Anda di halaman 1dari 16

I.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropis memiliki beraneka ragam buah-buahan
salah satunya adalah buah pepaya. Pepaya (Carica pepaya L.) merupakan
tanaman hortikultura buah yang banyak diminati oleh masyarakat. Kandungan
nutrisi yang baik dalam buah pepaya serta harga yang relatif terjangkau menjadi
alasan buah ini banyak dikonsumsi oleh sebagian masyarakat (Sujiprihati dan
Suketi, 2009). Selain itu, hampir seluruh bagian tanaman mulai dari akar, daun,
dan getahnya dapat dimanfaatkan sebagai obat serta bahan baku industri farmasi
dan kosmetika (Sunarjono, 2003). Beberapa varietas pepaya dengan daya jual
yang cukup baik dipasaran diantaranya adalah pepaya varietas Thailand dan
Calina. Pepaya Calina memiliki keunggulan yakni buah tidak terlalu besar dengan
ukuran antara 0,8-2 kg/buah, berkulit tebal, berbentuk lonjong, buah matang
berwarna kuning, rasanya manis dan daging buahnya terasa tebal. Pepaya Calina
termasuk jenis unggul dengan usia yang lebih pendek dibanding jenis pepaya
lainnya (Epetani, 2015). Pepaya Thailand berukuran lebih besar di banding jenis
pepaya yang lain, beratnya bisa meraih 3, 5 kg per buahnya, tidak hanya ukuran,
keunggulan yang lain adalah rasa serta ketahanan buah. Daging buahnya berwarna
jingga kemerahan, terasa manis dan segar serta teksturnya keras hingga tahan
didalam pengangkutan, rongga buahnya kecil hingga dagingnya tebal, permukaan
kulit buah kasar serta tidak rata (Muktiani, 2011).
Produksi buah pepaya di Indonesia mengalami fluktuatif dari tahun 2012
sampai tahun 2017 berturut- turut yaitu 906.312, 909.827, 840.119, 851.528,
904.284 dan pada tahun 2017 mengalami penurunan menjadi 875.112 ton (BPS,
2017). Salah satu kendala dalam budidaya tanaman pepaya yaitu adanya serangan
hama dan penyakit. Kerusakan akibat serangan hama dan penyakit akan
mengakibatkan kemerosotan produksi secara kualitas dan kuantitas. Kegiatan
budidaya tanaman pepaya ini tidak terlepas dari serangan hama dan penyakit
tanaman. Salah satu hama yang menyerang tanaman pepaya di Indonesia adalah
tungau. Jenis tungau yang menyerang tanaman papaya di Indonesia adalah tungau
Tetranychus urticae K. (Acarina: Tetranychidae) (Panjota et al., 2002).
Tetranychus urticae biasa dikenal sebagai tungau laba-laba (spider mites)
karena menghasilkan benang seperti jaring laba-laba pada tanaman inangnya
(Gerson et al., 2003). Ukuran tubuh tungau ini adalah 0.25 hingga 0,5 mm
(Pramudianto dan Sari, 2016). T. urticae termasuk ke dalam kelas Arachnida,
ordo Acarina, subordo Trombodiformes, superfamili Tetranycoidea, famili
Tetranychidae, subfamili Tetranychinae, genus Tetranychus (Krantz, 1978).
Tungau ini berasal dari Eropa dan Asia, dan tersebar ke sebagian besar negara di
dunia yakni Afrika, Australia, Pasifik, Kepulauan Karibia, Amerika Utara, Tengah
dan Selatan (CABI, 2015). T. urticae merupakan salah satu spesies tungau fitofag
yang menyerang lebih dari 800 spesies tanaman (Migeon dan Dorkled, 2010).
Adanya serangan berat akibat tungau T. urticae pada tanaman pepaya dapat
menurunkan kesegaran buah dan ukuran buah menjadi lebih kecil. Gejala
serangan T. urticae diawali dengan adanya spot (bercak) kuning sepanjang tulang
daun pada permukaan daun bawah dan tengah. Bercak tersebut kemudian
menyebar ke seluruh permukaan daun sehingga daun berwarna kemerahan, coklat
atau seperti karat dan pada serangan berat daun menjadi kering (Indiati dan Saleh,

1
2010; Asbani et al., 2007). Perkembangan dan penyebaran T. urticae pada
berbagai tanaman inang didukung oleh tingkat reproduksinya yang tinggi.
Perkembangan tungau diketahui relatif cepat, siklus hidup singkat, tetapi tingkat
keperidian lebih rendah bila dibandingkan dengan golongan artropoda yang lain
(Huffaker et al., 1969). Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tungau hama adalah jenis tanaman inang (Crooker, 1985 dalam
Helle dan Sabelis, 1985). Pada setiap jenis tanaman inang terdapat kandungan
nutrisi dan zat kimia pada daun serta karakteristik tanaman yang berbeda (Van de
vriev et al., 1972). Varietas tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan tungau
hama. Tanaman mawar dengan varietas berbeda yaitu varietas Green gala dan
Thalita diketahui menunjukkan ketahanan yang berbeda terhadap serangan tungau
merah T. urticae yang ditunjukkan pada jumlah populasi tungau per daun yang
berbeda (Handayati, 2013).
Salah satu cara untuk mempelajari perkembangan populasi T. urticae adalah
dengan mengetahui biologi dan neraca kehidupannya. Di dalam neraca kehidupan
terdapat gambaran ringkas tentang kehidupan yang spesifik dari suatu populasi,
serta deskripsi yang sistematis tentang mortalitas dan kelangsungan hidup
populasi tersebut (Price, 1975; Smith, 1990). Saat ini penelitian tentang biologi
dan neraca kehidupan T. urticae terutama pada tanaman pepaya varietas Calina
dan Thailand belum banyak dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, informasi
mengenai biologi dan neraca kehidupan T. urticae sangat diperlukan sebagai
informasi dasar dalam mengamati perubahan kepadatan dan laju pertumbuhan
atau penurunan populasi T. urticae pada pepaya varietas Calina dan Thailand,
serta dapat menjadi upaya dalam menyusun strategi pengelolaan atau
pengendalian yang akan dilakukan.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji biologi dan neraca kehidupan
tungau T. urticae pada tanaman pepaya varietas Calina dan Thailand.
Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah biologi dan pertumbuhan populasi
tungau T. urticae berdasarkan parameter neraca kehidupan yang meliputi laju
reproduksi, laju pertambahan intrinsik, dan rataan masa generasi lebih sesuai pada
pepaya varietas Calina dibandingkan varietas Thailand.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang
biologi dan neraca kehidupan tungau T. urticae pada pepaya varietas Calina dan
Thailand, serta dapat menjadi upaya dalam menyusun strategi pengelolaan atau
pengendalian yang akan dilakukan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tungau Tetranychus urticae
Taksonomi dan Morfologi
T. urticae Koch. (Acari: Tetranychidae) termasuk ke dalam kelas
Arachnida, ordo Acarina, subordo Trombodiformes, superfamili Tetranycoidea,
famili Tetranychidae, subfamili Tetranychinae, genus Tetranychus (Krantz, 1978).
Secara umum tubuh tungau dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu bagian
anterior yang disebut gnatosoma, kemudian podosoma yaitu bagian tubuh yang
merupakan tempat melekatnya tungkai, dan opistosoma adalah bagian tubuh di
belakang tungkai (Gerson, 1985). Gabungan gnatosoma dan podosoma disebut
protosoma, sedangkan gabungan prodosoma dan opistosoma disebut idiosoma
(Krantz, 1978). Gnathosoma terdiri atas hypostome, kelisera, dan palpus.
Hypostome merupakan rahang atas, kelisera merupakan alat mulut khas yang
terdiri atas tipe menusuk, menghisap dan menggigit serta palpus merupakan
embelan indra yang sederhana berfungsi membantu menemukan lokasi makanan.
(Puspitarini, 2010). Kemudian fungsi dari idiosoma pada Acari adalah seperti
abdomen, toraks dan bagian kepala pada serangga. Idiosoma pada dasarnya tidak
beruas, meskipun ada yang keras karena dilindungi oleh perisai-perisai yang
tersklerotisasi atau lunak karena tidak memiliki bagian yang tersklerotisasi
(Puspitarini, 2010).
Tungau ini lebih dikenal dengan nama Two-spotted spider mite. Tungau
berukuran lebih kurang 0,3 mm berwarna merah, hijau, atau kuning. Imago betina
berbentuk bulat telur dan imago jantan agak runcing pada bagian posteriornya.
Tungau ini memliki tipe alat mulut menggigit, menusuk dan menghisap karena
terjadinya modifikasi pada celicera menjadi stilet. Pada bagian dorsal belakang
terdapat rambut-rambut (seta) yang tersususun tidak beraturan (Krantz, 1978).
Biologi
T. urticae banyak ditemukan di sekitar pertulangan daun, khususnya pada
permukaan bawah daun. Tungau menyukai permukaan bawah daun sebagai upaya
pertahanan diri terhadap pengaruh berbagai faktor lingkungan (Ayudya, 2012).
Meskipun lebih menyukai permukaan bawah daun, namun dalam populasi tinggi
tungau ini juga bisa ditemukan pada permukaan atas daun. T. urticae banyak
dijumpai pada musim kemarau, karena cuaca panas dan kering dapat memacu
reproduksi dari tungau tersebut. T. urticae dapat berkembang dan bereproduksi
dengan cepat pada kisaran suhu 27–30oC (Godfrey, 2011; Pramudianto dan Sari,
2016).
Siklus hidup dari T. urticae meliputi stadia telur, larva, protokrisalis,
protonimfa, deutokrisalis, deutonimfa, teliokrisalis dan imago (Ayudya, 2012).
Setiap masa aktif pradewasa diikuti oleh fase istirahat yang merupakan fase
pertahanan diri terhadap lingkungan yang tidak sesuai (Zhang, 2003).
Telur T. urticae (Gambar 1) berwarna kuning muda berbentuk bulat
dengan diameter lebih kurang 0.15 mm (Kalshoven, 1981). Menjelang menetas
pada telur tersebut terdapat bintik berwarna merah. Pada telur yang akan menetas
terlihat tungkai yang akan terus mendorong hingga kulit telur pecah (Wilson,
1993).
Gambar 1. Telur Tetranychus urticae (Clark, 2000)
Larva (Gambar 2) yang baru menetas berwarna kuning bening dengan tiga
pasang tungkai berwarna bening dan ukuran larva tidak jauh berbeda dengan
ukuran telur. Larva yang baru keluar lunak karena tidak mengalami sklerotisasi.
Perubahan warna dan ukuran terjadi sejalan dengan perkembangan larva yang
menjadi kuning keruh dengan dua bintik hitam pada bagian lateral dan ukurannya
akan semakin besar. Larva cenderung tidak aktif dan tidak banyak bergerak.
Protokrisalis (larva inaktif) merupakan stadia inaktif antara larva dan protonimfa.
Pada masa inaktif warna tidak jauh berbeda dengan larva, mengkilat dan melekat
pada substrat di permukaan daun. Posisi dua pasang tungkai merapat ke tubuh dan
direntangkan lurus ke arah anterior, sedangkan satu pasang lainnya akan
mengarah ke posterior. Menjelang ganti kulit warna larva menjadi keputih-putihan
dan mengkilat (Ikegami et al., 2000).

Gambar 2. Larva Tetranychus urticae (Horticulture Research International, 2018)


Protonimfa berukuran lebih besar sedikit dari larva dan memiliki dua
bintik hitam pada bagian lateral dengan tungkai empat pasang tidak berwarna
(bening). Pada saat keluar dari kulit lamanya berwarna kuning bening, lama
kelamaan terjadi perubahan warna menjadi kuning, dan dua bintik yang terdapat
di bagian lateral semakin jelas terlihat. Deutokrisalis (protonimfa inaktif)
berukuran dan berwarna tidak jauh berbeda dengan protonimfa. Sama seperti
stadia protokrisalis, stadia ini juga melekat pada permukaan daun, mengkilat, dua
pasang tungkainya merapat ke tubuh bagian anterior dan dua pasang lainnya
mengarah ke posterior. Menjelang pergantian kulit warna akan menjadi keputih-
putihan. Deutonimfa berukuran lebih besar dari protonimfa dan dua bintik hitam
pada bagian lateral akan semakin melebar. Tungkai tidak berwarna dan seta pada
dorsum idiosoma tampak jelas. Pada stadia ini sudah dapat dibedakan antara
jantan dan betina karena tubuh jantan lebih ramping daripada betina. Teliokrisalis
(deutonimfa inaktif) memiliki ukuran dan warna tidak jauh berbeda dengan
deutonimfa, mengkilat dan melekat pada permukaan daun. Dua pasang tungkai
depan merapat ke arah anterior dan dua pasang tungkai belakang merapat ke arah
posterior. Menjelang pergantian kulit warna akan berubah keputih-putihan
(Herbert, 1981).
