Anda di halaman 1dari 17

Manusia dan Kesadaran

Pengenalan akan diri sendiri merupakan aspek yang utama untuk


mencapai hidup yang otentik. Pengenalan diri sendiri, mau menerima, dan mau
mengembangkan merupakan salah satu menjadi awal proses pengembangan diri.
Selain juga didorong oleh motivasi untuk berkembang, manusia juga dipengaruhi
oleh kesadaran dari dirinya. Ada berbagai pendapat dari banyak filsuf mengenai
kesadaran manusia. Menurut Descartes, pikiran memiliki prioritas atas tubuh.
Fakta bahwa kita dapat berpikir menunjukkan bahwa manusia merupakan entitas
yang memiliki kesadaran. . behaviorissme merupakan kritikan terhadap
pandangan Descartes tentang pikiran dan kesadaran. Behaviorisme baik didalam
filsafat maupun psikologi berpindah dari sudut pandang orang pertama menjadi
sudut pandang orang ketiga, atau pengamat. Hal yang sama berlaku dalam refleksi
tentang pikiran dan kesadaran dan bukan dari sudut pandang orang yang
menghayatinya. Ini merupakan ciri khas pendekatan behaviorisme dan
positivisme di dalam menganalisis realitas. Menurut Wilber, banyak bermunculan
beragam pendekatan di dalam memahami fenomena kesadaran manusia.
Pendekatan pertama adalah pendekatan ilmu kognitif. Pendekatan ini mencoba
memandang kesadaran sebagai bagian ari fungsi otak yang kemudian berkembang
(sebagai berkembangnya jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis).
Pendekatan kedua merupakan pendekatan instropeksionisme dimana di
pendekatan ini berdasarkan pengalaman atau kejadian yang terjadi dan berusaha
untuk memperbaiki dirinya sendiri. Pendekatan ketiga adalah neuropsikologi. Di
dalam pandangan ini kesadaran sebagai sesuatu yang sudah tertanam dalam
sistem-sitem saraf, neurotransmiter, dan mekanisme otak yang bersifat organik.
Pendekatan ini hampir sama dengan pendekatan kognitif. Kalau pendekatan
kognitif menggunakan ilmu komputer sebagai pisau analisisnya. Pendekatan
keempat ini menggunakan psikologi interpretatif dan psikologi introspektif untuk
menyelesaikan masalah-maslah emosional dan personal. Pendekatan ini melihat
sesuatu yang berakar pada kemampuan manusia terhadap dunia luar. Pendekatan
kelima ini merupakan pendekatan sosial. Pendekatan ini menjelaskan kesadaran
yang tertanam dalam kehidupan masyarakat dan berfokus pada kehidupan
masyarakat. Pendekatan keenam ini berfokus pada pola perilaku manusia.
Pemdekatan ketujuh berfokus pada perkembangan manusia di dalam proses.
Pendekatan kesembilan berusaha untuk memahami kesadaran dalam arti luas.
Pendekatan kesepuluh kesadaran berada pada tingkatan yang lebih rendah dari
yang seharusnya bisa dicapai manusia. Pendekatan kesebelas, kesadaran memiliki
interaksi dan kemampuan untuk mengubah dunia luar, jadi realitas ditentukan
oleh kesadaran. Pendekatan yang terkahir atau yang ke dua belas adalah
pendekatan yang disebut sebagai teori energi-energi halus. Di dalam pendekatan
ini, penelitian dilakukan dengan dengan berpijak pada pengandaian, energi ini
mempengaruhi kesadaran dan perilaku manusia.

Setiap pendekatan memiliki asumsi dan metode yang berbeda, tetapi


masing-masing pendekatan itu menggambrkan aspek yang berbeda dan realitas
yang sama. Sebenarnya, setiap pendekatan saling berhubungan antar satu sama
lain. Setiap pendekatan menyentuh realitas, dan menjelaskannya dengan teori
masing-masing.
Manusia dan Motivasi Hidup

