Anda di halaman 1dari 14

1.

PANKREATITIS AKUT
Pankreatitis adalah inflamasi pankreas yang berlangsung akut (onset tiba-tiba,
durasi kurang dari 6 bulan) atau akut berulang (>1 episode pankreatitis akut sampai
kronik - durasi lebih dari 6 bulan). Rentang gejala dan penyakit berbeda-beda.
 Patofisiologi
Patofisiologi pankreatitis akut masih belum jelas; dapat terjadi apabila
faktor pemeliharaan hemostasis seluler tidak seimbang. Faktor ekstraseluler
(misalnya: respons saraf dan vaskuler) dan intraseluler (misalnya: aktivasi
enzim pencernaan intrasel, peningkatan sinyal kalsium, dll) dapat
berpengaruh. Diduga, kejadian yang dapat memicu pankreatitis akut adalah
kejadian yang mengganggu sel acinar dan mengganggu sekresi granul
zymogen, contohnya pada penggunaan alkohol berlebih, batu empedu, dan
beberapa jenis obat. Gangguan sel acinar dimulai dari kekacauan di membran
sel, dapat mengakibatkan:
o Bagian granul lisosom dan zymogen bergabung, dan dapat
mengaktivasi tripsinogen menjadi tripsin.
o Tripsin intraseluler dapat memicu aktivasi seluruh jalur zymoge.
o Vesikel sekretorik dikeluarkan dari membran basolateral ke interstitial,
fragmen molekulnya bekerja sebagai chemoattractants untuk sel
inflamasi.
Aktivasi neutrofil dapat mengeksaserbasi masalah dengan
dilepaskannya superoxide atau enzim proteolitik (misalnya: cathepsins B, D,
dan G; kolagenase, dan elastase). Akhirnya makrofag melepaskan sitokin
yang memediasi respons inflamasi lokal (pada kasus berat dapat sistemik).
Mediator awal yang diketahui adalah TNF-α, interleukin (IL)-6, dan
IL-8.2 Mediator inflamasi tersebut meningkatkan permeabilitas vaskuler
pankreas, dapat berlanjut menjadi perdarahan, edema, dan terkadang nekrosis
pankreas. Karena disekresi ke sistem sirkulasi, dapat muncul komplikasi
sistemik seperti bakteremia, acute respiratory distress syndrome (ARDS),
efusi pleura, perdarahan saluran cerna, dan gagal ginjal. Systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) juga dapat terjadi, dapat berlanjut
menjadi syok sistemik.
Pada beberapa kasus pankreatitis akut, awalnya terjadi edema
parenkim dan nekrosis lemak peripankreas, dikenal sebagai pankreatitis edema
akut. Saat nekrosis parenkim terjadi disertai perdarahan dan disfungsi kelenjar,
inflamasi berkembang menjadi pankreatitis hemoragik atau necrotizing
pancreatitis.

 Penatalaksanaan
- Farmakologis
a. Analgesik dan sedatif
b. Antibiotik sistemik diberikan apabila ada tanda-tanda infeksi/sepsis
sambil menunggu hasil kultur (apabila hasil kultur negatif, antibiotik
dihentikan).
- Nonfarmakologis
a. Suportif
 Pada pankreatitis ringan, oral feeding sebaiknya dimulai dalam
24-72 jam setelah onset. Apabila pasien tidak dapat
mentoleransi, dapat dipertimbangkan enteral feeding dengan
NGT. Nutrisi parenteral hanya diberikan pada pasien yang tidak
dapat mentoleransi enteral feeding atau pemberian infus yang
adekuat tidak dapat dicapai dalam 2-4 hari.
 Resusitasi cairan dengan kristaloid (sampai dengan 10 L/hari
bila terjadi gangguan hemodinamik pada pankreatitis berat).
Koloid seperti packed red cells diberikan apabila Ht < 25% dan
albumin bila serum albumin < 2 mg/dL.
b. Bedah
 Dapat dipertimbangkan nekrosektomi apabila terjadi infeksi
pada nekrosis pankreas atau peripankreas. Teknik debridement
yang dapat dipertimbangkan adalah open packing atau single
necrosectomy with continous lavage. Pada pankreatitis bilier,
dapat dipertimbangkan kolesistektomi.
- Prognosis
Penilaian Klinis
Skala Glasgow dan Ranson masih digunakan karena mudah, namun
membutuhkan dua kali penilaian, yaitu saat pasien masuk dan saat 48 jam
pertama pasien dirawat.
Skor Glasgow Skor Ranson

