Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/320100619

REKOMENDASI PENGELOLAAN LAHAN BERBASIS AGROEKOSISTEM DAN


KESESUAIAN LAHAN

Book · January 2017

CITATIONS READS

0 2,497

4 authors, including:

Yudhistira Nugraha
Indonesian Agency for Agricultural Research and Development
27 PUBLICATIONS   133 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Breeding for submergence tolerance rice for Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Yudhistira Nugraha on 29 September 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


REKOMENDASI PENGELOLAAN LAHAN BERBASIS
5 AGROEKOSISTEM DAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK
PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN PRODUKSI
PADI
1 Lalu M. Zarwazi, 1 Yudhistira Nugraha, 1 Aida F. V. Yuningsih,
dan 2 Sri Rochayati.
1Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Jl. Raya 9 Sukamandi Subang
Email:lmzarwazi@gmail.com.
2 Balai Penelitian Tanah, BBSDLP Komplek Pertanian Cimanggu Bogor

PENDAHULUAN

Padi merupakan komoditas strategis, karena selain sebagai sumber utama bahan
pangan pokok, usahatani padi juga merupakan salah satu penyumbang pertumbuhan
ekonomi pedesaan di Indonesia (Simatupang and Timmer 2008). Tanaman padi disamping
sebagai penyumbang kalori-gizi tertinggi bagi lebih dari 200 jutaan penduduk Indonesia
(Timmer et al. 2010), juga berkaitan ikatan budaya atau emosional-sosial kehidupan
masyarakat Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan (Panuju et al. 2013).
Berdasarkan data Kementan tahun 2016 (http://aplikasi2.pertanian.go.id/sipastra/),
produksi padi dalam kurun waktu 2005-2015 cenderung steady dengan laju pertumbuhan
produksi sekitar 2,3% (Gambar 1). Meskipun secara umum terus meningkat, namun sering
terjadi fluktuasi produksi secara signifikan yang disebabkan adanya pengaruh perubahan
iklim terakit dengan kekeringan, banjir dan serangan hama penyakit (Las et al. 2003; Naylor
et al. 2007; Las et al 2009; Las et al 2013) dan kebijakan pemerintah seperti dukungan
pembiayaan petani, stabilitas harga dan subsidi (Culloch and Timmer 2008; Haryanto et al.
2015). Tantangan lain dalam peningkatan produksi padi adalah kecenderungan penurunan
luas lahan sawah produktif, dimana dalam kurun waktu 20 tahun terjadi penyusutan luasan
sekitar 60.000 hektar dengan laju penyusutan rata-rata -0,39% per tahun (Suherman 2004).
Dengan adanya permintaan beras yang terus bertambah dan untuk mengamankan ketahanan
pangan nasional maka usaha untuk terus meningkatkan produksi beras nasional akan terus
dilakukan.
Secara teknis peningkatan produksi nasional dapat dilakukan dengan intensifikasi
melalui dukungan inovasi dan manajemen input produksi (Fagi et al. 2003). Varietas dan
lingkungan tumbuh memegang peran penting dalam pencapaian hasil masksimum tanaman
padi. Sifat fisiologis dan morfologis spesifik varietas akan memberikan pengaruh yang
berbeda akibat faktor lingkungan dan teknik budidaya selama dalam pertanaman. Potensi
hasil suatu varietas akan terekspresi jika ditanam pada lingkungan yang cocok. Demikan
pula varietas yang toleran terhadap cekaman lingkungan tentunya akan lebih adaptif dan
dapat menekan penurunan hasil perubahan iklim. Berdasarkan hasil pengolahan data dari

79
Lalu Z et al

kaji terap display varietas Balitbangtan dalam kurun waktu 2013-2015, menunjukkan
bahwa varietas unggul baru telah terbukti mampu meningkatkan hasil sekitar 10-30% dari
pada varietas eksisting yang ditanam petani.
Perbaikan pengelolaan sistem input budidaya padi, sebagai contoh Makarim dan Las
(2005) melaporkan teknologi efisiensi input, berorientasi pada produksi rasional dan ramah
lingkungan, PTT dapat meningkatkan hasil 0,7-1,4 t/ha dari 55% lokasi kajian, diikuti oleh
kisaran kenaikkan hasil antara 0,3-0,6 t/ha dari 17% lokasi dan 1,5-1,8 t/ha dari 11% lokasi
pengkajian. Beragamnya hasil tanaman padi sebagai respon varietas dan input teknologi
disebabkan adanya interaksi dengan lingkungan (tanah dan iklim). Oleh karena itu, untuk
mendapatkan respon yang optimal perlu dukungan informasi kesesuaian lahan untuk
pengembangan varietas dan teknologi budidaya.
Usaha lain untuk meningkatkan produksi padi adalah dengan ekstensifkasi dengan
peningkatan indeks pertanaman (IP) dan pembukaan lahan baru. Penambahan luas tanam
pada lahan eksisting dapat dilakukan dengan pembangunan dan perbaikan sistem irigasi dan
drainase. Adapun percetakan lahan baru tentunya ditujukan pada daerah-daerah yang belum
pernah terjamah yang dicirikan dengan kesuburan tanah yang rendah, seperti lahan rawa
dan kering masam (Abdurachman et al. 2008; Mulyani et al. 2016). Lahan tersebut tentunya
memiliki berbagai masalah biofisik. Oleh karena itu, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya
lahan dalam mendukung pengembangan pertanian di masa yang akan datang perlu
dilakukan. Hal tersebut semakin penting dan strategis mengingat bahwa selain
pertimbangan bahwa inovasi pertanian juga punya keterbatasan, sebagian lahan eksisting
mengalami leveling akibat pengelolaan yang sangat intensif, sehingga peluang peningkatan
produktivitasnya semakin terbatas.
75,40
16 69,06 71,28 70,85 80
64,40 66,47 65,76
14 60,33 70
54,15 54,45 57,16
12 60
10 50
8 40
6 30
4 20
2 10
0 -
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Rice productivity (Ton/Ha) Harvested area (M Ha)


Rice production (M Ton)

Gambar 1. Produksi, Produktivitas, dan Luas Panen Padi (Data diolah dari
http://aplikasi2.pertanian.go.id/sipastra/)

80
Agroekosistem Dan Pengelolaan Lahan Komoditas Padi

Untuk mendukung hal tersebut, perlu dilakukan identifikasi secara rinci serta
pemutakhiran dan akurasi data spasial sumberdaya lahan pertanian potensial yang tersedia.
Hasil analisis kondisi sumberdaya genetika, lahan pertanian, termasuk potensi lahan untuk
pengembangan usahatani padi serta strategi mengoptimalkan pemanfaatan lahan untuk
mendukung ketahanan pangan nasional.