Kita memiliki emosi –emosi dan perasaan-perasaan internal dalam diri


kita. Kita menghayati perasaan, pikiran, kecemasan dalam hati kita. Perasaan-
perasaan itu bersifat privat. Kita tidak memiliki akses untuk tahu langsung
memahami pikiran, perasaan, dan kegelisahan dari orang lain. Yang dapat kita
lakukan ialah untuk memahami dia, mendekatkan diri pada dia agar kita bisa tahu
pikiran, perasaan, dan kegelisahan dari dia. Dari sudut pandang persnal, orang
memilki kebebasan, memiliki pergulatan emosional, kecemasan, dan perasaan.
Ciri-ciri itu menjadi sifat manusiawi. Jika dilihat ari sudut pandang orang lain atau
kamera, ia diberi rangsangan untuk memberikan respons dengan sesuai atau tetap
dari rangsangan tersebut. Masyarakat dibentuk oleh interaksi manusia. Interaksi
tersebut semakin lama semakin ditandai dengan kekuasaan. Interaksi pun jatuh
keserakahan manusia sifat ingin memiliki yang bukan miliknya. Kejahatan
menurut Laming, jika perilaku tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku
di masyarakat. Kata bertentangan, disebut sebagai perilaku manusia yang tidak
sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku, melanggar , tidak mentaati, dan
menghiraukan aturan-aturan baik yang tertulis dan tidak tertulis. Dengan adanya
norma-norma menjadi tuntutan masyarakat bagi individu-individu. Tetapi banyak
individu-individu yang gaya hidupnya tidak sesuai dengan norma-norma atau
edikit menyeleweng dari norma-norma yang ada, tetapi norma tersebut tidak dapat
dihilangkan atau digantikan karena sesuai dengan kultur masyarakat. Sebagai
solusi pemecahan dari permasalahan diatas seorang individu dapat didorong
dengan adanya motivasi hidup. Motivasi hidup ini dapat mendorong seorang
individu agar dapat berubah menjadi individu yang lebih baik dan dapat mentaati
norma-norma yang ada di masyarakat.
Manusia dalam Ketegangan Determinasi dan Kebebasan

Kebebasan sendiri merupakan salah satu ciri khas manusia. Manusia dapat
melakukan segala hal sesuai dengan pikiran dan perasaan manusia itu sendiri.
Menurut Spohocles, bahwa takdir seseorang sudah diatur oleh semacam hukum
yang tidak dapat dilanggar. Kebebasan dalam pendapat Sophocles, hanya
mungkin di dalam proses memaknai takdir dan hukum yang tidak dapat dilanggar
tersebut. Inilah yang disebut sebagai kebijaksanaan oleh Sophocles. Untuk
mendapat sedikit kebebasan , orang harus berani berubah atau bertindak berbeda
dari sebelumnya, padahal untuk mau berubah orang harus memiliki kesiapan atau
kemapanan untuk mau berubah.

