Anda di halaman 1dari 19

I.

TOPIK
Pengaruh bentuk dan rute pemberian sediaan terhadap ketersediaan hayati
suatu obat serta penentuan parameter-parameter farmakokinetik.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Sejak dasawarsa terakhir ini, konsepsi, realisasi, dan pemakaian obat
sangatdipengaruhi oleh penelitian in vivo zat aktif. Penelitian metabolisme,
terutama penelitian farmakokinetik telah menempatkan konsepsi dan metode yang
secara keseluruhan dapat diterapkan pada beberapa sector penelitian medico-
farmasetik. Seiring dengan ini, teknologi farmasi telah memperoleh kemajuan
yang sangat berarti baik yang berkaitan dengan ditemukannya bahan pembawa
baru maupun yang berkaitan dengan temuan prosedur percobaan baru yang
memungkinkan untuk menciptakan bentuk sediaan yang lebih sesuai dengan
kebutuhan pengobatan dan kenyamanan penderita (biofarmasi, ).
Pengetahuan tentang ruang lingkup ilmu farmakologi dimulai dari fase
farmasetik (penyiapan produk sediaan bahan obat), yang dilanjutkan ke fase
farmakokinetik (nasib obat dalam badan) dan diakhiri dengan fase
farmakodinamik (aksi obat dalam badan atau interaksi obat-reseptor).
Bioavailability (BA) atau ketersediaan hayati adalah persentase obat yang
diresorpsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia untuk melakukan
efek terapeutisnya. Dibeberapa Negara BA mencakup pula kecepatan dimana obat
muncul disirkulasi darah. Biasanya, efek obat baru mulai Nampak sesudah obat
melalui sistem pembuluh porta serta hati dan kemudian tiba di peredaran darah
besar yang mendistribusikannya ke seluruh jaringan (Tjay, 2002).
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) suatu obat merupakan fase antara
fase farmasetik dengan fase farmakokinetik dan fase antara tersebut dipelajari
dalam bidang biofarmasi. Bidang ilmu biofarmasi ini lebih difokuskan pada
proses absorbs obat dan parameter – parameter yang ada hubungannya dengan
proses absorbsi. Mutu suatu produk obat ditentukan oleh suatu persyaratan,
keamanan, kemanjuran, dan akseptabilitas yang dipenuhi ketika produk obat itu
digunakan.

1
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan
kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Oleh karena
bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapeutik, aktivitas klinik, dan
aktivitas toksik obat, maka mempelajari biofarmasetik menjadi sangat penting.
Biofarmasetik bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke
sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik
tertentu (Shargel, 2005).
Sediaan atau produk yang diberikan secara ekstravaskuler akan mengalami
suatu peristiwa liberas dan disolusi sebelum diabsorbsi, sedangkan pemberian
secara intravaskuler tidak mengalami peristiwa absorbsi, liberasi dan disolusi,
karena obat aktif akan segera berada dalam sirkulasi sistemik. Apabila suatu obat
diberikan kepada manusia atau hewan akan terjadi proses absorbsi, distribusi,
biotransformasi, dan eliminasi. Secara bersamaan maka kadar obat akan berubah
menurut waktu, demikian juga kadar obat dalam biofasa. Hal ini mempunyai
akibat dan efek atau intensitas farmakologinya juga berubah. Dengan perkataan
lain perubahan (time course) kadar obat dalam plasma akan mempengaruhi time
course kerja obat (Shargel, 2005).
Ketersediaan hayati adalah besar laju bahan aktif yang dapat mencapai sirkulasi
sistemik dari bentuk sediaannya pada tempat pemberian. Pengukuran ketersediaan
hayati dilakukan secara invivodan berhubungan erat dengan absorbsi obat. Kadar
obat dalam plasma dan efek terapetik umumnya merupakan kolerasi yang baik.
Ketersediaan hayati dapat digambarkan dengan kurva kadar obat dalam darah
terhadap waktu yang sekaligus memberikan informasi tentang permulaan kerja,
intensitas atau lamanya obat berada dalam konsentrasi terapi atau duration of
action.
Parameter-parameter ketersediaan hayati
a. Konsentrasi puncak atau (Cp)
Konsentrasi puncak adalah konsentrasi maksimum obat di dalam darah
setelah pemberiaan obat secara ekstravaskuler. untuk beberapa obat diperoleh
suata hungan antara efek farmakologi dan konsentrasi obat didalam darah.
Konsentrasi puncak memberi petunjuk bahwa obat cukup di absorpsi secara

