Anda di halaman 1dari 19

Kerusakan Lahan Gambut dan

Upaya Konservasinya
Indonesia dikenal sebagai salah satu dari 17 negara megadiversity, dengan dua dari 25
hotspots dunia (area-area yang memiliki keanekaragaman yang tinggi). Sejarah geologi
pembentukan yang berbeda di antara pulau-pulau di Indonesia, variasi iklim dari bagian barat
yang lembab sampai bagian timur yang kering sangat mempengaruhi pembentukan ekosistem
dan distribusi flora maupun fauna yang ada di dalamnya.

Diperkirakan sekitar 90 tipe ekosistem terdapat di Indonesia, mulai dari padang salju di
puncak Jayawijaya, alpin, subpegunungan, pegunungan hingga hutan hujan dataran rendah,
padang rumput, savana, rawa, gambut, hutan pantai, muara dan pesisir pantai, mangrove,
padang lamun, terumbu karang hingga perairan laut dalam.

Semua sumberdaya alam tersebut, baik di darat, laut maupun di udara, yang berupa tanah,
air, mineral, flora, fauna termasuk plasma nutfah dan lain-lain, merupakan anugerah Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan modal dasar yang perlu dikelola dan dimanfaatkan
sebaik-baiknya secara optimal dan lestari sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, baik bagi masa kini maupun bagi
generasi mendatang.

Potensi dan Sebaran Lahan Gambut

Salah satu tipe ekosistem penting yang terdapat di Indonesia adalah lahan gambut. Lahan
gambut merupakan ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh tingginya akumulasi bahan
organik dengan laju dekomposisi yang rendah. Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40
juta ha, dimana 50% diantaranya terdapat di Indonesia, yaitu sekitar 18,8 juta ha (atau sekitar
10,8% dari luas daratan Indonesia).

Lahan gambut di Indonesia tersebar di beberapa pulau, antara lain di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Dari ke empat pulau utama sebaran lahan gambut tersebut, baru di
Pulau Sumatera terdapat data yang cukup detil tentang sebaran, luas dan kandungan karbon
dari lahan gambut, dimana dari total luasan lahan gambut di Indonesia, sekitar 7,2 juta ha
atau 35% nya diantaranya terdapat di Pulau Sumatera.

Sebaran utama lahan gambut di Pulau Sumatera adalah di Provinsi Riau, Jambi dan
palembang dengan kedalaman gambut bervariasi antara dangkal/tipis (kedalaman 50-100 cm)
hingga sangat dalam/sangat tebal (kedalamannya lebih dari 400 cm), dengan total kandungan
karbon sebesar ± 18 juta ton (tabel 1).

Tabel 1. Sebaran, Luas dan Kandungan Karbon pada Lahan Gambut Pulau Sumatera (Tahun
2002).

No. Sebaran Gambut (Provinsi) Luas gambut Kandungan Karbon

(Ha) (juta ton)


1. Nanggroe Aceh Darusalam 274.051,00 458,86
2. Sumatera utara 325.295,00 377,28
3. Sumatera Barat 210.234,00 422,23
4. Bengkulu 63.052,00 30,53
5. Riau 4.043.601,00 14.605,04
6. Jambi 716.839,00 1.413,19
7. Bangka Belitung 63.620,00 63,04
8. Sumatera Selatan 1.420.042,00 1.407,24
9. Lampung 87.567,00 35,94
TOTAL 7.204.301,00 18.813,37

Sumber : Wetlands International, 2003.

Manfaat Lahan Gambut

Manusia (atau masyarakat) sangat tergantung kepada sumberdaya alam hayati dengan
segenap keanekaan dan fungsinya. Tingkat ketergantungan dan kebutuhan akan sumberdaya
alam hayati ini berbeda-beda, tergantung dari pola ekonomi dan kebudayaan masyarakat;
mulai dari masyarakat peramu, masyarakat peladang/petani sampai ke masyarakat industri.
Ada masyarakat yang membutuhkan sumberdaya alam hayati hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar hidup sehari-hari (subsistence), namun ada masyarakat yang membutuhkan
sumberdaya alam hayati yang sangat berlebihan.

