1037 87 PB
1037 87 PB
DOI: https://doi.org/10.20885/tarbawi.vol9.iss1.art4
Abstract
This paper discusses the views of Ian G. Barbour on the relationship between
religion and science. Barbour found that many consider religion and science are
extremely opposing to each other. He classifies the perspectives on the relationship
between the two into four typologies, namely: conflictual, independence,
dialogical and integrative. He argues that the fourth perspective is the best one.
He proposes a philosophical approach that connect religion and science through
integration in which empirical elements of science are integrated into textual
and metaphysical aspect of religion. This requires academician to develop an
open attitude and intelligent and health dialogical awareness.
Keywords: religion, science, integration
living. Dua paradigma itu kemudian melahirkan dua wajah peradaban yang
berbeda. Paradigma pertama telah menjadikan ilmu sebagai ‘tandingan
Tuhan’ atau ‘Tuhan Baru” yang memperlakukan obyeknya dengan semena-
mena, sementara paradigma kedua lebih menekankan ilmu sebagai media
untuk hidup lebih baik secara berdampingan. Pemisahan seperti itu pada
akhirnya menghasilkan tragedi dan krisis kemanusiaan dan lingkungan
hidup. Ilmu yang semula diciptakan manusia untuk kemaslahatan dan
memudahkan hidupnya berubah menjadi faktor yang menentukan arah
hidup manusia. Maka pada titik inilah dirasakan bahwa ilmu tidak
menjadi solusi, tapi menjadi bagian dari problem (Samsul Anwar, 2007:
vii). Karena nampaknya ini juga sering ‘menggangu’ hubungan antara
sains dan agama.
Barbour menemukan banyak fenomena bahwa kebanyakan penulis-
penulis saat ini melihat bahwa ilmu pengetahuan dan agama sebagai dua
kutub yang bertolak belakang yang pada dasarnya tidak berhubungan
satu sama lain. Alasan itu didasarkan pada temuannya dalam perbedaan
teori pada sejarah abad modern tentang peristiwa ketika adanya
pemimpin gereja yang mengecam teori Galileo tentang sistem tata
surya atau teori Darwin tentang evolusi yang mengeluarkan pernyataan-
pernyataan tentang isu ilmiah, padahal mereka sebagai pimpinan gereja
tidak mempunyai kompetensi untuk memberikan penilaiannya atas isu
sains tersebut. Sebaliknya, Newton dan ilmuwan lainnya menggunakan
kehendak Tuhan untuk mengisi kekosongan dalam penjelasan ilmiah
mereka hingga peran Tuhan sebagai pengisi kekosongan tidak diperlukan
lagi (Barbour, 2006: 1). Hal ini menunjukkan adanya ‘gap’ antara sains dan
agama yang seolah-olah saling bertolak belakang.
Maka dari beberapa argumen di atas, Barbour memberikan tawaran
metodologis dengan pendekatan filosofis yang akan menghubungkan
antara sains dan agama. Upaya ini dilakukan untuk memberikan
pencerahan bagi para penjelajah ilmu agar mempunyai peta pemikiran
non-dikotomik yang komprehensif dan utuh, sehingga tidak terjebak
pada satu sisi dan mempunyai pikiran beku.
Kajian tentang sains dan agama merupakan satu hal yang harus
benar-benar ditelaah secara mendalam. Sebagai kaum yang tidak hanya
berpatokan pada sesuatu yang bersifat empiris, perbincangan tentang
persoalan agama menjadi bagian yang tidak boleh diabaikan. Bahkan
beberapa pendapat mengatakan bahwa sains dan agama merupakan satu
kesatuan yang saling mengisi, dan terdapat pendapat lain yang mengatakan
bahwa sains adalah bagian dari agama. Begitu pula sebaliknya, sains dalam
beberapa hal bisa menjadi bukti kebenaran tentang agama. Maka kajian ini
menjadi penting untuk diperbincangkan, biar tidak terjadi stigma bahwa
sains dan agama menuai dikotomi keilmuan yang saling bertentangan.
Dalam pengantarnya pada buku terjemahan “Isu Dalam Sains dan
Agama” karya Ian G. Barbour, Amin Abdullah yang kala itu menjabat
sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa perlu adanya
proses untuk selalu bergelut mendialogkan tradisi agama dan ilmu
pengetahuan, serta melakukan pembahasan dan penyelidikan yang saling
melengkapi dan mendukung mengenai kedua hal tersebut, tanpa menutup
kemungkinan saling menyapa dan mengkritik dalam format antar disiplin
keilmuan yang konstruktif. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang
saling mengisi dan berdialektika antara ilmu pengetahuan secara umum
dan agama.
Kerangka Teori
Tipologi hubungan antara sains dan agama
a. Konflik
Tipologi konflik ini muncul pada masa pemikiran Richard
Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker serta Stephen Hawking
pada abad ke-19. Pandangan ini menempatkan sains dan agama
dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan
agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang
harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing
menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang
bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga
sebaliknya, keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-
masing.
Konflik antara agama dengan sains bisa dicontohkan dalam
kasus hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap
Galileo Galilei tentang teori tata surya atas aspek pemikirannya
yang dianggap menentang gereja. Demikian pula penolakan gereja
Katolik terhadap teori evolusi Darwin pada abad ke-19 (Barbour,
2006: 1).
Para ilmuwan menganggap bahwa yang riil yaitu dapat diukur
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 51
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 53
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 55
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I
adalah sebagai prediksi dan kontrol atas fenomena yang kelihatan secara
umum, fenomena yang bisa berulang. Komunitas agama menggunakan
bahasa aktor, sedangkan komunitas ilmiah menggukan menggunakan
bahasa pengamat. Maka agama dan ilmu pengetahuan adalah bahasa yang
komplementer (Barbour, 2006:4). Dengan menggunakan pendekatan
bahasa komplemeter diharapkan para ilmuwan dan ahli teologi memiliki
kerendahan hati untuk mampu menahan diri para pandangan subyektivitas
atas kebenaran yang diperoleh. Hal ini membawa konsekuensi kepada
masing-masing komunitas untuk mampu berdialog secara sehat.
Terdapat teori lain yang memaparkan bahwa metode yang
digunakan dalam ilmu pengetahuan menggabungkan observasi, teori,
dan kesimpulan. Implementasinya adalah pengagabungan itu dimulai
dengan penemuan sebuah teori (hipotesis) yang berasal dari fakta-
fakta, selanjutnya diikuti dengan pengemabilan kesimpulan “sementara”,
kemudian dihubungkan lagi dengan observasi-observasi untuk
memperkuat atau bahkan menyangkal teori, dan untuk menghasilkan
teori yang direvisi, yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan baru, yang
mendiskusikan kembali fakta-fakta tersebut. Model ini disebut dengan
model hipotesis-deduktif (Roston III, 2006:2). Dari pemaparan di atas,
dapat di asumsikan bahwa ilmu pengetahuan (sains) berorientasi pada
“produksi” yang bersifat empiris berdasarkan tamuan-temuan baru akibat
adanya anomaly dan “keraguan”.
Agama juga menggabungkan pengalaman, teori, dan kesimpulan
secara metodis. Dalam agama sering kali dijumpai konsepsi tentang wahyu
dan inspirasi yang bersifat otoritas-normatif yang tidak dapat dengan
mudah didamaikan dengan prosedur ilmu pengetahuan. Keyakinan tidak
sesingkat teori ilmiah dan banyak elemen non-kognitif di dalam agama
yang tidak ada di dalam ilmu pengetahuan. Namun, dengan cara yang umum
keyakinan agama berkembang selama beberapa pengalaman diputuskan
sebagai kepentingan pokok, seperti penderitaan atau kesenangan, dosa
dan keselamatan, kesucian dan moral. Menurut pemikiran ahli teologi,
ada konsepsi kognitif dan teoritis yang mengusungkan beberapa hukum
spiritual universal, yang menghasilkan suatu kondisi realitas pokok yang
mendasari di dalam dan di luar dunia yang memadai untuk menjelaskan
tentang pengalaman-pengelaman tersebut. Tuhan, Brahma, atau sunyata
(kekosongan) kemudian digunakan untuk menafsirkan pengalaman
secara terus-menerus (Roston III, 2006:9). Dari sini menunjukkan bahwa
sumber teori yang ada dalam agama berasal dari wahyu, yang kemudian
dibuktikan oleh pengalaman-pengalaman secara nyata.
Dengan beberapa perbedaan yang ada dalam medote ilmu
pengetahuan dan agama, menjadikan keduanya tidak bisa berhenti pada
pemisahan yang terjadi, namun harus ada kemungkinan untuk melakukan
proses dialog. Berikut beberapa pertimbangan-pertimbangan yang akan
menuntun terjadinya proses dialog (Barbour , 2006:5-7):
Pertama, meskipun dua bidang tersebut berbeda, ada juga
kesejajaran signifikan pada metodenya, bahwa terdapat kesamaan pada
interaksi pengalaman dan penafsiran, model dan analogi, dan pada peran
komunitas penyelidikan di kedua bidang tersebut. Meskipun tingkat
keterlibatan pribadi dalam ilmu pengetahuan dan agama berbeda, tetapi
tidak ada dikotomi “objektivitas” mutlak versus “subjektivitas”.
Kedua, bahwa kita ditekankan untuk mencari pandangan tentang
semua kehidupan yang terintegrasi. “Perspektif komplementer” adalah
perspektif pada dunia tunggal. Pencarian kesatuan ini didorong
olehkeinginan terhadap keherensi pemikiran yang menggantikan
pemisahan dan isolaasi intelektual yang memutus dialog.
Ketiga, kita akan mempertahankan teologi alam. Meskipun teologi
memang dimulai dari wahyu historis dan bidang keberadaan pribadi,
teologi tidak berhenti disini. Misalnya, diskusi mengenai petunjuk Tuhan
kebanyakn mengacu pada tindakan Tuhan dalam sejarah, namun tidak
membahas tindakan-Nya di alam. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk
memandang keteraturan alam dalam kerangka kerja ide-ide teologi yang
terutama berasal dari penafsiran wahyu historis dan pengalaman religious.
Keempat, dari sisi ilmiah, sebuah pandangan baru tentang alam
memaksa kita untuk mengakaji kembali ide-ide kita tentang hubungan
Tuhan dengan dunia. Pertumbuhan dan perkembangan alam semesta
yang dinamis dan temporal harus disikapi secara serius dalam teologi.
Keempat pertimbangan di atas bermuara kepada terjadinya sebuah
dialog antara komunitas agama dan ilmiah, masing-masing harus
menghormati integritas yang lainnya dan menahan dorongan untuk
memaksakan kategori pemikirannya sendiri pada kategori pemikiran
yang lain.
Dengan demikian, pusat perhatian kajian ini adalah hubungan antara
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 57
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I
dua. Pertama, integrasi antara seluruh nash yang terkait dengan masalah
yang sedang dikupas atau dibahas. Kedua, integrasi antara nash dengan
ilmu lain yang terkait dengan masalah yang sedang dibahas (Nasution,
2009:230) (dalam kajian ini adalah nash agama dan sains). Pada praktknya,
tindakan semipermeable digunakan untuk mempertemukan dan saling
mengisi kekosongan-kekosongan di antara nash agama dengan penemuan-
penemuan sains. Selanjutnya, intersubjective testibility digunakan untuk
saling menguji kebenaran antara subjektivitas kaum agamawan dan
objektivitas kaum ilmuan. Sementara creative imagination digunakan
untuk menggunakan potensi akal dan daya imajinasi menautkan antara
unsur subjetivitas dan unsur obejektivitas atau unsur agama dan unsur
sains.
Dengan demikian prosedur yang digunakan dalam penggunaan
pendekatan integrasi antara nash agama dan sains adalah memadukan
penemuan-penemuan sainstifik yang diperoleh dari observasi secara
empirik dengan ayat-ayat al-Qur’an yang relevan atau menerangkan
penemuan sains yang dibahas.
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 59
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I
Sebuah ilustrasi:
Refleksi
“Masalah-masalah besar kemanusiaan jangan diserahkan hanya kepada
para ahli teknologi yang tidak tahu apa-apa tentang agama dan etika, atau
hanya kepada kaum agamawan dan etikawan yang tidak tahu apa-apa
tentang teknologi”. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa proses integrasi
merupakan sebuah keniscayaan.
Dengan proses integrasi, seharusnya membuka kesadaran bahwa
setiap ilmu pengetahuan memiliki karakteristik yang unik dan tidak selalu
bersifat universal. Sintesis dapat terjadi antara sains dan agama. Maka
membutuhan sikap keberanian dan keterbukaan serta kerjasama untuk
melakukan integrasi. Tanpa adanya sikap demikian, upaya itu tidak akan
berhasil. Karena itu, tidak boleh adanya pemaksaan-pemaksaan ideologi
ilmu tertentu atas ilmu lainnya.
Pada sisi lain, secara nilai, integrasi bukan hanya terkait dengan
hubungan antar disiplin ilmu (agama dan sains) sebagaimana
dikemukakan di atas, namun juga antar tradisi, antar budaya, dan antar
peradaban. Dengan ini pada akhirnya seorang akademisi dan intelektual
tidak terkurung pada satu paradigma, namun mempunyai kemampuan
untuk mengintegrasikan antar bidang secara komprehensif.
1 Catatan kuliah oleh Amin Abdullah pada mata kuliah Filsafat Ilmu: Topik-topik Episti-
mogi27 Oktober 2013.
Ju r n a l e L - Ta r b aw i 61
Volume IX, No.1, 2016
Moh. Mizan Habibi, M.Pd.I
Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul, dkk, Kriteria Keilmuan Integrasi dan Interkoneksi;
Bidang Agama, Sosial, dan Kealaman, Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2007.
Barbour, Ian G., Isu dalam Sains dan Agama, Terj. Damayanti, Yogyakarta:
Suka Press, 2006.
____________, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan
Agama, Bandung: Mizan, 2005.
____________, Juru Bicara Tuhan Antara Sains Dan Agama, Bandung:
Mizan,2002.
Catatan kuliah oleh Amin Abdullah pada mata kuliah Filsafat Ilmu:
Topik-topik Epistimogi, kelas I PAI-A, Selasa, 27 Oktober 2013.
Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta:
AkdemiaTazzafa, 2009.
Roston, Holmes, III, Ilmu dan Agama; Sebuah Survei Kritis, Terj.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006.