Pada skor Glasgow/Imrie, apabila skor ≥3 mengindikasikan penyakit yang


berat, sama dengan perhitungan skor Ranson, apabila skor ≥3 mengindikasikan
penyakit yang berat.
The Bedside Index

Skoring lain yang sering digunakan adalah the bedside index, dapat digunakan
untuk menilai beratnya pankreatitis akut (skor ≥3 mengindikasikan penyakit
berat)
2. DIARE KRONIK
Pendekatan diagnosis diare kronik dengan diagnosis banding
o Anamnesis
a. Waktu dan frekuensi diare
b. Bentuk tinja
c. Keluhan lain yang menyertai: nyeri abdomen, demam, mual muntah,
penurunan berat badan
d. Obat-obatan: laksan, antibiotik, imunosupresan, dll
e. Makanan/minuman
o Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum, status dehidrasi
o Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan tinja, darah, urin
b. Pemeriksaan anatomi usus sesuai indikasi: barium enema/colon in loop
(didahului BNO), kolonoskopi, ileoskopi dan biopsi, barium follow
through atau enteroclysis, USG abdomen, CT Scan abdomen
c. Fungsi usus dan pankreas: tes fungsi pankreas, CEA dan CA 19-9
Diagnosis Banding Penyebab Tersering Diare Kronis di Indonesia

No Etiologi Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan


Tersering Fisik Penunjang
1. Infeksi Disertai gejala demam Sesuai dengan Tinja: leukosit (+)
dan mual muntah etiologi infeksi Darah: leukositosis
2. Malabsorbsi Riwayat reseksi usus, Bila berat:
Tinja: warna muda, bau
lemak diare membaik setelah malnutrisi. busuk, pH > 6,8, tes
puasa, tinja mengambang sudan (+), jumlah
pada air toilet lemak > 14 gram/24
jam
3. Malabsorbsi Riwayat makan makanan Bila berat: Tinja: amilum (+), pH
karbohidrat yang mengandung malnutrisi < 5,5, tes reduksi (+)
laktosa (susu), sorbitol
(pemanis buatan),
disertai gejala kembung,
kram abdomen dan flatus
fruktosa (sirup jagung).
Tinja mengambang pada
air toilet dan berbau
asam
4. Sindroma Diare pagi hari Keadaan umum Tinja: darah samar (+),
usus iritabel berhubungan dnegan baik, dehidrasi tes phenolpthalein (+)
stress, berselang antara (-)
konstipasi dan diare.
Keluhan penyerta: perut
begah, mual, nyeri
daerah anus setelah
defekasi, sendawa
5. Karena Diare berhenti dengan Bisacodyl,
obat-obatan dihentikannya obat anthraquinon,
phenolpthalein:
pemeriksaan
kromatografi lapis tipis.
6. Keganasan Disertai gejala demam, Tinja: eritrosit (+)
darah menyertai tinja Darah: eusinofilia
normal, disertai nyeri Penanda tumor
abdomen terus menerus
7. Kelainan Tirotoksikosis: berdebar- Tirotoksikosis: Tirotoksikosis
endokrin debar, tremor/gemetaran BB turun, suhu Darah: TSH, T3
naik, uptake, FT4
pembesaran
kelenjar tiroid,
tremor
3. INFEKSI HELICOBACTER PYLORI
 Epidemiologi
Transmisi H.pylori masih belum jelas. Kontak erat dengan individu
yang terinfeksi H.pylori baik secara oral-oral, gastro-oral, atau tinja-oral
dianggap sebagai bentuk transmisi H.pylori. Lingkungan yang padat dan
lingkungan dengan sosial ekonomi rendah dianggap sebagai faktor risiko
terjadinya infeksi H. pylori pada anak. Orangtua yang terinfeksi terutama ibu
mungkin memegang peranan dalam transmisi H. pylori di dalam keluarga.2
Lalat dan kecoa diduga sebagai vektor dari H. pylori. Muntah dan refluks
gastroesofagus juga dapat merupakan kontaminasi oral-oral.

 Patofisiologi
Pada awalnya, H.pylori hanya dideskripsikan sebagai organisme yang
predominan ekstra seluler, gram negatif, berflagel, dan motil. Dengan
berkembangnya teknik biokimia, informasi baru tentang patogenisitas dan
faktor virulensi H.pylori telah muncul, mengindikasikan bahwa infeksi
H.pylori memerlukan interaksi yang kompleks dari faktor inang dan bakterial
(patogen, yaitu H.pylori). Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa protein
bakteri yang dibutuhkan untuk kolonisasi H.pylori pada mukosa lambung.
Termasuk beberapa protein aktif yang dibutuhkan H.pylori untuk masuk ke
dalam permukaan mukosa (contohnya flagellin, yang telah dikodekan menjadi
gen flaA dan flaB).
Ketika bakteri sudah berada dalam mukosa lambung, terjadi
perangsangan hipoklorhidria dengan mekanisme yang belum diketahui. Enzim
urease yang diproduksi oleh bakteri menciptakan lingkungan mikro yang baik
untuk terjadinya kolonisasi. Terdapat pula peranan enzim cecropins yang
dihasilkan oleh bakteri H.pylori dan menginhibisi pertumbuhan dari
organisme kompetitor. Juga terdapat enzim adenosinetriphosphatase tipe P,
yang mencegah terjadinya alkalinisasi yang berlebihan akibat aktivitas urease.
Begitu menempel pada mukosa lambung, H.pylori menyebabkan
cedera jaringan melalui rangkaian kejadian yang kompleks yang tergantung
pada faktor inang dan pathogen. H.pylori, seperti bakteri gram negatif lainnya
memiliki dinding sel lipopolisakarida yang dapat merusak integritas mukosa.
Kemudian, H.pylori melepaskan beberapa protein pathogen yang dapat
menginduksi cedera jaringan.
Saat kolonisasi pada mukosa berlangsung, protein immunogenik
H.pylori menginduksi reaksi inflamasi yaitu dengan gastritis neutropilik, yang
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis dari infeksi. Proses ini diperantarai
oleh faktor inang, termasuk interleukin 1, 2, 6, 8, dan 12; interferon gamma;
TNF-α; limfosit T dan B; dan sel-sel fagosit. Faktor-faktor ini menyebabkan
cedera jaringan dengan melepaskan berbagai oksigen reaktif dan sitokin-
sitokin peradangan. H.pylori juga dapat mempercepat apoptosis dari mukosa.

 Manajemen
- Tanpa komplikasi
o Suportif: nutrisi
o Memperbaiki atau menghindari faktor risiko
o Pemberian obat-obatan:
 Antasida
 Antisekresi asam lambung (PPI) misal omeprazol,
rabeprazol dan lansoprazol dan/atau H2-Receptor
Antagonis (H2RA)
 Prokinetik dan sitoprotektor (rebepamid, teprenon,
sukralfat)
- Dengan komplikasi
Pada kasus dengan perdarahan dilakukan penatalaksanaan umum atau
suportif dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum.
- Tindakan khusus
o Terapi hemostatik per endoskopik dengan adrenalin dan
etoksisklerol atau obat fibrinogen trombin atau tindakan
hemostatik dengan klipping, heat probe atau terapi laser atau
terapi koagulasi listrik.
o Pemberian obat somatostatin jangka pendek.
o Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi.
o Terapi bedah atau operasi.
- Prognosis
Tukak gaster yang terinfeksi H.pylori mempunyai angka
kekambuhan 60% jika tidak dieradikasi. Pada tukak duodenum yang
terinfeksi H.pylori mempunyai angka kekambuhan 80% jika kuman
tetap ada dan 5% jika sudah dilakukan eradikasi. Tukak yang
disebabkan karena pemakaian OAINS menunjukkan penurunan
keluhan dispepsia jika dikombinasi dengan pemberian PPI pada 66%
kasus.
Risiko perdarahan merupakan komplikasi tukak tersering pada
15-25% kasus dan sering terjadi pada usia lanjut, di mana 5% kasus
membutuhkan transfusi. Perforasi terjadi 2-3% kasus. Kasus
perdarahan dapat terjadi bersamaan dengan kasus perforasi pada 10%
kasus.
4. SYOK ANAFILAKTIK
Reaksi anafilaktik atau anafilaksis adalah respon imunologi yang berlebihan
terhadap suatu bahan dimana seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut.
Saat pasien kontak dengan bahan tersebut, histamin, serotonin, tryptase dan bahan
vasoaktif lainnya dilepaskan dari basofil dan sel mast. Reaksi anafilaktoid secara
klinik tak dapat dibedakan dengan anafilaksis, tetapi reaksi ini dimediasi langsung
oleh obat atau bahan tertentu, dan tidak melalui sensitasi antibodi IgE.

 Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi
cepat dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi
ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase
efektor.
o Fase sensitisasi, dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu
ditangkap oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan
dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk
membentuk antibodi sehingga terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan
diikat oleh sel yang memiliki reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan
eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali dengan alergen yang sama,
alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat oleh IgE dan memicu
degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut dengan fase aktivasi.
o Fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan
basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga
mengakibatkan perubahan membran sel mast dan basofil akibat metilasi
fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi
fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang
penuh berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis
dan isi granul yang mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan
basofil.
o Fase efektor, dimulai dengan adanya degranulasi sel mast menimbulkan
pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin, trptase, kimase, sitokin.
Bahan-bahan ini dapat meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast
lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak klinis pada organ-organ tubuh.

 Manajemen
o Posisi Trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat
(diganjal dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga
tekanan darah ikut meningkat.
o Pemberian oksigen 3-5 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan yang
amat ekstrim tindakan t29.
o Trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
o Pemasangan infus, cairan plasma Expander (Dextran) merupakan pilihan
utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan
tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai
sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan
sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
o Adrenalin 0,3-0,5 ml dari larutan 1:1000 diberikan secara intramuskuler
yang dapat diulangi 5-10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan,
mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian
secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah
0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis,
diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada
syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat
vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
o Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme
belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg Aminofilin diberikan
perlahan-lahan selam 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan dengan 250
mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
o Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah
adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok
anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged
effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5-20
mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason
5-10 mg IV atau hidrokortison 100-250 mg IV.
o Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung
(cardiac arrest) makan prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus
dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat
kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu
ada, maka sewajarnya di tiap ruang praktik seorang dokter tersedia selain
obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat
resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
 Rencana Tindak Lanjut
Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis
dan memberitahukan kepada pasien dan keluarga untuk menghindari alergen
penyebab agar tidak terjadi reaksi anafilaktik lagi.
 Konseling dan Edukasi
Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya
terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin,
anestesi lokal, dll) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik.
Penderita yang tergolong risiko tinggi (riwayat asma, rinitis, eksim, atau
penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba
menyuntikkan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi.
Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.
 Kriteria Rujukan
Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang
dilakukan tidak terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
 Prognosis
Tergantung dari kecepatan diagnosa dan penatalaksanannya, karena itu
umumnya adalah dubia ad bonam.

5. ALERGI OBAT
Obat merupakan senyawa yang digunakan baik untuk mencegah maupun
mengobati penyakit atau untuk kepentingan diagnosis. Obat juga dapat digunakan
pada situasi tertentu, misalnya melumpuhkan sementara otot rangka dalam tindakan
pembedahan ataupun membuat seseorang infertil. Sementara itu, reaksi simpang obat
(RSO) didefiniskan sebagai reaksi yang tidak diinginkan atau pun reaksi yang
berbahaya yang muncul pada dosis normal.
Alergi obat adalah reaksi simpang obat yang melibatkan mekanisme
imunologis. Dalam spesialisasi alergi imunologi, alergi obat merupakan RSO yang
terjadi melalui reaksi imun yang terjadi melalui lgE atau reaksi hipersensitivitas cepat
dengan berbagai mekanisme dan presentasi klinis.
 Patofisiologi
Sebagian besar obat merupakan senyawa kimia dengan berat molekul
yang rendah. Oleh karena itu, obat harus terlebih dahulu berikatan secara
kovalen dengan makromolekul seperti protein, membentuk konjugat
multivalen yang akan diproses dan dipresentasikan terhadap sel limfosit T oleh
sistem imun. Namun, sebagian kecil obat dengan berat molekul yang besar
seperti antibodi monoklonal memiliki banyak epitop sehingga dapat bersifat
multivalen.
Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima saat ini adalah
konsep hapten, konsep pro-hapten dan konsep p-i. Obat dengan molekul yang
tidak cukup besar seperti penisilin, sulfonamide, sefalosporin pelemas otot,
tiopental, antituberkolosis, sisplatin dan kuinidin perlu terlebih dahulu
berikatan dengan protein pembawa agar dapat menginduksi respon imun
spesifik yang disebut konsep hapten.
Sementara konsep pro hapten sendiri menggambarkan bahwa ada
sebagian obat yang bersifat tidak reaktif dan perlu mengalami konversi dahulu
melalui proses metabolik, baik dengan enzim ataupun nonenzim untuk
menjadi bentuk yang reaktif. Contoh konsep pro hapten yaitu pada alergi obat
sulfametoksazole.
Berdasarkan konsep p-i sendiri, ditemukan bahwa sebagian obat dapat
memiliki interaksi direksi farmakologik dengan reseptor sel T atau molekul
Major Histocompatibility Complex (MHC) dalam bentuk ikatan reversibel
selain ikatan kovalen, yang dapat mengaktifkan sel T.
Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor
risiko terebut antara lain jenis obat, berat molekul obat, kimiawi obat, regimen
pengobatan, faktor pejamu, atopi, penyakit tertentu, gangguan metabolisme
dan lingkungan. Obat seperti β-laktam, sulfonamid, obat anti-inflamasi non-
steroid, trimetoprim dan sulfametoksazol sering menimbulkan reaksi berat.
Obat dengan berat molekul tinggi lebih sering menimbulkan reaksi
imun, Regimen pemberian oral, intravena, intramuskular, subkutan dan topikal
secara berurutan menyebabkan induksi alergi meningkat. Usia muda dan jenis
kelamin wanita meningkatkan kecenderungan terjadinya alergi obat.
 Penatalaksanaan
o Farmakologis
- Terapi tergantung dari manifestasi dan mekanisme terjadinya alergi
obat. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi
alergi. Gejala ringannya biasanya hilang sendiri setelah obat
dihentikan. Pada kasus yang berat, kortikosteroid sistemik dapat
mempercepat penyembuhan.
- Pada kelainan kulit yang berat seperti Steven Johnson Syndrome,
pasien harus menjalani perawatan. Pasien memerlukan asupan
nutrisi dan cairan yang adekuat. Perawatan kulit juga memerlukan
waktu yang cukup lama, mulai dari hitungan hari hingga minggu.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah terjadinya infeksi sekunder
yang membuat pasien perlu diberikan antibiotik.
- Tata laksana anafilaksis mengikuti pada bagian anafilaksis.
- Pada kasus urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja
biasanya sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat
seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hepatitis, atau
nefritis interstisial biasanya memerlukan kortikosteroid sistemik
dosis tinggi (60-100 mg prednison atau setaranya) sampai gejala
terkendali. Kortikosteroid tersebut selanjutnya diturunkan dosisnya
secara bertahap selama satu sampai dua minggu.
o Nonfarmakologis
Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai.
o Prognosis
Alergi obat akan membaik dengan penghentian obat penyebab dan
tatalaksana yang tepat. Apabila penghentian pemberian obat yang menjadi
penyebab alergi segera dilakukan, maka prognosis akan semakin baik.
6. URTIKARIA AKUT
Pendekatan diagnosis urtikaria akut dengan diagnosis banding
- Anamnesis
o Onset dan lamanya keluhan, apakah sudah pernah berulang atau baru pertama
kali.
o Faktor pencetus; misalnya zat farmakologis (antibiotik, antikonvulsan,
analgesik, cairan infus, imunisasi), makanan tertentu, bahan pengawet, bahan
kimia (contact urticaria), rangsang tekanan (pressure urticaria) atau rangsang
fisik (physical urticaria) seperti paparan dingin, air (aquagenic urticaria),
cahaya (solar urticaria), dan trauma ringan.
o Faktor yang memperberat: stres, temperatur panas, alkohol.
o Riwayat infeksi terutama karena virus (ISPA, hepatitis, rubela).
- Pemeriksaan Fisik
o Bentuk, distribusi, dan aktivitas lesi urtikaria pada kulit.
o Adakah angioedema pada profunda dermis dan jaringan subkutan, keterlibatan
mukosa atau submukosa, memar, keterlibatan jaringan ikat, dan edema kulit
yang luas.
o Kemungkinan kelainan sistemik atau metabolik, seperti gangguan tiroid,
ikterus, artritis.
o Urtikaria yang ditemukan di tungkai saja dan tidak hilang dalam 24 jam
dicurigai adanya urtikaria vaskulitis.
- Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan dasar: darah perifer lengkap, urin lengkap, fungsi hati, fungsi
ginjal.
o Tes alergi.
o IgE atopi.
- Diagnosis Banding
o Mastositosis (urtikaria pigmentosa).
o Mastositosis sistemik.
o Vaskulitis kulit.
o Episodic Angioedema Associated with Eosinophilia (EAAE).
o Angioedema herediter
o Urtikaria papuler.
o Dermatitis atopik.

Anda mungkin juga menyukai