Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH FITOKIMIA

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS


(JURNAL SKRINING FITOKIMIA DAN ANALISIS KLT KOMPONEN
KIMIA BUAH LABU SIAM DALAM EKSTRAK ETANOL)

DISUSUN OLEH:
NAMA : YUSTIAN OKWANI
NIM : F201701110
KELAS : K2

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


MANDALA WALUYA KENDARI
2018

KATA PENGANTAR

i
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
kasih sayang-Nya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang telah kami terima, serta
petunjuk-Nya sehingga memberikan kemampuan dan kemudahan bagi kami dalam
penyusunan makalah ini.

Dalam makalah ini kami selaku penyusun hanya sebatas ilmu yang bisa kami
sajikan dengan topik “Kromatografi Lapis Tipis. Atas segala kekurangan dan
ketidaksempurnaan makalah ini, penyusun sangat mengharapkan masukan, kritik dan
saran yang bersifat membangun kearah perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan semoga amal baik yang telah di berikan kepada penyusun mendapat balasan
dari Allah SWT.

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Taksonomi Tumbuhan ............................................................................. 3
2.2 Kandungan Kimia ..................................................................................... 3
2.3 Teori Umum ............................................................................................. 4
2.3.1. Pengertian KLT .............................................................................. 4
2.3.2. Syarat-Syarat Sampel ..................................................................... 4
2.3.3. Prinsip dan Mekanisme Kerja ......................................................... 5
2.3.3. Keuntungan dan Kerugian KLT ..................................................... 6
2.3.4. Fase Diam KLT .............................................................................. 7
2.3.5. Fase Gerak Pada KLT .................................................................... 7
2.3.6. Aplikasi Penotolan Sampel ............................................................ 8
2.3.7. Pengembangan ............................................................................... 9
2.3.8. Deteksi Bercak ............................................................................... 9
2.3.9. Penggunaan KLT ........................................................................... 11
2.4 Ekstraksi .................................................................................................. 13
2.3.1. Pengertian Ekstraksi ....................................................................... 13
2.3.2. Macam-Macam Ekstraksi ............................................................... 13

BAB III METODE PENELITIAN

iii
3.1 Alat Dan Bahan ........................................................................................ 11
3.2 Cara Pengolahan Bahan ........................................................................... 12
3.3 Analisis Skrining Fitokimia ..................................................................... 13
3.4 Analisis Kromatografi Lapis Tipis ........................................................... 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 17

BAB V KESIMPULAN ................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 35

LAMPIRAN ..................................................................................................... 36

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Famili curcubitaceae merupakan salah satu ragam tanaman yang banyak
terdapat di Indonesia. Famili ini mencakup lebih dari 700 50 jenis yang terbagi
dalam 100 genus. Selain itu famili cucurbitaceae telah cukup diketahui
mempunyai potensi sebagai obat pada beberapa penyakit. Menurtu Duke (2003)
tanaman dalam famili ini mengandung beberapa senyawa seperti saponin yang
berguna sebagai anti tumor pada paru-paru dan rahim, senyawa betasitosterol
sebagai anti oksidan yang mencegah kanker payudara serta senyawa spinasterol
dan stigmasterol berguna sebagai pencegah radang tenggorokan dan obat perasa
nyeri.
Salah satu spesies tanaman dalam famili cucurbitaceae yang biasa
digunakan untuk mengobati penyakit adalah labu siam (Sechium edule Jacq.
Swartz.). spesies ini merupakan satu-satunya spesies dalam genus sechium
(Tjitrosoepomo, 1989). Kebanyakan orang mengenal labu siam sebagai sayuran,
namun sejak lama bagian daun dari tanaman ini digunakan untuk mengobati
penyakit batu ginjal, arteriosclerosis dan tekanan darah tinggi. Sedangkan bagian
buahnya biasa digunakan untuk mengurangi retensi urin (Hernando dan Leon,
1994). Namun pengetahuan tentang kandungan kimia yang sudah dipelajari pada
labu siam masih sedikit sekali diantaranya adalah citrulline, asam alfa amino
ureideo butirat, asam oksalat, dan asam gama amino butirat (Duke, 2003).
Melihat banyakanya khasiat tanaman dari labu siam tersebut diperkirakan
tanaman tersebut mengandung bermacam-macam senyawa kimia yang berguna
bagi kesehatan. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan analisis komponen
kimia buah labu siam dalam ekstrak etanol.

1
2

1.2. Rumusan Masalah


Apakah tedapat kandungan flavonoid, alkaloid, saponin dan kardenolin atau
bufadineol pada buah labu siam?

1.3. Tujuan Penelitian


Melakukan skrining dan fitokimia dengan metode soxhletasi, melakukan
Identifikasi falvonoid, alkaloid, saponin dan kardenolin atau bufadineol pada labu
siam dengan Kromatografi Lapis Tipis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi tumbuhan

Klasifikasi tanaman labu siam:


Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Cucurbitales
Suku : Cucurbitaceae
Marga : Sechium
Jenis : Sechium edule (Jacq.) Sw.

2.2. Kandungan kimia


Didialam 100 g Labu siam mengandung energi 29 kkal, protein 0,6 gram, lemak 0,1
gram, karbohidrat 6,5 g, kalsium 14 mg, fosfor 25 mg, zat besi 0,5 mg, retinol 6mg,
thyamine 0,02mg, dan asam askorbat 18 mg (Dewi, 2017).