Di sisi lain, menrut Satre, manusia itu bebas secara aboslut akan tetapi
kebebasan itulah tidak menjamin bahwa mansusia itu mampu menentukan dirinya
sendiri, karena ia tidak mau menerima dirinya dan tidak mau bertanggungjawab
atas tindakannya sendiri. Meskipun beberap individu takut akan hak
kebebasannya, tetapi setiap individu dapat memilih apakah individu tersebut dapat
bertanggungjawab atas dirinya, dan tindakannya dan mau bertanggungjawab atau
tidak. Freud percaya bahwa neurosis manusia masih dapat diatasi. Proses
penyembuhan ini dapat diartikan sebagai tahap manusia mau berubah mau
bertanggungjawab atas tindakannya, dan mau menerima resikoatas tindakan yang
dilakukannya. Tuhan menciptakan manusia secitra dengan Allah, baik secara
rohani dan jasmani. Tuhan menciptakan manusia lebih sempurna dibandingkan
dengan makhluk ciptaan lainnya. Manusia diberi kebebasan untuk dapat
menguasai seluruh isi bumi. Tetapi masih ada sikap yang keluar dari apa yang
dikehendaki Tuhan. Sikap tersebut karena manusia menganggap dengan
kebebasan yang diberikan Tuhan kepada kita menjadi dampak yang buruk, timbul
keserakahan karena ingin menguasai seluruh bumi. Tuhan menghendaki agar
manusia dapat menjaga apa yang diberikan Tuhan kepada manusia, dengan
memeliharanya tanpa merusaknya. Di dalam filsafat modern, mnurun Dilman,
kebebasan manusia tidaklah dipertentangkan dengan Tuhan, tetapi dengan hukum
sebab akibat. Tetapi menurut Descartes, semua tidak terjadi karena sebab akibat
salah satunya yang tidak sesuai adalah manusia untuk berkehendak. Di sisi lain
juga, Hume menjawab, bahwa kebebasan tidaklah lagi dipertentangkan dengan
hukum sebab akibat, melainkan dengan keterpaksaan. Orang yang terpaksa bukan
merupakan orang yang bebas. Kant berpendapat bahwa kehendak manusia
tidaklah bebas, karena masih terjebak dalam hukum sebab akibat. Manusia, dapat
dikatakan bebas ketika kehendak dan erbuatannya dituntun oleh akal budi.
Menanggapi pendapat Kant, Spinoza berpendapat bahwa segala sesuatu di dalam
realitas, terkena hukum sebab akibat. Menurut G.E. Moore, kepercayaan manusia
akan kebebasan mengandaikan banyak kesempatan, dimana ia bisa melakukan
sesuatu yang daripada sesuatu yang diperlukan. Sesuai dengan fakta apa yang
terjadi pasti memiliki sebab dan akibat. Jika menyangkal hukum sebab akibat,
maka tindakan manusia akan terlihat acak tanpa pola. Dapat disimpulkan bahwa
hukum sebab akibat sebenarnya bukanlah musuh dari kebebasan manusia. Bila
seseorang sedang mempertimbangkan segala aspek untuk membuat suatu
keputusan tertentu, maka ia sebenarnya sedang menata sebab akibat dari
keputusannya. Tindakan yang diambil bukanlah tindakan yang diambil secara
acak, namun tetap mengikuti hukum sebab akibat. Dalam kehidupan sehari-hari,
contoh paling nyata ialah dalam ilmu kedokteran. Dimana organ tubuh yang
mengalami kerusakan akan merubah sifat fungsi dari organ tubuh tersebut. Yang
dapat mengakibatkan fungsi dari organ tubuh tidak dapat berfungsi secara
optimal. Dilman menyimpulkan bahwa ketika orang itu bebas, maka ia tidak
terikat untuk melakukan apa yang ia lakukan. Inti dari kebebasan ialah
kemampuan untuk berbuat lain daripada apa yang sebenarnya kita perbuat.
Kebebasan semacam ini mengandaikan adanya hukum sebab akibat, tetapi tidak
terjebak penuh di dalam hukum itu. Kebebasan memang ridak perlu
dipertentangkan dengan terminisme, tetapi dengan pemaksaan atas kehendak diri
kita.
Manusia dan Kebenaran

