Anda di halaman 1dari 70

CASE BASE DISCUSION

SEORANG LAKI-LAKI 59 TAHUN DENGAN KELUHAN LUKA TIDAK


SEMBUH-SEMBUH

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam

di RSUD Tugurejo Semarang

Disusun Oleh :

Ayu Setyaningrum Iswandari Safitri

01.210.6100

Pembimbing :

dr. Rahmi Dewi, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD TUGUREJO


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
HALAMAN PENGESAHAN

NAMA : AYU SETYANINGRUM ISWANDARI SAFITRI


NIM : 01.210.6100
FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS : UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
BIDANG PENDIDIKAN : ILMU PENYAKIT DALAM
PEMBIMBING :DR. RAHMI DEWI, Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Juni 2014

Pembimbing

dr. Rahmi Dewi, Sp.PD


DAFTAR MASALAH

No Masalah aktif Tanggal Keterang No Masalah pasif Tanggal Keterangan


an
1
2
3
4
3
KASUS

 Identitas Pasien
Nama : Tn. Teguh S
Umur : 40 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Teknisi Listrik
Status : Menikah
No RM : 07.53.92
Tanggal masuk : 14 Januari 2014
Pasien bangsal : Mawar
 Anamnesis
Anamnesis dilakukan di bangsal Mawar tanggal 17 Januari 2014 pukul 15.00 WIB
secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien.
a) Keluhan utama: Sesak nafas
b) Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo dengan keluhan sesak nafas sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit pada tanggal 14 Januari 2014. Sifat sesak
hilang timbul atau kumat-kumatan. Pasien menyatakan sesak jika tidur
terlentang, sehingga untuk mengurangi sesak nafasnya pasien lebih sering tidur
dengan diganjal 2-3 bantal pada punggungnya, pasien juga mengeluhkan
setelah tidur sekitar ± 2 - 5 jam sering tiba-tiba terbangun dari tidur pada malam
hari karena sesak nafas. Pasien tidak merasa sesak nafas pada saat hawa dingin,
karena debu, bulu binatang, karena debu rumah, atau bau-bau yang menyengat,
dan juga tidak pernah mengeluh nafas disertai dengan bunyi mengi.
Sesak nafas yang dirasakan pasien akan bertambah intensitasnya jika
pasien melakukan aktivitas ringan seperti berjalan ke kamar mandi, dan terasa
membaik bila pasien istirahat dengan posisi tubuh setengah duduk, namun
pasien tidak mengeluhkan nyeri dada. Mual (-). Muntah (-). Nyeri ulu hati (-).

5 hari SMRS pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua kakinya yang
dirasakan makin memberat terutama bila digunakan untuk banyak berdiri
maupun aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Bengkak juga berkurang pada
pagi hari dan bertambah pada sore hari.

c) Keluhan tambahan :

Selain itu, pasien juga mengeluhkan batuk yang sudah dialami sejak 1
bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk tidak terlalu sering dirasakan oleh
pasien. Batuk terkadang disertai dengan dahak yang berwarna putih bening.
Pasien mengaku batuk tidak pernah disertai darah. Keringat dingin malam hari
disangkal, nafsu makan menurun juga disangkal. Batuk tersebut sembuh apabila
pasien minum obat yang dibeli diwarung.

Pasien juga mengeluh sesak nafas dialami oleh pasien sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak nafas dirasakan oleh pasien secara tiba-tiba.Sesak
dirasakan terus-menerus, dan semakin lama sesak dirasa semakin bertambah.
Sesak nafas dirasa sedikit berkurang saat pasien istirahat dan berbaring dengan
posisi setengah duduk. Sesak nafas yang dirasa pernah sampai membangunkan
tidur. Pasien tidak mengeluhkan nyeri dada.

Saat ini, kedua kaki pasien masih bengkak, bengkak tidak berhilang
dengan istirahat, sesak nafas sudah berkurang, batuk juga masih dirasakan oleh
pasien, pasien merasa demam, pusing nggliyeng terkadang masih dirasakan
oleh pasien, terutama saat pasien akan bangun dari tempat tidur. BAB dan BAK
lancar, warna kuning jernih.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat batuk lama : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat mondok di Rumah Sakit : disangkal
 Penyakit jantung : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Alergi obat : disangkal

e) Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat mondok di Rumah Sakit : disangkal
 Riwayat hipertensi : diakui (ibu pasien)
 Penyakit jantung : disangkal

f) Riwayat Pribadi:
 Kebiasaan olahraga : jarang
 Kebiasaan merokok : disangkal
 Kebiasaan minum jamu-jamuan : Diakui

g) Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien bekerja sebagai teknisi listrik.Biaya pengobatan menggunakan
JAMKESMAS.
Kesan ekonomi : kurang
waktu

2000 Agustus 2013


september
2013 Tanggal 14
November

Riwayat penyakit
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 17/1/2014
a) Keadaanumum :Lemah
b) Kesadaran :Compos mentis
c) Status gizi : BB: 85kg
TB: 171cm
BMI :29.1 kg/m2
Kesan : Overweight
d) Vital sign
 TD : 120/70 mmHg
 Nadi : 110 x/menit, ireguler, isi dan tegangan cukup
 RR : 24 x/menit frekuensi teratur
 Suhu : 37,70C (axiller)
e) Status Internus
1) Kepala :kesan mesocephal
2) Mata:
 konjungtiva anemis (-/-)
 sklera ikterik (-/-)
 pupil isokor3 mm
 reflek pupil (+/+)
3) Hidung:
 Napas cuping hidung (-)
 nyeri tekan (-)
 Sekret (-)
4) Mulut:
 sianosis (-)
 Pursed lips-breathing (-)
 lidah kotor (-)
5) Telinga:
 Sekret (-/-)
 Serumen (+/+)
6) Leher:
 Nyeri tekan trakea (-)
 Pembesaran limfonodi (-/-)
 Pembesaran tiroid (-/-)
 Pergerakan otot bantu pernafasan (-/-)
7) Thoraks
 Cor :
Inspeksi :ictus cordis tidak tampak
Palpasi :ictus cordis teraba di ICS V 2 cm ke lateral linea midclavicula
sinistra, kuat angkat (-), thrill (-), pulsus parasternal (-), pulsus
epigastrium (-), sternal lift (-)
Perkusi :kanan atas : ICS II linea parasternal dextra
kiri atas : ICS II linea parasternal sinistra
pinggang jantung: ICS III linea parasternal sinistra
kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
kiri bawah : ICS V2 cm ke arah medial linea midclavicula
sinistra
Kesan : Cardiomegali
Auskultasi :Suara jantung murni: Suara I > Suara II ireguler, HR 110x
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-)

Pulmo : Sinistra Dextra

Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada datar datar
Hemitorak Asimetris statis dinamis Asimetris statis dinamis
Warna Sama dengan kulit Sama dengan kulit
sekitar sekitar
2. Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem fremitus (+) kanan > kiri (+) kanan > kiri

3. Perkusi sonor, mulai redup sonor, batas relatif paru-


sesuai pada batas paru- hepar SIC IV
jantung
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler (+) Vesikuler (+)
Suara tambahan
 Wheezing (-) (-)
 Ronki kasar (-) (-)
 RBH (+) (+)
 Stridor (-) (-)

Belakang
1. Inspeksi Terdapat sikatrik
Warna Sama dengan kulit Sama dengan kulit
sekitar sekitar
2. Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem Fremitus (+) kanan > kiri (+) kanan > kiri

3. Perkusi Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang


paru paru

4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler (+) Vesikuler (+)
Suara tambahan
 Wheezing
(-) (-)
 Ronki kasar
(-) (-)
 RBH
(-) (-)
 Stridor (-) (-)

Tampak anterior paru Tampak posterior paru

Ronki Basah halus Ronki basah halus


8) Abdomen
Inspeksi:
 Bentuk : Cembung, Ascites, Venektasi, Caput Medusa (-), Spider Nevi
(–)
 Warna : sama dengan warna kulit sekitar
 Venektasi : (-)
Auskultasi: Bising usus 14 x/menit
Bruit Hepar (-)
Palpasi:
 Supel (+), Nyeri tekan (-)
 Undulasi (-)
 Defance muscular : (-)
 Hepar: tidak teraba
 Lien : tidak teraba
 Ginjal: normal, tidak teraba
Perkusi :
 Timphani tidak di seluruh kuadran.
 Pekak sisi (-) pekak alih (-)

9) Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- +/+
Sianosis -/- -/-
Eritema Palmaris
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal
5/5 5/5
5/5 5/5
 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium 15 Januari 2014
NO PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
Darah Rutin (WB
A.
EDTA)
1 Lekosit 6.48 3.8- 10.6
2 Eritrosit L 4.24 4.4-5.9
3 Hemoglobin L 12.00 13.2-15.5
4 Hematokrit L 34.70 40-52
5 MCV 81.80 80-100
6 MCH 28.30 32-36
7 MCHC 34.60 32-36
8 Trombosit 210 150-440
9 RDW 14.20 11.5-14.5
10 Eosinoil Absolute 0.07 0.045-0.44
11 Basofil Absolut 0.01 0-0.2
12 Netrofil Absolute 2.91 1.8-8
13 Limfosit Absolute 2.40 0.9-5.2
14 Monosite absolute H 1.09 0.16-1
15 Eosinofil L 1.10 2-4%
16 Basofil 0.20 0-1
17 Neutrofil L 44.90 50-70
18 Limfosit 37.00 25-40
19 Monosit H 16.80 2-8
B. Kimia klinik
1 Glukosa sewaktu H 147 < 125
2 Ureum 32.00 10.0 – 50.0
3 Creatinin L 0.57 0.60 – 0.90
4 Albumin L 3.1 3.2 – 5.2
5 Kalium 4.6 3.5-5.0
6 Natrium 135 135-145
7 Chlorida H 106 95.0 - 105
8 Kolestrol Total 112 <200
9 Trigliserida 68 <150
10 Asam Urat H 9.6 2.4-7.0
b. Rontgen Thoraks (7-11-2013)
Cor : Ukuran membesar
Batas kanan suram
Pulmo : Corakan vaskuler kasar
Bercak kesuraman kanan bawah
Cephalisasi (+)
Kesuraman mulai Tracheal bawah sampai paracardial kanan dan kesuraman para
hiler sampai paracardial kiri  cenderung vascular.
Diafragma : Baik
Sinus costophrenicus : Kiri Suram