3
4

2.3. Teori Umum


2.3.1. Pengertian Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia
Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam
tanman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang
berisi kalium karbonat.
Kromatografi merupakan tekhnik pemisahan yang paling umum digunakan
dalam bidang kimia analisis dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis balik
secara kuantitatif dan kualitatif atau preparatif dalam bidang farmasi, lingkungan,
industrsi dan sebagainya.
Kromatografi Lapis Tipis dikembangkan oleh Izmailof dan Schaiber pada
tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar selain kromatografi
kertas dan elektroferesis. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase
diamnya di isikan atau dikemas didalamnya. Pada kromatografi lapis tipis fase
diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang
didukung oleh lempeng kaca, plat alumunium atau plat plastik. Dan dapat
dikatakan bentuk terbuka dari kromatografi kolom.
Fase gerak pada kromatografi lapis yang dikenal sebagai pelarut pengemang
akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengemangan
secara menaik (aseology) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan
secara menurun (desoending). (Gandjar, 2007).
TLC adalah subdivisi kromatografi cair, dimana fase gerak adalah cairan dan
fasa diam terletak sebagai lapisan tipis permukaan pelat datar.
2.3.2. Syarat – syarat sampel
Beberapa persyaratan dasar, ditetapkan untuk menentukan kualitas buah
chayote hijau, dipilih berdasarkan warna (Hijau green), Ukuran (beratnya 0,2-0,5
kg dan panjang 12-16 cm) (Jorge Cadena, 2007).

2.3.3. Prinsip dan Mekanisme Kerja Kromatografi lapis tipis


5

Prinsip KLT adalah sampel diteteskan pada lapisan tipis kemudian


dimasukkan kedalam wadah yang berisi fase gerak sehingga sampel tersebut
terpisah menjadi kompoen-komponennya dengan laju tertentu yang dinyatakan
dengan faktor retensi (Rf), yaitu perbandingan antara jarak yang ditempuh
komponen terahadap jarak yang ditempuh fase gerak (Gritter et al.1991).
Perpindahan analit pada fase diam karena pengaruh fase gerak. Proses ini
biasa disebut elusi. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin
sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal
efisiensi dan resolusinya.
Mekanisme kerja KLT dibagi menjadi 4, yaitu :
a. Absorbsi
Absorbsi merupakan penyerapan pada permukaannya saja. Absorbsi
pada permukaan melibatkan interaksi-interaksi elektrostatik seperti
ikatan hidrogen, penarikan dipole-dipol dan penarikan yang
diinduksikan oleh dipole. Solute akan bersaing dengan fase gerak untuk
berikatan dengan sisi polar pada permukaan absorben.
b. Partisi
Merupakan proses absorbsi yang analog dengan ekstraksi pelarut. Fase
diam diikat pada padatan lapis tipis yang inner. Dalam partisi
sebenarnya solute akan terdistribusi diantara fase gerak dan fase diam
sesuai dengan kelarutan relatif antara keduanya.
c. Pertukaran ion
Merupakan proses yang mana solute, ion dalam fase gerak dapat
bertukar dengan ion-ion yang bermuatan sama yang terikat secara
kimiawi pada fase diam.

d. Ekslusi
Berbeda dengan mekanisme yang lain yaitu; dalam ekslusi tidak ada
interaksi spesifik antara solute dengan fase diam. Pemisahan ini
berdasarkan pada ukuran molekul dari fase diam.
6

2.3.4. Keuntungan dan Kerugian


A. Keuntungan
a) Keuntungan penggunaan kromatografi lapis tipis diantaranya
kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
b) Identifikasi pemisahan komponen pada klt juga dapat dilakukan
dengan pereaksi warna, fluoresesensi, atau dengan radiasi
menggunakan sinar UV.
c) KLT dapat dilakukan secara descending dan ascending atau
dengan elusi 2 dimensi.
d) Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen
yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
B. Kerugian
a) Pelat KLT tidak memiliki fase stasioner yang panjang.
b) TLC beroperasi sebagai sistem terbuka, sehingga faktor seperti
kelembaban dan suhu bisa berakibat pada hasil kromatogram.
c) Butuh sistem trial and eror untuk menentukan sistem eluen yang
cocok.
2.3.5. Fase Diam KLT
Fase diam yang digunakan pada KLT merupakan penyerap berukuran
kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil
ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran
ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam
efisiensinya dan resolusinya.
7

Penyerapan yng paling sering digunakan adalah silika dan serbuk


selulosa, sementara meknisme absorbsi yang utama pada KLT adalah
partisi dan absorbsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai penyerap
juga dapat dibuat dari silika gel yang telah dimodifikasi, resin
penukar ion, gel exlusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk
pemisahan kiral. Beberapa penyerap KLT serupa dengan penyerap
yang digunakan pada KCKT. Kebanyakan penyerap diukur ukuran
partikel dan luas permukaannya.
2.3.6. Fase gerak pada KLT
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering
dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar.
Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik
karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur
sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal.
Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi
fase gerak:
 Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi.
 Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga
harga Rf terletak antara 0,2 – 0,8 untuk memaksimalkan
pemisahan.
 Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti
silica gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi
solut yang berarti juga menentukan nilai Rf.
 Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti metil
benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.
 Solut solut ionik dan solut solut polar lebih baik digunakan
campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran pelarut
air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan
sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan
meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.
8

2.4. Aplikasi Penotolan Sampel


Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yng optimal akan diperoleh
hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan
sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain,
jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan
resolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara
otomatis lebih dipilh darpada penotolan secara manual terutama jik
smpel yang akan ditotolkan lebih dari 15µI. Penotolan sampel yang tidak
tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda.
Berdasarkan pada tujuan analisis, berbagai macam jumlah sampel telah
disarankan untuk digunakan dan diringkas pada tebel.

Tujuan Diameter bercak Konsentrasi Banyaknya


(mm) sampel (%) sampel (µg)
Densitrometri 2 mm untuk volume 0,02-0,2 0,1-1 (untuk
sampel 0,5µl KLT-KLT) 1-
10
(konvensional)
Identifikasi 3 mm untuk volume 0,1-1 1-20
smpel 1 µl
Uji 4 mm untuk volume 5 100
kemurnian sampel 2 µl

Untuk memperoleh reprodusibilitas volume sampel yang ditotolkan paling


sedikit 0,5 µl. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 µl
maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan
antar totolan.