Sumber daya alam hayati memiliki sifat bisa memperbaharui dirinya (renewable resources),
akan tetapi kemampuannya untuk memperbaharui dirinya tersebut bukan tidak terbatas.
Apabila pemanfaatan sumberdaya alam hayati telah melampaui kemampuan tersebut maka
keberadaan sumberdaya alam hayati tersebut akan menjadi irreversible (tidak bisa pulih
kembali).

Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting bagi suatu wilayah, karena secara
alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar, dengan
demikian lahan gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan kemarau. Secara
ekologis, ekosistem lahan gambut merupakan tempat perkembangbiakan ikan yang ideal,
selain itu juga menjadi habitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar, termasuk jenis-jenis
endemik dan dilindungi.

Fungsi dan manfaat lahan gambut secara lebih terinci dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Menyediakan berbagai layanan jasa lingkungan/ekologis

 Melindungi sumber-sumber air (memelihara daur hidrologi, mengatur dan


menstabilkan aliran permukaan dan menjaga air tanah, berperan sebagai penyangga
dalam berbagai keadaan yang ekstrim, seperti banjir dan kekeringan).
 Memelihara struktur tanah dan menahan kelembaban dan berbagai unsur hara untuk
membantu melindungi kemampuan produktif tanah.
 Menyimpan dan mendaur zat-zat hara (hara dari udara dan juga dari dalam tanah yang
keduanya penting untuk kelangsungan kehidupan).
 Menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (oleh berbagai komponen ekosistem
mulai dari bakteri sampai berbagai bentuk kehidupan yang lebih tinggi, dan berbagai
proses ekologis).
 Memberi konstribusi terhadap kestabilan iklim (penyimpan karbon).
 Memelihara berbagai ekosistem (menjaga keseimbangan antara makhluk hidup
dengan berbagai sumber daya yang diperlukannya – seperti makanan dan naungan –
yang mereka perlukan untuk tetap hidup).

b. Fungsi biologis untuk memasok :

 Penyedia makanan (berbagai binatang, ikan, tumbuhan).


 Berbagai gen (merupakan suatu sumber daya yang sangat kaya, misalnya, untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas persediaan makanan dan obat-obatan).
 Berbagai sumber obat (salah satu pemanfaatan sumber daya hayati yang paling tua
dan tetap berlangsung sekarang, seperti antibiotik dan bahan obat-obatan yang
potensial untuk masa depan)
 Berbagai cadangan untuk pemuliaan, cadangan populasi (menyediakan berbagai
sistem penunjang bagi potensi manfaat dan sumber daya lingkungan yang bernilai
komersial).
 Sumber-sumber daya di masa depan (suatu “bank” yang sangat besar untuk
pengembangan sumber-sumber daya yang telah dan belum ditemukan untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia).

c. Fungsi Sosial/ekonomi/budaya untuk menyediakan :

 Berbagai fasilitas penelitian, pendidikan dan pemantauan (sebagai laboratorium hidup


bagi berbagai studi tentang cara memperoleh manfaat yang lebih baik dari berbagai
sumber daya hayati, cara memelihara sumber-sumber genetis dari berbagai sumber
daya hayati yang dipanen dan bagaimana melakukan rehabilitasi terhadap sumber-
sumber daya yang mengalami kerusakan dan kemerosotan).
 Berbagai fasilitas rekreasi dan pariwisata.
 Berbagai nilai budaya (karena budaya manusia berkembang bersama lingkungannya,
lingkungan alami menyediakan kebutuhan manusia untuk mendapatkan inspirasi,
menikmati keindahan, memenuhi kebutuhan spiritual dan pendidikan).
 Kegiatan penunjang budidaya tumbuhan. Yang dimaksud disini adalah pengambilan
berbagai jenis flora maupun fauna, kemudian dibudidayakan di luar kawasan
konservasi seperti lahan milik sendiri, hutan lindung dan hutan produksi (apabila di
kedua hutan tersebut tidak terdapat bibitnya).

