Anda di halaman 1dari 47

1

A. JUDUL PENELITIAN

IDDAH DAN IHDAD BAGI WANITA (STUDI KASUS DI

MASYARAKAT DESA SUMBERANYAR KECAMATAN

ROWOKANGKUNG KABUPATEN LUMAJANG).

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Masyarakat Arab pra-Islam telah melaksanakan praktik hukum yang

dikenal dengan iddah dan ihdad (atau hidad). Praktisnya, kaum perempuan

yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya bahkan juga oleh anggota

keluarganya yang lain, harus mengisolasi diri di dalam ruang terpisah selama

setahun penuh. Dalam masa pengasingan itu, perempuan tersebut tidak

diperkenankan untuk memakai wewangian, memotong kuku, menyisir

rambut, dan berganti pakaian. Dia akan diberi seekor binatang seperti keledai,

kambing atau burung untuk dipakai menggosok-gosok kulitnya.

Diilustrasikan dalam sebuah hadits, begitu busuknya bau badan perempuan

yang ber-ihdad tersebut, sehingga tidak seorang pun berani menghampirinya.

Seandainya ia keluar ruangan, dengan segera burung gagak akan menyergap

karena bau busuk yang ditimbulkan.

Islam datang untuk mengatur secara adil praktik di atas dengan

penetapan dan pengurangan masa “iddah dan ihdad yang telah dijalankan

sejak masa tashri”.Namun ketika zaman telah berkembang yang berakibat

pada perbedaan kondisi sosial masyarakat antara masa tashri’, masa doktrin

fuqaha’klasik, dengan masa sekarang, di samping kecanggihan teknologi


2

telah membuka cakrawala baru, mendorong adanya koreksi serta perumusan

konsepsi fiqh yang aplikatif, adaptif, dan humanis untuk masa sekarang.

Iddah dan ihdad dalam praktiknya, mengharuskan wanita menghindar

dari interaksi sosial serta dari aktifitas yang dapat menarik perhatian laki-laki,

semisal bersolek, berhias, dan sebagainya karena dianggap dapat menjadi

perantara munculnya pernikahan pada masa iddah yang hukumnya dilarang.

Hal ini sangat berbenturan dengan fakta kekinian tentang wanita kariryang

menuntut wanita bekerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tuntutan

ini mengharuskan wanita selalu berpenampilan menarik serta menjaga

interaksi dengan siapapun, termasuk lawan jenis serta harus beraktifitas di

luar rumah untuk menunjang finansial dan karirnya.

Bagi wanita yang suaminya meninggal dunia, iddah nya 4 bulan 10

hari.1Selain harus mentaati iddah, bagi seorang wanita yang ditinggal

suaminya juga harus melaksanakan Ihdad. Ihdad merupakan suatu kondisi

seorang isteri harus menahan diri atau berkabung selama empat bulan sepuluh

hari. Selama masa itu, isteri hendaknya menyatakan dukanya dengan tidak

berhias, dengan tidak memakai parfum, tidak bercelak mata dan tidak boleh

keluar rumah. Cara ini ditentukan untuk menghormati kematian suami.

Apabila masa iddah telah habis, maka tidak ada larangan untuk

berhias diri, melakukan pinangan, bahkan melangsungkan akad nikah. Para

fuqaha berpendapat bahwa bagi wanita yang sedang ber-Ihdad dilarang

memakai perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki kepadanya, seperti

1
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah VIII, Terj. Moh. Talib,(Bandung: al-Ma‟arif, 1990, h 144
3

perhiasan, intan dan celak. Hal-hal yang harus dijauhi olehwanita yang ber-

Ihdad adalah saling berdekatan yaitu wanita yang sedang dalam masa Ihdad

tidak diperbolehkan berhubungan dengan laki-laki, dan melakukan semua

perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya. Hal ini

berdasarkan firman Allah SWT:

‫ع ْش ًرا‬ َ ‫صنَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه َّن أ َ ْر َب َعةَ أ َ ْش ُه ٍر َو‬


ْ َّ‫َوالَّذِينَ يُتَ َوفَّ ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا َيت َ َرب‬
َّ ‫وف َو‬
‫َّللاُ ِب َما‬ ِ ‫علَ ْي ُك ْم فِي َما َف َع ْلنَ فِي أ َ ْنفُ ِس ِه َّن ِب ْال َم ْع ُر‬ َ ‫فَإِذَا بَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَال ُجنَا َح‬
‫ت َ ْع َملُونَ َخ ِبير‬
Artinya:“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri menangguhkan dirinya empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”2
Abu Muhammad mengatakan sebagaimana dikutif oleh Abdul

Rahman Ghazaly berpendapat syarat untuk berihdad adalah iman, sehingga

hal itu menunjukkan bahwa ihdad juga merupakan suatu ibadah. Ihdad

dimaksudkan untuk mencegah pandangan kaum lelaki selama masa iddah

perempuan, dan demikian pula untuk mencegah perempuan dari memandang

kaum lelaki. Hal ini dilakukan dalam rangka menutup jalan kerusakan (sadd

al-dzari’ah).3

Dengan kondisi seperti ini, jelas akan menjadi problematika ketika

perempuan yang harus bekerja di luar untuk menghidupi keluarganya, namun

ia memiliki keterbatasan waktu untuk bekerja karena melaksanakan

kewajibannya berihdad setelah ditinggal mati oleh suaminya. Sekaligus pada

2
Al-Baqarah (2): 234
3
Abdul Rahman Ghazaly, 2003, Fiqih Munakahat, Jakarta, Kencana, Hal. 305.
4

zaman modern ini, perempuan pun pada kenyataannya harus hidup dengan

kondisi berbeda, di mana seorang perempuan banyak mendominasi dunia

kerja ataupun paling tidak minimal perempuan di era modern banyak yang

eksis di ranah publik untuk dapat memenuhi kebutuhan kesehariannya, baik

keluarga dan saudara, terlebih ketikaperempuan ditinggal mati oleh suaminya

maka tentu saja bagi perempuan tersebut akan mendapatkan tugas ganda

dalam keluarganya.4

Pada saat sini perempuan membutuhkan banyak pertimbangan hukum,

terutama pada masa di mana seorang perempuan harus menyelesaikan

tugasnya dalam memenuhi kewajiban rumah tangga, menjadi tulang

punggung keluarga, sebagai pengganti suaminya yang telah meninggal dunia,

sekaligus dalam kondisi perempuan tersebut berihdad. Di mana dalam masa

ihdad seorang perempuan tidak diperkenankan bersolek dan berhias terlalu

berlebihan, sehingga dalam menyikapi kesenjangan sosial antara laki-laki dan

perempuan dalam persoalan ihdad, maka kaum perempuan yang saat ini tidak

lagi menjadi figur yang aktif pada wilayah domestik saja. Oleh karena itu,

perlu menelaah dan memperhatikan antara ketetapan hukum dan kebutuhan

sosial dalam wilayah hak-hak perempuan yang banyak kalangan menganggap

perempuan telah terisolasi dengan ketetapan hukum tersebut. Dan kami rasa

butuhmembincang dan menelaah kembali bagaimana posisi perempuan ketika

terbelit hukum yang kemudian seorang perempuan tidak dapat merealisasikan

kembali hak serta kewajibannya terutama dalam wilayah hukum ihdad, yang

4
Huzaemah Tahido Yanggo, 2000, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam,
Surabaya, Risalah Gusti, Hal. 151.
5

merupakan tradisi hukum tetap bahwa seorang perempuan yang ditinggal

mati suaminya secara otomatis terkena hukum ini.

Dari fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya, pada masyarakat

desa Sumberanyar kecamatan Rowokangkung kabupaten Lumajang, seorang

perempuan yang ditinggal mati atau ditinggal cerai oleh suaminya diharuskan

untuk melaksanakan ihdad dalam masa iddah. Yaitu, 4 bulan 10 hari. Akan

tetapi, ada beberapa yang dengan alasan tertentu wanita karir memilih untuk

tidak melaksanakan ihdad tersebut dengan alasan terdapat hajat atau

kebutuhan baginya dan keluarganya. Dengan hal itu wanita karir tersebut

tetap melaksanakan pekerjaannya dari pada melaksanakan ihdad yang telah

ditentukan oleh hukum islam.

Ketika tuntutan-tuntutan tersebut harus melibatkan kaum isteri yang

sudah tidak mempunyai pendamping bisa terjadi benturan-benturan antara

ajaran agama yang mengharuskan melaksanakan iddah dan ihdad masa

berkabung dengan aktifitas selain hari yang harus dijalaninya terutama bagi

para wanita-wanita yang aktif diluar rumah.

Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi suatu tragedi yang besar bagi

pihak yang ditinggalkan, baik itu pihak suami maupun pihak isteri. Oleh

karena itu, di dalam agama Islam ada ketentuan yang mengatur tentang iddah

dan ihdad atau yang lazim disebut dengan masa menunggu dan masa

berkabung, khususnya bagi pihak isteri yang ditinggalkan. Dengan adanya

peristiwa-peristiwa dalam latar belakang tersebut Peneliti merasa tertarik


6

untuk melakukan sebuah penelitian lebih lanjut dan menuliskannya kedalam

sebuah skripsi yang berjudul “Iddah Dan Ihdad Bagi Wanita (Studi Kasus

Di Masyarakat Desa Sumberanyar Kecamatan Rowokangkung

Kabupaten Lumajang).”

C. FOKUS KAJIAN

1. Fokus Penelitian

a. Bagaimanakah pelaksanaan iddah dan ihdad menurutHukum Islam?

b. Bagaimanakah pelaksanaan iddah dan ihdad bagi wanita karir dan

wanita pekerja dimasyarakat Desa Sumberanyar Kecamatan

Rowokangkung Kabupaten Lumajang?

c. Bagaimanakah dampak pelaksanaan iddah dan ihdad pada

perempuan dimasyarakat Desa Sumberanyar Kecamatan

Rowokangkung Kabupaten Lumajang?

D. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Iddah Dan Ihdad Bagi Wanita (Studi Kasus Di

Masyarakat Desa Sumberanyar Kecamatan Rowokangkung Kabupaten

Lumajang.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pelaksanaan iddah dan ihdad menurut Hukum

Islam.
7

b. Untuk mengetahui pelaksanaan iddah dan ihdad bagi wanita karir

dan wanita pekerja dimasyarakat Desa Sumberanyar Kecamatan

Rowokangkung Kabupaten Lumajang.

c. Untuk mengetahui dampak pelaksanaan iddah dan ihdad pada

perempuan dimasyarakat Desa Sumberanyar Kecamatan

Rowokangkung Kabupaten Lumajang.

E. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat penulisan ini adalah:

1. Untuk menambah pembendaharaan isi perpustakaan diperpustakaan

fakultas Syari’ah Hukum dan perpustakaan utama INAIFAS Kencong

Jember.

2. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk menambah

wawasan penulis agar lebih memahami hal-hal seputar iddah dan ihdad

bagi wanita pada zaman sekarang.

3. Bagi kalangan masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan suatu konstribusi besar keilmuan bagi yang berminat untuk

mengkaji seputar tentang ihdad dan pelaksanaannya.

F. KAJIAN KEPUSTAKAAN

1. Penelitian Terdahulu

Demi menghindari hasil yang sama pada tema yang akan diteliti,

peneliti telah mengkaji beberapa penelitian dan hasilnya untuk bahan

perbandingan, sehingga peneliti dapat mengambil fokus masalah yang

berbeda dari hasil kajian yang sudah ada sebelumnya.


8

Terdapat beberapa penelitian yang mengangkat tentang iddah dan

ihdad, diantaranya adalah jurnal yang berjudul “Iddah Dan Ihdad Bagi

Wanita Karir” yang disusun oleh Edi Susilo, pascasarjana dari UIN

Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2016. Dalam penelitian tersebut

disimpulkan bahwasanyaIddah dan ihdad dalam praktiknya,

mengharuskan wanita menghindar dari interaksi sosial serta dari aktifitas

yang dapat menarik perhatian laki-laki, semisal bersolek, berhias, dan

sebagainya karena dianggap dapat menjadi perantara munculnya

pernikahan pada masa iddahyang hukumnya dilarang. Hal ini sangat

berbenturan dengan fakta kekinian tentang wanita karir yang menuntut

wanita bekerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tuntutan ini

mengharuskan wanita selalu berpenampilan menarik serta menjaga

interaksi dengan siapapun, termasuk lawan jenis serta harus beraktifitas

di luar rumah untuk menunjang finansial dan karirnya.5

Hasil penelitian jurnal yang berjudul “Iddah dan Ihdad Wanita

Modern” yang disusun oleh Ahmad Muslimin, mahasiswa dari Institut

Agama Islam Ma’arif Nahdatul Ulama’ (IAIMNU) pada tahun 2017.

Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwasanya iddah adalah masa

tunggu sedangkan ihdad adalah masa berkabung. Iddah dan ihdad di

masa sekarang secara sosiologi tetap wajib, namun disesuaikan waktu

dankondisi (waktunya berbeda-beda) tergantung fisik mental, jasmani

dan rohani, demi kehidupan ekonomi dan sosial terutama bagi wanita

5
Edi Susilo. “Iddah Dan Ihdad Bagi Wanita Karir.” Al-Hukama The Indonesia Journal Of Islamic
Family Law, Vol. 6 No. 2, (2016), 2089-.
9

yang mempunyai kegiatan pekerjaan. Dalam pertimbangan etika moral,

iddah memiliki fungsi perlindungan, dalam perkembangan modern,

banyak wanita aktif diberbagai bidang, baik bidang politik, sosial,

budaya, maupun bidang lainnya. Sebaiknya dengan ilmu pegetahuan dan

teknologi dalam bidang kedokteran, untuk mengetahui hamil atau

tidaknya tidak harus menunggu minimal satu kali haid atau suci.6

Hasil penelitia skripsi yang berjudul “Iddah dan Ihdad Wanita

Karir Prespektif Hukum Islam Dan Hukum Positif” yang disusun oleh

Ahmad Fahru, mahasiswa dari Universitas Islam Negri Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tahun 2015. Dalam penalitian tersebut dapat

disimpulkan bahwa masa menunggu atau yang disebut dengan iddah dan

masa berkabung yang disebut dengan ihdad adalah sebuah keharusan

bagi seorang perempuan. Akan tetepi masalah hal-hal yang dilarang

adalah berkesesuaian dengan bagaimana si istri menjalani kehidupannya.

Wanita diberikan porsi yang sama dalam menjalankan kehidupan yang

bertujuan untuk membuat dia lebih baik, dihadapan agama maupun

masyarakat. Salah satu dari sekian banyak kegiatan itu adalah wanita

diperbolehkannya beraktifitas di luar rumah dengan izin wali atau dengan

kebutuhan mendesak, atau dengan istilah lain wanita karir.7

Berdasarkan hasil penelitian diatas, penelitian terdahulu dengan

penelitian penulis terdapat pembahasan yang sama, yakni penelitian yang

membahas tentang iddah dan Ihdad. Perbedaan penelitian penulis dengan


6
Ahmad Muslimin. “Iddah Dan Ihdad Wanita Modern.” Mahkamah, Vol. 2 No. 2, (2017), 2548-.
7
Ahmad Fahru, Iddah Dan Ihdad Wania Karir Prespektif Hukum Islam Dan Hukum Positif,
Skripsi S1 (Jakarta: Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah, 2015).
10

ketiga penelitian diatas yaitu terletak pada topik dan metodologinya.

Peneliti pertama menjelaskan tentangiddah dan ihdad bagi wanita karir

dengan pelaksanaanya di masa kini. Sedangkan peneliti yang kedua

membahasiddah dan ihdad beserta sosiologinya. Serta peneliti ketiga

membahas tentang iddah dan ihdad serta pelaksanaanya.

2. Kajian Teori

a. Tentang Iddah Dan Ihdad Menurut Hukum Islam.

1) Pengertian Iddah dan Ihdad

Definisi iddah menurut bahasa dari kata “al-udd” dan

“al-ihsha’” yang berarti bilangan atau hitungan, misalnya

bilangan harta atau hari jika dihitung satu persatu dan jumlah

keseluruhan. Berdasarkan firman Allah Surat At-Taubah (9)

ayat 36:

‫َا‬ ْ ِ‫اَّلل‬
‫اثن‬ َّ ‫د‬ َْ
‫ِن‬‫ِ ع‬
‫هور‬ َ‫ِد‬
ُُّ‫ة الش‬ َِّ
َّ‫ن ع‬ ‫إ‬

‫ًا‬
‫هر‬َْ‫َ ش‬
‫َشَر‬
‫ع‬

Artinya: “Sesungguhnya bilangan beberapa bulan disisi Allah


sebanyak 12 bulan.”8

Dalam kamus disebutkan, iddah wanita berarti hari-hari

kesucian wanita dan pengkabungannya terhadap suami. Dalam

istilah fuqoha’ iddah adalah masa menunggu wanita sehingga

halal bagi suami lain. Iddah sudah dikenal sejak masa jahiliyah

dan hampir saja mereka tidak meninggalkannya. Tatkala datang

8
At-Taubah (9) : 36
11

Islam ditetapkan Islam karena maslahat. Iddah diantara

kekhususan kaum wanita walaupun disana ada kondisi tertentu

seorang laki-laki juga memiliki masa tunggu, tidak halal

menikah kecuali sudah habis masa iddah wanita yang dicerai.

Iddah termasuk diantara sesuatu yang tidak berbeda

sebab perbedaan waktu, tempat, atau lingkungan. Allah telah

menjelaskan dengan jelas dan sempurna dalam Al-Qur’an dan

tidak ada keganjilan sedikitpun.9

Sedangkan Ihdad secarabahasadisebut dengan al-

Hidadyang artinya adalah perkabungan, yang berarti tidak

bersolek atau tidak berhias karena kematian suami,

menanggalkan berhias karena duka cita.

Al-Anshari, Ihdad berasal dari kata ahadda dan biasa

pula disebut al-Hidad yang diambil dari kata Hadda, mereka

mengartikan Ihdad dengan al-Man’u yang berarti cegahan atau

larangan.

Ihdad adalah menahan atau menjauhi, dalam beberapa

kitab fikih, adalah “menjauhi sesuatu yang dapat menggoda laki-

laki kepadanya.

Arti ihdad adalah larangan berhias dan memakai

wewangian, seperti larangan pemberian hukuman terhadap

perbuatan maksiat, demikian menurut ibnu dusturiyah.

9
Abdul Aziz Muhammad Azzam Dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas., Fiqih Munakahat Khitbah,
Nikah, Dan Talak(Jakarta: Amzah, 2017), 318-319.
12

Sedangkan al-Farra’ mengatakan: disebut juga sebagai besi

karena kekuatan atau kesulitannya untuk dirubah. Adapun

tahdid (pembatasan pandangan) berarti larangan menghadapkan

pandangan kearah lain.10

Jadi Ihdad adalah masa berkabung seorang wanita yang

ditinggal mati oleh suaminya yang dalam masa itu tidak boleh

bersolek atau berhias dengan memakai perhiasan, pakaian yang

berlebihan, wangi-wangian, celak mata, dan yang lainnya, juga

tidak boleh keluar dari rumah tanpa adanya keperluan, untuk

menghormati dan turut belasungkawa.

2) Dasar Hukum dan Macam-Macam Iddah dan ihdad.

Wanita yang beri’ddah ada dua macam;

a) Beri’ddah karena ditinggal wafat suaminya

b) Beri’ddah bukan karena ditinggal wafat suaminya

Wanita yang beri’ddah karena ditinggal wafat suaminya,

apabila dia sedang hamil, maka i’ddahnya adalah sammpai dia

melahirkan, apabila tidak hamil maka i’ddahnya empat bulan

sepuluh hari.

