Anda di halaman 1dari 2

Pada proses pemotongan ayam tahapan yang tidak dilakkan yaitu pengistirahatan karena ayam

yang dijadikan bahan praktikum sebelumnya telah di istirahatkan oleh pihak laboraturium. Pada

proses pemotongan ini sudah mengikuti Moeslim Methode. Bobot hidup ayam yang di dapat pada

praktikum kali ini adalah 1,3 kg dimana berat tersebut standar bobot badan ayam broiler hal

tersebut sesuai dengan pernyataan (Charoen Pokphand, 2005) ayam broiler merupakan hasil

rekayasa genetika dari galur murni yang dapat dipanen lebih cepat dengan bobot badan 1-1,5 kg/

ekor. Dimana karkas yang diperoleh dari praktikum kali ini adalah 71,9% dimana ayam tersebut

berumur 6 minggu hal tersebut sesuai pernyataan Siregar (1980), menyatakan persentase karkas

ayam broiler umur 6 minggu berada antara 65–75%. Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi

persentase karkas adalah konformasi tubuh dan derajat kegemukan. Ternak yang gemuk,

persentase karkasnya tinggi dan umumnya berbentuk tebal seperti balok (Kartasudjana, 2001).

Faktor lain yang mempengaruhi persentase karkas adalah jumlah pakan dan air yang ada pada

saluran pencernaan ternak. Bila jumlahnya cukup banyak maka persentase karkasnya akan rendah.

Kulit yang besar dan juga tebal juga akan berpengaruh terhadap persentase karkas

(Kartasudjana,2001).
Pada praktikum susut masak diperoleh data sebesar 10,34% yang mana data tersebut sesuai
dengan pernyataan (Soeparno, 2005) pada umumnya susut masak bervariasi antara 1,5% sampai
54,5% dengan kisaran 15% sampai 40% (Soeparno, 2005). Daging ayam yang diuji memilki
kualitas baik karena angka susut masaknya rendah hal tersebut sesuai dengan pernyataan Yanti
(2008) daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena
kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah. Daging beku atau disimpan
dalam suhu dingin cenderung akan mengalami perubahan protein otot, yang menyebabkan
berkurangnya nilai daya ikat air protein otot dan meningkatnya jumlah cairan yang keluar (drip)
dari daging (Anon dan Calvelo, 1980). Hal ini sesuai dengan pendapat Nurwanto et al., (2003)
yaitu faktor yang mempengaruhi susut masak antara lain nilai pH, panjang sarkomer serabut otot,
panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel, penampang
melintang daging, pemanasanbangsa terkait dengan lemak daging, umur, dan konsumsi energi
dalam pakan. konsumsi energi dalam pakan. Nilai susut masak dipengaruhi oleh DIA yang, dimana
DIA mempengaruhi nilai susut masak daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Tambunan (2009)
bahwa nilai susut masak ini erat kaitannya dengan daya mengikat air. Semakin tinggi daya
mengikat air maka ketika proses pemanasan air dan, cairan nutrisi akan sedikit yang keluar atau
yang terbuang sehingga massa daging yang berkurangpun sedikit.

Pengujian daya mengikat air merupakan pengujian untuk mengetahui seberapa besar kemampuan
daging dalam mengikat air bebas. Pada praktikum yang dilakukan nilai daya ikat air sebesesar
25,1%. Daging dengan daya ikat air rendah akan kehilangan banyak cairan, sehingga terjadi
kehilangan berat. Semakin kecil nilai daya ikat air, maka susut masak daging semakin besar,
sehingga kualitas daging semakin rendah karena banyak komponen-komponen terdegradasi.
Kemampuan daging untuk menahan air merupakan suatu sifat penting karena dengan daya ikat air
yang tinggi, maka daging mempunyai kualitas yang baik. Daya ikat air pada penelitian ini berada
dalam kisaran normal. Menurut Soeparno (2009), daya ikat air daging sekitar 20 - 60%.

Keempukan daging merupakan faktor penting dalam pengolahan daging. Keempukan


dapat diukur dengan nilai daya putus Warner-Bratzler (WB). Keempukan sangat berkaitan erat
dengan status panjang sarkomer otot.Daging dengan sarkomer yang lebih pendek setelah fase
rigormortis memiliki tingkat kealotan lebih tinggi dibanding yang sarkomernya tidak mengalami
pemendekan (Swatland, 1984; Locker, 1985; Dutson, 1985). Kualiatas daging akan berpengaruh
pada penyimpanan suhu dingin, dan penyimpanan pada suhu dingin dapat mengakibatkan
terjadinya pemendekan otot (T. Suryati, 2004)
Menurut Pearson & Dutson (1985) pada daging pre rigor yang disimpan pada suhu rendah
mengakibatkan peningkatan konsentrasi ion Ca2+ bebas di luar membran retikulum
sarkoplasmik.Hal tersebut memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan terbentuknya ikatan
aktin-miosin dan menghasilkan pemendekan sarkomer. Menurut t. Suryati (2004) Semakin tinggi
nilai daya putus WB berarti semakin banyak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut daging
per sentimeter persegi, yang berarti daging semakin alot atau tingkat keempukan semakin rendah.
Swatland (1984) dan Locker (1985) mengatakan bahwa peningkatan panjang sarkomer secara
paralel akan meningkatkan keempukan. Menurut Pearson dan Young (1971), nilai keempukkan
daging terbagi atas tiga bagian, yaitu kisaran empuk dengan skala 0-3 Kg/g, cukup/sedang dengan
skala 3-6 Kg/g, dan alot dengan skala >6-11 Kg/g.

Anda mungkin juga menyukai