Persyaratan tumbuh

Tanaman padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Berdasarkan


ahli sejarah, tanaman padi bisa jadi merupakan tanaman serealia yang lebih tua
dibandingkan tanaman serealia lainnya yang pernah tercatat, dan merupakan tanaman
pangan yang pertama kali dibudidayakan di Asia. Bukti sejarah lainnya berupa fosil bulir
dan sekam padi ditemukan di Hastinapur, Uttar Pradesh, India sekitar 1000-800 SM, dan
penemuan spesimen padi ditemukan di China diperkirakan dari millennium ketiga SM. Para
botanis menyatakan bahwa asal usul padi (genus Oryza) yang dibudidayakan sekarang ini
mungkin berasal dari padi liar, tetapi sangat kecil kemungkinannya. Genus Oryza terdiri
dari 25 spesies tersebar di daerah tropis dan subtropis di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan
Selatan, serta Australia (Zou et al. 2015; Grist 1975).
Tanaman padi tumbuh pada kondisi bilofisik lingkungan yang sangat beragam,
sehingga kadang kala sulit untuk menentukan yang paling cocok untuk pengembangannya.
Namun tanaman padi mempunyai keistimewaan, yaitu mempunyai daya adaptasi yang
lebih luas dan dapat di budidayakan pada hampir semua agroekosietm lahan utama, yaitu
lahan sawah (basah), baik sawah irigasi, maupun tadah hujan (Kasno et al. 2016), lahan
rawa pasang surut dan lebak (Nugraha et al. 2013; Nugraha et al. 2016), serta pada lahan
kering (gogo) (Las et al. 2010). Padi dapat ditanam baik pada musim kemarau dan hujan.
Hasil panen biasanya lebih tinggi di musim kemarau asalkan air irigasi selalu tersedia. Di
musim hujan, walaupun air tersedia melimpah produksi atau hasil panen dapat menurun
karena seringkali drainase tidak berfungsi dengan baik karena curah hujan terlalu tinggi
sehingga menyebabkan proses tanam tertunda atau bibit terendam, bibit yang ditanam pun
terlampau tua, dan penyerbukan kurang efektif. Selain itu, cekaman rendaman/banjir juga
berdampak pada fase pertumbuhan aktif.
Tanaman padi tumbuh di daerah tropis dan subtropis pada 45º LU sampai 45º LS
dengan cuaca/hawa panas dan banyak mengandung uap air (kelembaban tinggi) dengan
curah hujan rata-rata 200 m/bulan atau lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan
yang dikehendaki sekitar 1.500-2.000 mm/tahun dengan ketinggian tempat berkisar antara
0-1.500 m dpl (Surowinoto 1982; Kuenzer and Knauer, 2013). Tanaman padi dapat tumbuh
pada dataran rendah sampai dataran tinggi. Di dataran rendah padi dapat tumbuh pada
ketinggian 0-650 m dpl. dengan temperatur 22,5oC – 26,5oC, sedangkan di dataran tinggi
padi dapat tumbuh baik pada ketinggian antara 650-1.500 m dpl dan membutuhkan

81
Lalu Z et al

temperatur berkisar 18,7oC – 22,5oC . Temperatur sangat mempengaruhi proses pengisian


biji. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang tinggi pada waktu pembungaan akan
mengganggu proses pembuahan yang mengakibatkan gabah menjadi hampa. Hal ini terjadi
akibat tidak membukanya bakal biji. Temperatur yang rendah pada waktu bunting juga
dapat menyebabkan rusaknya pollen dan menunda pembukaan tepung sari (Luh 1991; Cruz
et al. 2013).
Pada dasarnya tanaman padi memerlukan penyinaran matahari penuh tanpa
naungan, walaupun denga rekayasan genetik beberapa diantaranya toleran naungan pada
batas tertentu. Chen (2014) melaporkan bahwa hasil produksi yang tinggi merupakan
respon/pengaruh dari level nitrogen yang tinggi yang hanya terjadi apabila tanaman
menerima cahaya pada level tinggi. Naungan menyebabkan penurunan jumlah bulir per
malai (Wang et al. 2015; Kiyosawa dan Aimi 1959). Sebagian besar varietas unggul baru
padi dengan potensi hasil tinggi memiliki efisiensi yang sangat tinggi dalam mengkonversi
energi cahaya matahari selama periode pematangan. Beberapa ahli menyatakan bahwa
jumlah jam penyinaran matahari yang dibutuhkan oleh tanaman padi sepanjang fase
pertumbuhannya berkisar 1.200 jam. Lamanya penyinaran tersebut bergantung pada
periode pematangan dari masing-masing varietas. Di daerah beriklim temperatur hangat,
tanaman padi dibudidayakan pada musim panas (summer) ketika perbedaan panjang hari
antara siang dan malam hingga mencapai 4 jam, sedangkan di daerah tropis perbedaan
tersebut maksimal hanya sekitar berkisar satu jam. Berdasarkan respon tanaman padi
terhadap panjang hari (photoperiod), varietas padi dikelompokkan menjadi varietas sensitif
dan non sensitif. Varietas yang sensitif terhadap panjang hari akan berbunga ketika panjang
hari mulai berkurang dan ketika itu telah tercapai nilai kritis untuk induksi pembungaan
(Gao et al. 2014; Chandraratna 1952).Varietas non sensitif tidak terpengaruh oleh
perbedaan photoperiod, oleh karena itu varietas tipe ini dapat tumbuh pada berbagai musim.
Angin bermanfaat bagi tanaman dalam proses penyerbukan/persilangan, tetapi
apabila terlalu kencang (dan dalam jangka waktu lama) dapat menurunkan hasil/produksi,
terutama akibat kerebahan dan kerusakan tanaman. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan
bergantung pada tingginya kelembaban dan kecepatan angin. Angin kering dan kencang
dapat mengganggu proses fotosintesis dan menyebarkan penyakit hawar daun pada padi.
Apabila kerusakan terjadi sebelum heading akan berdampak pada berkurangnya jumlah
malai, meningkatkan jumlah bulir hampa dan bulir berwarna cokelat karena tidak terbuahi.
Angin kencang akan sangat merusak utamanya terjadi sewaktu 5 sampai 10 hari setelah
heading karena pada saat itu terjadi peningkatan jumlah endosperma yang gugur (Grist
1975).
Tanah yang baik untuk areal persawahan ialah tanah ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu posisi topografi yang berkaitan dengan kondisi hidrologi, porositas tanah yang
rendah dan tingkat keasaman tanah yang netral, sumber air alam atau irigasi. Tidak semua