Wanita yang beri’ddah bukan karena ditinggal wafat

suaminya, apabila dia sedang hamil maka i’ddahnya sampai dia

melahirkan kandungannya, apabila dia tidak hamil dan dia

seorang yang masih berhaidh maka i’ddahnya tiga quru’ yaitu

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
10

2014), 446.
13

(tiga kali) suci, apabila anak kecil (yang belum haidh) atau

menopause maka i’ddahnya adalah tiga bulan. Wanita yang

dithalaq dan dia belum sempat didukhul (dijima’) maka tidak

ada i’ddahnya.

Adapun i’ddah budak wanita yang sedang hamil sama

dengan i’ddah wanita merdeka, budak wanita yang memakai

hitungan quru’(suci)24 maka i’ddahnya adalah dua quru’, budak

wanita yang memakai hitungan bulan25 maka i’ddahnya adalah

satu setengah bulan, apabila dia beri’ddah selama dua bulan

maka itu lebih utama.11

Setiap wanita bolehjadi menjalani jenis dan masa iddah

yang tidak sama,tergantung dari keadaan dirinya dan juga

penyebab pisahnyadengan suaminya.Setidaknya ada tiga jenis

iddah dengan masing-masingdurasi atau lamanya. Pertama,

durasi iddah berdasarkanmasa haidh. Kedua, durasi iddah

berdasarkan hitunganbulan dan hari. Ketiga, durasi iddah

berdasarkan kelahiranbayi.

Jenis ‘iddah yang pertama adalah iddah yang

durasinyadidasarkan pada masa haidh. Hal itu didasarkan pada

firmanAllah dalam surat al-Baqarah (1) ayat 228:

َ‫الث‬
‫ة‬ َ ‫ث‬َ َّ
‫ِن‬ ‫ُس‬
‫ِه‬ َْ
‫نف‬ ‫َ ب‬
‫ِأ‬ ‫ْن‬
‫بص‬ ‫َر‬
ََّ َ ُ
‫يت‬ ‫َات‬
‫لق‬ََّ
‫ُط‬ ْ َ
‫الم‬ ‫و‬
َ
‫لق‬ََ
‫ما خ‬ َ َ
‫ْن‬ ‫ْت‬
‫ُم‬ َ ‫ن‬
‫يك‬ َ
ْ‫هن أ‬َّ َ
ُ‫ُّ ل‬ َ ‫َال‬
‫يحِل‬ ‫ء و‬ ٍ‫ُو‬
‫قر‬ُ

11
Ahmad Sarwat., Terjemah Matan Al-Ghoyah Wa At-Taqrib Al-Qadhi Abu Suja’, (Jakarta: rumah
fiqih publishing, 2018), 21-22.
14

َّ ‫َّ ب‬
ِ‫ِاَّلل‬ ‫ِن‬ ‫ْم‬
‫يؤ‬ُ َّ
‫ُن‬ ِْ
‫ن ك‬ ‫َّ إ‬ ‫ِن‬ ‫َام‬
‫ِه‬ ‫ْح‬‫َر‬
‫ِي أ‬ ‫اَّللُ ف‬
َّ
َّ
‫ِن‬ ‫ِه‬‫َد‬ ‫ِر‬‫ُّ ب‬
‫َق‬ َ
‫َّ أح‬
‫هن‬ُُ َ ُ
‫ولت‬ ‫بع‬َُ ‫ِ و‬‫ِ اآلخِر‬ ‫َو‬
‫ْم‬ ْ َ
‫الي‬ ‫و‬
ُْ
‫ِثل‬ ‫َّ م‬ ‫هن‬ َ
ُ‫َل‬
‫ًا و‬ ‫ْالح‬
‫ِص‬‫دوا إ‬ُ‫َا‬ َ
‫ن أر‬ِْ‫ِكَ إ‬ َ
‫ِي ذل‬ ‫ف‬
‫َال‬
ِ ‫ِج‬
‫ِلر‬ ‫َل‬‫ُوفِ و‬ ‫َع‬
‫ْر‬ ْ ‫َّ ب‬
‫ِالم‬ ‫ْه‬
‫ِن‬ ََ
‫لي‬ ‫ِي ع‬ َّ
‫الذ‬
ٌ
‫ِيم‬ ‫َك‬‫ٌ ح‬‫ِيز‬‫َز‬ َّ َ
‫اَّللُ ع‬ ‫ٌ و‬ ‫َج‬
‫َة‬ َ َّ
‫در‬ ‫ِن‬‫ْه‬ ََ
‫لي‬ ‫ع‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan
apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,
jika mereka menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.12
a) Masa Haid Atau Masa Suci

Di dalam ayat ini Allah SWT memang tidak

menyebutsecara tegas istilah haidh, tetapi menyebut dengan

istilahquru’ ( ‫) قروء‬, bentuk jamak qur’u ( ‫) قرء‬. Dalam hal

ini memangada ikhtilaf di kalangan ahli bahasa dan juga

berpengaruh kepada pendapat para ulama dengan makna

istilah al-qur’uini.

Para ahli bahasa menyebutkan kata al-qur’u

termasuk jenis kata yang punya makna ganda dan sekaligus

bertentangan artinya. Menurut mereka al-qur’u bermakna

suci dari haidh, dan juga bermakna haidh itu sendiri.

Perbedaan makna ini kemudian berpengaruh kepada

pendapat dari para ulama, dalam menetapkan masa iddah

wanita yang dicerai suaminya. Dalam pandangan mazhab


12
Al-Baqarah (1) : 228
15

Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, al-qur’u

ُّ ‫ ال‬. Maksudnya adalah masa suci dari


berarti ath-thuhru ‫ط ْهر‬

haidh. Jadi tiga kali quru’artinya adalah tiga kali suci dari

haidh.Sedangkan dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah,

alqur’ujustru bermakna haidh, atau hari-hari dimana

seorang wanita menjalani masa haidhnya.

b) Wanita Yang Masa Iddahnya Berdasarkan Jadwal Haidh

Wanita yang masa iddahnya berdasarkan masa haidh

adalah wanita yang dicerai atau ditalak oleh suaminya.

(1) Wanita Yang Ditalak dan Masih Mendapat Haidh

Seorang wanita yang masih masih sehat dan

normal mendapat haidh setiap bulannya, apabila

dijatuhkan talak atas dirinya oleh suaminya, maka masa

‘iddahnya adalah tiga kali mengalami suci dari haidh,

atau tiga kali mengalami haidh.

(2) Wanita Yang Ditalak Sudah Tidak Mendapat Haidh

Lagi

Kasus yang kedua adalah seorang wanita tidak

menjalani masa haid, baik wanita itu belum pernah

mendapat haidh karena belum cukup usia, atau pun

karena sudah melewati masa subur atau menopuse. Bila

wanita seperti ini dijatuhkan talak oleh suaminya, tentu

masa iddahnya tidak bisa lagi menggunakan ayat diatas,


16

karena tidak mengalami haidh. Maka untuk itu

ketentuannya sesuai dengan apa yang difirmankan oleh

Allah SWT dalam surat al-Talaq ayat 4:

ْ
‫ِن‬‫ض م‬ِ‫َحِي‬ ْ َ
‫الم‬ ‫ِن‬‫َ م‬‫ِسْن‬ ‫يئ‬َ ‫ِي‬ ‫َالالئ‬‫و‬
ُ َ َ
‫َّ ثالثة‬ ُ‫ت‬
‫هن‬ َّ‫َع‬
ُ‫ِد‬ ‫ْ ف‬‫ُم‬‫ْت‬
‫تب‬َْ
‫ِنِ ار‬ ‫ُم‬
‫ْ إ‬ ‫ِسَائ‬
‫ِك‬ ‫ن‬
ُ ُ
‫َأوالت‬ ‫ْن و‬َ َ ْ
‫يحِض‬ َ
‫ِي لم‬ ‫َالالئ‬ ‫ٍ و‬ ‫هر‬ ْ
ُ‫أش‬َ
َّ
‫هن‬ ُ‫ل‬َْ ‫َ ح‬
‫َم‬ ‫ْن‬‫َع‬‫يض‬َ ‫ن‬ َ
ْ‫َّ أ‬
‫هن‬ُ‫ل‬َُ َ
‫ِ أج‬‫َال‬ ‫ْم‬‫األح‬
ِ
‫ِه‬ ‫مر‬ َ
ْ‫ِن أ‬ْ ‫ه م‬ َ
ُ‫ْ ل‬ ‫َل‬
‫ْع‬ َ َ‫اَّلل‬
‫يج‬ َّ ِ َّ
‫يتق‬ ْ
َ ‫من‬ ََ
‫و‬
‫ًا‬‫يسْر‬
ُ
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid
lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa iddahnya), maka masa iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya.”13

(3) Ditalak Dalam Keadaan Istihadhah

Seorang wanita yang sedang dalam keadaan

istihadhah, tentu tidak bisa mengukur masa iddahnya

dengan masa haidh. Sebab hukum darah istihadhah

bukan termasuk darah haidh, meski pun secara fisik

sama-sama keluar darah. Maka ketentuan masa ‘iddah

bagi wanita yang mengalami istihadhah adalah dengan

mengira hari-hari dimana ia biasa menjalani masa haid,

maka ia harus memperhatikan kebiasaan masa haid dan

13
At-Talaq (65) : 4
17

masa sucinya tersebut. Jika ia telah menjalani tiga kali

masa haid, maka selesailah sudah masa ‘iddahnya.

(4) Haidh Terhenti

‘Iddah isteri yang sedang menjalani masa haid,

lalu terhenti karena sebab yang diketahui maupun tidak.

Jika berhentinya darah haid itu diketahui oleh adanya

penyebab tertentu, seperti karena proses penyusuan

atau sakit, maka ia harus menunggu kembalinya masa

haid tersebut dan menjalani masa ‘iddahnya sesuai

dengan haidnya meskipun memerlukan waktu yang

lebih lama. Sebaliknya jika disebabkan oleh sesuatu

yang tidak diketahui, maka ia harus menjalani

‘iddahnya selama satutahun, yaitu, sembilan bulan

untuk menjalani masa hamilnyadan tiga bulan untuk

menjalani masa ‘iddahnya.

c) Masa Iddah Berdasarkan Bulan Dan Hari

Seorang wantia yang berpisah dengan suaminya

bukan karena ditalak, melainkan karena suaminya

meninggal dunia, juga menjalani masa iddah yang

durasinya tidak didasarkan masa haidh, melainkan

berdasarkan bulan dan hari. Allah SWT menetapkan masa

iddah bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya


18

adalah empat bulan 10 hari. Hal ini sesuai dengan firman

Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234:

َ‫ُو‬
‫ن‬ ‫ذر‬ َ‫ي‬
ََ‫ْ و‬‫ُم‬
‫ْك‬‫ِن‬‫ن م‬َْ
‫َّو‬ ‫َف‬‫َو‬ ُ َ
‫يت‬ ‫ِين‬ َّ َ
‫الذ‬ ‫و‬
َ
‫َة‬
‫بع‬ َْ َ
‫َّ أر‬‫ِن‬ ‫ُس‬
‫ِه‬ ‫نف‬ َ
ْ‫ِأ‬‫َ ب‬‫ْن‬
‫بص‬ ‫َر‬
ََّ َ ‫ًا‬
‫يت‬ ‫َاج‬‫ْو‬ َ
‫أز‬
َ َّ َ َ َ ْ َ َ
َ ‫إذا‬ َ ْ
‫َشر‬‫َع‬ ُ‫َش‬
ْ
‫هن فال‬ ُ‫َل‬‫بلغن أج‬ ِ‫ًا ف‬ ‫ٍ و‬‫هر‬ ‫أ‬
َّ
‫ِن‬ ‫ِه‬‫ُس‬‫نف‬ َ
ْ‫ِي أ‬ ‫َ ف‬ َْ
‫لن‬ ‫َع‬
‫َا ف‬ ‫ِيم‬‫ْ ف‬ ‫ُم‬‫ْك‬
‫لي‬ََ
‫َ ع‬‫َاح‬ ‫ُن‬
‫ج‬
ٌ
‫ِير‬‫َب‬ َ
‫َلون خ‬ ُ ‫ْم‬
‫تع‬َ ‫َا‬ َّ َ
‫اَّللُ ب‬
‫ِم‬ ‫ُوفِ و‬‫ْر‬‫َع‬ ْ
‫ِالم‬ ‫ب‬
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri menangguhkan
dirinya empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.”14

d) Masa Iddah Berdasarkan Kelahiran

Seorang wanita yang sedang hamil, tentu tidak akan

mendapatkan haidh. Sehingga bila wanita yang sedang

hamil dijatuhi talak oleh suaminya, ukuran masa iddahnya

bukan dengan haidh, melainkan sampai masa dimana dia

telah melahirkan anaknya.

Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-

Talaq ayat 4:

َْ
‫ن‬ ‫َّ أ‬
‫هن‬ َُ
ُ‫ل‬ ‫َج‬ ‫َال‬
‫ِ أ‬ ‫ْم‬ ‫ُ األح‬‫ُوالت‬
‫َأ‬‫و‬
َّ
‫هن‬ َ
ُ‫ْل‬ ‫َ ح‬
‫َم‬ ‫ْن‬‫َع‬
‫يض‬َ
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya.”15

14
Al-Baqarah : 234
15
At-Talaq (65) : 4
19

Termasuk apabila wanita yang ditinggal mati

suaminya itu sedang dalam keadaan hamil, para ulama

mengatakan bahwa masa iddahnya bukan 4 bulan 10 hari,

melainkan hanya sampai batas melahirkan bayinya saja.

Sebab ada ayat yang secara khusus menegaskan tentang

masa iddah wanita hamil, yang ketentuannya hanya sebatas

melahirkan. Sehingga bila seorang wanita ditinggal mati

suaminya, lalu sehari kemudian dia melahirkan bayi, maka

saat itu juga selesailah masa iddahnya. Dia tidak perlu

menunggu masa selama 4 bulan 10 hari.

e) Ditalak Tanpa Iddah

Seorang yang sudah sah menjadi istri dari seorang

laki-laki, apabila belum pernah disetubuhi sekali pun oleh

suaminya, bila dijatuhi talak, maka dia tidak perlu

menjalani masa iddah sama sekali. Hal ini karena memang

telah ditegaskan oleh Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 49:

ُ‫ُم‬
‫ْت‬‫َح‬‫نك‬َ ‫َا‬‫ِذ‬‫ُوا إ‬ َ‫َ آ‬
‫من‬ ‫ِين‬ َّ ‫ها‬
‫الذ‬ َ‫ي‬َُّ
‫يا أ‬ َ
‫ن‬َ
ْ‫ِ أ‬ ‫ْل‬‫َب‬‫ْ ق‬ ‫َّ م‬
‫ِن‬ ‫هن‬ُ‫ُو‬ ‫ْت‬
‫ُم‬ ََّ
‫لق‬ ‫َّ ط‬
‫ثم‬ُ ِ‫َات‬‫ِن‬‫ْم‬‫ُؤ‬ ْ
‫الم‬
ٍ َّ‫ْ ع‬
‫ِدة‬ ‫َّ م‬
‫ِن‬ ‫ِن‬‫ْه‬
‫لي‬ََ
‫ْ ع‬‫ُم‬‫َا َلك‬ ‫َم‬
‫َّ ف‬
‫هن‬ُ‫َسُّو‬ َ
‫تم‬
‫ًا‬‫َاح‬‫َّ سَر‬
‫هن‬ُ‫ُو‬‫ِح‬ ‫َّ و‬
‫َسَر‬ ‫هن‬ُ‫ُو‬‫ِع‬ ‫َم‬
‫َت‬ ‫ها ف‬ َ ‫د‬
َ‫ون‬ َُّ
‫ْت‬ َ
‫تع‬
‫ِيال‬‫َم‬
‫ج‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah
20

dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang


sebaik-baiknya.”16
Dan ayat ini dapat diambil dalil, bahwa seorang

isteri yang belum digauli suaminya tidak mempunyai

kewajiban menjalani masa ‘iddah. Akan tetapi, jika

suaminya meninggal sebelum ia menggauli isterinya, maka

isteri yang diceraikannya itu harus menjalani ‘iddah

sebagaimana jika suaminya telah menggaulinya.17

Sedangkan wanita yang berihdad, Sebagian ulama’

ber-istinbath tentang wajibnya berkabung ini, dengan

firman Allah SWT:

َ‫ُو‬
‫ن‬ ‫ذر‬َ‫ي‬ََ
‫ْ و‬‫ُم‬‫ْك‬
‫ِن‬‫ن م‬َْ
‫َّو‬ ‫َف‬‫َو‬‫يت‬ُ َ‫ِين‬ َّ َ
‫الذ‬ ‫و‬
ََ
‫ة‬ َْ
‫بع‬ َ
‫َّ أر‬ ‫ِه‬
‫ِن‬ ‫ُس‬
‫نف‬ َ
ْ‫ِأ‬‫َ ب‬‫ْن‬
‫بص‬ ‫َر‬
ََّ ‫يت‬َ ‫ًا‬‫َاج‬‫ْو‬ َ
‫أز‬
‫َال‬ َ َ
‫َ أج‬ َ َ ُْ‫َش‬
‫َّ ف‬ ُ‫َل‬
‫هن‬ ‫ْن‬‫بلغ‬َ ‫إذا‬ َِ
‫ًا ف‬ ‫َشْر‬
‫َع‬‫ٍ و‬‫هر‬ ‫أ‬
َّ
‫ِن‬ ‫ِه‬‫ُس‬‫نف‬ َ
ْ‫ِي أ‬ ‫َ ف‬‫لن‬َْ
‫َع‬‫َا ف‬‫ِيم‬‫ْ ف‬ ‫ُم‬‫ْك‬ ََ
‫لي‬ ‫َ ع‬‫َاح‬‫ُن‬
‫ج‬
ٌ
‫ِير‬ ‫َب‬
‫ن خ‬ ُ
َ‫َلو‬‫ْم‬ َ ‫َا‬
‫تع‬ َّ َ
‫اَّللُ ب‬
‫ِم‬ ‫ُوفِ و‬ ‫َع‬
‫ْر‬ ْ ‫ب‬
‫ِالم‬
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri menangguhkan
dirinya empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.”18

Diantara apa yang mereka perbuat itu, ialah: berhias

dan memakai wangi-wangian. Itu semua dilarang selama

masa iddah. Ini adalah suatu istinbath yang baik sekali.

16
Al-Ahzab (33) : 49
17
Ahmad sarwat., Terjemah Fiqhul Hayah Seri Fiqih Kehidupan 8 Pernikahan, (Jakarta: DU
Publishing, 2011), 306-311
18
Al-Baqarah (2): 234
21

Tetapi sebagian ulama’ lain ada yang mengatakan

berkabung itu cukup hanya tidak menikah saja. Tetapi

pendapat ini sangat lemah. Hukum wajib berkabung ini

berlaku untuk semua istri yang ditinggal mati suaminya,

baik dia masi kecil, sudah tua hingga tidak pernah datang

bulan lagi, perempuan merdeka, hamba sahaya, muslimah

maupun kafir, karna ayat yang menunjukkannya bersifat

umum.19

Para ulama Madzhab sepakat atas wajibnya

perempuan yang ditinggal mati suaminya untuk melakukan

Ihdad (berkabung), baik perempuan itu sudah lanjut usia

maupun masih kecil, muslimah maupun non-muslimah,

kecuali Hanafi. Madzhab ini mengatakan bahwa,

perempuan dzimmi, dan yang masih kecil tidak harus

menjalani Ihdad. Sebab mereka berdua adalah orang-orang

yang tidak dikenai kewajiban (ghair mukallaf).20

Pada kesempatan lain, Imam Syafi’i di dalam

kitabnya al-Umm mengatakan: “Allah Swt. Memang tidak

menyebutkan Ihdad di dalam al-Qur’an, namun ketika

Rasullah Saw memerintahkan wanita yang ditingal mati

oleh suaminya untuk berihdad, maka hukum tersebut sama

Dzulfika., Taufik., Arbi,. Terjemah Rawa’i’ al-Bayan Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Ash-Shabuni, 368.
19
20
Muhammad Jawwad Muhgniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), 471.
22

dengan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt. Di

dalam kitabnya, dengan kata lain, kekuatan hukum yang

ditetapkan berdasar hadits Rasulullah SAW. Sama dengan

kekuatan hukum yang ditetapkan berdasar al-Qur’an.21

Beberapa macam ihdad dilihat dari bentuk putusnya

perkawinan pelaku ihdad (wanita):

a) Istri yang ditinggal mati suaminya.

Istri yang ditinggal mati suaminya menurut

ulama’ hanbaliyah, malikiyyah, syafi’iyyah, dan

hanafiyyah hukumnya wajib. Oleh sebab itu hukum

ihdad ini tergolong ijma’. Sekalipun Imam Abu Hasan

Al-Bashri dan Imam As-syu’abi menyatakan tiak wajib

dan pendapat ini tergolong pendapat yang langka

(shadz), bahkan oleh Ibnu Qudamah dianggap

menyalahi sunnah (khilaf as-sunnah). Argumentasi

ulama’ tersebut berdasarkan hadits:

‫ها‬َ‫تا‬ََ ‫َلم‬
‫َّا أ‬ ‫َي‬
ِ‫ْس‬ ‫ُم‬‫َ ع‬ ‫ْت‬‫ِن‬ ُ‫َا‬
‫ء ب‬ ‫َسْم‬
‫ن أ‬ ََّ
‫أ‬
‫َال‬
ٍ‫ِب‬ ‫َب‬
‫ِيْ ط‬ ‫أ‬ ْ ِ
ِ‫بن‬ ‫َر‬‫ْف‬‫َع‬‫ها ج‬َِ‫ْج‬‫َو‬‫ْشُ ز‬ ‫نع‬َ
‫ْه‬
ِ َ
‫َلي‬‫هللاُ ع‬ ََّ
‫لى‬ ‫ِيُّ ص‬‫َّب‬
‫ها الن‬ َ‫ل َل‬َ‫َا‬ ‫ق‬
‫ثا‬ َ ْ‫ِي‬
ًَ‫ثال‬ ََّ‫تس‬
‫لب‬ َ َ‫لم‬ََّ‫َس‬‫و‬
Hadits ini menunjukkan bahwa masa ihdad

hanyalah 3 hari. Selain itu hukumnya tidak wajib. Serta

berdasar hadits:
21
Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer(Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2009),12.
23

‫ْم‬
ِ ‫َو‬ ْ َ
‫الي‬ ‫ِا هللِ و‬‫ُ ب‬ ‫ْم‬
‫ِن‬ ُ ٍ
‫تؤ‬ ‫َة‬‫َأ‬
‫مر‬ْ‫ُّ ِال‬
‫يحِل‬ َ
َ ‫ال‬
‫لى‬ََ َّ‫الثٍ ا‬
‫ِال ع‬ َ َ
َ‫ث‬ ‫ْق‬‫َو‬
‫ِد ف‬ ُ ‫ن‬
َّ‫تح‬ َ
ْ‫ِ أ‬ ‫اآلخِر‬
‫َشْر‬
‫ًا‬ ‫َع‬‫ٍ و‬‫هر‬ َ َ
ُْ‫َة أش‬ َْ
‫بع‬ َ
‫ٍ أر‬ ‫َو‬
‫ْج‬ ‫ز‬
Pada dasarnya tidak petunjuk dalil tentang

kewajiban ihdad dalam hadits ini, karena pengecualian

(istisna’) yang jauh setelah peniadaan (nafi)

menunjukkan ketetapan hukum boleh, bukan wajib.

Adapun argumentsi yang dibangun, menurut

Imam Syafi’i bahwa hukum ihdad tidak tertulis dalam

al-Qur’an, namun ketika Rasulullah SAW

memerintahkan wanita untuk ber-ihdad maka hukum

tersebut sama dengan kewajiban dan ketetapan Al-

Qur’an.

b) Istri yang ditalaq ba’in

Istri yang ditalaq ba’in menurut ulama’

Hanafiyyah dan Sufyan al-Thauri ihdad-nya wajib,

sedangkan menurut Imam Shafi’i menganggap tidak

wajib tapi diniliai bagus (istihsan) jika dilaksanakan.

Penggunaan istilah istihsan Imam Shafi’i,

didengungkan oleh Ibnu Rushd. Namun jika ditelusuri

dalam kitab al-Um, Imam Shafi’i ternyata tidak

menggunakan istilah istihsan.

Sedangkan menurut Madhhab Malikiyah, istri

yang ditalak, baik talak ba’in ataupun raj’iy tidak wajib


24

ihdad. Dalil yang digunakan adalah athar dari Ibnu

Wahab dari Yunus yang bertanya pada Rabi’ah,

“apakah wanita yang ditalak wajib menjahui

perhiasan?” Maka jawabnya, “tidak ada yang harus

dijauhi”. Selain dari athar tersebut, terdapat sanad lain

yang senada bersumber dari Ibnu Wahab, dari beberapa

gurunya (ahli ilmu) dari Abdullah bin Umar, Abi Zubad

dan ‘Ata’ bin Abi Rabah.

c) Istri yang ditalaq raj’i

Menurut Shafi’iyyah, Malikiyah dan Hanabilah,

istri yang ditalak raj’i tidak wajib ihdad. Argument

yang dibangun adalah karena wanita yang ditalaq raj’i

masih terikat ikatan suami istri (zawjiyyah) dan tetap

berlaku hukum istri. Oleh sebab itu masih boleh untuk

berhias dan bersolek, bahkan Shaf’iyah menyatakan

sunnah berhias jika rujuk masih dimungkinkan dan

menimbulkan kebaikan. Pendapat ini juga disampaikan

Abu Thaur.22

3) Hikmah iddah dan ihdad.

Hikmah-hikmah iddah tersebut diantaranya adalah:

a) Untuk megetahui bersihnya rahim seorang perempuan,

sehingga tidak tercampur antara keturunan seseorang

22
Edi Susilo. “Iddah Dan Ihdad Bagi Wanita Karir.” Al-Hukama The Indonesia Journal Of Islamic
Family Law, Vol. 6 No. 2, (2016), 2089-.
25

dengan yang lainnya. Hikmah ini bersifat biologis dan

mutlaq hanya berlaku bagi perempuan, selain perempuan

tidak mungkin terkena hukum iddah.

b) Memberi kesempatan kepada suami istri yang baru saja

bercerai untuk kembali rukun dan membina rumah

tangga mereka kembali jika itu yang terbaik.

c) Menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat

menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya

dan memberikan tempo berfikir panjang. Jika tidak dieri

kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak-

anak kecil bermain, sebentar disusun, sebentar lagi

dirusaknya.

d) Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum

kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan

akadnya. Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan

putusnya ikatan tersebut, maka untuk mewujudkan tetap

terjaganya kelanggengan tersebut harus diberi tempo

beberapa saat memikirkannya dan memperhatiakan apa

kerugiannya.23

Sedangkan hikmah ihdad diantaranya ialah:

Sayyid Sabiq., Fiqih Sunnah Jilid 8, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), 140-141


23
26

a) Memberikan alokasi waktu yang cukup untuk turut

berduka cita atau berkabung dan sekaligus menjaga

timbul fitnah.

b) Untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga

suami yang meninggal dengan pihak istri yang

ditinggalkan dan keluarga besarnya.

c) Ihdad untuk menampakkan kesedihan dan kedudukan

atas kematian suaminya, dan ukuran untuk bersedih

karena yang lainnya.24

b. Pelaksanaan Iddah Dan Ihdad Di Masyarakat

1) Bagi Wanita Karir

Zaman Rasul banyak wanita yang ditinggal mati

suaminya yang melaksanakan masa Ihdad, mererka melakukan

perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang, tidak boleh

memakai celak, minyak wangi, semir, pacar kuku, pakaian yang

dicelup dengan warna merah “mu’ashfar”, dan yang dicelup

dengan tanah merah “mumasysyaqah” serta perhiasan.

Pertimbangan etik-moral, iddah memiliki fungsi

pelindungan. Petama, untuk menggantikan cara ber-iddah dan

ber-Ihdad yang di luar batas kewajaran pada cara yang lebih

berperikemanusiaan. Kedua, agar setelah diceraikan wanita

Mughniyah Muhammad Jawwad, Fiqih Lima Madzhab: Ja’fari Hanafi Maliki Syafi’i
24

Hanbali,(Jakarta: Lentera, 2007), 471


27

tidak tercampakkan dan kehilangan hak-haknya. Karena wanita

berhak mendapat perlindungan ekonomi dan sosial.

Dulu, wanita yang beraktifitas dan berkarier di luar

rumah dianggap melanggar tradisi sehingga dikucilkan

masyarakat dan lingkungan. Sejalan dengan perkembangan

zaman, kaum wanita dewasa ini cenderung untuk berperan

ganda bahkan multifungsional karena mereka telah mendapat

kesempatan untuk mengembangkan diri, aktif di berbagai

bidang, baik politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, maupun

bidang-bidang lainnya. Seiring berubahnya cara pandang

masyarakat terhadap peran dan posisi kaum wanita, kehidupan

modern tidak memberi peluang untuk membatasi gerak kaum

wanita.

Dalam konteks kehidupan masyarakat Islam, wanita

yang berkarier memang masih menjadi sebuah kontroversil,

problematika pun semakin besar ketika wanita yang

berkecimpung diluar rumah ini harus kehilangan suaminya,

mereka dihadapkan pada pilihan sulit. Karena di dalam agama

Islam mewajibkan setiap wanita yang ditinggal mati oleh

suaminya diharuskan menjalankan masa iddah.

Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya

melaksanakan iddah serta Ihdad dengan tujuan untuk

mengetahui isi rahim wanita dan juga untuk menghormati

kematian suaminya. Selain ber-iddah, seorang wanita yang


28

ditinggal suaminya juga harus melaksanakan Ihdad. Ihdad

merupakan suatu kondisi seorang isteri harus menahan diri atau

berkabung, isteri hendaknya menyatakan dukanya dengan tidak

berhias, dengan tidak memakai parfum, tidak bercelak mata dan

tidak boleh keluar rumah.

Pada zaman modern ini, menjadi sebuah dilema bagi

wanita berihdad dengan larangan tidak boleh keluar rumah dan

berhias manakala dia juga harus berjuang mencari nafkah

untuk anak-anaknya dengan bekerja diluar rumah. Memenuhi

perintah agama yang diwajibkan atau keluarganya kesusahan

dan kelaparan sehingga menuntut dirinya untuk bekerja

mencari nafkah di luar rumah dan meninggalkan masa

iddah. Hukum Islam dalam catatan sejarah telah mengalami

pertumbuhan dan perkembangan. Ini menunjukkan suatu

dinamika pemikiran keagamaan dan menggambarkan benturan-

benturan agama dengan perkembangan sosial budaya dimana

hukum itu tumbuh. Karena pada dasarnya ijtihad dalam hukum

Islam merupakan hasil interaksi antara pemikir hukum dengan

faktor sosial-budaya dan faktor sosial-politik yang

mengitarinya.25

Ihdad dalam prakteknya, mengharuskan wanita

menghindar dari interaksi sosial serta dari aktifitas yang

dapat menarik perhatian laki-laki, semisal bersolek, berhias,

25
Ahmad Muslimin. “Iddah Dan Ihdad Wanita Modern.” Mahkamah, Vol. 2 No. 2, (2017), 2548-.
29

dan sebagainya karena dianggap dapat menjadi perantara

munculnya pernikahan pada masa iddah yang hukumnya

dilarng. Hal ini sangatlah berbenturan dengan masa modern

ini tentang wanita karir yang menuntut wanita untuk bekerja

ekstra memenuhi kebutuhan hidupnya. Tuntutan ini

mengharuskan wanita berpenampilan menarik serta menjaga

interaksi dengan siapapun, termasuk lawan jenis serta harus

beraktifitas diluar rumah untuk menunjang finansial dan

karirnya.

Akan tetapi, jika melihat tujuan keluar rumah yang

dilakukan wanita karir tidak sekedar mencari nafkah, tetapi

lebih dari itu, yakni meningkatkan taraf hidup dari sisi

finansial dan karir, mak hal ini merupakan suatu keniscayaan

yang harus dilakukan wanita tersebut. Terlebih ketika

finansial keluarga sudah menjadi tidak jelas sumbernya

akibat perceraian maupun kematian suami, karena pada

awalnya tulang punggung keluarga berada pada tanggung

jawab suami sehingga kebutuhan keluarga dipenuhi suami.

Bahkan jika wanita yang sedang melaksanakan ihdad tidak

berkarir dan bekerja, malah akan terjerumus pada kondisi

yang menyulitkan dari sisi finansial dalam memenuhi

kebutuhan keluarga yang kemudian akan berdampak pada

kehancuran keluarga pasca perceraian atau kematian suami.


30

Dengan demikian, tujuan wanita karir keluar rumah

untuk melakukan aktifitas karirnya dan pekerjaannya untuk

memenuhi kebutuhan keluarga, tergolong hajat yang sangat

mendesak yang dapat menempati posisi darurat.

Permasalahan ini dapat menggunakan argumentasi dengan

kaidah:

‫َة‬
, ِ ‫ْر‬
‫ُو‬‫َّر‬
‫الض‬ ُ‫َِل‬
ْ ‫ه‬ ‫ْز‬ َ ‫ل‬
‫من‬ ُِ‫ْز‬
‫تن‬ َُ
َ ‫ة‬ ‫َاج‬ ْ
‫الح‬
َ‫َاص‬‫ْ خ‬ َ
‫ْ أو‬ َ َ
‫انت‬ ‫ة ك‬َ‫ام‬
َّ َ
‫ع‬
“Hajat (kebutuhan) dapat menempati posisi darurat baik
tergolong hajat umum maupun khusus”
Ketika dinyatakan sebagai hajat yang menempati

darurat, maka darurat yang ada harus dihilangkan sekalipun

dengan menerjang keharaman atau larangan. Hal ini sesuai

dengan kaidah:

ِ‫َات‬
‫ْر‬‫ُو‬
‫ْظ‬‫َح‬ ْ ُ
‫الم‬ ‫ْح‬‫ِي‬
‫تب‬ُ ُ
‫َات‬
‫ْر‬ ‫َر‬
‫ُو‬ ْ
‫الض‬
“Keadaan darurat memperbolehkan (menerjang) perkara
yang dilarang”. 26
Dan pembolehan ini terikat dengan beberapa syarat-

syarat antara lain:

a) Pekerjaannya itu sesuai dengan syari’at, artinya jenis

pekerjaannya itu sendiri tidak haram, atau bisa

menjerumuskannya untuk mengerjakan sesuatu yang

haram, seperti: bekerja sebagai pembantu bagi orang

26
Edi Susilo, “Iddah Dan Ihdad Bagi Wanita Karir.” Al-Hukama The Indonesia Journal Of Islamic
Family Law, Vol. 06 No. 02, (2016), 2089.-
31

laki-laki yang masih bujang, atau menjadi sekertaris

direktur yang kerjaannya menyebabkan mereka

berkumpul, atau sebagai penari yang membangkitkan

syahwat syahwat dan kepuasan dunia, atau waiters

(pelayan) bar dimana terdapa minuman keras, yang

dimana Rasulullah melaknat bagi penuang, penyaji dan

pembelinya, atau peragawati yang berbusana tidak sesuai

syariat, lain dari pada itu juga akan membahayakan

dirinya karena ia kerap pergi jauh tanpa mahram.

b) Harus senantiasa beradab sesuai adab seorang muslimah,

saat meninggalkan rumah, baik dalam berpakaian,

berjalan, berbicara, dan beraktifitas.27

2) Bagi Wanita Pekerja

Wanita yang melaksanakan iddah dan ihdad secara

sempurna sangat jarang di temui di masa sekarang, namun

demikian masih ada yang melaksanakan masa iddah dan

ketentuan ihdad yang menjadi kewajibannya secara

sempurna. Wanita yang melaksanakan iddah selama 4 bulan

10 hari didasari oleh adanya pemahaman seputar

permasalahan iddah dan ihdad. Demikian pula kewajiban

ihdad yang harus dilaksanakan seperti: tidak keluar rumah

27
H. Muhammad Hafizh, MAG, 101 Wasiat Rasul Untuk Wanita Terjemah Shohih Washoya Al-
Rasul Lin-Nisa’, Cet II (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), 572.
32

selama masa iddah dan ihdad berlangsung, tidak berhias,

tidak memakai wangi-wangian, dan lain sebagainya.

Sehingga bisa terlaksana dengan sempurna, dukungan spihak

keluarga juga menjadi peran yang sangat penting terhadap

lancarnya pelaksanaan iddah dan ihdad. Pentingx

pengetahuan tentang ihdad sering kali menjadi kendala tidak

terlaksananya masa ihdad secara sempurna.

Bagi seorang yang menjalankan masa iddah dan ihdad

apakah boleh menerima telefon, duduk diteras rumah atau

berbincang-bincang dengan tetangga dekat? Menurut

pendapat wahbah zuhaili dalam kitab ‫فتاوي‬

‫معاصرة‬ hukumnya boleh, selama tidak terjadi hal-hal

yang negatif, seperti halnya kholwat (berduaan dengan lawan

jenis yang bukan mahram).28

Dan bolehkah bagi seorang perempuan yang ditinggal

mati suaminya menemui para pentakziyah, padahal ia harus

mejalani iddah dan ihdad? Menurut wahbah zuhaili dalam

kitab ‫فتاوي معاصرة‬ hukumnya boleh selama

tidak khawatir terhadap munculnya hal-hal yang negatif.29

Didalam Majmu’ fatawa, Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah rahimahullahu menjelaskan keharusan wanita yang

28
Tim Kreatif Kajian Tanya Jawab (TIRAKAT), Ngaji Fiqih Untuk Bekal Kehidupan Dunia Dan
Akhirat, (Kediri: Santri Salaf Press, 2015), 131.
29
Tim Kreatif Kajian Tanya Jawab (TIRAKAT), Ngaji Fiqih ., 160
33

berihdad untuk tidak berhias dan memakai wewangian pada

tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam didalam rumahnya,

tidak boleh keluar disiang hari kecuali ada kebutuhan dan

tidak boleh keluar dimalam hari kecuali darurat. Ia tidak

boleh memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan

kukunya dengan inai atau selainnya. Bagi wanita yang

melaksanakan ihdad tidak bekerja maka ia tidak boleh keluar

rumah dan tidak boleh berhias secara mutlaq.30 ia harus

menjalankan ihdad dengan sempurna dengan cara tidak boleh

bercelak, berwangi-wangian, mempercantik diri dengan

bersolek, berpakaian yang menarik / dicelup agar menjadi

indah, memakai perhiasan, dan harus berdiam diri dirumah

kecuaali dalam keadaan terpaksa. Bagi seorang istri yang

sudah ditinggal mati oleh suaminya maka wajib untuk

melaksanakan ihdad sebagai tanda turut berduka cita

sekaligus menjaga terhadap timbulnya fitnah.

c. Dampak Pelaksanaan Iddah Dan Ihdad Pada Perempuan.

A. Terhadap istri yang ditinggal mati oleh suaminya

Kita ketahui bahwa seorang suami Kita ketahui bahwa

bila seorang suami yang meninggal, wajib bagi isterinya

untuk berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Namun,

bila si isteri dalam keadaan hamil maka ihdadnya berakhir

30
http://badadai.blogspot.com/2015/06/masailul-fiqh-tentang-ihdah-wanita.html
34

dengan melahirkan kandungannya, baik masanya lama atau

sebentar.

Selanjutnya mengenai hal-hal yang dilarang selama

ihdad disimpulkan pula oleh Ibnu Rusyd secara umum, yaitu

segala bentuk perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-

laki, kecuali sesuatu yang bukan dianggap sebagai perhiasan.

Namun menurutnya pula, para fuqaha membolehkan

pemakaian celak mata kalau terpaksa, tetapi sebagian ulama

ada yang menyatakan bahwa celak itu bukan dianggap

sebagai perhiasan, dan sebagian lagi mensyaratkan bahwa

pemakaian dilakukan hanya pada malam hari.

Sekalipun para ulama sepakat tentang wajibnya ihdad

bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, tetapi mereka

berbeda pendapat tentang penggunaan celak mata. Perbedaan

tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan mereka terhadap

celak mata itu sendiri, yaitu ada yang menganggap bahwa

celak mata itu sebagai perhiasan dan ada pula yang

menganggap bukan perhiasan. Ibrahim Al-Bajuri

rahimahullahu menyatakan bahwa dibolehkannya

menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan aroma

tidak sedap bila memang sifatnya bukan untuk berhias atau


35

berwangi-wangi seperti menggunakan minyak pada rambut

kepala atau selainnya.31

Dalam kondisi wanita karir, cara ihdad menggunakan

cara lain. Bagi wanita yang berprofesi di luar rumah seperti

dokter, perawat dll, maka mereka boleh ke luar rumah untuk

menunaikan kewajibannya. Demikian pula karena mereka

berhadapan dengan orang banyak, maka boleh baginya

memakai parfum sekedarnya, serta ia boleh memakai

aksesoris alakadarnya asal tidak dimaksudkan untuk berhias

dan pamer.

Syeh Abdullah Bin Baz berkata: “ wanita yang sedang

berkabung di bolehkan untuk mandi dengan air, sabun,

bidara, kapan saja ia mau, ia berhak untuk mengajak bicara

kerabat-kerabatnya dan orang lain yang ia kehendaki, ia

boleh duduk bersama para mahramnya, menghidangkan kopi

dan makanan untuk mereka dan sebagainya. Ia boleh bekerja

dirumahnya, dipekarangan, diatap rumahnya baik siang atau

malam dalam semua pekerjaan rumah seperti memasak,

menjahit, menyapu rumah, mencuci baju, memberi makan

binatang ternak dan sebagainya sebagai mana yang dilakukan

oleh wanita yang tidak berkabung dia juga boleh berjalan

disaat terang bulan dalam keadaan tdak menutupi wajahnya


31
Fredy Siswanto, Analisis Hukum Terhadap Ihdad Bagi Perempuan Ditinjau Dari Aspek Hukum
Islan Dan Kesetaraan Gender, Skripsi S1, (Bengkulu: Universitas Bengkulu Fakultas Hukum,
2014), 20-23
36

sebagaimana wanita lainnya. Dia juga boleh melepas

kerudung jika tidak orang lain kecuali hanya mahramnya.32

B. Terhadap istri yang dicerai

Para ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang wajib

melakukan ihdad karena kematian suaminya adalah

perempuan yang beragama Islam, baligh, merdeka, atau

budak, dan melakukan perkawinan yang sah dengan

suaminya yang wafat itu. Akan tetapi, para ahli fikih berbeda

pendapat mengenai kewajiban melakukan ihdâd bagi istri

yang masih kecil (shaghirah), atau istri yang beragama

Yahudi dan Nashrani (perempuan kitâbiyyah; ahlu al-kitâb).

Fuqahâ` dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa istri yang

masih kecil (belum baligh) tidak wajib melakukan ihdâd,

karena ia tidak mukallaf. Sedangkan menurut madzhab

Syafi’i dan Maliki, istri yang masih kecil wajib melakukan

ihdâd juga, karena ia tetap berstatus sebagai istri. Sementara

itu, mengenai perempuan kitâbiyyah dan dzimmiyah,

madzhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan tersebut

tidak wajib melakukan ihdâd, sebagaimana shaghirah, karena

tidak mukallaf.

Sedangkan menurut madzhab Maliki, ia wajib

melakukannya karena perempuan kitâbiyyah dan dzimmiyah


32
Heni, Dilema Praktek Ihdad (Studi Sosiologi Hukum Pada Masyarakat Islam Kebayoran Lama),
Skripsi S1 (Jakata: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), 32-33.
37

yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim

memiliki hak yang sama dengan hak-hak perempuan yang

beragama Islam. Perempuan yang dinikahi dengan nikah

fâsid (pernikahan yang salah satu syaratnya tidak terpenuhi)

tidak wajib melakukan ihdâd.

Berseberangan dengan pendapat para ahli fikih pada

umumnya, kalangan madzhab Hanafi mewajibkan ihdâd

kepada istri yang menjalani masa ‘iddah setelah dijatuhi talak

tiga oleh suaminya. Sedangkan ahli fikih lainnya berpendapat

bahwa hukumnya hanya sunnah. Madzhab Hanafi

memandangnya wajib karena perbuatan itu merupakan

ungkapan rasa berduka atas hilangnya karunia Allah SWT.

Dalam bentuk perkawinan dari diri istri. Karena itu,

kewajiban melaksanakan ihdâd, juga berlaku terhadap

perempuan tersebut. Dalam hal ini, madzhab Hanafi

menyamakan kedudukannya dengan istri yang suaminya

wafat. Berbeda dengan Hanafi, madzhab Ja’fariy menyatakan

bahwa hanya perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya

yang dikenakan kewajiban untuk ihdâd. Pasalnya, dalam

kasus ini sudah tidak bermakna lagi adanya masa

“berkabung” tersebut. Karena, suami melakukan talak dengan

ikhtiyâr.
38

Lebih lanjut, fuqahâ` lainnya berpendapat bahwa

ihdâd bagi perempuan seperti itu tidak wajib, karena ia masih

memiliki kemungkinan untuk kawin lagi dengan suaminya

itu, jika terlebih dahulu ia kawin dengan laki-laki lain yang

kemudian menceraikannya. Di samping itu, ia juga memiliki

masa ‘iddah yang sama dengan istri yang dijatuhi talak raj’i.

Sedangkan anjuran untuk melakukan ihdâd selama masa

‘iddah talak bâ`in hanya dimaksudkan untuk menghindarkan

dirinya dari fitnah yang mungkin muncul jika ia berhias diri.

Para ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang

menjalani masa ‘iddah talak raj’i tidak wajib melakukan

ihdâd, karena selama berada dalam masa ‘iddah ini pada

hakikatnya ia masih berada dalam status perkawinan.

Karenanya, ia berhak untuk menghias diri, bahkan hal

tersebut dianjurkan kepadanya dengan tujuan agar suaminya

tertarik untuk melakukan rujû’. Dengan perkataan lain, iddah

dalam thalak raj’i merupakan momen refleksi bagi suami dan

istri untuk mempertimbangkann apakah akan melanjutkan

pernikahan atau betul-betul akan mengakhiri pernikahan.33

G. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

33
Abdul Moqsith Ghazali, Iddah Dan Ihdad Dalam Islam Pertimbangan Legal Formal Dan Etika
Moral, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2002), 152-153
39

Dalam melakukan sebuah penelitian, tidak terlepas dari langka-

langka kerja penelitian. Adapun metode yang peneliti gunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah

penelitian yang analisis datanya menggunakan pendekatan kualitatif.

Data-data dalam penelitian tersebut tidak menggunakan angka-angka tapi

kata-kata verbal. Definisi penelitian kualitatif menurut shyaodih

sukmadinata adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk

mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa aktifitas sosial,

sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun

kelompok. Sedangkan kalau menurut Bogdan dan Taylor mengemukakan

metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati. Miles and Huberman metode kulitatif berusaha

mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok,

masyarakat, dan organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara

menyeluruh, rinci, dalam, dan dapat dipertanggung jawabkan secara

ilmiah.34

Dalam penelitian ini peneliti mendeskripsikan secara ilmiah

tentang Iddah Dan Ihdad Bagi Wanita Di Masyarakat Desa Sumberanyar

Kecamatan Rowokangkung Kabupaten Lumajang.

Dalam upaya memperoleh gambaran yang jelas dan terperinci

dari permasalahan ini, maka jenis penelitian yang penulis gunakan

34
Suteki dan Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori Dan Praktik),
(Depok: Rajawali Press, 2018), 139
40

adalah penelitian lapangan (field researh), karena untuk mendapatkan

data yang akurat dan valid tentang Iddah Dan Ihdad Bagi Wanita Di

Masyarakat Desa Sumberanyar Kecamatan Rowokangkung Kabupaten

Lumajang peneliti harus terjun langsung ke lapangan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang akan diambil oleh peneliti yaitu dari

beberapa informan yang sesuai dengan judul penelitian “Iddah Dan Ihdad

Bagi Wanita Di Masyarakat Desa Sumberanyar Kecamatan

Rowokangkung Kabupaten Lumajang”.

3. Subjek Penelitian

Dalam hal ini peneliti memilih subyek yang jelas untuk

mendapatkan data-data tersebut, diantaranya:

a. Tokoh masyarakat (Desa Sumberanyar Kecamatan Rowokangkung

Kabupaten Lumajang).

b. Wanita pekerja dan wanita karir (Desa Sumberanyar Kecamatan

Rowokangkung Kabupaten Lumajang).

Lokasi atau tempat yang akan menjadi objek penelitian ini adalah

Desa Sumberanyar Kecamatan Rowokangkung Kabupaten Lumajang.

Alasan peneliti memilih lokasi tersebut karena untuk memudahkan dalam

pengumpulan data sesuai dengan judul penelitian serta lokasi tersebut

dapat dijangkau oleh peneliti.

4. Teknik Pengumpulan Data


41

Dalam penelitian ini pengumpulan data yang peneliti lakukan

dengan jalan penelitian lapangan (Field Research). Field Research

digunakan untuk memperoleh data dari lapangan penelitian. Metode yang

digunakan dalam pengumpulan data dari lapangan sebagai berikut:

a. Metode Observasi

Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan

hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia

kenyataan yang diperoleh melalui observasi.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melakukan observasi

langsung terhadap lokasi penelitian di lapangan untuk memperoleh

data tentang:

1) Profil Desa Sumberanyar Kecamatan Rowokangkung

Kabupaten Lumajang.

2) Letak geografis Desa Sumberanyar Kecamatan Rowokangkung

Kabupaten Lumajang.

b. Metode Wawancara

Adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

(interview) untuk mencari informasi dari narasumber. Narasumber

yang akan dijadikan informan untuk diwawancarai ialah:

1) Tokoh masyarakat (Desa Sumberanyar Kecamatan

Rowokangkung Kabupaten Lumajang).

2) Wanita pekerja dan wanita karir (Desa Sumberanyar

Kecamatan Rowokangkung Kabupaten Lumajang).


42

Dengan menggunakan metode wawancara ini, peneliti ingin

memperoleh data tentang:

1) Pelaksanaan iddah dan ihdad menurut Hukum Islam

2) Pelaksanaan iddah dan ihdad bagi wanita pekerja dan wanita

karir di masyarakat Desa Sumberanyar Kecamatan

Rowokangkung Kabupaten Lumajang.

3) Dampak pelaksanaan iddah dan ihdad bagi masyarakat di desa

Sumberanyar Kecamatan Rowokangkung Kabupaten

Lumajang

c. Metode Dokumentasi

Adalah cara pengumpulan data melalui sumber tertulis,

terutama berupa arsip-arsip dan buku-buku tentang pendapat, teori,

dalil, dan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah

penyelidikan. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data

tentang iddah dan ihdad bagi wanita dimasyarakat desa Sumberanyar

kecamatan Rowokangkung kabupaten Lumajang.

Adapun dokumentasi ini digunakan untuk memperoleh data

tentang:

1) Iddah dan ihdad bagi wanita pekerja di Desa Sumberanyar

Kecamatan Rowokangkung Kabupaten Lumajang.

2) Iddah dan ihdad bagi wanita karir di Desa Sumberanyar

Kecamatan Rowokangkung Kabupaten Lumajang.

3) Dampak bagi wanita yang melaksanakan iddah dan ihdad.


43

5. Analisis Data

Analisis data merupakan satu langkah penting dalam rangka

memperoleh temuan-temuan hasil penelitian. Dari data primer,

digunakan teknis analisis yaitu dengan menganalisis data sejak peneliti

berada dilapangan (field). Data yang telah di peroleh akan dianalisis

dengan menggunakan content analysis (analisis isi/kandungannya),

dalam arti melihat ma’na yang mendalam dari setiap data yang telah

dikumpulkan. Peneliti akan melakukan klasifikasi data melalui proses

indexing, shorting, grouping, dan filtering. Setelah data dari hasil

penelitian dianggap valid dan reliable, langkah selanjutnya adalah

merekonstruksi dan menganalisisnya secara kualitatif untuk menjawab

problematika yang menjadi fokus studi penelitian ini. Langkah-langkah

eknik analisis data penelitian ini mengikuti model interaktif analisis data

seperti yang dikemukakan oleh Mattew B. Miles and A. Michael

Huberman, yang bergerak dalam tiga siklus kegiatan, yaitu reduksi data,

penyajian data, dan penarikan simpulan atau verivikasi. Simpulan yang

dimaksud bukanlah simpulan yang bersederajat dengan generalisasi.

Terhadap data sekunder, dalam mencari kebenaran umum akan

dilakukan dengan menggunakan logika deduktif khususnya pada saat

analisis awal (penggunaan teori-teori), namun tidak tertutup

kemungkinan dilakukan analisis dengan menggunakan logika induktif


44

terhadap kasus-kasus privatisasi yang telah terdokumentasi dalam bentuk

hasil-hasil studi, pencatatan maupun hasil penelitian.35

6. Keabsahan Data

Bagian ini memuat bagaimana usaha-usaha yang hendak

dilakukan peneliti untuk memperoleh keabsahan data-data temuan

dilapangan36. Untuk menguji kreadibilitas data penelitian, peneliti

menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi adalah pengecekan

data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.37

Dalam hal ini peneliti memilih triangulasi sumber data yang

berarti menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai metode

dan sumber perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara dan

observasi, peneliti menggunakan observasi terlibat (participant

observation), dokumen tertulis, arsip, dokumen sejarah, catatan resmi,

catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto.

Peneliti memilih jalan tersebut karena tiga jalan tersebut sangat

mudah ditempuh untuk menggali data-data atau informasi yang akurat

sesuai kenyataan di lapangan.

7. Tahap-Tahap Penelitian

Tahap-tahap penelitian yang akan diambil peneliti yaitu:

a. Pra-lapangan yaitu menyusun rancangan penelitian seperti

persiapan wawancara yaitu membuat pertanyaan wawancara dan

35
Suteki, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori Dan Praktik), 375
36
Tim Penyusun INAIFAS, Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah, (Jember: INAIFAS Press, 2018),
42
37
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabet, 2009), 273
45

menyiapkan sesuatu yang dibutuhkan ketika terjun kelapangan,

memilih lapangan penelitian yaitu di daerah kota Lumajang - Jawa

Timur, mengurus perizinan dari kampus INAIFAS yang

diperuntukkan untuk instansi yang akan diminta informasinya yaitu

di Desa Sumberanyar Kecamatan Rowokangkung Kabupaten

Lumajang, menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan

memanfaatkan informan dengan cara mengambil informasinya

antara lain dengan mewawancarai para informan, menyiapkan

perlengkapan penelitian.

b. Tahap pekerjaan lapangan yaitu memahami latar penelitian dan

persiapan diri, memasuki lapangan dengan mendatangi para

informan satu persatu, mengumpulkan data dengan cara menulis,

merangkum dan merekamnya.

c. Tahap analisis data yang kemudian diteruskan dengan membuat

laporan hasil penelitian.

H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini akan di bahas dalam lima bab dengan sistematika

pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah,

fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah, metode

peenlitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, yang berisi tentang kerangka teoritik, menjelaskan

tentang pengertian iddah dan ihdad macam-macam iddah, iddah dan ihdad
46

bagi wanita karir, iddah dan ihdad bagi wanita bekerja, dampak iddah dan

ihdad.

Bab ketiga metode penelitian berisi pendekatan dan jenis penelitian,

lokasi penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data,

keabsahan data.

Bab keempat analisis, berisi tentang iddah dan ihdad bagi wanita karir

dan bekerja bagi masyarakat, makna istilah dalam iddah dan ihdad dan

dampak iddah dan ihdad.

Bab kelima penutup, terdiri atas kesimpulan dan saran. Pada bagian

akhir dilanjutkan data dan lampiran.

I. DAFTAR PUSTAKA

Depatermen Agama RI. 2013. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka


Mubin.

Dzulfikar, Ahmad, Taufik., & Mukhlis Yusuf Arbi. 2016. Terjemah Rawa’i’
al-Bayan Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Ash-Shabuni. Depok: Keira
Publishing.

Shokhib, Muhammad Yalis. 2010. Ihdad Bagi Perempuan Dalam Kompilasi


Hukum Islam (Sebuah Analisis Gender),Skripsi S1. Malang: UIN
Maulana Malik Ibrahim.

Susilo, Edi. 2016. Iddah Dan Ihdad Bagi Wanita Karir, Skripsi S1. Surabaya:
UIN Sunan Ampel.
Siswanto, Fredy. 2014. Anilisis Hukum Terhadap Ihdad Bagi Perempuan
Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam Dan Kesetaraan Gender, Skripsi
S1. Bengkulu: Universitas Bengkulu.

Susilo, Edi. 2016. “Iddah Dan Ihdad Bagi Wanita Karir.” Al-Hukama The
Indonesia Journal Of Islamic Family Law, Vol. 6 No. 2, (2016), 2089-

Sahrani, tihami dan Sohari. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
47

Muhammad, Syaikh Kamil. 2014. ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap.


Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Muhgniyah, Muhammad Jawwad. 2007. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta:


Lentera.

Yanggo, Chuzaimah T. dan Hafiz Anshary. 2009. Problematika Hukum Islam


Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ayyub, Syaikh Hassan. 2013. Terjemah Fiqh al-Usroh al-Muslimah Fikih


Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Muslimin, Ahmad. 2017. “Iddah Dan Ihdad Wanita Modern.” Mahkamah,


Vol. 2 No. 2, 2548-.

Hafizh, Muhammad. 2009. 101 Wasiat Rasul Untuk Wanita Terjemah Shohih
Washoya Al-Rasul Lin-Nisa’. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Tim Kreatif Kajian Tanya Jawab (TIRAKAT). 2015. Ngaji Fiqih Untuk
Bekal Kehidupan Dunia Dan Akhirat. Kediri: Santri Salaf Press.

http://badadai.blogspot.com/2015/06/masailul-fiqh-tentang-ihdah-
wanita.html

Heni. 2010. Dilema Praktek Ihdad (Studi Sosiologi Hukum Pada Masyarakat
Islam Kebayoran Lama), Skripsi S1. Jakata: UIN Syarif Hidayatullah.

Ghazali, Abdul Moqsith. 2002. Iddah Dan Ihdad Dalam Islam Pertimbangan
Legal Formal Dan Etika Moral. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Hasbiansyah, O. 2008. “Pendektan Fenomenologi: Pengantar Praktik


Penelitian Dalam Ilmu Sosial dan Komuniasi”, Mediator, Vol. 9 No.
1.

Tim Penyusun INAIFAS. 2018. Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah. Jember:


INAIFAS Press.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabet.

Anda mungkin juga menyukai