Kerusakan Lahan Gambut

Perlu dipahami bahwa keberadaan, fungsi dan dampak akibat kerusakan sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya tidak mengenal batas-batas wilayah administrasi (misalnya batas
kabupaten, batas propinsi atau bahkan batas negara). Pengelolaan sumber daya alam hayati
yang kurang baik (misalnya eksploitasi yang berlebihan, dsb.) di daerah hulu/daerah tinggi
(upstream, upperland) dampaknya tidak hanya dirasakan diderah yang bersangkutan,
melainkan akan dirasakan oleh daerah-daerah dibawahnya (downstream, lowland).

Sebagian besar lahan gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan yang cukup
mengkhawatirkan sebagai akibat dari adanya kegiatan-kegiatan yang kurang/tidak
berwawasan lingkungan. Kegiatan yang merusak antara lain pembakaran lahan gambut
dalam rangka persiapan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan lain-lain; penebangan
hutan gambut yang tidak terkendali (baik legal maupun ilegal) untuk diambil kayunya,
pembangunan saluran-saluran irigasi/parit/kanal untuk tujuan pertanian maupun transportasi.

Kegiatan-kegiatan diatas tidak hanya menyebabkan rusaknya fisik lahan/hutan gambut


(seperti amblasan/subsiden, terbakar dan berkurangnya luasan gambut), tapi juga
menyebabkan hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpan (sink) dan penyerap (sequester)
karbon, sebagai daerah resapan air yang mampu mencegah banjir pada wilayah disekitarnya
pada musim hujan dan mencegah intrusi air asin pada musim kemarau.

Disamping itu, kerusakan hutan dan lahan gambut juga menyebabkan hilangnya
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam didalamnya. Keberadaan parit dan sluran di
lahan gambut (baik untuk mengangkut kayu, produk pertanian maupun lalu lintas air) tanpa
adanya sistem pengatur air yang memadai telah menyebabkan keluarnya air dari dalam tanah
gambut ke sungai di sekitarnya tanpa kendali, sehingga lahan gambut tersebut di musim
kemarau menjadi kering dan mudah terbakar.

Sebagai akibat kerusakan lahan gambut dalam satu dasawarsa terakhir di Pulau Sumatera,
telah menyebabkan penyusutan kandungan karbon sebesar ± 3,5 milyar ton karbon.

Upaya Konservasi Lahan Gambut

Memperhatikan peranan, manfaat, ancaman kerusakan lahan gambut, maka perlu dilakukan
upaya secara bersama-sama, agar dapat menyelamatkan dan melestarikan kawasan lahan
gambut beserta segenap potensi, fungsi dan manfaatnya bagi kesejahteraan kita semua
melalui upaya:

a. Identifikasi dan Inventarisasi Potensi Kawasan Lahan gambut

Kegiatan identifikasi dan inventarisasi potensi ekosistem lahan gambut merupakan langkah
yang harus dilakukan sebelum upaya pemanfaatan dan konservasi dapat dilaksanakan secara
terpadu dan menyeluruh. Upaya ini masih perlu dilakukan mengingat luasnya wilayah negara
kita.

b. Interpretasi fungsi kawasan lahan gambut dan sosialisasi ke masyarakat luas

Informasi-informasi mengenai apa itu kawasan/ekosistem lahan gambut, potensi, fungsi dan
manfaatnya sangat penting bagi masyarakat yang sebagian besar tidak mengetahuinya.

