TOPIK
Pengaruh bentuk dan rute pemberian sediaan terhadap ketersediaan hayati
suatu obat serta penentuan parameter-parameter farmakokinetik.
1
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan
kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Oleh karena
bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapeutik, aktivitas klinik, dan
aktivitas toksik obat, maka mempelajari biofarmasetik menjadi sangat penting.
Biofarmasetik bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke
sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik
tertentu (Shargel, 2005).
Sediaan atau produk yang diberikan secara ekstravaskuler akan mengalami
suatu peristiwa liberas dan disolusi sebelum diabsorbsi, sedangkan pemberian
secara intravaskuler tidak mengalami peristiwa absorbsi, liberasi dan disolusi,
karena obat aktif akan segera berada dalam sirkulasi sistemik. Apabila suatu obat
diberikan kepada manusia atau hewan akan terjadi proses absorbsi, distribusi,
biotransformasi, dan eliminasi. Secara bersamaan maka kadar obat akan berubah
menurut waktu, demikian juga kadar obat dalam biofasa. Hal ini mempunyai
akibat dan efek atau intensitas farmakologinya juga berubah. Dengan perkataan
lain perubahan (time course) kadar obat dalam plasma akan mempengaruhi time
course kerja obat (Shargel, 2005).
Ketersediaan hayati adalah besar laju bahan aktif yang dapat mencapai sirkulasi
sistemik dari bentuk sediaannya pada tempat pemberian. Pengukuran ketersediaan
hayati dilakukan secara invivodan berhubungan erat dengan absorbsi obat. Kadar
obat dalam plasma dan efek terapetik umumnya merupakan kolerasi yang baik.
Ketersediaan hayati dapat digambarkan dengan kurva kadar obat dalam darah
terhadap waktu yang sekaligus memberikan informasi tentang permulaan kerja,
intensitas atau lamanya obat berada dalam konsentrasi terapi atau duration of
action.
Parameter-parameter ketersediaan hayati
a. Konsentrasi puncak atau (Cp)
Konsentrasi puncak adalah konsentrasi maksimum obat di dalam darah
setelah pemberiaan obat secara ekstravaskuler. untuk beberapa obat diperoleh
suata hungan antara efek farmakologi dan konsentrasi obat didalam darah.
Konsentrasi puncak memberi petunjuk bahwa obat cukup di absorpsi secara
2
sistemik untuk memberi respon terapetik. Selain itu konsentrasi puncak juga
memberikan petunjuk kemungkinan adanya kadar toksik obat.
b. Waktu puncak (Tp)
Waktu puncak adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi
maksimum dalam darah setelah pemberian obat. Pada Tp absorpsi puncak adalah
terbesar dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasinya. Umumnya absorpsi
masih berjalansetelah Tp tercapai, tetapi dengan laju yang lebih lambat. Jika
perbandingan produk obat, Tp dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
memperkirakan laju absorpsi. Harga Tp menjadi lebih kecil bila waktu yang
diperlukan untuk mencapai konsentrasi puncak lebih kecil, yang berarti laju
absorbsinya libih cepat.
c. Luas daerah dibawah kurva (LDDK)
Luas daerah dibawah kurva dalah suatu ukuran dari jumlah ketersediaan
hayati suatu obat yang mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai
sirkulasi sistemik. LDDK dapat diukur dengan suatu prosedur integrasi numerik,
metode rumus trapesium atau secara langsung dengan metode planimeter.
Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau
s e n ya w a o b a t d a r i s e d i a a n p a d a t k e d a l a m s u a t u m e d i u m
tertentu. Uji disolusi berguna untuk menge tahui seberapa
b a n ya k o b a t ya n g m e l a r u t dalam medium asam atau basa (lambung dan
usus halus) (Ansel, 1989).
Laju disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk
padat menjaditerlarut dalam medianya setiap waktu tertentu. Jadi disolusi
menggambarkankecepatan obat larut dalam media disolusi.Kecepatan disolusi
adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknyasuatu zat terlarut dalam pelarut
tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubunganyang umum menggambarkan
proses disolusi zat padat telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney
dalam bentuk Suatu hubungan yang umum menggambarkan proses disolusi
zat padat telah dikembangkanoleh Noyes dan Whitney (Astuti,2008)
Spektrofotometri
3
Spektrofotometri adalah ilmu yang mempelajari tentang penggunaan
spektrofotometer. Spektriofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrofotometer
dan fotometer. Spektofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur
energi secara relative jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau
diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Spektrofotometer
menghasilkan sinar dari spectrum dengan panjang gelombang tertentu, dan
fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang
diabsorpsi.
Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik
yang memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380
nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen
spektrofotometer. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang
4
cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis
lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif.
5
umumnya sukar larut dalam air , tetapi garam natriumnya mudah larut dala air.