2.4.1. Pengembangan
Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah
mengembangkan sampel tersebut adalam suatu bejana kromatografi yang
9

sebelumnya dijenuhi dengan uap fase gerak. Tepi bagian bawah lempeng lapis
tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak kurang lebih 0,5 –
1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus dibawah lempeng yang tealh berisi
totolan sampel.
Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase
gerak sedikit mungkin. Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana
dilapisi dengan kertas saring. Jia fase gerak telah mencapai ujung atas kertas
saring, maka dapat dikatan bahwa fase gerak telah jenuh. Selama proses elusi
bejana kromatografi harus ditutup rapat dengan lembar alumunium dan sebgainya.
Ada beberapa tekhnik untuk melakukan pengembangan dalam kromatografi
lapis tipis, yaitu pengembangan menaik ( ascending) sebagaimana dalam gambar,
selain dalam cara menaik dikenal pula pengembangan denga cara menurun (
descending), melingkar dan mendatar. Meskipun demikian, cara pengembangan
menaik merupakan cara yang paling populer divandingkan dengan cara yang lain.

2.4.2. Deteksi Bercak

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak


berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun
biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak
dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas.
Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan
pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar UV. Fluoresensi sinal ultraviolet
terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak akan terlihat
jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapny akan diberi
indikator yang berfluorosensi, dengan demikina bercak akan terlihat hitam.
Sedang latar belakangnya akan terlihat berflluorosensi . Berikut ini adalah cara-
cara kimiawi untuk mendeteksi bercak.

 Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi


secara kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional
tertentu sehingga bercak menjadi berwarna. Kadang kadang lempeng
10

dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna


dan intensitas warna bercak.
 Mangamati lempeng dibawah lampu UV dipasang panjang gelombong emisi
254 atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau
bercak yang berfluorosensi terang pada dasar yang berfluorosensi seragam.
Lempeg yang diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang
sudah diberi dengan senyawa fluorosen yang tidak larut yang dimasukkan
kedalam fase diam untuk memberikan dasar fluorosensi atau dapat pula
dengan menyemprot lempeng reagen fluoresensi setelah dilakukan
pengembangan.
 Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu
dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak
sebagai bercak hitam sampai kecoklat-coklatan.
 Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup.
 Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatau
instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari
permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar
tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai
puncak (peak) dalam pencatat (Recorder).

2.4.3. Penggunaan KLT


KLT digunakan secara luas untuk analisis solut-solut organik dalam bidang
biokimia, farmasi, klinis, forensik, baik untuk analisis kualitatif dengancara
membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf senyawa baku atau untuk analisis
kualitatif.
Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen
dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi,
menentukan efektifitas pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai kromatografi
11

kolom, serta untuk memantau kromatografi kolom, melakukan screening sampel


untuk obat titik.

 Analisis kualitatif
KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku parameter pada
KLT yang digunakan untuk idetifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan
identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada KLT yang sama.
Untuk meyakinkan identifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan lebih
dari 1 fase gerak dan jenis pereaksi semprot. Teknik speaking degan
menggunakan senyawa baku yang sudah diketahui sangat dianjurkan untuk lebih
memantapkan pengambilan keputusan identifikassi senyawa.
 Analisis Kuantitatif
Ada dua cara yang digunakan untuk menganalisis kuantitatif dengan cara
KLT. Pertama bercak diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan
ukuran luas atau dengan teknik densitometri. Cara kedua adalah dengan mengerok
bercak lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak tersebut
dengan metode analisis yang lain, misalkan dengan metode spektrofotometri.
Pada cara pertama tidak terjadi kesalahan yang disebabkan oleh pemindahan
bercak atau kesalahan ekstraksi, sementara pada cara kedua sangat mungkin
terjadi kesalahan karena pengambilan atau karena ekstraksi.
Analisis kuantitatif dari suatu yang telah dipisahkan dengan KLT biasanya
dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng KLT (atau secara in situ).
Densitometer dapat bekerja secara serapan atau flouresensi. Kebenyakan
densitometer mempunyai sumber cahaya, monokromator untuk memilih panjang
gelombang yang cocok, sistem untuk memfokuskan sinar pada lempeng,
pengganda foton, dan rekorder.
Pada sistem serapan dapat dilakukan dengan model pantulan atau tranmisi.
Pada cara pantulan yang diukur adalah sinar yang dipantulkan, yang dapat
menggunakan sinar tampak maupun ultraviolet. Sementara itu, cara transmisi
dilakukan dengan menyinari bercak dari sutu sisi dan mengukur sinar yang
12

diteruskan pada sisi lain. Pada kenyataannya, hanya sinar tampak yang dapat
digunakan untuk metode ini.
Gangguan utama pada sistem serapan adalah fluktuasi latar belakang
(background) yang dapat dikurangi dengan beberapa cara, misalnya dengan
menggunakan alat bercak ganda, sistem transmisi dan pantulan secara bersamaan,
atau dengan sistem dua panjang gelombang.
Kurva baku dibuat untuk setiap lempeng dan kadar senyawa dihitung seperti
pada metode instrumental yang lain. Presisi penetapan termasuk penotolan
cuplikan, pengembangan kromatogram, dan pengukuran adalah 2-5%.
Sistem fluoresensi biasanya lebih disenangi jika senyawa itu dpaat dibuat
berfluoresensi. Batas deteksi sistem ini lebih rendah dan kelinieran respon dan
selektifitasnya lebih tiggi. Gangguan dan kelinieran latar belakang juga lebih
rendah.
Bercak yang dikur dengan sistem fluoresensi, serapan ultraviolet, atau sinar
tampak dapat ditetapkan lebih teliti daripada bercak yang disemprot dengan
pereaksi warna. Faktor keseragaman pada penyemprotan merupakan hal yang
sangat menentukan.
Semua pekerjaan KLT jika ditujukan untuk analisis kuantitatif harus
dilakukan dengan seksama. Alat yang digunakan untuk mengambil sampel harus
terkalibrasi dengan baik. Saat ini tersedia alat penotol sampel kapiler yang
berukuran antara 1 sampai 100 µl. Pada saat menotolkan sampel, kapiler harus
tegak lurus dengan lempeng dan semua sampel harus dikeluarkan dari kapiler.
 Analisis Preparatif
Analisis preparatif ditujukan untuk memisahkan analit dalam jumlah yang
banyak lalu senyawa yang telah dipisahkan ini dianalisis lebih lanjut, misalkan
dengan spektrofotometri atau dengan teknik kromatgrafi lain.
Pada KLT prepratif ini, sampel ditotolkan dalam lempeng dengan lapisan
yang besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan cara yang non-destruktif.
Bercak yang mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerik dan dilakukan
analisis lebih lanjut.
13