2
sistemik untuk memberi respon terapetik. Selain itu konsentrasi puncak juga
memberikan petunjuk kemungkinan adanya kadar toksik obat.
b. Waktu puncak (Tp)
Waktu puncak adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi
maksimum dalam darah setelah pemberian obat. Pada Tp absorpsi puncak adalah
terbesar dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasinya. Umumnya absorpsi
masih berjalansetelah Tp tercapai, tetapi dengan laju yang lebih lambat. Jika
perbandingan produk obat, Tp dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
memperkirakan laju absorpsi. Harga Tp menjadi lebih kecil bila waktu yang
diperlukan untuk mencapai konsentrasi puncak lebih kecil, yang berarti laju
absorbsinya libih cepat.
c. Luas daerah dibawah kurva (LDDK)
Luas daerah dibawah kurva dalah suatu ukuran dari jumlah ketersediaan
hayati suatu obat yang mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai
sirkulasi sistemik. LDDK dapat diukur dengan suatu prosedur integrasi numerik,
metode rumus trapesium atau secara langsung dengan metode planimeter.

Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau
s e n ya w a o b a t d a r i s e d i a a n p a d a t k e d a l a m s u a t u m e d i u m
tertentu. Uji disolusi berguna untuk menge tahui seberapa
b a n ya k o b a t ya n g m e l a r u t dalam medium asam atau basa (lambung dan
usus halus) (Ansel, 1989).
Laju disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk
padat menjaditerlarut dalam medianya setiap waktu tertentu. Jadi disolusi
menggambarkankecepatan obat larut dalam media disolusi.Kecepatan disolusi
adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknyasuatu zat terlarut dalam pelarut
tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubunganyang umum menggambarkan
proses disolusi zat padat telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney
dalam bentuk Suatu hubungan yang umum menggambarkan proses disolusi
zat padat telah dikembangkanoleh Noyes dan Whitney (Astuti,2008)

Spektrofotometri

3
Spektrofotometri adalah ilmu yang mempelajari tentang penggunaan
spektrofotometer. Spektriofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrofotometer
dan fotometer. Spektofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur
energi secara relative jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau
diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Spektrofotometer
menghasilkan sinar dari spectrum dengan panjang gelombang tertentu, dan
fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang
diabsorpsi.

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari


spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum
dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas
cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer
digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut
ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang
gelombang. Kelebihan spektrofotometer dibandingkan fotometer adalah panjang
gelombang dari sinar putih lebih dapat terseleksi dan ini diperoleh dengan alat
pengurai seperti prisma, grating ataupun celah optis. Pada fotometer filter, sinar
dengan panjang gelombang yang diinginkan diperoleh dengan berbagai filter dari
berbagai warna yang mempunyai spesifikasi melewatkan trayek panjang
gelombang tertentu. Pada fotometer filter, tidak mungkin diperoleh panjang
gelombang yang benar-benar monokromatis, melainkan suatu trayek panjang
gelombang 30-40 nm. Sedangkan pada spektrofotometer, panjang gelombang
yang benar-benar terseleksi dapat diperoleh dengan bantuan alat pengurai cahaya
seperti prisma. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum tampak
yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau
blangko dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorpsi antara sampel dan
blangko ataupun pembanding (Khopkar SM,1990).

Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik
yang memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380
nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen
spektrofotometer. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang

4
cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis
lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif.

Spektroskopi UV/VIS merupakan metode penting yang mapan, andal dan


akurat. Dengan menggunakan spektroskopi UV/VIS, substansi tak dikenal dapat
diidentifikasi dan konsentrasi substansi yang dikenal dapat ditentukan. Pelarut
untuk spektroskopi UV harus memiliki sifat pelarut yang baik dan memancarkan
sinar UV dalam rentang UV yang luas.

Spektrofotometer Uv-Vis adalah alat yang digunakan untuk mengukur


transmitansi, reflektansi dan absorbsi dari cuplikan sebagai fungsi dari panjang
gelombang. Spektrofotometer sesuai dengan namanya merupakan alat yang terdiri
dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum
dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas
cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi spektrofotometer
digunakan untuk mengukur energi cahaya secara relatif jika energi tersebut
ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang
gelombang. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum sinar tampak
yang sinambung dan monokromatis. Sel pengabsorbsi untuk mengukur perbedaan
absorbsi antara cuplikan dengan blanko ataupun pembanding.

Spektrofotometer Uv-Vis merupakan spektrofotometer yang digunakan


untuk pengukuran didaerah ultra violet dan didaerah tampak. Semua metode
spektrofotometri berdasarkan pada serapan sinar oleh senyawa yang ditentukan,
sinar yang digunakan adalah sinar yang semonokromatis mungkin.

Spektrofotometer UV-Vis (Ultra Violet-Visible) adalah salah satu dari


sekian banyak instrumen yang biasa digunakan dalam menganalisa suatu senyawa
kimia. Spektrofotometer umum digunakan karena kemampuannya dalam
menganalisa begitu banyak senyawa kimia serta kepraktisannya dalam hal
preparasi sampel apabila dibandingkan dengan beberapa metode analisa.

Sulfamerazin merupakan turunan dari sulfonamide yaitu suatu


kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk pengobatan dan
pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Penggunaan sulfonamide kemudian
terdesak oleh antibiotic. Secara kimia sulfamerazin berupa Kristal putih yang

5
umumnya sukar larut dalam air , tetapi garam natriumnya mudah larut dala air.
Sulfamerazin merupakan derivate metil dengan khasiat yang sama dengan
sulfadiazine. Tetapi persentase pengikatan pada proteinnya lebih tinggi dengan
rata-rata 70%, plasma t1/2 nya panjang yaitu di atas 20 jam. Dosis yang diberikan
adalah 4 kali sehari 1 gram.
Vitamin B12 adalah nama mum untuk sejumlah senyawa yang memiliki
daya biologis dari sianokobalamin. Di alam dan dalam tubuh vitamin B12 terdapat
terutama sebagai hidroksokobalamin dan adenosylkobalamin dan sedikit sebagai
metilkobalamin. Semua zat ini udah larut dalam air. Secara kimiawi, vitamin B12
memiliki struktur yang mirip porfirin dengan 8 cincin termasuk 4 cincin pyrrol
yang saling terikat dengan atom kobalt di pusatnya. Pada atom Co ini terikat
gugusan –CN, -OH, dan –CH3 pada masing-masing siano-, hidrokso-, dan
metilkobalamin. Vitamin B12 terdapat dalam makanan hewani sebagai bentuk
suatu kompleks protein (Tjay,2002).
Fungsi sianokobalamin sebagai ko-enzim pada sintesa asam-asam inti
(nukleat, DNA/RNA), juga pada pembelahan sel yang terutama mempengaruhi
jaringan yang tumbuh pesat, misalnya sistem haemopoietik, yang sangat peka
terhadap kekurangan vitamin B12 dan folat (tjay,2002).
Resorpsinya sangat rumit. Dalam lambung vitamin ini diikat pada suatu
protein menjadi kompleks yang dipecah lagi oleh enzim pancreas. Untuk transport
dan absorpsi yang sempurna vitamin B12 perlu diikat pada intrinsic faktor (Castle,
1953).
Dosis: pada defisiensi i.m 0.5 – 1 mg semingu, pemeliharaan 1 mg setiap 2
bulan. Pada gejala neurologi 1 -2 kali seminggu 0.5 – 1 mg, pemeliharaan 1 mg
sebulan. Oral: 2 – 3 kali sehari 1 mg, profilaksis dalam preparat multivitamin 1 –
10 mcg/hari (tjay,2002).

KELINCI

Kelinci adalah hewan mamalia dari famili Leporidae, yang dapat


ditemukan di banyak bagian bumi. Menurut rasnya, kelinci terbagi menjadi
beberapa jenis, di antaranya Angora, Lyon, American Chinchilla, Dutch, English
Spot, Himalayan, dan lain-lain. Khusus Lyon sebenarnya adalah hasil dari

6
persilangan luar antara Angora dengan ras lainnya. Namun di kalangan peternak
kelinci hias, hasil persilangan itu disebut sebagai Lyon atau Angora jadi-jadian.
Dari catatan sejarah, kelinci pertama kali dibawa ke tanah Jawa oleh orang-orang
dari Belanda pada tahun 1835. Waktu itu, kelinci sudah jadi ternak hias.
Di Indonesia, peternakan kelinci dibagi dua yaitu peternakan daging dan hias.

1. Masa hidup: 5 - 10 tahun


2. Masa produksi: 1 - 3 tahun
3. Masa bunting : 28-35 hari (rata-rata 29 - 31 hari)
4. Masa penyapihan : 6-8 minggu
5. Umur dewasa: 4-10 bulan
6. Umur dikawinkan: 6-12 bulan
7. Masa perkawinan setelah beranak (calving interval): 1 minggu setelah
Anak disapih.
8. Siklus kelamin : Poliestrus dalam setahun bisa 5 kali bunting
9. Siklus berahi: Sekitar 2 minggu
10. Periode estrus : 11 - 15 hari
11. Ovulasi: Terjadi pada hari kawin (9 - 13 jam kemudian)
12. Fertilitas: 1 - 2 jam sesudah kawin
13. Jumlah kelahiran: 4- 10 ekor (rata-rata 6 - 8)
14. Volume darah: 40 ml/kg berat badan
15. Bobot dewasa: Sangat bervariasi, tergantung pada ras, jenis kelamin, dan
faktor pemeliharaan.

III. TUJUAN PERCOBAAN


Untuk melakukan uji ketersediaan hayti dan uji farmakokinetik dasar dari
sulfadiazin dan vitamin B12 dala bentuk sediaan tablet dan sediaan injeksi
intravenous dengan menggunakan data konsentrasi obat dalam darah.

IV. PRINSIP PERCOBAAN


4.1. Sulfonamide bila ditambahkan natrium nitrit akan membentuk garam
diazonium. Kelebihan natrium nitrit akan dinetralisir dengan ammonium
sulfamat dan dengan penambahan N(-1 naftil)-etlendiamin HCl akan

7
terbentuk senyawa berwarna yang akan mengabsorbsi cahaya dari
spektrofotometer visible sehingga dapat ditentukan kadarnya.
4.2. Kadar Vitamin B12 dapat ditentukan dengan spektrofotometri ultra-violet
pada panjang gelombang lebih kurang 278 nm ± 1 nm, 361 nm ± 1 nm dan
550 nm ± 2 nm (Depkes, 1995).

8
V. METODOLOGI PENELITAN
5.1. Alat - Alat
 Spektrofotometer

 Neraca Hewan Centrifuge

 Neraca Listrik Vortex Homogenizer

9
 Dissolution Tester

 Beaker Glass Erlenmeyer

 Labu Takar Gelas Ukur

 Pipet 1 ml, 2 ml, 5 ml, 10 ml


 Tabung Reaksi 5 ml, 10, 15 ml
 Spuit 1 ml, 2 ml, spuit 5 ml

10
 Pipa kapiler terawatt heparin
 Plastik pembuka mulut
 Box untuk pengambilan darah kelinci

5.2. Bahan – bahan


5.2.1. Pemberian Sulfadiazin
 Kelinci

 Sulfamerazin (tablet dan sediaan injeksi)


 Asam TrikloroAsetat (TCA) 10%
 Reagen Bratton-Marshall (0.5% N-(1 Naftil)-etilendiamin HCl))
 Larutan Natrium EDTA
 Natrium Nitrit 0.5%
 Ammonium sulfamat 0.5%
 Alkohol 70%
 Vaselin
5.2.2. Pemberian Vitamin B12
 Kelinci
 Larutan sediaan oral vitamin B12
 Sediaan Injeksi Vitamin B12
 Aqua dest
 Alkohol 70%
 Vaselin

11
5.3. Pembuatan Pereaksi
1. Pembuatan Asam Trikloroasetat 10%
Ditimbang Asam trikloroasetat sebanyak 100 gram dilarutkan ke dalam
air, lalu dicukupkan hingga 1000 mL.
2. Pembuatan Ammonium Sulfamat
Ditimbang Ammonium Sulfamat sebanyak 2.5 gram dilarutkan ke dalam
air, lalu dicukupkan hingga 500 mL.
3. Pembuatan Natrium Nitrit 0.5%
Ditimbang Natrium Nitrit sebanyak 500 mg dilarutkan ke dalam air, lalu
dicukupkan hingga 100 mL (larutan ini dibuat baru).
4. Pembuatan Suspensi Sulfadiazin 10%
Ditimbang CMC sebanyak 0.125 gram, ditaburkan ke dalam cawan
porselin yang berisi aqua dest panas sebanyak 1/3 bagian air tersedia,
didiamkan selama 30 menit diaduk sampai diperoleh massa yang
homogen. Ditimbang Sulfamerazin sebanyak 2.5 gram digerus dalam
lumping sampai halus ditambahkan mucilage sedikit demi sedikit sambil
digerus sampai homogen, ditambahkan sisa aquadest sampai 25 ml
digerus kembali sampai homogen.
5. Pembuatan Larutan Induk sulfadiazin Baku
Sulfadiazin baku sebanyak 250 mg ditimbang dengan seksama, lalu
dilarutkan dengan sedikit asam encer, kemudian dicukupkan dengan air
hingga 1000 ml. Diperoleh larutan induk baku dengan konsentrasi 250
mcg/ml.
6. Pembuatan Kurva Kalibrasi
 Dari larutan induk baku diambil 2, 4, 8, 12,20, dan 25 ml. masing –
masing larutan tersebut dilarutkan ke dalam 100 ml aquadest. Ini akan
menghasilkan larutan-larutan dengan konsentrasi 5, 10, 20, 30, 50, dan
62,5 mcg/ml.
 Dari setiap larutan tersebut diambil 0.5 ml dan dimasukkan ke dalam
4.5 ml asam trikloroasetat, lalu dihomogenkan dengan menggunakan
alat pencampur vortex.

12
 Diambil 3 ml dari cairan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
tabung reaksi dan ditambahkan satu tetes larutan natrium nitrit 0.5%
dan dihomogenkan, biarkan selama tiga menit.
 Lalu ditambahkan satu ml larutan ammonium sulfamat 0.5% dan
dihomogenkan, dibiarkan selama dua menit kemudian ditambahkan
larutan Reagen Bratton-Marshall sebanyak 2 ml dan dihomogenkan.
Larutan tersebut akan berwarna ungu.
 Serapannya diukur dengan spectrometer visible pada panjang
gelombang maksimum 540 nm.

5.4. Pemberian Secara Oral


 Digunakan satu ekor kelinci;
 Ditimbang berat badan kelinci;
 Dihitung berat/volume sulfadiazin dan vitamin B12 yang diperlukan;
 Diberikan secara oral (suspensi dari tablet sulfamerazine dan vitamin B12)
kepada kelinci dengan menggunakan plastic pembuka mulut dan sonde
oral (alat yang sesuai);
 Diambil darah kelinci lebih kurang 0.5 ml melalui vena telinga marginal
pada waktu 0, 5, 10, 20, 30, 60, 90, 120, 150, dan 180 menit setelah
pemberian sulfamerazin. Sampel darah pada waktu 0 digunakan sebagai
blanko.
 Analisis konsentrasi sulfamerazin bebas dalam semua sampel darah
dengan metode Bratton – Marshall dengan spektrofotometri visible serta
konsentrasi vitamin B12 dalam semua sampel darah dengan
spektrofotometri ultraviolet.

5.5. Pemberian Secara Intra-Muskular


 Digunakan satu ekor kelinci;
 Ditimbang berat badan kelinci;
 Dihitung berat/ volume sulfadiazin dan vitamin B12 yang diperlukan;
 Diberikan secara intramuscular ke paha atas kaki belakang kelinci;

13
 Diambil darah lebih kurang 0.5 ml melalui vena telinga marginal seperti
pada percobaan oral;
 Analisis konsentrasi Sulfadiazin bebas dalam semua sampel darah dengan
metode Bratton – Marshall dengan spektrofotometri visible serta
konsentrasi vitamin B12 dalam semua sampel darah dengan
spektrofotometri ultraviolet.

5.6. Cara Pengambilan Darah

Vena Marginalis

Vena Centralis

 Dibersihkan/dicukur rambut telinga kelinci, kemudian diolesi vaselin putih


secukupnya;
 Bocorkan vena telinga marginal kelinci dengan spuit yang berisi sedikit
larutan Na EDTA dan diambil darah sebanyak 0.5 ml;

5.7. Analisis Sampel Dalam Darah


5.7.1. Analisis Sulfadiazin Dalam Darah
 0.5 ml sampel darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi
4.5 ml larutan asam trikloroasetat 10%. Homogenkan campuran tersebut
dengan alat vortex. Endapkan campuran dengan menggunakan sentrifugasi
pada kecepatan 2000 rpm selama 10 menit;
 Ambil 3,0 ml cairan supernatant yang jernih, masukkan kedalam tabung
reaksi, tambahkan 1 tetes NaNO2 0,5%, homogenkan dan diamkan selama
3 menit.

14
 Tambahkan 1 ml larutan ammonium sulfamat 0,5%, homogankan
campuran dan diamkan selama 2 menit.
 Tambahkan 2 ml Bratton marshal.
 Setelah dihomogenkan, ukur absorben campuran dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 540 nm. Sampel darah yang di ambil pada waktu
0 dan telah dirawatka seperti pada sampel darah yang lain digunakan
sebagai blanko.
5.7.2. Analisis Vitamin B-12 Dalam Darah
 0.5 ml sampel darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi
4.5 ml larutan asam trikloroasetat 10%.
 Homogenkan campuran tersebut dengan alat vortex. Endapkan campuran
dengan menggunakan sentrifugasi pada kecepatan 2000 rpm selama 10
menit;
 Ambil 3,0 ml cairan supernatant yang jernih, masukkan kedalam tabung
reaksi,
 Setelah dihomogenkan, ukur absorben campuran dengan spektrofotometer
ultraviolet. Sampel darah yang di ambil pada waktu 0 dan telah dirawatkan
seperti pada sampel darah yang lain digunakan sebagai blanko.

5.8. Pembuatan Kurva Kalibrasi


 Larutkan 250 mg sulfadiazin dalam 1000 ml air suling
 Ambil 2, 4, 8, 12, 20 da 30 ml larutan tersebut dan diencerkan sampai
100ml dengan air suling. Ini berarti konsentrasi larutan kalibrasi adalah 5,
10, 20, 30, 50 dan 75 mcg/ml
 Ambil 0,5 ml dari setiap larutan kalibrasi dan reaksikan dengan prosedur
sepeti yang tertera pada analisis sulfadiazin bebas dalam darah.

5.9. Metode Disolusi


5.9.1. Pembuatan medium Disolusi
 Diukur Aam klorida 0,2 M sebanyak 425 ml dengan gelas ukur 500 l
 Dimasukkan kedalam labu ukur 1000 ml

15
 Ditambahkan 250 ml natrium klorida 0,2 M dan dicukupkan dengan
aquades sampai garis tanda.
 Diukur PH larutan 1,2 dengan menggunakan Ph meter stick.
5.9.2. Cara Kerja
 Panaskan medium disolusi hingga suhu 37oC sebanyak 900 ml
 Masukkan medium disolusi tersebut kedalam tabung disolusi alat
Dissolution tester.
 Atur putaran alat sesuai rpm yang diinginkan
 Masukkan sediaan oban yang akan didisolusi pada keranjang alat
 Hidupkan alat dengan menekan tombol bersamaan dengan menekan
stopwatch
 Pipet cairan setiap waktu internal yang diinginkan, mulai dari menit 5, 10,
15, 20, 25, 30, 45, 60 …. Sebanyak 5 ml
 Tambahkan medium disoluusi sebanyak cairan yang dipipet yaitu 5 ml
 Ukur serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
maksimum.

16
FLOWSHEET SULFADIAZIN

0.5 ml sampel darah

+ 4.5 ml asam trikloroasetat

Dihomogenkan Vortex

Diendapkan Centrifuge 2000 rpm, 10 menit

3.0 ml cairan supernatant jernih

1 tetes natrium nitrit 0.5% Dihomogenkan dan didiamkan 3 menit

1 ml ammonium sulfamat 0.5% Dihomogenkan dan didiamkan selama 2 menit

2 ml larutan Bratton-Marshall

Spektrofotometer Diukur panjang gelombang 540 nm

17
FLOWSHEET VITAMIN B12

0.5 ml sampel Darah

+ 4.5 ml asam trikloroasetat 10%

Dihomogenkan VORTEX

Diendapkan Sentrifuge 2000 rpm, 10 menit

3.0 ml cairan supernatant jernih

Spektrofotometri Diukur absorbansinya

18
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Depkes RI.
Hanafiah, J.N. 1993. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan edisi IV. Jakarta:
EGC.
Ganjar, I.G. dan Abdu Rohman. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tjay, T.H. dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting edisi kelima. Jakarta:
Gramedia.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI. 2007.
Farmakologi dan Terapi edisi lima. Jakarta: Gaya Baru.
Shargel, L dan Andrew, B. C. YU. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan edisi kedua. Surabaya: Erlangga.
http://de.wikipedia.org/wiki/Sulfamerazin
http://id.wikipedia.org/wiki/Kelinci
http://unhi_ongol.blocspot.com_2012_02_kemoteurapetika_sulfonamida.html.

19

Anda mungkin juga menyukai