Kesan : Cor : Cardiomegali, Batas Kanan Suram


Pulmo :Oedema Pulmo
Efusi Pleura Kiri
c. EKG (14 Januari 2014)

Frekuensi : 115x/menit

Ritme : ireguler, atrial

Gelombang P : gelombang p normal

PR Interval : sulit dinilai

Gelombang QRS : lebar<3kk

Segmen ST : ST elevasi (-), ST depresi (-)

Gelombang T : T tinggi (-)

Zona Transisi : zona transisi di V4

Axis : lead 1 (+) dan AVF (+)

Kesan  Atrial Fibrilasi Respon Cepat


 RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit pada tanggal 14 Januari 2014. Sifat sesak hilang timbul atau
kumat-kumatan. Pasien menyatakan sesak jika tidur terlentang, sehingga untuk
mengurangi sesak nafasnya pasien lebih sering tidur dengan diganjal 2-3 bantal pada
punggungnya, pasien juga mengeluhkan setelah tidur sekitar ± 2 - 5 jam sering tiba-tiba
terbangun dari tidur pada malam hari karena sesak nafas. Pasien tidak merasa sesak nafas
pada saat hawa dingin, karena debu, bulu binatang, karena debu rumah, atau bau-bau
yang menyengat, dan juga tidak pernah mengeluh nafas disertai dengan bunyi mengi.

Sesak nafas yang dirasakan pasien akan bertambah intensitasnya jika


pasien melakukan aktivitas ringan seperti berjalan ke kamar mandi, dan terasa membaik
bila pasien istirahat dengan posisi tubuh setengah duduk, namun pasien tidak
mengeluhkan nyeri dada. Mual (-). Muntah (-). Nyeri ulu hati (-).

5 hari SMRS pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua kakinya yang dirasakan
makin memberat terutama bila digunakan untuk banyak berdiri maupun aktivitas dan
berkurang dengan istirahat. Bengkak juga berkurang pada pagi hari dan bertambah pada
sore hari.

Selain itu, pasien juga mengeluhkan batuk yang sudah dialami sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Batuk tidak terlalu sering dirasakan oleh pasien. Batuk terkadang
disertai dengan dahak yang berwarna putih bening. Pasien mengaku batuk tidak pernah
disertai darah. Keringat dingin malam hari disangkal, nafsu makan menurun juga
disangkal. Batuk tersebut sembuh apabila pasien minum obat yang dibeli diwarung.

Pasien juga mengeluh sesak nafas dialami oleh pasien sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak nafas dirasakan oleh pasien secara tiba-tiba.Sesak dirasakan terus-
menerus, dan semakin lama sesak dirasa semakin bertambah. Sesak nafas dirasa sedikit
berkurang saat pasien istirahat dan berbaring dengan posisi setengah duduk. Sesak nafas
yang dirasa pernah sampai membangunkan tidur. Pasien tidak mengeluhkan nyeri dada.

Saat ini, kedua kaki pasien masih bengkak, bengkak tidak berhilang dengan istirahat,
sesak nafas sudah berkurang, batuk juga masih dirasakan oleh pasien, pasien merasa
demam, pusing nggliyeng terkadang masih dirasakan oleh pasien, terutama saat pasien
akan bangun dari tempat tidur. BAB dan BAK lancar, warna kuning jernih.
Pemeriksaan fisik didapatkan vital sign : tensi 120/70 mmHg, RR : 24 x/menit, nadi :
110x/menit, temperatur : 37.3oC, Ekstremitas inferior didapatkan Oedem (+), PF Cor:
didapatkan Cardiomegali, BJ I-II irregular, HR 110x, S1>S2. Pulmo: pergerakan asimetris
(kiri>), Stem fremitus kiri<kanan, Auskultasi didapatkan Ronki basah halus dikiri (+).

Pada pemeriksaan darah didapatkan penurunan dari Hb, eritrosit, hematokrit,


creatinin, chlorida dan albumin. Namun, terjadi peningkatan pada Asam urat.
 Daftar Abnormalitas
Anamnesis
1. Sesak nafas, bertambah berat jika melakukan aktivitas sehari-hari
2. Sesak nafas terus-menerus
3. Paroxysmal Nocturnal Dispneu
4. Ortopneu
5. Terbangun pada malam hari karena sesak
6. Bengkak pada kedua kaki
7. Lebih nyaman tidur dengan bantal tinggi
8. Lemas
9. Batuk lama
Pemeriksaan Fisik
10. Overweight
11. Dada asimetris = statis dinamis
12. Stem fremitus kanan > kiri
13. Ronki basah halus
14. Cardiomegali
15. S1>S2 irregular
16. Oedem ekstremitas inferior
Pemeriksaan Penunjang
17. Eritrosit L
18. Hemoglobin L
19. Hematokrit L
20. GDS H
21. Creatinin L
22. Albumin L
23. Chlorida H
24. Asam Urat H
25. Rontgen thorax : Cardiomegali, Oedem Pulmo, Efusi Pleura Sinistra
26. EKG: Atrial Fibrilasi
Analisis masalah

1. CHF NYHA III-IV: 1,2,3,4,5,6,7,8,9,11,12,13,14,15,16,25


2. Atrial Fibrilasi Respon Cepat: 26
3. Hiperurisemia: 24
4. Efusi Pelura : 25
Daftar Problem

1. CHF NYHA III-IV


2. Atrial Fibrilasi Respon Cepat
3. Hiperurisemia
4. Efusi Pelura : 25
 Rencana Pemecahan Masalah
 Problem I: CHF NYHA III-IV

Ass. Etiologi :
 IHD
 Miokarditis
 Kardiomiopati
 Penyakit jantung katup
 Aritmia
Ass. Diagnosis
Menggunakan kriteria Framingham untuk mendiagnosis gagal jantung:
Kriteria mayor Kriteria minor
1. Paroksismal nokturnal 1 Edema ekstrimitas
dyspneu
2. Distensi vena leher 2 Batuk malam hari
3. Ronkhi paru 3 Dispnea d’effort
4. Kardiomegali 4 Hepatomegali
5. Edema paru akut 5 Efusi pleura
6. Gallop S3 6 Penurunan kapasitas vital 1/3
normal
7. Peningkatan JVP 7 Takikardia >120x/menit
8. Refluks hepatojuguler
Mayor atau minor : penurunan BB > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor
 Ip. Dx :
 Darah rutin
 Kimia klinik (glukosa darah, kolesterol, albumin, elektrolit)
 EKG
 Ro Thoraks
 Renal function test (ureum, creatinin)
 Liver function test (SGOT, SGPT, bilirubin)
 Ip.Tx :
 Non farmakologis
o Batasi sodium 2-3 gr/hari
o Bed rest total, setengah duduk
 Farmakologis
o Inf RL 10 tpm
o O2 2 Lpm
o Diuretik  Inj Furosemid
o Vasodilator  ISDN
o Inotropik  Digoksin
o Antiaritmia  Amiodaron
 Ip. Mx : keadaan umum, vital sign, EKG
 Ip. Ex : Edukasi kepada pasien mengenai penyakit yang diderita oleh pasien,
menyarankan kepada pasien untuk seimbang istirahat, olahraga ringan, edukasi untuk
membatasi konsumsi tinggi garam,lemak.
 Problem II: Atrial Fibrilasi
Ass. Faktor resiko
 Diabetes Melitus
 Hipertensi
 Penyakit Jantung Koroner
 Penyakit Katup Mitral
 Penyakit Tiroid
 Penyakit Paru-Paru Kronik
 Post. Operasi jantung
 Usia ≥ 60 tahun
 Life Style

Ass. Etiologi

 Peningkatan tekanan/resistensi atrium


 Proses infiltratif dan inflamasi
 Kelainan Endokrin
 Neurogenik
 Iskemik Atrium
 Obat-obatan
 Keturunan/genetik

Ass. Komplikasi

 Stroke
 Gagal jantung
 IpDx
 EKG
 Echocardiogram
 Transesophageal Echocardiogram
 Tes Darah: hormone tiroid, keseimbangan elektrolit darah.
 IpTx
 Bedrest
 O2 2-4 l/menit
 IVFD NaCl 0.9%
 Inj.Furosemide 20mg
 Spironolactone
 ISDN 5 mg
 IpMx
 EKG perhari
 IpEx

Edukasi kepada pasien mengenai penyakit yang diderita oleh pasien, menyarankan
kepada pasien untuk seimbang istirahat, olahraga ringan, edukasi untuk membatasi
konsumsi tinggi garam,lemak.

 Problem III: Hiperurisemia

Ass. etiologi : intake berlebih


Sekresi kurang
Ip. Dx : Darah rutin
Ip. Tx : Allopurinol 100 mg 0-0-1
Ip. Mx : Cek Asam Urat
Ip. Ex :
 menjelaskan tentang pola diet penyakitnya dengan mengurangi
makanan yang mengandung asam urat seperti bayam, emping, nanas,
jeroan, kacang-kacangan.

 Problem IV: Efusi Pleura

Ass. etiologi
 Hambatan reabsorsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti
pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediastinum.
 Pembentukan cairan berlebih karena radang
Ass. Komplikasi
1. Kolpas paru
2. Emphyema
3. Pneumothorax
4. Gagal nafas
Ip. Dx : Foto rontgen thorax
Ip. Tx : Thoracosintesis, WSD
Ip. Ex : Gunakan 2-3 bantal untuk mengurangi sesak
II. PROGRESS NOTE
17 Januari 2014
Subyektif Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, sesak
nafas,,BAB(+), BAK (+)

Obyektif
Keadaan umum Tampak lemas dan sakit sedang
Kesadaran CM
Tanda vital TD : 130/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 36,5°C (axiller) GDS : 147, Asam Urat: 9.6
Kepala Mesochepal
Mata Konjungtiva pucat ( -/- ), sclera ikterik (-/-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Cor Iktus kordis tak tampak, kesan kardiomegali, BJ I-II
iregular, bising jantung (-)
Pulmo Taktil fremitus kanan>kiri, redup pada basal paru, SD
Vesikuler (+/+), wheezing (-/,-), ronki (+/+)
Abdomen Permukaan cembung, BU(+) normal, timpani,

Ekstremitas Oedem Anasarka

Assesmant CHF NYHA III-IV, Atrial Fibrilasi, Hiperurisemia, Efusi


pleura.