c. Identifikasi manfaat berkelanjutan

Pemanfaatan terhadap potensi ekosistem lahan gambut hanya mungkin dilakukan sepanjang
hal tersebut dilakukan berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mengenai keberadaan
populasi dan habitat dari kehidupan penghuni kawasan lahan gambut yang mengandung
potensi penting namun juga memiliki sifat keterbatasan.

d. Akses bagi pemanfaatan berkelanjutan bagi masyarakat sekitar

Setelah upaya identifikasi manfaat berkelanjutan tersebut dilakukan, upaya selanjutnya


adalah mengembangkan kegiatan pemanfaatan yang berkelanjutan dan menyediakan akses
bagi masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan lahan gambut, agar mereka benar-
benar dapat merasakan manfaat dari keberadaan kawasan lahan gambut tersebut sehingga
pada gilirannya mereka dapat menjadi pelestari kawasan lahan gambut.

e. Perlindungan terhadap Kawasan Lahan gambut

Mengingat ekosistem lahan gambut tidak mengenal batas administrasi pemerintahan maka
upaya konservasi haruslah dilakukan melalui pendekatan:

 Melindungi hutan yang tumbuh diatas kawasan lahan gambut.


 Menetapkan suatu kawasan tertentu untuk dikelola sebagai perwakilan konservasi
ekosistem lahan gambut.
 Melakukan tindakan pemanfaatan dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi
secara terencana dan konsisten, misalnya untuk kegiatan ekowisata. Didalam
pengembangan ekowisata dan berprinsip ekowisata, kelestarian obyek dan kelestarian
sumber daya sudah terpatri, demikian pula manfaat bagi masyarakat sekitar.

f. Pemanfaatan bijaksana ekosistem Lahan gambut secara berkolaborasi

Sasarannya adalah terwujudnya akses bagi para pihak untuk ikut berbagi peran, tanggung
jawab dan mendapatkan manfaat secara adil terhadap ekosistem lahan gambut. Pengelolaan
Bersama merujuk pada proses dan alat pemecahan masalah, penanganan peluang atau
pengelolaan kepentingan bersama dalam pengelolaan SDAH&E, selaras dengan rekomendasi
dari Kongres kehutanan Dunia :

1. Seluruh masyarakat yang bergantung pada sumberdaya hutan, mempunyai


tanggungjawab pada: keanekaragaman hayati, keteraturan iklikm, udara bersih,
konservasi air dan tanah, ketahanan pangan, hasil kayu dan non kayu, jasa energi,
obat-obatan, serta nilai-nilai budaya.
2. Kebutuhan planet dan manusia dapat diselaraskan, dan hutan mempunyai potensi
untuk memberikan potensi bagi penyelamatan lingkungan, pengentasan kemiskinan,
keadilan sosial, peningkatan kesejahteraan manusia, modal bagi generasi sekarang
dan akan datang.
3. Penyelarasan kebutuhan planet bumi dan manusia tidak dapat dilakukan hanya oleh
satu pihak, melainkan perlu kerjasama semua pihak.
Lahan Gambut

Akhir-akhir ini aktivis Greenpeace sering


melakukan kampanye penolakan penggunaan minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh
suatu perusahaan ternama di Indonesia. Konon, kampanye tersebut dipicu oleh
ketidaksetujuan aktivis Greenpeace terhadap produksi minyak kelapa sawit yang berasal dari
lahan gambut yang katanya dilindungi dan juga merupakan habitat orangutan. Namun, kali
ini saya tidak akan membahas akar permasalahan yang terjadi antara kedua belah pihak
tersebut. Saya akan membahas tentang lahan gambutnya, yaitu pengertian, proses
pembentukan dan klasifikasi lahan gambut.

Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik >
18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk
dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air
dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang
(back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.

Pembentukan Lahan Gambut

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk
maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh
kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat
perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu
pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik
(Hardjowigeno, 1986).

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan
ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk
secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan
gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya
tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-
lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1a dan 1b).

Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen
karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen
biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu
tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah
kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut
topogen. Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan
memberntuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 1c). Gambut
yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang
pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya
dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.

Gambar 1. Proses pembentukan gambut

Klasifikasi Gambut

Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols
yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan
lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3
dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 2003).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat
kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.

Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:

 Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya
tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan
seratnya < 15%.
 Gambut hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut setengah lapuk,
sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan
seratnya 15 – 75%.
 Gambut fibrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum melapuk, bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih
tersisa.

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:

 Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-
basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut
yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
 Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan
mineral dan basa-basa sedang
 Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik

Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik


(Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di
daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh
kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan
lapisan gambut. Gambut di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di
Kalimantan.

Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:

 Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya
dipengaruhi oleh air hujan
 Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat
pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan
lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:

 Gambut dangkal (50 – 100 cm),


 Gambut sedang (100 – 200 cm),
 Gambut dalam (200 – 300 cm), dan
 Gambut sangat dalam (> 300 cm)

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:


 Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat
pengayaan mineral dari air laut
 Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi
oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan
 Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang
secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.

Sumber: Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor,
Indonesia [http://www.worldagroforestry.org/downloads/publications/PDFs/B16019.PDF]
Lahan gambut adalah wadah persediaan karbon, karena itu upaya untuk mempertahankan
stok karbon dan keanekaragaman hayati di lahan gambut sangat penting. Persoalan terbesar
yang dihadapi di Indonesia adalah permasalahan kebakaran di lahan gambut. Dalam kondisi
alaminya lahan gambut tidak akan terbakar, kecuali terjadi kekeringan yang sangat paras.
sehingga kebakaran yang terjadi adalah ketika lahan gambut dikeringkan secara berlebihan.

2 penyebab utama kerusakan lahan gambut adalah drainase terbuka dan kebakaran lahan.
Pengelolaan drainase terbuka membuka air di lahan gambut cepat keluar, sehingga pada
musim kering akan sangat mudah terabakar. Dan dalam jangka panjang akan membuat
terjadinya amblesan. Untuk itu perlakuan terhadap draniase terbuka yang ada di sarankan
membuat tabat/bendungan yang menghambat aliran atau dengan membuat sistem drainase
lain.

Penyabab yang ke-2 adalah pembakaran lahan gambut secara sengaja hal ini terjadi saat
penyiapan lahan untuk penanaman. pembukaan lahan dengan membakar masih menjadi cara
paling efektif bagi masyarakat dalam membuka lahan, hal yang paling efektif dalam
menghambat dan menghentikan pembukaan lahan tanpa bakar tersebut adalah peraturan
mengikat daerah yang memberikan sangsi sosial sangat tinggi pada isu lingkungan.
Peraturan pemerintah yang ada juga mendukung pelaksanaan pencegahan pembukaan lahan
tanpa bakar di daerah-daearh yang tidak memiliki peraturan adat yang terfokus pada
pelestarian lingkungan hidup.

Untuk itu pemberdayaan dan peningkatan partisipasi publik merupakan kunci dari
pengelolaan lahan gambut berkelanjutan di Indonesia, baik dari pembentukan dan
pelaksanaan peraturan adat yang mengikat untuk masalah lingkungan hidup dan
pengadopsian nya kedalam peraturan pemerintah. Pemuka adat merupakan tokoh-tokoh kunci
untuk penekanan nilai pentingnya kelestarian lingkungan hidup terutama di lahan gambut
bagi publik.

