Anda di halaman 1dari 54

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit,

utamanya penyakit infeksi (Notoatmodjo S, 2004). Salah satu penyakit infeksi

pada balita adalah diare dan ISPA. Diare lebih dominan menyerang balita

karena daya tahan tubuh balita yang masih lemah sehingga balita sangat

rentan terhadap penyebaran virus penyebab diare. Menurut Parashar tahun

2007, di dunia terdapat 6 juta balita yang meninggal tiap tahunnya karena

penyakit diare. Dimana sebagian kematian tersebut terjadi di negara

berkembang termasuk Indonesia (Depkes RI, 2007). Kejadian diare masih

cukup tinggi, tiap anak dapat menderita penyakit diare 2 ±8 kali pertahun

dengan angka kematian 5 per 1000 balita pertahun. Penyakit diare dilaporkan

sebagai penyebab kematian kedua tertinggi pada anak bahkan lebih tinggi

dibanding dengan AIDS, malaria dan campak (UNICEF, 2009).

Hal yang bisa menyebabkan balita mudah terserang penyakit diare

adalah perilaku hidup masyarakat yang kurang baik dan keadaan lingkungan

yang buruk. Diare dapat berakibat fatal apabila tidak ditangani secara serius

karena tubuh balita sebagian besar terdiri dari air, sehingga bila terjadi diare
2

sangat mudah terkena dehidrasi (Depkes, 2010). Penyakit diare merupakan

penyakit yang berbasis lingkungan. Beberapa faktor yang berkaitan dengan

kejadian diare yaitu tidak memadainya penyediaan air bersih, air tercemar

oleh tinja, kekurangan sarana kebersihan (pembuangan tinja yang tidak

higienis), kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek, penyiapan

makanan kurang matang dan penyimpanan makanan masak pada suhu kamar

yang tidak semestinya (Sander, 2005).

Di Indonesia, penyakit diare menempati urutan teratas sebagai

penyebab kematian, terutama pada bayi usia 29 hari ±12 bulan dan usia 12±59

bulan (Riskesdas, 2007). Penyebab diare yang terbanyak adalah infeksi yaitu

disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit dari air yang terkontaminasi (WHO,

2010). Di negara berkembang termasuk Indonesia anak-anak menderita diare

lebih dari 12 kali per tahun dan hal ini yang menjadi penyebab kematian

sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian (Depkes, 2010). Penyakit

diare di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

utama, hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan diare yang

menimbulkan banyak kematian terutama pada balita. Angka kesakitan diare di

Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat, pada tahun 2006 jumlah

kasus diare sebanyak 10.980 penderita dengan jumlah kematian 277 (CFR

2,52%). Secara keseluruhan diperkirakan angka kejadian diare pada balita

berkisar antara 40 juta setahun dengan kematian sebanyak 200.000 sampai

dengan 400.000 balita.


3

Susu formula merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri,

sehingga kontaminasi mudah terjadi terutama jika persiapan dan pemberian

kurang memperhatikan segi antiseptik. Pemberian susu formula yang tidak

baik dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada bayi. Penyakit diare

masih menjadi penyebab kematian balita (bayi dibawah lima tahun) terbesar di

dunia yaitu nomor dua pada balita dan nomor tiga bagi bayi serta nomor lima

bagi semua umur. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan

diketahui bahwa banyak faktor yang memengaruhi kejadian diare. Faktor

penyebab diare tidak berdiri sendiri akan tetapi saling terkait dan sangat

kompleks. Susu formula sebagai salah satu makanan pengganti ASI pada anak

yang penggunaannya semakin meningkat. Adanya cara pemberian susu

formula yang benar merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan

angka kejadian diare pada anak akibat minum susu formula.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Pemberian

Susu Formula Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Puskesmas Waru

Kabupaten Sidoarjo.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap pemberian

susu formula dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Waru Kabupaten

Sidoarjo?
4

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan Ibu terhadap pemberian susu

formula dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Waru Kabupaten

Sidoarjo.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui adanya hubungan tingkat pengetahuan Ibu terhadap

pemberian susu formula dengan kejadian diare pada balita di

Puskesmas Waru Kabupaten Sidoarjo berdasarkan dengan nilai uji

statistik.

b. Mengetahui besar keterkaitan hubungan tingkat pengetahuan Ibu

terhadap pemberian susu formula dengan kejadian diare pada balita di

Puskesmas Waru Kabupaten Sidoarjo berdasarkan dengan nilai uji

statistik.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi instansi terkait

Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan tentang hubungan

tingkat pengetahuan ibu terhadap pemberian susu formula dengan kejadian


5

diare pada balita di Puskesmas Waru Kabupaten Sidoarjo sehingga dapat

meningkatkan penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat luas.

2. Bagi responden

Menambah pengetahuan tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu

terhadap pemberian susu formula dengan kejadian diare pada balita di

Puskesmas Waru Kabupaten Sidoarjo sehingga masyarakat dapat lebih

meningkatkan sanitasi lingkungannya.

3. Bagi peneliti lain

Sebagai data dasar bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti

tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap pemberian susu

formula dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Waru Kabupaten

Sidoarjo

4. Bagi peneliti

Menambah pengetahuan dan memberi pengalaman langsung

dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimiliki tentang hubungan

tingkat pengetahuan ibu terhadap pemberian susu formula dengan kejadian

diare pada balita di Puskesmas Waru Kabupaten Sidoarjo


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diare

1. Definisi Diare

Menurut Widjaja (2002), diare diartikan sebagai buang air encer lebih

dari empat kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak. Sedangkan

menurut Mansjoer A (2003), diare adalah buang air besar dengan konsistensi

encer atau cair dan lebih dari 3 kali sehari. Diare menurut Ngastiyah (2005)

adalah keadaan frekwensi buang air besar lebih dari 4 kali sehari pada bayi

dan lebih dari 3 kali sehari pada anak, konsistensi faeces encer, dapat

berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja.

Diare adalah penyakit yang ditandai bertambahnya frekuensi defekasi lebih

dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi

cair), dengan atau tanpa darah atau lendir (Suraatmaja, 2007).

Menurut World Health Organization (WHO, 2008), diare adalah buang

air besar dengan konsistensi lembek sampai cair tiga kali atau lebih dalam

sehari atau lebih dari normal yang biasanya diikuti gejala infeksi

gastrointestinal. Sedangkan menurut Depkes RI (2011) diare adalah suatu

kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau
7

cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya tiga

kali atau lebih) dalam satu hari.

2. Etiologi Diare

Depkes RI (2011) mengelompokkan penyebab diare secara klinis

dalam 6 golongan besar yaitu infeksi (disebabkan oleh bakteri, virus, atau

infestasi parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-

sebab lainnya. Penyebab yang sering ditemukan di lapangan ataupun secara

klinis adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. Di negara

berkembang seperti halnya Indonesia, patogen penting penyebab diare akut

pada anak antara lain Rotavirus, Escherichia coli, enterotoksigenik, Shigella,

Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium

Menurut Widjaja (2002), diare disebabkan oleh faktor infeksi,

malabsorpsi (gangguan penyerapan zat gizi), makanan dan faktor psikologis.

a. Faktor infeksi

Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada

anak. Jenis-jenis infeksi yang umumnya menyerang antara lain:

1) Infeksi oleh bakteri : Escherichia coli, Salmonella thyposa, Vibrio

cholerae (kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan

patogenik seperti pseudomonas.

2) Infeksi basil (disentri),

3) Infeksi virus rotavirus,

4) Infeksi parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides),


8

5) Infeksi jamur (Candida albicans),

6) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang

tenggorokan,

7) Keracunan makanan.

b. Faktor malabsorpsi

Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan

lemak. Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis

dalam susu formula dapat menyebabkan diare.Gejalanya berupa diare berat,

tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi

lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida.

Triglyserida, dengan bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi

micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi

kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap

dengan baik.

c. Faktor makanan

Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi,

beracun, terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang matang.

Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada

anak-anak balita.

d. Faktor psikologis

Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan

diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada

anak yang lebih besar.


9

Penyebab penyakit diare bermacam-macam diantaranya infeksi,

malabsorbsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi, intoksikasi dan lain-lain.

Berdasarkan etiologinya diare dapat dibagi beberapa faktor, yaitu: (Cahyadi,

2008)

1) Faktor infeksi, bisa berupa infeksi enteral (infeksi pada GIT) dengan

penyebab: bakteri, virus dan parasit dan infeksi parenteral (infeksi diluar GIT)

2) Faktor malabsorbsi: Karbohidrat, lemak dan protein

3) Faktor makanan: basi atau beracun dan alergi

4) Faktor psikologis: rasa takut dan cemas

Kejadian diare juga dipengaruhi oleh banyak faktor lain diantaranya umur

penderita, status gizi, susunan makanan, ser09(di)-111 a ebiasaan.


11

didalamnya diare prolong yang kejadian diarenya antara 8 -14 hari, sedangkan

diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.

Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari diare akut,

diare persisten dan diare kronis. (Asnil et al, 2003).

a. Diare Akut

Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu-waktu, berlangsung kurang

dari 14 hari, dengan pengeluaran tinja lunak atau cair yang dapat atau

tanpa disertai lendir dan darah

b. Diare Persisten

Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan

kelanjutan dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.

c. Diare kronis

Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan

penyebab non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau

gangguan metabolisme yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30

hari.

Menurut Suraatmaja (2007), jenis diare dibagi menjadi dua yaitu:

a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak

yang sebelumnya sehat.

b. Diare kronik, yaitu diare yang berlanjut sampai dua minggu atau lebih

dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa

diare tersebut.
12

4. Gejala Diare

Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita yaitu:

a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi.

b. Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.

c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu.

d. Anusnya lecet.

e. Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang.

f. Muntah sebelum atau sesudah diare.

g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).

h. Dehidrasi.

Dehidrasi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi sedang

dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang

5%. Jika cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada

dehidrasi berat, volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah

cepat tetapi melemah, tekanan darah merendah, penderita lemah, k


14

3. Diare akibat parasit, seperti akibat Shigella, juga menimbulkan diare

dengan tinja yang mengandung lendir dan darah.

5. Epidemiologi Penyakit Diare

a. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare


20

e. Penggunaan jamban yang benar.

f. Pembuangan kotoran yang tepat termasuk tinja anak-anak dan bayi yang

benar.

g. Memberikan imunisasi campak.

B. Pengetahuan

1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,

telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan

sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi intensitas

perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan

seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera

penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2005)

2. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau

tingkatan yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat

pengetahuan :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatus (Notoatmodjo, 2010).


21

Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling

rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang

dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan,

menyatakan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut,

tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat

menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut

(Notoatmodjo, 2010).

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan apabila seseorang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang telah

diketahui tersebut pada situasi yang lain (Notoatmodjo, 2010).

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan

memisahkan, dan mencari hubungan antara komponen-komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa

pengetahuan seseorang telah sampai pada tingkat analisis adalah apabila

orang tersebut telah dapat membedakan, atau mengelompokan, membuat

diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut

(Notoatmodjo, 2010).

e. Sintesis (synthesis)
22

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan seseorang untuk

merangkum atau meletakan dalam satu hubungan yang logis dari

komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain

sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

formulasi-formulasi yang telah ada (Notoatmodjo 2010).

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini

dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan

sendiri. (Notoatmodjo, 2010)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan

a. Faktor Internal

1. Pendidikan

Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang

menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.

Menurut YB Mantra yang dikutip Notoatmodjo (2003), pendidikan

dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan

pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta

dalam pembangunan (Nursalam, 2003) pada umumnya makin tinggi

pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi.

2. Pekerjaan
23

Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan adalha

kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang

kehidupannya dan kehidupan keluarga.

3. Umur

Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah umur

individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun.

Sedangkan menurut Hurlock (1998) semakin cukup umur, tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam dalam

berfikir dan bekerja.

b. Faktor Eksternal

1. Faktor lingkungan

Menurut Ann.Mariner yang dikutip dari Nursalam (2003) lingkungan

merupakan suatu kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya

yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau

kelompok.

2. Sosial Budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi

dari sikap dalam menerima informasi. (Dewi & Wawan, 2010)

C. Susu Formula

1. Definisi Susu Formula

Raspy (2007) berpendapat bahwa susu formula adalah cairan atau

bubuk dengan formula tertentu yang diberikan pada bayi dan anak-anak
24

yang berfungsi sebagai pengganti ASI. Susu formula merupakan susu

buatan pabrik yang telah diformulasi menyerupai ASI, walau ASI tetap

yang terbaik. Susu formula dibuat sesuai golongan usia bayi, mulai dari

bayi yang baru lahir (new born) usia 0-6 bulan, 6-12 bulan, dan usia batita

1-3 tahun, usia prasekolah 3-5 tahun, serta usia sekolah lima tahun ke atas

(Sutomo dkk, 2010).

2. Jenis Susu Formula

Di Indonesia telah beredar berbagai macam susu formula dengan berbagai

merk dagang. Kurniasih (2008) membagi susu formula menjadi dua, yaitu:

1. Susu formula menurut bahan dasar

Susu formula ini dapat dibedakan menjadi :

a. Susu formula berbahan dasar sapi

Umumnya susu formula untuk bayi yang beredar di pasaran berasal

dari susu sapi. Susu sapi adalah salah satu susu pilihan untuk bayi

yang tidak memiliki riwayat alergi dalam keluarga.

b. Susu formula berbahan dasar soya atau kedelai

Susu yang berasal dari sari kedelai ini diperuntukkan bagi bayi yang

memiliki alergi terhadap protein susu sapi tetapi tidak alergi terhadap

protein soya. Fungsinya sama dengan susu sapi yang protein susunya

telah terhidrolisis dengan sempurna sehingga dapat digunakan

sebagai pencegahan alergi tersier.

c. Susu formula hidrolisa atau elemental


25

Susu formula jenis ini kandungan lemaknya sudah diperkecil. Selain

itu kandungan protein kaseinnya sudah dipecah menjadi asam amino.

Biasanya pada kemasan tertuliskan HA atau hipoalergenic.

d. Susu formula khusus

Susu formula khusus ini disediaka bagi bayi yang memiliki problem

dengan saluran pencernaannya. Pemberian susu formula khusus ini

biasanya atas pengawasan dan petunjuk dokter.

e. Susu formula rendah laktosa

Susu formula rendah laktosa adalah susu sapi yang bebas dari

kandungan laktosa (low lactose atau free lactose). Sebagai

penggantinya, susu formula jenis ini akan menambahkan kandungan

gula jagung. Susu ini cocok untuk bayi yang tidak mampu mencerna

laktosa (intoleransi laktosa) karena gula darahnya tidak memilii

enzim untuk mengolah laktosa.

2. Susu formula menurut usia bayi

Menurut Kurniasih (2008), susu formula ini dibagi sebagai berikut:

a. Susu formula adaptasi

Susu formula ini khusus untuk bayi usia dibawah 6 bulan dan

disarankan mempunyai kandungan sebagai berikut:

1. Lemak, kadar lemak yang terkandung antara 2,7-41g setiap 100ml

atau, dari jumlah ini 3-6% kandungan energinya harus terdiri dari

asam linoleik.
26

2. Protein, kadarnya berkisar antara 1,2-1,9g/100ml dan komposisi

asam aminonya harus identik dengan protein dalam ASI.

3. Karbohidrat, kandungannya antara 5,4-8,2g/100ml dan dianjurkan

terdiri atas laktosa dan glukosa.

4. Mineral, terdiri dari Na, K, Ca, P, Mg, dan Cl dengan komposisi

sekitar 0,25-0,34g/100ml.

5. Vitamin, harus ditambahkan pada pembuatan susu formula.

6. Energi, harus disesuaikan dengan ASI yang jumlahnya sekitar 72

Kkal

b. Susu formula awal lengkap

Susu ini memiliki susunan gizi yang lengkap untuk BBL sampai usia 6

bulan. Walaupun demikian, susu ini sedikit berbeda dengan dari

formula adptasi. Susu formula ini mempunyai kadar protein tinggi,

tidak disesuaikan dengan kandungan dalam ASI dan juga kandungan

mineralnya lebih tinggi. Keuntungan susu formula ini adalah harganya

yang jauh lebih murah daripada susu formula adaptasi.

c. Formula lanjutan

Susu formula ini khusus untuk bayi usia 6 bulan lebih karena

mengandung protein yang lebih tinggi dari susu adaptasi maupun

awal lengkap. Kadar mineral, karbohidrat, lemak dan energinya juga

lebih tinggi karena untuk mengimbangi kebutuhan tumbuh kembang

anak.
27

3. Kandungan Susu Formula

1. AA (arachidonic acid) atau disebut juga AHA atau ARA. Ini

merupakan unsur yang berperan penting dalam pembentukan jaringan

otak sehingga sangat kondusif bagi perkembangan otak bayi.

Kandungan susu formula ini juga terdapat pada ASI dan sering disebut

sebagai zat yang membantu kecerdasan bayi. Selain membantu

kecerdasan, AA / AHA / ARA juga dapat merangsang perkembangan

syaraf mata yang berguna untuk indera penglihatan bayi.

2. DHA (docosahexaenoic acid). Hampir sama seperti AA / AHA / ARA,

maka DHA juga berfungsi membantu perkembangan otak dan indera

penglihatan. Badan dunia World Health Organization (WHO) dan

Food and Agriculture Organization (FAO) merekomendasikan

kandungan susu formula AA dan DHA terutama untuk bayi yang lahir

prematur.

3. LA (linoleic acid). LA adalah asam lemak yang sangat berguna untuk

perkembangan otak dan mental bayi. Fungsi LA sejalan dengan

kandungan susu formula sebelumnya yaitu AA dan DHA.

4. FOS (fructo oligo sakarida) dan GOS (galakto oligo sakarida). Fungsi

FOS dan GOS adalah untuk meningkatkan kekebalan tubuh,


29

muntah, konstipasi dan gangguan kulit. Setiap bayi memiliki

penerimaan yang berbeda untuk setiap merk susu formula (Suririnah,

2008).

b. Pembuatan

Langkah pembuatan susu formula adalah :

1. Mencuci tangan dengan bersih.

2. Mencuci dan mensterilkan botol susu dan dot hingga bersih dengan

menggunakan sabun untuk mencegah kontaminasi dengan

lingkungan.

3. Memilih susu yang sesuai dengan anak.

4. Mengikuti petunjuk pembuatan dalam kemasan susu formula.

5. Mengatur suhu air dengan mencampur air dingin dengan air panas

dengan takaran sesuai dengan petunjuk.

6. Menggunakan sendok takar yang disediakan agar kekentalan sesuai.

7. Menghangatkan susu dengan merendam botol menggunakan air

hangat.

8. Tidak mencampur berbagai merk susu.

9. Segera tutup kemasan dengan rapat untuk menghindari paparan

udara luar terlalu lama. Simpanlah susu di tempat yang kering dan

bersih, jangan di tempat yang lembab, karena selain disukai oleh

bakteri juga mudah disergap oleh semut.

10. Susu yang telah dibuat harus segera diminum dan dihabiskan untuk

menghindari pencemaran dalam waktu 2 jam.


30

11. Tidak mencampur susu sisa pembuatan yang lalu dengan susu yang

baru dibuat.

12. Selalu perhatikan batas kadaluwarsa kemasan susu formula untuk

menghindari keracunan dan kontaminasi.

c. Sterilisasi

Terdapat 3 cara dalam pemberian susu formula yaitu :

1. Menggunakan Tablet atau Cairan Kimia

Setelah botol dan dot dibersihkan dan dicuci bersih, kemudian

rendam dalam air yang telah diberi cairan atau tablet kimia.

Singkirkan gelembung. Rendam selama 1 jam. Cuci tangan sampai

bersih sebelum mengangkat botol dan dot. Bilas dengan air bersih

dingin dan hangat.

2. Menggunakan Sterilisasi Listrik

Setelah botol dicuci bersih, dimasukan kedalam alat sterilisasi,

tunggu sampai 8-12 menit. Tunggu sampai dingin sebelum

digunakan.

3. Merebus Botol

Setelah dicuci bersih, rebus botol selama 10 menit dan dot 4 menit.

Kemudian simpan botol dan dot dalam wadah tertutup, sebelum

digunakan kembali.

d. Frekuensi dan Jumlah Pemberian


31

Susu formula diberikan sebanyak 60 ml per kg berat badan per hari

pada minggu pertama dan 150 ml per kg berat badan per hari

setelahnya. Frekuensi pemberian setiap 3 ±4 jam atau bila bayi lapar.

e. Pemberian

Cara pemberian susu formula adalah :

1. Mengocok susu sebelum diberikan.

2. Memeriksa suhu susu formula.

3. Menyentuh mulut bayi dengan dot, dan secara refleks bayi akan

menyedot susu.

4. Bila dot rata dan susu tidak tersedot, keluarkan dot dan masukkan

kembail.

5. Dot dipegang dengan posisi miring sampai leher botol berisi susu.

6. Tidak memaksa bayi menghabiskan susu.

7. Menyendawakan bayi setelah pemberian susu


32

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

B
33

mikroorganisme, sanitasi dan higienitas. Sedangkan faktor eksternal merupakan

faktor luar yang juga memiliki peranan dalam proses terjadinya diare, meliputi:

usia, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan pemberian susu formula. Pada

penelitian ini, variabel yang akan diteliti adalah hubungan Pemberian susu

formula terhadap pengetahuan Ibu dengan kejadian diare pada balita

B. Hipotesa

H0 = Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terhadap pemberian

susu formula dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Waru Kabupaten

Sidoarjo

H1 = Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terhadap pemberian susu

formula dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Waru Kabupaten

Sidoarjo
34

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Dari segi penelitian ini termasuk penelitian cross sectional yaitu

observasi pada suatu obyek yang diukur hanya sekali saja dan pengukuran

variabel subyek dilakukan pada saat pemeriksaan dengan menggunakan

kuesioner. Sementara dari segi analisa penelitian ini merupakan penelitian

kuantitatif.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah sejumlah besar subyek yang memunyai karakteristik

tertentu (Sastroasmoro dkk, 2011). Populasi pada penelitian ini adalah ibu

yang memiliki anak balita yang


40

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan pada sebagian ibu yang memiliki anak balita yang

berobat di wilayah Puskesmas Waru Kabupaten Sidoarjo. Data dari penelitian

didapat dari data primer dengan menggunakan kuesioner. Jumlah sampel pada

penelitian ini sebesar 73 responden. Hasil penelitian akan dianalisis secara Rank

Spearman.

B. Karakteristik Responden

1. Karakteristik usia responden

Tabel V.1 Karakteristik usia responden di Puskesmas Waru Kabupaten


Sidoarjo Tahun 2013

Usia Ibu Jumlah Persentase (%)

13-20 tahun (remaja) 1 1,4

21-35 tahun (dewasa awal) 46 63

36-45 tahun (dewasa tengah) 24 32,9

46-60 tahun (dewasa akhir) 2 2,7

Jumlah 73 100

Sumber: Data primer


41

Berdasarkan tabel V.1 menunjukkan bahwa sebagian besar (63%) ibu

berusia antara 21-35 tahun (dewasa awal), sisanya sebesar 32,9% berusia

antara 36-45 tahun (dewasa tengah) dan sebesar 2,7% berusia antara 46-60

tahun (dewasa akhir) serta sebagian kecil (1,4%) ibu berusia 13-20 tahun

(remaja).

2. Karakteristik agama responden

Tabel V.2 Karakteristik agama responden di Puskesmas Waru Kabupaten


Sidoarjo Tahun 2013

Agama Ibu Jumlah Persentase (%)

Islam 70 95,9

Kristen 3 4,1

Katolik 0 0

Hindu 0 0

Budha 0 0

Jumlah 73 100

Sumber: Data primer

Berdasarkan tabel V.2 menunjukkan bahwa dari 73 responden hampir

seluruhnya (95,9%) sebesar 70 responden ibu beragama Islam dan sebagian

kecil (4,1%) sebesar 3 responden ibu beragama Kristen. Dan tidak

didapatkan responden yang beragama Katolik, Hindu, ataupun Budha.


42

3. Karakteristik pekerjaan responden

Tabel V.3 Karakteristik pekerjaan responden di Puskesmas Waru Kabupaten


Sidoarjo Tahun 2013

Pekerjaan Ibu Jumlah Persentase (%)

Ibu Rumah Tangga 55 75,3

Swasta 15 20,5

PNS 1 1,4

Wiraswasta 2 2,7

Jumlah 73 100

Sumber: Data primer

Berdasarkan tabel V.3 menunjukkan bahwa sebagian besar (75,3%)

ibu tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga dan sebagian kecil (1,4%)

ibu bekerja PNS.

4. Karakteristik pendidikan responden

Tabel V.4 Karakteristik pendidikan responden di Puskesmas Waru


Kabupaten Sidoarjo Tahun 2013

Pendidikan Ibu Jumlah Persentase (%)

Dasar (SD-SMP) 24 32,9

Menengah (SMA) 39 53,4

Tinggi (Akademi-PT) 10 13,7

Jumlah 73 100

Sumber: Data primer


43

Berdasarkan tabel V.4 menunjukkan bahwa sebagian besar (53,4%)

ibu mempunyai pendidikan menengah (SMA) dan sebagian kecil (13,7%) ibu

mempunyai pendidikan tinggi (Akademi-PT).

5. Karakteristik usia anak

Tabel V.5 Karakteristik usia anak balita di Puskesmas Waru Kabupaten


Sidoarjo Tahun 2013

Usia Anak Balita Jumlah Persentase (%)

0 - 1 tahun 8 11

> 1 - 2 tahun 23 31,5

> 2 - 3 tahun 13 17,8

> 3 - 4 tahun 18 24,7

> 4 - 5 tahun 11 15,1

Jumlah 73 100

Sumber: Data primer

Berdasarkan tabel V.5 menunjukkan bahwa hampir setengah (31,5%)

anak balita berusia > 1 - 2 tahun, sisanya sebesar 21,7% anak balita berusia >

3 - 4 tahun, sebesar 17,8% anak balita berusia > 2 - 3 tahun, dan sebesar 15,1

% anak balita berusia > 4 - 5 tahun, serta sebagian kecil (11%) anak balita

berusia 0 - 1 tahun.
44

6. Karakteristik tingkat pengetahuan terhadap pemberian susu formula

Tabel V.6 Karakteristik tingkat pengetahuan terhadap pemberian susu


formula responden di Puskesmas Waru Kabupaten Sidoarjo
Tahun 2013

Tingkat Pengetahuan Jumlah Persentase (%)

Kurang 33 45,2

Cukup 31 42,5

Baik 9 12,3

Jumlah 73 100

Sumber: Data primer

Berdasarkan tabel V.6 menunjukkan bahwa hampir setengah (45,2%)

ibu memiliki tingkat pengetahuan kurang, dan sebagian kecil (12,3%) ibu

memiliki tingkat pengetahuan baik.

7. Karakteristik kejadian diare responden

Tabel V.7 Karakteristik kejadian diare responden di Puskesmas Waru


Kabupaten Sidoarjo Tahun 2013

Kejadian Diare Jumlah Persentase (%)

Diare Akut 16 21,9

Diare Persisten 33 45,2

Diare Kronis 24 32,9

Jumlah 96 100

Sumber: Data primer


45

Berdasarkan tabel V.7 menunjukkan bahwa hampir setengah (45,2%)

anak balita mengalami diare persisten dan sebagian kecil (21,9%) anak balita

mengalami diare akut.

C. Analisis Data

Hubungan tingkat pengetahuan tentang pemberian susu formula dengan


kejadian diare

Tabel V.8 Tabulasi silang hubungan tingkat pengetahuan tentang pemberian


susu formula dengan kejadian diare di Puskesmas Waru
Kabupaten Sidoarjo Tahun 2013

Tingkat Kejadian Diare


Pengetahuan
Akut Persisten Kronis Jumlah

n (%) n (%) n (%) n (%)

Kurang 3 (9,1%) 9 (27,3%) 21 (63,6%) 33 (100%)

Cukup 6 (19,3%) 23 (74,2) 2 (6,5%) 31 (100%)

Baik 7 (77,8%) 1 (11,1%) 1 (11,1%) 9 (100%)

Jumlah 16 (21,9%) 33 (45,2%) 24 (32,9%) 73 (100%)

r = - 0,590 P = 0,000

Berdasarkan hasil tabulasi silang tabel V.8 dapat diketahui bahwa ibu

dengan tingkat pengetahuan kurang sebagian besar (63,6%) anak balita

mengalami diare kronis. Sedangkan ibu dengan tingkat pengetahuan cukup

sebagian besar (74,2%) anak balita mengalami diare persisten. Dan ibu
46

dengan tingkat pengetahuan baik sebagian besar (77,8%) anak balita

mengalami diare akut.

Hasil uji Rank Spearman didapatkan nilai probabilitas (P) = 0,000

GLPDQD 3   Į    VHKLQJJD +R GLW

pengetahuan tentang pemberian susu formula dengan kejadian diare di

Puskesmas Waru Kabupaten Sidoarjo dan didapatkan nilai koefisien korelasi

(r) = -0,590 (interval r antara 0,51-0,75 adalah korelasi kuat) dengan nilai

negatif maka dinyatakan ada korelasi atau hubungan berbanding terbalik yang

kuat antara tingkat pengetahuan ibu tentang pemberian susu formula dengan

kejadian diare. Dapat disimplkan semakin baik tingkat pengetahuan ibu

semakin ringan derajat diare pada anak balita.


47

BAB VI

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian karakteristik responden mayoritas responden

berumur 21-35 tahun (dewasa awal) sebanyak 63%, sebagian besar ibu tidak

bekerja atau sebagai ibu rumah tangga sebanyak 75,3%, sebagian besar ibu

berpendidikan menengah (SMA) sebanyak 53,4% dan hampir setengah usia balita

antara > 1 - 2 tahun sebanyak 31,5%.

A. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Tingkat pengetahuan terhadap pemberian susu formula

Hasil penelitian pada tabel V.6 menunjukkan bahwa hampir

setengah (45,2%) ibu memiliki tingkat pengetahuan tentang pemberian

susu formula kurang dan sebagian kecil (12,3%) ibu memiliki tingkat

pengetahuan baik tentang pemberian susu formula.

Masih rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang pemberian susu

formula dikarenakan pendidikan ibu sebagian besar berpendidikan

menengah SMA sebanyak 53,4% dan hampir setengah berpendidikan

dasar (SD-SMP) sebanyak 32,9%.


48

Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang.

Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai

pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat

pendidikan lebih rendah (Fitriani, 2011).

Apabila tingkat pendidikan seseorang itu tinggi, maka

kemungkinan penyerapan dan penerimaan tentang informasi akan lebih

mudah jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah. Dengan

pendidikan yang tinggi maka seseorang akan cenderung untuk

mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa.

Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan

yang di dapat. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek juga

mengandung dua aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang

akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu.

Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan

menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut sehingga

berdampak positif terhadap perilakunya.

2. Kejadian Diare

Pada penelitian ini menunjukkan hampir setengah anak balita

mengalami diare persisten sebanyak 45,2% dan sebagian kecil anak balita

mengalami diare akut sebanyak 21,9%. Hal ini menggambarkan masih

banyak anak balita yang mengalami diare dengan klasifikasi waktu yang

cukup lama (persisten).


49

Menurut (Depkes RI, 2005) kuman penyebab diare biasanya

menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman

yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.

Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik

dan meningkatkan risiko terjadinya diare, yaitu: tidak memberikan ASI

secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu,

menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum

yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar atau sesudah

membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak

membuang tinja dengan benar. Penyakit diare merupakan salah satu

penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana

air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi

dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena

tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat

pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan

kejadian diare dengan derajat keparahan yang berat.

Perilaku ibu dalam penatalaksanaan pada anak diare di rumah

masih kurang. Anak balita yang menderita diare tanpa tanda-tanda

dehidrasi memerlukan tambahan cairan dan garam untuk mengganti

kehilangan cairan dan elektrolit akibat diare. Jika ini tidak diberikan,

tanda-tanda dehidrasi dapat terjadi dan meningkatkan derajat keparahan

diare, dalam hal ini anak balita mengalami diare kronis. Ibu juga harus
50

tahu apa tanda-tanda yang menunjukkan bahwa anak harus dibawa ke

petugas kesehatan

3. Hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang pemberian susu formula

dengan kejadian diare

Hasil penelitian pada tabel V.8 menunjukkan ibu dengan tingkat

pengetahuan kurang sebagian besar (63,6%) anak balita mengalami diare

kronis. Sedangkan ibu dengan tingkat pengetahuan cukup sebagian besar

(74,2%) anak balita mengalami diare persisten. Dan ibu dengan tingkat

pengetahuan baik sebagian besar (77,8%) anak balita mengalami diare

akut.

Hasil uji Rank Spearman didapatkan nilai probabilitas (P) = 0,000

GLPDQD3  Į   VHKLQJJD+RGLW

pengetahuan tentang pemberian susu formula dengan kejadian diare di

Puskesmas Waru Kabupaten Sidoarjo dan didapatkan nilai koefisien

korelasi (r) = -0,590 (interval r antara 0,51-0,75 adalah korelasi kuat)

dengan nilai negatif maka dinyatakan ada korelasi atau hubungan

berbanding terbalik yang kuat antara tingkat pengetahuan ibu tentang

pemberian susu formula dengan kejadian diare. Dapat disimpulkan

semakin baik tingkat pengetahuan ibu semakin ringan derajat diare pada

anak balita.

Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa pengetahuan adalah

kemampuan seseorang mengingat fakta, symbol, prosedur tehnik dan teori


51

dalam diri sendiri. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka

diharapkan semakin mudah atau terbuka dalam menerima, memilih dan

beradaptasi dengan segala informasi dan sesuatu yang baru.

Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa pengetahuan secara

langsung akan mempengaruhi seseorang dalam melakukan usaha

peningkatan kesehatan anak terhadap derajat keparahan terjadinya diare.

Responden yang pengetahuannya baik dan sedang akan cenderung

merubah perilaku yang lebih baik dengan pengetahuan yang dimiliki,

sedangkan responden tingkat pengetahuan rendah akan cenderung kurang

memperhatikan perilaku yang benar dalam merawat anak diare.

Susu formula sebagai salah satu makanan pengganti ASI pada anak

yang penggunaannya semakin meningkat. Adanya cara pemberian susu

formula yang salah dapat menyebabkan terjadinya diare pada anak balita.

Anda mungkin juga menyukai