Plan  Bed rest  tidak boleh turun dari bed


 EKG per-hari
Medikamentosa:
Infus RL 10, 02 3L/menit, Inj.Furosemid 3x1, Inj.Cefotaxim
2x1, ISDN 3x1, Clopidogrel 1x1, KCL 3x1, Digoxin 3x1,
Aspilet 1x1, Tyarid 3x1, BC 3x1, Alupurionol 3x1.
18 Januari 2014
Subyektif Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, sesak
nafas, BAB(+), BAK (+)

Obyektif
Keadaan umum Tampak lemas dan sakit sedang
Kesadaran CM
Tanda vital TD : 130/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 36,5°C (axiller) GDS : 147, Asam Urat: 9.6
Kepala Mesochepal
Mata Konjungtiva pucat ( -/- ), sclera ikterik (-/-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Cor Iktus kordis tak tampak, kesan kardiomegali, BJ I-II
iregular, bising jantung (-)
Pulmo Taktil fremitus kanan>kiri, redup pada basal paru, SD
Vesikuler (+/+), wheezing (-/,-), ronki (+/+)
Abdomen Permukaan cembung, BU(+) normal, timpani,

Ekstremitas Oedem Anasarka


Assesmant
CHF NYHA III-IV, Atrial Fibrilasi, Hiperurisemia, Efusi
Pleura

Plan  Bed rest  tidak boleh turun dari bed


 EKG per-hari
Medikamentosa:
Infus RL 10, 02 3L/menit, Inj.Furosemid 3x1, Inj.Cefotaxim
2x1, ISDN 3x1, Clopidogrel 1x1, KCL 3x1, Digoxin 3x1,
Aspilet 1x1, Tyarid 3x1, BC 3x1, Alupurionol 3x1.

19 Januari 2014
Subyektif Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, sesak
nafas, BAB(+), BAK (+)

Obyektif
Keadaan umum Tampak lemas dan sakit sedang
Kesadaran CM
Tanda vital TD : 100/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 36,5°C (axiller) GDS : 147, Asam Urat: 9.6
Kepala Mesochepal
Mata Konjungtiva pucat ( -/- ), sclera ikterik (-/-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Cor Iktus kordis tak tampak, kesan kardiomegali, BJ I-II
iregular, bising jantung (-)
Pulmo Taktil fremitus kanan>kiri, redup pada basal paru, SD
Vesikuler (+/+), wheezing (-/,-), ronki (+/+)
Abdomen Permukaan cembung, BU(+) normal, timpani,

Ekstremitas Oedem Anasarka


Assesmant
CHF NYHA III-IV, Atrial Fibrilasi, Hiperurisemia, Efusi
Pleura.

Plan  Bed rest  tidak boleh turun dari bed


 EKG per-hari
Medikamentosa:
Infus RL 10, 02 3L/menit, Inj.Furosemid 3x1, Inj.Cefotaxim
2x1, ISDN 3x1, Clopidogrel 1x1, KCL 3x1, Digoxin 3x1,
Aspilet 1x1, Tyarid 3x1, BC 3x1, Alupurionol 3x1.

20 Januari 2014
Subyektif Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, sesak
nafas, BAB(-), BAK (+)
Obyektif

Keadaan umum Tampak lemas dan sakit sedang


Kesadaran CM
Tanda vital TD : 130/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
Kepala T : 36,5°C (axiller) GDS : 147, Asam Urat: 9.6
Mata Mesochepal
Leher Konjungtiva pucat ( -/- ), sclera ikterik (-/-)
Cor Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Pulmo Iktus kordis tak tampak, kesan kardiomegali, BJ I-II
iregular, bising jantung (-)
Taktil fremitus kanan>kiri, redup pada basal paru, SD
Vesikuler (+/+), wheezing (-/,-), ronki (+/+)
Abdomen Permukaan cembung, BU(+) normal, timpani,

Ekstremitas Oedem Anasarka


Assesmant CHF NYHA III-IV, Atrial Fibrilasi, Hiperurisemia, Efusi
Pleura.

Plan  Bed rest  tidak boleh turun dari bed


 EKG per-hari
Medikamentosa:
Infus RL 10, 02 3L/menit, Inj.Furosemid 3x1, Inj.Cefotaxim
2x1, ISDN 3x1, Clopidogrel 1x1, KCL 3x1, Digoxin 3x1,
Aspilet 1x1, Tyarid 3x1, BC 3x1, Alupurionol 3x1.

21 Januari 2014
Subyektif Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, sesak
nafas,,BAB(+), BAK (+)

Obyektif
Keadaan umum Tampak lemas dan sakit sedang
Kesadaran CM
Tanda vital TD : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 36,5°C (axiller) GDS : 147, Asam Urat: 9.6
Kepala Mesochepal
Mata Konjungtiva pucat ( -/- ), sclera ikterik (-/-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Cor Iktus kordis tak tampak, kesan kardiomegali, BJ I-II
iregular, bising jantung (-)
Pulmo Taktil fremitus kanan>kiri, redup pada basal paru, SD
Vesikuler (+/+), wheezing (-/,-), ronki (+/+)
Abdomen Permukaan cembung, BU(+) normal, timpani,

Ekstremitas Oedem Anasarka

Assesmant CHF NYHA III-IV, Aritmia, Efusi Pleura Sinistra,


Hiperurisemia.

Plan
 Bed rest  tidak boleh turun dari bed
 EKG per-2 hari
Medikamentosa:
Infus RL 10, 02 3L/menit, Inj.Furosemid 3x1, Inj.Cefotaxim
2x1, ISDN 3x1, Clopidogrel 1x1, KCL 3x1, Digoxin 3x1,
Aspilet 1x1, Tyarid 3x1, BC 3x1, Alupurionol 3x1.
22 Januari 2014
Subyektif Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, sesak
nafas, BAB(+), BAK (+)

Obyektif
Keadaan umum Tampak lemas dan sakit sedang
Kesadaran CM
Tanda vital TD : 110/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 36,5°C (axiller) GDS : 147, Asam Urat: 9.6
Kepala Mesochepal
Mata Konjungtiva pucat ( -/- ), sclera ikterik (-/-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Cor Iktus kordis tak tampak, kesan kardiomegali, BJ I-II
iregular, bising jantung (-)
Pulmo Taktil fremitus kanan>kiri, redup pada basal paru, SD
Vesikuler (+/+), wheezing (-/,-), ronki (+/+)
Abdomen Permukaan cembung, BU(+) normal, timpani,

Ekstremitas Oedem Anasarka

Assesmant CHF NYHA III-IV, Aritmia, Efusi Pleura Sinistra,


Hiperurisemia.

Plan  Bed rest  tidak boleh turun dari bed


 EKG per-hari
Medikamentosa:
Infus RL 10, 02 3L/menit, Inj.Furosemid 3x1, Inj.Cefotaxim
2x1, ISDN 3x1, Clopidogrel 1x1, KCL 3x1, Digoxin 3x1,
Aspilet 1x1, Tyarid 3x1, BC 3x1, Alupurionol 3x1.

23 Januari 2014
Subyektif Pasien mengeluh nyeri dada kiri, sesak nafas (-), BAB(+),
BAK (+)

Obyektif
Keadaan umum Tampak lemas dan sakit sedang
Kesadaran CM
Tanda vital TD : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 36,5°C (axiller) GDS : 147, Asam Urat: 9.6
Kepala Mesochepal
Mata Konjungtiva pucat ( -/- ), sclera ikterik (-/-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Cor Iktus kordis tak tampak, kesan kardiomegali, BJ I-II
iregular, bising jantung (-)
Pulmo Taktil fremitus kanan>kiri, redup pada basal paru, SD
Vesikuler (+/+), wheezing (-/,-), ronki (+/+)
Abdomen Permukaan cembung, BU(+) normal, timpani,

Ekstremitas Oedem Anasarka


Assesmant
CHF NYHA III-IV, Aritmia, Efusi Pleura Sinistra,
Plan Hiperurisemia.

 Bed rest  tidak boleh turun dari bed


 EKG per-hari
Medikamentosa:
Infus RL 10, 02 3L/menit, Inj.Furosemid 3x1, Inj.Cefotaxim
2x1, ISDN 3x1, Clopidogrel 1x1, KCL 3x1, Digoxin 3x1,
Aspilet 1x1, Tyarid 3x1, BC 3x1, Alupurionol 3x1.

24 Januari 2014
Subyektif Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, sesak
nafas, BAB(-), BAK (+)
Obyektif

Keadaan umum Tampak lemas dan sakit sedang


Kesadaran CM
Tanda vital TD : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
Kepala T : 36,5°C (axiller) GDS : 147, Asam Urat: 9.6
Mata Mesochepal
Leher Konjungtiva pucat ( -/- ), sclera ikterik (-/-)
Cor Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Pulmo Iktus kordis tak tampak, kesan kardiomegali, BJ I-II
iregular, bising jantung (-)
Taktil fremitus kanan>kiri, redup pada basal paru, SD
Vesikuler (+/+), wheezing (-/,-), ronki (+/+)
Abdomen Permukaan cembung, BU(+) normal, timpani,

Ekstremitas Oedem Anasarka


Assesmant CHF NYHA III-IV, Aritmia, Efusi Pleura Sinistra,
Hiperurisemia.
Plan

 Bed rest  tidak boleh turun dari bed


 EKG per-hari
Medikamentosa:
Infus RL 10, 02 3L/menit, Inj.Furosemid 3x1, Inj.Cefotaxim
2x1, ISDN 3x1, Clopidogrel 1x1, KCL 3x1, Digoxin 3x1,
Aspilet 1x1, Tyarid 3x1, BC 3x1, Alupurionol 3x1.