2.5. Ekstraksi
2.5.1. Pengertian
Ekstraksi adalah suatu proses penyarian zat aktif dari bagian tanaman
obat yg bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam bagian
tanaman obat tersebut (Riza Marjoni, 2016).
2.5.2. Macam-macam Ekstraksi
A. Ekstraksi secara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang dilakukan hanya
dengan cara merendam simplisia dalam satu atau campuran pelarut
selama waktu tertentu pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara dingin dengan cara
mengalirkan pelarut secara kontinu pada simplisia selama waktu tertentu.

B. Ekstraksi secara panas


1. Seduhan
Merupakan metode ekstraksi paling sederhana hanya dengan merendam
simplisia dengan air panas selama waktu tertentu (5-10 menit)
2. Coque (Penggodokan)
Merupakan proses penyarian dengan cara menggodok simplisisa
menggunakan api langsung dan hasilnya dapat langsung diguankan
sebagai obat baik secara keseluruhan termasuk ampasnya atau hanya
hasil godokannya saja tanpa ampas.
3. Infus
Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia
nabati dengan air pada suhu 90ºC selama 15 menit.
4. Digesti
14

Merupakan proses ekstraksi yang cara kerjanya hampir sama dengan


maserasi, hanya saja digesti menggunakan pemanasan rendah pada suhu
30-40 ºC.metode ini biasanya digunakan untuk simplisia yang tersari
baik pada suhu biasa.
5. Dekokta
Proses penyarian secara dekokta hampir sama dengan infus, perbedannya
hanya terletak pada lamanya waktu pemanasan. Waktu pemanasan pada
dekokta lebih lama yaitu 30 menit dihitung setelah suhu mencapai 90 ºC.
6. Refluks
Merupakan proses ekstraksi dengan pelarut pada titik didih pelarut
selama waktu dan jumlah pelarut tertentu. Denagn adanya pendingin
balik (kondensor). Proses ini umunya dilakukan 3-5 kali pengulangan
pada residu pertama sehingga termasuk proses ekstraksi yang cukup
sempurna.

7. Sokhlet
Merupakan proses ekstraksi panas menggunakan alat khusus berupa
ekstraktor sokhlet. Suhu yang digunakan lebih rendah dibandingkan
dengan suhu pada metode refluks (Riza Marjoni, 2016).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat yang digunakan
a. Seperangkat alat maserator
b. Seperangkat evaporator
c. Alat alat gelas
d. Oven
e. Plat KLT
f. Bejana KLT
g. Lampu UV 254 dan 366 nm.
3.1.2. Bahan yang digunakan
a. Labu siam
b. Protoleoum eter p.a (E. Merck)
c. Etanol p.a (E. Merck)
d. Hcl p.a (E. Merck)
e. H2SO4 p.a (E. Merck)
f. NH3 p.a (E. Merck)
g. NaCl p.a (E. Merck)
h. Kloroform p.a (E. Merck)
i. Na2S04 anhidrat p.a (E. Merck)
j. Asam asetat glasial p.a (E. Merck)
k. Pereaksi Mayer
l. Pereaksi Wagner
m. Pereaksi Dragendorf
n. AlCl3 p.a (E. Merck)
o. FeCl3
p. Pereaksi gelatin
q. Aseton p.a (E. Merck)
r. Aquadest

11
12

3.2. Cara Pengolahan Bahan


1. Persiapan sampel buah labu siam

Buah Labu siam dicuci,


dikupas kulitnya, dibuang
bijinya, dipotong tipis-tipis.

keringkan dengan oven


pada suhu 100ºC selama 3-
4 jam.

selanjutnya di blender
hingga menjadi serbuk

2. Ekstraksi sampel labu siam

Sebanyak 35 gram serbuk labu siam


ditimbang

Ekstraksi dengan soxhletasi dengan


350 mL protoleum eter selama 6
jam

Residu kemudian dikeringkan

Residu kemudian di maserasi


(direndam dengan etanol selama 24
jam disertai dengan pengadukan)

Saring dengan penyaring buncher


untuk memisahkan ekstrak etanol
dengan ampasnya

Filtrat dipekatkan
13

3.3. Analisis Skrining Fitokimia


3.3.1. Uji Alkaloid
Uji Alkaloid dilakukan dengan metode Mayer,Wagner dan Dragendorff.
Sampel sebanyak 3 mL diletakkan dalam cawan porselin kemudian
ditambahkan 5 mL HCl 2 M , diaduk dan
kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. Setelah sampel dingin
ditambahkan 0,5 g NaCl lalu diaduk dan disaring. Filtrat yang diperoleh
ditambahkan HCl 2 M sebanyak 3 tetes , kemudian dipisahkan menjadi 4
bagian A, B, C, D. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditambah pereaksi
Mayer,filtrat C ditambah pereaksi Wagner, sedangkan filtrat D
digunakan untuk uji penegasan. Apabila terbentuk endapan pada
penambahan pereaksi Mayer dan Wagner maka identifikasi
menunjukkan adanya alkaloid. Uji penegasan dilakukan dengan
menambahkan amonia 25% pada filtrat D hingga PH 8-9. Kemudian
ditambahkan kloroform, dan diuapkan diatas waterbath. Selanjutnya
ditambahkan HCl 2M, diaduk dan disaring. Filtratnya dibagi menjadi 3
bagian. Filtrat A sebagai blangko,filtrat B diuji dengan pereaksi Mayer,
sedangkan filtrat C diuji dengan pereaksi Dragendorff. Terbentuknya
endapan menunjukkan adanya alkaloid.
3.3.2. Uji Tanin dan Polifenol
Sebanyak 3 mL sampel diekstraksi akuades panas kemudian didinginkan.
Setelah itu ditambahkan 5 tetes NaCl 10% dan disaring. Filtrat dibagi 3
bagian A, B, dan C. Filtrat A digunakan sebagai blangko, ke dalam filtrat
B ditambahkan 3 tetes pereaksi FeCl3, dan ke dalam filtrat C ditambah
garam gelatin. Kemudian diamati perubahan yang terjadi.