Sulfamerazin merupakan derivate metil dengan khasiat yang sama dengan
sulfadiazine. Tetapi persentase pengikatan pada proteinnya lebih tinggi dengan
rata-rata 70%, plasma t1/2 nya panjang yaitu di atas 20 jam. Dosis yang diberikan
adalah 4 kali sehari 1 gram.
Vitamin B12 adalah nama mum untuk sejumlah senyawa yang memiliki
daya biologis dari sianokobalamin. Di alam dan dalam tubuh vitamin B12 terdapat
terutama sebagai hidroksokobalamin dan adenosylkobalamin dan sedikit sebagai
metilkobalamin. Semua zat ini udah larut dalam air. Secara kimiawi, vitamin B12
memiliki struktur yang mirip porfirin dengan 8 cincin termasuk 4 cincin pyrrol
yang saling terikat dengan atom kobalt di pusatnya. Pada atom Co ini terikat
gugusan –CN, -OH, dan –CH3 pada masing-masing siano-, hidrokso-, dan
metilkobalamin. Vitamin B12 terdapat dalam makanan hewani sebagai bentuk
suatu kompleks protein (Tjay,2002).
Fungsi sianokobalamin sebagai ko-enzim pada sintesa asam-asam inti
(nukleat, DNA/RNA), juga pada pembelahan sel yang terutama mempengaruhi
jaringan yang tumbuh pesat, misalnya sistem haemopoietik, yang sangat peka
terhadap kekurangan vitamin B12 dan folat (tjay,2002).
Resorpsinya sangat rumit. Dalam lambung vitamin ini diikat pada suatu
protein menjadi kompleks yang dipecah lagi oleh enzim pancreas. Untuk transport
dan absorpsi yang sempurna vitamin B12 perlu diikat pada intrinsic faktor (Castle,
1953).
Dosis: pada defisiensi i.m 0.5 – 1 mg semingu, pemeliharaan 1 mg setiap 2
bulan. Pada gejala neurologi 1 -2 kali seminggu 0.5 – 1 mg, pemeliharaan 1 mg
sebulan. Oral: 2 – 3 kali sehari 1 mg, profilaksis dalam preparat multivitamin 1 –
10 mcg/hari (tjay,2002).
KELINCI
6
persilangan luar antara Angora dengan ras lainnya. Namun di kalangan peternak
kelinci hias, hasil persilangan itu disebut sebagai Lyon atau Angora jadi-jadian.
Dari catatan sejarah, kelinci pertama kali dibawa ke tanah Jawa oleh orang-orang
dari Belanda pada tahun 1835. Waktu itu, kelinci sudah jadi ternak hias.
Di Indonesia, peternakan kelinci dibagi dua yaitu peternakan daging dan hias.
7
terbentuk senyawa berwarna yang akan mengabsorbsi cahaya dari
spektrofotometer visible sehingga dapat ditentukan kadarnya.
4.2. Kadar Vitamin B12 dapat ditentukan dengan spektrofotometri ultra-violet
pada panjang gelombang lebih kurang 278 nm ± 1 nm, 361 nm ± 1 nm dan
550 nm ± 2 nm (Depkes, 1995).
8
V. METODOLOGI PENELITAN
5.1. Alat - Alat
Spektrofotometer
9
Dissolution Tester
10
Pipa kapiler terawatt heparin
Plastik pembuka mulut
Box untuk pengambilan darah kelinci
11
5.3. Pembuatan Pereaksi
1. Pembuatan Asam Trikloroasetat 10%
Ditimbang Asam trikloroasetat sebanyak 100 gram dilarutkan ke dalam
air, lalu dicukupkan hingga 1000 mL.
2. Pembuatan Ammonium Sulfamat
Ditimbang Ammonium Sulfamat sebanyak 2.5 gram dilarutkan ke dalam
air, lalu dicukupkan hingga 500 mL.
3. Pembuatan Natrium Nitrit 0.5%
Ditimbang Natrium Nitrit sebanyak 500 mg dilarutkan ke dalam air, lalu
dicukupkan hingga 100 mL (larutan ini dibuat baru).
4. Pembuatan Suspensi Sulfadiazin 10%
Ditimbang CMC sebanyak 0.125 gram, ditaburkan ke dalam cawan
porselin yang berisi aqua dest panas sebanyak 1/3 bagian air tersedia,
didiamkan selama 30 menit diaduk sampai diperoleh massa yang
homogen. Ditimbang Sulfamerazin sebanyak 2.5 gram digerus dalam
lumping sampai halus ditambahkan mucilage sedikit demi sedikit sambil
digerus sampai homogen, ditambahkan sisa aquadest sampai 25 ml
digerus kembali sampai homogen.
5. Pembuatan Larutan Induk sulfadiazin Baku
Sulfadiazin baku sebanyak 250 mg ditimbang dengan seksama, lalu
dilarutkan dengan sedikit asam encer, kemudian dicukupkan dengan air
hingga 1000 ml. Diperoleh larutan induk baku dengan konsentrasi 250
mcg/ml.
6. Pembuatan Kurva Kalibrasi
Dari larutan induk baku diambil 2, 4, 8, 12,20, dan 25 ml. masing –
masing larutan tersebut dilarutkan ke dalam 100 ml aquadest. Ini akan
menghasilkan larutan-larutan dengan konsentrasi 5, 10, 20, 30, 50, dan
62,5 mcg/ml.
Dari setiap larutan tersebut diambil 0.5 ml dan dimasukkan ke dalam
4.5 ml asam trikloroasetat, lalu dihomogenkan dengan menggunakan
alat pencampur vortex.
12
Diambil 3 ml dari cairan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
tabung reaksi dan ditambahkan satu tetes larutan natrium nitrit 0.5%
dan dihomogenkan, biarkan selama tiga menit.
Lalu ditambahkan satu ml larutan ammonium sulfamat 0.5% dan
dihomogenkan, dibiarkan selama dua menit kemudian ditambahkan
larutan Reagen Bratton-Marshall sebanyak 2 ml dan dihomogenkan.
Larutan tersebut akan berwarna ungu.
Serapannya diukur dengan spectrometer visible pada panjang
gelombang maksimum 540 nm.
13
Diambil darah lebih kurang 0.5 ml melalui vena telinga marginal seperti
pada percobaan oral;
Analisis konsentrasi Sulfadiazin bebas dalam semua sampel darah dengan
metode Bratton – Marshall dengan spektrofotometri visible serta
konsentrasi vitamin B12 dalam semua sampel darah dengan
spektrofotometri ultraviolet.
Vena Marginalis
Vena Centralis
14
Tambahkan 1 ml larutan ammonium sulfamat 0,5%, homogankan
campuran dan diamkan selama 2 menit.
Tambahkan 2 ml Bratton marshal.
Setelah dihomogenkan, ukur absorben campuran dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 540 nm. Sampel darah yang di ambil pada waktu
0 dan telah dirawatka seperti pada sampel darah yang lain digunakan
sebagai blanko.
5.7.2. Analisis Vitamin B-12 Dalam Darah
0.5 ml sampel darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi
4.5 ml larutan asam trikloroasetat 10%.
Homogenkan campuran tersebut dengan alat vortex. Endapkan campuran
dengan menggunakan sentrifugasi pada kecepatan 2000 rpm selama 10
menit;
Ambil 3,0 ml cairan supernatant yang jernih, masukkan kedalam tabung
reaksi,
Setelah dihomogenkan, ukur absorben campuran dengan spektrofotometer
ultraviolet. Sampel darah yang di ambil pada waktu 0 dan telah dirawatkan
seperti pada sampel darah yang lain digunakan sebagai blanko.
15
Ditambahkan 250 ml natrium klorida 0,2 M dan dicukupkan dengan
aquades sampai garis tanda.
Diukur PH larutan 1,2 dengan menggunakan Ph meter stick.
5.9.2. Cara Kerja
Panaskan medium disolusi hingga suhu 37oC sebanyak 900 ml
Masukkan medium disolusi tersebut kedalam tabung disolusi alat
Dissolution tester.
Atur putaran alat sesuai rpm yang diinginkan
Masukkan sediaan oban yang akan didisolusi pada keranjang alat
Hidupkan alat dengan menekan tombol bersamaan dengan menekan
stopwatch
Pipet cairan setiap waktu internal yang diinginkan, mulai dari menit 5, 10,
15, 20, 25, 30, 45, 60 …. Sebanyak 5 ml
Tambahkan medium disoluusi sebanyak cairan yang dipipet yaitu 5 ml
Ukur serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
maksimum.
16
FLOWSHEET SULFADIAZIN
Dihomogenkan Vortex
2 ml larutan Bratton-Marshall
17
FLOWSHEET VITAMIN B12
Dihomogenkan VORTEX
18
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Depkes RI.
Hanafiah, J.N. 1993. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan edisi IV. Jakarta:
EGC.
Ganjar, I.G. dan Abdu Rohman. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tjay, T.H. dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting edisi kelima. Jakarta:
Gramedia.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI. 2007.
Farmakologi dan Terapi edisi lima. Jakarta: Gaya Baru.
Shargel, L dan Andrew, B. C. YU. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan edisi kedua. Surabaya: Erlangga.
http://de.wikipedia.org/wiki/Sulfamerazin
http://id.wikipedia.org/wiki/Kelinci
http://unhi_ongol.blocspot.com_2012_02_kemoteurapetika_sulfonamida.html.
19