Imago tungau (Gambar 3.) bertungkai empat pasang, berukuran lebih
besar daripada deutonimfa dengan warna lebih gelap, lama hidup tungau imago
adalah 22 hari. Tungau jantan menjadi dewasa mendahului tungau betina dan
berada di dekat tungau betina yang sedang dalam stadia mengalami teliokristali,
segera setelah tungau betina muncul terjadilah kopulasi. Tungau betina
berkembang biak dengan cara arenotoki, imago betina akan menghasilkan
keturunan betina jika telur dibuahi oleh jantan (Helle dan Sabelis, 1985).

Gambar 3. Imago Tetranychus urticae, a. Betina, b. Jantan (Alverez et. a.l, 2012)
Gejala dan Serangan
Gejala awal dari serangan tungau merah adalah adanya bintik-bintik
berwarna kuning pada bagian dasar daun, selanjutnya ke tulang daun utama. Pada
saat populasi berkembang, tungau menyebar keseluruh daun, termasuk permukaan
atas daun, dan bintik-bintik kuning menyebar ke seluruh daun, yang menyebabkan
daun berwarna kuning kecoklat-coklatan, terpelintir atau kemerahan seperti karat.
Pada serangan parah, daun bagian tengah dan bawah akan rontok, selanjutnya
serangan mengarah ke bagian pucuk di mana tunas mengalami penyusutan ukuran
dan banyak dijumpai adanya jaring warna putih menyelimuti daun pada sepertiga
bagian atas tanaman, dan pada tahap ini dapat menyebabkan tanaman mati (Fasulo
dan Denmark, 2009; Ayudya, 2012).
Tanaman Pepaya
Tanaman pepaya di klasifikasikan dalam sistem kerajaan Plantae, divisi
Spermatophyta, kelas Dicotyledonae, ordo Cistales, famili Caricaeae, genus
Carica, spesies Carica papaya (Sujiprihati dan Suketi, 2009). Tanaman pepaya
yang tumbuh di Indonesia terdiri dari berbagai macam varietas. Baik varietas
lokal maupun varietas ynag didatangkan dari luar Indonesia. Varietas pepaya yang
sering dijumpai terutama di daerah Malang adalah Calina dan Thailand.
Pepaya varietas Calina. Pepaya ini merupakan jenis pepaya yang
dikembangkan oleh IPB yang dikenal dengan IPB-9. Pepaya Calina ini mampu
berbuah sepanjang masa tanpa mengenal musim, tinggi pohonnya hanya sekitar
1,5 meter. Daging buah yang tebal, tahan bila disimpan lama dan rasa yang manis
dan segar menjadikan pepaya Calina mempunyai nilai ekonomis yang tinggi serta
mempunyai prospek pasar yang sangat bagus. Namun saat ini nama pepaya Calina
sering disebut dengan California (Elizabeth, 2015).
Tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1.000 m
dpl. Tanaman ini lebih senang tumbuh di lokasi yang banyak hujan (cukup
tersedia air), curah hujan 1000-2000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun.
Tanaman ini lebih senang tumbuh di lokasi yang banyak hujan (cukup tersedia
air), curah hujan 1000-2000 mm per tahun dan meratasepanjang tahun. Di daerah
yang beriklim kering, musim hujannya 2-5 bulan, dan musim kemaraunya 6-8
bulan, tanaman pepaya masih mampu berbuah, asalkan kedalaman air tanahnya
50-150 cm. Tanah yang subur dengan porositas baik, mengandung kapur, dan ber-
pH 6-7 paling disenangi oleh tanaman pepaya. Tanaman pepaya lebih menyukai
daerah terbuka (tidak ternaungi) dan tidak tergenang air. Tanah yang berdrainase
tidak baik menyebabkan tanaman mudah terserang penyakit akar (Farisi, 2015).
Pepaya varietas Thailand. Pepaya Thailand bukan merupakan tanaman
asli dari Indonesia. Jenis pepaya ini didatangkan dari Thailand sekitar tahun 70-
an. Pepaya ini diunggulkan karena ukurannya paling besar dibanding jenis pepaya
lainnya. Beratnya dapat mencapai 3,5 kg per buahnya. Selain ukuran, keunggulan
lainnya ialah rasa dan ketahanan buah. Daging buahnya berwarna jingga
kemerahan, rasanya manis segar dan teksturnya keras sehingga tahan dalam
pengangkutan. Tanaman pepaya ini dapat tumbuh pada ketinggian tempat dengan
suhu 21-33 C, curah hujan antara 1.500-2.000 mm setahun, kelembaban udara
yang dibutuhkan relatif minim yakni sekitar 66%, serta karakteristik tanah dengan
drainase yang baik dan pH tanah berkisar antara pH 5,0-7,0 (Farisi, 2015).
Pengaruh Varietas Tanaman terhadap Perkembangan Tungau.
Setiap varietas tanaman akan memberikan ketahanan yang berbeda pada
setiap serangan hama. Kehilangan hasil akibat serangan tungau di Uganda dapat
mencapai 46% sedangkan di Venezuela, kehilangan hasil berkisar antara 15–20%,
sedang hasil penelitian di CIAT dilaporkan bahwa serangan empat jenis tungau
secara bersamaan dapat menurunkan hasil antara 20 sampai 53%, tergantung pada
umur tanaman dan lamanya serangan. Selanjutnya juga dilaporkan bahwa
kehilangan hasil berbeda antara varietas yang tahan dan varietas yang rentan. Pada
varietas rentan, kehilangan hasil umbi dapat mencapai 73%, akan tetapi pada
varietas yang tahan kehilangan hasil umbi hanya berkisar 15% (Byrne et al.,
2004).
Parameter ketahanan atau toleransi tanaman terhadap tungau merah dapat
dipengaruhi oleh vigor tanaman, perkembangan daun muda menjadi daun tua, dan
mekanisme antibiosis. Vigor tanaman berkaitan erat dengan tingkat sukulen
jaringan tanaman, serangan hama akan tinggi pada jaringan tanaman yang sukulen
dibandingkan dengan jaringan yang tidak sukulen, karena jaringan tanaman
sukulen memiliki jumlah air yang lebih banyak, sehingga hama lebih mudah
untuk menusukkan alat mulutnya untuk menghisap cairan tanaman. Hama akan
lebih sulit menyerang tanaman yang tidak sukulen dikarenakan pada jaringan
tersebut memiliki kandungan unsur kalium yang lebih banyak. Kalium pada
jaringan tanaman berfungsi dapat meningkatkan vigor tanaman sehingga dapat
menjadi salah satu bentuk pertahanan tanaman terhadap hama dan penyakit.
Hubungan antara trikoma dan intensitas kerusakan pada daun menemukan bahwa
galur-galur kedelai dengan jumlah trikoma yang banyak cenderung akan
berproduksi tinggi. Hal ini dapat dipahami karena dengan trikoma yang rapat akan
mencegah terserang hama kutu kebul dan mengurangi kerusakan daun, sehingga
tanaman dapat tumbuh dengan baik dan mampu berproduksi optimal (Marwoto,
2011). Tipe trikoma pada tanaman strawberi menemukan bahwa kandungan
enzim oksidatif yang dihasilkan kelenjar trikoma berperan sebagai faktor
ketahanan strawberi terhadap hama tungau (Steinite dan Ievinsh, 2003).
Selain trikoma kandungan gula pada daun dapat mempengaruhi ketahanan
tanaman inang terhadap tungau. Kandungan gula pada daun dapat memicu
kemampuan makan serangga dan tungau. Selain itu, gula dapat menjadi faktor
pembatas bagi tungau untuk bertahan (Artini, 2017). Nutrisi dapat meningkatkan
keperidian tungau sehingga populasi meningkat di luar kendali musuh alaminya
(Endarto, 2004). Hubungan antara pertumbuhan dan potensi reproduksi tungau
dengan ketebalan daun dari enam varietas jeruk menemukan bahwa ada hubungan
antara ketebalan epidermis daun dengan pertumbuhan tungau. Sifat hubungan
antara pertumbuhan tungau dan ketebalan epidermis daun adalah negatif, artinya
bahwa semakin tebal lapisan epidermis daun maka pertumbuhan tungau akan
semakin terhambat. Hal ini disebabkan karena semakin tebal lapisan epidermis
daun maka kelisera tungau akan semakin sulit untuk mencapai makanan yang
tersimpan dalam jaringan mesofil yang letaknya di bawah jaringan epidermis
(Muryati et al., 2004).
Neraca Kehidupan
Neraca kehidupan adalah satu cara untuk mempelajari perkembangan suatu
populasi arthropoda. Di dalam neraca kehidupan terdapat deskripsi yang
sistematis tentang mortalitas dan kelangsungan hidup suatu populasi. Informasi
tersebut merupakan informasi dasar yang diperlukan dalam menelaah perubahan
kepadatan dan laju pertambuhan atau penurunan suatu populasi (Price 1975;
Smith 1990). Perkembangan suatu kelompok individu yang semuanya lahir pada
waktu yang sama (kohor) hingga kematian individu terakhir diamati sambil
mencatat kematian individu-individu anggota dan kelahiran keturunannya adalah
cara untuk mendapatkan data yang menunjang pembuatan statistik populasi
tersebut. Dalam menyusun neraca kehidupan terdapat grafik sintasan (kemampuan
hidup) tungau yang diperoleh dari pengamatan harian tungau T. urticae pada
berbagai umur (x). Kemudian untuk pengujian neraca kehidupan T. urticae mulai
dari awal muncul imago sampai mati, dilakukan berdasarkan parameter
demografi.
Neraca kehidupan T. urticae berbeda-beda di setiap inangnya. Perbedaan
neraca kehidupan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu spesies, inang, kondisi
iklim tempat penelitian, dan metode perbanyakan yang digunakan. Efek suhu dan
kultivar pada neraca kehidupan berpengaruh terhadap kelahiran dan kematian.
Penyebaran T. urticae secara geografi dan keragaman pada berbagai subspesies
juga dapat menyebabkan neraca kehidupan T. urticae berbeda-beda (Morgan et
al., 2001).
III. METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan, Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan (HPT), Fakultas Pertanian (FP), Universitas
Brawijaya (UB) pada bulan Februari sampai Juni 2019.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop, gunting,
kertas label, kuas nomor 00, penggaris, cawan Petri sedang (d = 9 cm), cawan
Petri besar (d = 15 cm) kaca objek, kaca penutup, tisu, kapas, spons (d = 8 cm; t =
1 cm), jarum, kantong plastik bening, kotak pendingin (cool box), alat penghitung
tangan, termohigrometer, dan buku identifikasi tungau Zhang (2003).
Bahan yang digunakan yaitu Tungau T. urticae, daun tanaman pepaya
varietas Calina dan Thailand, daun stroberi, air, dan larutan Hoyer.
Metode Penelitian
Tahapan metode penelitian yang dilaksanakan, yaitu: pembuatan arena
percobaan, asal tungau yang digunakan penelitian, perbanyakan tungau T. urticae,
identifkasi tungau, persiapan daun tanaman pepaya varietas Calina dan Thailand,
pengamatan biologi T. urticae dan perhitungan neraca kehidupan.
Arena Percobaan. Arena pecobaan digunakan sebagai tempat perbanyakan
tungau dan tempat tungau yang akan diamati untuk penelitian. Arena percobaan
berupa cawan Petri yang di dalamnya diletakkan spons, kemudian di atas spons
diletakkan selapis kapas dan daun pepaya dengan posisi permukaan bawah daun
berada di atas. Daun pepaya digunting dengan ukuran 3x3 cm. Daun diganti setiap
3 hari sekali dengan daun baru yang segar. Daun yang lama, diletakkan di atas
permukaan daun yang baru. Arena percobaan selalu dijenuhi air untuk menjaga
kelembaban, agar daun tidak cepat kering dan tungau tidak keluar dari arena.