Berikut beberapa langkah pencegahan kebakaran dilahan gambut tropis yang


direkomendasikan pada tingkat masyarakat lokal:

- Meningkatkan prediksi dan peringantan risiko kebakran di area lahan gambut;

- Pembentukan kelompok sukarelawan pencegahan kebakaran lokal oleh masyarakat lokal;


- Pengadopsian metode persiapan tanah alternatif dan bukan tebas bakar dengan membuat
kompos atau briket menggunakan limbah dari bio massa;

- Penerapan program sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat


lokal, sektor swasta dan pertanian dengan menggunakan praktek pembakaran nol;

- Janji tertulis oleh perkebunan dan petani untuk tidak melakukan pembakaran terbuka;

- Jika diperlukan, suplai pompa air portable, jaket tanah api, stasiun pemantauan kualitas
udara dab pelatihan pemadaman kebakaran.

Pemberdayaan dan peningkatan partisipasi publik dalam pencegahan dan penanganan


kebakaran di lahan gambut juga menjadi kunci utama, partisipasi dan synchonisasi
kvomunitas manggala agni, masyarakat, pekebun, dan instansi terkait dalam mencegah, dan
menangani kebakaran di lahan gambut masih menjadi suatu hal yang tidak mudah untuk
diwujudkan.

v
Begini Cara Mencegah Kebakaran pada
Lahan Gambut

Lahan gambut (kadang-kadang disebut rawa gambut) terbentuk dimana


tanaman-tanaman yang tergenang oleh air terurai secara lambat. Gambut
yang terbentuk terdiri dari berbagai bahan organik tanaman yang
membusuk dan terdekomposisi pada berbagai tingkatan.

Ciri-ciri khas dari suatu lahan gambut adalah kandungan bahan organiknya
yang tinggi (lebih dari 65%). Gambut yang terbentuk dapat mencapai
kedalaman lebih dari 15 m.

Dalam kondisi alami yang tidak terganggu, lahan-lahan gambut


mempunyai fungsi-fungsi ekologi yang penting; mengatur air didalam dan
di permukaan tanah. Dengan sifat-sifatnya yang seperti spon, gambut
dapat menyerap air yang berlebihan, yang kemudian secara kontinyu
dilepas perlahan-lahan. Hal ini menyebabkan air akan tetap mengalir
secaran konsisten dan karena itu menghindari terjadinya banjir dan juga
kekeringan. Lahan-lahan gambut merupakan areal ‘penyimpan’ karbon
yang sangat penting.

Setiap tahun jutaan orang di Asia Tenggara menderita akibat polusi asap
yang menyesakkan. Polusi asap menjadi penyebab dari sepertiga dari
kerugian ekonomi total akibat kebakaran hutan pada tahun 1997/98 yang
mencapai 800 juta US$. Secara politis, polusi asap lintas-batas yang
merugikan negara-negara tetangga telah menjadi isu yang sangat
kontroversial.

Data-data dan penelitian yang baru menunjukkan bahwa 60% dari polusi
asap di Indonesia, termasuk emisi karbon, berasal dari kebakaran di lahan-
lahan gambut yang menutupi hanya 10-14% dari daratan Indonesia.
Karena itu, mencegah terbakarnya lahan-lahan gambut tersebut akan
sangat mengurangi polusi asap. Pencegahan kebakaran menjadi semakin
penting karena pemadaman kebakaran di lahan gambut sangat problematis.

Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan gambut adalah dengan


cara mengkonservasi lahan tersebut dalam keadaan alaminya karena
(setelah terbakar) mereka tidak dapat direhabilitasi dan kondisi alaminya
yang ‘tahan api’ tidak dapat diciptakan kembali. Tulisan ini akan meninjau
masalah api/kebakaran dan pengelolaannya di lahan-lahan gambut untuk
mengurangi polusi asap dan sekaligus untuk mengkonservasi lahan-lahan
gambut yang merupakan suatu ekosistem yang langka. Mereka hanya
menutupi sekitar 3% dari luas bumi, namun mengandung 20-35% dari
semua karbon yang tersimpan di permukaan bumi. Lahan-lahan gambut
tropik, seperti di Asia Tenggara, mempunyai kapasitas penyimpanan
karbon yang sangat tinggi (3-6 kali lebih tinggi daripada lahan-lahan
gambut di daerah beriklim sedang). Mereka juga sangat kaya akan
keanekaragaman jenis hayati dengan banyak jenis yang unik dan hanya
dijumpai di daerah rawa-rawa gambut.