25 Januari 2014
Subyektif Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, sesak
nafas, BAB(+), BAK (+)

Obyektif
Keadaan umum Tampak lemas dan sakit sedang
Kesadaran CM
Tanda vital TD : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 36,5°C (axiller) GDS : 147, Asam Urat: 9.6
Kepala Mesochepal
Mata Konjungtiva pucat ( -/- ), sclera ikterik (-/-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Cor Iktus kordis tak tampak, kesan kardiomegali, BJ I-II
iregular, bising jantung (-)
Pulmo Taktil fremitus kanan>kiri, redup pada basal paru, SD
Vesikuler (+/+), wheezing (-/,-), ronki (+/+)
Abdomen Permukaan cembung, BU(+) normal, timpani,

Ekstremitas Oedem Anasarka

Assesmant CHF NYHA III-IV, Aritmia, Efusi Pleura Sinistra,


Hiperurisemia.

Plan  Bed rest  tidak boleh turun dari bed


 EKG per-hari
Medikamentosa:
Infus RL 10, 02 3L/menit, Inj.Furosemid 3x1, Inj.Cefotaxim
2x1, ISDN 3x1, Clopidogrel 1x1, KCL 3x1, Digoxin 3x1,
Aspilet 1x1, Tyarid 3x1, BC 3x1, Alupurionol 3x1.
26 Januari 2014
Subyektif Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, sesak
nafas, BAB(+), BAK (+)

Obyektif
Keadaan umum Tampak lemas dan sakit sedang
Kesadaran CM
Tanda vital TD : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 36,5°C (axiller) GDS : 147, Asam Urat: 9.6
Kepala Mesochepal
Mata Konjungtiva pucat ( -/- ), sclera ikterik (-/-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Cor Iktus kordis tak tampak, kesan kardiomegali, BJ I-II
iregular, bising jantung (-)
Pulmo Taktil fremitus kanan>kiri, redup pada basal paru, SD
Vesikuler (+/+), wheezing (-/,-), ronki (+/+)
Abdomen Permukaan cembung, BU(+) normal, timpani,

Ekstremitas Oedem Anasarka


Assesmant
CHF NYHA III-IV, Aritmia, Efusi Pleura Sinistra,
Plan Hiperurisemia.

 Bed rest  tidak boleh turun dari bed


 EKG per-hari
Medikamentosa:
Infus RL 10, 02 3L/menit, Inj.Furosemid 3x1, Inj.Cefotaxim
2x1, ISDN 3x1, Clopidogrel 1x1, KCL 3x1, Digoxin 3x1,
Aspilet 1x1, Tyarid 3x1, BC 3x1, Alupurionol 3x1.
EKG
19 Januari 2014

Intepretasi:
• Frekuensi : 98x/menit
• Ritme : ireguler
• Jenis irama : Atrial
• Zona Transisi : V4
• Aksis : lead 1 (+), AvF (+), normoaxis
• Morfologi
 Interval PR : sulit dinilai
 Gelombang QRS : lebar<3kk
 Segmen ST : ST elevasi (-), ST depresi (-)
 Gelombang T : (-)
 Lain-lain : RVH (+), VES (+)
• Kesan  Atrial Fibrilasi RVH.
20 Januari 2014

• Frekuensi : 85x/menit
• Ritme : ireguler
• Jenis irama : Atrial
• Zona Transisi : V4
• Aksis : lead 1 (+), AvF (+), normoaxis
• Morfologi
 Interval PR : sulit dinilai
 Gelombang QRS: lebar<3kk
 Segmen ST : ST elevasi (-), ST depresi (-)
 Gelombang T : (-)
 Lain-lain : RVH (+)
 Kesan  Atrial Fibrilasi, RVH.
21 Januari 2014

• Frekuensi : 82x/menit
• Ritme : ireguler
• Jenis irama : Atrial
• Zona Transisi : V4
• Aksis : lead 1 (+), AvF (+), normoaxis
• Morfologi
 Interval PR : sulit dinilai
 Gelombang QRS : lebar<3kk
 Segmen ST : ST elevasi (-), ST depresi (-)
 Gelombang T : (-)
 Lain-lain : RVH (+)
 Kesan  Atrial Fibrilasi, RVH.
23 Januari 2014

• Frekuensi : 106x/menit (takikardi)


• Ritme : ireguler
• Jenis irama : Atrial
• Zona Transisi : V4
• Aksis : lead 1 (+), AvF (+), normoaxis
• Morfologi
 Interval PR : sulit dinilai
 Gelombang QRS : lebar<3kk
 Segmen ST : ST elevasi (-), ST depresi (-)
 Gelombang T : (-)
 Lain-lain : RVH (+)
 Kesan  Atrial Fibrilasi respon cepat, RVH.
25 Januari 2014

• Frekuensi : 94x/menit (takikardi)


• Ritme : ireguler
• Jenis irama : Atrial
• Zona Transisi : V4
• Aksis : lead 1 (+), AvF (+), normoaxis
• Morfologi
 Interval PR : sulit dinilai
 Gelombang QRS : lebar<3kk
 Segmen ST : ST elevasi (-), ST depresi (-)
 Gelombang T : (-)
 Lain-lain : RVH (+).
 Kesan  Atrial Fibrilasi, RVH
27 Januari 2014

• Frekuensi : 77x/menit (takikardi)


• Ritme : ireguler
• Jenis irama : Atrial
• Zona Transisi : V4
• Aksis : lead 1 (+), AvF (+), normoaxis
• Morfologi
 Interval PR : sulit dinilai
 Gelombang QRS : lebar<3kk
 Segmen ST : ST elevasi (-), ST depresi (-)
 Gelombang T : (-)
 Lain-lain : RVH (+).
 Kesan  Atrial Fibrilasi, RVH.
30 Januari 2014

• Frekuensi : 84x/menit
• Ritme : ireguler
• Jenis irama : Atrial
• Zona Transisi : V4
• Aksis : lead 1 (+), AvF (+), normoaxis
• Morfologi
 Interval PR : sulit dinilai
 Gelombang QRS : lebar<3kk
 Segmen ST : ST elevasi (-), ST depresi (-)
 Gelombang T : (-)
 Lain-lain : RVH (+).
 Kesan  Atrial Fibrilasi, RVH
ALUR PIKIR

Seorang laki-laki, Usia 40 tahun

PF
ANAMNESIS
• Overweight
• Sesak nafas, bertambah berat
jika melakukan aktivitas
• Dada asimetris = statis dinamis
sehari-hari
• Sesak nafas terus-menerus
• Stem fremitus kanan > kiri
• Paroxysmal Nocturnal
Dispneu
• Ronki basah halus
• Ortopneu
• Terbangun pada malam hari
• Cardiomegali
karena sesak
• Bengkak pada kedua kaki
• S1>S2 irregular
• Lebih nyaman tidur dengan
bantal tinggi
• Oedem ekstremitas inferior
• Lemas
• Batuk lama

PP Hiperurisemia
• Eritrosit L
• Hemoglobin L
• Hematokrit L Penurunan Na+, air oleh
• GDS H ginjal
• Creatinin L
• Albumin L
• Chlorida H
Tekanan arteri menurun Volume darah
• Asam Urat H
• Rontgen thorax : meningkat
Cardiomegali,
Oedem Pulmo, Efusi
Pleura Sinistra Peningkatan filtrasi Peningkatan tekanan
• EKG: Atrial Fibrilasi kapiler hidrostatik

Tekanan vena dan Efusi pelura


kapiler meningkat

CHF NYHA III-IV Atrial Fibrilasi


PEMBAHASAN

I. Congestive Heart Failure (CHF)

Definisi
Gagal jantung adalah keadaan (kelainan) patofisiologi berupa sindroma klinik. Diakibatkan
oleh ketidakmampuan jantung untuk memenuhi cardiac output/ CO yang cukup untuk melayani
kebutuhan jaringan tubuh akan 02 dan nutrisi lain meskipun tekanan pengisian (filling pressure atau
volume diastolik) telah meningkat
Dalam keadaan normal jantung dapat memenuhi CO yang cukup stiap waktu, pada gagal
jantung ringan keluhan baru timbul pada beban fisik yang meningkat, pada gagal jantung berat
keluhan sudah timbul pada keadaan istirahat.
Jantung mengalami kegagalan (dekompensatio) apabila berbagai mekanisme sudah berlebihan
(yaitu retensi garam dan air, meningkatnya resistensi perifer, hipertrofi miokard, dilatasi ventrikel,
meningkatnya tekanan atria, meningkatnya kekuatan kontraksi) tetapi jantung tidak
mempertahankan fungsinya dengan cukup.
Gagal jantung merupakan akhir dari suatu continuum, proses yang berkesinambungan, dimulai
dari terdapatnya penyakit jantung tanpa kelainan hemodinamik, kemudian berlanjut dengan fase
preklinik dimana sudah didapati keluhan dan tanda-tanda gagal jantung (symptomand sign).

Etiologi
Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation),
emboli paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit
tiroid (hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high
output failure, gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-
induced problems), intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat.
Menurut penyebabnya gagal jantung dibagi berdasarkan :
1. Myocardial damage
a. Ischemic Heart Disease (IHD) difus atau regional
b. Miokarditis : viral, demam rematik, bakterial, fungal
c. Kardiomiopati : kardiomiopati iskemik, kardiomiopati diabetik, kardiomiopati
periapartal, kardiomiopati hipertensi (HHD), idiopathic hypertrophic subortic
stenosis.
2. Beban ventrikel yang bertambah
a. beban tekanan / pressure overload
- hipertensi sistemik
- koarktasio aorta
- aorta stenosis
- pulmonal stenosis
- hipertensi pulmonal pada PPOK atau hipertensi pulmonal primer
b. Beban volume / volume overload
- Mitral regurgitasi
- Aorta regurgitasi
- Ventricular septal defect (VSD)
- Atrial septal defect (ASD)
- Patent ductus arteriosus (PDA)
c. Restriksi dan obstruksi pengisisan ventrikel
- Mitral stenosis
- Triskupid stenosis
- Tamponade jantung
- Atrial miksoma
- Kardiomiopati restriktif
- Perikarditis kontriktif
d. Kor pulmonal
e. Kelainan metabolik
- Beri-beri
- Anemia kronik
- Penyakit tiroid
f. Kardiomiopati toksik
- Emetin
- Alkohol
- Vincristin
- Bir, kokain
g. Trauma
- Miokardial fibrosis
- Perikardial kontriktif
h. Kegananasan
- Limfoma
- Rabdomiosarkoma

Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus


 Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri
koroner, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis
mitral, dan penyakit perikardial.
 Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan
(intake) garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard
akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis,
kehamilan, dan endokarditis infektif.

