Anda di halaman 1dari 14

Hubungan Antara Agama dan Sains dalam Pemikiran Ian G

HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN SAINS


DALAM PEMIKIRAN
IAN G. BARBOUR DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP STUDI ISLAM

Moh. Mizan Habibi


Dosen Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas
Islam Indonesia
Email: habibimizan@yahoo.co.id

DOI: https://doi.org/10.20885/tarbawi.vol9.iss1.art4

Abstract
This paper discusses the views of Ian G. Barbour on the relationship between
religion and science. Barbour found that many consider religion and science are
extremely opposing to each other. He classifies the perspectives on the relationship
between the two into four typologies, namely: conflictual, independence,
dialogical and integrative. He argues that the fourth perspective is the best one.
He proposes a philosophical approach that connect religion and science through
integration in which empirical elements of science are integrated into textual
and metaphysical aspect of religion. This requires academician to develop an
open attitude and intelligent and health dialogical awareness.
Keywords: religion, science, integration

Pendahuluan: sekilas mengungkap ‘aib’ sejarah


Dalam realitas kehidupan terdapat relasi yang kuat antar manusia,
namun dalam praktik keilmuan yang dikembangkannya tidak selalu
berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari adanya pengelompokan-
pengelompokan dalam bidang keilmuan sehingga tampak benar tidak
saling menyapa. Apalagi ketika pengelompokan itu tampak sebagai
sebuah upaya pemisahan.
Pemisahan yang dimaksud di atas seperti halnya pemisahan yang
bertolak dari paradigma ilmu yang dikembangkan di Barat, yaitu knowledge
for power, sementara pada sisi lain agamawan berparadigma knowledge for

[]. ISSN: 1979998-5 [Halaman 49 - 62] .[]


Ju r n a l e L - Ta r b aw i 49
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I

living. Dua paradigma itu kemudian melahirkan dua wajah peradaban yang
berbeda. Paradigma pertama telah menjadikan ilmu sebagai ‘tandingan
Tuhan’ atau ‘Tuhan Baru” yang memperlakukan obyeknya dengan semena-
mena, sementara paradigma kedua lebih menekankan ilmu sebagai media
untuk hidup lebih baik secara berdampingan. Pemisahan seperti itu pada
akhirnya menghasilkan tragedi dan krisis kemanusiaan dan lingkungan
hidup. Ilmu yang semula diciptakan manusia untuk kemaslahatan dan
memudahkan hidupnya berubah menjadi faktor yang menentukan arah
hidup manusia. Maka pada titik inilah dirasakan bahwa ilmu tidak
menjadi solusi, tapi menjadi bagian dari problem (Samsul Anwar, 2007:
vii). Karena nampaknya ini juga sering ‘menggangu’ hubungan antara
sains dan agama.
Barbour menemukan banyak fenomena bahwa kebanyakan penulis-
penulis saat ini melihat bahwa ilmu pengetahuan dan agama sebagai dua
kutub yang bertolak belakang yang pada dasarnya tidak berhubungan
satu sama lain. Alasan itu didasarkan pada temuannya dalam perbedaan
teori pada sejarah abad modern tentang peristiwa ketika adanya
pemimpin gereja yang mengecam teori Galileo tentang sistem tata
surya atau teori Darwin tentang evolusi yang mengeluarkan pernyataan-
pernyataan tentang isu ilmiah, padahal mereka sebagai pimpinan gereja
tidak mempunyai kompetensi untuk memberikan penilaiannya atas isu
sains tersebut. Sebaliknya, Newton dan ilmuwan lainnya menggunakan
kehendak Tuhan untuk mengisi kekosongan dalam penjelasan ilmiah
mereka hingga peran Tuhan sebagai pengisi kekosongan tidak diperlukan
lagi (Barbour, 2006: 1). Hal ini menunjukkan adanya ‘gap’ antara sains dan
agama yang seolah-olah saling bertolak belakang.
Maka dari beberapa argumen di atas, Barbour memberikan tawaran
metodologis dengan pendekatan filosofis yang akan menghubungkan
antara sains dan agama. Upaya ini dilakukan untuk memberikan
pencerahan bagi para penjelajah ilmu agar mempunyai peta pemikiran
non-dikotomik yang komprehensif dan utuh, sehingga tidak terjebak
pada satu sisi dan mempunyai pikiran beku.
Kajian tentang sains dan agama merupakan satu hal yang harus
benar-benar ditelaah secara mendalam. Sebagai kaum yang tidak hanya
berpatokan pada sesuatu yang bersifat empiris, perbincangan tentang
persoalan agama menjadi bagian yang tidak boleh diabaikan. Bahkan
beberapa pendapat mengatakan bahwa sains dan agama merupakan satu

