Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat Islam sebagai hukum mempunyai dua implikasi dalam kehidupan ummat
manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara melalui praktek peradilan. Kedua adalah
sebagai ketentuan halal-haram yang tercermin dalam lima kaedah hukum Islam (wajib,
sunnat, haram, makruh dan mubah) yang berbentuk ifta’ atau fatwa untuk pedoman
masyarakat umum. Segi pertama syariat Islam sudah mendapat tempat secara terbatas dalam
kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah di Indonesia sampai ke tingkat banding
di Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariyah Propinsi, dan tingkat kasasi di Mahkamah
Agung. Sementara itu segi kedua menyangkut kewenangan fatwa belum mendapat tempat
yang semestinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Dalam sistem hukum Islam, pemberi fatwa adalah mufti yang sah atau para imam
yang terkenal kedalaman pemahamnan dan ilmu mereka. Orang awam tidak dibenarkan
memberikan fatwa, karena ini akan menjerumus kepada kekacauan dan memberikan fatwa
tanpa ilmu. Karena itu sebenarnya terdapat kualifikasi untuk jabatan yang penting ini

B. Rumusan Masalah
 Apa yang dimaksud dengan Fatwa?
 Apa yang dimaksud dengan Mufti?
 Bagaimana kedudukan Fatwa dalam hukum Islam di Indonesia?
 Lembaga Fatwa apa saja yang ada di Indonesia?
 Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan?
 Tingkatan-tingkatan Fatwa?
C. Tujuan Penulisan
 Mengetahui dan memahami pengertian Fatwa.
 Mengetahui dan memahami pengertian Mufti.
 Mengetahui dan memahami kedudukan Fatwa dalam hukum islam di Indonesia.
 Mengetahui Lembaga-lembaga Fatwa yang ada di Indonesia.
 Mengetahui Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan.
 Mengetahui Tingkatan-tingkatan Fatwa.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa Arab, ‫فتوى‬yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau
pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil
oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang
mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa
tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.[1]
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi
pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang
meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa
saja yang membutuhkannya.
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa
selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang
difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas
pristiwa itu.
Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang orang bisa
menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara lain
adalah:
a. Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang
diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
b. Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan dasar
sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat salah dan
bohong.
c. Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar
tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
d. Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.[2]

1 Racmat Taufik Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000. hal. 34.
2 Zen Amirudin, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009. Hal. 213

2
B. Mufti
Seorang mufti (pemberi Fatwa) tentulah orang yang mempunyai wawasan keilmuan
yang luas, agar yang difatwakannya tentang suatu masalah hukum sesuai dengan yang
sebenarnya. Orang yang mempunyai pengetahuan tentang hukum syara’ dan mempunyai
kmampuan untuk menggali sumbernya .karena itu ,maka ia menjadi tempat bertanya bagi
orang awam.sebagai orang yang tahu,disebut mujtahid, dan dalam kedudukannya sebagai
orang yang member jawaban atas pertanyaan orang awam,ia di sebut mufti.[3]
Bagi orang awam menanyakan masalah kepada para ahli diperintahkan oleh Allah
dalam firmannya: (al-Anbiya’:7)

َ‫فَا ْسأَلُوا أَ ْه َل ال ِذِّ ْك ِر ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬


Bertanyalah kepada para ahlinya jika kamu tidak mengetahuinya.
(al-Anbiya’:7)
Permintaan fatwa tersebut hendaklah diajukan kepada orang yang sudah terkenal
keahliannya dan keadilannya. Jika orang yang dimintai fatwanya belum dikenal
keahliaannya, cukuplah kirannya menurut penilaian kemasyhurannya oleh orang banyak. [4]
Kewajiban seorang mufti (yang dimintai fatwa) ia memberikan fatwa , bila dimintainya ia
tidak diperkenankan menolak memberikan fatwa. Karena mufti yang menolak memberikan
fatwa dibenci oleh Rasullullah saw. [5]
Rasulullah saw dalam sebuah hadits yang artinya ;
“Barang siapa ditanyai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia bakal
dikendalikan pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka”.(HR.Abu daud dan at-
turmudzi).
Abu Ishaq Ibrahim menguraikan secara detail tentang syarat-syarat seorang mufti, yang
dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Mengetahui sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan sunah, baik qauliyah, fi’liyah dan

taqririyah;
2. Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya;

3 Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 449.
4 Muctar yahya dkk, Fiqih Islam, PT Alam’arif, Bandung, 1886, hlm. 403-404.
5 Ibid. hlm. 404.

3
3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh;
4. Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab;
5. Mengetahui nasakh, mansukh, dan hukum-hukumnya;
6. Mengetahui ijma’ dan khilafiyah ulama terdahulu;
7. Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumya;
8. Mengetahui ijtihad;
9. Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil;
10. Mengetahui cara mentarjih;
11. Harus orang yang dipercaya dan jujur; dan
12. Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama. [6]

Mufti adalah panutan dan ikutan kaum muslimin, karena itu disamping ia ahli al-Qur‟an

dan hadits, ia juga seorang yang mempunyai akhlakul karimah (budi pekerti yang mulia), sabar
tidak pemarah, bilaksana, selalu memikirkan kepentingan kaum muslimin.[7]
Sehubungan dengan hal di atas, Imam Ahmad Ibn Hambal sepertinya mengidentikkan
syarat-syarat seorang mufti dengan sifat-sifat yang dimiliki seorang mufti, sebagaimana
dikutip oleh Kamal Mukhtar sebagai berikut:
1. Mufti memberi fatwa dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT, bukan untuk
sesuatu kepentingan seperti untuk mencari pangkat, kedudukan, kekayaan, kekuasaan dan
sebagainya. Dengan adanya niat yang seperti itu, maka Allah SWT akan memberinya
petunjuk dalam melaksanakan tugasnya.
2. Hendaklah seorang mufti itu berwibawa, sabar dan dapat menguasai dirinya, tidak cepat
marah dan tidak suka menyombongkan diri.
3. Mufti itu hendaklah seorang yang berkecukupan hidupnya, tidak menggantungkan hidupnya
kepada orang lain. Dengan hidup berkecukupan itu ia dapat memperdalam ilmunya, dapat
mengemukakan kebenaran sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, sukar dipengaruhi
pendapatnya oleh orang lain.
4. Hendaklah seorang mufti mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena ketetapan hukumnya
harus diambil setelah memperhatikan kondisi masyarakat, memperhatikan perubahan-
perubahan dan sebagainya, sehingga fatwanya tidak menimbulkan kegoncangan dalam

6 Abu Ishaq Ibrahim al-Fairuzzabadi, Al-Luma, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Ibn Nabhan
wa Auladuh, Surabaya, tt, hlm.69
7 Kamal Mukhtar dkk, Ushul Fiqh, Jilid 2, dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 179-180.

4
masyarakat, sekaligus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-
Nya. [8]
Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan, bagi yang berfatwa (mufti) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:

1. Mengetahui kitab Allah (al-Qur‟an), nasakh-mansukh, takwil-tanzilnya, makiyah-

madaniyahnya, dan segala sesuatu yang menyangkut al-Qur‟an itu sendiri.

2. Mengetahui hadis Rasulullah SAW., nasakh-mansukhnya, pengetahuannya tentang hadis

ini kira-kira sama dengan pengetahuannya tentang al-Qur‟an.

3. Mengetahui bahasa Arab beserta kaidah-kaidanya yang dengan pengetahuan bahasa

Arabnya itu difahaminya al Qur‟an dan sunnah. Disyaratkan juga pengetahuannya tentang

hal-hal yang tersebut di atas digunakannya dengan kesadaran yang tinggi.

Syarat-syarat yang dikemukakan Imam Syafi‟i di atas adalah syarat syarat yang

hampir sama dengan syarat–syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid muthlaq yang
dapat memberikan fatwa dalam segala masalah yang berhubungan dengan hukum.[9]

C. Kedudukan Fatwa
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan
meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan
jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang
kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para
mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk
membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh
kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat
al-Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab
kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang
berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki
sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.

8 Ibid, hlm. 180-181.


9 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lamu al-Muwaqqi’in, Jilid-I, Dar al-Jail, Beirut, tt, hlm. 46.

5
Di Indonesia juga ada sejumlah buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama
dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada
juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga
menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat
mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk
menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.[10]

D. Lembaga-lembaga Fatwa di Indonesia


1. MajelisTarjihMuhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang memiliki misi utama
pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama. Pembaharuan dalam muhammadiyah
meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya yaitu pembaharuan dalam arti mengembalikan
kepada kemurniannya dengan sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang bersifat tetap dan
pembaharuan dalam arti modernisasi dengan sasaran mengenai masalah metode, sistem,
teknik, strategi, taktik perjuangan dan lain-lain.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-17/1928 di Yogyakarta dibentuk susunan
pengurus Majelis Tarjih Pusat sebagai ketuanya KH.Mas Mansur dan sekertaris KH.Aslan Z,
dibuat anggaran dasar yang menetapkan tugas dari majelis tarjih adalah mengamati
perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama, menerima dan
mentarjih hukum m asalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, penyelidikan dan
pembahasan yang berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Majelis Tarjih berfungsi untuk
mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Manhaj al-istinbath adalah majelis tarjih dan pengembangan pemikiran islam
Muhammadiyah yang merumuskan secara dinamis aspek metodologis, yang dilakukan
terakhir pada tahun 2000 di Jakarta dengan prinsip yaitu mengubah istilah al- sunnah al-
sohihah menjadi al-sunnah maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, posisi ijtihad
adalah metode bukan sumber hukum, ijtihad meliputi metode bayani, ta’lili, dan ishtilahi,
manhaj menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran islam dikembangkan atas
dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utama yaitu: prinsip al-muro’ah (konservasi),
prinsip al-tahdidsi (inovasi), dan prinsip al-ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan keputusan

10 Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan, Pustaka Bani Quraisy:Bandung, 2005.

6
MTPPI terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan perspektif oleh majlis ini dibahas
dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath lalu
menarik natijah hukumnya, hasil keputusan kemudian diajukan kepemimpinan
muhammadiyah sesuai tingkatannya yang mempunyai otoritas untuk mentanfidzkan atau
tidak sesuai pertimbangan yang dimiliki, namun semua yang telah ditanfidzkan masih tetap
untuk diadakan tinjauan ulang.
2. Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah serta
menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis teologi dan menganut salah satu dari
mazhab. Metode istinbath hukum lajnah bahsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan
mengambil hukum secara langsung (al-qur’an dan sunah), namun diartikan sesuai dengan
sikap dasar bermazhab terutama mazhab Syafi’i menempati posisi yang dominan. Metode
pengambilan keputusan hukum dirumuskan pada munas Bandar lampung pada tahun 1992
dengan susunan metodologisnya yaitu: kasus yang jawabannya ditemukan satu qoul
(pendapat), maka qoul itu yang diambil, kasus yang hukumnya ada dua pendapat maka
dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya, namun jika tidak ditemukan pendapat
sama sekali dipakai ilhaq al-masail bin nadhariha secara jama’i oleh ahlinya, dan jika
masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq
maka dilakukan istinbath jama’i.
3. Majelis Fatwa Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,
umara dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah
umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri
pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil
dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan umara yang datang dari
berbagai penjuru tanah air.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada
fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak
terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah
kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya selama dua puluh lima tahun, Majelis
Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama (umara/pemimpin) dan
cendekiawan muslim berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah SWT.

7
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan
kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa.
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah).
4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat
khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal
balik.[11]
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau
musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai
dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini
KH. M. Sahal Mahfudz. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal
dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah
untuk memimpin majelis para ulama ini.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat.
Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya
global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang
dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam
kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam
alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik,
sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan
umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah
hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya
sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka
mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat
Islam.
Terdapat lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah).
4. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.

11 http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-nu.html

8
5. Gerakan Ishlah wa Al-tajdid.[12]
E. Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan
1. Persoalan dan permasalahan hukum yang perlu diselesaikan melalui fatwa lebih luas
bidangnya/tidak terbatas, bahkan dapat berlaku untuk seluruh kaum muslimin yang
menjadi penduduk beberapa negara. Sedangkan persoalan dan permasalahan hukum yang
dapat diselesaikan melalui putusan pengadilan terbatas sepanjang kewenangan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan suatu negara.
2. Isi fatwa mempunyai nilai kebebasan, artinya boleh dilaksanakan dan boleh tidak,
tergantung kepada orang yang memerlukan fatwa itu. Sedangkan putusan pengadilan
bersifat memaksa dan mengikat, artinya pihak-pihak yang terlibat di dalam putusan
perkara tersebut harus tunduk dan patuh terhadap isi putusan serta secara sukarela harus
melaksanakan isi putusan tersebut.
3. Fatwa tidak dapat membatalkan putusan pengadilan, sedangkan putusan pengadilan dapat
membatalkan fatwa yang dikemukakan dalam yurisdiksi pengadilan yang
bersangkutan.[13]
Disini baik hakim ataupun mufti harus :
a. Memahami peristiwa yang hendak dimintakan keputusan atau fatwa.
b. Memahami hukum Syar’i yang akan diterapkan kepada peristiwa tersebut.[14]
F. Tingkatan-Tingkatan Fatwa
a. Fatwa Rasullah SAW sendiri;
b. Fatwa para sahabat;
c. Fatwa para tabi‟in;
d. Fatwa para mujtahid;
e. Fatwa para imam mazhab;[15]
Pada umumya sejak Islam masuk ke indonesia, maka umat Islam Indonesia adalah

penganut mazhab Syafi‟i. Namun demikian sejak munculnya ide-ide pembaharuan dalam

dunia Islam (termasuk dalam masalah-masalah hukum), pengaruhnya juga sampai ke

12 Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi Aksara:Jakarta. 2006 hal.140

13 Muhlis,kedudukan fatwa dalam islam,jurnal,tt, hal.12-13.

14 Mukhtar yahya dkk, Fiqih Islam, PT Alam’arif, Bandung, 1886, hlm. 407.
15 Ibid, hlm.14

9
Indonesia. “Hal ini ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi Islam, seperti
Muhammadiyah (18 November 1912 M), Nahdhatul Ulama (1926) dan lain-lain.[16]
Dengan kata lain dapatlah dikatakan pada tahun-tahun berdirinya organisasi ini terjadi
pergeseran sikap umat Islam dalam memahami hukum Islam. Kalau pada waktu sebelum

adanya organisasi-organisasi ini, para ulama lebih terikat pada aturan-aturan mazhab Syafi‟

saja misalnya, maka sejak munculnya organisasi-organisasi ini keterikatan kepada mazhab
dirasakan melonggar. Organisasi-organisasi ini mempengaruhi faham hukum Islam yang
dianut masyarakat.
Muhammadiyah misalnya, mempunyai Majelis Tarjih yang bertugas mentarjih
masalah-masalah hukum Islam yang hasilnya disebarluaskan kepada umat untuk dijadikan

pedoman. Begitu juga Nahdhatul Ulama mempunyai Majelis Syari‟ah. Kedua badan ini dapat

dikatakan sebagai Majelis Ifta‟ atau Dar al-Ifta‟ dalam kehidupan umat Islam Indonesia.

Selain badan-badan resmi dari organisasi-organisasi di atas, masalah fatwa dalam


kehidupan umat Islam Indonesia juga muncul dalam bentuk fatwa perorangan. Peran ulama-
ulama besar yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam itu sendiri sangat berpengaruh.
Fatwa-fatwa mereka secara pribadi-pribadi dengan taat dan patuh diikuti oleh umat
pendengarnya. Hal ini umumnya terdapat disetiap daerah, dengan kharismanya yang kuat
ulama-ulama itu dengan tekun membimbing umat Islam untuk menjalankan hukum Islam itu
dalam kehidupan mereka sehari-hari.[17]
E. Beberapa Fatwa MUI
1. Fatwa MUI Tentang Merokok

Akhir-akhir ini marak keluar desakan untuk MUI mengeluarkan Fatwa Merokok itu
HARAM. Mengapa merokok haram? selama ini merokok hukumnya adalah makruh lebih
condong ke haram, tetapi tidak haram. Selasa 12 Agustus 2008 dari dewan syariah MUI
menyampaikan fatwa terbarunya tentang merokok, yaitu :

“Merokok Hukumnya adalah HARAM bagi anak-anak dibawah usia 17 Tahun”

16 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1980. Hlm.
23.
17 Muhlis, Kedudukan fatwa dalam islam,jurnal,hlm 21-22.

10
Ada beberapa alasan yang melatar belakanginya, antara lain : Selama ini hukum merokok
makruh cenderung atau lebih dekat ke haram. Larangan pemerintah melalui PP/Perda yang
sudah ada dan berlaku sampai sekarang tidak banyak yang mengindahkannya atau banyak di
langgar. Misalnya larangan merokok di taman atau di ruang tertentu yang dikeluarkan pemda,
masih juga ada yang merokok di ruang tersebut.

2. Fatwa MUI Tentang Facebook

MUI menyatakan bahwa Facebook bisa menjadi haram dan tidak haram. Menurut mereka,
Facebook haram tergantung dari cara pemakaian. Kalau tujuan baik dan benar, maka tak ada
larangan menggunakannya, tapi sebaliknya, bila untuk tujuan negatif maka haram. Jadi itu
semua juga kembali kepada kita sebagai pengguna dari facebook, jika kita mempunyai
keinginan untuk menggunakan facebook untuk melakukan aktifitas yang negatif mungkin
saja kita dapat mengatakan bahwa facebook itu haram, dan jika kita menggunakan facebook
dengan menjalin tali silaturahmi antar sesama maka facebook mungkin belum dapat
dikatakan haram

3. Fatwa MUI Tentang Perubahan Arah Kiblat

Tentang diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan, pertama,
tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum tersebut disebutkan bahwa:

(1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah
(ainul ka’bah).

(2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat
al-Ka’bah). Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Mekkah, maka
kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat. MUI merekomendasikan agar
bangunan masjid/mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap ke arah barat, tidak
perlu diubah, dibongkar ,dan sebagainya.

4. Fatwa MUI Tentang Obat Anti Haid saat Haji

Para ulama melihat hal ini menjadi rukhsah bagi para wanita pada saat pelaksanaan ibadah
haji. Penggunaan terapi hormonal diperbolehkan. Bahkan Majelis Ulama Indonesia secara
tegas telah mengeluarkan fatwa dengan tanggal 12 Januari 1979 yang menyebutkan, bahwa
penggunaan obat anti haid untuk kesempurnaan ibadah haji hukumnya adalah mubah.

11
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Titik tolak dari pemikiran tentang fatwa keagamaan pada dasarnya untuk memberikan
arah yang konkret tentang prinsip-prinsip hukum syariat yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Namun inti dan sasarannya adalah agar umat islam mampu menciptakan pola pikir
yang sistematis dalam mengkaji ajaran islam secara utuh dan murni. Sehingga tercipta suatu
pola pikir dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk menemukan dalil-dalil yang konkret dalam
mengambil keputusan hukum-hukum syariat islam.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat.
Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya
global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang
dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam
kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam
alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik,
sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan
umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah
hizbiyah) yang berlebihan.
Sehingga fatwa menjadi sangat urgen dalam menghadapi permasalahan tersebut
diatas. Dengan adanya lembaga fatwa resmi tentunya penjelasan hukum yang masih global
menjadi mudah difahami dan juga menjawab permasalahan-permasalahan baru yang kian hari
kian kompleks.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fatah, Rohadi, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi Aksara:Jakarta. 2006.


Amirudin, Zen, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009.
http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-nu.html
Mubarak, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan, Pustaka Bani Quraisy:Bandung, 2005
Taufik Hidayat,Racmat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000.

13

Anda mungkin juga menyukai