82
Agroekosistem Dan Pengelolaan Lahan Komoditas Padi

jenis tanah cocok untuk dijadikan areal persawahan, terutama terkait dengan sifat fisik,
khususnya porositas tanah sehingga terkait dengan penggenangan. Oleh karena itu, jenis
tanah yang sulit menahan air (sangat poros) kurang cocok untuk dijadikan lahan
persawahan. Sebaliknya, tanah yang sulit dilewati air (tanah dengan kandungan lempung
tinggi) cocok untuk dibuat lahan persawahan (Suprayono dan Setyono 1997). Tanah yang
baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang kandungan fraksi pasir,
debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dan pada lapisan tanah atas mempunyai
ketebalan antara 10-30 cm. kandungan air dan udara di dalam pori-pori tanah masing-
masing 25% (AAK 1990). Padi dapat tumbuh baik pada tanah yang ketebalan lapisannya
atasnya antara 18-22 cm dengan pH tanah berkisar antara 4-7 dengan warna tanah coklat
sampai kehitam-hitaman, tanah tersebut gembur.

KARAKTERISTIK DAN RAGAM PADI (VARIETAS DAN


KARAKTERISTIKNYA)

Varietas

Varietas adalah suatu jenis atau sub jenis tanaman dari suatu spesies tanaman yang
memiliki karakteristik tertentu seperti bentuk, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, dan biji,
yang dapat membedakannya dengan jenis yang lain, bersifat baka, apabila diperbanyak
tidak mengalami perubahan. Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi
yang penting untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani padi yang muncul
akibat persilangan (crossing) antar beberapa sumber genetik padi. Pada umumnya varietas
unggul dihasilkan melalui teknologi pemuliaan. Saat ini tersedia lebih dari 250 varietas
unggul yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi wilayah (agroekosistem) dan keinginan
pasar. Varietas lokal adalah varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun temurun
oleh petani serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai negara.
Varietas unggul merupakan galur hasil pemuliaan yang mempunyai satu atau lebih
keunggulan khusus seperti potensi hasil tinggi, ketahanan terhadap hama, penyakit, dan
toleran terhadap cekaman lingkungan, mutu produk, berumur sedang-dalam, dan atau sifat-
sifat lainnya, serta telah dilepas pemerintah. Berdasarkan pendekatan dan teknologi
pemuliaan, khususnya dalam proses penyilangan, secara umum varietas padi dapat
dibedakan atas varietas inbrida dan varietas hibrida.
Varietas Inbrida adalah varietas yang berasal dari galur murni yang telah memiliki
keseragaman genetik, sedangkan varietas hibrida adalah varietas yang berasal dari
persilangan dua tetua yang berbeda. Secara umum, sistem pertanaman padi bisa
dikelompokkan menurut tipe lahan atau agroekeosistem penanaman seperti, lahan sawah
irigasi, lahan tadah hujan, lahan rawa dan lahan kering (gogo).

83
Lalu Z et al

Penelitian padi menjadi salah satu pilar penting dalam program peningkatan
ketahanan pangan. Penelitian dalam rangka perakitan varietas unggul baru padi saat ini
relevan dengan roadmap penelitian dalam rangka antisipasi perubahan iklim global baik di
masa kini maupun di masa mendatang. Dampak perubahan iklim global terhadap bidang
pertanian dapat meliputi peningkatan munculnya hama dan penyakit, fluktuasi ketersediaan
air, salinitas, perubahan luas areal tanam, penurunan produksi dan produktivitas. Salah satu
manajemen pertanian yang direkomendasikan dalam menghadapi perubahan iklim global
yaitu dengan menggunakan varietas toleran/tahan. Bimpong et al. (2011) memaparkan
strategi antisipasi dampak perubahan iklim global melalui perubahan umur semaian untuk
transplanting, pengembangan varietas padi aerobik, pemanfaatan kerabat liar padi untuk
perbaikan ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan kebijakan yang mendukung
peningkatan produksi padi serta komitmen politik yang memihak upaya peningkatan
kualitas pertanian. Mereka juga merekomendasikan perlunya lebih melibatkan ahli iklim
dan ahli GIS (Geographic Information System) dalam pengembangan teknologi padi adaptif
perubahan iklim.

PADI SAWAH IRIGASI

Agroekosistem padi sawah irigasi sampai saat ini merupakan kontributor terbesar
bagi produksi padi di Indonesia. Agroekosistem ini dicirikan lahan dengan petakan
bergalangan dengan fisik tanah yang berlumpur disebabkan pengolahan tanah dengan
dibarengi penggenangan air setinggi 5-10 cm dari mulai bibit hingga menjelang panen.
Selain curah hujan, pengairan disuplai dari sumber air seperti kanal, sungai, waduk dan
lainnya. Pelumpuran dan perataan tanah pada lahan sawah irigasi menyebabkan lahan lebih
homogen dan memudahkan pupuk menjadi larut dan tersedia diserap oleh tanaman padi.
Disamping itu penggenangan dapat mengurangi pertumbuhan gulma berdaun sempit,
sebagai salah satu entry point menyebabkan produktivitas padi lahan sawah irigasi lebih
tinggi dibandingkan dengan pada pada lahan atau agroekosistem lain.
Namun demikian kondisi penggenangan yang terus menerus di lahan irigasi
menyebabkan kondisi lahan menjadi reduktif sehingga beberapa senyawa logam reduksi,
seperti Fe, Mn, dan Cd menjadi lebih tersedia, dan jika dalam konsentrasi berlebih
menyebabkan keracunan bagi tanaman padi (Nugraha et al. 2016). Kelebihan air yang
meyebabkan tanaman padi terendam baik secara keseluruhan maupun sebagian tanaman
dalam jangka waktu lama juga menjadi salah satu penyebab menurunnya produktivitas padi
di lahan irigasi. Beberapa daerah lahan irigasi yang berada dekat bibir pantai juga memiliki
tingkat kegaraman (salinitas yang tinggi).
Kondisi lahan yang produktif dan ditanam secara intensif dan terus menerus dengan
padi juga mendorong munculnya ledakan populasi OPT (organisme penggangu tanaman).
Hama yang sering di temukan di lahan sawah irigasi adalah hama wereng, hama walang

84
Agroekosistem Dan Pengelolaan Lahan Komoditas Padi

sangit, penggerek batang, tikus, dan lain-lain. Penyakit yang sering di temukan di lahan
sawah irigasi adalah hawar daun bakteri, virus tungro padi, blas padi dan bakeri hawar
jingga.