50 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume IX, No.1, 2016
Hubungan Antara Agama dan Sains dalam Pemikiran Ian G

kesatuan yang saling mengisi, dan terdapat pendapat lain yang mengatakan
bahwa sains adalah bagian dari agama. Begitu pula sebaliknya, sains dalam
beberapa hal bisa menjadi bukti kebenaran tentang agama. Maka kajian ini
menjadi penting untuk diperbincangkan, biar tidak terjadi stigma bahwa
sains dan agama menuai dikotomi keilmuan yang saling bertentangan.
Dalam pengantarnya pada buku terjemahan “Isu Dalam Sains dan
Agama” karya Ian G. Barbour, Amin Abdullah yang kala itu menjabat
sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa perlu adanya
proses untuk selalu bergelut mendialogkan tradisi agama dan ilmu
pengetahuan, serta melakukan pembahasan dan penyelidikan yang saling
melengkapi dan mendukung mengenai kedua hal tersebut, tanpa menutup
kemungkinan saling menyapa dan mengkritik dalam format antar disiplin
keilmuan yang konstruktif. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang
saling mengisi dan berdialektika antara ilmu pengetahuan secara umum
dan agama.
Kerangka Teori
Tipologi hubungan antara sains dan agama
a. Konflik
Tipologi konflik ini muncul pada masa pemikiran Richard
Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker serta Stephen Hawking
pada abad ke-19. Pandangan ini menempatkan sains dan agama
dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan
agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang
harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing
menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang
bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga
sebaliknya, keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-
masing.
Konflik antara agama dengan sains bisa dicontohkan dalam
kasus hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap
Galileo Galilei tentang teori tata surya atas aspek pemikirannya
yang dianggap menentang gereja. Demikian pula penolakan gereja
Katolik terhadap teori evolusi Darwin pada abad ke-19 (Barbour,
2006: 1).
Para ilmuwan menganggap bahwa yang riil yaitu dapat diukur

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 51
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I

dan dirumuskan dengan hubunagn matematis. Maka penganut


tipologi ini cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-
bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi kalangan saintis barat
dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan
terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data
publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana
halnya sains.
Barbour merespon hal ini dengan argumen bahwa mereka
keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih
antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka
makna yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak
dapat mengungkap rentang yang luas dari pengalaman manusia atau
mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan bagi tranformasi
hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama
(Barbour, 2005: 224).
b. Independensi
Beberapa ilmuan menganut independensi dengan memisahkan
sains dan agama dalam dua wilayah yang berbeda. Masing-masing
mengakui keabsahan eksistensi sains dan agama. Baik agama
maupun sains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang
terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan
damai. Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang
dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka
berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama
mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian
ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing. Sains
hanya mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona alam, tidak
untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama
berfungsi memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan
hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan
praktek ritual dan tradisi keagamaan.
Para ilmuan yang menganut tipologi ini di antaranya adalah
seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath dan Langdon
Gilkey. Barbour mengungkapkan pandangan Karl Bath tentang
independensi, bahwa: Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari
yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan

52 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume IX, No.1, 2016
Hubungan Antara Agama dan Sains dalam Pemikiran Ian G

diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak


Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains.
Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan
unsur teologi., demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok
persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan
penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi
(Barbour, 2002: 66).
c. Dialog
Tipologi ini menawarkan hubungan antara sains dan agama
dengan interaksi yang lebih dinamis daripada tipologi konflik
dan independensi. Asumsi di atas dilandaskan bahwa antara sains
dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa
saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam
membandingkan sains dan agama menekankan kemiripan dalam
prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah
dengan membandingkan metode sanins dan agama yang dapat
menunjukkan kesamaan dan perbedaan.
Barbour memberikan contoh masalah yang didialogkan
ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-
analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara
langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas.
Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat
dimengerti? dan sebagainya (Barbour, 2005:32). Dari pertanyaan
itulah, ilmuwan dan kaum agamawan dapat menjadi mitra dialog
dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati
integritas masing-masing.
Penganut tipologi dialog ini berpendapat bahwa sains dan
agama tidaklah sesubyektif yang dikira. Antara sains dan agama
memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi,kekomprehensifan
dan kemanfaatan. Begitu juga kesejajaran metodologis yang banyak
diangkat oleh beberapa penulis termasuk penggunaan kriteria
konsistensi dan kongruensi dengan pengalaman. Seperti pendapat
filosof Holmes Rolston yang menyatakan bahwa keyakinan dan
keagamaan menafsirkan dan menyatakan pengalaman, sebagaimana
teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data percobaan (Barbour,

