu upaya untuk mempertahankan
stok karbon dan keanekaragaman hayati di lahan gambut sangat penting. Persoalan terbesar
yang dihadapi di Indonesia adalah permasalahan kebakaran di lahan gambut. Dalam kondisi
alaminya lahan gambut tidak akan terbakar, kecuali terjadi kekeringan yang sangat paras.
sehingga kebakaran yang terjadi adalah ketika lahan gambut dikeringkan secara berlebihan.
2 penyebab utama kerusakan lahan gambut adalah drainase terbuka dan kebakaran lahan.
Pengelolaan drainase terbuka membuka air di lahan gambut cepat keluar, sehingga pada
musim kering akan sangat mudah terabakar. Dan dalam jangka panjang akan membuat
terjadinya amblesan. Untuk itu perlakuan terhadap draniase terbuka yang ada di sarankan
membuat tabat/bendungan yang menghambat aliran atau dengan membuat sistem drainase
lain.
Penyabab yang ke-2 adalah pembakaran lahan gambut secara sengaja hal ini terjadi saat
penyiapan lahan untuk penanaman. pembukaan lahan dengan membakar masih menjadi cara
paling efektif bagi masyarakat dalam membuka lahan, hal yang paling efektif dalam
menghambat dan menghentikan pembukaan lahan tanpa bakar tersebut adalah peraturan
mengikat daerah yang memberikan sangsi sosial sangat tinggi pada isu lingkungan.
Peraturan pemerintah yang ada juga mendukung pelaksanaan pencegahan pembukaan lahan
tanpa bakar di daerah-daearh yang tidak memiliki peraturan adat yang terfokus pada
pelestarian lingkungan hidup.
Untuk itu pemberdayaan dan peningkatan partisipasi publik merupakan kunci dari
pengelolaan lahan gambut berkelanjutan di Indonesia, baik dari pembentukan dan
pelaksanaan peraturan adat yang mengikat untuk masalah lingkungan hidup dan
pengadopsian nya kedalam peraturan pemerintah. Pemuka adat merupakan tokoh-tokoh kunci
untuk penekanan nilai pentingnya kelestarian lingkungan hidup terutama di lahan gambut
bagi publik.
- Janji tertulis oleh perkebunan dan petani untuk tidak melakukan pembakaran terbuka;
- Jika diperlukan, suplai pompa air portable, jaket tanah api, stasiun pemantauan kualitas
udara dab pelatihan pemadaman kebakaran.
v
Begini Cara Mencegah Kebakaran pada
Lahan Gambut
Ciri-ciri khas dari suatu lahan gambut adalah kandungan bahan organiknya
yang tinggi (lebih dari 65%). Gambut yang terbentuk dapat mencapai
kedalaman lebih dari 15 m.
Setiap tahun jutaan orang di Asia Tenggara menderita akibat polusi asap
yang menyesakkan. Polusi asap menjadi penyebab dari sepertiga dari
kerugian ekonomi total akibat kebakaran hutan pada tahun 1997/98 yang
mencapai 800 juta US$. Secara politis, polusi asap lintas-batas yang
merugikan negara-negara tetangga telah menjadi isu yang sangat
kontroversial.
Data-data dan penelitian yang baru menunjukkan bahwa 60% dari polusi
asap di Indonesia, termasuk emisi karbon, berasal dari kebakaran di lahan-
lahan gambut yang menutupi hanya 10-14% dari daratan Indonesia.
Karena itu, mencegah terbakarnya lahan-lahan gambut tersebut akan
sangat mengurangi polusi asap. Pencegahan kebakaran menjadi semakin
penting karena pemadaman kebakaran di lahan gambut sangat problematis.
Walaupun tanahnya miskin hara dan sangat sulit digunakan untuk usaha
pertanian skala besar, namun semakin banyak kawasan-kawasan gambut
yang dibalak dan dikeringkan. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, di
kawasan-kawasan tersebut digali kanal-kanal untuk mengeringkannya,
menyediakan akses untuk pembalakan, dan untuk meyiapkan lahan bagi
usaha-usaha pertanian. Langkah pertama ini bermasalah karena
mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan menghilangkan air di
permukaan tanah. Irigasi/pengairan di lahan-lahan
Apabila api di lahan gambut tidak dapat dipadamkan, api tersebut dapat
tetap menyala dibawah permukaan dalam waktu yang lama (bahkan
tahunan) dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca menjadi lebih
kering lagi.
Sumber; https://morninghero.wordpress.com/2009/01/06/gambut-yang-mudah-
terbakar/