Kata kebenaran ini akan muncul di benak manusia ketika apa yang
dilakukannya menurut pikiran dan perasaan sesuai atau menurutnya itu benar.
Kebenaran merupakan hal yang sangat penting baik didalam dunia politik, dan
dalam aspek kehidupan lainnya. Kebenaran ada ketika, timbul konflik yang
membutuhkan keyakinan apakah fakta yang diperbincangkan atau dibahas benar
atau tidak. Kesalahan terjadi ketika manusia berusaha melanggar aturan atau
norma yang ada. Sebagai contoh ialah ketika di suatu daerah kita ada larangan
untuk melakukan tindak kriminal, tetapi ada individu yang melanggar itu disebut
sebagi suatu kesalahan. Berbagai pendapat dari beberapa filsuf menyebutkan
kebenaran merupakan sebagai sebuah pernyataan tentang fakta sebagaimana
adanya atau sesuai dengan keadaan atau apa adanya. Menurut Lynch, salah satu
alasan mengapa kebeneran itu sulit untuk didefinisikan adalah, karena begitu
banyak pandangan yang saing bertentangan di dalam proses mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan kebenaran itu. Ada juga orang yang berpendapat
kebenaran itu ditemukan, kebenaran itu diciptakan, dan di sisi lain juga kebenaran
itu adalah sesuatu yang diketahui oleh manusia, dan ada yang beranggapan lain
bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang misterius. Sebenarnya itu hanyalah
pendapat-pendapat orang saja, akan tetapi kebenaran tetap merupakan sesuatu
yang layak dikejar, baik didalam kehidupan personal, maupun politik. Di dalam
proses memahami keenaran, manusia sering kali jatuh keedalam kesalahan. Hanya
karena kita percaya bahwa sesuatu itu benar bukan berarti pernyataan itu sungguh-
sungguh benar. Lynch kemudian memberi contoh tentang Gunung Everest.
Menurut fakta yangada, gunung Everest merupakan gunung yang tertinggi, tetapi
beberapa tidak meyakini bahwa gunung Everest merupakan yang tertinggi di
dunia. Secara lebih jauh, Lynch menjabarkan bahwa kebenaran, secara sederhana,
merupakan pernyataan tentang fakta sebagaimana adanya. Ketika ada
kata”benar”, maka dunia akan berjalan sesuai dengan kebenaran. Jika dipahami
seperti ini, kebenaran bukanlah sesuatu yang kontroversial. Ide bahwa kebenaran
itu obyektif merupakan bagian teori dari korespondensi. Jadi apa yang dinyatakan
itu berkorespondensi langsung dengan realitas, apa yang dinyatakan apa yang
terjadi. Beberapa pemikiran berpendapat bahwa kepercayaan tidaklah berarti, jika
mengacu pada sesuatu di luar pikiran manusia yang bersifat mandiri, seperti
keberadaan benda-benda fisik dalam bentuk benda mati. Di konteks teori ini,
kebenaran adalah sesuatu yang murni obyektif. Setiap pernyataan haruslah
mengacu pada keberadaan benda-benda fisik. “kepercayaan yang benar” menurut
Lynch, “adalah kepercayaan yang menggambarkan dunia sebagaimana dirinya
sendiri dan bukan sebagaimana kita mengharapkannya, atau takut padanya,
realitas pun dipahami sebagai realitas yang obyektif ada.

Secara umum ada beberapa teori tentang kebenaran. Yang pertama adalah
teori kebenaran korespondensi, dimana adanya kesesuaian antara pikiran,
perkataan, dan realitas obyektif, yaitu realitas yang ada secara mandiri tak
tergantung pikiran manusia . Yang kedua adalah teori kebenaran konsensus.
Contoh paling jelas adalah nilai-nilai moral dan keberlakuannya. Yang ketiga
adalah teori kebenaran koherensi, yakni kebenaran sebagai sesuatu yang muncul
dari penarikan kesimpulan logis dengan berdasar pada premis-premis yang bisa
dipertanggungjawabkan. Yang keempat adalah bahwa teori kebenaran sebagai
kebahagiaan.

Tujuan hidup, harus dilandasi kebenaran. Tnanpa kebenaran, tujuan hidup


itu bagai mitos belaka yang tak lebihs dari sekedar kebohongan. Peduli pada
kebenaran sangatlah terkait dengan kebahagiaan. Orang yang menjalani hidup atas
dasar kebenaran berarti menjalani hidup atas dasar kebenaran berarti menjalani
hidup secara otentik dan tulus. Lynch sendiri berpendapat bahwa hidup yang
didasarkan pada kebenaran tidak hanya berbuah kebahagiaan bagi diri, tetapi juga
bagi kehidupan orang lain. Dengan kata lain, kebenaran yang diyakini dalam
hidup, sebagai jalan menuju otentsitas dan kebahagiaan ternyata juga memiliki
nilai politis. Pengetahuan tentang diri sendiri, berkaitan dengan kesadaran
manusia. Menurut Lynch, karena sering kita kekurangan tentangnya, dan dengan
kurang pengetahuan tentang diri, kita bisa berjalan sambil tidur di dalam
menjalani kehidupan. Jika tujuandari hidup adalah memenuhi semua keinginan
yang ada, maka cara hidup terbaik adalah dengan menginginkan hal-hal yang
secara realistik bisa terpentuhi. Banyak orang menghabiskan hidup mereka
dengan mengingkan hal-hal yang tidak mungkin mereka peroleh. Hal ini tentunya
membuat hidup menderita. Namun menurut Lynch hidup juga perlu tantangan.
Tantangan yang konkret lahir, jika kita memiliki cita-cita tinggi yang ingin
diwujudkan, seperti perdamaian duni, penyembuhan kanker, atau pembelaan
rakyat miskin. Tantangan dan cita-cita bisa menjadi makna bagi hidup. Dengan
demikian pemenuhan hasrat dan keinginan bukanlah tujuan tertinggi didalam
hidup. Keinginan yang lebih tinggi layak menjadi tujuan hidup. Jika orang
menginginkan hidup yang baik, yakni hidup yang bahagia dan bermakna. Inilah
yang disebut sebagai teori kebahagiaan.
Manusia, Hasrat, dan Kejahatan