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 53
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I

2005:80). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran


konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan
interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap
mempertahankan integritas masing-masing.
d. Integrasi
Tipologi ini melahirkan hubungan yang lebih konstruktif
daripada pendekatan dialog. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan,
sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam
pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang
diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman
keagamaan bagi manusia yang beriman. Dalam pandangan ini,
hubungan integratif memberikan wawasan yang lebih besar yang
mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara
aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama
dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman
mistis.
Menurut Barbour, tardapat dua pendekatan yang digunakan
dalam hubungan integrasi ini. Pertama, berangkat dari data ilmiah
yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama untuk
memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan.
Kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam
relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain,
keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan
ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains
keagamaan ditafsirkan dengan filsafat proses dalam kerangka
konseptual yang sama. (Barbour , 2002:42).
Dalam tipologi integrasi ini, tercatat ada beberapa tindakan
yang harus dilakukan untuk memadukan atau mempertautkan
antara sains dan agama sebagai dua titik yang mempunyai
hubungan komplementer. Pertama adalah semipermeable. Tindakan
ini dilakukan dengan saling melakukan evaluasi dan interaksi yang
mendalam antara sains dan agama, maupun ilmuan dan agamawan
untuk menghindari perilaku blik atau arogansi keilmuan. Kedua
adalah intersubjective testibility, yang digunakan sebagai ‘alat’ untuk
menguji kebenaran dari masing-masing unsur subjective (agama/
agamawan) dan objective (sains/ilmuan). Dan ketiga adalah creative

54 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume IX, No.1, 2016
Hubungan Antara Agama dan Sains dalam Pemikiran Ian G

imagination. Tindakan ini dilakukan untuk melihat sisi-sisi


objektifitas, guna melakukan penyesuaian diri dengan bermodalkan
tindakan semipermeable dan intersubjetive testibility.
Metode dalam Sains dan Agama
Pada bagian pendahuluan dalam buku ‘Isu dalam Sains dan Agama’,
disebutkan bahwa agama memiliki metode yang berbeda dengan prosedur
ilmu pengetahuan. Menurut beberapa ahli teologi,pengetahuan agama
seluruhnya berasal dari pengungkapan diri Tuhan melalui wahyu sejarah,
bukan dari penemuan manusia, kita harus melihat peristiwa-peristiwa
tertentu ketika Tuhan mengungkapkan diri-Nya, dan peristiwa-peristiwa
tersebut tidak bersinggungan dengan ilmu pengetahuan. Menurut
beberapa ahli teologi lain, persoalan-persoalan agama muncul dalam
individualis pribadi, bukan dalam wilayah objektivitas non-pribadi yang
dikaji ilmu pengetahuan (Barbour, 2006:2). Dengan demikian, ajaran
agama bersumber sepenuhnya dari Tuhan, sehingga hal ini mempunyai
konsekuensi, bahwa keyakinan merupakan bagian awal untuk merespon
pengetahuan agama. Maka hal ini juga berimplikasi terhadap keterlibatan
pribadi secara langsung dan fundamental, yang sangat berbeda dari
perilaku tidak bias dan objektif para ilmuwan.
Di sisi lain, pemisahan lingkup pengetahuan dan agama telah
diperkuat oleh pandangan banyak ilmuwan bahwa ilmu penngetahuan
menyediakan pengetahuan teknis untuk bidang-bidang tertentu, dan
bukannya filosofi total tentang kehidupan. Argumen tersebut juga
dipaparkan oleh pandangan positivistic, bahwa ilmu pengetahuan (sains)
hanya memberikan pengetahuan terbatas mengenal masalah teknis.
Sehingga kita tidak boleh mengharapkan ilmu pengetahuan melakukan
fungsi lain, seperti halnya memberikan pandangan tentang semua
kehidupan yang menyeluruh atau filosofi kehidupan (Barbour, 2006:2).
Pandangan tersebut merupakan implikasi dari sumber ilmu pengetahuan
(sains) yang berasal dari observasi (penelitian) yang dilajutkan menjadi
sebuah teori dan kesimpulan.
Selanjutnya adalah pengaruh analisis bahasa, para analisis linguistic
mengarahkan perhatiannya pada fungsi berbagai macam bahasa yang
digunakan dalam kehidupan manusia. Di antara fungsi karakteristik yang
dianggap berasal dari agama adalah ungkapan dan ingatan tentang ibadah
dan komitmen diri tentang cara hidup. Sedangkan fungsi bahasa ilmiah

