Pembimbing :
Letkol CKM dr. Susilowati, Sp.KK
Disusun oleh :
Nurul Millati
30101206837
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
2017
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Oleh :
Nurul Millati
30101206837
Mengetahui,
Pembimbing
2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Ngaisah
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 63 tahun
Pekerjaan : Tidak bekerja
No. rekam medis : 148547
Tanggal periksa : 08 Februari 2017
Alamat : Ds. Kerajan RT 02/ RW 03 Ngabean Secang
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Gatal dikedua telapak tangan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli penyakit kulit RST Soedjono Magelang pada tanggal 8
Februari 2017, pukul 10.00 WIB dengan keluhan bercak kemerahan yang terasa gatal
dikedua telapak tangan. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 1 bulan, sebelum
masuk rumah sakit. Bercak kemerahan yang terasa gatal awalnya hanya pada sela –
sela jari, lalu menyebar ke punggung dan kedua telapak tangan. Menurut pengakuan
pasien, bercak kemerahan tersebut semakin terasa gatal terutama malam hari hingga
mengganggu tidur pasien. Pasien sebelumnya sudah mencoba memberi salep anti gatal
yang dibeli bebas di apotik, tetapi keluhan tidak berkurang. Cucu pasien pertama yang
tinggal dipondok pesantren pernah mengalami keluhan yang serupa, kemudian disusul
cucu yang kedua dan ketiga hingga akhirnya keluhan serupa dialami oleh pasien..
Pasien mengaku mempunyai kebiasaan tidur sekamar dengan cucu-cucunya yang
tinggal serumah. Riwayat digigt serangga disangkal pasien.
Riwayat kebiasaan
3
Tidur sekamar dengan cucu
Riwayat Alergi obat/ makanan
Pasien tidak mempunyai alergi obat dan makanan
Riwayat sosial ekonomi
Pasien tinggal di rumah. Biaya selama pengobatan ditanggung BPJS. Kesan ekonomi
kurang.
Status Dermatologi
Lokalisasi : sela jari tangan, pergelangan kedua telapak tangan
Efloresensi :
Elforesensi primer: Makula eritem,
Elfloresensi sekunder : krusta diatasnya multiple, dengan fissure, erosi.
4
DIAGNOSIS BANDING
1. Skabies dengan infeksi sekunder
2. Prurigo
3. Pediculosis corporis
4. Dermatitis
5
V. DIAGNOSIS KERJA
Scabies dengan infeksi sekunder
VII.PENATALAKSANAAN
Permetrin 5 % krim drug of choice
Benzil benzoas 20-25 %
Gamma benzena Heksaklorida (lindane) 1% krim atau lotio
Krotamiton 10% krim atau losio
Sulfur presipitatum 4-20% salp atau krim
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad cosmeticum : dubia ad bonam
IX. EDUKASI
Meningkatkan kebersihan perorangan dan lingkungan (contoh : pasien mandi
bersih)
Hindari menggunakan barang yang sama secara bergantian, karena penularan scabies
dapat melalui pengggunaan barang bersamaan.
