Anda di halaman 1dari 45

TINJAUAN PUSTAKA

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN SILENT SINUS SYNDROME


Oleh :
Richard P. Simbolon, Luh Made Ratnawati, Sari Wulan Dwi Sutanegara

Bagian SMF/Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN
Silent sinus syndrome merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri dari
enoftalmus dan hipoglobus yang berkaitan dengan atelektasis dari sinus maksila
dan perubahan lantai orbita. Enoftalmus adalah suatu keadaan dimana bola mata
yang tertarik ke dalam, sedangkan hipoglobus merupakan keadaan dimana bola
1
mata yang turun ke bawah. Istilah silent sinus syndrome diperkenalkan oleh
Soparker dkk pada tahun 1994 yang melaporkan 14 pasien dengan enoftalmus
2
unilateral dan hipoglobus tanpa adanya gejala penyakit pada sinus dan hidung.
Sebelumnya pada tahun 1964 Montgomery pernah menggambarkan fenomena
penyakit ini. Silent sinus syndrome biasanya mengenai orang dewasa pada dekade
3
keempat dan kelima, kasus ini jarang sekali pada anak-anak.
Penyebab pasti silent sinus syndrome sampai saat ini belum diketahui.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mempelajari patogenesis dan
pengelolaan penyakit ini. Silent sinus syndrome termasuk kasus yang jarang dan
sering tidak terdiagnosis karena kurangnya pengetahuan tentang kasus ini.
Sebagian besar pasien dengan sindrom ini hadir dengan keluhan ophthalmologi
tanpa gejala sinus hidung dan tanpa rasa sakit serta memiliki perkembangan
1
penyakit yang lambat sehingga disebut dengan istilah “silent”.
Penatalaksanaan silent sinus syndrome bertujuan untuk mengembalikan
5
aerasi normal sinus maksila dan memperbaiki hipoglobus serta enophthlamus.
Sejauh ini terdapat beberapa teknik pembedahan dalam penanganan silent sinus
syndrome diantaranya adalah melalui pendekatan Bedah Sinus Endoskopi

1
Fungsional (BSEF) dan rekonstruksi lantai orbita, meskipun teknik yang terakhir
6
dianggap masih kontroversial.
Silent sinus syndrome termasuk kelainan yang jarang dijumpai dan sering tidak
terdiagnosis karena kurangnya pengetahuan tentang kasus ini. Penyebab terjadinya silent
sinus syndrome sampai saat ini belum diketahui secara pasti meskipun beberapa teori
dianggap mampu menjelaskan patogenesis terjadinya silent sinus syndrome. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mempelajari patogenesis dan penatalaksanaan kelainan
ini. Tujuan utama dari tatalaksana silent sinus syndrome adalah mengembalikan aerasi
normal sinus maksila dan memperbaiki hipoglobus serta enoftalmus dengan berbagai
metode pembedahan. Pemilihan teknik pembedahan yang tepat akan mempengaruhi
hasil, baik secara fungsional maupun estetika.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal
Anatomi hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke
bawah, pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum), puncak hidung (tip), ala nasi,
kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang
dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit dan jaringan ikat. Rongga hidung atau kavum
nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian
tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
7
kavum nasi dengan nasofaring.
Kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial ialah septum nasi. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka
yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila, sedangkan konka media,
superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media
dan inferior disebut meatus
2
7,8superior.
a dan sebelah atas celah antara konka superior dengan konka media disebut meatus

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu meatus media,

merupakan suatu celah yang penting dan lebih luas dibandingkan dengan

meatus superior. Di sini terdapat muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal

dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks

osteomeatal. Kompleks osteomeatal (KOM) adalah unit drainase fungsional

meliputi prosessus uncinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula

etmoid, agger nasi dan ressesus frontalis, dimana semuanya berupa celah sempit

yang mudah mengalami penyempitan. Kompleks osteomeatal berperan sangat

9
penting dalam mempertahankan kondisi fisiologis sinus paranasal.

Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral

rongga hidung dengan jumlah, bentuk, ukuran dan simetri bervariasi. Sinus-sinus

ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama yang

sesuai: sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis dan etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi

oleh epitel yang mampu menghasilkan mukus dan bersilia, secret yang dihasilkan
disalurkan langsung ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama

7
berisi udara.

Gambar 1. Anatomi Sinus dan kompleks osteomeatal.10

3
2.1.1. Sinus Maksilaris

Pada waktu lahir sinus maksila sudah terbentuk dengan baik. Setelah 7

tahun, perkembangan ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat.

Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. Sinus maksila atau

antrum Highmore merupakan sinus paranasal yang terbesar, berbentuk piramid tidak

beraturan dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks

8,11
prosesus zigomatikus os maksila.

Pada orang dewasa volume sinus maksilaris kira-kira 15 ml. Dinding medial

dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus, os etmoid, prosessus

maksilaris, konka inferior dan sebagian kecil os lakrimalis. Dinding atas memisahkan

sinus dengan orbita. Dinding posterior-inferior biasanya paling tebal dan dibentuk oleh

bagian alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum durum. Dinding anterior

berhadapan dengan fosa kanina. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum

di meatus media melalui lubang kecil yaitu ostium maksila. Gigi premolar kedua dan
gigi molar pertama dan kedua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus, bahkan kadang-

8,11
kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja.

2.1.2. Sinus Frontalis

Pertumbuhan sinus frontal berjalan lambat hingga pada umur 7 tahun dan

baru mencapai ukuran dewasa setelah umur 14-20 tahun. Bentuk dan ukuran sangat

bervariasi dan kadang-kadang terdapat sinus yang rudimenter. Ukuran rata-rata sinus

frontal: tinggi 2,8 cm, lebar 2,4 cm, dalam 1,5-2 cm dan volume rata-rata 6-7 ml. Sinus

ini berhubungan dengan meatus media melalui duktus nasofrontal yang berjalan ke

bawah dan belakang dan bermuara pada atau dekat infundibulum bagian atas. Sinus

8
frontalis kanan dan kiri biasanya ukurannya tidak simetris.

2.1.3. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoid mulai terbentuk pada janin umur 5-6 bulan. Pada waktu lahir

biasanya sel-sel ini telah terbentuk cukup baik. Perkembangan sel-sel ini relatif cepat,

terutama menjelang usia 2 tahun. Pada umur 7 tahun pneumatisasi akan

4
berakhir dan antara umur 12-14 tahun sinus ini telah mencapai bentuk tetap. Sel-sel
etmoid terletak di kiri kanan kavum nasi kira-kira di setengah atau sepertiga atas hidung
8
dan di sebelah medial orbita.
Pada orang dewasa, sel etmoid terdiri dari sejumlah sel-sel pneumatik yang besar
dan jumlahnya bervariasi. Jumlah volume kedua sinus ini kira-kira 14 ml yang terdiri
atas dua kelompok sel, yaitu: pertama kelompok anterior yang bermuara ke meatus media
dan yang kedua kelompok posterior yang bermuara ke meatus superior. Biasanya sel-sel
etmoid posterior lebih sedikit jumlahnya tetapi ukurannya lebih besar jika dibandingkan
8
dengan kelompok anterior.
2.1.4. Sinus Sfenoidalis
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid terbentuk pada janin umur 3 bulan dan perkembangannya berjalan lambat.
Pneumatisasi sinus ini berlangsung pada pertengahan masa kanak-kanak, bertambah
cepat setelah umur 7 tahun dan mencapai bentuk dan ukuran dewasa antara umur 12 dan
15 tahun. Volume rata-rata sinus ini sekitar 7,5 ml. Masing-masing sinus sfenoid
berhubungan dengan meatus superior melalui celah kecil menuju ke resesus sfeno-
8
etmoidalis.

2.2. Definisi
Silent sinus syndrome adalah suatu kondisi klinis yang ditandai dengan
enoftalmus unilateral dan hipoglobus spontan yang disebabkan oleh lantai orbita yang
melekuk ke bawah serta tidak didapatkan gejala penyakit sinonasal. Definisi lain
menyatakan silent sinus syndrome adalah kumpulan gejala yang terdiri dari enoftalmus
ipsilateral dan hipoglobus yang disebabkan oleh perubahan struktur orbita karena sinus
6
maksilaris yang kolaps dengan hipoventilasi sinus maksilaris kronis. Silent sinus
1
syndrome sering disebut juga sebagai imploding antrum syndrome.
Istilah Chronic Maxillary Atelectasis (CMA) juga sering dihubungkan dengan
3,12
silent sinus syndrome. Chronic maxillary atelectasis diartikan sebagai berkurangnya
volume sinus maksila karena adanya sumbatan di kompleks osteomeatal yang
menyebabkan keadaan vakum di dalam sinus maksila sehingga

5
sinus berkerut ke dalam. Silent sinus syndrome dapat digambarkan sebagai bagian dari
Chronic Maxillary Atelectasis. Pasien dengan CMA umumnya memiliki gejala hidung
dan sinus, termasuk rinore, hidung tersumbat, nyeri wajah atau gigi, sakit kepala, batuk
atau post nasal drip. Tidak seperti CMA, pada pasien dengan silent sinus syndrome tidak
2
mengeluhkan adanya gejala hidung atau sinus.

2.3. Epidemiologi
Sejak tahun 1964, terdapat 100 kasus yang dilaporkan baik dari bagian
otolaringologi, ofthalmologi maupun radiologi. Kass dkk melaporkan adanya 22 kasus
penyakit tersebut pada tahun 1997. Pada tahun 2003, istilah imploding antrum syndrome
4
juga sering digunakan untuk menggambarkan suatu penyakit silent sinus syndrome.
Kondisi ini tampaknya lebih sering daripada yang diperkirakan sebelumnya dan selama
tahun-tahun terakhir beberapa kasus yang besar telah didokumentasikan dalam literatur.
Numa dkk melaporkan sebanyak 84 kasus yang terdiagnosis silent sinus syndrome pada
tahun 2005, sedangkan Brand dan Wright melakukan systematic review dan melaporkan
3
terdapat 27 kasus yang terdiagnosis sebagai silent sinus syndrome pada tahun 2008.

2.4. Etiologi dan Patogenesis


Sejauh ini penyebab pasti terjadinya silent sinus syndrome belum
diketahui. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan patogenesis silent sinus
syndrome sebelum munculnya gambaran radiologis yang mengarah pada kondisi tersebut.
Teori yang paling terkenal luas adalah hipoventilasi dari sinus maksila akibat obstruksi
ostium dan atelektasis sinus dengan adanya tekanan negatif yang bersifat kronis di dalam
4
sinus.
Belum ada kesepakatan mengenai apakah obstruksi kompleks osteomeatal
disebabkan oleh hipoplasia dan atau trauma, pembedahan atau penyebab lainnya yang
dapat menghambat perkembangan sinus secara normal dan mengakibatkan terjadinya
1
atelektasis serta silent sinus syndrome. Menurut Roula dkk trauma hidung dan dampak
tindakan operasi pada masa anak-anak menjadi penyebab terjadinya silent sinus
13
syndrome pada saat dewasa. Adanya tekanan subatmosfer

6
kronis dan hipoventilasi dari sinus menghasilkan tekanan negatif sehingga meyebabkan
dinding sinus tertarik ke dalam. Selain karena hipoventilasi sinus, mungkin ada
14
remodeling dan penipisan tulang akibat meningkatnya aktivitas osteoklas.
Teori lain menyatakan adanya proses inflamasi kronis di dalam sinus maksila
karena akumulasi mukus yang meyebabkan erosi pada lantai orbita sehingga menjadi
15
kolaps. Sebagai konsekuensinya, lantai orbita menjadi lebih tipis sehingga tidak dapat
6
menyangga isi orbita dan meluas ke dalam sinus menyebabkan enoftalmus. Menurut Eto
dkk enoftalmus berasal dari perubahan struktur tulang sinus yang merupakan akibat
sekunder dari penyakit obstruktif kronik yang mendasari. Hal tersebut akan menginduksi
terjadinya obstruksi dan menyebabkan timbulnya tekanan negatif di dalam sinus sehingga
16
akan mengaktifkan osteoklas, akibatnya dinding sinus menjadi lebih tipis.

Gambar 2. Gambar A menunjukkan asimetri wajah pada silent sinus syndrome. Bola mata kanan
turun ke bawah (hipoglobus) dengan retraksi di palpebra superior. Gambar B menunjukkan
gambaran silent sinus syndrome. Prosessus uncinatus dan dinding medial sinus retraksi ke lateral

dengan pelebaran meatus media, lantai orbita tertarik ke lumen sinus. 17


7
Rose dan Lund memperkuat teori tersebut berdasarkan kesamaan pada pasien-
pasien dengan kondisi idiopatik dan iatrogenik. Pada penelitian yang melakukan
identifikasi pada pasien-pasien yang mengalami enoftalmus akibat konsolidasi antrum
maksila setelah tindakan pengambilan tulang untuk dekompresi orbita ke sinus paranasal
pada kasus orbitopati tiroid, pasien-pasien tersebut mempunyai kondisi klinis dan
radiologis yang menyerupai bentuk silent sinus syndrome dimana kondisi yang dialami
pasien tersebut sama dengan kondisi akibat dari oklusi infundibulum etmoid yang
berdampak pada gangguan aerasi dan konsolidasi sinus maksila. Hal tersebut
mengakibatkan adanya retensi sekresi dan tekanan negatif di dalam sinus. Tekanan
negatif yang terjadi di dalam sinus dalam jangka waktu lama akan menimbulkan retraksi
3
pada dinding sinus.

2.5. Diagnosis
2.5.1. Anamnesis
Diagnosis silent sinus syndrome dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
teliti, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis pada pasien dengan
silent sinus syndrome biasanya asimtomatik, pasien kebanyakan datang ke dokter karena
alasan estetik yaitu adanya asimetri mata yang terjadi dalam beberapa bulan, rata-rata 3-8
4,17
bulan. Kelainan tersebut biasanya terjadi tanpa adanya riwayat trauma atau penyakit
3
mata sebelumnya. Tidak ada keluhan pandangan kabur, nyeri pada mata atau gangguan
gerakan bola mata walaupun terkadang didapatkan keluhan diplopia serta tidak ada
3,13
riwayat penyakit sinonasal yang signifikan. Diplopia vertikal bisa terjadi pada kasus
6
ini.
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Secara klinis pasien dengan silent sinus syndrome akan didapatkan adanya
asimetri wajah, enoftalmus yang sebagian besar unilateral, retraksi palpebra superior,
sulkus superior orbita lebih dalam/cekung atau disebut gambaran
1,4
“sunken eye” dan berkurangnya lemak pada palpebra inferior. Keadaan tersebut sering
diinterpretasikan sebagai eksophthalmus mata sisi kontralateral, ptosis pada mata yang
4,18
sakit atau enoftalmus dengan etilogi yang tidak diketahui.

8
Gambar 3. Gambaran klinis pasien dengan enoftalmus dan hipoglobus mata kiri dari
proyeksi frontal & submento-vertex.6
Untuk membantu menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan
nasoendoskopi setelah pemberian dekongestan. Pemeriksaan nasoendoskopi dianjurkan
o
menggunakan teleskop 30 karena lebih baik dalam memvisualisasi daerah kompleks
osteomeatal. Pada pemeriksaan tersebut menunjukkan lapisan mukosa hidung yang
cenderung normal atau sedikit meradang, pelebaran meatus nasi media tetapi tidak
ditemukan sekret patologis, terjadi perlekatan prosessus uncinatus pada dinding lateral
12
yang menghalangi ostium alami sinus maksila.
Gambar 4. Nasal endoskopi dengan teleskop 300 – tampak retraksi dinding sinonasal. (UP)
Prossesus uncinatus. (BE) Bula ethmoid. (MT) Konka media. 19

9
5
Tabel 1. Tanda dan gejala silent sinus syndrome.
Enopthalmus – bervariasi dari 1-6 mm
Hipoglobus – bervariasi dari 0-6 mm
Retraksi kelopak mata
Lambatnya penutupan kelopak mata dan legophthalmus
Tenggelamnya bola mata
Asimetri orbita
Sulkus superior mata lebih dalam
Diplopia - (jarang)
Ptosis - (jarang)
Eksopthalmus mata sisi kontralateral
Tanpa nyeri

2.5.3. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk menunjang diagnosis dari silent
sinus syndrome. Pemeriksaan sederhana yang masih sering digunakan saat ini adalah foto
polos sinus paranasal namun pencitraan tersebut dianggap tidak cukup sensitif dan
20
spesifik untuk menunjang diagnosis silent sinus syndrome.
Modalitas pemeriksaan lain yang direkomendasikan adalah Computed Tomography scan
(CT scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) meliputi daerah orbita dan sinus
12
paranasal. Pemeriksaan CT scan penting dalam memberikan rincian tentang bentuk dan
ketebalan tulang dengan gambaran anatomi yang lebih jelas sehingga modalitas
pemeriksaan tersebut dianggap sebagai gold standard untuk menunjang diagnosis silent
1,6
sinus syndrome terutama potongan koronal.
Dalam interpretasi gambaran radiologis perlu diperhatikan struktur sinus maksila
secara keseluruhan termasuk evaluasi perkembangan sinus, volume sinus, tingkat aerasi,
konfigurasi dinding sinus dan gambaran dari infundibulum dan prosessus uncinatus.
Perlu dilakukan juga evaluasi bangunan yang berdekatan termasuk orbita, meatus nasi
17
media serta konka media.
10
Gambaran CT scan pada pasien silent sinus syndrome akan menunjukkan: 1)
Berkurangnya volume antrum maksila dengan retraksi seluruh dinding sinus; 2)
Kompensasi augmentasi volume orbita ipsilateral; 3) Gambaran radioopak pada sisi sinus
yang terlibat; 4) Prosessus uncinatus yang terlateralisasi dan meatus media yang melebar
dengan retraksi konka media yeng bervariasi serta adanya deviasi septum nasi; 5)
12
Demineralisasi dinding sinus; 6) Meluasnya bantalan lemak retroantral. Gambaran
paling penting adalah dinding sinus yang mengalami retraksi ke dalam dan lantai orbita
6
yang tertarik ke bawah.
Modalitas pemeriksaan MRI dapat dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan CT
scan. Pemeriksaan MRI lebih baik dalam menilai jaringan lunak sinus paranasal dan
4
orbita. Interpretasi MRI akan menunjukkan: 1) Opasitas sinus dan pengurangan volume
sinus (T1W1); 2) Penonjolan lemak orbita (T1 & T2W1); dan 3) Penebalan lapisan sinus
12
yang edema (T2W1).
Kedua modalitas pemeriksaan radiologi, baik CT scan maupun MRI, selain
membantu dalam menegakkan diagnosis, sebagai tuntunan saat tindakan operatif dan
21
follow up setelah tindakan operatif.

Gambar 5. Gambaran Computed Tomography scan sinus maksila potongan aksial dan koronal.
Sinus maksila tampak kolaps (D), Prosessus uncinatus berbentuk huruf “C” (C)
Adanya obstruksi di kompleks osteomeatal dan ekspansi dari fossa pterigopalatina karena
adanya retraksi dari dinding posterior sinus maksila (E). 19
11
Gambar 6. (A) CT scan potongan koronal menunjukkan gambaran radioopak dan atelektasis
sinus maksila kanan dengan dinding orbita yang terdorong ke bawah. (B) T1 weighted MRI
menunjukkan lantai orbita terdorong ke bawah sehingga meningkatkan volume orbita. Volume
sinus maksila berkurang dan penuh gambaran radioopak. (C) CT scan potongan aksial
menunjukkan dinding medial & posterior sinus melekuk ke dalam karena melebarnya
retroantral fat pad. (D) MRI potongan aksial : sinus maksila kanan menyusut, tedapat

peningkatan retroantral fat.12

2.6. Penatalaksanaan
Manajemen silent sinus syndrome membutuhkan intervensi bedah yang
melibatkan beberapa ahli dari berbagai disiplin ilmu yaitu ahli telinga hidung tenggorok
dan bedah oculoplastic. Tujuan penatalaksanaan silent sinus syndrome meliputi 2 hal
yaitu membersihkan sinus serta membentuk kembali drainase fungsional sinus dan
mengembalikan struktur orbita normal. Sebagian besar penulis menganjurkan melakukan
prosedur awal bedah sinus endoskopi fungsional yang diikuti oleh rekonstruksi lantai
4,18
orbita. Intervensi bedah berguna untuk menghambat kerusakan sinus maksila dan
21
orbita, memperbaiki enoftalmus serta kelainan bentuk wajah.
12
2.6.1. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
Pendekatan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) saat ini dinilai
sebagai gold standard dalam penanganan silent sinus syndrome. Tujuan utama prosedur
BSEF adalah mengembalikan fungsi sinus paranasal dengan memperbaiki kembali aerasi
22
dan mucociliary clearance. Pada awalnya, untuk meperbaiki aerasi sinus dapat
dilakukan dengan prosedur Caldwell-Luc namun akhir-akhir ini prosedur antrostomi
19
media dan uncinectomy lebih direkomendasikan.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dengan uncinectomy dan antrostomi
dinilai mampu memperbaiki fungsi sinus dan mempertahankan struktur maksila pada
6
kasus silent sinus syndrome. Keunggulan BSEF adalah mampu mengenali kondisi
22
patologis yang minimal secara akurat terutama pada lokasi yang sulit dijangkau. Hal
yang harus diperhatikan dalam memperbaiki prosesus uncinatus yang mengalami
lateralisasi adalah kerusakan lamina papirasea karena tidak teliti mencari tepi prosesus
23
uncinatus.
Mekanisme terjadinya silent sinus syndrome adalah akibat tekanan negatif pada
sinus maksila. Uncinectomy dan antrostomi dapat dilakukan untuk menghilangkan
tekanan negatif ini sehingga perkembangan enoftalmus dapat pulih kembali. Penelitian
yang dilakukan Thomas dkk terhadap 4 pasien yang dilakukan uncinectomy dan
antrostomi sinus maksila menyatakan bahwa perubahan pada tulang terjadi seiring
dengan perbaikan ventilasi dan tekanan pada sinus maksila. Menurut penelitian yang
sama, dilakukan analisis terhadap volume sinus maksila unilateral pasien yang
terdiagnosis silent sinus syndrome. Tindakan antrostomi dengan pendekatan BSEF
memperbaiki volume sinus preoperatif 16.85 ± 0.06 cm3 menjadi 19.56 ± 0.07 cm3
postoperatif. Hal tersebut menunjukkan ada kenaikan volume sinus maksila sebanyak
16% setelah tindakan pembedahan yang mengindikasikan sumbatan ostium merupakan
13,23
kunci terjadinya atelektasis sinus maksila. Sedangkan Numa dkk melaporkan
sebanyak 84 kasus yang benar-benar telah terdiagnosis silent sinus syndrome membaik
5
setelah hanya dilakukan tindakan uncinectomy.
13
Gambar 7. Uncinectomy dan antrostomi dengan pendekatan Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional (BSEF).8
2.6.2. Rekonstruksi Orbita
Tindakan rekonstruksi lantai orbita dalam manajemen silent sinus syndrome masih
8
dianggap kontroversial. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan
rekonstruksi lantai orbita adalah derajat diplopia, perubahan estetik wajah dan penilaian
setelah tindakan bedah sinus. Perbaikan fungsi estetika orbita diharapkan mampu
mencakup 3 hal penting yaitu: enoftalmus, hipoglobus dan deformitas pada fisura
16
palpebra superior.
Gambar 8. Rekonstruksi lantai orbita melalui insisi subsilier (kiri) dengan pemasangan implan
menggunakan bahan alloplastic (kanan).8

14
Tindakan ini dipertimbangkan sebagai intervensi bedah tahap kedua yang
dilakukan setelah BSEF. Beberapa penulis merekomendasikan untuk melakukan prosedur
BSEF terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan observasi beberapa bulan untuk
menilai apakah rekonstruksi orbita perlu dilakukan. Rekonstruksi lantai orbita dapat
8
dilakukan melalui pendekatan subsilier dengan pemasangan implan orbita.
Literatur lain menyebutkan bahwa beberapa penulis melakukan rekonstruksi
lantai orbita melalui pendekatan transkonjungtiva. Keuntungan pendekatan
transkonjungtiva adalah meminimalkan bekas luka sehingga fungsi estetika lebih baik.
Beberapa material dapat digunakan untuk rekonstruksi lantai orbita, diantaranya
autologous (cranial bone graft) atau alloplastic (polyethilen, hidroxyapatite, stainless
steel mesh, silicone, methacrylate, Supramid Teflon dan titanium mesh). Pemilihan
material tergantung pada defek kelainan, pengalaman ahli bedah serta ketersediaan
16
material di pusat kesehatan itu sendiri.
Tindakan rekonstruksi lantai orbita sendiri dapat dilakukan secara langsung atau
5
bertahap untuk mengurangi risiko infeksi, gangguan penglihatan dan diplopia.
Melakukan dua prosedur pembedahan bersamasama, BSEF dan rekonstruksi lantai
orbita, akan mendapatkan hasil yang lebih simetris dan segera meredakan gejala serta
16
pasien cukup menjalani satu kali tindakan anestesi umum.
Korn dkk melaporkan 5 pasien dengan diagnosis silent sinus syndrome yang
dimanajemen dengan melakukan antrostomi sinus maksila dan rekonstruksi orbita secara
bersamaan, semua pasien mengalami perbaikan secara kosmetik baik dari hipoglobus
maupun kedalaman sulkus orbita superior. Berdasarakan laporan kasus tersebut tidak
didapatkan adanya komplikasi penempatan implan orbita yang dilakukan bersamaan
24
dengan BSEF.
Enoftalmus lebih dari 2 mm dapat dipertimbangkan untuk dilakukan penempatan
implan orbita. Penelitian yang dilakukan Thomas dkk terhadap 4 pasien yang
terdiagnosis silent sinus syndrome dimana pada pasien-pasien tersebut dinilai derajat
enoftalmus menggunakan pengukuran Hertel (Hertel’s
Measurement) sebelum dilakukan tindakan operatif. Semua pasien menjalani
15
prosedur BSEF dan dilakukan evaluasi 6 bulan setelah tindakan operatif. Keempat
pasien mengalami perbaikan enoftalmus 1-2 mm, namun pada 2 pasien masih
23
didapatkan enoftalmus ≥ 2mm sehingga perlu dilakukan pemasangan implan orbita.

23
Tabel 2. Penelitian Pasien Silent Sinus Syndrome.
Enoftalmus Preoperatif dan Postoperatif
Enoftalmus BSEF Post Implan
(mm) Enoftalmus Operasi Orbita
Pasien 1 3 mm + 2 mm +
Pasien 2 3 mm + 1 mm –
Pasien 3 3 mm + 2 mm +
Pasien 4 3 mm + 1 mm –

Keputusan untuk melakukan kedua prosedur tersebut secara bersamaan atau


secara terpisah biasanya berdasarkan kondisi pasien dan ahli bedah serta tingkat
keparahan hipoglobus. Beberapa penulis menyatakan bahwa jika enoftalmus membaik
setelah dilakukan tindakan antrostomi, sebaiknya dievaluasi dalam waktu 2 sampai 6
bulan sebelum dilakukan rekonstruksi lantai orbital supaya sinus maksila dapat
18
mengembang. Penulis lain menganjurkan untuk melakukan tindakan pembedahan
secara bertahap sebab perbaikan dari enoftalmus dapat dicapai setelah tindakan
antrostomi dengan BSEF saja, sedangkan melakukan dua prosedur secara bersamaan
akan meningkatkan risiko infeksi setelah pemasangan implan, hematoma, gangguan
25
penglihatan dan diplopia.

III. PEMBAHASAN
Kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial ialah septum nasi. Pada dinding lateral terdapat 4
buah konka yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema.
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu meatus media, merupakan suatu
celah yang penting dan lebih luas dibandingkan dengan meatus

16
superior. Di sini terdapat muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks osteomeatal. Kompleks
osteomeatal (KOM) berperan sangat penting dalam mempertahankan kondisi fisiologis
sinus paranasal. Pada bagian atap dan lateral rongga hidung terdapat sinus. Ada empat
pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar adalah sinus maksilaris, sinus frontalis,
7-9
sinus etmoidalis dan sinus sfenoidalis.
Menurut Guillen dkk, silent sinus syndrome merupakan suatu kumpulan gejala
yang terdiri dari enoftalmus dan hipoglobus yang berkaitan dengan atelektasis dari sinus
maksila dan perubahan lantai orbit, sedangkan Hira dkk, menyebutkan silent sinus
syndrome adalah suatu kondisi klinis yang ditandai dengan enoftalmus unilateral dan
hipoglobus spontan yang disebabkan oleh lantai orbita yang melekuk ke bawah serta
tidak didapatkan gejala penyakit sinonasal..
Silent sinus syndrome biasanya mengenai orang dewasa dekade keempat dan kelima.
Penyebab pasti silent sinus syndrome sampai saat ini belum diketahui.
Silent sinus syndrome termasuk kasus yang jarang dan sering tidak terdiagnosis karena
kurangnya pengetahuan tentang kasus ini. Sebagian besar pasien dengan sindrom ini
hadir dengan keluhan ophthalmologi tanpa gejala sinus hidung dan tanpa rasa sakit serta
1,4
memiliki perkembangan penyakit yang lambat sehingga disebut dengan istilah “silent”.
Istilah Chronic Maxillary Atelectasis (CMA) juga sering dihubungkan dengan
silent sinus syndrome. Chronic maxillary atelectasis diartikan sebagai berkurangnya
volume sinus maksila karena adanya sumbatan di kompleks osteomeatal yang
menyebabkan keadaan vakum di dalam sinus maksila sehingga sinus berkerut ke dalam.
Pasien dengan CMA umumnya memiliki gejala hidung dan sinus, termasuk rinore,
2,3,12
hidung tersumbat, nyeri wajah atau gigi, sakit kepala, batuk atau post nasal drip.
Sejauh ini penyebab pasti terjadinya silent sinus syndrome belum diketahui.
Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan patogenesis silent sinus syndrome
sebelum munculnya gambaran radiologis yang mengarah pada kondisi tersebut. Teori
yang paling terkenal disebutkan oleh Monos dkk, adalah
17
hipoventilasi dari sinus maksila akibat obstruksi ostium dan atelektasis sinus dengan
adanya tekanan negatif yang bersifat kronis di dalam sinus. Trauma hidung dan dampak
tindakan operasi pada masa anak-anak menjadi penyebab terjadinya silent sinus
syndrome pada saat dewasa. Menurut Gill dkk, tekanan subatmosfer kronis dan
hipoventilasi dari sinus menghasilkan tekanan negatif sehingga meyebabkan dinding
sinus tertarik ke dalam. Teori lain menyatakan adanya proses inflamasi kronis di dalam
sinus maksila karena akumulasi mukus yang meyebabkan erosi pada lantai orbita
sehingga menjadi kolaps. Sebagai konsekuensinya, lantai orbita menjadi lebih tipis
sehingga tidak dapat menyangga isi orbita dan meluas ke dalam sinus menyebabkan
4,6,13-15
enoftalmus.
Diagnosis silent sinus syndrome dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
teliti, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis pada pasien dengan
silent sinus syndrome biasanya asimtomatik, pasien kebanyakan datang ke dokter karena
alasan estetik yaitu adanya asimetri mata yang terjadi dalam beberapa bulan. Secara
klinis pasien dengan silent sinus syndrome akan didapatkan adanya asimetri wajah,
enoftalmus yang sebagian besar unilateral, retraksi palpebra superior, sulkus superior
orbita lebih dalam/cekung atau disebut gambaran “sunken eye” dan berkurangnya lemak
1,4,17
pada palpebra inferior.
Gambaran CT scan pada pasien silent sinus syndrome akan menunjukkan: 1)
Berkurangnya volume antrum maksila dengan retraksi seluruh dinding sinus; 2)
Kompensasi augmentasi volume orbita ipsilateral; 3) Gambaran radioopak pada sisi sinus
yang terlibat; 4) Prosessus uncinatus yang terlateralisasi dan meatus media yang melebar
dengan retraksi konka media yeng bervariasi serta adanya deviasi septum nasi; 5)
Demineralisasi dinding sinus; 6) Meluasnya bantalan lemak retroantral. Gambaran paling
penting adalah dinding sinus yang mengalami retraksi ke dalam dan lantai orbita yang
tertarik ke bawah. Modalitas pemeriksaan MRI dapat dilakukan untuk melengkapi
pemeriksaan CT scan. Pemeriksaan MRI lebih baik dalam menilai jaringan lunak sinus
paranasal dan orbita. Interpretasi MRI akan menunjukkan: 1) Opasitas sinus dan
pengurangan volume sinus (T1W1); 2) Penonjolan lemak orbita (T1 & T2W1); dan 3)
Penebalan lapisan sinus yang edema (T2W1). Kedua modalitas pemeriksaan radiologi,
baik CT scan

18
maupun MRI, selain membantu dalam menegakkan diagnosis, sebagai tuntunan saat
4,12,17,21
tindakan operatif dan follow up setelah tindakan operatif.
Manajemen silent sinus syndrome membutuhkan intervensi bedah yang
melibatkan beberapa ahli dari berbagai disiplin ilmu yaitu ahli telinga hidung tenggorok
dan bedah oculoplastic. Tujuan penatalaksanaan silent sinus syndrome yaitu
membersihkan sinus serta membentuk kembali drainase fungsional sinus dan
mengembalikan struktur orbita normal. Pendekatan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) saat ini dinilai sebagai gold standard dalam penanganan silent sinus syndrome.
Tujuan utama prosedur BSEF adalah mengembalikan fungsi sinus paranasal dengan
memperbaiki kembali aerasi dan mucociliary clearance. Perbaikan fungsi estetika orbita
diharapkan mampu mencakup 3 hal penting yaitu: enoftalmus, hipoglobus dan deformitas
pada fisura palpebra superior. Tindakan ini dipertimbangkan sebagai intervensi bedah
tahap kedua yang dilakukan setelah BSEF. Beberapa penulis merekomendasikan untuk
melakukan prosedur BSEF terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan observasi
beberapa bulan untuk menilai apakah rekonstruksi orbita perlu dilakukan. Rekonstruksi
lantai orbita dapat dilakukan melalui pendekatan subsilier dengan pemasangan implan
orbita. Tindakan rekonstruksi lantai orbita sendiri dapat dilakukan secara langsung atau
bertahap untuk mengurangi risiko infeksi, gangguan penglihatan dan diplopia.
Melakukan dua prosedur pembedahan bersama-sama, BSEF dan rekonstruksi lantai
orbita, akan mendapatkan hasil yang lebih simetris dan segera meredakan gejala serta
4,5,8,16,22
pasien cukup menjalani satu kali tindakan anestesi umum.

IV. KESIMPULAN
Silent sinus syndrome adalah suatu kondisi klinis yang ditandai dengan
enoftalmus unilateral dan hipoglobus spontan yang disebabkan oleh lantai orbita yang
melekuk ke bawah serta tidak didapatkan gejala penyakit sinonasal. Silent sinus
syndrome merupakan suatu kasus yang jarang akan tetapi kelainan ini tampaknya lebih
sering daripada yang diperkirakan sebelumnya dan selama tahun-tahun terakhir beberapa
kasus telah banyak dilaporkan.
19
Patogenesis dan etiologi silent sinus syndrome sampai saat ini masih belum jelas.
Beberapa teori dianggap mampu menjelaskan etiologi dan patogenesis silent sinus
syndrome, teori yang paling banyak dikemukakan adalah hipoventilasi dari sinus maksila
akibat obstruksi ostium dan atelektasis sinus dengan adanya tekanan negatif yang bersifat
kronis di dalam sinus.
Penegakkan diagnosis silent sinus syndrome dilakukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis pada pasien dengan silent
sinus syndrome biasanya asimtomatik, sebagian besar pasien datang ke dokter karena
alasan estetika yaitu adanya asimetri mata. Secara klinis pasien dengan silent sinus
syndrome akan didapatkan adanya asimetri wajah, enoftalmus yang sebagian besar
unilateral, retraksi palpebra superior, sulkus superior orbita lebih dalam/cekung atau
disebut gambaran “sunken eye” dan berkurangnya lemak pada palpebra inferior.
Modalitas pemeriksaan yang direkomendasikan untuk menunjang diagnosis silent sinus
syndrome adalah Pemeriksaan CT scan dan MRI. Computed Tomography scan dianggap
sebagai gold standard untuk menunjang diagnosis silent sinus syndrome terutama
potongan koronal.
Gold standard dalam penanganan silent sinus syndrome saat ini adalah Bedah
Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dengan uncinectomy dan antrostomi media untuk
memperbaiki ventilasi sinus maksila. Rekonstruksi lantai orbita sampai saat ini masih
dianggap kontroversial. Tindakan ini dilakukan pada enoftalmus berat dengan
mempertimbangkan resiko dan komplikasinya. Keputusan untuk melakukan kedua
prosedur tersebut secara bersamaan atau secara terpisah biasanya berdasarkan kondisi
pasien dan ahli bedah serta tingkat keparahan hipoglobus.
20
DAFTAR PUSTAKA

1. Guillen DE, Pinargote PM, Guarderas JC, 2013. The silent sinus syndrome: protean
manifestations of a rare upper respiratory disorder revisited. Clinical and Molecular
Allergy; 11(5):1-4.
2. Hobbs CGL, Saunders MW, Potts MJ, 2004. Spontaneous enoftalmus: silent sinus
syndrome. The Journal of Laryngology and Otology; 118: 310-312.
3. Choudhury N, Marais J, 2010. The silent sinus syndrome: a clinical review. Clinical
Rhinology; 3(2):69-72.
4. Monos T, Levy J, Lifshits J, Puterman M, 2005. The silent sinus syndrome. IMAJ;
7:333-335.
5. Cobb ARM, Murthy R, Cousin GCS, El-Rasheed A, Toma A, Uddin J, dkk., 2011.
Silent sinus syndrome. British Journal of Oral and Maxillofacial Surgery; 50(2012):
e81-e85.
6. Sesenna E, Oretti G, Anghinoni ML, Ferri A, 2009. Simultaneous management of the
enoftalmus and sinus pathology in silent sinus syndrome: a report of three cases.
Journal of Cranio Maxillo-Facial Surgery; 38: 469-472.
7. Hilger PA, 1997. Hidung: anatomi dan fisiologi terapan. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology), edisi 6. EGC. Penerbit buku
kedokteran, Jakarta. Hal: 173-189.
8. Ballenger JJ, 1997. Hidung dan sinus paranasal, aplikasi klinis anatomi dan fisiologi
hidung dan sinus paranasal. Dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Edisi 13. Jilid satu. Bina Rupa Aksara Jakarta. Hal: 1-25.
9. Kennedy DW, Bolger WE, 2003. The Paranasal sinuses: embryology, anatomy,
endoscopic diagnosis, and treatment. Dalam Lee KJ., Essential Otolaryngology Head
and Neck Surgery. 8th ed McGraw-Hill, North America. Hal: 388-410.
10. Pinheiro AD, Facer GW, Ker EB. 1998. Sinusitis: current concepts and management.
In Bailey BJ., Head & Neck Surgery – Otolaryngololy. 2nd ed. Lippincott-lave, New
York. Hal: 441-455.
21
11. Walsh WE, Kern RC, 2014. Sinonasal anatomy, function, and evaluation. Dalam
Bailey BJ., Head & Neck Surgery – Otolaryngololy. 5th ed Lippincott Williams &
Wilkins, New York. Hal : 359-369.
12. Bossolesi P, Autelitano L, Brusati R, Castelnuovo P, 2008. The silent sinus syndrome:
diagnosis and surgical treatment. Rhinologi; 46:308-316.
13. Adly A, Fattah GA, Shehata M, Amin S, Badran H, 2009. Spontaneous silent sinus
syndrome (implonding antrum syndrome) : case series 11 patients. Ejentas Egyptian
Journal of ear nose throat and Allied Sciences; 10:42- 46.
14. Gill HS, Silkiss RZ, Scott IU, Fekrat S, 2011. Diagnosis and management of silent
sinus syndrome. Ophthalmic Pearls; Hal: 37-38.
15. Habibi A, Sedaghat MR, Habibi M, Mellati E, 2008. Silent sinus syndrome: report of
a case. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod; 105: e32-e35.
16. Cardesin A, Escamilla Y, Romera M, Molina JA, 2011. Single surgical step for
endoscopic surgery and orbital reconstruction of silent sinus syndrome. Acta
Otorrinolaringol; 64(4):297-299.
17. Illner A, Davidson HC, Harnsberger HR, Hoffman J, 2002. The silent sinus
syndrome: clinical and radiograpics findings. AJR; 178:503-506.
18. Sanchez-Dalmau BF, Pascual L, Lao X, Maiz J, 2007. Sinus syndrome, an uncommon
cause of enoftalmus. Arch Soc Esp Oftalmol; 82:125-8.
19. Facon F, Eloy P, Brasseur P, Collet S, Bertrand B, 2006. The silent sinus syndrome.
Eur Arch Otorhinolaryngol; 263:567-571.
20. Solanki SM, Munde YW, Kulkarni VM, Thind SS, 2013. Silent sinus syndrome. Med
J DY Patil Univ; 6(2):194-196.
21. Gaudino S, Di Lella GM, Piludu E, Martucci M, Schiarelli C, Africa E, dkk., 2013.
CT and MRI diagnosis of silent sinus syndrome. Radiol med; 118: 265-275.
22. Lee JT, Kennedy DW, 2006. Endoscopic sinus surgery. Dalam Bailey BJ., Head &
Neck Surgery – Otolaryngololy. 4th ed Lippincott Williams & Wilkins, New York.
Hal: 460-475.
22
23. Thomas RD, Graham SM, Carter KD, Nerad JA, 2003. Management of the orbital
floor in silent sinus syndrome. American Journal of Rhinology;7: 97-100.
24. Korn BS, Weisman RA, Kikkawa DO, Mafee M, 2009. Multidisciplinary approach to
management of silent sinus syndrome. The Laryngoscope; 119(S1): 180.
25. Behbehani R, Vacareza N, Bilyk JR, Rubin PAD, Pribitkin EA, 2006. Simultaneous
endoscopic antrostomy and orbital reconstruction in silent sinus syndrome. Orbit;
25:97-101.
23

Anda mungkin juga menyukai