3.3.3. Uji Saponin


Uji Saponin dilakukan dengan metode Forth yaitu dengan cara
memasukkan 2 mL sampel kedalam tabung reaksi kemudian
14

ditambahkan 10 mL akuades lalu dikocok selama 30 detik, diamati


perubahan yang terjadi. Apabila terbentuk busa yang mantap (tidak
hilang selama 30 detik) maka identifikasi menunjukkan adanya saponin.
Uji penegasan saponin dilakukan dengan menguapkan sampel sampai
kering kemudian mencucinya dengan heksana sampai filtrat jernih.
Residu yang tertinggal ditambahkan kloroform, diaduk 5 menit,
kemudian ditambahkan Na2SO4anhidrat dan disaring. Filtrat dibagi
menjadi menjadi 2 bagian, A dan B. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B
ditetesi anhidrat asetat, diaduk perlahan, kemudian ditambah H2SO4
pekat dan diaduk kembali. Terbentuknya cincin merah sampai coklat
menunjukkan adanya saponin.

3.3.4. Uji Kardenolin dan bufadieol


Uji Kardenolin dan Bufadienol menggunakan 3 metode yaitu metode
Keller Killiani, metode Liebeman-Burchard dan metode Kedde.
(i) Metode Keller-Killiani yaitu dengan menguapkan
2 mL sampel, dan mencucinya dengan heksana sampai heksana jernih.
Residu yang tertinggal dipanaskan diatas penangas air kemudian
ditambahkan 3 mL pereaksi FeCl3dan 1 mL H2SO4 pekat. Jika terlihat
cincin merah bata menjadi biru atau ungu maka identifikasi
menunjukkan adanya kardenolin dan bufadienol.
(ii) Metode Lieberman-Burchard yaitu dengan cara
menguapkan sampel sampai kering. Kemudian ditambahkan kedalamnya
10 mL heksana,
diaduk selama beberapa menit lalu biarkan. Selanjutnya diuapkan diatas
penangas air dan
ditambahkan 0,1 g Na2S04 anhidrat lalu diaduk. Larutan disaring
sehingga diperoleh filtrat.
Kemudian filtrat dipisahkan menjadi 2 bagian, A dan B. Filtrat A sebagai
blangko dan filtrat B
15

ditambahkan 3 tetes pereaksi asam asetat glasial dan H2SO4, senyawa


kardenolin dan bufadienol akan menunjukkan warna merah sampai ungu.
(iii) Metode Kedde yaitu dengan cara menguapkan sampel sampai
kering kemudian menambahkan 2 mL kloroform, lalu dikocok dan
disaring. Filtrat dibagi menjadi 2 bagian, A dan B. Filtrat A sebagai
blangko, dan filtrat B ditambah 4 tetes reagen Kedde. Senyawa
kardenolin dan bufadienol akan menunjukkan warna ungu .
3.3.5. Uji Flavanoid
Sebanyak 3 mL sampel diuapkan, dicuci dengan heksana sampai jernih.
Residu dilarutkan dalam 20 mL etanol kemudian disaring. Filtrat dibagi
4 bagian A, B, dan C. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditambahkan
0,5 mL HCl pekat kemudian dipanaskan pada penangas air, jika terjadi
perubahan warna merah tua sampai ungu menunjukkan hasil yang positif
(metode Bate Smith-Metchalf). Filtrat C ditambahkan 0,5 mL HCl dan
logam Mg kemudian diamati perubahan warna yang terjadi (metode
Wilstater). Warna merah sampai jingga diberikan oleh senyawa flavon,
warna merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna hijau
sampai biru diberikan oleh aglikon atau glikosida. Filtrat D digunakan
untuk uji KLT.
3.3.6. Uji Antarkuinon
Uji antrakuinon dilakukan dengan uji Brontrager dan uji Brontrager
termodifikasi. Uji Brontrager dilakukan dengan cara melarutkan 2 mL
sampel dengan 10 mL akuades kemudian disaring, filtrat diekstrak
dengan 5 mL benzena. Hasil ekstrak dibagi menjadi 2 bagian, A dan B.
Filrat A digunakan sebagai blangko dan filtrat B ditambahkan 5 mL
ammonia kemudian dikocok,
bila terdapat warna merah berarti hasil positif. Uji Brontrager
termodifikasi dilakukan dengan
melarutkan 2 mL sampel dengan 10 mL 0,5 N KOH dan 1 mL larutan
hidrogen peroksida. Kemudian dipanaskan pada waterbath selama 10
menit, didi-nginkan dan disaring. Pada filtratnya ditambahkan asam
16

asetat bertetes-tetes sampai pada kertas lakmus menunjukkan asam.


Selanjutnya diekstrak dengan 5 mL benzena. Hasil ekstrak dibagi
menjadi 2 bagian, A dan B. Larutan A digunakan sebagai blangko,
sedangkan larutan B dibuat basa dengan
2-5 mL larutan amonia. Perubahan warna pada lapisan basa diamati.
Warna merah atau merah muda menunjukkan adanya antrakuinon.