Patofisiologi
Ada beberapa mekanisme gagal jantung:
I. Aktivasi sistem RAA (Renin Angiotensinogen Angiotensin)
Akibat cardiac output yang menurun pada gagal jantung terjadi peningkatan
seksresi renin yang merangsang pembentukan angiotensin II. Aktivasi sistem RAA
dimaksudkan mempertahankan cairan, keseimbangan/ balance elektrolit dan tekanan
darah cukup. Renin adalah enzim yang dikeluarkan oleh aparatus juxta glomerular yang
mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin-I kemudian menjadi angiotensin-II
oleh angiotensin converting enzyme. ACE juga mengubah bradikinine suatu vasodilator
menjadi peptide yang tidak aktif.
Pengaruh angiotensin II :
- Vasokonstriktor kuat
- Merangsang neuron simpatis dengan akibat pengeluaran adrenalin bertambah
- Merangsang terjadinya hipertropi vaskular yang berakibat menambah resistensi
perifer meningkat yang berati afterload meningkat
- Merangsang terjadinya hipertropi miokard
- Merangsang pengeluaran aldosteron dari korteks adrenal dengan akibat reasorpsi
garam dan air pada tubulus proksimal ginjal meningkat.
II. Aktivasi sistem saraf simpatis
Meningkatnya pengeluaran katekolamin oleh adrenergic cardiac nerve dan
medula adrenalis memperkuat kontraktilitas miokard, bersama sistem RAA dan
neurohormonal lain dimaksudkan untuk mempertahankan tekanan arteri dan perfusi
pada organ vital. Sistem saraf otonomik adalah sangat penting dalam pengaturan heart
rate (HR), kontraksi miokard, capacitance dan resistance vascular bed pada setiap
saat, dengan demikian mengontrol CO, distribusi aliran darah dan tekanan arterial.
Pengaturan neural ini memungkinkan perubahan-perubahan fungsi kardiovaskuler
yang diperlukan secara cepat, dalam beberapa detik, sebelum mekanisme yang lebih
lambat yaitu stimulus metabolik, katekolamin dalam sirkulasi dan sistem RAA
bekerja.
Pada permulaan gagal jantung, aktivitas sistem adrenergik dapat
mempertahankan CO dengan cara kontraktilitas yang meningkat dan kenaikan heart
rate, pada gagal jantung yang lebih berat terjadi vasokonstriksi akibat sistem simpatis
dan pengaruh angiotensin II dengan maksud mempertahankan dan redistribusi CO,
pada gagal jantung yang lebih berat (NYHA klas IV) terjadi peningkatan afterload
yang berlebihan akibat vasokontriksi dengan akibat penurunan stroke volume dan
cardiac output.

III. Mekanisme Frank Starling


Pada semua otot bergaris termasuk miokard, kekuatan kontraksi tergantung
pada panjangnya serabut otot miofibril, makin panjang kontraksi makin kuat.
Pada panjang sarkomer 2,2 um, miofibril peka terhadap Ca++ sehingga
mengahasilkan aktivasi sistem kontraksi yang maksimal, apabila sarkomer bertambah
panjang mencapai 3,65 um kepekaan terhadap Ca++ berkurang, kontraksi juga
berkurang. Pengertian tersebut merupakan dasar dari Starling law of the heartI yang
menyatakan bahwa dalam batas panjang miofibril tertentu, kekuatan kontraksi
ditentukan oleh volume pada akhir diastole yaitu preload
IV. Kontraksi miokard
Hipertropi miokard disertai atau tidak disertai dilatasi ruang-ruang jantung merupakan
upaya untuk menambah kontraksi ventrikel pada afterload dan preload yang
meningkat
V. Redistribusi CO yang subnormal
Redistribusi dengan maksud mempertahankan oksigenasi kepada organ-organ vital
yaitu jantung dan otak, darah yang mrngalir ke organ yang kurang vital seperti kulit,
otot skletal, ginjal berkurang. Redistribusi cairan (darah) terjadi pada penderita gagal
jantung yang mengalami aktivitas fisik, pada gagal jantung yang lanjut redistribusi
terjadi meskipun pada istirahat. Mekanismenya melalui deregulasi saraf simpatis
bersam parasimpatis dengan akibat vasodilataso ke organ vital dan vasokontriksi pada
organ yang kurang vital untuk mempetahankan kelangsungan hidup.

VI. Metabolisme anaerobik


Perfusi ke jaringan yang menurun pada gagal jantung, terjadi metabolisme anaerobik.
Banyak jaringan terutam otot skeletal mengalami metabolisme anaerobik sebagai
cadagan untuk menghasilkan energi. Pada individu normal dalam latihan sedang
terjadi metabolisme anaerobik menghasilkan 5% energi yang diperlukan. Penderita
dengan gagal jantung menghasilkan 30%.

VII. Arginin Vasopresin (AVP)


AVP merupakan vasokonstriktor kuat. Pada penderita gagal jantung level AVP
meningkat 2 kali dibandingkan orang normal.
VIII. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
Suatu tekanan atrial yang meningkat menghasilkan ANP. Hormon memilik efek
vasokonstriktor, retensi Na dan air, hormon adrenergik. Oleh karena itu ANP
melindungi sirkulasi dan volume dan pressure overload, ANP juga menyebabkan
Sebenarnya jantung yang mulai lemah akan memberikan 3 mekanisme kompensasi untuk
meningkatkan curah jantung, yaitu :
1) Meningkatkan aktivitas simpatik
Baroreseptor merasakan penurunan tekanan darah dan memacu aktfitas reseptor
ϐ-adrenergic dalam jantung. Hal ini menimbulkan kecepatan jantung danpeningkatan
kontraksi dari otot-otot jantung yang lebih besar. Selain itu, vasokonstriksi diperantarai
α-1 memacu venous return dan meningkatkan preload jantung. Respons kompensasi ini
meningkatkan kerja jantung dan karena itu dapat menyebabkan penurunan selanjutnya
dalam fungsi jantung.
2) Retensi cairan.
Penurunan curah jantung akan memperlambat aliran darah ke ginjal,menyebabkan
lepasnya renin, dengan hasil peningkatan sintesis angiotensin II dan aldosteron. Hal ini
meningkatkan resistensi perifer dan retensi natrium dan air. Volume darah meningkat dan
semakin banyak darah kembali ke jantung. Jika jantung tidak dapat memompa volume
ekstra ini, tekanan vena meningkat dan edema perifer dan edema paru-paru terjadi.
Respons kompensasi ini meningkatkan kerjajantung dan karena itu, selanjutnya
menyebabkan penurunan fungsi jantung
3) Hipertrofi miokard
Jantung membesar dan ruangannya melebar. Pertama peregangan otot-otot jantung
menyebabkan kontraksi jantung lebih kuat, tetapi perpanjangan yang berlebihan dari serat
tersebut akan menyebabkan kontraksi semakin lemah. Jenis kegagalan ini disebut gagal
sistolik dan diakibatkan oleh ventrikel yang tidak dapat memompa secara efektif. Jarang
pasien gagal jantung kongestif dapat mempunyaidisfungsi diastolik, yaitu suatu istilah
yang diberikan jika kemampuan ventrikel relaksasi dan menerima darah terganggu karena
perubahan struktural, seperti hipertrofi. Penebalan dinding ventrikel dan penurunan
volume ventrikel dapat menurunkan kemampuan otot jantung untuk relaksasi. Hal ini
mengakibatkan ventrikel tidak terisi cukup, dan curah jantung yang tidak cukup disebut
sebagai gagal jantung
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gagal jantung kanan (decompensatio dextra) antara lain: JVP
meningkat, batas jantung kanan melebar (terdapat RVH dan pulsasi epigastrium),
pembesaran hati (hepatomegali), pembesaran limpa (splenomegali), cairan di rongga perut
(ascites), bengkak (oedem) pada tungkai.
Sedangkan manifestasi klinis gagal jantung kiri (decompensatio sinistra) antara lain: sesak
nafas (dispneu, orthopneu, paroxismal nocturnal dispneu), batas jantung kiri melebar
(terdapat LVH), nafas cheyne stokes, kebiruan (cyanosis), Right Bundle Branch (RBB),
dan suara S3 (gallop).

Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
EKG, foto thorax, ekokardigrafi-doppler dan kateterisasi.Berdasar keluhan (symptom)
terdapat klasifikasi fungsional dari New York Heart Association ( NYHA) :
 NYHA klas I :
Penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik.Aktivitas fisik
sehari-hari tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnoe atau angina.
 NYHA klas II :
Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan ringan aktivitas
fisik.Merasa enak pada istirahat.Aktivitas fisik sehari-hari (ordinary physical activity)
menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnoe atau angina.
 NYHA kelas III :
Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan berat aktivitas
fisik.Merasa enak pada istirahat.Aktivitas yang kurang dari aktivitas sehari-hari
menimbulkan kelelahan, palpitasi, dispnoe atau angina.
 NYHA KELAS IV :
Penderita dengan kelainan jantung dengan akibat tidak mampu melakukan aktivitas
fisik apapun. Keluhan timbul maupun dalam keadaan istirahat
Dibawah ini adalah kriterian diagnosis CHF kiri dan kanan dari Framingham
Kriteria mayor:
1. Paroxismal Nocturnal Dispneu
2. distensi vena leher
3. ronkhi paru
4. kardiomegali
5. edema paru akut
6. gallop S3
7. peninggian tekanan vena jugularis
8. refluks hepatojugular

Kriteria minor:
1. edema ekstremitas
2. batuk malam hari
3. dispneu de effort
4. hepatomegali
5. efusi pleura
6. takikardi
7. penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal

Kriteria mayor atau minor


Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor
harus ada pada saat yang bersamaan.
Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien,
terutama pada usia lanjut. Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan daun
katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark miocard luas. Curah
jantung yang menurun tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah disertai
edema perifer.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi untuk gagal jantung kongestif adalah meningkatkan curahjantung.
Golongan obat gagal jantung yang digunakan adalah:
1) Vasodilator
Gangguan fungsi kontraksi jantung pada gagal jantung kongestif, diperberatoleh
peningkatan kompensasi pada preload (volume darah yang mengisi ventrikel selama
diastole) dan afterload (tekanan yang harus diatasi jantung ketika memompadarah ke
sistem arteriol). Vasodilatasi berguna untuk mengurangi preload danafterload yang
berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena menyebabkanberkurangnya preload jantung
dengan meningkatkan kapasitas vena, dilator arterialmenurunkan resistensi arteriol
sistemik dan menurunkan afterload.Obat-obat yangberfungsi sebagai vasodilator antara
lain captopril, isosorbid dinitrat, hidralazin
a) Inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (Inhibitor ACE)
Obat-obat ini menghambat enzim yang berasal dari angiotensin I
membentukvasokonstriktor kuat angiotensin II. Inhibitor ACE mengurangi kadar
angiotensin IIdalam sirkulasi dan juga mengurangi sekresi aldosteron, sehingga
menyebabkanpenurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ACE dapat
menyebabkan penurunan retensi vaskuler vena dan tekanan darah, menyebabkan
peningkatan curah jantung.
Pengobatan ini sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Penggunaan
inhibitor ACE awal diutamakan untuk mengobati pasien gagal ventrikel kiri
untuksemua tingkatan, dengan atau tanpa gejala dan terapi harus dimulai segera
setelahinfark miokard. Terapi dengan obat golongan ini memerlukan monitoring
yang telitikarena berpotensi hipotensi simptomatik. Inhibitor ACE ini tidak boleh
digunakanpada wanita hamil. Obat-obat yang termasuk dalam golongan inhibitor
enzimpengkonversi angiotensin ini adalah kaptopril, enalapril, lisinopril, dan
quinapril
b) Angiotensi II receptor Antagonists
Pasien yang mengalami batuk pada penggunaan ACE Inhibitor,
dapatdigunakan angiotensin II receptor Antagonists seperti losartan dosis 25-50
mg/harisebagai alternatif. Losartan efektif menurunkan mortalitas dan
menghilangkan gejalapada pasien dengan gagal jantung
c) Relaksan otot polos langsung
Dilatasi pembuluh vena langsung meyebabakan penurunan preload jantung
dengan meningkatkan kapasitas vena, dilator arterial mengurangi resistensi sistem
arteriol dan menurunkan afterload. Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah
hidralazin, isosorbid, minoksidil, dan natrium nitropusid
d) Antagonis Reseptoris ϐ- Adrenergik
Antagonis reseptor ϐ-adrenergik yang paling umum adalah metoprolol,
suatuantagonis reseptor yang selektif terhadap ϐ1- adrenergik mampu
memperbaikigejala, toleransi kerja fisik serta beberapa fungsi ventrikel selama
beberapa bulanpada pasien gagal jantung karena pembesaran kardiomiopati
idiopati
2) Diuretik
Diuretik akan mengurangi kongesti pulmonal dan edema perifer. Obat-obatini
berguna mengurangi gejala volume berlebihan, termasuk ortopnea dan dispneanoktural
paroksimal.Diuretik menurunkan volume plasma dan selanjutnyamenurunkan preload
jantung.Ini mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhanoksigen.Diuretik juga
menurunkan afterload dengan mengurangi volume plasmasehingga menurunkan
tekanan darah. Obat-obat yang termasuk golongan ini adalahdiuretik tiazid dan loop
3) Antagonis Aldosteron
Penggunaan spironolakton sebagai antagonis aldosteron menunjukkan penurunan
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat. Aldosteron
berhubungan dengan retensi air dan natrium, aktivasi simpatetik, danpenghambatan
parasimpatetik. Hal tersebut merupakan efek yang merugikan pada pasien dengan gagal
jatung. Spironolakton meniadakan efek tersebut dengan penghambatan langsung
aktifitas aldosterone
4) Obat-obat inotropik
Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung danmeningkatkan
curah jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui mekanismeyang berbeda dalam
tiap kasus kerja inotropik adalah akibat peningkatan konsentrasikalsium sitoplasma
yang memacu kontraksi otot jantung
a) Digitalis
Obat-obat golongan digitalis ini memiliki berbagai mekanisme
kerjadiantaranya pengaturan konsentrasi kalsium sitosol.Hal ini menyebabkan
terjadinyahambatan pada aktivasi pompa proton yang dapat menimbulkan
peningkatankonsentrasi natrium intrasel, sehingga menyebabkan terjadinya
transport kalsiumkedalam sel melalui mekanisme pertukaran kalsium-
natrium.Kadar kalsium intraselyang meningkat itu menyebabkan peningkatan
kekuatan kontraksi sistolik. Mekanisme lainnya yaitu peningkatan kontraktilitas
otot jantung, Pemberianglikosida digitalis menngkatkan kekuatan kontraksi otot
jantung menyebabkanpenurunan volume distribusi aksi, jadi meningkatkan
efisiensi kontraksi.
Terapi digoxin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi
sistolikventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretik dan vasodilator.Obat yang
termasukdalam golongan glikosida jantung adalah digoxin dan digitoxin.Glikosida
jantungmempengaruhi semua jaringan yang dapat dirangsang, termasuk otot polos
dansusunan saraf pusat.Mekanisme efek ini belum diselidiki secara menyeluruh
tetapimungkin melibatkan hambatan Na+K+ - ATPase didalam jaringan ini.
Hipokalemia dapat menyebabkan aritmia hebat. Penurunan kadar kaliumdalam
serum sering ditemukan pada pasien-pasien yang mendapatkan thiazid atauloop
diuretik dan biasanya dapat dicegah dengan diuretik hemat kalium atausuplemen
kalium karbonat. Hiperkalsemia dan hipomagnesemia juga menjadipredisposisi
terhadap toksisitas digitalis. Tanda dan gejalatoksisitas glikosida jantung yaitu
anoreksia, mual, muntah, sakit abdomen,penglihatan kabur, mengigau, kelelahan,
bingung, pusing, meningkatnya responsventilasi terhadap hipoksia, aritmia ektopik
atrium dan ventrikel, dan gangguankonduksi nodus sinoatrial dan atrioventrikel
b) Agonis ϐ-adrenergic
Stimulan ϐ- adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan
efekinotropik spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya ion
kalsiumkedalam sel miokard meningkat,sehingga dapat meningkatkan kontraksi.
Dobutaminadalah obat inotropik yang paling banyak digunakan selain digitalis
c) Inhibitor fosfodiesterase
Inhibitor fosfodiesterase memacu koonsentrasi intrasel siklik-
AMP.Inimenyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung.Obat
yangtermasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah amrinon dan milrinon.
Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan gagal jantung antara lain:
1. CAD (angina atau MI)
2. Hipertensi kronis
3. Idiopathic dilated cardiomyopathy
4. Valvular heart disease (misalnya, mitral regurgitation, aortic stenosis)
5. Cardiomyopathy lainnya (misalnya, sarcoidosis)
6. Arrhythmia (misalnya, atrial fibrillation)
7. Anemia
8. Overload volume cairan yang disebabkan oleh kondisi noncardiac
9. Penyakit thyroid (hypothyroidism atau hyperthyroidism)

Tinjauan (Pencitraan) Radiologis


a. Echocardiography (ECG)
Echocardiography merupakan pemeriksaan yang lebih disukai (preferred
examination). Doppler echocardiography dua-dimensi dapat digunakan untuk
menentukan penampilan LV sistolik dan diastolik, cardiac output (ejection fraction),
serta tekanan pengisian ventrikel dan arteri pulmoner (pulmonary artery and ventricular
filling pressures). Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
penyakitvalvular yang penting secara klinis.
b. Radiography
Pada kasus-kasus kardiogenik, radiograph dapat menunjukkan cardiomegaly,
pulmonary venous hypertension, dan pleural effusions. Pulmonary venous hypertension
(PVH) dapat dibagi menjadi 3 tingkatan (grade).
 Pada grade I PVH, pemeriksaan upright menunjukkan redistribusi aliran darah ke
bagian nondependent dari paru-paru dan lobus atas.
 Pada grade II PVH, ada bukti interstitial edema dengan ill-defined vessels dan
peribronchial cuffing, juga penebalan septum interlobular.
 Pada grade III PVH, terdapat pengisian airspace lobus-bawah dan perihilar, dengan
ciri utama (ke-khas-an) konsolidasi (misalnya, confluent opacities, air bronchogram
dan ketidakmampuan untuk melihat pembuluh darah pulmo di daerah yang tidak
normal).Edema airspace cenderung menuju ke (to spare) perifer di pulmo bagian atas
dan tengah.
II. Atrial Fibrilasi

Definisi

Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai dengan
ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu
sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi
supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi dan deteriorisasi fungsi
mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa
darah jantung2,5,6.

Klasifikasi

Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi dibedakan
menjadi 4 jenis, yaitu2 :
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama. Tahap ini
merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya dan baru pertama
kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode pertama kali
kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis ini juga mempunyai
kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan
kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari.
Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan dari kardioversi untuk
mengembalikan irama sinus kembali normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen AF,
penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit untuk
mengembalikan ke irama sinus yang normal.
Gambar 6. Pola Klasifikasi Atrial Fibrilasi
Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association), AF juga
sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu AF akut dan AF
kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau onset yang kurang
dari 48 jam, sedangkan AF kronik sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari
48 jam.

Etiologi

Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya


adalah5,6 :
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal
chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/miocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1. Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/genetik

Tanda dan Gejala

Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada perjalanan
penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut jantung,
ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, AF
juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke
jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi, lebih
dari 90% episode dari AF tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut7,8,9.

