Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH INTERAKSI OBAT

“Prospek Klinis Interaksi Obat”

Dosen : Dra. Refdanita, M.Si.,Apt.

Disusun oleh : Enny Nir Malasari 16334012

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA dan ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA – 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga makalah ini bisa selesai dengan baik. Makalah “Prospek
Klinis Interaksi Obat” ini dibuat sebagai salah satu tugas untuk memenuhi persyaratan dalam
mata kuliah Interaksi Obat.

Makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna baik dari segi materi maupun dari
teknik penulisan. Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih luas
kepada pembaca khususnya mengenai Prospek Klinis Interaksi Obat. Atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.

Jakarta, 9 Oktober 2019

Enny Nir Malasari


BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Topik interaksi obat telah menjadi perhatian yang besar di bidang kesehatan di seluruh
dunia. Setiap tahunnya semakin banyak obat baru yang diperkenalkan sehingga meningkatkan
jumlah laporan interaksi obat yang baru dalam pengobatan. Interaksi obat adalah modifikasi
efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan
sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat meningkat atau berubah. Interaksi obat bukan
hanya terjadi antara obat dengan obat yang lain tetapi juga dengan makanan, pengobatan
herbal, mikronutrien dan obat injeksi dengan kandungan infus (interaksi obat di luar tubuh).

Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan adalah 50 % hingga 60 %. Obat-obat yang


mempengaruhi farmakodinamika atau farmakokinetika menunjukkan prevalensi sekitar 5 %
hingga 9 %. Sekitar 7 % efek samping pemberian obat di rumah sakit disebabkan oleh interaksi
obat. Interaksi obat bisa terjadi baik pada pasien rawat inap maupun rawat jalan. Pasien yang
beresiko tinggi mengalami interaksi obat pasien dengan penyakit kronis, pasien lanjut usia,
anak-anak di bawah 5 tahun dan wanita.

Meningkatnya kompleksitas obat-obatan yang digunakan saat ini dan berkembangnya


polifarmasi maka kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin besar. Interaksi obat
merupakan drug related problems yang harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi
respons tubuh dalam pengobatan seperti munculnya efek yang tidak diinginkan bahkan
kematian. Meskipun demikian kebanyakan tenaga kesehatan tidak benar-benar sadar akan
interaksi obat-obat yang berdampak secara klinis dan meremehkan resiko dari pemberian
beberapa obat secara bersama-sama.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dilihat bahwa interaksi obat merupakan
masalah yang memiliki dampak klinis bagi pengobatan pasien. Obat-obatan yang sering
digunakan dalam pengobatan seperti golongan AINS dan antibiotika merupakan contoh dari
obat yang menyebabkan interaksi obat yang penting secara klinis. Peran farmasis dalam
menangani masalah ini sangat diperlukan, tidak hanya untuk mengetahui jenis interaksi obat
dan mekanismenya tetapi juga mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut demi
keamanan pasien yang menggunakan obat.

II. Tujuan
1. Mengetahui definisi, penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan interaksi obat

2. Mengetahui jenis-jenis interaksi obat

3. Mengetahui dampak klinis interaksi obat

4. Mengetahui mekanisme penanganan interaksi obat

III. Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara penanganan interaksi obat

2. Apa saja interaksi obat yang terjadi

3. Kenapa terajdi dampak klinis interaksi obat

Apa saja jenis-jenis interaksi obat


BAB II

TUNJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengertian
A. Interaksi Obat

Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada
awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih
berubah. Menurut Stockley, interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat berubah dengan
kehadiran obat lain, obat tradisional, makanan, minuman atau oleh suatu zat kimia. Interaksi
obat bisa juga terjadi di luar tubuh misalnya reaksi fisiko-kimia yang terjadi pada obat yang
dicampur dengan cairan intravena yang menyebabkan obat tersebut mengendap atau
mengalami inaktivasi.

Efek dari interaksi obat bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas atau menghasilkan
efek baru yang tidak dimiliki obat tersebut sebelumnya. Penurunan efek obat karena interaksi
dapat berbahaya bagi pasien misalnya pemberian warfarin dengan rifampisin dapat
menurunkan kadar warfarin dalam darah sehingga dosis warfarin harus ditingkatkan. Namun
ada juga interaksi obat yang meningkatkan efek suatu obat dan memberi efek menguntungkan.
Misalnya pemberian obat antihipertensi bersama dengan diureti

B. Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius dan
alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu pertukaran oksigen
dan karbon dioksida di paru-paru. Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun pada semua usia.
Manifestasi klinik yang berat dapat terjadi pada usia sangat muda, manula dan pasien dengan
kondisi kritis (Dahlan, 2007).