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 55
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I

adalah sebagai prediksi dan kontrol atas fenomena yang kelihatan secara
umum, fenomena yang bisa berulang. Komunitas agama menggunakan
bahasa aktor, sedangkan komunitas ilmiah menggukan menggunakan
bahasa pengamat. Maka agama dan ilmu pengetahuan adalah bahasa yang
komplementer (Barbour, 2006:4). Dengan menggunakan pendekatan
bahasa komplemeter diharapkan para ilmuwan dan ahli teologi memiliki
kerendahan hati untuk mampu menahan diri para pandangan subyektivitas
atas kebenaran yang diperoleh. Hal ini membawa konsekuensi kepada
masing-masing komunitas untuk mampu berdialog secara sehat.
Terdapat teori lain yang memaparkan bahwa metode yang
digunakan dalam ilmu pengetahuan menggabungkan observasi, teori,
dan kesimpulan. Implementasinya adalah pengagabungan itu dimulai
dengan penemuan sebuah teori (hipotesis) yang berasal dari fakta-
fakta, selanjutnya diikuti dengan pengemabilan kesimpulan “sementara”,
kemudian dihubungkan lagi dengan observasi-observasi untuk
memperkuat atau bahkan menyangkal teori, dan untuk menghasilkan
teori yang direvisi, yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan baru, yang
mendiskusikan kembali fakta-fakta tersebut. Model ini disebut dengan
model hipotesis-deduktif (Roston III, 2006:2). Dari pemaparan di atas,
dapat di asumsikan bahwa ilmu pengetahuan (sains) berorientasi pada
“produksi” yang bersifat empiris berdasarkan tamuan-temuan baru akibat
adanya anomaly dan “keraguan”.
Agama juga menggabungkan pengalaman, teori, dan kesimpulan
secara metodis. Dalam agama sering kali dijumpai konsepsi tentang wahyu
dan inspirasi yang bersifat otoritas-normatif yang tidak dapat dengan
mudah didamaikan dengan prosedur ilmu pengetahuan. Keyakinan tidak
sesingkat teori ilmiah dan banyak elemen non-kognitif di dalam agama
yang tidak ada di dalam ilmu pengetahuan. Namun, dengan cara yang umum
keyakinan agama berkembang selama beberapa pengalaman diputuskan
sebagai kepentingan pokok, seperti penderitaan atau kesenangan, dosa
dan keselamatan, kesucian dan moral. Menurut pemikiran ahli teologi,
ada konsepsi kognitif dan teoritis yang mengusungkan beberapa hukum
spiritual universal, yang menghasilkan suatu kondisi realitas pokok yang
mendasari di dalam dan di luar dunia yang memadai untuk menjelaskan
tentang pengalaman-pengelaman tersebut. Tuhan, Brahma, atau sunyata
(kekosongan) kemudian digunakan untuk menafsirkan pengalaman
secara terus-menerus (Roston III, 2006:9). Dari sini menunjukkan bahwa

56 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume IX, No.1, 2016
Hubungan Antara Agama dan Sains dalam Pemikiran Ian G

sumber teori yang ada dalam agama berasal dari wahyu, yang kemudian
dibuktikan oleh pengalaman-pengalaman secara nyata.
Dengan beberapa perbedaan yang ada dalam medote ilmu
pengetahuan dan agama, menjadikan keduanya tidak bisa berhenti pada
pemisahan yang terjadi, namun harus ada kemungkinan untuk melakukan
proses dialog. Berikut beberapa pertimbangan-pertimbangan yang akan
menuntun terjadinya proses dialog (Barbour , 2006:5-7):
Pertama, meskipun dua bidang tersebut berbeda, ada juga
kesejajaran signifikan pada metodenya, bahwa terdapat kesamaan pada
interaksi pengalaman dan penafsiran, model dan analogi, dan pada peran
komunitas penyelidikan di kedua bidang tersebut. Meskipun tingkat
keterlibatan pribadi dalam ilmu pengetahuan dan agama berbeda, tetapi
tidak ada dikotomi “objektivitas” mutlak versus “subjektivitas”.
Kedua, bahwa kita ditekankan untuk mencari pandangan tentang
semua kehidupan yang terintegrasi. “Perspektif komplementer” adalah
perspektif pada dunia tunggal. Pencarian kesatuan ini didorong
olehkeinginan terhadap keherensi pemikiran yang menggantikan
pemisahan dan isolaasi intelektual yang memutus dialog.
Ketiga, kita akan mempertahankan teologi alam. Meskipun teologi
memang dimulai dari wahyu historis dan bidang keberadaan pribadi,
teologi tidak berhenti disini. Misalnya, diskusi mengenai petunjuk Tuhan
kebanyakn mengacu pada tindakan Tuhan dalam sejarah, namun tidak
membahas tindakan-Nya di alam. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk
memandang keteraturan alam dalam kerangka kerja ide-ide teologi yang
terutama berasal dari penafsiran wahyu historis dan pengalaman religious.
Keempat, dari sisi ilmiah, sebuah pandangan baru tentang alam
memaksa kita untuk mengakaji kembali ide-ide kita tentang hubungan
Tuhan dengan dunia. Pertumbuhan dan perkembangan alam semesta
yang dinamis dan temporal harus disikapi secara serius dalam teologi.
Keempat pertimbangan di atas bermuara kepada terjadinya sebuah
dialog antara komunitas agama dan ilmiah, masing-masing harus
menghormati integritas yang lainnya dan menahan dorongan untuk
memaksakan kategori pemikirannya sendiri pada kategori pemikiran
yang lain.
Dengan demikian, pusat perhatian kajian ini adalah hubungan antara

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 57
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I

filosofi agama dan filosofi ilmu pengetahuan, yakni persoalan komparatif


tentang epistimologi, metafisika, dan analisis bahasa pada kedua bidang.
Ilmuwan dn ahli teologi biasanya telah mencoba untuk mengkaitkan
ilmu pengetahuan secara langsung dengan agama, meskipun pengabaian
kontribusi filosofi dapat mengklarifikasi persoalan. Di lain pihak para ahli
filosofi professional mempunyai hubungan dengan komunitas ilmiah dan
agama, dan formulasi abstrak mereka kadang-kadang menyerupai apa
yang sebenarnya dilakukan oleh para ahli ilmuwan dan teologi (Barbour,
2006:15). Secara sederhana, proses ini memberikan stimulus kepada kita
untuk melakukan proses integrasi antara ilmu pengetahuan (sains) dan
agama. Agar tidak tejebak dalam satu mindset berfikir.
Implikasi dalam Studi Keislaman; Pertautan melalui Semipermiable,
Intersubjective Tetibility, dan Creative Imagination.
Albert Einstein pernah mengungkapkan bahwa “Religion without
science is blind: science without religion is lame“. Agama akan buta tanpa sains,
dan sains akan lumpuh tanpa agama. Berangkat dari ungkapan di atas,
hal ini sesuai dengan argument yang berpendapat bahwa jika kerja-kerja
ilmiah yang berjalan linier dan sendirian, maka produk yang dihasilkan
adalah budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan prisip humanisme
universal dan etika sosial serta agama yang menjadi pegangan masyarakat
dunia. Dengan demikian tragedi kemanusiaan, dan lingkungan hidup
dapat muncul karena tidak adanya jaringan dan kerjasama antar elemen
pengembang ilmu (Anwar, 2007: ix).
Salah satu upaya integrasi yang dilakukan adalah bukannya tanpa
pijakan atau dasar yang kuat dalam tradisi Islam. Ide utama yang
membentuk gagasan tersebut adalah doktrin metafisika keesaan Tuhan
yang berkonsekuensi pada dua hal, yaitu adanya prinsip kesatuan kosmis,
khususnya kesatuan dunia alam, dan prinsip kesatuan pengetahuan dan
sains (Anwar, 2007: ix-x). Maka dengan pendekatan integrasi, terdapat
upaya mensintesakan dua hal yang selama ini dianggap tidak bisa
bersatu, termasuk sains dan agama. Upaya integrasi ini dilakukan dengan
menggunakan tiga tindakan seperti halnya yang telah dipaparkan di atas,
yakni semipermeable, intersubjektive testibility, dan creative imagination.
Dalam studi keislaman, pendekatan integrasi dimaknai sebagai
kajian yang menggunakan cara pandang dan/atau cara analisis yang
menyatu dan terpadu. Analisis integrasi dapat dikelompokkan menjadi

58 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume IX, No.1, 2016
Hubungan Antara Agama dan Sains dalam Pemikiran Ian G

dua. Pertama, integrasi antara seluruh nash yang terkait dengan masalah
yang sedang dikupas atau dibahas. Kedua, integrasi antara nash dengan
ilmu lain yang terkait dengan masalah yang sedang dibahas (Nasution,
2009:230) (dalam kajian ini adalah nash agama dan sains). Pada praktknya,
tindakan semipermeable digunakan untuk mempertemukan dan saling
mengisi kekosongan-kekosongan di antara nash agama dengan penemuan-
penemuan sains. Selanjutnya, intersubjective testibility digunakan untuk
saling menguji kebenaran antara subjektivitas kaum agamawan dan
objektivitas kaum ilmuan. Sementara creative imagination digunakan
untuk menggunakan potensi akal dan daya imajinasi menautkan antara
unsur subjetivitas dan unsur obejektivitas atau unsur agama dan unsur
sains.
Dengan demikian prosedur yang digunakan dalam penggunaan
pendekatan integrasi antara nash agama dan sains adalah memadukan
penemuan-penemuan sainstifik yang diperoleh dari observasi secara
empirik dengan ayat-ayat al-Qur’an yang relevan atau menerangkan
penemuan sains yang dibahas.

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 59
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I

Sebuah ilustrasi:

Nash agama sebagai pengisi kekosongan (gap) sains.

1. Sains sebagai pengsisi kekosongan (pembuktian) nash agama.

60 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume IX, No.1, 2016
Hubungan Antara Agama dan Sains dalam Pemikiran Ian G

2. Integrasi sains dan agama1

Refleksi
“Masalah-masalah besar kemanusiaan jangan diserahkan hanya kepada
para ahli teknologi yang tidak tahu apa-apa tentang agama dan etika, atau
hanya kepada kaum agamawan dan etikawan yang tidak tahu apa-apa
tentang teknologi”. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa proses integrasi
merupakan sebuah keniscayaan.
Dengan proses integrasi, seharusnya membuka kesadaran bahwa
setiap ilmu pengetahuan memiliki karakteristik yang unik dan tidak selalu
bersifat universal. Sintesis dapat terjadi antara sains dan agama. Maka
membutuhan sikap keberanian dan keterbukaan serta kerjasama untuk
melakukan integrasi. Tanpa adanya sikap demikian, upaya itu tidak akan
berhasil. Karena itu, tidak boleh adanya pemaksaan-pemaksaan ideologi
ilmu tertentu atas ilmu lainnya.
Pada sisi lain, secara nilai, integrasi bukan hanya terkait dengan
hubungan antar disiplin ilmu (agama dan sains) sebagaimana
dikemukakan di atas, namun juga antar tradisi, antar budaya, dan antar
peradaban. Dengan ini pada akhirnya seorang akademisi dan intelektual
tidak terkurung pada satu paradigma, namun mempunyai kemampuan
untuk mengintegrasikan antar bidang secara komprehensif.
1 Catatan kuliah oleh Amin Abdullah pada mata kuliah Filsafat Ilmu: Topik-topik Episti-
mogi27 Oktober 2013.

Ju r n a l e L - Ta r b aw i 61
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I

Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul, dkk, Kriteria Keilmuan Integrasi dan Interkoneksi;
Bidang Agama, Sosial, dan Kealaman, Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2007.
Barbour, Ian G., Isu dalam Sains dan Agama, Terj. Damayanti, Yogyakarta:
Suka Press, 2006.
____________, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan
Agama, Bandung: Mizan, 2005.
____________, Juru Bicara Tuhan Antara Sains Dan Agama, Bandung:
Mizan,2002.
Catatan kuliah oleh Amin Abdullah pada mata kuliah Filsafat Ilmu:
Topik-topik Epistimogi, kelas I PAI-A, Selasa, 27 Oktober 2013.
Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta:
AkdemiaTazzafa, 2009.
Roston, Holmes, III, Ilmu dan Agama; Sebuah Survei Kritis, Terj.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006.

62 Jur nal eL-Ta r bawi


Volume IX, No.1, 2016

Anda mungkin juga menyukai