Faktor Resiko

Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah :


a. Diabetes Melitus
b. Hipertensi
c. Penyakit Jantung Koroner
d. Penyakit Katup Mitral
e. Penyakit Tiroid
f. Penyakit Paru-Paru Kronik
g. Post. Operasi jantung
h. Usia ≥ 60 tahun
i. Life Style
Patofisiologi

Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple wavelet
reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau
depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari
atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan
sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial
aksi yang dicetuskan oleh nodus SA7,9,14.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang
dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi lebih
tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Pada
multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor,
yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa
dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan
periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang
akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta
mencetuskan terjadinya AF7,9,14.

Gambar 7. A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelets Reentry
Atrial Fibrilasi
Penatalaksanaan

Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan


irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah
adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu
penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi
sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan
irama dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2,
yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan
elektrik (Electrical Cardioversion)8,10.
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah
adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan
atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurangi resiko dari
terbentuknya trombus dalam pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi.
Pengobatan yang sering dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari
berbagai macam, diantaranya adalah :
1. Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses
pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi.
Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai
puncak konsentrasi plasma dalam waktu ± 1 jam dengan bioavailabilitas
100%. Warfarin di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi
(bentuk D), yang kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama
kerja ± 40 jam.
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari trombosit
(COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari COX2
ini adalah menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di
dalam trombosit. Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi
dari trombosit. Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat
menyebabkan pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan
darah, terutama faktor II, VII, IX dan X.
b. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis kalsium.
Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun kombinasi.
1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih
efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang
abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan
pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal.

2. β-blocker
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf
simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi
kinerja jantung.
3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung
akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati
Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.
c. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan
untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri
adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama
dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2,
yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan
elektrik (Electrical Cardioversion).
1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)
a. Amiodarone
b. Dofetilide
c. Flecainide
d. Ibutilide
e. Propafenone
f. Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat
logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah
mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR
(nodus sinus rhythm).
3. Operatif
a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan sayatan
pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam pembuluh darah
utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat
elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya AF.
b. Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation, tetapi
pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin” yang berfungsi
untuk membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.
c. Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan di
jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.

Pembahasan

AF sebenarnya merupakan bagian dari aritmia, yaitu suatu keadaan


abnormalitas dari irama jantung yang ditandai dengan pola pelepasan sinyal elektrik
yang sangat cepat dan berulang. Keadan ini secara umum bisa diakibatkan oleh
gangguan potensial aksi, gangguan konduksi ataupun bisa gangguan dari keduanya.
Pada AF, gangguan terjadi pada ketidakteraturan irama jantung dan peningkatan
denyut jantung. Secara umum, gangguan AF dapat dikatakan sebagai takikardi,
karena denyut jantung pada AF mencapai lebih dari 100x/menit. Takikardi sendiri
dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu takikardi supraventrikuler dan takikardi
ventrikuler. AF merupakan takikardi supraventrikuler, dimana gangguan potensial
aksi ataupun konduksi berasal dari sistem konduksi diatas berkas HIS, yang meliputi
nodus SA, nodus AV dan berkas HIS sendiri. Sedangkan takikardi ventrikuler lebih
disebabkan tidak hanya dari sistem konduksi serabut purkinje, tetapi peran takikardi
supraventrikuler juga bisa menyebabkan takikardi ventrikuler.
Takikardi supravenrikuler tidak hanya AF, tetapi meliputi ekstrasistol atium,
flutter atrium dan takikardi supraventrikuler. Pada AF, mekanisme terjadinya melalui
2 proses, yaitu aktivasi lokal atau multiple wavelets reentry. Pada aktivasi lokal lebih
didominasi karena adanya fokus ektopik pada vena pulmonalis superior, sedangkan
multiple wavelets reentry lebih cenderung disebabkan oleh pembesaran atrium,
pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Selain itu,
sebenarnya masih ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya AF, yaitu detak
jantung prematur, aktivitas saraf otonom, iskemik atrium, konduksi anisotropik dan
peningkatan usia.
Terjadinya AF akan menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu
hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon ventrikel dan
ketidakteraturan denyut jantung. Ketiga hal ini akan berpengaruh pada penurunan
cardiac output, karena kontraksi jantung tidak sempurna walaupun terjadi proses
depolarisasi yang berulang. Hilangnya koordinasi proses mekanik lebih disebabkan
karena cepat dan seringnya depolarisasi. Depolarisasi yang cepat dan berulang pada
AF mempunyai sifat yang tidak sempurna, sehingga proses kontraktilitas jantung juga
tidak bisa maksimal. Selain itu, peningkatan depolarisasi dan denyut jantung pada
atrium akan direspon secara fisiologis oleh ventrikel dengan penurunan denyut
jantung. Hal ini bertujuan untuk mengurangi peningkatan potensial aksi pada atrium
yang menyebabkan ketidakteraturan penerimaan denyut pada ventrikel. Penurunan
denyut pada ventrikel terjadi karena proses fisiologis yang diperankan oleh sistem
nodus AV. Nodus AV akan memperantarai proses ini dengan meningkatkan kinerja
sistem saraf parasimpatis dan menurunkan kinerja saraf simpatis pada sistem
konduksi AV. Sedangkan untuk ketidakteraturan denyut jantung akibat AF, memang
diakibatkan dari peningkatan depolarisasi dan masuknya sinyal elektrik secara
berulang-ulang.
Efek dari terjadinya AF disamping ketidakteraturan denyut jantung dan
peningkatan denyut jantung, tromboembolisme juga merupakan efek yang berbahaya
pada jantung akibat dari AF. Tromboembolisme terjadi akibat dari 3 faktor, yaitu
statis, disfungi endotel dan hiperkoagulasi. Mekanisme ini terjadi dari statis dan
kerusakan endotel darah akibat kontraksi dan aliran darah yang tidak sempurna.
Selain itu adanya hiperkoagulasi meningkatkan adanya proses bekuan darah yang
merupakan bagian penyebab dari tromboembolisme.

III. Hiperurisemia

Definisi
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah di
atas normal. Secara statistik, hiperurisemia didefinisikan sebagai kadar asam urat darah di
atas dua standar deviasi hasil laboratorium pada rata-rata populasi (Shipley, 2002; Hawkins,
2005). Akan tetapi terkait resiko gout, hiperurisemia didefinisikan sebagai hipersaturasi kadar
asam urat (Hawkins, 2005). Kadar asam urat rata-rata menurut umur dan gender dapat dilihat
pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kadar asam urat rata-rata menurut umur dan gender (Crowther, 2006)
Karakteristik Kadar asam urat rata-rata
Prepubertas 3,5 mg/dl
Laki-laki (pada pubertas) Meningkat sampai 5,2 mg/dl
Perempuan (pubertas s.d premenopause) Meningkat sampai ~4,0 mg/dl
Perempuan (setelah menopause) 4,7 mg/dl
Hiperurisemia
Laki-laki 7,0 mg/dl
Perempuan 6,0 mg/dl

Etiologi dan Patofisiologi


Asam urat adalah produk akhir dari degradasi atau metabolisme purin (Gambar 2.1)
(Shipley, 2002; Hawkins, 2005; Qazi, 2005). Kadar asam urat dalam darah tergantung dari
keseimbangan antara metabolisme purin dan asupan makanan mengandung purin, dan
eliminasi atau ekskresi asam urat oleh ginjal dan intestin (Gambar 2.2) (Shipley, 2002).
Dengan kata lain, hiperurisemia dapat disebabkan oleh overproduction asam urat,
2
underexcretion asam urat, dan kombinasi keduanya (Hawkins, 2005; Qazi, 2005). Penyebab
hiperurisemia secara umum tercantum dalam tabel 2.3.
Keterangan:

HGPRT : Hypoxanthine-guanine
phosphoribosyltransferase

Gambar 2.1 Metabolisme purin (Crowther, 2006 dengan modifikasi)


PRPP : Phospho-α-D- ribosylpyrophosphate

Gambar 2.2 Sintesis dan Eliminasi asam urat (Crowther, 2006 dengan modifikasi)
Sumber sintesis asam urat ada tiga yaitu diet purin, konversi asam urat menjadi
nukleotid purin dan sintesis de novo. Pada keadaan normal, rata-rata produksi asam urat
manusia sekitar 600-800 mg per hari (Hawkins, 2005).
Eliminasi asam urat dapat melalui dua cara, yaitu ginjal dan intestin. Sekitar 70%
(atau 2/3) asam urat total harian diekskresikan melalui ginjal dan sisanya melalui intestin
setelah mengalami degradasi enzimatik oleh koloni bakteri (Hawkins, 2005; Qazi, 2005).
Pada ginjal, asam urat difiltrasi secara lengkap oleh glomerulus, kemudian 98-100%
direabsorpsi pada tubulus proksimal (kemungkinan melalui mekanisme transport aktif dan
pasif serta ada hubungannya dengan reabsorpsi natrium) dan 50% disekresi oleh tubulus
distal (kemungkinan melalui transport aktif). Reabsorpsi post-sekresi dapat terjadi juga pada
tubulus distal sekitar 40-45% (Shipley, 2002; Hawkins, 2005). Proses ini dapat dilihat pada
gambar 2.3.