o (contoh : jangn memakai pakaian / handuk bersama-sama)
6
Infeksi sekunder pada tempat garukan juga perlu diobati. Komunikasi, informasi
dan edukasi penting diberikan kepada pasien dan keluarganya karena penyakit ini
memang tidak memerlukan waktu yang cukup lama untuk sembuh namun angka
terinfeksi kembali cukup tinggi dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
predisposisi. Kesabaran serta ketaatan pasien untuk berobat dan menjaga kebersihan
sangat diperlukan apalagi penularan bisa melalui kontak langsung maupun tidak
langsung.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Scabies merupakan manifestasi klinis yang disebabkan oleh penetrasi kutu parasit
obligat pada manusia, Sarcoptes scabies var. hominis ke dalam lapisan epidermis. Kutu
scabies ini adalah hewan Arthropoda. Perkiraan sekitar 300 juta jiwa diseluruh dunia
terinfeksi kutu scabies. Scabies menyerang seluruh lapisan masyarakat,wanita dan laki laki
mempunyai faktor resiko yang sama. Penyakit ini umumnya cenderung banyak ditemukan
pada area perkotaan, khususnya pada area padat penduduk. Insiden scabies telah meningkat
dalam 2 dekade terakhir ini, terutama di rumah-rumah perawatan, penjara, dan bangsal-
bangsal rumah sakit. Transmisi parasit ini biasanya terjadi melalui kontak personal, meskipun
kutu scabies ini dapat hidup di kulit manusia selama lebih dari 3 hari.(1) Riwayat kontak di
sekolah, atau dengan teman dekat merupakan hal yang penting, terutama ketika tidak ada
konfirmasi hasil dari laboratorium. Dalam hal anamnesis juga dapat didapatkan data yang
mengarah kepada penyakit skabies. Paparan terjadi sedikitnya dalam 1 bulan sebelum
munculnya gejala. Gejala awal ini terdiri dari adanyapapul atau vesikel, kadang muncul pada
sela sela jari atau pergelangan tangan dan lengan, dimana permukaan kulit yang mempunyai
stratum korneum tipis. Pruritus yang bersifat progresif, yang dapat mengganggu tidur dan
aktivitas normal, merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien (2).
Beberapa pasien datang berobat dengan perubahan sekunder yang luas pada kulit,
seperti dermatitis yang meluas, infeksi bakterial sekunder, self-induced dermatitis yang
disebabkan oleh pengobatan yang tidak sesuai. Diperkirakan bahwa rata-rata pasien-pasien
seperti ini telah terinfeksi sedikitnya 1 bulan sebelum gejala ketidak nyamanan ini muncul.(2)
Manifestasi klinis dari scabies yaitu gatal secara umum yang lebih intens terutama pada
malam hari dan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien. Infeksi sekunder ini dapat
menyebabkan komplikasi seperti glomerulonefritis post-streptococcus dan sepsis sistemik.(3)
Kutu ini membuat liang terowongan pada stratum corneum dan melanjutkan siklus
hidupnya di sana. Tanda pertama infestasi sering kali terdiri dari papula merah 1-2 mm,
beberapa mengalami ekskoriasi, berkrusta atau berskuama akibat adanya garukan. 4)
8
I. DEFINISI
Scabies merupakan infeksi ektoparasit pada manusia yang disebabkan oleh kutu
Sarcoptes scabiei var hominis. Scabies juga dikenal dengan nama kutu badan, the itch,
(3)
gudik,budukan, gatal agogo ini sangat menular Infeksi ini terjadi akibat kontak langsung
dari kulit ke kulitmaupun kontak tidak langsung (melalui benda misalnya pakaian handuk,
sprei, bantal dan lain - lain).(5)
II. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi Skabies di Indonesia menurut Depkes RI berdasarkan data dari puskesmas
seluruh Indonesia tahun 2008 adalah 5,6%-12,95%. Scabiesdi Indonesia menduduki urutan
ketiga dari 12 penyakit kulit tersering (Azizah 2011).Insiden dan prevalensi skabies masih
sangat tinggi di Indonesia terutama pada lingkungan masyarakat pesantren. Scabies dapat
menyerang semua ras dan semua kelas sosial di seluruh dunia, tetapi gambaran yang akurat
mengenai prevalensinya sulit didapatkan. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan pada area
urban, di sebelah utara Inggris, lebih banyak pada wanita dan anak-anak, dan frekuensi yang
lebih banyak pada musim dingin dibandingkan dengan pada musim panas.6) Ada dugaan
bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies. Banyak faktor yang menunjang
perkembangan penyakit ini, antara lain: kebersihan yang buruk, kesalahan diagnosis, dan
perkembangan dermografik serta ekologi. Penyakit ini dapat dimasukkan dalam P.H.S.