Beberapa contoh varietas unggul padi sawah

Keunggulan/Ketahanan/Toleran Varietas
Umur genjah IR-64, Inpari 1, Inpari 2, Inpari 3, Inpari 10, Inpari 13,
Inpari 12, Inpari 18, Inpari 19
Wereng Coklat Membramo, Barumun, Inpari 13, Inpari 19, Inpari 33
Penyakit hawar daun bakteri Mekongga, Inpari 1, Inpari 2, Inpari 3
Penyakit tungro Tukad Unda, Tukad Balian, Kalimas, Inpari 7, Inpari 8,
dan Inpari 9
Rendaman Inpari 29, Inpari 30
Suhu rendah dataran tinggi Inpari 26, Inpari 27, Inpari 28
Potensi hasil dan mutu tanak baik Ciherang, Inpari 14, Inpari 15, Inpari 16
Penyakit blas Inpari 20, Inpari 21, Inpari 23
Mutu nasi Inpari 23 (aromatik), Inpari 24 (beras merah)
Salinitas Inpari 34, Inpari 35

Varietas unggul yang ditanam di sawah irigasi di cirikan dengan umur genjah (100-
120 hari setelah sebar), tinggi tanaman berkisar antara 100-120 cm, anakan produktif
banyak (10-20 anakan perumpun), disamping itu juga harus memiliki ketahanan terhadap
wereng coklat minimal biotipe 1 dan 2, dan ketahana terhadap BLB minimal patotipe 3.

PADI TADAH HUJAN

Lahan sawah tadah hujan adalah lahan sawah yang sumber air pengairannya hampir
seluruhnya tergantung atau berasal dari curahan hujan. Lahan ini pada umumnya
merupakan “split over” antara lahan sawah irigasi dengan lahan kering yang secara umum
karakteristiknya menyerupai lahan sawah irigasi dan dicirikan adanya pematang sawah,
penggenangan dan pelumpuran (Swastika et al. 2016). Namun demikian, kesuburan lahan
sawah tadah hujan tidak sesubur lahan sawah irigasi. Kendala utama pada lahan sawah
tadah hujan ini adalah ketersediaan air yang sangat tergantung kepada curah hujan, sehingga
lahan mengalami kekeringan pada musim kemarau (curah hujan rendah). Kemudian
lambatnya petani mengadopsi teknologi baru untuk bertanam dua kali setahun, terutama
pada daerah-daerah yang berada pada zona iklim tipe D1 sampai E2. Disamping itu,
rendahnya tingkat produktivitas lahan tadah hujan dikarenakan kondisi tanah yang sering
terdegradasi, tingginya evaporasi, kekeringan, banjir, dan minimnya manajemen air.
Namun usaha pertanian tadah hujan memiliki potensi untuk lebih ditingkatkan
produktivitasnya, antara pengelolaan air hujan dan kelembaban tanah lebih efektif melalui
sistem memanen air saat musim hujan dengan berbagai teknologi dan infrastruktur panen

85
Lalu Z et al

air, seperti damp parid, embung, long storage, dan lain-lain serta penerapan budidaya padi
yang hemat air.
Tanaman padi yang dibudidayakan pada lahan tadah hujan umumnya dilakukan satu
musim per tahun, namun dibeberapa tempat ada yang dua kali sekali dengan sistem
budidaya gogo rancah, yaitu menanam padi dengan cara pengolahan tanah kering dan benih
padi di tanam secara tugal dan walik jerami, yaitu mengolah tanah dengan membalikan
lapisan olah dan ditugal, kemudian pada air mencukupi petakan digenangi sebagaimana
padi sawah.
Masalah utama lahan tadah hujan adalah kekeringan atau sebaliknya di daerah yang
dekat dengan luapan sungai terkadang kebanjiran pada musim penghujan. Kesuburan yang
kurang terutama unsur K dan P menyebabkan pada lahan ini banyak ditemukan serangan
penyakit blas. Hama yang sering menyerang pertanaman padi adalah tikus, wereng coklat,
dan walang sangit.
Varietas yang cocok ditanam di lahan tadah hujan adalah varietas padi yang
memiliki umur genjah dan memiliki ketahanan terhadap beberapa hama dan penyakit utama
yang ditemukan di lahan tadah hujan, diantaranya: Situ Bagendit, Dodokan, Silogongo, Situ
Patenggang Inpari 1, Inpari 10, Inpari 13, Inpari 18, Inpari 19, Inpari 20, Inpari 21, Inpari
22, Inpari 30, Inpari 32, Inpari 33, Inpari 38, Inpari 39, Inpari 40, Inpari 41, Inpari 42, dan
Inpari 43.

PADI RAWA PASANG SURUT

Pengembangan padi pada lahan rawa memerlukan padi dengan spesifikasi tertentu
yang toleran dengan karakteristik lahan rawa yang sangat khas. Karakteristik lahan rawa
pasang surut adalah adanya perbedaan muka air yang di akibatkan oleh pasang (Rumanti et
al, 2016). Berdasarkan tipe luapan air, tipe luapan lahan pasang surut: (1) tipe luapan A bila
lahan selalu terluapi air baik pada waktu pasang besar maupun pasang kecil. Lahan bertipe
luapan A selalu terluapi air pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau; (2)
tipe luapan B bila lahannya hanya terluapi oleh air pasang besar. Lahan bertipe luapan B
hanya terluapi air pasang pada musim hujan saja; (3) lahan tidak terluapi air pasang, baik
pasang besar maupun pasang kecil, tetapi permukaan air tanah kurang dari 30 cm dari
permukaan tanah. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka
air tanahnya kurang dari 50 cm; (4) tipe luapan D bila lahannya tidak terluapi oleh air pasang
baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi permukaan air tanahnya berada pada
kedalaman lebih dari 30 cm dari permukaan tanah, yang sangat khas antara lain
rendaman/genangan air (Nugraha et al 2013a) serta kandungan aluminium (Al) serta zat
besi (Fe) yang dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(Nugraha dan Rumanti 2017).

86
Agroekosistem Dan Pengelolaan Lahan Komoditas Padi

Mengingat posisi lahan pasang surut dekat dengan pantai potensi kebanjiran dan
salinitas juga menjadi masalah, terutama pada lahan pasang surut tipe A dan B. Disamping
itu masalah organisme penggangu menjadi penghambat produksi padi di lahan pasang surut
diantaranya, wereng coklat, tikus, penyakit blas padi, hawar daun bakteri, dan lain-lain.
Pada tipe luapan C padi dibudidayakan satu musim dalam setahun dan masalah kekeringan
menjadi faktor penghambat prduksi di tipe luapan ini. Beberapa varietas padi rawa yang
telah dilepas ke masyarakat antara lain beberapa varietas Inpara (inbrida padi rawa) seperti
Batanghari, Siak Raya, Dendang, Margasari, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, Inpara 6, Inpara
7, Inpara 8, dan Inpara 9.

PADI RAWA LEBAK

Rawa lebak adalah dataran rendah di sekitar sungai yang sebagian musim, terutama
musim hujan tergenang oleh luapan air sungai dan air hujan. Lamanya genangan sangat
tergentung pada pola hujan dan atau tinggi permukaan sungai. Berdasarkan tinggi dan lama
genangan airnya, lahan rawa lebak dikelompokkan menjadi 3, yaitu: (1) lahan lebak
dangkal adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya < 50 cm selama kurang dari 3
bulan; (2) lahan lebak tengahan adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya 50-100 cm
selama 3-6 bulan; (3) dan lahan lebak dalam adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya
>100 cm selama lebih dari 6 bulan (Nugraha et al. 2013b).
Lahan lebak dangkal umumnya mempunyai kesuburan tanah yang lebih baik di
bandingkan dengan lahan rawa pasang surut, karena adanya pengkayaan dari endapan
lumpur yang terbawa luapan air sungai. Lahan lebak dengan karakteristik tanah yang
demikian memerlukan teknologi pengelolaan dan pemilihan jenis tanaman atau varietas
tertentu agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang memadai.
Umumnya padi yang tumbuh baik di lahan lebak maka akan cocok ditanam di lahan pasang
surut. Beberapa varietas padi rawa yang cocok di tanam di lahan rawa lebak antara lain
beberapa varietas Inpara seperti Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, Inpara 6, Inpara 7, Inpara 8,
dan Inpara 9.

PADI GOGO

Padi gogo adalah padi yang ditanam pada lahan kering tanpa penggenangan air,
sehingga di lahan tidak ada pematang. Padi gogo ditanam pada dataran rendah sampai
dataran tinggi < 1000m di lereng-lereng bukit. Padi ini lebih toleran terhadap kekeringan
karena memiliki perakaran yang lebih dalam dibandingkan dengan padi sawah. Pada jenis
padi gogo yang murni, pembentukan jaringan aerinkhima lebih sedikit, sehingga jika
ditanam di kondisi sawah (basah/tergenang) pertumbuhannya akan terhambat,
pembentukan anakan lebih sedikit namun demikian kebanyakan varietas unggul padi gogo

87
Lalu Z et al

yang ada saat ini dapat dibudidayakan pada kondisi kering maupun sawah atau disebut juga
sebagai varietas amphibi.
Selain air, permasalahan utama lahan kering tropis yang menyebabkan produktivitas
padi gogo sangat rendah antara lain adalah sifat fisik dan kimia/kesuburan tanah. Kendala
tersebut antara lain keracunan Aluminium, kandungan bahan organik rendah, kandungan
hara terutama P sangat rendah. Kurang suburnya lahan ini memicu munculnya penyakit blas
padi.
Varietas unggul memiliki ciri-ciri adalah mampu menyesuaikan diri dengan iklim
dan jenis tanah setempat, cita rasa nasi disukai dan memiliki harga jual tinggi di pasar lokal,
mempunyai potensi hasil tinggi, mempunyai ketahanan terhadap hama dan penyakit
tertentu, lebih tahan rebah. Contoh varietas unggul adalah Situ Bagendit, Towuti, Danau
Gaung, Situ Patenggang, Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, Inpago
10, dan Inpago 11. Selain itu, beberapa varietas unggul padi sawah juga bisa/cocok ditanam
sebagai padi gogo, seperti; Situbagendit, Dodokan, Cibogo, Inpari 18, dan Inpari 19.

BEBERAPA TIPE /VARIETAS EKSLUSIF/INOVATIF

Dalam rangka menerobos leveling of produktivitas padi, terutama terkait dengan


peningkatan daya hasil varietas dan untuk menghadapi berbagai cekaman biofisik dan
tantangan global, juga dikembangkan berbagai varietas unggul padi yang bersifat ekslusif,
terutama varietas padi hibrida dan padi tipe baru dan atau kombinasi keduanya.

1. Padi Hibrida

Padi hibrida merupakan padi hasil persilangan F1 yang berasal dari dua tetua padi
Inbrida. Padi hibrida lebih unggul dibandingkan dengan padi Inbrida Karena adanya efek
heterosis atau keunggulan vigoritas hibrida. Efek ini hanya akan muncul di keturunan F1
dan tidak akan muncul kembali pada generasi filial berikutnya (F2) dan seterusnya. Oleh
karena itu petani selalu menanam benih hibrida agar mendapat keuntungan dari efek
heterosis tersebut (Nugraha et al. 2010).
Karena padi menyerbuk sendiri dan berumah satu, maka untuk memproduksi hibrida
secara masal diperlukan sistem mandul jantan yang efektif. Teknologi mandul jantan dapat
dibuat dengan menggunakan agen kimia, dengan menggunakan sitoplasmik mandul jantan
(CMS=Cytoplasmic Male Sterile Line), dan dengan mandul jantan karena pengaruh panjang
hari dan suhu (PTGMS= Photoperiode Temperature Genic Male Sterile). Penggunaan agen
kimia seperti dapat memandulkan bunga jantan, namun teknologi ini kurang stabil sehingga
tidak bisa dipakai untuk produksi benih padi dalam skala luas. Padi hibrida yang banyak
beredar sekarang ini berasal dari sistem hibrida tiga galur, dimana dalam memproduksi

88
Agroekosistem Dan Pengelolaan Lahan Komoditas Padi

benih melibatkan galur mandul jantan sitoplasmik (CMS) atau galur mandul jantan (a),
galur pelestari (b), dan galur pemulih kesuburan (restorer, R). Sistem produksi benih yang
lebih maju yaitu melibatkan dua galur, yaitu melibatkan mandul jantan yang dipengaruhi
temperature tinggi dan panjang hari (PTGMS) yang panjang serta galur pemulih
kesuburannya. Sistem ini banyak dikembangkan di China, terutama untuk membentuk padi
hibrida super (Chen et al. 2007)
Keunggulan vigoritas padi hibrida terhadap padi inbrida diantaranya pada vigor
vegetatif, perakaran, bobot biomassa, bobot seribu butir, jumlah biji per malai, hasil gabah,
ketahanan terhadap hama dan penyakit (Li and Yuan, 2010, Ashari dan Rusastra, 2014).
Rata-rata keunggulan hasil padi hibrida dibandingkan dengan padi inbrida di Indonesia
sekitar 1-2 ton/ha (Satoto et al. 2010).
Beberapa varietas padi yang telah dirilis tahun 2010 hingga saat ini antara lain:
MARO, ROKAN, HIPA3, HIPA4 HIPA5 Ceva, HIPA6 Jete, HIPA8, HIPA 9, HIPA 10,
HIPA 11, HIPA 12 SBU, HIPA 13, HIPA 14 SBU, HIPA JATIM 1, HIPA JATIM2, HIPA
JATIM 3, HIPA 18, dan HIPA 19.

2. Padi Tipe Baru (Ideal)

Padi tipe baru (PTB) dihasilkan melalui persilangan antara padi jenis indica dengan
japonica. Memiliki sifat penting, antara lain (a) jumlah anakan sedikit (7-12 batang) dan
semuanya produktif, (b) malai lebih panjang dan 1ebat (>300 butir/malai), (c) batang besar
dan kokoh, (d) daun tegak, tebal, dan hijau tua, (e) perakaran panjang dan lebat. Potensi
hasil PTB 10-25% lebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul yang ada saat ini. Padi
tipe baru (PTB) merupakan idiotipe padi yang dirancang untuk menaikkan potensi hasil
padi yang telah mengalami pelandaian sejak terbentuknya padi pendek (semi-dwarf variety)
di era 1970an. PTB mempunyai potensi hasil lebih tinggi daripada varietas unggul baru.
Oleh karena itu, pembentukan PTB perlu dilakukan untuk mendukung peningkatan
produktivitas dan produksi padi. Pembentukan PTB di Indonesia dimulai pada tahun 1995.
Melalui program ini telah dilepas varietas unggul semi-PTB, yaitu Cimelati (2001), Gilirang
(2002), dan Ciapus (2003), serta varietas unggul tipe baru Fatmawati (2003). Namun
varietas-varietas tersebut memiliki kekurangan, seperti anakan sedikit dan persentase gabah
hampa tinggi, sehingga potensi hasilnya belum seperti yang diharapkan (Las et al. 2004).
Sesuai dengan kondisi Indonesia yang beriklim tropis serta hama dan penyakit
merupakan masalah utama, PTB yang cocok adalah yang mempunyai jumlah anakan
sedang tetapi semua produktif (12-18 batang), jumlah gabah per malai 150-250 butir,
persentase gabah bernas 85-95%, bobot 1.000 gabah bernas 25-26 g, batang kokoh dan
pendek (80-90 cm), umur genjah (110-120 hari), daun tegak, sempit, berbentuk huruf V,
hijau sampai hijau tua, 2-3 daun terakhir tidak cepat luruh, akar banyak dan menyebar

89
Lalu Z et al

dalam, tahan terhadap hama dan penyakit utama, gabah langsing, serta mutu beras dan nasi
baik. Dengan sifat-sifat tersebut, varietas PTB diharapkan mampu berproduksi 9-13 t/ha
gabah kering giling (GKG) (Widiarta et al. 2003; Lestari et al. 2011).

DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI USAHATANI

Inovasi teknologi yang berkembang di petani Indonesia dewasa ini adalah tanam
pindah (TAPIN). Tanam pindah merupakan teknik tanam yang umum dilakukan di lahan
sawah irigasi, sawah tadah hujan dan lahan rawa (lebak dan pasang surut). Tapin dengan
pengembangan cara tanam jajar legowo dapat meningkatkan produksi padi di ekosistem
tersebut. Walaupun saat ini cara tanam dengan sistem tegel, masih banyak dipakai petani.
Selain dilakukan dengan cara manual, saat ini dikembangkan cara tapin menggunakan alat
atau mesin tanam yang disebut transplanter, alat ini mudah digunakan dan dapat
mengurangi input tenaga kerja hingga 80% saat penanaman.
Tanam benih langsung atau tugal benih langsung (TABELA) adalah inovasi
teknologi budidaya yang banyak digunakan di lahan tadah hujan dan lahan kering. Tabela
merupakan inovasi teknologi tanam yang menguntungkan bagi petani disaat langka dan
minim ketersediaan tenaga kerja (Toha et al. 2008). Selain tabela dengan manual,
dikembangkan alat tanam benih langsung (ATABELA) yang dapat berupa drum seeder.
Praktek penanaman menggunakan ATABELA di petani telah banyak dimodifikasi dengan
digandengkan di badan traktor. Cara ini lebih cepat dalam menyelesaikan penanaman per
satuan luas, dibandingkan dengan ditarik manual menggunakan tenaga manusia.
Sistem tanam Ratun dan Salibu adalah salah satu inovasi dan teknik budidaya yang
berkembang di beberapa daerah spesifik. Ratun banyak dipakai di lahan rawa pasang surut,
sedangkan Salibu banyak dipakai di lahan irigasi berlereng di daerah Sumatera Barat.
Prinsip dari kedua sistem budidaya ini adalah pada pemotongan jerami setelah panen
pertama dengan ketinggian potongan tertentu (Sinaga et al. 2015). Anjuran tinggi potongan
jerami untuk ratun sekitar 20 cm dari pangkal jerami (atas permukaan tanah), sedangkan
tinggi potongan Salibu sekitar 3-5 cm dari atas permukaan tanah (Susilawati et al. 2012).
Tahun 2016 telah dirilis sebuah inovasi teknologi usahatani berbasis PTT dengan
penyempurnaan dan pemilihan komponen teknologi yang modern. Teknologi tersebut
adalah Teknologi tanam dan usahatani Jajar Legowo Super (Jarwo Super). Teknologi Jarwo
super memiliki 5 komponen teknologi utama yaitu: 1). Penggunaan dan pemilihan varietas
unggul baru berpotensi hasil tinggi (>8 t/ha), 2). Aplikasi dan penggunaan pupuk hayati
untuk seed treatment, bio decomposer, dan bioprotector 3). Penggunaan pupuk berimbang,
4). Pengendalian OPT menggunakan pestisida nabati dan pestisida anorganik berdasarkan
ambang kendali, dan 5). Penggunaan alat dan mesin pertanian mulai dari Dapog,
transplanter, weeder dan combine harvester (Jamil et al. 2016).

90
Agroekosistem Dan Pengelolaan Lahan Komoditas Padi

Paket Rekomendasi Pengelolaan Lahan Padi (terlampir)

Tantangan dan Strategi Implementasi Paket RPL

Isu global warming (pemanasan global) dan Climate Change (perubahan iklim)
menjadi isu yang menarik dan banyak dibincangkan kebenarannya, terkait dengan
penyediaan dan ketersediaan lahan pertanian dan bahan pangan saat ini dan masa yang akan
datang. Adalah tantangan besar bagi peneliti dan praktisi pertanian untuk menjawab
beberapa pertanyaan seputar penanganan dampak perubahan iklim, terutama dalam
menetapkan dan menentukan paket rekomendasi pengelolaan lahan (RPL). Paket RPL yang
ditetapkan itu diharapkan bisa dijadikan acuan dan sumber rujukan bagi seluruh pengguna
untuk mengatasi dampak dimaksud.
Paket RPL menjadi jaminan bagi pengguna untuk menentukan komoditi dan saat
yang tepat untuk berusaha dalam budidaya tanaman. Salah satu strategi implementasi paket
RPL adalah dengan menggunakan paket RPL ini di lingkup Badan Litbang terlebih dahulu,
kemudian diperluas dengan menggandeng stake holder di tingkat Provinsi dan Kabupaten.

PENUTUP

Peningkatan produktivitas dan produksi tanaman padi merupakan suatu keharusan


di Indonesia, khususnya untuk memenuhi mendukung kedaulatan pangan di masa
mendatang. Tahun 2017, Kementerian Pertanian menargetkan untuk memproduksi padi
sejumlah 76 juta ton gabah kering panen (GKP). Oleh karena itu, urgensi dan kepentingan
penetapan paket RPL padi, akan sangat membantu upaya dan program tersebut, baik secara
intensifikasi maupun ekstensifikasi. Paket RPL akan membantu penyusunan paket
teknologi budidaya padi yang terbaik di lingkungan atau agroekosistem tertentu yang sesuai
inovasi atau teknoologi yang tersedia. Mengingat kompleksnya permasalahan dan dampak
perubahan iklim, PRL juga akan menjadi acuan terbaik bagi petani dan dapat menjadi solusi
meghadapi dampak negatif perubahan iklim tersebut. Paket RPL Padi yang ditetapkan
antara lain; Lahan gambut 2 paket RPL, lahan rawa lebak 2 paket RPL, lahan rawa pasang
surut 3 paket RPL, lahan kebun campuran 2 paket RPL, lahan tegalan 3 paket RPL, lahan
sawah tadah hujan 4 paket RPL dan sawah irigasi 4 paket RPL. Total 20 paket RPL padi
dalam penyusunan paket ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., Dariah, A., &and Mulyani, A. (2008). Strategi dan teknologi
pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang
Pertanian, 27(2), 43-49.

91
Lalu Z et al

Ashari dan I Wayan Rusastra. (2014). Pengembangan Padi Hibrida: Pengalaman Dari Asia
Dan Prospek Bagi Indonesia. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 32
No. 2, Desember 2014: 103 – 121
Bimpong K., B. Manneh, Z. Sander, K. Futakuchi, and T. Kumashiro. (2011). Climate
Change Impact and Strategic on Rice Production in Africa. Paper presented at the
Developing Climate-Smart Crops for a 2030 World Workshop, Addis Ababa,
Ethiopia.
Chandraratna, M. F. (1952). Photoperiod effects on the flowering of tropical rices. Trop.
Agriculturist, 108: 261-264
Chen, X., Cui, Z., Fan, M., Vitousek, P., Zhao, M., Ma, W., and Deng, X. (2014). Producing
more grain with lower environmental costs. Nature, 514(7523), 486.
Cheng, S. H., Zhuang, J. Y., Fan, Y. Y., Du, J. H., &and Cao, L. Y. (2007). Progress in
research and development on hybrid rice: a super-domesticate in China. Annals of
Botany, 100(5), 959-966.
Cruz, R. P. D., Sperotto, R. A., Cargnelutti, D., Adamski, J. M., FreitasTerra, T., and Fett,
J. P. (2013). Avoiding damage and achieving cold tolerance in rice plants. Food and
Energy Security, 2(2), 96-119.
Cruz, R. P. D., Sperotto, R. A., Cargnelutti, D., Adamski, J. M., FreitasTerra, T., and Fett,
J. P. (2013). Avoiding damage and achieving cold tolerance in rice plants. Food and
Energy Security, 2(2), 96-119.
Gao, H., M. Jin, X.M. Zheng, J. Chen, D. Yuan, Y. Xin, P. Sheng, (2014). Days to heading
7, a major quantitative locus determining photoperiod sensitivity and regional
adaptation in rice. Proceedings of the National Academy of Sciences. 111(46):
16337-16342
Grist, D. H. 1975. Rice. 5th ed. Longman Inc. New York. 601 p.
Haryanto, T., Talib, B. A., dan Salleh, N. H. M. (2015). An Analysis of Technical Efficiency
Variation in Indonesian Rice Farming. Journal of Agricultural Science, 7(9), 144.
Jamil A., Abdulrachman A., Sasmita P., Zaini Z., Wiranto, Rachmat R., Saraswati R.,
Satoto, Handoko DD., Zarwazi LM., Samaullah YM., Ladiyani, Pratiwi E., dan
Maolana A., (2016). Petunjuk teknis budidaya padi Jajar Legowo Super. Badan
Litbang Pertanian. Jakarta)
Kasno, A., Rostaman, T., and Setyorini, D. (2016). Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah
Tadah Hujan dengan Pemupukan Hara N, P, K dan Penggunaan Padi Varietas
Unggul. Jurnal Tanah dan Iklim (Indonesian Soil and Climate Journal), 40(2), 147-
157.
Kiyosawa, S., and Aimi, R. (1957). The influence of temperature and shading on the
development of the rice panicle. Proc. Crop Sci. Soc. Japan, 27 (4): 417-421
Kuenzer, C., and Knauer, K. (2013). Remote sensing of rice crop areas. International
Journal of Remote Sensing, 34(6), 2101-2139.