Mengapa lahan gambut yang biasanya tahan-api terbakar?

Lahan-lahan gambut yang digenangi air tidak terbakar secara alami,


kecuali pada tahun-tahun yang luar biasa keringnya. Hal ini ditunjukkan
secara tragis selama terjadinya perang Vietnam, dimana hutan-hutan rawa
gambut disemprot oleh bahan-bahan kimia dan dibakar oleh bom napalm.
Kebakaran-kebakaran yang terjadi kemudian di’tahan’ oleh rawa-rawa
gambut alami yang basah.

Walaupun tanahnya miskin hara dan sangat sulit digunakan untuk usaha
pertanian skala besar, namun semakin banyak kawasan-kawasan gambut
yang dibalak dan dikeringkan. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, di
kawasan-kawasan tersebut digali kanal-kanal untuk mengeringkannya,
menyediakan akses untuk pembalakan, dan untuk meyiapkan lahan bagi
usaha-usaha pertanian. Langkah pertama ini bermasalah karena
mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan menghilangkan air di
permukaan tanah. Irigasi/pengairan di lahan-lahan

pertanian sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air


tanah. Setelah kering, maka gambut akan kehilangan sifat-sifat alaminya
yang seperti spon dan dengan demikian juga kemampuannya untuk
mengatur keluar-masuknya air. Lahan-lahan gambut yang kering secara
tidak alami sangat mudah menjadi kering. Kebakaran, baik yang disengaja
maupun tidak, akan diikuti dengan kerusakan dan kerugian yang
proporsional terhadap kegiatan manusia dan tingkat gangguan yang terjadi.

Kanal-kanal yang digali memberikan akses terhadap kawasan-kawasan


gambut yang dulu tidak tersentuh. Meningkatnya akses manusia
memungkinkan terjadinya kebakaran dan kegiatan pembalakan, yang akan
mengganggu keseimbangan alami dari ekosistem rawagambut. Beberapa
kegiatan-kegiatan tradisional, seperti sistem budidaya padi sonor (dimana
padi ditanam di lahan-lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim
kemarau) dan penangkapan ikan (dimana para nelayan menggunakan api
untuk menciptakan akses yang lebih baik dan memperbaiki habitat ikan)
juga merupakan sumber kebakaran di kawasan-kawasan gambut.
Sehubungan dengan hal ini, risiko kebakaran gambut adalah tinggi karena
penangkapan ikan dan budi daya padi sonor sangat penting bagi
masyarakat lokal di tahun-tahun yang kering.

Lahan gambut dan kebakaran


Kebakaran di lahan-lahan gambut harus dihindari. Mereka adalah sumber
terbesar polusi asap dalam kebakaran-kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia. Dalam kebakaran-kebakaran besar pada tahun 1997/98, polusi
asap saja telah menimbulkan kerugian sebesar 800 juta US$ (akibat
terganggunya transportasi, kerugian industri pariwisata, dan meningkatnya
biaya-biaya kesehatan).

Terbakarnya kawasan-kawasan rawa-gambut telah merusak beberapa


tempat ‘penyimpanan’ karbon terpenting di dunia dan melepaskan
sejumlah besar karbon ke udara. Sebuah studi terbaru memperkirakan
bahwa karbon yang dilepas selama kebakaran-kebakaran lahan gambut
pada tahun 1997/98 sama jumlahnya dengan 13 sampai 40% dari emisi
tahunan yang disebabkan oleh pembakaran bahanbakar fosil di seluruh
dunia.
Pemadaman kebakaran di areal gambut sangat sulit, mahal dan dapat
menyebabkan kerusakan ekologi dalam jangka-panjang. Gambut terbakar
diatas dan dibawah permukaan, dan karena itu sulit untuk dipadamkan.
Metodemetode pemadaman kebakaran yang mungkin diterapkan juga
mahal. Untuk mengendalikan kebakaran di lahan gambut secara efektif,
orang harus menggali gambut yang terbakar atau menggenanginya dengan
air.