Hasrat merupakan salah satu dorongan aktif untuk menimbulkan


kenikmatan yang pada akhirnya akan memusnahkan dirinya sendiri. Kenikmatan
bukanlah soal kenikmatan jasmani saja. Akan tetapi kenikmatan pikiran sangatlah
penting. Perasaan penuh dan utuh yang hanya bisa diperoleh dari pemenuhan
hasrat yang bersifat timbal balik. Kesatuan di dalam percakapan yang bersifat
individualistik, dimana kita saling menyadari keberadaan kita masing-masing, dan
saling membuat penyesuaian. Rasa bosan menjadi pemicu terjadi permaslahan
antara individu dengan individu lainnya dan dapat menghancurkan momen
kesatuan tersebut. Dalam kenikamatan pemuas hasrat manusia terletak di dalam
perasaan utuh dan satu, yang mucul akibat rekasi timbal balik. Tetapi kembali
lagi, pemuasan hasrat hanya saja tidak memuaskan secara jasmani tetapi secara
pikiran juga akan terpuaskan. Tetapi yang banyak kita ketahui, berbagai orang
hanya ingin memuaskan badaniah saja, tanpa memikirkan efek ke depannya.
Sebagai contoh ialah prostitusi, pemerkosaan, dan lain halnya yang berhubungan
dengan pemuasan badaniah. Secara tidak langsung timbul pemberontakan yang
tidak membuat nyaman seorang individu. Ini merupakan salah satu bentuk
kejahatan.
Manusia dan Kerja

Kerja merupakan suatu kegiatan sebagai pemenuhan kebutuhan manusia.


Pemenuhan kebutuhan manusia ini berupa kelangsungan hidup sebagai individu,
dalam bentuk teori dan praktek. Dengan adanya kerja, manusia dapat
mengembangkan idenya, kesukaan atau hobbynya dalam bentuk pekerjaan.
Pekerjaan di era sekarang sangat dibutuhekan berbagai individu. Pekerjaan
dengan manusia merupakan dua kata yang saling bergantungan, karena manusia
membutuhkan sebagai pemenuhan kebutuhannya sedangkan pekerjaan
membutuhkan manusia untuk menjadi objek dalam melaksanakan pekerjaannya
dan dibutuhkan keterampilan, agar dapat menghasilkan sebuah produk menjadi
lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan para konsumen atau para pihak orang
lain. Menurut Drucker adalah, bahwa kerja dan bekerja adalah dua hal yang
berbeda. Pekerja adalah penghasil kerja, dan kegiatan menghasilkan kerja itu
disebut sebagai bekerja. Drucker berpendapat bahwa kerja adalah sesuatu yang
sifatnya impersonal dan obyektif. Dalam arti ini kerja adalah tugas. Kerja menurut
Drucker, membutuhkan kemampuan menganalisis, membuat sintesis, dan
mengontrol proses. Maka kerja adalah sesuatu yang memiliki aturan dan logika
tersendiri yang perlu dianalisis. Hal ini tidak hanya berlaku untuk kerja yang
menghasilkan baang materi, tetapi para pekerja juga kreatif dan pekerja
pengetahuan yang lebih menghasilkan konsep yang abstrak. Drucker bahkan
berpendapat bahwa analisis atas kerja pertama kali bukan muncul di kalangan
insinyur ataupun ahli teknik, melainkan dari tulisan yang memiliki aturan dan
logikanya sendiri. Di dalam organisasi cara berpikir yang berbeda perlu untuk
dirumuskan. Didalam organisasi kerja harus dikelola secara tepat, sehingga
gabungan kerja dari beberapa bagian bisa menghasilkan satu tujuan yang sama.
Inilah juga merupakan inti dari proses produksi. Di dalam organisasi kerja adalah
suatu kegiatan yang perlu diatur secara kolekti. Kerja bukanlah soal individual
saja, kerja memerlukan proses kontrol untuk mecegah hilangnya fokus pekerjaan.

Ducker menekankan bahwa ada lima dimensi dari bekerja. Bekerja adalah
aktivitas yang dilakukan oleh pekerja. Kerja adalah tanda dari kemanusiaannya.
Dimensi pertama adalah dimensi fisiologis, bahwa manusia bukanlah mesin, cara
manusia bekerja berbeda dengan mesin. Dimensi kerja kedua adalah dimensi
psikologis. Dalam arti ini kerja bisa berarti berkat sekaligus kutuk. Orang perlu
untuk bekerja, namun seringkali kerja juga menjadi beban yang sangat berat. Dari
sudut pandang ini, fenomena pengangguran yang disebabkan oleh emiskinan tidak
hanya merusak situasi ekonomi seseorang, tetapi juga harga dirinya. Hegel
seorang filsuf Jerman, bahwa kerja adalah aktualissasi diri seseorang. Drucker
sendiri berpendapat bahwa kerja merupakan perpanjangan dari kepribadian
manusai. Kerja adalah suatu pencapaian mimpi dan perwujudan prestasi. Kerja
adlaah aktivitas yang dilakukan oleh seseorang utnuk mendefinisikan dirinya
sendiri dan kemanusiaannya. Dimensi yang ketiga adalah dimensi sosial. Kerja
menyatukan orang dari berbagai latar belakang untuk bertemu dan menjalin relasi.
Profesi seseorang menentukan tempatnya di masyarakat. Bahwa setiap orang
butuh untuk bekerja, karena ia memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dari
suatu kelompok, dan menjalin relasi yang bermakna dengan orang-orang yang ada
disana. Dalam arti ini, ikatan emosional yang dibentuk di dalam pekerjaan tidak
kalah kuatnya dengan ikatan keluarga. Ikatan pekerjaan muncul karena orang
sering bekerja sama. Dan dimensi ini, menjadi peluang untuk membentuk suatu
komunitas kerja yang bermakna. Dinamis keempat ialah dinamis ekonomi.
Dimensi ini berakar pada fakta, bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri dan ia
memerlukan orang lain. Dalam kerangka lain, manusia yang satu melakukan
perdagangan dngan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhannya masing-
masing, dan membentuk apa yang disebut sebagai jaringan ekonomi. Ekonomi
sudah selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia, dan sekarang ini manusia
tidak bisa lepas dari ekonomi. Di dalam perkembangan jaman, tujuan dari
ekonomi ini mengalami perubahan, yakni bukan lagi sebagai pemenuhan
kebutuhan murni, tetapi untuk mengumpulkan dna mengembangkan modal. Kerja
pun bukan lagi demi pemenuhan kebutuhan hari ini, tetapi juga memiliki orientasi
ke masa depan. Dimensi yang kelima ialah kekuasaan kerja. Di dalam organisasi
selalu ada relasi-relasi kekuasaan, baik secara implisit atau eksplisit. Secara
eksplisit kekuasaan tampak diantara hubungan atasan dan bawahan, serta
hubungan antara konsumen dan produsen. Di sisi lain ada kekuasaan yang sifat
implisit, namun efeknya sangat terasa seperti krisis global di pasar internasional,
bencana alam, dan perubahan iklim yang mempengaruhi proses produksi,
distribusi, atau konsumsi. Dahulu kala orang tidak memiliki jam kerja. Konsep am
kerja ditemukan pada masyarkat industrial pertama di Eropa. Sekilas konsep ini
memang terlihat tidak relevan. Namun pad awalnya penerapan jam kerja
mengakibatkan terjadinya culture shock di masyarakat seluruh dunia. Di dalam
organisasi modern, kerja haruslah direncanakan dan diatur dalam jadwal yang
tepat. Banyak pemikir berpendapat bahwa organisasi modern adalah suatu bentuk
alienasi( keterasingan). Orang menjadi tidak mengenal dirinya sendiri, orang lain,
dan hasilnya jika mereka bekerja di perusahaan yang ditata secara modern.
Meneropong Sisi Gelap Manusia

Manusia memiliki sisi gelap yang mendorongnya untuk bertindak jahat


dan kejam. Setiap orang, siapapun dia, jika dihadapkan kekayaan dan kekuasaan,
seolah menjadi tidak berdaya. Inilah yang disebut sebagai godaan dan godaan ini
tampaknya merupakan pintu gerbang pertama menuju kejahatan. Godaan ini
menyerang siapapun, dan bisa menaklukkan siapapun, mulai dari pemuka agama
yang saleh, sampai orang yang memang pada dasarnya haus akan kekuasaan.
Menanggapi hal ini, Aristoteles pernah berpendapat, bahwa pada hakekatnya,
kejahatan itu merusak jiwa pelakunya. Jadi, jika orang berbuat jahat, hanya
tampaknya sajalah ia menang dan berkuasa, sebenarnya ia telah menghancurkan
jiwanya sendiri. Dengan kata lain orang yang berbuat kejahatan menghancurkan
dirinya sendiri. Singkat kata, mengapa manusia dpat mudah terjerumus kedalam
kejahatan, walaupun kejahatan itu pada akhirnya menyiksa jiwanya sendiri. Dari
sudut pandang Ricoeur terutama dalam bukunya yang berjudul Symbolism of Evil.
Akar kejahatan di dalam diri manusia terletak pada persentuhhan dirinya dengan
kejahatan itu sendiri. Pengalaman bersentuhan dengan kejahatan itu dipaparkan
Ricoeur dengan menggunakan tiga simbolisme, yakni simbolisme noda jiwa,
simbolisme dosa, dan simbolisme rasa bersalah. Ricoeur menuliskan karya nya
The Symbolism of Evil pada tahun 1990. Bagi Ricoeur hakekat dari kejahatn
bersifat konfliktual, dan tidak pernah stabil. Dimensi konfliktual dari kejahatan
tersebut paling tampak memang di dalam bahasa simbol. Ia pun menambahkan
bahwa ada tiga metafor simbolik yang menjadi fondasi dari semua kejahatan,
yakni noda jiwa , dosa, dan rasa bersalah. Kemudian ia berpendapat bahwa
symbolism of evil merupakan simbol-simbol primer. Di dalam melihat berbagai
mitos dan cerita tentang kejahatan di berbagai tradisi, Ricoeur membedakan tiga
macam level tafsiran. Yang pertama adalah simbol-simbol primordial. Yang
kedua adalah tafsiran level pertama. Yang ketiga adalah tafsiran level kedua.
Argumen yang diajukan Ricoeur adalah, bahwa tigas level tafsiran tersebut
haruslah dimengerti sebagai suatu tafsiran yang saling terkait. Jadi buku
symbolism of evil menganalisis berbagai simbol kejahatan di dalam tradisi
teologis-religius yang diturunkan dalam bentuk tulisan.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pengalaman primordial
manusia bersentuhan langsung dengan kejahatan dapat dilihat dengan tiga
simbolisme mendasar, yakni noda jiwa, dosa, rasa bersalah. Noda jiwa berkaitan
dengan kejahatan sebagai sesuatu yang ditularkan dari luar diri manusia ke dalam
jiwanya. Tiga pengalaman ini menyangkut tiga dimensi mendasar kehidupan
manusia, yakni dimensi kosmik yang merupakan pengalaman akan yang kudus,
dimensi on-eirec yang merupakan suatu bentuk reaksi fisik terhadap kejahatan, da
dimensi puitis yang merupakan reaksi manusia terhadap metafor-metafor,
gambar-gambar, dan kata-kata di dalam tradisi mitologis. Simbolisme pertama
adalah simbolisme yang berkaitan dengan dimensi kosmik pada diri manusia.
Kejahatan dipandang sebagai pelanggaran obyektif yang dilakukan manusia
terhadap yang kudus. Oleh karena itu manusia mulai membuat ritus-ritus, dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang dianggap tabu. Ritus diperlukan supaya
manusia bisa memurnikan dirinya. Ritus adalah suatu tindakan purifikasi manusia
terhadap Noda jiwanya. Kejahatan pun dianggap sebagai sesuatu yang datang dari
luar. Freud menyebut ini sebagai suatu momen neurotik obsesional. Jadi di satu
sisi simbolisme menjadi suatu bentuk pengalaman langsung manusia bertsentuhan
dengna kejahatan. Walaupun memiliki kaitan dengan Noda jiwa, konsep dosa
sebagai pengalaman primordial manusia berhadapan dengan kejahatan tetap harus
ditafsirkan secara independen. Salah satu contoh paling jelas tentnag simbolisme
ke dua ini adalah tradisi perjanjian lama dalam kitab suci Kristen. Di dalam
perjanjian lama ini, cinta Tuhan kepada manusia haruslah dibalas dengan
kesetiaan serta kepercayaan manusia kepada Tuhan. Menurut tafsiran Leeuwen,
Ricoeur disini memaparkan simbolisme tentang dosa dengan dua cara.
Manifestasi dari yang kudus tidaklah lagi dianggap sebagai sesuatu yang berasal
dari alam, melainkan berada dalam sejarah antara Tuhan dan manusia. Kedua,
kejhatan lalu dipahami sebagai tanggungjawab manusia. Akan tetapi kejahatan ini
belum dianggap sebagai sesuatu yang personal, sehingga belum menciptakan rasa
bersalah. Di dalam tradisi Yudaisme, cinta Tuhan kepada manusia haruslah
dibalas dengan komitmen penuh. Di sini cinta Tuhan terdiri dari dua bentuk, yakni
aspek ketidakterbatasannya, dan aspek keterbatasannya yang terwujud dalam
bentuk hukum-hukum. Di dalam hukum-hukum itu, Tuhan menuntut kepatuhan
total dan kesetiaan dari manusia. Seorang pendosa adalah seseorang yang
melanggar hukum-hukum Tuhan. Pelanggaran itulah yang menciptakan rasa takut
di dalam diri manusia. Dengan demikian ada dua hal yang menandai pemaparan
Ricoeur tentang dosa. Di satu sisi pengakuan dosa dianggapny sebagai transisi
dari pemahaman pra-etis menuju ke pemahaman etis. Di sisi lain, kesadaran akan
dosa belumlah menjadi bagian dari relkesi personal individu, melainkan masih
dalam kesadaran kolektif. Dosa adalah suatu bentuk pemberontakan manusia
terhadap Tuhannya. Pada hakekatnya, dosa bukanlah suatu bentuk ketiadaan.
Ricoeur justru melihat dosa sebagai sesuatu yang positif, yakni dimana manusia
menemukan dirinya sendiri. Pada akhirnya, dosa tetaplah merupakan bagian dari
fenomena di dalam ranah teologis-religius. Dosa kepad Tuhan pada akhirnya
dilampaui dengan momen kembalinya manusia kepada Tuhan. Kriteria dari doa
adalah apakah perbuatan itu sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak. Akan
tetapi manusia tetap harus berefleksi terhadap tindak-tindakannya.

Seperti yang disinggung sebelumnya, noda jiwa mendominasi dimensi


kosmik manusia, sementara dimensi manusiawi manusia di dominassi oleh rasa
bersalah. Jika noda jiwa masih berada pada level pra-etis, maka menurut Ricoeur
ras bersalah sudah pada level etis. Rasa bersalah tidaklah lagi berkaitan dengan
Tuhan, melainkan pada titik ini manusia sadar akan tanggungjawab pribadinya.
Kriteria pengukuran rasa bersalah adalah kesadarannya sendiri (bersifat
individualisitik). Jadi menurut Ricoeur pengalaman akan kejahatan dalam
simbolisme rasa bersalah mencapai puncaknya pada kesadaran yang bersifat
skrupel, yakni kesadaran yang terlalu patuh pada aturan. Di sini rasa bersalah
adalah konsekuensi dari pilihan, yakni konsekuensi dari tindakan bebas. Rasa
bersalah menjadi pengalaman yang sepenuhnya individual. Pada titik ini sifat
individualistik etis, yakni ketika orang hidup sepenuhnya demi kemurnian dirinya
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai