Anda di halaman 1dari 8

A.

Lapangan/ Lingkungan Hukum Adat

Berdasarkan sumber hukum dan tipe hukum adat, dari Sembilan belas daerah lingkungan hukum
(rechtskring) di Indonesia sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok.

a. Hukum adat mengenai tata cara negara (tata susunan rakyat). Hukum adat ini mengatur
tentang susunan dari dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum
(reschtsgemenschappen) serta susunan dan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-
jabatan, dan pejabatnya.
b. Hukum adat mengenai warga (hukum warga) terdiri dari:
1. Hukum pertalian sanak (perkawian, waris);
2. Hukum tanah (hak ulayat tanah, transaksi-transaksi tanah);
3. Hukum perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksi tentang benda selain tanah dan
jasa)
c. Hukum adat mengenai delik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tetang pelbagai
delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana itu.

B. Karakter Hukum Adat


a. Adat dan Hukum Adat

Tidak semua adat merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat-istiadat dengan hukum
adat. Oleh van Vollenhoven dikatakan bahwa hanya adat yang bersanksi sajalah yang dapat
dikatakan sebagai hukum adat. Sanksi adat adalah berupa “reaksi adat” dari masyarakat yang
bersangkutan, yakni berupa upaya pemulihan keseimbangan atas peristiwa terguncangnya
keseimbangan masyarakat. Upaya pemulihan keseimbangan ini tentu dilakukan oleh masyarakat
melalui pemimpinnya yang dikenakan kepada orang yang dianggap melakukan pelanggaran itu.

Ter Haar menyatakan: Untuk melihat apakah sesuatu adat istiadat itu sudah merupakan
hukum adat, maka kita wajib melihat sikap penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan
terhadap si pelanggar peraturan adat istiadat yang bersangkutan. Kalau penguasa terhadap si
pelanggar menjatuhkan putusan hukuman, maka adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat.

b. Hukum Adat Adalah Hukum Non-Statutair

Hukum Adat pada umumnya ada dalam bentuk yang belum/tidak tertulis. Oleh karenanya
bagi mereka yang terbiasa memandang hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
tentu akan memandang hukum adat itu sebagai hukum yang tidak teratur dan tidak sempurna.
Adalah wajar pendapat yang demikian oleh karena hukum adat itu memang tidak mengenal
kepastian hukum. Hukum adat berkembang mengikuti perkembangan perasaan hukum dari
masyarakat pendukungnya. Apabila hukum adat itu dipelajari dengan sungguh-sungguh, diteliti
tidak dan dihayati tidak dengan rasio saja, melainkan dengan penuh perasaan, maka akan dapat
ditemukan suatu sumber yang mengagumkan yakni berupa adat-istiadat yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat di Indonesia.

c. Hukum adat bersifat dinamis

Artinya hukum adat dapat berubah jika dikehendaki oleh masyarakat tertentu. Adat itu
dalam perkembangannya sejalan dan seirama dengan perkembangan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Namun sifat dinamis dalam hukum adat tidak berarti bahwa hukum adat
berkembang secara liar tanpa memperhatikan asas-asas yang ada dan mengabaikan begitu saja
segala sesuatu dari masa yang silam. Akan tetapi perkembangan itu tidak diimbangi dengan
perubahan zaman yang begitu cepat yang terjadi di dunia global ini sehingga kebutuhan
masyararakat tentang penegakan norma-norma hukum lebih pada norma-norma yang tekstualis.

d. Sebagian besar tidak tertulis dan ditaati masyarakat

Secara historis empiris, dapat ditelusuri bahwa hukum adat selalu dipatuhi oleh warga
masyarakat karena adanya sistem kepercayaan yang amat berakar dalam hati warganya, sehingga
mampu mengendalikan perilaku dan perbuatan para pemeluknya dari sifat-sifat negatif.
Disamping itu juga karena secara material dan formal, hukum adat berasal dari masyarakat itu
sendiri, atau merupakan kehendak kelompok. Oleh karena itu, kepatuhan hukum itu akan tetap
ada selama kehendak kelompok diakui dan di junjung tinggi bersama, karena kehendak
kelompok inilah yang menyebabkan timbul dan terpeliharanya kewajiban moral warga
masyarakat.

e. Mempunyai corak magis-religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam


Indonesia
f. Sistim itu diliputi oleh pikiran serta konkrit, artinya hukum adat sangat
memperhatikan banyaknya dan berulangnya hubungan-hubungan hidup yang konkrit.
Sistim hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang konkrit itu dalam
mengatur pergaulan hidup.
g. Hukum adat mempunyai sifat visuil, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap
hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.

C. Unsur-Unsur Hukum Adat

Berikut ini adalah unsur-unsur hukum adat, diantaranya:

a. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat. Tingkah laku
tersebut teratur dan sistematis serta memiliki nilai sacral
b. Terdapat keputusan kepala adat
c. Adanya sanksi hukum
d. Tidak tertulis
e. Ditaati oleh masyarakat

Menurut Soerodjo Wignjodipoero, S.H. hukum adat memiliki dua unsur, yakni: unsur kenyataan
adn unsur psikologis.

a. Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu di indahkan oleh
rakyat.
b. Unsur psikologi, bahwa terdapat keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud
memiliki kekuatan hukum.

Adapun dalam buku Hukum Adat Indonesia oleh Soerjono Soekanto menyatakan bahwa unsur-
unsur hukum adat yaitu antara lain.

c. Hukum asli Indonesia


d. Hukum agama
e. Kenyataan : walaupun hukum adat ini tidak tertulis tapi dipatuhi oleh masyarakat
f. Psikologi/ kejiwaan :punya kekuatan hokum
D. Tatanan Susunan Masyarakat
a. Persekutuan Hukum
Hukum adat adalah hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
Indonesia yang berwujud kaedah-kaedah hukum karena adanya pergaulan manusia
dalam masyarakat. Jadi kaedah-kaedah tersebut tumbuh dalam dinamika pergaulan
hidup hubungan antar manusia dalam bermasyarakat. Oleh karenanya, susunan
pergaulan hidup tersebut mempengaruhi dan menentukan sifat dan corak dari kaidah
hukum tersebut.
Bila diperhatikan susunan pergaulan hidup pada kehidupan di tingkat kehidupan
rakyat, dapat dilihat adanya pengelompokan-pengelompokan orang-orang yang
bertindak sebagai suatu kesatuan, baik ke luar maupun ke dalam. Tiap-tiap orang
yang ada dalam kelompok merasa dirinya sebagai anggota kelompok, menghayati
keanggotaannya dalam kelompok, dan berkeyakinan tindakannya sebagai anggota
kelompok tidak hanya berakibat pada dirinya sendiri saja, melainkan akan dirasakan
oleh anggota-anggota lain dalam kelompoknya.
Tiap-tiap kelompok itu hidup dalam suasana ketertiban tertentu, dengan memiliki
pimpinan serta strukturnya secara tersendiri, memiliki harta kekayaan berupa benda
berwujud maupun tidak berwujud, memiliki wilayah dalam batas-batas mana
kelompok itu menjalani kehidupannya, serta tidak ada seorang anggotapun yang
berkehendak untuk membubarkan kelompok tersebut. Kelompok yang demikian ini
disebut dengan “persekutuan hukum” (oleh Ter Haar diistilahkan dengan
rechtsgemeenschap). Jadi yang dimaksud dengan persekutuan hukum adalah
sekelompok orang-orang yang terikat sebagai suatu kesatuan dalam suatu susunan
teratur yang bersifat abadi, dan memiliki pimpinan serta kekayaan berwujud dan tidak
berwujud di luar kekayaan anggotanya dan menjalani hidup bersama dalam suatu
wilayah tertentu.1

1
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1996, halaman 67.
b. Jenis Persekutuan Hukum
1. Persekutuan Genealogis
Keanggotaan dalam persekutuan yang terikat secara genealogis, yaitu mereka
mereka yang berada dalam keturunan yang sama. Keterikatan atas dasar
keturunan ini dapat dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu:
1) Pertalian darah menurut garis ayah (patrilineal), seperti pada suku Bali, Batak,
Nias dan Sumba.
2) Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal), seperti di daerah
Minangkabau.
3) Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (parental), seperti pada suku
Jawa, Sunda, Aceh, Dayak. Dalam pertalian darah ini maka keluarga pihak
ayah memiliki kedudukan yang sama dengan keluarga pihak ibu.
2. Persekutuan Teritorial
Persekutuan teritorial adalah sekelompok orang terikat dalam suatu
persekutuan yang faktor pengikatnya adalah suatu tempat atau wilayah dimana
mereka bertempat tinggal dan menjalani kehidupannya. Orang luar dapat masuk
kedalam kelompok tersebut dengan membayar uang pengakuan dan ikut serta
dalam rukun desa sebagaimana anggota yang ada sebelumnya. Mereka yang sejak
dahulu merupakan anggota dari persekutuan tersebut mempunyai kedudukan
penting dalam persekutuan tersebut. Ada tiga jenis persekutuan teritorial, yaitu:
1) Persekutuan Desa
Termasuk dalam persekutuan desa apabila sekelompok orang bertempat
tinggal dalam suatu tempat permukiman (desa) dengan kepengurusan
tersendiri dan pengurus dari desa tersebut bertempat tinggal di pusat desa.
2) Persekutuan Daerah
Apabila dalam suatu daerah terdapat beberapa desa yang mempunya tata
susunan dan kepengurusannya sendiri, tetapi desa-desa tersebut ada dibawah
daerah yang bersangkutan. Daerah bersangkutan memiliki harta benda dan
menguasai tanah-tanah dalam wilayahnya yang dimanfaatkan oleh penduduk
desa.
3) Perserikatan
Termasuk jenis ini apabila beberapa desa yang berdekatan mengadakan
permufakatan untuk bekerjasama dalam mengurus kepentingannya dengan
membentuk kepengurusan, misalnya dalam pengurusan pengairan. Pengurus
yang dibentuk ini tidak memiliki kedudukan lebih tinggi dari pengurus desa
masing-masing. Keekuasaan tertinggi terhadap tanah-tanah dalam lingkungan
desa tersebut tetap berada di tangan pengurus desa masing-masing.

c. Lingkaran Hukum Adat


Van Vollenhoven membagi wilayah Indonesia menjadi 19 lingkaran hukum adat
(retchsringen) yaitu sebagai berikut:
1. Aceh
2. Tanah Gayo, Alas, Batak, dan Nias
3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai
4. Sumatera Selatan
5. Daerah Melayu (Sumatera Timur, Jambi, dan Riau)
6. Bangka dan Belitung
7. Kalimantan
8. Minahasa
9. Gorontalo
10. Daerah Toraja; Sulawesi Selatan
11. Kepulauan Ternate
12. Maluku, Ambon
13. Irian
14. Kepulauan Timor
15. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat)
16. Jawa tengah dan jawa Timur (beserta Madura)
17. Daerah-daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta)
18. Jawa Barat.

Tiap lingkungan hukum tersebut dibagi-bagi lagi dalam kukuban-kukuban


hukum, seperti Jawa barat yang terbagi atas kukuban-kukuban hukum: Jakarta,
Banten, Periangan, dan Cirebon. Diantara kukuban-kukuban hukum masing-masing
terdapat perbedaan corak hukum adat yang berlaku di dalam wilayahnya, tetapi
perbedaan-perbedaan itu tidak sebesar perbedaan diantara lingkungan-lingkungan
hukum.2

2
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukm Adat, PT Gunung Agung, Jakarta, 1985, halaman 87.
DAFTAR PUSTAKA

Djamali, R. Abdoel. 1984. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada

Wirawan, I Ketut. Dkk. 2017. Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia. Denpasar

S. Meliala, Djaja. 1981. Tata Hukum Indonesia. Bandung : Tarsito

Soekanto, Soerjono. 2007. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafinda Persada

Najih, Mokhammad dan Soimin, 2014, Pengantar Hukum Indonesia, Malang, Setara Press.

Setiabudi, Suryadi. 2017, Karakteristik Hukum Adat, diakses dari


https://docplayer.info/33156480-Karakteristik-hukum-adat.html, pada tanggal 21 November 2019.

C. S. T, Kansil, 2018, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

Dr. I Ketut Wirawan S.H., M. Hum, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Udayana 2015

Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Udayana 2017

Anda mungkin juga menyukai