Diskresi Amrin
Diskresi Amrin
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state), dimana
tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
dinyatakan dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
menimbulkan beberapa konsekuensi terhadap penyelenggaraan
pemerintahan yaitu pemerintah harus berperan aktif mencampuri bidang
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu kepada pemerintah
dilimpahkan bestuurszorg atau public service.
Agar servis publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal,
kepada administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk
bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan pelik
yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap
permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum
penyelesaiannya oleh lembaga legislatif yang kemudian dalam hukum
administrasi negara diberikan kewenangan bebas berupa diskresi.1 Dengan
diberikannya kebebasan bertindak (diskresi) kepada administrasi negara
dalam melaksanakan tugasnya mewujudkan welfare state diharapkan
kesejahteraan masyarakat benar-benar tercipta. Karena pada prinsipnya
Badan/Pejabat administrasi pemerintahan tidak boleh menolak untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan hukumnya tidak
ada ataupun hukumnya ada tetapi tidak jelas, sepanjang hal tersebut masih
menjadi kewenangannya.
Diskresi pada awalnya muncul di Belanda. Pada awal
kemunculannya sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa akibat dari
diskresi tersebut akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena
itu untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi warga masyarakat, tahun
1950 Panitia de Monchy di Netherland membuat laporan tentang asas-asas
umum pemerintahan yang baik atau algemene beginselen van behoorlijk
bestuur. Pada mulanya timbul keberatan dari pejabat-pejabat dan pegawai-
1
pegawai pemerintah di Netherland karena ada kekhawatiran bahwa Hakim
atau Pengadilan Administrasi kelak akan mempergunakan istilah itu untuk
memberikan penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil
pemerintah. Namun, keberatan demikian sekarang ini telah lenyap ditelan
masa karena telah hilang relevansinya.
Namun demikian, kebebasan bertindak atas dasar diskresi yang
dilakukan oleh Badan/Pejabat administrasi pemerintahan bukan tanpa batas.
Kebebasan tersebut dibatasi oleh Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB), sehingga diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
Tetapi apabila terjadi penyimpangan hukum atas keputusan diskresi tersebut
yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat, maka keputusan diskresi
tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan. Hal ini sesuai dengan prinsip
“geen bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid” yakni tidak ada
kewenangan tanpa pertanggung jawaban.
2. RUMUSAN MASALAH
A. bagaimana penggunaan diskresi dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia, dan
B. bagaimana bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas
keputusan diskresi manakala terjadi penyimpangan hukum yang
mengakibatkan kerugian masyarakat.
C. Bagaimana kepengurusan perizinan usaha berbasis online dikota
baubau
3. TUJUAN
A. Agar mengetahui bagaimana diskresi dalam penyelenggaraan
pemerintahan di indonesia
B. Agar mengetahui bagaimana pertanggung jawaban pemerintah atas
keputusan diskresi mana kala terjadi penyimpangan hukum yang
mengakibatkan kerugian masyarakat
C. Agar mengetahiu bagaimana perizinan usaha berbasisi online
dikota baubau
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Konsepsi Diskresi
Dalam konsepsi negara hukum modern, diskresi, discretion (Inggris),
discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) mutlak dibutuhkan oleh
pemerintah dan kepadanya melekat wewenang itu (inherent aan het
bestuur), sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang
harus diberikan pemerintah terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga
yang kian komplek.4
Diskresi sendiri diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan
ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk
melakukan tindankan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang,
atau tindakan yang dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan
(doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku
(rechtmatigheid).5
Pengertian diskeresi menurut Kamus Hukum, diskresi berarti
kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut
pendapatnya sendiri.6 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi mengartikan diskresi sebagai keputusan
atau tindakan yang ditetapkan atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan
pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, atau adanya stagnasi
pemerintahan.
Ada beberapa pakar hukum yang memberikan definisi diskresi
diantaranya S. Prajudi Atmosudirjo yang mendefinisikan diskresi sebagai
kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat
administrasi negara yang berwenang menurut pendapat sendiri.8 Selanjutnya
dijelaskannya bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas
legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau
3
perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan Undang-
Undang. Akan tetapi tidak mungkin bagi Undang-Undang untuk mengatur
segala macam kasus posisi dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab
itu, perlu adanya kebebasan atau diskresi dari administrasi negara.
Sedangkan Sjachran Basah mengatakan bahwa freies ermessen
adalah kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam
pelaksanaannya haruslah tindakan-tindakan administrasi negara itu sesuai
dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam negara hukum
berdasarkan Pancasila.9 Sedangkan Diana Halim Koentjoro mengartikan
freies ermessen sebagai kemerdekaan bertindak administrasi negara atau
pemerintah (eksekutif) untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam
keadaan kegentingan yang memaksa, dimana peraturan penyelesaian untuk
masalah itu belum ada.