Asal Tungau. Tungau T. urticae diperoleh dari daun singkong dan pepaya
di daerah sekitar Malang. Tungau yang diperoleh kemudian diperbanyak di dalam
arena perbanyakan.
Perbanyakan Tungau T. urticae. Perbanyakan T. urticae dilakukan
menggunakan daun stroberi yang diletakkan di arena percobaan. Tungau T.
urticae yang telah diperoleh di lapang kemudian diinfestasikan pada arena
percobaan dengan menggunakan kuas. Penggantian daun dilakukan setiap 3 hari
sekali. Daun stroberi yang lama, diletakkan di atas permukaan daun yang baru.
Identifikasi Tungau. Imago tungau dari hasil perbanyakan diidentifikasi
untuk memastikan jenis tungau yang akan digunakan untuk penelitian. Imago
diambil menggunakan kuas halus. Kemudian tungau diletakkan pada kaca objek
yang sudah ditetesi larutan Hoyer dengan menggunakan kuas. Tungau diletakkan
dengan posisi telentang, kemudian ditutup menggunakan kaca penutup secara
perlahan agar tidak terdapat gelembung air di dalamnya. Selanjutnya preparat
dipanaskan di atas hot plate selama 3 menit untuk meregangkan tubuh tungau.
Preparat yang sudah jadi disimpan selama 3 hari. Setelah itu tungau pada preparat
diidentifikasi menggunakan bantuan mikroskop. Ciri morfologi dan bagian-bagian
penting penciri tubuh tungau didokumentasikan dan dicocokkan dengan kunci
identifikasi. Buku identifikasi yang digunakan yaitu buku dari Zhang (2003).
Persiapan Daun Tanaman Pepaya. Daun tanaman pepaya yang digunakan
dalam penelitian ini adalah daun tanaman pepaya varietas Calina dan Thailand.
Pada daun pepaya Calina memiliki ciri khusus yakni di bagian tengah pertemuan
urat-urat tulang daun tumbuh tangkai dengan daun kecil di ujungnya, ciri yang
lain dapat dilihat dari bentuk buahnya yang tidak terlalu besar, warna kulit luar
hijau cerah dan jika buah menjelang masak warna kekuningan mulai muncul di
sekitar tangkai, serta warna daging buahnya jingga kemerahan. Sedangkan pepaya
Thailand buahnya berbentuk lonjong, teksturnya keras dan ukurannya besar serta
daging buahnya berwarna orange kemerah-merahan (Nusmawarhaeni, 1999).
Daun yang digunakan diambil dari tanaman pepaya di daerah sekitar Malang.
Daun yang dipilih adalah daun yang masih muda dan segar. Daun yang sudah
diambil dimasukkan ke dalam kantung plastik dan disimpan di dalam cool box
untuk tetap menjaga kesegaran daun pepaya. Selanjutnya daun yang akan
digunakan penelitian dikeluarkan dari cool box dan diletakkan pada arena
percobaan.
Perhitungan Kerapatan Trikoma Pada Daun Pepaya. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui jumlah trikoma pada permukaan daun papaya di
bagaian bawah. Perhitungan kerapatan trikoma dilakukan pada daun pepaya
varietas Callina dan Thailand yang masing-masing diulang sebanyak 10 kali.
Perhitungan kerapatan trikoma dilakukan dengan cara memotong daun pepayaa
dengan ukuran 1x1 mm, kemudian trikoma pada permukaan daun papaya bagian
bawah dihitung dengan alat hitung tangan dibawah mikroskop.
Analisis Proksimat. Analisis proksimat pada daun pepaya dilakukan untuk
mengetahui kandungan protein, kabohidrat, lemak, kadar air dan kadar abu pada
daun pepaya varietas Callina dan Thailand. Uji proksimat dilakukan di
Laboratorium Teknologi Hasil Panen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya.
Pengamatan Biologi
Studi Pengaruh Dua Varietas Pepaya terhadap Biologi Tungau
Tetranychus urticae. Penelitian biologi tungau merah T. urticae pada dua varietas
pepaya dilakukan untuk mengetahui lama perkembangan pradewasa, keperidian,
lama hidup imago betina, dan lama hidup imago jantan. Penelitian ini disusun
mengunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari dua perlakuan yaitu
papaya varietas Callina dan varietas Thailand dilakukan sebanyak 20 kali ulangan
sehingga diperoleh 40 satuan percobaan dan dibutuhkan 40 pasang tungau T.
urticae untuk setiap parameter pengamatan.
Lama Perkembangan Pradewasa. Lama perkembangan pradewasa tungau
merah T. urticae diamati mulai fase telur hingga imago pada daun pepaya. Lama
perkembangan pradewasa yang diamati meliputi lama perkembangan pradewasa
jantan dan betina T.urticae pada varietas Callina dan varietas Thailand. Penelitian
dilakukan sebanyak 20 kali ulangan sehingga diperoleh 80 satuan percobaan.
Lama perkembangan pradewasa jantan dibutuhkan 40 tungau T. urticae betina
untuk setiap parameter pengamatan kemudian setiap imago betina dipindahkan ke
arena percobaan yang sudah ditempatkan potongan daun varietas Callina dan
Thailand. Masing- masing arena berisi satu varietas daun pepaya sehingga
dibutuhkan 40 arena penelitian. Imago T.urticae kemudian dibiarkan meletakkan
telur selama 24 jam. Lama perkembangan pradewasa betina dibutuhkan 20
pasang imago jantan dan betina. Setiap pasang imago T. urticae kemudian
dipindahkan ke arena percobaan yang sudah ditempatkan potongan daun varietas
Callina dan Thailand. Masing- masing arena berisi satu varietas daun pepaya.
Sehingga dibutuhkan 40 arena penelitian. Imago T.urticae kemudian dibiarkan
meletakkan telur selama 24 jam.
Setelah 24 jam semua imago dan telur yang diletakkan disingkirkan
menggunakan jarum dan hanya menyisakan satu telur pada setiap potongan daun
di arena penelitian. Telur diamati setiap hari sampai menetas dan lama stadia telur
dicatat. Selanjutnya, pengamatan dilakukan setiap 3 jam sekali untuk mengamati
lama perkembangan larva, protokrisalis, protonimfa, deutokrisalis, deutonimfa,
teliokrisalis sampai menjadi imago. Lama setiap stadia lalu dicatat. Daun papaya
diganti setiap 3 hari sekali.
Keperidian dan Lama Hidup. Penelitian keperidian dan lama hidup
imago betina dan lama hidup imago jantan T. urticae dilakukan dengan
menempatkan sepasang imago jantan dan betina T. urticae pada arena percobaan.
Penelitian dilakukan sebanyak 20 kali ulangan sehingga diperoleh 40 satuan
percobaan dan dibutuhkan 40 pasang tungau T. urticae. .Penelitian dilakukan
menggunakan imago betina dan jantan T. urticae yang muncul pada hari yang
sama. Imago T. urticae tersebut diperoleh dengan cara memindahkan 30 pasang
imago tungau T.urticae pada sebuah arena percobaan yang berukuran lebih besar.
Lalu setelah 24 jam semua imago disingkirkan dan hanya menyisakan telur. Telur
pada arena percobaan dibiarkan berkembang hingga fase teliokrisalis (fase
istirahat terakhir) untuk digunakan sebagai bahan percobaan.
Sebanyak 40 pasang tungau jantan dan betina tungau pada fase istirahat
terakhir dari populasi yang dipelihara bersama-sama dan muncul pada hari yang
sama. Masing-masiang dipindahkan ke arena percobaan yang sudah terdapat
potongan daun pepaya varietas Callina dan varietas Thailand. Lama praoviposisi
dan oviposisi imago betina dicatat beserta telur yang diletakkan dihitung dan
dicatat setiap hari kemudian disingkirkan. Lama pasca oviposisi imago betina
dicatat serta lama hidup imago jantan dan betina dicatat setiap hari sampai imago
jantan dan betina mati.
Studi Tipe Reproduksi T. urticae. Penelitian tipe reproduksi T. urticae
bertujuan untuk melihat jenis kelamin yang dihasilkan oleh T.urticae betina yang
mengalami kopulasi dan tanpa kopulasi pada daun pepaya varietas Callina dan
Thailand. Penelitian dilakukan sebanyak 20 kali ulangan sehingga diperoleh 80
satuan percobaan. Studi reproduksi T.urticae tanpa kopulasi dibutuhkan 40 T.
urticae betina pada stadia teliokrisalis untuk setiap parameter pengamatan
kemudian setiap T.urticae betina dipindahkan ke arena percobaan yang sudah
ditempatkan potongan daun varietas Callina dan Thailand. Masing- masing arena
berisi satu varietas daun pepaya sehingga dibutuhkan 40 arena penelitian. Imago
T.urticae kemudian dibiarkan meletakkan telur lalu dibiarkan hingga berkembang
menjadi imago dan diamati tipe reproduksi yang dihasilkan. Studi reproduksi
T.urticae dengan kopulasi dibutuhkan 20 pasang imago jantan dan betina. Setiap
pasang imago T. urticae kemudian dipindahkan ke arena percobaan yang sudah
ditempatkan potongan daun varietas Callina dan Thailand. Masing- masing arena
berisi satu varietas daun pepaya. Sehingga dibutuhkan 40 arena penelitian. Imago
T.urticae kemudian dibiarkan meletakkan telur lalu dibiarkan hingga berkembang
menjadi imago dan diamati tipe reproduksi yang dihasilkan. Jenis kelamin imago
yang muncul dicatat.
Nisbah Kelamin. Penentuan nisbah kelamin tungau T.urticae dilakukan
dengan menempatkan sepasang imago jantan dan betina yang berumur 1-3 hari
pada arena percobaan. Percobaan dilakukan dengan 20 kali ulangan sehingga
dihasilakan 20 satuan percobaan yang menggunakan 20 pasang imago tungau T.
urticae. Sepasang imago yang telah diletakan di dalam arena percobaan yang
berisikan daun pepaya didiamkan selama tiga hari sampai tungau betina
meletakan telurnya. Setelah tiga hari imago jantan dan betina disingkirkan dari
dalam arena percobaan. Semua telur yang telah diletakan oleh imago betina
dibiarkan hingga menetas dan berkembang menjadi imago baru. Penentuan nisbah
kelamin dilakukan dengan cara membandingkan jumlah imago jantan dan betina
yang baru muncul.
Neraca Kehidupan
Perhitungan neraca kehidupan hanya didasarkan pada populasi imago
betina. Beberapa parameter yang digunakan untuk perhitungan adalah x, lx, mx. x
adalah kelas umur tungau (hari) pada setiap tahap fase tertentu. lx adalah proporsi
tungau yang hidup pada umur x yang didapatkan dari jumlah individu yang
bertahan hidup pada umur tertentu. Dari hasil lx selanjutnya akan digunakan untuk
membuat kurva kesintasan untuk menggambarkan pola mortalitas tungau. m x
adalah jumlah keturunan tungau betina yang lahir pada kelas x.
Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan nilai lx terdapat dua perlakuan
yang digunakan, yakni daun tanaman pepaya varietas Calina dan Thailand. Daun
tersebut sebagai pakan dan tempat hidup tungau T. urticae. Setiap perlakuan
diulang 10 kali, sehingga terdapat 20 satuan percobaan. Setiap ulangan pada
masing-masing perlakuan dibutuhkan sejumlah 20 pasang imago tungau T. urticae
dan 20 arena percobaan, yang pada setiap arena percobaan ditempatkan satu
pasang imago. Maka total yang dibutuhkaan adalah 400 pasang imago tungau dan
400 arena percobaan. Daun yang digunakan dipotong dengan ukuran 3x3 cm,
kemudian diletakkan ke dalam masing-masing arena percobaan. Tungau yang
sudah diletakkan pada arena percobaan dibiarkan selama 24 jam sampai bertelur.
Setelah bertelur, imago tungau tersebut dikeluarkan dan hanya disisakan satu telur
dalam setiap arena percobaan. Kemudian telur dibiarkan sampai menetas hingga
menjadi dewasa dan pengamatan dilakukan setiap hari untuk menghitung jumlah
individu yang bertahan hidup, kemudian dicatat. Selanjutnya ketika tungau T.
urticae mencapai fase dewasa, maka jumlah betina dan jantan yang muncul
dihitung dan dicatat untuk mendapatkan nilai nisbah kelamin. Penggantian daun
dilakukan setiap 3 hari sekali, yakni dengan meletakkan daun lama di atas
permukaan daun baru.
Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan nilai mx terdapat dua perlakuan
yang digunakan, yakni daun pepaya varietas Calina dan Thailand. Daun tersebut
sebagai pakan dan tempat hidup tungau T. urticae. Setiap arena percobaan
ditempatakan sepasang imago tungau, kemudian setiap perlakuan diulang 30 kali,
sehingga terdapat 60 satuan percobaan dan dibutuhkan 60 pasang imago tungau.
Daun yang digunakan dipotong dengan ukuran 3x3 cm kemudian diletakkan ke
dalam masing-masing arena percobaan. Imago yang digunakan dalam penelitian
ini adalah imago betina tungau T. urticae yang muncul pada hari yang sama yang
diperoleh dari pemindahan tungau pada fase istirahat terakhir pada arena
perbanyakan ke dalam arena yang lebih besar dengan diameter 15 cm, dan imago
jantan yang diperoleh langsung dari arena perbanyakan. Selanjutnya sepasang
imago tersebut diletakkan ke dalam setiap arena percobaan. Tungau yang sudah
diletakkan dalam arena percobaan dibiarkan hingga bertelur. Pengamatan
dilakukan setiap hari untuk mengitung telur yang diletakkan oleh imago betina,
kemudian dicatat. Setelah telur dihitung kemudian disingkirkan menggunakan
jarum. Pengamatan ini dilakukan hingga imago betina mati, dan setiap terjadi
kematian pada imago betina dicatat. Apabila tungau jantan mati terlebih dahulu,
maka diganti dengan imago jantan yang baru, yang diambil dari arena
perbanyakan. Penggantian daun dilakukan setiap 3 hari sekali, yakni dengan
meletakkan daun lama di atas permukaan daun baru. Dari pengamatan tersebut
akan didapatkan nilai produktivitas telur perhari, keperidian, lama hidup imago
betina, lama masa pra oviposisi, oviposisi dan pasca oviposisi. Lama masa pra
oviposisi adalah sejak imago baru terbentuk sampai imago meletakkan telur untuk
yang pertama kali. Sedangkan lama masa oviposisi adalah sejak imago
meletakkan telur yang pertama kali sampai telur yang terakhir dan pasca oviposisi
adalah sejak imago tidak bertelur sampai imago mati.
Data untuk menyusun neraca kehidupan berasal dari hasil nilai lx dan mx
yang kemudian disusun dalam tabel bentuk neraca kehidupan berdasarkan
parameter demografi menurut Birch (1948), meliputi:
1. Laju Reproduksi Bersih (Ro), dihitung menggunakan:
Ro= ∑lxmx
2. Laju Reproduksi kotor (GRR), dihitung menggunakan:
GRR= ∑mx
3. Laju Pertumbuhan Intristik (rm), dihitung menggunakan:
∑lxmxe-mx= 1
Dengan r awal= (lnRo) / T
4. Rata-rata Masa Generasi (T), dihitung menggunakan:
T= ∑xlxmx/ ∑lxmx

Analisis Data
Berdasarkan data perkembangan pra dewasa hingga dewasa tungau T.
urticae pada pepaya varietas Calina dan Thailand yang meliputi siklus hidup,
lama hidup imago, lama masa pra oviposisi, ovposisi dan pasca oviposisi,
keperidian dan nisbah kelamin dianalisis menggunakan uji t dengan bantuan
program Minitab (Minitab 2000). Kemudian untuk perhitungan neraca kehidupan
menggunakan software Microsoft Office Excel 2007.
DAFTAR PUSTAKA
Artini. 2017. Kelimpahan Populasi Tungau pada Berbagai Varietas Apel. Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Asbani N, Amir AM, Subiyakto. 2007. Inventarisasi Hama Tanaman Jarak Pagar
Jatropha curcas L. Prosiding Lokakarya II: Status Teknologi Tanaman
Jarak Pagar Jatropha curcas L: 83–90. Bogor, 29 November 2006.
Ayudya, AM. 2012. Biologi Tetranychus urticae Pada Tanaman Mawar. Skripsi.
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Jawa Barat.
Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2017. Produksi Buah
Buahan di Indonesia Tahun 20012 – 2017. Diunduh dari http://bps.go.id.
pada tanggal 1 Januari 2019.
Birch, LC. 1948. The intristic rate of natural increase of an insect
population. The Journal of Animal Ecology 17: 15-26.
Byrne FJ, Castle S, Prabhaker N, Toscano NC. 2003. Biochemical study of
resistance to imidacloprid in biotype Bemisia tabaci from Gutaimala, Pest
Manag. Sci. 59(3): 342-352.
CABI (Invasive Species Compendium International). 2015. Tetranychus urticae
(two-spotted spider mite). Diunduh dari
http://www.cabi.org/isc/datasheet/53366 pada tanggal 10 Desember 2018.
Clark, JK. 2000. UC Statewide IPM Project. University of California Diunduh
dari http://www.ipmucdavis.edu/ PMG/PESTNOTES/pn7405.html. Diakses
pada tanggal 10 Desember 2018.
Elizabeth, PS. 2015.Teknik Budidaya Pepaya Calina. Diunduh dari
http://bali.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/info-teknologi/574-teknik-
budidaya-pepaya-calina pada 19 Desember 2018.
Endarto, O. 2004. Tungau Karat Jeruk (Acari: Phyllocoptruta oleivora):
Kelimpahan Populasi, Tingkat Serangan, dan Persepsi Petani. Tesis.
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Epetani. 2015. Cara Budidaya Pepaya California. http://epetani.pertanian.go.id.
Diakses pada tanggal 1 Februari 2019.
Farisi, KA. 2011. Strategi Pengembangan Usaha Pepaya California (Studi kasus:
Gapoktan Lembayung Desa Cikopomayak,Kecamatan Jasinga, Kabupaten
Bogor). Skripsi. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi Dan Manajemen.
Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat.
Fasulo TR dan Denmark HA. 2009. Two Spotted Tetranychus urticae Koch.
(Arachnida: Acari: Tetranychidae). EENY 150: 1-5.
Gerson U. 1985. Webbing. Di dalam: Helle W, Sabelis MW, (ed.). Spider
Mites Their Biology, Natural Enemies, and Control. Tokyo: Elsevier 1.
Hal. 223-230.
Gerson U, Smiley RL, Ochoa R. 2003. Mites (Acari) for Pest Control. Diunduh
dari https://doi.org/10.1002/9780470750995 pada tanggal 10 Desember
2018.
Godfrey, LD. 2011. Spider Mite. Integrated Pest Management for Home
Gardeners and Landscape Professionals. Diunduh dari
http://www.ipm.ucdavis.edu/PDF/Pestnotes/pnspidermites.pdf pada 15
Desember 2018.
Handayati W. 2013. Kajian Ketahanan Beberapa Genotip Mawar Bunga Potong
Terhadap Penyakit Bercak Hitam dan Hama Tungau. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian. Jawa Timur.
Helle, W dan Sabelis MW. 1985. Spider Mites Their Biology, Natural Enemies,
and Control. Vol 1A. Elsevier. Tokyo
Huffaker CB, Van de vrie M, McMurtry JA. 1969. The Ecology of Tetranychid
Mites and Their Natural Control. Ann Rev Entomol 14: 125-174.
Ikegami YS, Yano, Takabayashi J and Takafuji A. 2000. Function of Quiescense
of Tetranychus kanzawai (Acari: Tetranvchidae) as a Defence Mechanism
Agains Rain. Appl. Entomol. Zool. 35: 339-343
Indiati SW dan Saleh N. 2010. Hama Tungau Merah Tetranychus urticae pada
Tanaman Ubikayu dan Upaya Pengendaliannya. Buletin Palawija 20: 72–
79.
Krantz, GW. 1978. A manual of Acarology. Ed ke-2. Oregon: Oregon State
University Book Stores.
Maryati, S, Murniati E, dan Suhartanto MR. 2004. Pengaruh Sarcotesta dan
Pengeringan Benih serta Perlakuan Pendahuluan terhadap Viabilitas dan
Dormansi Benih Pepaya (Carica papaya L.) Agron 33(2): 23–30.
Migeon A, and Dorkeld F. 2010. Spider mites web: a comprehensive database for
the Tetranychidae. Diunduh dari http://www.montpellier.inra.fr/CBGP/
spmweb pada tanggal 10 Desember 2018.
Morgan D, Walters KFA, dan Aegerter JN. 2001. Effect Of Temperatur and
Cultivar On Pea Aphid, Acyrthosiphon Pisum (Hemiptera: Aphididae)
Life History. Bulletin of Entomological Research 91: 47-52.
Muktiani. 2011. Bertanam Varietas Unggul Pepaya California. Pustaka Baru
Press. Yogyakarta.
Nuswamarhaeni S, Prihatini D, dan Pohan EP. 1999. Mengenal Buah Unggul
Indonesia. Jakarta: Penerbit Swadaya.
Panjota A, Follet PA, dan Jimenez AV. 2002. Pest of Papaya. Cromwell Press.
Ukraina.
Pramudianto dan Sari KP. 2016. Tungau Merah (Tetranychus Urticae Koch) pada
Tanaman Ubikayu dan Cara Pengendaliannya. Buletin Palawija 14(1): 36–
48.
Pramudianto dan Sari KP. 2016. Tungau Merah (Tetranychus Urticae Koch) pada
Tanaman Ubikayu dan Cara Pengendaliannya. Buletin Palawija 14(1): 36–
48.
Price PW. 1975. Insect Ecology. Ed Ke-2. New York: John Wiley and Sons.
Puspitarini RD. 2010. Identifikasi Tungau Fitofag Penting. Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Smith RL. 1990. Ecology And Field biology. Ed ke-4. New York: Harper
Collins Publisher.
Steinite I dan Ievinsh G. 2003. Wound-induced responses in leaves of strawberry
cultivars differing in susceptibility to spider mite. J. Plant Physiol. 159:
491–497.
Sujiprihati S, Suketi K. 2009. Budidaya Pepaya Unggul. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Sunarjono H. 2003. Ilmu Produksi Tanaman Buah-buahan. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Van de Vrie M, McMurty JA, dan Huffaker CB. 1972. Biology, Ecology, and
Pests Status and Host-plant Relations of Tetranychids. Hilgardia 41(13):
343-432.
Wilson LJ dan Morton R. 1993. Seasonal abundance and distribution of
Tetranychus urticae (Acari: Tetranychidae) on cotton in Australia. Bul of
Ent Research 83: 297–305.
Zhang, ZQ. 2003. Mites of Greenhouses, Identification, Biology and Control.
CABI Publishing. Cambridge.
Biodata Asisten Peniliti I
Nama : Julaikha Nur Sita
Tempat dan Tanggal lahir : Mojokerto, 3 Januari 1997
Alamat : Jl. Sumbersari, gang 4 no. 62 C, Malang
HP: 081556637538
Pekerjaan : Mahasiswa HPT FP UB angkatan 2015
NIM : 155040201111067
Alamat kampus : Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Jl. Veteran Malang
Telp./Fax. : (0341) 575843 / (0341) 560011
Pendidikan : 1. 2009 Lulus SDN Trawas II
2. 2012 Lulus SMPN 1 Trawas
3. 2015 Lulus SMAN 1 Pacet
4. 2015- sekarang. Mahasiswa aktif FP UB

Biodata Asisten Peniliti II


Nama : Rahma Wulan Ramadhan
Tempat dan Tanggal lahir : Madiun, 25 Januari 1998
Alamat : Jl. Taman sari no. 1/2, Penarukan, Kepanjen,
Malang
HP: 081249693457
Pekerjaan : Mahasiswa HPT FP UB angkatan 2015
NIM : 155040201111067
Alamat kampus : Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Jl. Veteran Malang
Telp./Fax. : (0341) 575843 / (0341) 560011
Pendidikan : 1. 2009 Lulus SDN 1 Manukan kulon
2. 2012 Lulus SMP Taman Pelajar Surabaya
3. 2015 Lulus SMA Negeri 1 Sumber pucung
4. 2015- sekarang. Mahasiswa aktif FP UB

Anda mungkin juga menyukai