Akan tetapi, dalam musim-musim kering (yaitu ketika kebakaran terjadi),


air jarang tersedia dan karena itu menggenangi lahan gambut bukanlah
suatu opsi yang dapat dilakukan. Beberapa teknik pemadaman kebakaran
di kawasan gambut memerlukan adanya penggalian kanal tambahan
(sebagai akses ke lokasi kebakaran). Kadang-kadang, air asin juga
dipompa masuk untuk menggenangi kawasan tersebut. Kedua teknik
tersebut tampaknya menyebabkan degradasi lebih lanjut dari kawasan
gambut.

Apabila api di lahan gambut tidak dapat dipadamkan, api tersebut dapat
tetap menyala dibawah permukaan dalam waktu yang lama (bahkan
tahunan) dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca menjadi lebih
kering lagi.

Api yang menyala dibawah permukaan merusak sistem perakaran pohon.


Pohon-pohon tersebut akan menjadi tidak stabil dan kemudian tumbang
atau mati. Hal ini akan menghasilkan sejumlah besar pohon mati atau sisa
tanaman, yang akan menjadi bahanbakar yang potensil bagi kebakaran
berikutnya.

Secara ekologi, pembakaran rawa-gambut mempercepat rusaknya


lingkungan yang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya
pengaturan air dan pencegahan banjir). Dalam hal ini, pemilahan antara
sebab dan akibat harus dilakukan secara hati-hati. Sebab-sebab dasar dari
reduksi keanekaragaman jenis hayati adalah salah pengelolaan dari
kawasan-kawasan rawa-gambut serta perencanaan tata-guna lahan yang
memungkinkan terjadinya pengkonversian kawasankawasan tersebut.
Kebakaran mengikuti dan memperbesar dampak-dampak negatif dari
drainase (pengeringan air) dan mempercepat degradasi kawasan-kawasan
rawa-gambut.
Menjadikan lahan gambut tahan kebakaran?
Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah
dengan cara mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya dan
memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang
baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari.
Artinya, drainase/pengeringan dan konversi kawasan rawa-gambut harus
dicegah.

Apabila gambut menjadi kering secara berlebihan, mereka akan


kehilangan secara permanen sifat-sifat alaminya yang menyerupai spon
dan tidak dapat direhabilitasi kembali. Lahan-lahan gambut yang
terdegradasi ini harus dikelola untuk mencegah mereka menjadi padang
rumput atau semak-belukar yang mudah terbakar secara teratur dan
karenanya menjadi sumber kebakaran untuk daerah-daerah sekitarnya.

Penggunaan api di kawasan gambut oleh masyarakat lokal hanya dapat


dicegah apabila sumber penghidupan alternatif dapat disediakan. Saat ini
masih belum jelas apa bentuk sumber penghidupan alternatif tersebut.

Beberapa negara telah menyadari dan memperhatikan berbagai komplikasi


sehubungan dengan kebakaran di lahan gambut. Mereka secara khusus
telah melarang segala macam bentuk penggunaan api di kawasan-kawasan
gambut, namun anehnya tetap mengijinkan pengkonversian dan
pegembangan kawasan-kawasan tersebut. Malaysia dan Indonesia adalah
negara-negara dimana hukum yang berlaku melarang sepenuhnya
penggunaan api di kawasankawasan gambut, namun kegiatan-kegiatan
pengeringan/drainasi dan pengembangan masih diijinkan.

Sumber; https://morninghero.wordpress.com/2009/01/06/gambut-yang-mudah-
terbakar/

Anda mungkin juga menyukai