Blood urate 100% 98-100%

40-45%
50%

Gambar 2.3 Ekskresi asam urat (Shipley, 2002; Wortmann, 2005 dengan modifikasi)
Tabel 2.2 Makanan dan minuman yang mengandung purin (Harris, 1999)
Sumber Purin

Tinggi
Paling baik harus dihindari:
Hati, ginjal, ikan-ikan kecil, sarden, ikan laut, remis, daging babi, ikan cod, tiram,
ikan air tawar, haddock, daging sapi, daging rusa, turkey, minuman beralkohol
Sedang
Boleh dimakan kadang-kadang:
Asparagus, daging sapi, ayam, kepiting, daging bebek, ham, lentils, lima beans,
mushrooms, lobster, oysters, pork, shrimp, bayam
Rendah
Tidak ada batasan:
Kopi, buah-buahan, roti, gandum, macaroni, keju, telur, produk susu, gula, tomat
and dan sayuran hijau

Tabel 2.3 Etiologi Hiperurisemia (Wortmann, 2005)


Overproduction asam urat Underexcretion asam urat Kombinasi

Primary idiopathic Primary idiopathic


hyperuricemia hyperuricemia Glucose-6-phosphate
Hypoxanthine-guanine Renal insufficiency dehydrogenase
phosphoribosyl-transferase Polycystic kidney deficiency
deficiency disease Fructose-1-phosphate
Phosphoribosylpyrophosphate Diabetes insipidus aldolase deficiency
synthetase overactivity Hypertension Alcohol
Hemolytic processes Acidosis Shock
Lymphoproliferative disease --Lactic acidosis
Myeloproliferative disease --Diabetic ketoacidosis
Polycythemia vera Down syndrome
Psoriasis (severe) Starvation ketosis
Paget's disease Berylliosis
Rhabdomyolysis Sarcoidosis
Exercise Lead intoxication
Alcohol Hyperparathyroidism
Obesity Hypothyroidism
Purine-rich diet Toxemia of pregnancy
Bartter's syndrome
Drug ingestion
--Salicylates (less than 2
g per day)
--Diuretics
--Alcohol
--Levodopa-carbidopa
(Sinemet)
--Ethambutol
(Myambutol)
--Pyrazinamide
--Nicotinic acid (niacin;
Nicolar)
--Cyclosporine
(Sandimmune)

 Overproduction asam urat


Overproduction asam urat dapat terjadi melalui peningkatan asupan diet purin
atau peningkatan pemecahan nukleotid (Wortmann, 2005).
Idiopatik
Defisiensi HGPRT (Lesch-Nyhan Syndrome) : merupakan inherited X-lingked
disorder. HGPRT (Hypoxanthine-guanine phosphoribosyltransferase)
mengkatalisasi konversi hypoxantine menjadi inosinic acid, dimana PRPP sebagai
donor fosfatnya. Defisiensi enzim ini menyebabkan akumulasi dari PRPP yang
dapat mempercepat biosintesis purin sehingga hasil akhirnya peningkatan produksi
asam urat (Gambar 2.1). Selain dapat menjadi gout dan nefrolitiasis asam urat,
pasien dapat berkembang menjadi gangguan neurologik seperti choreoathetosis,
spastisitas, retardasi mental dan self-mutilation (Hawkins, 2005; Wortmann, 2005;
Crowther 2006).
Defisiensi parsial HGPRT (Kelley-Seegmiller syndrome) : merupakan kelainan
terkait-X juga. Pasien biasanya berkembang menjadi artritis gout pada dekade
kedua atau ketiga, memiliki insidensi nefrolitiasis asam urat yang tinggi dan
mungkin memiliki defisit neurologik (Qazi, 2005; Wortmann, 2005).
Meningkatnya aktivitas PRPP synthetase : Jarang terkait-X tetapi terjadi akibat
mutasi enzimnya. Pasien berkembang menjadi gout pada usia 15-30 tahun dan
memiliki insidensi terbentuknya batu asam urat yang tinggi (Wortmann, 2005).
Diet tinggi purin : makan daging, organ-oragan dalam seperti ginjal, alkohol dll.
Dapat menyebabkan overproduksi asam urat (Tabel 2.2) (Wortmann, 2005).
Peningkatan turnover asam nukleotid : Hal ini mungkin dapat diamati pada orang
dengan anemia hemolitik dan keganasan hematologik seperti limfoma, mieloma
atau lekemia (Wortmann, 2005).

 Underexcretion asam urat


Undersecretion asam urat ini merupakan etiologi yang paling banyak
menyebabkan hiperurisemia (Tabel 2.3).
Idiopatik
Insufisiensi renal : Gagal ginjal adalah salah satu penyebab yang paling umum
pada hiperurisemia. Pada gagal ginjal kronik, kadar asam urat tidak langsung
meningkat sampai kliren kreatininnya turun sampai 20mL/min dan setidaknya ada
faktor lain yang berkontribusi pada peningkatan ini. Penurunan kliren urat karena
berkompetisi dalam sekresi dengan asam organik. Pada kelainan ginjal tertentu
seperti medullary cystic disease dan penyakit kronik yang mengarah padanefropati,
hiperurisemia umumnya terjadi bahkan pada insufisiensi ginjal yang minimal
(Wortmann, 2005).
Obat : Diuretik, salisilat dosis kecil, siklosporin, pirazinamid, etambutol, levodopa
dan metoksifluran (Hawkins, 2005; Wortmann, 2005).
Hipertensi (Wortmann, 2005).
Asidosis : laktat asidosis, diabetik ketoasidosis, alkoholik ketoasidosis dan starvasi
ketoasidosis (Wortmann, 2005).
 Kombinasi
Alkohol : Etanol meningkatkan produksi asam urat dengan meningkatkan
turnover dari nukleotid adenin. Alkohol juga menurunkan ekskresi asam urat oleh
ginjal karena sebagian menyebabkan produksi asam laktat (Wortmann, 2005).
Defisiensi aldolase B (fructose-1-phosphate aldolase) : merupakan kelainan
turunan yang sering menyebabkan gout (Wortmann, 2005).
Glucose-6-phosphatase deficiency (glycogenesis type I, von Gierke disease):
merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan gejala peningkatan
hipoglikemia dan hepatomegali selama 12 bulan pertama kehidupan. Ciri-ciri
lainnya bisa berupa pembesaran ginjal, adenoma hepar, hiperurisemia,
hiperlipidemia dan peningkatan laktat (Wortmann, 2005).

Pemeriksaan Penunjang
Secara umum penyebab hiperurisemia dapat ditentukan dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Pada anamnesa terutama
ditujukan untuk mendapatkan faktor keturunan dan kelainan atau penyakit lain sebagai
penyebab sekunder hiperurisemia. Apakah ada keluarga yang menderita hiperurisemia atau
gout. Untuk mencari penyebab hiperurisemia sekunder perlu ditanyakan apakah pasien
peminum alkohol, memakan obat-obatan tertentu secara teratur, adanya kelainan darah,
kelainan ginjal atau penyakit lainnya. Pemeriksaan fisik untuk mencari kelainan atau penyakit
sekunder, terutama menyangkut tanda-tanda anemia atau phletora, pembesaran organ limfoid,
keadaan kardiovaskular dan tekanan darah, keadaan dan tanda kelainan ginjal serta kelainan
pada sendi.
Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk mengarahkan dan memastikan penyebab
hiperurisemia. Pemeriksaan penunjang yang dikerjakan dipilih berdasarkan perkiaraan
diagnosis setelah dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan yang rutin
dikerjakan adalah pemeriksaan darah rutin asam urat, kreatinn darah, pemeriksaan urin rutin,
kadar asam urat urin 24 jam, kadar kreatinin urin 24 jam, dan pemeriksaan lainnya.
Pemeriksaan enzim dilakukan atas indikasi dari diagnosis (Qazi, 2005; Putra, 2006).
Pemeriksaan kadar asam urat dalam urin 24 jam penting dikerjakan untuk mengetahui
penyebab hiperurisemia overproduction atau underexcretion. Kadar asam urat dalam urin 24
jam di bawah 600mg/hari adalah normal pada orang dewasa yang makan bebas purin selama
3-5 hari sebelum pemeriksaan. Namun sering anjuran makan bebas purin ini tidaklah praktis.
(Hawkins, 2005; Putra 2006).
DAFTAR PUSTAKA

1. Wyndham CRC (2000). "Atrial Fibrillation: The Most Common arrhythmia". Texas
Heart Institute Journal 27 (3): 257-67.
2. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-12-04.
Archived from the original on 2009-03-28.
3. Fuster V, Rydén LE, Cannom DS, et al. (2006). "ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for
the Management of Patients with Atrial Fibrillation: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the
European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines (Writing Committee
to Revise the 2001 Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation):
developed in collaboration with the European Heart Rhythm Association and the Heart
Rhythm Society". Circulation 114 (7): 257–354.
4. Friberg J, Buch P, Scharling H, Gadsbphioll N, Jensen GB. (2003). "Relationship
between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patients with
nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter".Circulation Journal 67 (1): 68–72.
5. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003). “Relationship between
left atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with nonvalvular chronic
atrial fibrillation and atrial flutter”. Circulation Journal 67.
6. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan
Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial fibrillation A
prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3): 792–7.
7. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml. Ed.3.
Jakarta. EGC, 1522-27.
8. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation mortality:
United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.
9. Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to reduce stroke in
cardiac surgical patients with atrial fibrillation". Ann. Thorac. Surg. 61 (2): 755–9.
10. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic assessment of
chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham study". Neurology 28 (10):
973–7.
11. Guyton (1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC: 287-305.
12. Ganong William F (1999). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. EGC: 682-712.
13. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson (2000). Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit) Buku 2, Edisi 4. EGC: 770-89, 813-93.
14. Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC: 1418-87.
15. Alim, Ahmad. (2008). Pocket ECG How to Learn ECG from Zero. Pengantar DR. H.Budi
Yuli Setianto., Sp.PD (K), Sp.JP (K), FIHA. Penerbit Intan Cendikia
16. Buckley., Freeman., Rogers., et. Al. (2009). Using non traditional Risk Factors to stimate
Risk for Coronary Heart Disease. American College of Physician Coughlin, DeBeasi.
(2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Patofisiologi Konsep
17. Christian Werner, MD, Michael Böhm . 2008. Is Dual Blockade Most Effective for CHF?
When to Use ARB and ACE Inhibitors Together, Disclosures Geriatrics and
Aging.;11(4):223-230.
18. Guyton, AC dan Hall, JE. (2006). Texbook of Medical Physiology (11th ed.).
Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.
19. Halim, Hadi. 2007. Penyaki-Penyakit Pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
20. Miserocchi G. Physiology and pathophysiology of pleural fulid turnover. Eur Respir J,
1991; 10:219-25
21. Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume
II Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
22. Suyono. 2005. Efusi Pleura. Diakses dari: http://www.indonesiaindonesia.com/f/9917-
efusipleura/. Diakses tanggal 11 Desember 2012.Vol. 303, No.1
23. Witmer LM. Clinical anatomy of the pleural cavity & mediastinum. [Internet]. Cited:
2012 Nov 10. Available from: http://www.oucom.ohiou.edu/dbms-
witmer/Downloads/Witmer-thorax.pdf

Anda mungkin juga menyukai