(Penyakit akibat Hubungan Seksual).(7)
Scabies paling sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda, tetapi dapat
menyerang semua umur, dan di Inggris dalam beberapa tahun terakhir ini lebih sering
ditemukan pada lansia di tempat-tempat perawatan seperti panti jompo. Populasi yang padat,
yang umum terjadi di negara-negara terbelakang dan hampir selalu terkait dengan kemiskinan
dan faktor kebersihan yang buruk, juga ikut mendorong penyebaran scabies.(6)
III. ETIOLOGI
Scabies disebabkan oleh parasit kutu Sarcoptes scabiei var hominis.Kutu scabies
memiliki 4 pasang kaki dan berukuran 0,3 mm, yang tidak dapat dilihat dengan menggunakan
mata telanjang.(1) Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak
bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 – 350 mikron,
sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk
dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang didepan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang
9
kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada jantan pasangan kaki ketiga
berakhir dengan rambut dan keempat dengan alat perekat.(7)
IV. PATOGENESIS
Kutu scabies betina menggali terowongan pada stratum corneum dengan kecepatan 2
mm per hari, dan meletakkan 2 atau 3 telur-telurnya setiap harinya. Telur-telur ini akan
menetas setelah 3 hari dan menjadi larva, yang akan membentuk kantung dangkal di stratum
corneum dimana larva-larva ini akan bertrasnformasi dan menjadi dewasa dalam waktu 2
minggu. Kutu ini kawin di dalam kantongnya, dimana kutu jantan akan mati tetapi kutu
betina yang telah dibuahi menggali terowongan dan melanjutkan siklus hidupnya. Setelah
invasi pertama dari kutu ini, diperlukan 4 hingga 6 minggu untuk timbul reaksi
hipersensitivitas dan rasa gatal akibat kutu ini.(2)
10
Gambar 2 : siklus hidup Sarcoptes scabiei(dikutip dar kepustakaan 8)
Siklus hidup ini menjelaskan mengapa pasien mengalami gejala selama bulan pertama
setelah kontak dengan individu yang terinfeksi. Setelah sejumlah kutu (biasanya kurang dari
20) telah dewasa dan telah menyebar dengan cara bermigrasi atau karena garukan pasien, hal
ini akan berkembang dari rasa gatal awal yang terlokalisir menjadi pruritus generalisata.(9)
Selama siklus hidup kutu ini, terowongan yang terbentuk meluas dari beberapa
milimeter menjadi beberapa centimeter.Terowongan ini tidak meluas ke lapisan bawah
epidermis, kecuali pada kasus hiperkeratosis scabies Norwegia, kondisi dimana terdapat kulit
yang bersisik, menebal, terjadi imunosupresan, atau pada orang-orang tua dengan jumlah
ribuan kutu yang menginfeksi. Telur-telur kutu ini akan dikeluarkan dengan kecepatan 2-3
telur perharinya dan massa feses (skibala) terdeposit pada terowongan. Skibala ini dapat
menjadi iritan dan menimbulkan rasa gatal.(9)
Tungau skabies lebih suka memilih area tertentu untuk membuat terowongannya dan
menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaseus. Biasanya, pada satu individu
terdapat kurang dari 20 tungau di tubuhnya, kecuali pada Norwegianscabies dimana individu
bisa didiami lebih dari sejuta tungau. Orang tua dengan infeksi virus immunodefisiensi dan
pasien dengan pengobatan immunosuppresan mempunyai risiko tinggi untuk menderita
Norwegianscabies.(1,6)
Reaksi hipersensitivitas akibat adanya benda asing mungkin menjadi penyebab lesi.