3.4. Analisis Kromatografi Lapis Tipis


3.4.1. Uji Alkaloid
Filtrat D pada skrining fitokimia ditambah amonia 25% hingga PH 8-9.
Kemudian ditambahkan kloroform, dan dipekatkan diatas waterbath.
Fase kloroform ditotolkan pada plat silika gel G60. Elusi dilakukan
dengan metanol : NH4OH pekat = 200 : 3. Plat dikeringkan dan diamati
pada cahaya tampak, UV 254 nm dan 366 nm. Kemudian platdisemprot
dengan pereaksi
Dragendorff, dikeringkan dan diamati pada cahaya tampak, UV 254 nm
dan 366 nm.
3.4.2. Uji Saponin
Sampel ditambah dengan HCl 2M, diaduk, direfluks 6 jam diatas
waterbath, kemudian didinginkan. Setelah itu dinetralkan dengan amonia,
diuapkan diatas waterbath, ditambah heksana kemudian disaring.
Filtratnya kemudian diuapkan diatas waterbath, ditambah 5 tetes
kloroform, dan ditotolkan pada plat silika gel G60. Elusi dilakukan
dengan kloroform : aseton = 4 : 1. Plat dikeringkan dan diamati pada
cahaya tampak, UV 254 nm dan 366 nm. Kemudian plat disemprot
dengan SbCl3 dioven pada suhu 110oC selama 10 menit, dan diamati
pada cahaya tampak, UV 254 nm dan 366 nm.
3.4.3. Uji Kardenolin/ Bufadineol
Sampel ditotolkan pada plat silika gel G60. Dielusi menggunakan
CHCl3: MeOH = 1:1. Plat dikeringkan dan diamati pada cahaya tampak,
UV 254 nm dan 366 nm. Selanjutnya disemprot dengan pereaksi kedde,
17

dikeringkan di udara, dan diamati pada cahaya tampak, UV 254 nm dan


366 nm. Noda biru sampai ungu mengindikasikan adanya lakton tak
jenuh.
3.3.4. Uji Flavanoid
Filtrat C pada skrining fitokimia ditotolkan pada plat silika gel G60.
Dielusi dengan butanol : asam asetat : air = 3:1:1, kemudian dikeringkan
dan diamati pada cahaya tampak, UV
254 nm dan 366 nm. Selanjutnya plat disemprot dengan amonia,
dikeringkan dan diamati kembali pada cahaya tampak, UV 254 nm dan
366 nm.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi sampel labu siam

Hasil ekstraksi soxhlet 35 gram serbuk labu siam dengan 350 ml petroleum eter
diperoleh ekstrak encer berwarna hijau muda. Ekstraksi ini dilakukan untuk mengambil
komponen non polar dari sampel buah labu siam. Residu dari ekstrak soxhlet kemudian
di maserasi dengan pelarut etanol selama 24 jam dan disertai pengadukan. Hasil ekstrak
etanol diperoleh cairan berwarna uning. Ekstrak etanol ini selanjutnay digukan untuk
analisis berikutnya.

Analisis skiring fitokimia

Komponen yang terdapat dalam ekstrak etanol labu siam dianalisis golongan
senyawanya dengan tes uji warna dengan beberapa pereaksi untuk golongan senyawa
alkaloid, tanin, saponin, dan polifenol, kardenolin, bufadienol, flavonoid, dan
antrakuinon. Pereaksi – pereaksi spesifik yang digunakan kebanyakan bersifat polar
sehingga bisa berinteraksi dengan sampel berdasarkan prinsip “ like disoslve like”.
Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol disajikan pada tabel 1.

Terbentuknya endapan pada uji mayer, wagner dan dragendorff berarti dalam
ekstrak etanol labu siam terdapat alkaloid. Tujuan penabahan HCL adalah karena
alkaloid bersifat basa sehingga biasanya diekstrak dengan pelarut yang mengandung
asam (harbone, 1996). Perlakuan ekstrak dengan NACL sebelum penambahan pereaksi
dilakukkan untuk menhilangkan protein. Adanya protein yang mengendap pada
penambahan pereaksi yang mengandung logam berat (pereaksi mayer) dapat
memberikan reaksi positif palsu pada beberapa senyawa (santos at al., 1998)

Hasil positif alkaloid pada uji Mayer ditandai dengan terbentuknya endapan
putih. Diperkirakan endapan tersebut adalah kompleks kalium alkaloid. Pada pembuatan
pereaksi Mayer, larutan merkurium (II) klorida ditambah kalium iodida akan bereaksi
membentuk endapan merah merkurium (II) iodida. Jika kalium iodida yang
ditambahkan berlebih maka akan terbentuk kalium tetraiodomerkurat (II) (svehla,

25
26

1990). Alkaloid mengandung atom hidrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas
sehingga dapat digunakkan untuk membentuk ikatan kovalen kordina dengan ion logam
(McMurry, 2004). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Mayer, diperkirakan nitrogen pada
alkaloid akan bereaksi dengan ion logam k+ dari kalium tetraiodomerkurat (II)
membentuk kompleks kalium alkaloid yang mengendap. Perkiraan reaksi yang terjadi
pada uji Mayer ditunjukkan pada gambar 1.

Gambar 1. Perkiraan reaksi uji Mayer

Hasil positif alkaloid pada uji Wagner ditandai dengan terbentuknya endapan
coklat muda sampai kuning. Diperkirakan endapan tersebut adalah kalium-alkaloid.
Pada pembuatan pereaksi Wagner, iodin bereaksi dengan Ion I- dari kalium
menghasilkan ion I3- yang berwarna cokelat.pada uji Wagner, ion logam K+ akan
membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk
kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Reaksi yang terjadi pada uji Wagner
ditunjukkan pada gambar 2.
27

Gambar 2. Perkiraan reaksi uji Wagner

Hasil positif alkaloid pada uji Dragendroff juga ditandai dengan terbentuknya
endapan coklat muda sampai kuning. Endapan tersebut adalah kalium-alkaloid. Pada
pembuatan pereaksi Dragendorff, bismut nitrat dilarutkan dalam HCL agar tidak terjadi
reaksi hidrolisis karena garam-garam bismut mudah terhidrolisis membentuk ion
bismuti (BIO+), yang reaksinya ditunjukkan pada gambar 3.

Bi3+ + H2O BiO+ + 2H+

Gambar 3. Reaksi hidrolisis bismut

Agar ion BiO3+ tetap berada dalam larutan, maka larutan itu ditambah asam
sehingga sehingga kesetimbangan akan bergeser ke arah kiri. Selanjutnya ion Bi3+ dari
bismut nitrat bereaaksi dengan kalium iodida membentuk endapan hitam Bismut(III)
iodida yang kemudian melarut dalam kalium iodida berlebih membentuk kalium
tetraiodobismulat (Svehla, 1990). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff,
nitrogen digunakan utnuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan k+ yang
merupakan ion logam. Reaksi pada uji Dragendorff ditujukakkan pada gambar 4.
(Miroslav,1971). Untuk menegaskan hasil positif alkaloid yang didapatkan, dilakukan
uji Mayer, Wagner dan Dragendorff pada fraksi CHCl3 dan fraksi air dari sampel.
28

Gambar 4. Reaksi uji Dragendorf

Pada uji tanin diperoleh hasil negatif, adanya tanin akan mengendapkan potein
pada gelatin. Tanin bereaksi dengan gelatin membentuk kopolimer mantap yang tidak
larut dalam air (Harborne,1996). Reaksi ini lebih sensitif dengan penambahan NaCl
untuk mempertinggi penggaraman dari tanin-gelatin.
Timbulnya busa pada uji Forth menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai
kemampuan membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa
lainnya (Rusdi, 1990). Reaksi pembentukan busa pada uji saponin ditunjukkan pada
Gambar 5. Selain uji Forth juga dilakukan uji Lieberman-Burchard yang merupakan uji
karateristik untuk sterol tidak jenuh dan triterpen (Santos et al., 1978).

Gambar 5. Reaksi hidrolisis saponin dalam air

Hasil positif pada uji Keller Kiliani menunjukkan adanya deoksi gula untuk
glikosida (Santos et al., 1978). Warna merah yang terbentuk kemungkinan disebabkan
terbentuknya kompleks. Atom oksigen yang mempunyai pasangan elektron bebas pada
gugus gula bisa mendonorkan elektronnya pada Fe3+ membentuk kompleks. Perkiraan
reaksi yang terjadi pada uji Keller Kiliani ditunjukkan pada Gambar 6.
29

Gambar 6. Perkiraan reaksi uji Keller Killiani

Adanya kardenolin/bufadienol dapat dilakukkan juga uji Lieberman-Burchard


yang merupakan uji karateristik untuk sterol tidak jenuh dan triterpen (Santos et al.,
1978). Hasil positif pada uji Lieberman-Burchard ditandai dengan tebentuknya cincin
hijau atau triterpen dengan asam (CH3 COOH dan H2SO4).

Uji Kedde dilakukkan untuk menunjukkan adanya lakton tidak jenuh (Santos,
1978). Hasil positif pada uji Kedde diperkirakan karena terjadi reaksi antara lakton tidak
jenuh ada kardenolin/bufadienol dengan 3,5 dinitrobenzen (pereaksi Kedde). Karbonil
(C=O) pada lakton tidak jenuh memiliki ikatan π yang mudah putus dan membentuk
ikatan baru dengan senyawa 3,,5 dinitrobenzen. Kerena gugus nitro pada senyawa 3,5
dinitrobenzen merupakan gugus pengarah meta maka diperkirakan ikatan yang terjadi
adalah antara atom oksigen pada gugus karbonil dengan atom karbon posisi meta pada
3,5 dinittrobenzen. Perkiraan senyawa yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 7.
Hasil positif dengan semua pereaksi tersebut baru menunjukkan ada gula jantung
(kardenolin dan bufadienol).
30

Gambar 7. Perkiraan mekanisme reaksi pada uji Kedde

Uji Wilstater cyanidin biasa digunakan untuk mendeteksi senyawa yang


mempunyai inti α-benzopyron. Warna orange yang terbentuk pada uji Bate Smith-
Mertcalf dan warna merah pada uji Wilstater disebabkan karena terbentuknya garam
flavilium (Achmad, 1986) seperti pada Gambar 8.

Gambar 8. Mekanisme reaksi pembentukan garam flavilium (Achmad, 1986)

Uji Borntrager bisa mendeteksi antrakuinon namun uji ini akan menunjukkan
negatif untuk glikosida antrakuinon yang sangat stabil atau turunan tereduksi dari tipe
antranol. Karena itu uji Borntrager dimodifikasi dengan sebelumnya menghidrolisis dan
mengoksidasi senyawa ini. Antrakuinon akan memberikan karateristik warna merah,
violet, hijau atau ungu dengan basa. Tidak terjadi perubahan warna pada uji Borntrager
dan uji Borntrager termodifikasi menunjukkan tidak adanya antrakuinon pada ekstrak
etanol labu siam.
31

Skrining fitokimia tidak dikerjakan untuk terpenoid karena tidak ada pereaksi
yang spsifik untuk terpenoid. Uji Lieberman-Burchard yang biasa dikerjakan untuk
terpenoid hanya mendeteksi gugus steroid, padahal selain terdapat pada terpenoid,
gugus ini juga terdapat pada saponin, kardenolin dan bufadienol. Hasil skrining
fitokimia yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam sampel ekstrak etanol labu
siam mengandung alkaloid, tanin dan polifenol, saponin, kardenolin/bufadienol, dan
flavonoid, namun tidak mengandung antrakuinon.