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah yang
merupakan penyebab kematian terbesar terutama di negara berkembang(Misnadiarly,
2008).Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan
prevalensi nasional Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Indonesia yaitu sebesar 25%,
prevalensi pneumonia di Indonesia sebesar 4,5% dan di Jawa Tengah 5%.
Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Antibiotik
merupakan terapi utama dalam kasus pneumonia karena bakteri. Beberapa antibiotik
makrolida dan kuinolon memiliki sifat sebagai inhibitor enzim, makrolida memberikan efek
pada sitokrom P450 isoenzim CYP3A4, sedangkan kuinolon menghambat CYP1A2 (Baxter,
2008). Sifat inhibitor enzim dari beberapa antibiotik makrolida dan kuinolon akan berpotensi
menyebabkan interaksi obat pada fase metabolisme.( Lacy et.al, 2010)

Antibiotik yang disarankan sebagai terapi empirik pneumonia rawat inap antara lain
sefalosporin generasi 3 dikombinasikan dengan makrolida, floroquinolon monoterapi dan
tigesiklin untuk pasien yang intoleran sefalosopin dan floroquinolon (File et.al, 2016).
Pemberian antibiotik secara bersamaan dengan antibiotik lain, obat lain atau makanan dapat
menimbulkan interaksi obat sehingga memiliki efek yang tidak diharapkan. Efek dari interaksi
yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti penurunan absorpsi obat atau
penundaan absorpsi hingga meningkatkan efek toksik obat lainnya (Depkes, 2011).Antibiotik
golongan sefalosporin yaitu ceftriaxon berinteraksi dengan furosemid yang berdampak pada
peningkatan efek nefro-toksik sefalosporin (Prasetya, 2011). Antasida juga dapat berinteraksi
dengan antibiotik fluorokuinolon, sehinggaabsorpsi fluorokuinolon yang diberikan secara oral
akan berkurang(Husain et al., 2006).

Berdasarkan uraian di atas efek yang tidak diharapkan dari interaksi akan berpengaruh
pada kondisi klinis dari pasien sehingga penting untuk melakukan penelitian tentang identifikasi
interaksi antibiotik dengan obat lain pada pasien pneumonia berdasarkan literatur.

1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi obat


Tingkat keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien satu dengan
yang lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi obat
antara lain :

1. Faktor yang berkaitan dengan Pasien (Patient-Related Factor)

Faktor yang berkaitan dengan pasien termasuk klirens obat pada pasien tertentu, usia,
faktor genetik, jenis kelamin, penyakit yang diderita, faktor lingkungan dan makanan. Interaksi
obat menjadi sangat penting pada pasien dengan usia lanjut atau usia yang sangat muda seperti
bayi dan anak-anak, pasien dengan sistem imunitas yang lemah, pasien yang menerima
pengobatan yang berkaitan atau untuk mempengaruhi sistem kardiovaskular atau sistem saraf
pusat, dan juga pasien dengan penyakit kronis, banyak penyakit dan juga pasien yang
mengalami kegagalan ginjal atau hati. Pasien yang baru saja mengalami transplantasi, pasien
dengan penyakit yang parah, dan penyakit yang berhubungan dengan AIDS juga lebih rentan
untuk terjadinya interaksi obat.

2. Faktor Khusus dari Obat (Drug-Specific Factors)

Termasuk di dalamnya sifat kinetic dan dinamik yang khusus dari obat, jumlah obat yang
diresepkan, dosis, waktu, formulasi dan rute pemberian. Konsultasi atau pemeriksaan pada
beberapa dokter, penggunaan bebas dari obat alternatif dan penggunaan obat yang termasuk
kelompok yang menyebabkan interaksi obat menyebabkan peningkatan kemungkinan interaksi
obat. Angka kejadian interaksi obat meningkat dengan jumlah obat yang diterima oleh pasien.
Telah dilaporkan bahwa resiko interaksi obat meningkat cukup pesat ketika obat yang diberikan
melebihi empat, dan angka kejadian interaksi obat yang signifikan secara klinis mencapai lebih
dari 20 % ketika jumlah obat yang diberikan 10 sampai 20 obat.

Peresepan dan pencampuran bisa menyebabkan pasangan obat berpotensial


berinteraksi yang merugikan. Sebuah studi menemukan bahwa obat presipitan yang umum
diresepkan di sarana pelayanan kesehatan primer adalah golongan AINS dan antibiotik,
khususnya rifampisin. Obat dengan indeks terapi sempit atau rendah lebih mudah menjadi
objek interaksi obat yang serius. Obat objek yang sering digunakan yang menyebabkan interaksi
obat termasuk warfarin, fluorokuinolon, antiepilepsi, antikontrasepsi, cisaprid, dan 3 hidroksi-3
dimana obat-obat ini terlibat pada interaksi obat harus diberikan „bendera merah” termasuk
warfarin, siklosporin, eritomisin, antifungi azol, PI (inhibitor protease HIV) dan inhibitor HMG
CoA- reduktase (statin). Penelitian sebelumnya, sebagai tambahan, mengatakan bahwa
interaksi obat, secara klinis relevan dengan obat-obat yang mempengaruhi fungsi tubuh
(antihipertensi, antidiabetes dan antikoagulan) dan obat memiliki kinetika jenuh, metabolisme
lintas pertama tinggi atau memiliki rute eliminasi tunggal yang dapat dihambat. Beberapa
faktor farmakokinetik juga dapat menjadi penyebab interaksi obat. Obat dengan ikatan protein
plasma yang tinggi, obat yang sebagian dimetabolisme oleh isoform CYP3A4 dan obat yang
mana menjadi penginduksi atau penghambat sistem enzim CYP450 pada umumnya cenderung
menyebabkan interaksi obat.