Peningkatan titer IgE dapat terjadi pada beberapa pasien scabies, bersama dengan eosinofilia,
dan reaksi hipersensitivitas tipe langsung akibat reaksi dari kutu betina ini. Kadar IgE
menurun dalam satu tahun setelah terinfeksi.Eosinofil kembali normal segera setelah
dilakukannya perawatan. Fakta bahwa gejala yang timbul jauh lebih cepat ketika terjadi
reinfeksi mendukung pendapat bahwa gejala dan lesi scabies adalah hasil dari reaksi
hipersensitivitas.(9)
Jalur utama daritransmisi penularan yaitu dapat secara kontak langsung antara kulit-ke-
kulit. Namun transmisi dengan cara pakaian bersama atau metode tidak langsung lainnya
sangat langka tetapi mungkin terjadi pada Norwegian scabies (misalnya, dalam host
immunocompromised). Transmisiantara anggota keluarga. Transmisiseksual jugaterjadi.(5)
V. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
11
Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei
sangat bervariasi. Meskipun demikian kita dapat menemukan gambaran klinis
berupa keluhan subjektif dan objektif yang spesifik. Dikenal ada 4 tanda utama
atau cardinal sign pada infestasi skabies, yaitu :(7,10)
a. Pruritus nocturna
Setelah pertama kali terinfeksi dengan tungau skabies, kelainan kulit seperti
pruritus akan timbul. Infeksi yang berulang menyebabkan ruam dan gatal
yang timbul hanya dalam beberapa hari. Gatal terasa lebih hebat pada malam
hari.(3,6) Hal ini disebabkan karena meningkatnya aktivitas tungau akibat suhu
yang lebih lembab dan panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali
mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah.(10)
12
Gambar 3 : terowongan pada penderita scabies (dikutip dari kepustakaan 11)
Lesi yang timbul berupa eritema, krusta, ekskoriasi papul dan nodul yang
sering ditemukan di daerah sela-sela jari, pergelangan tangan bagian depan dan
lateral telapak tangan, siku, aksilar, skrotum, penis, labia dan pada areola
wanita.(3) Bila ada infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorfik (pustul,
ekskoriasi, dan lain-lain).(10)
13
Gambar 5: distribusi makro lesi primer scabies pada orang dewasa (dikutip
dari kepustakaan 2 )
Gambar 6 :distribusi makro lesi primer scabies pada anak (dikutip dari
kepustakaan 2 )
14
d. Menemukan Sarcoptes scabiei
Apabila kita dapat menemukan terowongan yang masih utuh
kemungkinan besar kita dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa maupun
skibala dan ini merupakan hal yang paling diagnostik. Akan tetapi, kriteria yang
keempat ini agak susah ditemukan karena hampir sebagian besar penderita pada
umumnya datang dengan lesi yang sangat variatif dan tidak spesifik.(10) Diagnosa
positif hanya didapatkan bila menemukan tungau dengan menggunakan
mikroskop, biasanya posisi tungau determined dalam liang, dapat menggunakan
pisau untuk teknik irisan ataupun denggan menggunakan jarum steril, tungau ini
mayoritas dapat ditemukan pada tangan, pergelangan tangan dan lebih kurang
pada daerah genitalia, siku, bokong dan aksila. Pada anak – anak tungau banyak
ditemukan dibawah kuku karena kebiasaan menggaruk, pengambilan tungau ini
dengan menggunakan kuret.(12)
2. Bentuk Klinis
Beberapa bentuk skabies antara lain :
a. Norwegian scabies (Skabies berkrusta)
Merupakan skabies berat ditandai dengan lesi klinis generalisata berupa
krusta dan hiperkeratosis dengan tempat predileksi pada kulit kepala
berambut, telinga, bokong, telapak tangan, kaki, siku, lutut dapat pula disertai
kuku distrofik bentuk ini sangat menular tetapi gatalnya sangat sedikit. Dapat
ditemukan lebih dari satu juta populasi tungau dikulit. Bentuk ini ditemukan
15
pada penderita yang mengalami gangguan fungsi imun misalnya AIDS,
penderita gangguan neurologik dan retardasi mental.(1,7)
KLASIFIKASI
Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal,
sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut antara
lain
1. Skabies pada orang bersih (scabies of cultivated).
Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit
jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan.
2. Skabies incognito
. Bentuk ini timbul pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga
gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih bisa
terjadi. Skabies incognito sering juga menunjukkan gejala klinis yang tidak
biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain.
16
3. Skabies nodular
Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya
terdapat didaerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan aksila.
Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau skabies. Pada
nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus
mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah
diberi pengobatan anti skabies dan kortikosteroid.
5. Skabies Norwegia.
Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas
dengan krusta, skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat
predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga bokong, siku, lutut,
telapak tangan dan kaki yang dapat disertai distrofi . Berbeda dengan skabies
biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini
sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan).
Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun
tubuh gagal membatasi proliferasi tungau dapat berkembang biak dengan mudah.
17
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal ditempat
tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.
Pemeriksaan Penunjang
Bila gejala klinis spesifik, diagnosis skabies mudah ditegakkan. Tetapi penderita
sering datang dengan lesi yang bervariasi sehingga diagnosis pasti sulit
ditegakkan. Pada umumnya diagnosis klinis ditegakkan bila ditemukan dua dari
empat cardinal sign. (7)
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menemukan tungau dan produknya
yaitu :
18
Gambar 11 :Sarcoptes scabiei dalam epidermis (panah) denganpewarnaan H.E
(dikutip dari kepustakaan 8 dan 5)
1. Prurigo nodularis
Merupakan tanda klinik yang kronis yaitu nodul yang gatal dan secara histologi
ditandai adanya hiperkeratosis dan akantosis hingga ke bawah epidermis.
Sedangkan pada skabies ditemukan Sarcoptesscabiei di bagian teratas epidermis
yang mengalami akantosis. Pada prurigo, penyebabnya belum diketahui. Namun
dalam beberapa kasus, faktor stress emosional menjadi salah satu pemicu
sehingga sulit untuk ditentukan apakah ini adalah penyebab atau akibat dari
prurigo sedangkan pada skabies disebabkan oleh adanya tungau Sarcoptes
19
scabiei melalui pewarnaan Hematoksilin-Eosin (H.E).(6)
20
Gambar 15 : tampak papul miliar pada tubuh (dikutip dari
kepuastakaan 16)
3. Dermatitis
Dermatitis merupakan peradangan kulit (pada epidermis dan dermis), krena
adanya pengaruh dari faktor eksogen dan endogen. Kelainan klinis pada
demratitis berupa elforesensi polimorfik, bisa berupa eritema, edema, papul,
vesikel, skuama, dan likenifikasi dan terdapat keluhan gatal. Penyebabnya
sendiri bisa karena faktor eksogen, misal bahan kimia (detergen,asam, basa);
fisik (sinar,suhu), endogen (dermatitis atopik).
Pada umunya keluhan utamanya berupa gatal. Pada stadium akut kelainan
klinis bisa berupa eritema, edem,vesikel, atau bula. Pada stadium subakut dem
dan eritem berkurang, eksudat mengeringmenjadi krusta, dan pada staudium
kronis lesi tampak kering berbentuk skuama.(17)
Terdapat beberapa terapi untuk skabies yang memiliki tingkat efektifitas yang
bervariasi. Faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan yang antara lain umur pasien, biaya
pengobatan, berat derajat erupsi, dan faktor kegagalan terapi yang pernah diberikan
sebelumnya.(1)
Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus dioleskan di seluruh permukaan tubuh
kecuali area wajah dan kulit kepala,dan lebih difokuskan di daerah sela-sela jari, inguinal,
genital, area lipatan kulit sekitar kuku, dan area belakang telinga. Pada pasien anak dan
skabies berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga harus dioleskan skabisid topikal. Pasien
21
harus diinformasikan bahwa walaupun telah diberikan terapi skabisidal yang adekuat, ruam
dan rasa gatal di kulit dapat tetap menetap hingga 4 minggu. Jika tidak diberikan penjelasan,
pasien akan beranggapan bahwa pengobatan yang diberikan tidak berhasil dan kemudian
akan menggunakan obat anti skabies secara berlebihan. Steroid topikal, anti histamin maupun
steroid sistemik jangka pendek dapat diberikan untuk menghilangkan ruam dan gatal pada
pasien yang tidak membaik setelah pemberian terapi skabisid yang lengkap.(1)
22
digunakan malam hari sekali dalam 1 minggu selama 2 minggu, apabila belum
sembuh bisa dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu. Permethrin
tidak dapat diberikan pada bayi yang kurang dari 2 bulan, wanita hamil, dan ibu
menyusui. Efek samping jarang ditemukan berupa rasa terbakar, perih, dan gatal.
Beberapa studi menunjukkan tingkat keberhasilan permetrin lebih tinggi dari
lindane dan crotamiton. Kelemahannya merupakan obat topikal yang mahal.(11,18)
23
berkembang dimana sumber daya yang terbatas, benzyl benzoate digunakan
dalam pengelolaan skabies sebagai alternatif yang lebih murah.(4)
d. Lindane (Gamma benzene heksaklorida)
Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena, adalah sebuah
insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat tungau. Lindane diserap masuk
ke mukosa paru-paru, mukosa usus, dan selaput lendir kemudian keseluruh
bagian tubuh tungau dengan konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan
kulit yang menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau, lindane
dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses.(4)
Lindane tersedia dalam bentuk krim, losion, gel, tidak berbau dan tidak
berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke seluruh tubuh dari
leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1% krim atau losion. Setelah
pemakaian dicuci bersih dan dapat diaplikasikan lagi setelah 1 minggu.Hal ini
untuk memusnahkan larva-larva yang menetas dan tidak musnah oleh pengobatan
sebelumnya. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan lindane selama 6 jam
sudah efektif. Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta
tidak menggunakan konsentrasi lain selain 1%.(10)
Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas sistem saraf pusat,
kejang, dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang terjadi. Tanda-
tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane yaitu sakit kepala, mual,
pusing, muntah, gelisah, tremor, disorientasi, kelemahan, berkedut dari kelopak
mata, kejang, kegagalan pernapasan, koma, dan kematian. Beberapa bukti
menunjukkan lindane dapat mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah
seperti anemia aplastik, trombositopenia, dan pansitopenia.(4)
24
Beberapa ahli beranggapan bahwa krim ini tidak direkomendasikan terhadap
skabies karena kurangnya efikasi dan data penunjang tentang tingkat keracunan
terhadap obat tersebut.Crotamiton 10% dalam krim atau losion, tidak mempunyai
efek sistemik dan aman digunakan pada wanita hamil, bayi dan anak kecil.(4)
25
Benzoat lalu dibersihkan wajah
10%
Setelah pengobatan berhasil untuk mematikan tungau, rasa gatal dapat bertahan dan
dirasakan selama 6 minggu sebagai reaksi eksematous. Pasien dapat diobati dengan
pengobatan eksema biasa dengan emolien dan kortikosteroid topikal dengan atau tanpa
antibiotik topikal tergantung adanya infeksi sekunder Staphylocccus aureus. Antipruritus
topikal crotamiton sering membantu jika kulit gatal dengan hanya sedikit reaksi peradangan.
Pasien harus disarankan bahwa erupsi dari skabies membutuhkan waktu untuk proses
penyembuhan dan sebaiknya berhati-hati dengan penggunaan skabisid yang berlebihan. (17)
VIII. KOMPLIKASI
Kejadian pasca skabies merupakan suatu kondisi yang terajdi pada pasien dengan penyakit
skabies yang telah menjalani pengobatan. Kebanyakan pasien akan mengeluh timbulnya
papul papul kecil seluuh tubuh dan dsertai rasa gatal. Keluhan ini mirip seperti saat pertama
kali gejala skabies muncul. Setelah pasien menerima pengobatan untuk membunuh tungau
kudis, tungau akan mati dan menetap di bawah kulit. Dibutuhkan waktu sampai enam minggu
bagi tubuh untuk menghilangkan atau menyerap tungau mati. Selama itu, tungau yang mati
dan menetap di kulit akan dianggap ‚benda asing‘ oleh tubuh, sehingga tubuh akan
26
mengalami reaksi alergi terhadap tungau. Dalam banyak kasus, tubuh melukai tungau mati di
kulit menebal, mungkin dalam upaya untuk mengurangi reaksi alergi. Munculnya papul papul
kecil ini menunjukan terapi yang diberikan telah berhasil untuk mematikan tungau.
