Pemimpin Pendidikan
Mutu terpadu merupakan sebuah gairah dan pandangan hidup bagi
organisasi yang menerapkannya. Peters dan Austin pernah meneliti
karakteristik tersebut dalam bukunya A Passion for Excellen. Penelitian
tersebut meyakinkan mereka bahwa yang menentukan mutu dalam institusi
adalah kepemimpinan. Mereka berpendapat bahwa gaya kepemimpinan
tertentu dapat mengantarkan institusi pada revolusi mutu ~sebuah gaya
yang mereka singkat dengan MBWA atau management by walking about
(manajemen dengan melaksanakan). Keinginan untuk unggul tidak bisa
dikomunikasikan dari balik meja. MBWA menekankan pentingnya kehadiran
pemimpin dan pemahaman atau pandangan mereka terhadap karyawan dan
proses institusi. Gaya kepemimpinan ini mementingkan komunikasi misi dan
visi dan nilai-nilai institusi kepada pihak-pihak lain, serta berbaur dengan para
staf dan pelanggan.
Peter dan Austin memandang bahwa pemimpin pendidikan
membutuhkan perspektif-perspektif berikut ini:
Visi dan simbol-simbol. Kepala sekolah harus mengkomunikasikan
nilai-nilai institusi kepada para staf, para pelajar dan kepala komunitas
yang lebih luas.
MBWA adalah gaya kepemimpinan yang dibutuhkan bagi institusi.
’Untuk para pelajar’. Istilah ini sama dengan ’dekat dengan pelanggan’
dalam pendidikan. Ini memastikan bahwa institusi memiliki fokus yang
jelas terhadap pelanggan utamanya.
Otonomi, eksperimentasi dan antisipasi tergadap kegagalan. Pemimpin
pendidikan harus melakukan inovasi diantara staf-stafnya dan bersiap-
siap mengantisipasi kegagalan yang mengiringi inovasi tersebut.
Menciptakan rasa ’kekeluargaan’. Pemimpin harus menciptakan rasa
kekeluargaan diantara para pelajar, orang tua, guru dan staf institusi.
’Ketulusan, kesabaran, semangat, intensitasn dan antusiasme’. Sifat-
sifat tersebut merupakan mutu personal esensial yang dibutuhkan
pemimpin lembaga pendidikan.
Tanpa kepemimpinan, pada semua level institusi, proses peningkatan
tidak dapat dilakukan dan diwujudkan. Komitmen terhadap mutu harus
menjadi peran utama bagi seorang pemimpin, karena TQM adalah proses
atas ke bawah (top-down). Diperkirakan bahwa 80 persen inisiatif mutu gagal
dalam masa dua tahunawal. Alasan utama kegagalan tersebut adalh bahwa
manajer senior kurang mendukung proses dan kurang memiliki komitmen
untuk inisiatif terebut. Biasanya, masalah peningkatan mutu ini merupakan hal
yang amat sangat berat dilakukan oleh manajer senior, karena mereka
beranggapan bahwa pelimpahan tanggungjawab pada para bawahan akan
ikut mempengaruhi wibawa mereka. Itulah sebab mengapa kepemimpinan
yang kuat dan jauh ke depan diperlukan dalam kesuksesan peningkatan
mutu.
Biasanya pemimpin organisasi non- TQM menghabiskan 30 persen
waktu untuk menghadapi kegagalan sistem, komplai serta penyelesaian
masalah. Sementara itu, manajer yang mengaplikasikan TQM tidak memiliki
pemborosan waktu sedemikian sehingga mereka bisa mengalihkan 30 persen
waktu tersebut untuk memimpin, merencanakan masa depan,
mengembangkan ide-ide baru dan bekerja secara familiar dengan para
pelanggan.
Mengkomunikasikan Visi
Manajer senior harus memberi arahan, visi dan inspirasi. Dalam
orgainsasi TQM, seluruh manajer harus menjadi pemimpin dan pejuang
proses mutu. Mereka harus mengkomunikasikan visi dan menurunkannya ke
seluruh orang dalam institusi.
TQM mencakup perubahan dalam pola pikir manajemen serta
perubahan peran. Peran tersebut berubah dari mentalitas ’Saya adalah bos’
menuju mental bahwa manajer adalah pendukung dan pemimpin para staf.
Fungsi pemimpin adalah mempertinggi mutu dan mendukung para staf yang
menjalankan roda mutu tersebut. Gagasa-gagasan tradisional tidak akan bisa
berjalan berbarengan dengan pendekatan mutu terpadu. Karena TQM akan
merubah institusi tradisional mulai dari pemimpin hingga para staf serta
memutar-balikkan hirarki fungsi institusi tersebut. TQM memberdayakan para
guru dan memberikan mereka kesempatan yang luas untuk berinisiatif. Oleh
karena alasan itulah seringkali dikatakan bahwa institusiTQM hanya
membutuhkan manajemen yang sederhana dengan kepemimpinan yang
unggul.
Saat persoalan muncul tanpa bukti –bukti yang nyata. Kebanyakan persoalan
yang muncul adalah hasil dari kebijakan institusi dan bukan kesalahan staf :
Memimpin inovasi dalam institusi
12. Belajar untuk berperan sebagai pelatih dan bukan sebagai bos.