1.3 Penyebab Terjadinya Interaksi Obat


1. Polifarmasi

Merupakan hal yang umum sekarang ini untuk meresepkan banyak obat sekaligus yang sering
disebut sebagai polifarmasi.
2. Pasien berkonsultasi pada beberapa dokter Terkadang pasien tidak puas dengan satu dokter
saja dan bisa berkonsultasi dengan dokter lain tanpa menginformasikan hasil konsultasinya
pada dokter pertama.

3. Polifarmasi yang irasional, penggunaan bersamaan obat yang diresepkan dan obat yang tidak
diresepkan Pasien bisa menggunakan Aspirin dan antasida yang bisa diperoleh tanpa resep
dokter. Jika pasien tersebut juga meminum obat yang diresepkan dokter seperti digoksin dan
tetrasiklin, interaksi obat bisa terjadi.

4. Ketidakpatuhan pasien Kadang-kadang pasien tidak mematuhi aturan yang diberikan oleh
dokter atau apoteker dan mengonsumsi bahan makanan yang dilarang. Sebagai contoh keju
dengan monoamine oxidase inhibitors, hal ini bisa menyebabkan krisis hipertensi yang parah.

1.4 Mekanisme Interaksi Obat

Terdapat beberapa mekanisme bagaimana obat bisa berinteraksi, tetapi sebagian besar
dapat dikelompokkan menjadi interaksi farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme,
ekskresi), interaksi farmakodinamik atau interaksi gabungan. Pengetahuan tentang mekanisme
interaksi obat terjadi berguna secara klinis, karena mekanisme dapat mempengaruhi baik
waktu dan metode mencegah atau mengatasi interaksi. Beberapa interaksi obat muncul
sebagai hasil dari dua atau lebih mekanisme.

1. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi obat farmakokinetik terjadi ketika terdapat perubahan pada absorpsi, distribusi,
biotransformasi atau eliminasi satu atau lebih obat. Absorpsi obat di saluran cerna bisa
dipengaruhi oleh penggunaan bersamaan zat lain yang :

 Memiliki luas permukaan yang luas dimana obat bisa diserap


 Mengikat atau khelat
 Mengubah pH lambung
 Mengubah motilitas saluran cerna
 Mempengaruhi protein transport seperti P-glikoprotein

Kita harus membedakan antara efek pada kecepatan absorpsi dan efek pada jumlah yang
diabsorpsi. Pengurangan pada kecepatan absorpsi obat jarang penting bagi klinis, sedangkan
pengurangan jumlah yang diabsorpsi akan penting secara klinis jika hal tersebut menghasilkan
kadar serum yang dibawah kadar yang menghasikan efek terapeutik.
Mekanisme yang mempengaruhi distribusi obat termasuk :

 Kompetisi pengikatan protein plasma


 Pemindahan dari ikatan jaringan tempat aksi
 Perubahan pada penghalang jaringan local, contohnya : penghambatan P-glikoprotein
pada sawar darah-otak.

Meskipun kompetisi ikatan protein plasma dapat meningkatkan konsentrasi bebas dari
obat yang dipindahkan dalam plasma, peningkatan itu hanya terjadi sementara saja karena
peningkatan ini akan seimbang pada fase disposisi obat. Pentingnya pemindahan ikatan protein
telah dilebih-lebihkan; penelitian terbaru menyatakan bahwa interaksi tersebut tidak
menghasilkan efek samping. Penggantian dari ikatan jaringan akan menyeimbangkan
konsentrasi darah.

Metabolisme obat bisa distimulasi atau dihambat oleh terapi obat yang sedang diterima.
Induksi isozim sitokrom CYP450 pada hati dan usus kecil dapat disebabkan oleh obat-obat
seperti barbiturat, bosentan, karbamazepin, efavirenz, nevirapin, fenitoin, primidon, rifampisin,
rifabutin. Penginduksi enzim juga bisa meningkatkan aktivitas metabolism fase II seperti
glukoronidasi. Induksi enzim tidak terjadi secara cepat, maksimal efek akan terjadi setelah 7-10
hari dan membutuhkan waktu yang sama atau lebih panjang untuk menghilangkannya setelah
penginduksi enzim dihentikan. Rifampisin contohnya, bisa menginduksi enzim setelah
pemberian beberapa dosis. Inhibisi metabolisme umumnya terjadi lebih cepat dari induksi
enzim dan bisa terjadi segera setelah konsentrasi inhibitor dalam jaringan yang cukup tercapai.
Bagaimanapun, jika waktu paruh dari obat yang dipengaruhi panjang, waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai konsentrasi tunak serum yang baru bisa satu minggu atau lebih.

Obat-obatan yang bisa menghambat metabolism CYP450 dari obat lain termasuk
amiodaron, androgen, atazanavir, kloramfenikol, simetidin, siprofloksasin, klaritromisin,
siklosporin, delavirdin, diltiazem, difenhidramin, disulfiram, enoksasin, eritromisin, flukonazol,
fluvoksamin, senyawa dalam sari buah anggur, indinavir, isoniazid, itrakonazol, ketokonazol,
metronidazol, meksiletin, mikonazol, nefazodon, omeprazol, paroksetin, propoksifen, kuinidin,
ritonavir, sulfametizol, verapamil, vorikonazol, zafirlukas, dan zileuton. Ekskresi renal dari obat
aktif bisa dipengaruhi oleh terapi obat yang sedang digunakan. Ekskresi renal obat-obat
tertentu yang merupakan asam lemah atau basa lemah bisa dipengaruhi oleh obat lain yang
menyebabkan perubahan pH urin. Hal ini disebabkan oleh perubahan ionisasi obat. Untuk
beberapa obat, sekresi aktif ke dalam tubula renal merupakan rute eliminasi yang penting. ABC
P-glikoprotein transporter berperan dalam sekresi aktif tubular untuk beberapa obat dan
penghambatan terhadap transporter ini bisa menghambat eliminasi renal yang berakibat
peningkatan konsentrasi obat dalam serum.

2. Mekanisme Farmakodinamik

Ketika dua obat atau lebih yang memiliki efek farmakologik yang sama diberikan secara
bersamaan, respon aditif atau sinergistik biasanya terlihat. Dua obat bisa saja atau tidak
memberi aksi pada reseptor yang sama untuk menghasilkan efek tersebut. Sebaliknya, obat-
obat dengan efek farmakologik berlawanan bisa menurunkan respon salah satu atau kedua
obat. Interaksi obat farmakodinamik merupakan hal yang umum dalam praktek klinis, tetapi
efek samping yang terjadi umumnya bisa diminimalkan jika kita mengerti farmakologi setiap
obat yang digunakan. Dengan cara demikian interaksi-interaksi bisa diantisipasi dan pengukuran
yang sesuai bisa diambil

a. Interaksi Aditif atau Sinergis

Ketika aksi suatu obat difasilitasi atau ditingkatkan oleh obat yang lain fenomena in
disebut sinergisme dan kombinasi ini disebut kombinasi sinergis. Sinergisme antara dua obat
bisa terjadi dengan cara yang berbeda-beda. Ketika dua obat dengan efek sama digunakan
bersamaan terjadi efek adisi, penambahan efek dari dua obat. Contoh yang umum terjadi
termasuk penambahan efek analgesik dari dua obat analgesic, adisi depresi sistem saraf pusat
pada penggunaan bersamaan dua obat atau lebih depresan sistem saraf pusat atau
penambahan efek blockade neuromuscular dari relaksan otot rangka dan antibiotik
aminoglikosida. Istilah “efek supra-aditif” biasanya digunakan ketika efek kombinasi menjadi
lebih besar daripada jumlah efek obat ketika ditambahkan. Contohnya adalah kotrimoksazol,
kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol. Dua obat ini berkhasiat sebagai bakteriostatik
tetapi kombinasi keduanya menghasilkan efek bakterisidal dengan blokade dari dua tahap
sintesis asam folat pada mikroorganisme. Contoh lain dari kombinasi sinergis termasuk
kombinasi kontrasepsi oral estrogen-progestin, kombinasi nitrat-propanolol untuk profilaksi
angna atau kombinasi antihipertensi dari hidroklorotiazidaenalapril. Pada situasi seperti ini, dua
obat yang dikombinasi biasanya memiliki efek yang sama atau mekanisme yang bervariasi
tetapi memiliki tujuan yang sama. Selain itu ada juga contoh interaksi dari obat yang tidak
memiliki peran langsung dalam memberikan efek, tetapi dapat meningkatkan atau
memfasilitasi aksi atau efek dari obat lain, yaitu obat utama untuk tujuan yang spesifik.
Contohnya kombinasi levodopa-karbidopa, dimana karbidopa bukan obat antiparkinson tetapi
memfasilitasi dan menolong aksi dari levodopa. Karbidopa adalah inhibitor dekarboksilase dopa
peripheral dan mencegah kegagalan peripheral levodopa sehingga lebih banyak levodopa yang
mencapai otak. Penggunaan sulbaktam atau asam klavulanat (inhibitor beta laktamase) untuk
mencegah rusaknya ampisilin atau amoksisilin merupakan contoh lain dimana inhibitor beta-
laktamase tidak memiliki aksi antimikroba tetapi memfasilitasi efek dari antibiotik βlaktam.
Contoh-contoh di atas merupakan sinergisme obat atau potensiasi. Jadi istilah sinergisme dan
potensiasi dipertimbangkan dengan implikasi umum dari efek menguntungkan yang dihasilkan
ketika dua zat atau obat digunakan sebagai kombinasi, tidak tergantung apakan kedua
komponen tersebut memiliki efek yang sama atau tidak.

b. Interaksi obat antagonis

(Antagonistic drug interactions) Interaksi obat antagonis bisa bersifat farmakologi


seperti antagonis kompetitif atau non-kompetitif dan jenis lain dari interaksi obat antagonis
bisa antagonis non-farmakologi atau antagonis non-reseptor dimana interaksi antara dua obat
tidak terjadi pada tingkat reseptor, tetapi dua obat tersebut menghasilkan efek yang
berlawanan dengan cara antagonis fisik, kimia atau fisiologik.

- Antagonis reseptor kompetitif :

Dua obat dikombinasikan dan bersaing untuk berikatan pada reseptor yang sama. Salah
satu obat merupakan agonis yang memiliki aktivitas intrinsik, dan yang lain merupakan
antagonis yang memiliki aktivitas intrinsik yang lemah. Keduanya bersaing untuk menempati
reseptor yang sama dan menggantikan salah satu dari reseptor tersebut. Interaksi berdasarkan
antagonis kompetitif secara luas digunakan untuk penanganan overdosis atau keracunan
senyawa tertentu, yang spesifik untuk reseptor tertentu sehingga aksinya dapat dibalikkan
dengan menggunakan antagonis kompetitif untuk reseptor yang sama. Salah satunya adalah
penggunaan nalokson pada overdosis akut opiat, flumazenil pada overdosis akut
benzodiazepine atau atropine pada keracunan senyawa organofosfat. Senyawa organofosfat
adalah senyawa antikolinesterase yang mengkumulasikan asetilkolin sehingga atropin
digunakan sebagai antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik muskarinik.

- Nonkompetitif antagonis reseptor :

Kombinasi diazepam-bikukulin atau norepinefrinfenoksibenzamin adalah contoh dari


nonkompetitif antagonis.

- Antagonis non-reseptor atau non-farmakologi :

Antagonis fisiologik, fisika dan kimia adalah berbagai jenis dari antagonis tipe ini. Dua
obat berinteraksi tidak pada tingkat reseptor yang sama tetapi dengan mekanisme yang lain
seperti yang dijelaskan di bawah ini. Antagonis fisiologis : Ketika dua obat menghasilkan efek
berlawanan pada sistem atau jaringan atau fungsi fisiologis yang sama. Hidroklorotiazida dan
triamteren walaupun tidak saling berkompetisi pada reseptor yang sama tetapi dengan
mekanismenya masing-masing menghasilkan efek yang berlawanan pada eksresi kalium urin.
Sama halnya dengan glucagon dan insulin memiliki efek yang berlawanan pada kadar gula
darah. Antagonis kimia : Dua obat berinteraksi satu sama lain melalui reaksi kimia. Kalium
permanganat digunakan pada kasus keracunan alkaloid karena mengoksidasi alkaloid yang
tidak terserap di lambung.

Hal yang sama juga terjadi ketika tannin digunakan pada kasus tersebut. Tanin
menyebabkan reaksi kimia dan membentuk tanat-alkaloid yang tidak larut sehingga mencegah
absorpsi dari alkaloid. Dimerkaprol membentuk khelat dengan logam berat arsen dan berguna
untuk keracunan arsen. Pada overdosis akut besi, desferioksamin digunakan untuk mengkhelat
besi. Nitrat bereaksi secara kimia dengan radikal sianida untuk membentuk methemoglobin,
dan berguna untuk penanganan keracunan sianida. Walaupun terjadi di luar tubuh, antagonis
antara heparinpenisilin, heparin-tetrasiklin dan lainnya bisa disebut sebagai antagonis kimia
karena terjadi reaksi kimia antara dua obat tersebut. Antagonis fisika : Pada antagonis ini,
terjadi fenomena fisika atau reaksi fisika antara dua obat atau zat. Reaksi fisika termasuk
pengikatan atau adsorpsi. Adsorpsi alkaloid di lambung oleh karbon aktif adalah contoh
antagonis fisika sehingga karbon aktif digunakan untuk cuci lambung ketika terjadi keracunan
alkaloid.

D. Interaksi Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Ada dua obat yang berinteraksi baik dengan mekanisme farmakokinetika dan farmakodinamika.
Aspirin menggantikan warfarin dari ikatan protein plasma dan menaikkan kadar warfarin yang
meningkatkan efeknya, yang merupakan efek farmakokinetik. Sebagai tambahan, efek
antiplatelet dari aspirin dan efek antikoagulan dari warfarin berpotensiasi satu sama lain pada
tingkat farmakodinamika.

E. Interaksi Obat dengan Makanan

Pada umumnya, makanan menurunkan absorpsi sebagian besar obat. Absorpsi dan
bioavailabilitas dari obat tertentu sangat signifikan dipengaruhi oleh makanan yang masuk,
sebagai contoh rifampisin yang dianjurkan untuk digunakan pada pagi hari dalam keadaan
perut kosong. Tetrasiklin, sulfonamida dan fluorokuinolon mengkhelat kalsium dalam susu dan
produk susu, yang menghasilkan tidak adanya penyerapan kalsium dan antibiotic. Sari buah
anggur menstimulasi transporter P-glikoprotein dan menurunkan efek statin, antihipertensi dan
antihistamin. Terdapat juga beberapa makanan yang meningkatkan absorpsi obat. Makanan
dengan kandungan lemak tinggi meningkatkan absorpsi griseofulvin, saquinavir, lovastatin dan
spironolakton. Makanan yang asam, jus dan soda mengubag absorpsi ketokonazol. Vitamin C di
buah jeruk dan lemon, sari jeruk dan cranberry meningkatkan absorpsi besi dengan
memfasilitasi disolusi dan perubahan dari bentuk fero ke feri. Diantara jenis minuman, alkohol
menyebabkan interaksi obat yang serius. Alkohol ditemukan menurunkan sistem saraf pusat
dan menyebabkan efek adiktif dengan depresan sistem saraf pusat, termasuk hipno-sedatif
seperti benzodiazepine, non-benzodiazepin dan barbiturat, dan obat-obat antiepilepsi,
antihistamin klasik, ansiolitik, antidepresan dan opioid.

F. Interaksi Obat dengan Herbal

Beberapa interaksi potensial antara obat dan produk herbal dijelaskan di bawah ini.
Warfarin diketahui memiliki potensi interaksi dengan beberapa tanaman obat yang
menyebabkan peningkatan efek warfarin, termasuk Gingko biloba, denshen (menghambat
metabolism warfarin), bawang putih (menghambat agregasi platelet) dan jahe (aktivitas
antikoagulan). Ginkgo menurunkan konsentrasi plasma omeprazol, ritonavir dan tolbutamida.
Kasus klinis mengindikasi interaksi ginkgo dengan antiepilepsi, aspirin, diuretic, ibuprofen,
risperidon, rofecoxib, trazodon dan warfarin. Efek warfarin menurun dengan adanya teh hijau
(mengandung vitamin K dan memiliki efek yang berlawanan, St. John‟s wort (meningkatkan
metabolisme warfarin). Bawang putih mentah atau yang telah diolah jika dikonsumsi dalam
jumlah banyak dapat menurunkan efek dari inhibitor protease. Bawang putih juga berinteraksi
dengan klorpropamida, fluindion dan warfarin.

Interaksi antara obat herbal dan obat yang diresepkan bisa terjadi dan bisa
menimbulkan konsekuensi klinis yang serius. Terdapat interaksi teoritis yang didapat dari data
praklinik. Baik mekanisme farmakokinetik dan farmakodinamika diperkirakan berperan dalam
interaksi ini. Kepentingan klinis dari interaksi obat-herbal ini bergantung pada banyak faktor
yang berhubungan dengan herbal yang digunakan, obat dan pasien. Tanaman herbal
seharusnya diberi label yang sesuai untuk mengingatkan pasien terhadap potensi interaksi
ketika digunakan bersama dengan obat, dan sebaiknya dianjurkan untuk konsultasi dengan
dokter atau apoteker sebelum menggunakan.

G. Interaksi Obat di luar tubuh

Obat-obat tertentu bereaksi satu sama lain dan mengalami inaktivasi jika dicampurkan
dalam alat suntik atau dalam cairan infus. Sehingga efek obat bisa hilang bahkan sebelum
diberikan. Fenitoin mengendap dalam larutan dekstrosa 5%. Aminoglikosida seperti gentamisin,
makrolida (seperti eritromisin), tetrasiklin dan kloramfenikol inkompatibel secara fisika dan
kimia dengan sebagian besar antibiotik beta laktam (penisilin dan sefalosporin) dan
menghasilkan hilangnya aktivitas antibiotik dimana biasanya komponen β- laktam
menginaktivasi struktur lainnya.

Heparin tidak boleh dicampur dalam alat suntik dengan hidrokortison, penisilin atau
aminoglikosda. Hidrokortison bisa menginaktivasi penisilin dan aminoglikosda. Norepinefrin
tidak boleh dicampur dengan natrium bikarbonat Tiopental bisa mengendap dengan
suksinilkolin, pankuronium, atrakurium, ketamin atau morfin ketika dicampur dalam alat suntik.

H. Interaksi Obat yang dikehendaki secara Klinis

Interaksi obat yang dihendaki adalah efek obat yang menguntungkan yang meningkat
atau efek obat merugikan yang dihilangkan oleh penggunaan bersama-sama obat lain. Interaksi
obat ini dengan sengaja digunakan untuk memperoleh efek menguntungkan dalam praktek
klinis .

Kombinasi seperti sulfametoksazol-trimetoprim atau sulfadoksinpirimetamin adalah


contoh klasik dari interaksi obat yang dikehendaki secara klinis. Penisilin atau sefalosporin
digunakan bersama aminoglikosida menyediakan kentungan dari dua obat yang mekanisme
aksinya berbeda. Kombinasi ini menghasilkan spectrum aktivitas yang lebih luas dibandingkan
dengan pemberian satu komponen saja.

I. Interaksi Obat yang Berbahaya

Beberapa interaksi obat yang tidak diinginkan bisa saja menjadi serius dan/ atau fatal.
Efek warfarin yang berlebihan bisa memicu perdarahan dengan penggunaan bersama
siprofloksasin, klaritromisin, metronidazol, kotrimoksazol, lovastatin, asetaminofen dan AINS
termasuk aspirin.

Peningkatan kadar memicu toksisitas serius dari pengobatan antiepilepsi


(karbamazepin, fenitoin, fenobarbiton) diketahui disebabkan oleh penggunaan bersama dengan
simetidin, eritromisin, klaritromisin dan flukonazol, sedangkan rifampin diketahun secara
signifikan menurunkan efek dari antiepilepsi. Penggunaan bersamaan AINS atau diuretik
memicu peningkatan yang signifikan kadar litium dan toksisitasnya.

J. Interaksi Obat yang Signifikan secara Klinis

Tidak semua interaksi obat signifikan secara klinis. Signifikansi dari interaksi obat bisa
dari rentang teoritis dan tidak berefek hingga membahayakan jiwa. Interaksi disebut signifikan
ketika terjadi antara dua atau lebih zat yang diberikan bersama dan menghasilkan kebutuhan
untuk penyesuaian dosis salah satu zat atau intevensi medis lainnya.

Prevalensi interaksi obat yang signifikan secara klinis antara 2 % hingga 16 %. Pemberian
bersama-sama obat yang kurang hati-hati dari pasangan obat sinergis atau antagonis bisa
memicu efek yang tidak diinginkan. Beberapa jenis obat yang umumnya menimbulkan interaksi
obat yang signifikan secara klinis antara lain depresan SSP, antikoagulan oral, antidiabetes,
glikosida jantung, antihipertensi, antihistamin non-sedatif, benzodiazepine, antiepilepsi,
imunosupresan dan pengobatan sitotoksik. Pasien yang sakit parah, memiliki penyakit kronis
dan lanjut usia memiliki resiko terkena interaksi obat ini. Pemberian kombinasi obat diketahui
berpotensi menimbulkan interaksi obat pada manusia bisa saja tidak menghasilkan interaksi
obat pada semua pasien.

K. Manajemen Klinis Interaksi Obat

Setelah menilai tingkat dokumentasi di literatur dan tingkat signifikansi interaksi,


pertimbangan harus diberikan pada onset dan offset kejadian, mekanismenya, perubahan pada
hasil, anjuran manajemen dan diskusi pada literature yang tersedia berkaitan dengan interaksi
tersebut. Ketika seorang pasien telah diidentifikasi beresiko mengalami interaksi obat yang
relevan secara klinis, langkah-langkah harus diambil untuk mencegah atau meminimalkan
kejadian yang potensial ini. Jika memungkinkan kombinasi tersebut dihindari atau salah satu
atau lebih obat dihentikan. Pengobatan mungkin bisa diganti dengan pengobatan yang tidak
berinteraksi yang ekivalen secara terapeutik, dosis mungkin bisa disesuaikan, kekuatan dosis
atau interval dimodifikasi, atau rute pemberian diubah.

Penting untuk tidak bereaksi berlebihan terhadap interaksi yang potensial. Tindakan
seperti tidak melanjutkan obat yang penting pada pasien, peningkatan atau penurunan dosis
yang tidak perlu, meningkatkan kunjungan monitoring yang tidak perlu, atau pengukuran
konsentrasi obat tidak perlu dilakukan. 5 kelas sistem kategorisasi untuk manajemen interaksi
obat direkomendasikan dan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Sistem Kategori Manajemen Interaksi Obat

Sistem Kategori Manajemen Interaksi Obat

Kelas 1 Hindari pemberian kombinasi obat. Resiko efek yang tidak diinginkan pada
pasien. Hindari pemberian obat bersamaan
Kelas 2 Kombinasi dihindari kecuali manfaat pemberian kombinasi obat lebih besar
daripada resikonya pada pasien. Jika perlu gunakan obat alternative yang tidak
berinteraksi. Pasien harus dimonitor secara ketat jika kombinasi obat
diberikan
Kelas 3 Beberapa pilihan penatalaksanaan tersedia : gunakan obat alterantif,
mengubah regimen obat (dosis, interval) atau rute pemberian untuk
meminimalkan interaksi, atau monitor pasien jika kombinasi obat diberikan
Kelas 4 Potensi kerusakan/bahaya rendah dan tidak ada aksi spesifik yang diperlukan
selain berhati-hati terhadap kemungkinan interaksi obat
Kelas 5 Bukti-bukti yang ada menunjukkan tidak ada interaksi
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin


Dari penelitian yang dilakukan diperoleh 64 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Distribusi
pasien berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel I.

TABEL 1 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

NO JENIS KELAMIN JUMLAH PASIEN PERSENTASE %


1 LAKI-LAKI 35 54,69%
2 PEREMPUAN 29 29,45%
JUMLAH 64 100%

Tabel I menunjukkan bahwapasien pneumonia didominasi oleh pasien laki-laki yakni 35 pasien
laki-laki (54,69 %) dan 29 pasien perempuan (45,31%). Dari penelitian Sajinadiyas (2010)
menyatakan bahwa kematian akibat pneumonia berhubungan dengan rokok sebesar 26% pada
penderita laki-laki dan 17% pada wanita. Paparan asap rokok yang dialami terus menerus pada
orang dewasa yang sehat dapat menambah resiko terkena penyakit paru-paru serta menjadi
penyebab penyakit bronkitis, dan pneumonia.
3.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Usia
Distribusi pasien pneumonia rawat inap pada tahun 2014-2015 di RSUD dr. Moewardi Surakarta
berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel II.

Tabel II menunjukkan bahwa jumlah terbanyak pasien pneumonia pada rentan usia 56-66
tahun, yaitu sebanyak 22 pasien (34,38%). Pada usia lanjut terjadi perubahan anatomi fisiologi
dan penurunan daya tahan tubuh. Perubahan anatomi fisiologi akibat proses penuaan memberi
konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru, kemampuan untuk mengatasi
penurunan komplians paru dan peningkatan resistensi saluran napas terhadap infeksi.

3.3 Distribusi Pasien Berdasarkan Rata-Rata Penggunaan Obat.


Distribusi pasien berdasarkan rata-rata penggunaan obat dapat dilihat pada tabel III.
Tabel III menunjukkan bahwa penggunaan obat yang paling banyak adalah 6-10 obat (53,13%).
Meningkatnya kompleksitas obat–obat yang digunakan dalam pengobatan saat ini, dan
berkembangnya polifarmasi, memungkinan terjadinya interaksi obat sangat besar (Aslam,
2003).Menurut Mega (2013) kejadian interaksi obat terjadi 6 kali lebih tinggi pada subyek yang
menerima lebih dari 5 obat perhari dibandingkan dengan pasien yang menerima obat kurang
dari 5 obat perhari.

3.4 Identifikasi Potensi Interaksi Obat


Identifikasi potensi interaksi obat dilakukan berdasarkan Stockley’s Drug Interaction, Drug
Interaction Facts, Medscape, jurnal yang sesuai dapat dilihat pada tabel IV.

Bukti-bukti yang ada menunjukkan tidak ada interaksi Bukti-bukti yang ada menunjukkan tidak
ada interaksi
Ketika menggunakan obat-obatan, hasil yang beragam bisa muncul, kebanyakan adalah hasil
yang menguntungkan bagi pasien namun, efek yang tidak diinginkan, mulai dari efek samping
minor hingga kematian bisa terhadi. Salah satu dari konsekuensi penggunaan beberapa obat
adalah resiko dimana salah satu obat mempengaruhi aktivitas, ketersediaan atau efek dari obat
yang lain.

BAB IV

KESIMPULAN
 Interaksi obat merupakan kejadian yang dapat dicegah. Untuk interaksi obat yang
berpotensi menyebabkan kejadian klinis atau signifikan secara klinis diperlukan
penatalaksanaan interaksi obat untuk menghindari dan mencegah kejadian klinis yang
membahayakan pasien.

* Praktek farmasi klinis juga memastikan bahwa efek obat yang tidak diinginkan
diminimalkan dengan menghindari obat-obat yang berpotensi menyebabkan efek
samping pada pasien yang rentan. Oleh karena itu farmasis memiliki peran yang penting
dalam hubungannya dengan pencegahan, deteksi dan pelaporan efek obat yang tidak
diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Aslam, Moh., Tan, C.K., dan Priyatno, A., 2003, Farmasi Klinis, PT Elex Media
Komputindo kelompok Gramedia, Jakarta.

Baxter, K., 2008, Stockley’s Drug Interaction Eight edition, Pharmaceutical Press, United
States of America.

Balitbang Kemenkes RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS,Balitbang Kemenkes


RI, Jakarta.

Dahlan, Z., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.
Depkes RI, 2009, Profil Kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta. Depkes RI, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2406/Menkes/Per/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.

Elfidasari, D., Noriko, N., Mirasaraswati, A., Feroza, A., dan Canadianti, S.F., Deteksi
Bakteri Klebsiella pneumonia pada Beberapa jenis Rokok Konsumsi Masyarakat, Jurnal Al-Azhar
Indonesia Seri Sains Dan Teknologi, 2013; 21: 41-47.

File, T.M., Bartlet J.G., Thomer, A.r. Treatment of community-acquired pneumonia in


adults who require hospitalization, Up to Date Wolters Kluwer, tersedia di
http://www.uptodate.com/contents/treatment-of-community-acquired-pneumonia-in-
adultswho-require-hospitalization diakses tanggal 28 Agustus 2016

Gitawati, R., Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya, Media Litbang Kesehatan, 2009;
18(4): 175-183.

Hussain, F., Arayne, M.S., and Sultana,, Interactions between sparfloxacin and antacids
– dissolution and adsorption studies. N. Pak. J.Pharm. Sci,2006; 19: (1), 16-21.

Lacy, F.C., Armstrong L, Goldman M.O. Lance L., 2010.Drug Information Handbook: A
Clinically Relevant Resource for All Healthcare Professionals,Lexi Comp- Ohio

Lu,L., Wu, Y., Zuo, L., Luo, X., dan Large, P.J., IntestinalMicrobiome And Digoxin
Inactivation: Meal Plan For Digoxin Users?, World J Microbiol Biotechnol, 2014; 30 (3).

Anda mungkin juga menyukai