Pengobatan untuk kejadian pasca skabies ini tidak dapat disamakan dengan terapi awal
skabies. Pasien dapat diberikan terapi topical kortikosteroid untuk mengurangi rekasi
peradangan. Tidak lupa pemberian edukasi kepada pasien tentang rekasi yang timbul setelah
pemberian terapi awal. Banyak kejadian, pasien akan mengkhawatirkan dari kekambuhan
skabiesnya. Edukasi disini ditekankan bahwa papul dan rasa gatal yang terajadi akibat dari
pengobatan yang berhasil membunuh tungau skabies. (19)
X. PROGNOSIS
Jika tidak dirawat, kondisi ini bisa menetap untuk beberapa tahun. Pada individu yang
immunokompeten, jumlah tungau akan berkurang seiring waktu.(1) Investasi skabies dapat
disembuhkan. Seorang individu dengan infeksi skabies, jika diobati dengan benar, memiliki
prognosis yang baik, keluhan gatal dan eksema akan sembuh.(7)
XI. PENCEGAHAN
Selain itu untuk mencegah terjadinya reinfeksi melalui seprei, bantal, handuk dan
pakaian yang digunakan dalam 5 hari terakhir, harus dicuci bersih dan dikeringkan dengan
udara panas karena tungau skabies dapat hidup hingga 3 hari diluar kulit, karpet dan kain
pelapis lainnya juga harus dibersihkan (vacuumcleaner).(1)
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, other mites, and pediculosis In: Wolff K,
Lowell A, Katz GSI, Paller GAS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 7th ed. United state of America. McGraw-Hill; 2008. p. 2029-2032.
2. Trozak DJ, Tennenhouse JD, Russell JJ. Herpes Scabies. In: Trozak DJ, Tennenhouse JD, Russell
JJ editors. Dermatology Skills for Primary Care; An Illustrated Guide: Humana Press; 2006. p.
105-11
3. Currie JB, McCarthy JS. Permethrin and Ivermectin for Scabies.New England J Med.
2010; 362: p. 718.
4. Karthikeyan K. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate Med J. 2005;
81: p. 8 - 10.
5. Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006; 345: p. 1718-1723.
6. Burns DA. Diseases caused by arthropods and other noxious animals. In: Rook’s textbook
of dermatology. 8th ed. United kingdom. Willey-blackwell; 2010. p. 38.36 – 38.38.
7. Handoko,PR. Skabies. In: Prof.Dr.dr.Adi Djuanda, editor. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Ed 7. Jakarta. FK UI; 2015.p.122-123
8. Granholm JM, Olazowaki J. Scabies prevention and control manual. Michigan
department of community health. 2005; 1: p. 10.
9. Habif TP. Infestations and bites. In: Habif TP, editor. A clinical dermatology : a color
guide to diagnosis and therapy. 4th ed. London. Mosby; 2004. p. 500.
10. Amiruddin MD. Skabies. In. Amiruddin MD, editor. Ilmu Penyakit Kulit. Ed 1. Makassar:
Bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin fakultas kedokteran universitas hasanuddin;
2003. p. 5-10.
11. Oakley A. Scabies: Diagnosis and Management. BPJ journals. 2012; 19: p. 12-16.
12. William DJ, Timothy GB, Dirk ME. Parasitic infestations, stings, and bites. In: Sue
Hodgson/Karen Bowler, editors. Andrews’ Disease of the skin: Clinical Dermatology.
10th ed. Canada: Saunders Elsevier; 2006. p. 453
13. Hengge UR, Currie BJ, Jager G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: a Ubiquitous Neglected
Skin Disease. PubMed Med. J. 2006; 6: p. 771
14. Park JH, Kim CW, Kim SS. Scabies: The Diagnosis Accuracy of Dermoscopy for
Scabies. Ann Dermatology. 2012; 24: p. 194-99.
28
15. Elston DM. Bites and stings. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Bolognia:
Dermatology. 2nd ed. USA: Mosby Elsevier; 2008. p. 84
16. Nutanson, Ish, et all, :Pediculus humanus capitis an update, EBSCO, 2008, p:6
17. Sularsito, Sri adi, dkk, . Dermatitis. In: Prof.Dr.dr.Adi Djuanda, editor. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. Ed 7. Jakarta. FK UI; 2015.p.157-188
18. Siregar,R.S,: Atlas Berwarna Saripati Kulit. Edisi 3, Jakarta, EGC;2002
19. Jhonson, Graham : Scabies;diagnose and treatment, Journal of NCBI,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1215558/, diakses tanggal 20 Juni 2016
29