Analisis kromatografi lapis tipis (KLT)

Prosedur uji dengan KLT dilakukan untuk lebih menegaskan hasil yang didapat
dari skrining fitokimia. Karena berdifusi sebagai penegasan, maka uji KLT hanya
dilakukkan untuk golongan-golongan senyawa yang menunjukkan hasil positif pada
skiring fitokimia (alkaloid, saponin, kardenolin/bufadienol dan flavonoid). Uji KLT
pada tanin dan polifenol tidak dilakukkan karena tidak ditemukkan prosedur yang tepat.
Hasil uji KLT ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2.HasiUjiomatografi lapis Tipis (KLT) ekstraketano; labusa

Sinartampak UV 254 UV366


Kandunga Rf Tanpa Tamba Tanpa Tambah Tanpa Tamba Ket
nKimia pereaksi h pereaksi pereaksi pereaksi h
pereaks reaksi
i
32

Alkaloid 0,9 Kuning Merah Kuning Kuning Hijau Hijau


muda muda kekunin +
gan
Saponin 0,84 - Merah - - +
jambu Kuning Kuning

0,79 - Merah - - +
jambu Kuning Kuning

Kardinolin/ 0,41 Hijau Kuning - - +


Bufadenolin muda merah Merah Merah
biru
Flavonoid 0,92 - Kuning - - +
muda Biru Biru

0,54 - Kuning - - Biru +


muda Biru

Pelarut pengembang yang digunakan pada KLT untuk alkaloid adalah


etil asetat : metanol : air (100:16,5:13,5). Setelah plat disemprot dengan pereaksi
Dragendorff akan menunjukkan bercak coklat jingga berlatar belakang kuning
(Harborne, 1996). Timbulnya noda dengan Rf 0,9 berwarna kuning muda pada
pengamatan dengan sinar tampak, berwarna kuning pada UV 254 nm dan
berwarnahujaumudapada UV 366 nm menegaskanadanyakandungan alkaloid
padaekstraketanollabi slam.

Salah satupelarutpengembang yang biasadigunakanuntukuji KLT


saponinadalahheksana: aseton (4:1). Setealapenyemprotandengan
SbCl3dalamasamasetat,saponin terdeteksi sebagain dan berwarna merah jambu sampai
ungu( Santos et al, 1979). Timbulnya noda dengan Rf 0,84 dan 0,79 yang berwarna
33

merah jambu pada pengamatan dengan sinar tampak dan bewarna kuning pada UV 366
nm menegaskan adanya kandungan saponin pada ekstrak etanol labu siam.

Pelarut pengembang yang digunakan pada KLT untuk kardenolin/bufadienol


adalah CHCL3:metanol (1:1). Setelah penyemprotan dengan pereaksi Kedde, noda biru
violet mengindikasikan adanya lakton tidak jenuh yang terdapat pada
kardenolin/bufadienol (Harborne,1996). Timbulnya noda dengan Rf 0,41 yang berwarna
kuning kemerahan pada pengamatan dengan sinar tampak dan berwarna biru pada UV
366 nm menegaskan adanya kandungan kardenolin/bufadienol pada ekstraketanol labu
siam.

Pelarut pengembang yang digunakan pada uji KLT flavonoid adalah


butanol:asamasetat:air noda dengan Rf 0,92 dan 0,54 yang berwarna kuning mudah
setelah disemprot dangan ammonia pada pengamatan dengan sinar tampak dan
berwarna biru pada UV 366 nm menegaskan adanya kandungan flavonoid pada ekstrak
etanol labu siam. Hasil uji KLT menegaskan bahwa dalam sampel ekstrak etanal labu
siam mengandung alkaloid, saponin, kardenolin/bufadienol dan flavonoid.

BAB V

KESIMPULAN

KESIMPULAN
34

Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol buah labu siam
(Sechium edule Jacq. Swartz.) mengandung alkaloid, saponin, kardenolin / bufadienol
dan flavonoid. Hasil analisis KLT ekstrak buah labu siam mengandung alkaloid,
saponin, kardenolin/bufadienol dan flavonoid.
35

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S.A. 1986. KimiaOrganikBahanAlam. Jakarta: Kaminika.

Cadena-Iñiguez, J., Arévalo-Galarza, L., Avendaño-Arrazate, C. H., Soto-Hernández,


M., Ruiz-Posadas, L. D. M., Santiago-Osorio, E., ... & Ochoa-Martínez, D.
(2007). Production, genetics, postharvest management and pharmacological
characteristics of Sechium edule (Jacq.) Sw. Fresh produce, 1(1), 41-53.

Duke, J.A. 2003 .Phytochemical and Ethanobotanical/Databases.Agricultural Research


Service. (online Database) National Gemplasma Resources Laboratory.Beitsville,
Maryland.

Fatmasari, D. 2017.Diversifikasi Produk Buah Labu Siam Di Dusun Mantran Wetan


Desa Girirejo Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Majalah Ilmiah
Inspiratif, 2(4).

Gritter, R, J., Bobbits, J.M, dan A.E.Schwarting,1991.Introduction to Chromatography


(Pengantar Kromatografi), Edisi ke-2, diterjemahkan oleh K. Padmawinata,
Bandung: Penerbit ITB.

Harborne, J., 1996.MetodeFitokimia: Penuntuncara modern MenganalisisTumbuhan


.Cetakankedua.Penerjemah: Padmawinata, K. dan I. Soediro. Bandung: Penerbit
ITB.

Hernando, J.E. and J. Leon.1992. Plant Producition and Protection Series. No.26.
Rome: FAO. Italy.

McMurry, J. and R.C. Fay. 2004. McMurry Fay Chemistry. 4th edition. Belmont, CA :
Pearson Education International.

Miroslav, V. 1971.Detection and Identification of Organic Compound. New York:


Planum Publishing Corporation and SNTC Publishers of technical Literatur.

Rusdi. 1990. TumbuhanSebagaiSumberBahanObat. Padang


:PusatPenelitianUniversitasAndalas.
36

Santos, A.F., B.Q. Guevera, A.M. Mascardo, and C.Q. Estrada. 1978.Phytochemical,
Microbiological and Pharmacological, Screening of medicalPlants. Manila:
Research Center University of Santo Thomas.

Svehla, G. 1990.
BukuTeksAnalisisAnorganikKualitatifmakrodansemimikro.Edisikelima.Penerjema
h: Setiono, L. dan A.H. Pudjaatmaka.Jakarta : PT Kalman Media Pusaka.

Tjitrosoepomo, G. 1989. TaksonomiTumbuhan(Spermatophyta). Yogyakarta:


GadjahMada University Press.

Anda mungkin juga menyukai