Freies ermessen ini digunakan terutama karena; pertama, kondisi
darurat yang tidak memungkinkan untuk menerapkan ketentuan tertulis;
kedua, tidak ada atau belum ada peraturan yang mengaturnya; ketiga, sudah
ada peraturannya namun redaksinya samar atau multitafsir. Kebebasan
diskresi tersebut adalah kebebasan administrasi yang
4
Kebebasan mempertimbangkan ini ada yang bersifat subjektif dan
bersifat objektif. Kebebasan mempertimbangkan yang bersifat subjektif
(subjectieve beordelingsruimte), yaitu kebebasan untuk menentukan sendiri
dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki itu
dilaksanakan. Sedangkan kebebasan mempertimbangkan yang bersifat
objektif (objectieve beordelingsruimte) yaitu kebebasan menafsirkan
mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar
wewenangnya. Ketika kebebasan pemerintah atau freies ermessen ini
dituangkan dalam bentuk tertulis, ia akan menjadi peraturan kebijakan.12
Konsekuensi logis dari adanya kewenangan freies ermessen ini,
pemerintah diberi kewenangan droit function, yaitu kekuasaan untuk
menafsirkan terhadap suatu peraturan perundang-undangan, namun bukan
berarti pemerintah boleh berbuat sewenang-wenang. Pemerintah dilarang
melakukan tindakan-tindakan yang bersifat detournement de pouvoir
(melakukan sesuatu diluar tujuan kewenangan yang diberikan) atau
onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melawan hokum oleh penguasa).
Sebab setiap perbuatan pemerintah yang merugikan warganya karena
detournement de pouvoir atau onrechtmatige overheidsdaad dapat dituntut
baik melalui peradilan administrasi negara maupun melalui peradilan
umum.13
Berdasarkan doktrin-doktrin hukum tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa pada hakekatnya diskresi merupakan kebebasan
bertindak atau kebebasan mengambil keputusan dari badan atau pejabat
administrasi pemerintahan menurut pendapatnya sendiri sebagai pelengkap
dari asas legalitas manakala hukum yang berlaku tidak mampu
menyelesaikan permasalahan tertentu yang muncul secara tiba-tiba, bisa
karena peraturannya memang tidak ada atau karena peraturan yang ada yang
mengatur tentang sesuatu hal tidak jelas.
Catatan:
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 20032 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, menyebutkan bahwa:
5
Pasal 1 angka 3
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di siding pengadilan, dengan peran serta masyarakat
berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
3 mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
4 menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
5 meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;
6
10 melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
11 meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.
Pasal 6
(1) PAD bersumber dari:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d. lain-lain PAD yang sah.
7
(2) Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d,meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan
e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat
daripenjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
Daerah.
Pasal 7
Dalam upaya meningkatkan PAD, Daerah dilarang:
a. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang
menyebabkanekonomi biaya tinggi; dan
b. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang
menghambatmobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa
antardaerah, dankegiatan impor/ekspor
Pasal 43
Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana
Darurat.
1. pajak daerah;
8
2. retribusi daerah;
3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
4. lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah;
b. pendapatan transfer; dan
c. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Pasal 297
(1) Komisi, rabat, potongan, atau penerimaan lain dengan nama dan
dalam bentuk apa pun yang dapat dinilai dengan uang secara
langsungsebagai akibat dari penjualan, tukar-menukar, hibah,
asuransi, dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan
bunga, jasa giro, atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan
uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang Daerah
atau dari kegiatan lainnya merupakan pendapatan Daerah.
(2) Semua pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila berbentuk uang harus segera disetor ke kas umum Daerah
dan berbentuk barang menjadi milik Daerah yang dicatat sebagai
inventaris Daerah.
Pasal 1 angka 10
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib
kepada Daerah yang terutang oleh orangpribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
9
Pasal 2
(1) Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
(2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(3) Daerah dilarang memungut pajak selain jenis Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat tidak
dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan
kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Khusus untuk
Daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi dalam daerah
kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis Pajak yang
dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak
untuk daerah kabupaten/kota.
10
B. DISKRESI DALAM BIDANG PERIZINAN USAHA BERBASISI
ONLINE DI KOTA BAUBAU
“Termasuk juga usaha dengan modal yang seluruhnya berasal dari dalam negeri,
maupun terdapat komposisi modal asing,”
11
baru, melakukan proses untuk memperoleh izin dasar, izin usaha dan izin
komersial, berikut dengan komitmennya.
Kalau usaha yang telah berdiri, melanjutkan proses untuk memperoleh izin
berusaha baru yang belum dimiliki, memperpanjang izin berusaha yang sudah
ada, mengembangkan usaha dan memperbarui data perusahaan
12
C. DAMPAK DAMPAK DARI ADANYA PERIZINAN USAHA
BERBASIS ONLLINE DIKOTA BAUBAU
Hingga hari ini, data yang tercatat mencapai 1.411 izin usaha yang
diterbitkan melalui sistem OSS. OSS merupakan sistem perizinan berusaha yang
terintegrasi secara elektronik dengan seluruh kementerian/lembaga (K/L) negara
hingga pemerintah daerah (Pemda) di seluruh Indonesia. OSS dimaksudkan untuk
memangkas waktu dan birokrasi dalam proses izin usaha.
Jadi dampak yang ditimbulkan dari adanya perizinan bersasis oneline ini
adalah agar meningkatkan perekonomian nasional melalui pertumbuhan dunia
usaha. Selama ini dikeluhkan panjangnya waktu dan rantai birokrasi yang harus
dilewati untuk memulai suatu usaha. Jadi pelaku usaha yang mendaftar dengan
mengunakan Aplikasi OSS dapat langsung terkoneksi dengan pemerintah pusat
13
BAB III
PENUTUP
1. SIMPULAN
2. SARAN
Dalam hal pertanggungjawaban atas keputusan diskresi dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu: (1) sebagai tanggung jawab jabatan, dan (2) sebagai tanggung
jawab pribadi. Sebagai tanggungjawab jabatan, apabila bertindak untuk dan
atas nama jabatan (ambtshalve) yang di dalamnya tidak ada unsur
maladministrasi. Sebagai tanggungjawab pribadi, apabila dalam penggunaan
wewenang tersebut terdapat unsur maladministrasi.
14
DAFTAR PUSTAKA
15