92
Agroekosistem Dan Pengelolaan Lahan Komoditas Padi

Las I., Buang A., dan& Daradjat, A. A.(2004). Padi Tipe Baru dan Padi Hibrida Mendukung
Ketahanan Pangan. Seminar Nasioal Padi 2003. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi
Lestari AP, Abdullah B, Junaedi A., dan Aswidinnoor H., (2011(. Agronomics
Characteristics and Its Correlation of New Plant Type Promising Rice Lines. Buletin
Plasma Nutfah Vol.17 No.2 Th.2011. Halaman17(2) 96-103.
Li, J., &and Yuan, L. (2010). Hybrid rice: genetics, breeding, and seed production. Plant
Breeding Reviews, Volume 17, 15-158.
Luh, B. S., 1991. Rice. Second Edition. Van Nostrand Reinhold. New York.
Makarim, A. K., &and Las, I. (2005). Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah
Irigasi Melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya
Terpadu (PTT). Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan.
Puslit Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.
McCulloch, N., &and Timmer, P.C. (2008). Rice policy in Indonesia: a special issue.
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 44(1), 33-44.
Mulyani, A., Ritung, S., &and Las, I. (2016). Potensi dan ketersediaan sumberdaya lahan
untuk mendukung ketahanan pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 30(2), 73-80.
Naylor, R. L., Battisti, D. S., Vimont, D. J., Falcon, W. P., &and Burke, M. B. (2007).
Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice
agriculture. Proceedings of the National Academy of Sciences, 104(19), 7752-7757.
Nugraha Y and Rumanti A I. 2017. Breeding for rice variety tolerant to iron toxicity. Iptek
Tanaman Pangan. 12(1):9-24
Nugraha, Y., Ardie, S. W., Ghulammahdi, M., and Aswidinnoor, H. (2016). Nutrient culture
media with agar is effective for early and rapid screening of iron toxicity tolerance
in rice. Journal of crop science and biotechnology, 19(1), 61-70.
Nugraha, Y., Lubis, E., dan Diredja, M. (2010). Identifikasi Galur-galur Elit Padi (Oryza
sativa) untuk Tetua Padi Hibrida. Buletin Plasma Nutfah, 10(1), 12-16.
Nugraha, Y., Vergara, G. V., Mackill, D. J., & Ismail, A. B. (2013b). Genetic Parameters
of Some Characters and Their Correlation with Rice Grain Yield in Relation to the
Plant Adaptability to Semi-Deep Stagnant Flooding Condition. Jurnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan, 32(2).
Nugraha, Y., Vergara, G. V., Mackill, D. J., and Ismail, A. B. (2013a). Response of sub1
introgression lines of rice to various flooding conditions. Indonesian Journal of
Agricultural Science, 14(1), 15-26.
Panuju, D. R., Mizuno, K., &and Trisasongko, B. H. (2013). The dynamics of rice
production in Indonesia 1961–2009. Journal of the Saudi Society of Agricultural
Sciences, 12(1), 27-37.
Rumanti, I. A., Nugraha, Y., Wening, R. H., Gonzaga, Z. J. C., Nasution, A., Kusdiaman,
D., and Septiningsih, E. M. (2016). Development of High-Yielding Rice Varieties

93
Lalu Z et al

Suitable for Swampy Lands in Indonesia. Plant Breeding and Biotechnology, 4(4),
413-425.
Satoto, Y. W., Rumanti, I. A., &and Sudibyo, T. W. U. (2010).Stabilitas hasil padi hibrida
varietas Hipa 7 dan Hipa 8 dan ketahanannya terhadap hawar daun bakteri dan
tungro. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 29(3),, 129-135.
Simatupang, P, Timmer P.C. Indonesian rice production: Policies and realities. Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 2008, 44.1: 65-80.
Sinaga, P.H. Trikoesoemaningtyas, Sopandie D., dan Aswidinoor H., 2015. Daya hasil dan
stabilitas ratun padi pada lahan pasang surut. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan, Bogor.
Suparyono dan A. Setyono., 1993. Padi. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 1-25
Surowinoto, S. 1982. Budidaya Tanaman Padi. Jurusan Agronomi Faperta IPB. Bogor.
Susilawati, Purwoko BS., Aswidinnoor H., dan Santosa E. (, 2012). Peran hara n, p dan k
pada pertumbuhan dan perkembangan ratun lima genotipe padi. Jurnal Agron.
Indonesia 40 (3) : 174 - 179 (2012)
Timmer, PC, Block, S. , &and Dawe, D. (2010). Long-run dynamics of rice consumption,
1960-2050. Rice in the Global Economy: Strategic Research and Policy Issues for
Food Security. Los Banos: International Rice Research Institute.
Toha HM., Pirngadi K., Permadi K dan Fagi AM., 2008. Meningkatkan dan memantapkan
produktivitas dan produksi padi gogo.LIPI. Jakarta
Wang, L., Deng, F., & Ren, W. J. (2015). Shading tolerance in rice is related to better light
harvesting and use efficiency and grain filling rate during grain filling period. Field
Crops Research, 180, 54-62.
Zou, X. H., Du, Y. S., Tang, L., Xu, X. W., Doyle, J. J., Sang, T., and Ge, S. 2015. Multiple
origins of BBCC allopolyploid species in the rice genus (Oryza). Scientific reports,
5.

94

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai