Anda di halaman 1dari 28

Kode etik profesi lainnya

2.1.Keberadaan Berbagai Profesi


Dewasa ini makin banyak banyak bermunculan organisasi profesi dari kelompok profesi
sejenis dan setiap organisasi makin menyadari perlunya membuat kode etik untuk menjadi
pedoman perilaku bagi para anggotanya.
Tujuan khusus dari setiap organisasi profesi adalah untuk mengembangkan kompetensi
para anggota secara berkelanjutan sekaligus untuk melakukan pengendalian perilaku para
anggotanya dengan berpedoman pada kode etik yang telah disepakati bersama. Kelompok-
kelompok organisasi profesi seperti ini tidak membeda-bedakan latar belakang status para
anggota mereka, baik dari sektor swasta atau sektor publik.
Setiap organisasi profesi mempunyai pedoman kode etik untuk menjadi standar/acuan
perilaku bagi para anggotanya. Karena banyaknya organisasi profesi yang ada, maka pada
kesempatan ini hanya akan dibahas beberapa contoh kode etik dari beberapa organisasi profesi,
yaitu profesi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI), Perhimpunan Auditor
Internal Indonesia (PAII), Himpunan Psikologi Indonesia, dan Advokat Indonesia.
Setelah mempelajari masing-masing kode etik profesi ini, dapat diketahui bahwa: (1)
tidak ada sistematika baku dalam penulisan kode etik; (2) terdapat banyak istilah dan konsep
yang sama, tetapi pemaknaan atas istilah-istilah atau konsep tersebut bias jadi berbeda; dan (3)
banyak konsep dan istilah yang maknanya tumpang-tindih. Mengingat adanya perbedaan dalam
sistematika, substansi, konsep, dan istilah yang dipergunakan, maka untuk lebih memudahkan
pemahaman atas masing-masing kode etik akan digunakan model penalaran kode etik
berdasarkan acuan pada unsur-unsur pokok suatu profesi sebagaimana terlihat pada gambar
berikut!
2.2.Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia(BPK-RI)
Kode Etik BPK dituangkan dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2007, serta telah diumumkan dalam Lembaran Berita Negara
Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2007. Kode Etik ini berlaku untuk Anggota dan
Pemeriksa BPK.
Anggota BPK dan Pemeriksa BPK mempunyai pengertian yang berbeda menurut pasal 1
ayat 2 dan 3 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007,
yaitu :
a. Anggota BPK adalah pejabat Negara pada BPK yang dipilih oleh DPR dan diresmikan
berdasarkan Keputusan Presiden.
b. Pemeriksa BPK adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengeloaan dan tanggung
jawab keuangan Negara untuk dan atas nama BPK.
Proses penalaran atas kode etik BPK-RI ini dengan mengacu pada cirri-ciri utama suatu
profesi. Pasal 2 kode etik BPK mengatur tentang nilai-nilai dasar yang wajib dimiliki oleh
anggota dan pemeriksa BPK. Nilai-nilai dasar ini terdiri atas:
a. Mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku.
b. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
c. Menjunjung tinggi indepedensi, integritas, dan profesionalitas.
d. Menjunnjung tinggi martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK.
Tabel 9.1
Proses Penalaran Kode Etik BPK
CIRI PROFESI KODE ETIK BPK
1. Kepentingan Publik Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan
pribadi dan golongan (Pasal 2b)
2. Tanggung Jawab Mengembangkan standar kompetensi tinggi yang
menyangkut knowledge, skill, dan attitude
3. Kompetensi Dilihat dari tiga unsure kompetensi (knowledge, skill,
attitude):
a. Pengetahuan (knowledge) Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian tertentu (Pasal 1 ayat 8)
b. Keterampilan (skill) Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)
merupakan patokan pemeriksaan yang menyangkut
standar umum, standar pelaksanaan pekerjaan, dan standar
pelatoran (Pasal 1 ayat 5)
c. Sikap perilaku (attitude) Menyangkut diri (pribadi) dan hubungan dengan
lembaga/pihak lain.
 Menyangkut diri (pribadi) Bagi setiap anggota dan pemeriksa wajib mematuhi,
memiliki, dan menjunjung nilai-nilai dasar (Pasal 2):
 Taat pada peraturan (ayat 2)
 Mengutamakan kepentingan Negara (ayat b)
 Menjunjung tinggi indepedensi, integritas, dan
profesionalitas (ayat c)
 Menjujung tinggi martabat, kehormatan, citra, dan
kredibilitas BPK
 Hubungan rekan sejawat Menghormati dan memercayai serta saling membantu di
antara pemeriksa sehingga dapat bekerja sama dengan
baik dalam melaksanakan tugas (Pasal 8 ayat 1g)
 Hubungan klien  Menghindari terjadinya benturan kepentingan (Pasal 6
ayat 1b)
 Dilarang menerima pemberian dalam bentuk apa pun
baik langsung maupun tidak langsung yang diduga atau
patut diduga dapat memengaruhi pelaksanaan tigas dan
wewenangnya (Pasal 4 ayat 2 dan Pasal 7 ayat 2a)
 Dilarang membocorkan informasi yang diperolehnya
dari auditee (Pasal 6 ayat 2d)
 Hubungan Lain  Dilarang merangkap jabatan pada badan, lembaga, atau
perusahaan lain untuk anggota dan pemeriksa (Pasal 3
ayat 2a dan Pasal 6 ayat 2a)
 Dilarang menjadi anggota partai politik bagi anggota
BPK (Pasal 3 ayat 2b)
 Pengawasan Melalui Majelis Kehormatan Kode Etik (Bab III Pasal 9-
32)

Selanjutnya, penjelasan lebih lanjut atas nilai-nilai dasar indepedensi, integritas, dan
profesionalitas diberikan pada tabel berikut.
Tabel 9.2
Indepedensi, Integritas, dan Profesionalitas BPK
NILAI DASAR ANGGOTA BPK PEMERIKSA
Indepedensi  Memegang sumpah jabatan  Netral dan tidak berpihak
 Netral dan tidak berpihak  Menghindari benturan kepentingan
 Menghindari banturan kepentingan Menghindari hal-hal yang dapat
 Menghindari hal-hal yang dapat memengaruhi objektivitas
memengaruhi objektivitas  Mempertimbangkan informasi,
pandangan, dan tanggapan pihak
lain diperiksa
 Bersikap tenang dan mampu
mengendalikan diri

Dilarang : Dilarang:
 Merangkap jabatan  Merangkap jabatan
 Menjadi anggota partai politik  Menunjukkan sikap dan perilaku
 Menunjukkan sikap dan perilaku yang menyebabkan orang lain
yang menyebabkan orang lain meragukan indepedensinya
meragukan indepedensinya  Tunduk pada intimidasi/tekanan
orang lain
 Membocorkan informasiauditee
 Dipengaruhi oleh prasangka,
interpretasi atau kepentingan
tertentu baik untuk kepentingan
pribadi pemeriksa maupun pihak
lain

Integritas  Bersikap tegas  Bersikap tegas


 Jujur  Jujur
 Memegang rahasia pihak 
yang Memegang rahasia pihak yang
diperiksa diperiksa
 Dilarang menerima pemberian Dilarang:
dalam bentuk apa pun, baik  Menerima pemberian dalam
langsung maupun tidak langsung bentuk apa pun, baik langsung
maupun tidak langsung
 Menyalahgunakan wewenang
Profesionalitas  Prinsip kehati-hatian, ketelitian,  Prinsip kehati-hatian, ketelitian,
kecermatan kecermatan
 Menyimpan rahasia Negara dan  Menyimpan rahasia Negara dan
jabatan jabatan
 Tidak menyalahgunakan rahasia  Tidak menyalahgunakan rahasia
Negara untuk kepentingan pribadi Negara untuk kepentingan pribadi
dan golongan/pihak lain dan golongan/pihak lain
 Menghindari perbuatan di luar tugas Menghindari perbuatan di luar
dan wewenangnya tugas dan wewenangnya
 Komitmen tinggi
 Meningkatkan kemampuan
 Profesionalisme secara
berkelanjutkan
 Kerja sama saling menghormati
dan memercayai antar rekan
sejawat
 Berkomunikasi dan berdiskusi
antar rekan sejawat
 Menggunakan sumber daya publik
secara efisien, efektif, dan
ekonomis.

2.3.Kode Etik Perhimpunan Auditor Internal Indonesia (PAII)


Ada dua kategori kode etik yang diterapkan oleh PAII, yaitu kode etik PAII dan kode etik
Qualified Internal Auditor (QIA). Kode etik PAII berlaku bagi organisasi profesi dan semua
anggota PAII yang bekerja pada departemen/bagian audit internal suatu
organisasi/perusahaan. Kode etik QIA adalah kode etik bagi anggota yang telah memperoleh
sertifikasi QIA melalui suatu pendidikan formal yang diterapkan oleh PAII.Perlu dipahami
bahwa saat ini yang berprofesi pada departemen/bagian audit internal tidak seluruhnya
mempunyai kualifikasi gelar atau sertifikat QIA. Kode etik QIA ditetapkan oleh Dewan
Sertifikasi QIA. Pasal-pasal dalam kode etik QIA adalah sama dengan kode etik PAII, kecuali
dalam kode etik QIA tidak memasukkan Pasal 1 dan 9 dari kode etik PAII.
Tabel 9.3
Ringkasan prosespenalaran kode etik PAII
Ciri profesi Kode etik PAII
1. Kepentingan Publik Untuk mempertahankan kepercayaan dari pemberi
tugas, para anggota harus menunjukkan loyalitas
kepada pemberi tugas ( manajemen ). Anggota
dilarang untuk mengambil bagian dalam kegiatan-
kegiatan yang menyimpang.
2. Tanggung Jawab Mengembangkan standar kompetensi tinggi yang
menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan perilaku.
3. Kompetensi : Dilihat dari tiga unsur kompetensi ( pengetahuan,
keterampilan, dan prilaku ).
a. Pengetahuan ( Knowledge ) Tidak secara eksplisit diungkapkan.
b. Keterampilan ( Skill ? 1. Para anggota harus terus berusaha untuk
meningkatkan keahlian dan keefektifan dalam
melakukan pekerjaannya.
2. Dalam berpendapat, para anggota harus
menggunakan semua kemampuannya untuk
memperoleh bukti yang memadai yang dapat
mendukung pernyataannya.
c. Sikap prilaku ( attitude )
 Menyangkut Diri 1. PAII berasaskan pancasila dan UUD 1945 ( pasal 2)
2. Para anggota diwajibkan bersikap jujur, objektif, dan
hati-hati dalam menjalankan tugas maupun
kewajibannya ( pasal 3 )
3. Para anggota harus menghindari untuk terlibat
kegiatan yang dapat menimbulkan konflik dengan
kepentingan pemberi tugas, atau yang dapat
menimbulkan prasangka yang meragukan
kemampuannya untuk secara objektif menyelesaikan
tugas dan kewajibannya (pasal 5 )
4. Para anggota harus mematuhi peraturan dan
mendukung pencapaian tujuan PAII. Dalam
menjalankan profesinya, para anggota harus sadar
akan kewajibannya untuk memelihara standar yang
tinggi tentang kompetensi, moralitas, dan kehormatan
yang telah ditetapkan oleh PAII dan para anggotanya
( pasal 10 )
 Hubungan rekan sejawat Tidak diatur.
 Hubungan klien 1. Para anggota dilarang untuk menerima imbalan atau
hadiah dari pemberi tugas, klien, pelanggan, atau
relasi bisnis pemberi tugas, kecuali yang menjadi
haknya ( pasal 6 )
2. Para anggota harus bersikap bijaksana dan hati-hati
dalam menggunakan informasi yang diperoleh dalam
melaksanakan tugasnya. Para anggota dilarang untuk
menggunakan informasi rahasia untuk kepentingan
pribadi, atau merugikan kepentingan pemberi tugas (
pasal 7 )
 Hubungan lain Tidak diatur.
 Pengawasan Tidak diatur.

Kode etik PAII terlihat sangat singkat dan sederhana. Karena terlalu singkat dan
sederhana, ada beberapa hal yang pengaturannya tidak jelas dan/atau tidak lengkap, yaitu:
1. Kompetensi yang menyangkut persyaratan pengetahuan minimal yang diperlukan
melalui pendidikan formal tidak diatur secara eksplisit.
2. Tanggung jawab profesi auditor internal hanya disebutkan kepada pemberi tugas, tidak ada
pernyataan yang menyebutkan hubunganya dengan atau dampaknya bagi kepentingan umum
yang lebih luas.
3. Tidak ada pasal yang mengatur hubungan dengan rekan sejawat dan hubungan lainnya.
4. Tidak ada pasal yang mengatur tentang pengawasan dalam hal timbulnya penyimpangan
terhadap kode etik yang dilakukan oleh anggotanya.
Hal yang patut dicatat adalah dalam kode etik PAII dicantumkan asas Panasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, sesuatu yang jarang dijumpai kode etik profesi lainnya.

2.4.Kode Etik Psikologi Indonesia


Kode etik yang berlaku bagi Ilmuwan psikologi dan psikolog dibedakan berdasarkan latar
belakang pendidikan mereka, di mana latar belakang pendidikan ini menetukan boleh atau
tidaknya seseorang melakukan prakyik psikologi. Para Ilmuwan psikologi dalam batas-batas
tertentu dapat memberika jasa psikologi, tetapi tidak boleh menjalankan praktik psikologi. Prakti
psikologi hanya boleh dilakukan ileh para psikolig.
Dengan menggunakan model penalaran pada gambar 9.1 esensi dari kode etik psikolgi
dapat dirangkum seperti terlihat pada Tabel 9.4 berikut ini:
Tabel 9.4
Ringkasan Proses Penalaran Kode Etik Psikolog
Ciri Profesi Kode Etik Psikologi
1. Kepentingan publik  Mengabdikan pengetahuan tentang perilaku manusia bagi
kesejahteraan manusia (pembukaan)
 Mengutamakan kepentingan umum daripada pribadi atau
golongan ( Pasal 14a)
2. Tanggung Jawab  Pentingnya setiap Ilmuwan psikologi mempunyai rasa
tanggung jawab menyangkut kompetensi, objektivitas,
kejujuran, integritas, bersikap bijak, dan hati-hati.
3. Kompetensi
3.1 Pengetahuan  Ilmuwan Psikologi adalah para lulusan perguruan tinggi dan
(Knowladge) universitas di dalam maupun luar negeri, yaitu mereka yang
telah mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK
Mendikbud Nomor 18/D/0/1993 untuk pendidikan program
akademik (Sarjana Psikologi); lulusan pendidikan tinggi
strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang psikologi, yang
pendidikan strata (S1) diperoleh bukan dari fakultas
psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong kriteria
tersebut dinyatakan dapat memberika jasa psikologi, tetapi
tidak berhak dan tidak berwenang untuk melakukan praktik
psikologi di Indonesia.
3.2 Keterampilan (skill)  Psikolog adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti
pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum
lama (Sistem Paket Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN);
atau sistem Kredit Semester (SKS) PTN; atau pendidikan
program akademik (Sarjana Psikologi) dan program
pendidikan profesi (Psikologi); atau kurikulum lama
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian
negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di
luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan
dengan psikologi Indonesia oleh Direktorat Pendidikan
Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas
RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan
berhak dan berwenang untuk melakukan praktik psikologi di
wilayah hukum Negara Republik Indonesi. Sarjana Psikolog
menurut kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai
psikolog. Untuk melakukan praktik psikologi , Sarjana
Psikolog yang tergolong kriteria ini diwajibkan memiliki
izin praktik psikolog sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3.3 Sikap perilaku
(attitude)
 Menyangkut diri (Pribadi)  Kesadaran diri tentang Pancasila dan UUD 1945
 Mengindahkan etika dan nilai-nilai moral yang berlaku di
masyarakat (Pasal 4a)
 Menjaga citra profesi (Pasal 4b)
 Memiliki objektivitas, kejujuran, integritas, bersikap bijak,
dan hati-hati (Pasal 2)
 Hubungan rekan sejawat  Saling menghormati dan menjaga hak-hak serta nama baik
rekan sejawat (Pasal 5a)
 Saling memberi umpan balik (Pasal 5b)
 Saling mengingatkan untuk mencegah pelanggaran kode
etik (Pasal 5c)
 Menghargai karya cipta rekan sejawat/pihak lain (Pasal 15)
 Hubungan klien  Melindungi klien dari akibat yang merugikan sebagai
dampak pemberian jasa/praktik yang dilakukan (Pasal 8c)
 Melindungli kerahasiaan data klien, kecuali ada persetujuan
dari klien, atau ada hubungannya dengan pihak berwenang
(Pasal 12)
 Mengutamakan ketidakberpihakan dalam kepentingan
pemakai jasa, atau klien dan pihak-pihak terkait (Pasal 8d)
 Hubungan lain  Menghargai kompetensi profesi lain (Pasal 6a)
 Mencegah pemberian jasa dari pihak yang tidak
berkompeten (Pasal 6b)
 Pengawasan  Melalui Majelis Psikologi (Pasal 18)

2.5.Kode Etik Profesi Advokat


Advokat merupakan salah satu subprofesi di bidang hukum. Sebagaimana dikatakan oleh
Abdulkadir Muhammad (2006), peraturan hukum mengatur dan menjelaskan bagaimana
seharusnya:
a) Legislator menciptakan hokum
b) Pejabat melaksanakan administrasi Negara
c) Notaris merumuskan kontrak-kontrak harta kekayaan
d) Polisi dan jaksa menegakkan ketertiban hokum
e) Pengacara membela kliennya dalam menginterpretasikan hokum
f) Hakim menerapkan hukum dan menetapkan keputusannya
g) Pengusaha menjalankan kegiatan bisnisnya
h) Konsultan hukum memberikan nasihat hukum kepada kliennya
i) Pendidik hukum menghasilkan ahli hukum
Selanjutnya dikatakan bahwa pekerjaan yang ditangani oleh para profesional hukum
tersebut merupakan bidang-bidang profesi hukum, yang jika dirinci adalah sebagai berikut:
1. Profesi legislator
b. Profesi administrator hukum
c. Profesi notaris
d. Profesi polisi
e. Profesi jaksa
f. Profesi advokat (pengacara)
g. Profesi hakim
h. Profesi hukum bisnis
i. Profesi konsultan hukum
j. Profesi dosen hukum
Menurut Notohamidjojo (dalam Abdulkadir Muhammad, 2006), seorang profesional di
bidang hukum perlu memiliki :
a. Sikap manusiawi, artinya tidak hanya menghadapi hukum secara formal, melainkan kebenaran
yang sesuai dengan hati nurani.
b. Sikap adil, artinya mencari kelayakan yang dengan perasaan masyarakat.
c. Sikap patut, artinya mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara
konkret.
d. Sikap jujur, artinya menyatakan suatu hal benar menurut apa adanya, serta menjauhi yang tidak
benar dan tidak patut.
Seperti telah disebutkan sebelumnya subcabang profesi di bidang hukum cukup banyak.
Pada kesempatan ini hanya dibahas kode etik profesi advokat (pengacara) sebagai salah satu
subcabang profesi di bidang hukum. Kode etik profesi advokat (pengacara) secara lengkap dapat
dilihat pada Lampiran 8 di bagian akhir buku ini.
Di Indonesia terdapat lebih dari satu organisasi profesi advokat. Kode Etik Profesi
Advokat berlaku sejak tanggal ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 dan disepakati berlaku
bersama untuk organisasi profesi advokat yang tergabung dalam Komite Kerja Sama Advokat
Indonesia (KKAI), yang terdiri atas tujuh organisasi, yaitu: Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN),
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM),
Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI).
Kode etik advokat Indonesia secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8 di bagian akhir buku
ini.
Dengan menggunakan model penalaran pada Gambar 9.1, esensi kode etik profesi
advokat dapat dirangkum sebagaimana terlihat pada Tabel 9.5 berikut ini.
Tabel 9.5
Ringkasan Proses Penalaran Kode Etik Profesi Advokat Indonesia
Ciri Profesi Kode Etik Advokat
1. Kepentingan publik  Tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan
materi, tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum,
kebenaran, dan keadilan (Pasal 3b)
 Wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma bagi orang
yang tidak mampu (Pasal 7h)
2. Tanggung jawab Menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, menjunjung
tinggi kode etik dan sumpah jabatan (pembukaan), dan
memelihara kompetensi
3. Kompetensi : Mencakup pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
a. Pengetahuan (knowledge) Berpraktik memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-
undang yang berlaku (Pasal 1a)
b. Keterampilan (skill) Sama dengan Pasal 1a.
c. Sikap perilaku (attitude) :
 Menyangkut diri  Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria,
(kepribadian) jujur, serta menjunjung tinggi hukum dan Undang Undang
Dasar (Pasal 2)
 Bersedia memberi nasehat dan bantuan hukum tanpa
membedakan agama, suku, keturunan, kedudukan sosial,
keyakinan politik (Pasal 3a)
 Bekerja dengan bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi
oleh siapa pun dan wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia
dalam negara hukum Indonesia (Pasal 3c)
 Tidak dibenarkan melakukan pekeraan lain yang dapat
merugikan kebebasan, derajat, dan martabat advokat (Pasal 3f)
 Bersikap sopan terhadap semua pihak (Pasal 3h)

Tabel 9.5
Ringkasan Proses Penalaran Kode Etik Profesi Advokat Indonesia (lanjutan)
Ciri Profesi Kode Etik Advokat
 Hubungan rekan sejawat a) Memegang teguh rasa solidaritas sesama advokat dan
wajib membela secara cuma -cuma teman sejawat yang
diajukan sebagai tersangka dalam perkara pidana (Pasal
3d dan 3e)
b) Hubungan antara teman sejawat advokat berdasarkan
sikap saling menghormati, menghargai, dan memercayai
(Pasal 5a)
c) Tidak menggunakan kata-kata tidak sopan atau yang
menyakitkan hati (Pasal 5b)
d) Keberatan terhadap tindakan teman sejawat harus
diadukan kepada Dewan Kehormatan (Pasal 5c)
e) Tidak diperkenankan menarik klien teman sejawat (Pasal
5d)
f) Advokat baru hanya dapat menerima perkara setelah
menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada
advokat terdahulu (Pasal 5e)
g) Advokat lama wajib memberikan kepada avokat yang
baru semua surat dan keterangan penting untuk mengurus
perkara itu (Pasal 5f)
 Hubungan klien a) Mengutamakan penyelesaian damai dalam perkara
perdata (Pasal 4a)
b) Tidak memberikan keterangan yang dapat menyesatkan
klien (Pasal 4b)
c) Tidak dibenarkan menjamin kepada klien bahwa
perkaranya akan menang (Pasal 4c)
d) Penetapan honor berdasarkan kemampuan klien (Pasal 4d)
e) Tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya
yang tidak perlu (Pasal 4e)
f) Perhatian yang sama diberikan terhadap perkara yang
diurus secara cuma-cuma (Pasal 4f)
g) Harus menolak mengurus perkara yang tidak ada dasar
hukumnya (Pasal 4g)
h) Wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang
menyangkut klien(Pasal 4h)
i) Dilarang melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya
pada saat yangtidak menguntungkan klien atau akan
merugikan klien yang tidak dapat diperbaiki lagi (Pasal 4i)
j) Mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan
kepentingan bersama dua pihak atau lebih apabila
kemudian timbul pertentangan kepentingan diantara
pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 4j)
k) Mempunyai hak retensi terhadap klien tetapi tidak dapat
digunakan apabila dengan retensi itu kepentingan klien
akan dirugikan yang tidak dapat diperbaiki lagi (Pasal 4k)

Tabel 9.5
Ringkasan Proses Penalaran Kode Etik Profesi Advokat Indonesia (lanjutan)
Ciri Profesi Kode Etik Advokat
 Hubungan lain
a) Sebagai profesi mulia, advokat dalam
menjalankan profesinya di bawah
perlindungan hukum, undang-undang, dan
kode etik (Pasal 8a)
b) Tidak diperkenankan memasang iklan,
termasuk pemasangan papan nama dengan
ukuran yang berlebihan (Pasal 8b)
c) Tidak mengadakan kantor cabang di tempat
yang merugikan kedudukan advokat,
misalnya di rumah atau di kantor seorang
yang bukan advokat (Pasal 8c)
d) Tidak mengizinkan pencantuman namanya di
papan nama, iklan, atau cara lain oleh orang
bukan advokat, tetapi memperkenalkan diri
sebagai wakil advokat (Pasal 8d)
e) Tidak mengizinkan karyawan yang tidak
berkualitas untuk mengurus sendiri perkara,
memberi nasihat kepada klien secara lisan
atau tertulis (Pasal 8e)
f) Tidak memublikasikan diri melalui media
massa untuk menarik perhatian masyarakat
mengenai perkara yang sedang ditanganinya,
kecuali untuk menegakkan prinsip hukum
yang wajib diperjuangkan oleh semua
advokat(Pasal 8f)
g) Advokat dapat mengundurkan diri dari per
yang diurusnya bila dicapai kesepakatan
dengan kliennya (Pasal 8g)
h) Tidak mengizinkan advokat mantan
hakim/panitera menangani perkara di
pengadilan yang bersangkutan selama tiga
tahun sejak ia berhenti dari pengadilan
tersebut (Pasal h)
 Pengawasan Pengawasan atas pelaksanaan kode etik ini
dilakukan oleh Dewan Kehormatan (Pasal 9)

2.6.Perbandingan Kode Etik


Dengan membandingkan keempat contoh kode etik profesi ( profesi BPK, auditor
internal, psikologi, dan advokat),tidaklah mudah untuk mencoba memahami apakah ada nilai-
nilai, prinsip, atau norma-norma dasar yang berlaku universal untuk semua profesi. Hal ini
mengingat adanya keragaman menggunakan penulisan, isi, dan konsep-konsep yang digunakan.
Meskipun agak sulit, dengan pendekatan model Gambar 9.1. dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1) Semua profesi berdampak atau bermanfaat bagi kepentingan umum, meskipun arti umum
mempunyai tingkat keluasan yang berbeda.Contoh pengertian umum untuk :
 BPK adalah kepentingan negara.
 Auditor Internal adalah manajemen suatu entitas (suatu bisnis).
 Psikologi adalah klien (individu, kelompok, institusi).
 Advokat adalah klien dan demi penegakan hukum dan keadilan.
2) Untuk menjaga kepercayaan publik dalam setiap kode etik profesi pada umumnya ditekankan
pentingnya memelihara kompetensi tinggi secara berkelanjutan.
3) Kompetensi mencakup pengetahuan melalui pendidikan formal sesuai dengan latar belakang
profesinya, keterampilan teknis, dan sikap perilaku. Meskipun kompetensi yang menyangkut
pengetahuan ada yang secara eksplisit diatur dalam kode etik (misalnya, kode etik psikologi, ada
juga yang tidak diatur dalam kode etik karena sudah diatur dalam peraturan/perundangan
(misalnya, kode etik advokat dan BPK), atau tidak diatur dalam kode etik tetapi diserahkan pada
kebijakan/peraturan perusahaan (misalnya, kode etik auditor internal).
4) Aturan mengenai sikap perilaku umumnya menyangkut tanggung jawab dan kesadaran diri
sebagai pribadi, hubungan dengan rekan sejawat, hubungan dengan klien, dan hubungan lainnya.
5) Tanggung jawab dan kesadaran diri berkaitan dengan karakter utama, prinsip-prinsip, atau nilai-
nilai dasar yang harus dimiliki seorang profesional untuk menunjang citra dan martabat rofesinya
yang luhur. Semua kode etik menjelaskan karakter utama, prinsip-prinsip, atau nilai dasar ini,
walaupun tidak ada keseragaman mengenai jumlah, konsep, atau istilah yang digunakan. Berikut
adalah contoh karakter, prinsip, atau nilai-nilai dasar dari beberapa profesi.
Tabel 9.6
Perbandingan Kode Etik
Institusi/Profesi Penekanan Kode Etik
BPK Independensi, integritas, dan profesionalitas
PAII Bersikap jujur,objektif, hati-hati, dan menghindari konflik
kepentingan
Psikologi Menjaga kompetensi, objektivitas, kejujuran, integritas, bersikap
bijak, dan hati-hati
Advokat Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur,
tidak membeda-bedakan agama, suku, keturunan, kedudukan
sosial, keyakinan politik, mandiri, serta tidak dipengaruhi oleh
siapa pun dan menjunjung tinggi hak asasi manusia

2.7.Profesi dan Hakikat Manusia Utuh


bila seorang profesional benar-benar menghayati profesinya dan betul-betul mau
mematuhi kode etik yang ditetapkan atas dasar kesadaran diri dalam melaksanakan profesinya,
maka sebenarnya ia telah menjalani kehidupan sesuai dengan hakikat manusia seutuhnya.
Hakikat manusia utuh adalah hidup dengan menyeimbangkan pemenuhan EQ, IQ, SQ, dan PQ.
Kesadaran untuk terus-menerus memelihara unsur kompetensi ilmu pengtahuan dan
keterampilan teknis mencerminkan upaya untuk meningkatkan IQ. Kesadaran untuk
menumbuhkan sikap perilaku yang baik dalam menjalankan profesi sebenarnya sekaligus untuk
memupuk EQ, dan SQ. Membangun karakter, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai dasar seperti
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menanamkan integritas, kejujuran, independensi,
objektivitas, dan sejenisnya merupakan fondasi untuk membangun SQ. Melayani klien dengan
kompentesi tinggi, menjaga hubungan harmonis dengan rekan sejawat atas dasar saling
menghormati, mengahargai, dan mempercayai, berbicara sopan dengan siapa pun, merupakan
dasar bagi pembangunan EQ.
Dengan demikian, walaupun tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam setiap kode etik,
seorang profesional yang benar0benar telah mematuhi dan mengikuti kode etik profesi dalam
menjalankan profesinya, sebenarnya disadari atau tidak, ia telah mejalani kehidupan sebagai
manusia seutuhnya.

2.8.Kasus
1. Menurut pendapat penulis Majelis Kehormatan Daerah DKI Jakarta telah mengambil keputusan
yang tepat dan adil karena dalam kasus tersebut Tudong telah melanggar kode etik advokat
Indonesia dengan membocorkan sedikit informasi terkait hasil legal audit SGC, walaupun dalam
kasus tersebut Tudong telah selesai menjabat TBH-KKSK di SGC. Bagaimanapun juga sebagai
seorang advokat, Tudong seharusnya tetap mempertahankan dan merahasiakan hasil legal audit
SGC. Kemudian sebagai seorang Advokat juga seharusnya mengutamakan tegaknya hukum,
kebeneran, dan keadilan. Selain itu dalam kasus tersebut Tudong tidak mengindahkan peringatan
sehubungan dengan adanya iklan di media massa mengenai putusan pengadilan, dimana isi iklan
tersebut berbeda dengan putusan pengadilan. Seorang Advokat tidak seharusnya memberikan
informasi yang berbeda apalagi menyangkut putusan pengadilan.
2. Menrut pendapat penulis reaksi Tudong Mulyo Lubid di media massa dalam menanggapi
keputusan Majelis tidak wajar dan tidak dapat dibenarkan. Menurut pendapat penulis reaksi
Tudong terlalu berlebihan, karena sebagai seorang advokat yang sudah jelas melanggar kode
etiknya tidak seharusya bereaksi seperti itu.
3. Menurut ppendapat penulis seharusnya Tudong introspeksi diri terlebih dahulu,karena dalam
kasus tersebut Tudong telah melanggar kode etik sebagai Advokat, yaitu melanggar larangan
konflik kepentingan dan lebih mengedepankan materi dalam menjalankan profesi dibandingkan
dengan penegakan hukum, kebenara, dan keadilan.
Etika Lingkungan untuk Bisnis : Pertarungan Kredibilitas, Reputasi, dan Keunggulan Kompetiti

Faktor yang mempengaruhi harapan publik untuk perilaku bisnis

Fisik Kualitas udara dan air, keselamatan

Moral Keinginan untuk keadilan dan kesetaraan dirumah dan di luar negeri

Penilaian yang buruk Kesalahan operasi, kompensasi eksekutif

Aktivis pemangku kepentingan Etika investor, konsumen, ahli lingkungan hidup

Ekonomi Kelemahan, tekanan untuk bertahan hidup, untuk memalsukan

Persaingan Tekanan Global

Penyimpangan Keuangan Banyak skandal, korban, keserakahan

Kegagalan tata keloa Pengakuan bahwa tata kelola dan penelitian risiko etika

merupakan suatu hal yang penting

Akuntabilitas Keinginan untuk transparansi

Sinergi Publisitas, perubahan sukses

Penguatan hukum kelembagaan Peraturan baru—lingkungan

Masalah Lingkungan

Tidak ada yang membangkitkan opini publik sebelumnya mengenai sifat dari perilaku perusahaan yang
baik lebih dari kesadaran bahwa kesejahteraan fisik publik—dan kesejahteraan sebagai pekerja—sedang
terancam oleh aktivitas perusahaan. Awalnya, kekhawatiran mengenai polusi berpusat pada cerobng
asap dan knalpot pembuangan, yang menyebabkan iritasi dan gangguan pernapasan. Bagaimanapun,
masalah tersebut pada awalnya relatif bersifat lokal, sehingga ketika penduduk di sekitar (perusahaan
yang menyebabkan polusi udara) menjadi marah (akibat iritasi oleh polusi udara), politisi lokal mampu
dan umumnya bersedia merancang suatu peraturan untuk mengendalikan hal tersebut walaupun
penegakan hukum yang efektif tidak terjamin.

Baru-baru ini, disipasi lapisan ozon diakui sebagai ancaman serius bagi kesejahteraan fisik kita semua.
pelepasan CFC (Chlorofluorocarbon) ke atmosfir—yang dahulu dianggap sebagai refrigerant (bahan
pendingin) perumahan dan industri yang paling umum memungkinkan molekul CFC “menyedot”
molekul ozon. Pada saat yang bersamaan penebangan hutan hujan di Brazil—yang merupakan sumber
utama untuk “mengisi” kembali seluruh planet kita. Padahal, lapisan ozon berfungsi sebagai penghalang
utama bagi kita dari paparan sinar ultraviolet matahari, dimana sinar ultraviolet ini menyebabkan kanker
kulit dan kerusakan mata.
Pengakuan bahwa pencemaran air merupakan salah satu permasalahan yang memerlukan tindakan
telah di sejajarkan dengan kepedulian terhadap menipisnya lapisan ozon, sebagian karna terbatasnya
kemampuan kita untuk mengukur konsestrasi racun per menit, serta ketidakmampuan kita untuk
memahami sifat alam yang tepat, dari resiko logam air dan dioxin.. Perusahaan-perusahaan menegaskan
bahwa merekatidak memiliki solusi teknik untuk mengatasi polusi udara dan air dengan biaya murah
sehingga mereka tidak dapat mengatasi polusi secara kompetitif. Namun demikian, setelah ancaman
jangka pendek dan ancaman jangka panjang terhadap keselamatan pribadi di pahami, masyarakat
dipimpin oleh kelompok-kelompok dengan minat khusus—mulai menekan perusahaan maupun
pemerintah secara langsung untuk meningkatkan standar keamanan untuk emisi perusahaan.

Sensivitas Moral

Bukti tekanan publik untuk kejujuran lebih dan kesetaraan mudah diamati. Keinginan untuk
mencapai kesetaraan dalam pekerjaan telah menghasilkan undang-undang, peraturan, kepatuhan
kondisi dalam kontrak, dan program tindakan afirmatif perusahaan. Program-program kesetaraan upah
mulai muncul untuk menyesuaikan kesenjangan yang ada antara skala gaji untuk pria dan wanita.
Undang-undang perlindungan konsumen telah di perketat bahwa filosofi lama “pembeli waspada”—
yang cenderung melindungi perusahaan besar—telah berubah ke “vendor waspada”—yang
menguntungkan konsumen secara individu. Tes narkoba untuk karyawan telah jauh lebih hati-hati
ditangani untuk meminimalkan kemungkinan temuan palsu pada hasil tes. Semua ini adalah contoh
diman tekanan publik telah membawa perubahan kelembagaan melalui legislatif atau pengadilan untuk
kejujuran yang lebih dan kesetaraan, serta berkurangnya diskriminasi, dan oleh karena itu, kebalikan
dari perubahan ini hampir tidak mungkin terjadi. Memang, hal tersebut merupakn suatu tren atau
kecenderungan yang jelas.

Sensitivitas moral juga terlihat pada isu-isu internasional dan domestik. Kampanye untuk memboikot
pembelian dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam penggunaan tenaga kerja anak atau
memperkerjakan tenaga kerja dengan upah yang rendah di negara-negara asing memberikan kesaksian
yang cukup. Hal tersebut telah menghasilkan kode etik praktik untuk para pemasok dan mekanisme-
mekanisme untuk memastikan bahwa mereka mematuhi kode tersebut. Organisasi-organisasi, seperti
Social Accountability International dan Account Ability telah mengembangkan kebijakan-kebijakan
tempat kerja, standar-standar, program pelatihan auditor tempat kerja, dan kerangka kerja pelaporan.

Penilaian yang Buruk dan Aktivis Pemangku Kepentingan

Para direktur, eksekutif, dan manajer adalah manusia; dan mereka membuat kesalahan.
Kadang-kadang, masyarakat—atau kelompok-kelompok tertentu—tersinggung pada tahap ini akibat
penilaian buruk, serta mengambil tindakan untuk membuat direktur dan manajemen menyadari bahwa
mereka tidak menyetujuinya. Sebagai contoh, keputusan oleh Shell Inggris untuk menenggelamkan
Penyimpanan Minyak Kapal Brent Spar di laut dalam daripada membawanya ke dekat pantai
menyebabkan demonstrasi untuk mendukung Greenpeace, yang mencoba menghentikan pembuangan
minyak di lautan dan memboikot SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum) Shell di Eropa.
Produk Nestle di boikot di Amerika Utara dan Eropa untuk menghentikan distribusi bebas serbuk
formula bayi untuk para ibu di Afrika yang mencampurnya dengan air yang terkontaminasi, sehingga
membunuh bayi mereka.

Etika investor berpandangan bahwa investasi yang mereka lakukan tidak hanya membuat hasil
(pengembalian/laba) yang memadai, tetapi harus dilakukan dengan cara yang etis. Awalnya dirintis oleh
dana pensiun besar, seperti CalPERS dan The New York City Employees Pension Fund, serta investasi
dana dari beberapa gereja, gerakan ini telah ditingkatkan sejak awal 1990an oleh bebrapa reksadana
etis. Reksadana etis ini menggunakan penyaringan (screen) yang dimaksudkan untuk melumpuhkan
perusahaan yang terlibat dalam apa yang disebut kegiatan berbahaya—seperti produksi produk
tembakau, persenjataan, atau energi atom, ataupun menyalahgunakan binatang untuk pengujian.
Alternatifnya, individu atau reksadana dapat berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang telah
disaring oleh layanan konsultasi etika.

Ekonomi dan Tekanan-tekanan Kompetitif

Perkembangan pasar global telah mendorong produksi dan sumber-sumber di seluruh dunia.
Restrukturisasi telah dilihat sebagai pendorong produkitivitas dan memungkinkan biaya yang lebih
rendah dengan taraif yang lebih rendah dari pekerjaan domestik. Oleh karena itu, tekanan pada individu
digunakan untuk mempertahankan pekerjaannya mungkin tidak berkurang/mereda seperti halnya
tekanan dalam meningkatkan produksi. Demikian juga, mengingat persaingan yang lebih besar, volume
yang lebih besar tentu akan meningkatkan laba sehingga tekanan pada perusahaan tidak akan
berkurang pada tingkat yang telah dialami di masa lalu. Selain itu, perusahaan tidak akan bisa
mengandalkan kembali siklus profitabilitas untuk mengembalikan risiko perilaku yang tidak etis ke
tingkat sebelumnya. Hal tersebut mengakibatkan munculnya tingkat risiko yang kembali pada awalnya,
dimana akan bergantung pada lembaga-lembaga manajemen etika perilaku dan tata kelola rezim yang
baru.

Skandal Keuangan : Jurang Harapan dan Jurang Kredibilitas

Tidak ada keraguan bahwa masyarakat telah terkejut, kaget, kecewa, dan hancur oleh krisis
keuangan. Sebagai akibat dari guncangan yang berulang-ulang ini, masyarakat menjadi sinis terhadap
integritas keuangan perusahaan, yang begitu banyak sehingga istilah jurang harapan telah diciptakan
untuk menggambarkan perbedaan antara apa yang dipikirkan oleh masyarakat tentang apa yang mereka
dapatkan dalam laporan keuangan yang telah diaudit dan apa yang sebenarnya masyarakat dapatkan.

Secara lebih luas, penyimpangan keuangan yang berkelanjutan telah menimbulkan krisis
kepercayaan terhadap pelaporan dan tata kelola perusahaan. Kurangnya kredibilitas telah menyebar
dari pelayanan keuangan untuk mencakup bidang lain dari dari aktivitas perusahaan dan telah dikenal
sebagai jurang kredibilitas. Komite audit dan etika, keduanya dianggotai oleh mayoritas pihak di luar
direktur; penciptaan luas kode etik perusahaan; dan peningkatan pelaporan perusahaan yang dirancang
untuk mempromosikan integritas perusahaan semuanya memberikan kesaksian pada pentingnya
penanggulangan krisis (keuangan) ini.

Kegagalan Tata Kelola dan Penilaian Risiko

Direktur perusahaan diharapkan untuk memastikan bahwa perusahaan mereka telah bertindak
demi interes investor dalam rentang aktivitas yang dianggap cocok oleh masyarakat dimana mereka
beroperasi. Akan tetapi, dalam kasus Enron, WorldCom, dan kasus-kasus lainnya, pengawasan oleh
direktur perusahaan gagal mengetahui terjadinya keserakahan eksekutif, manajer, dan karyawan
lainnya. Perusahaan-perusahaan ini dan perusahaan-perusahaan lainnya berada di luar kontrol, serta
praktik yang dihasilkan tidak dapat diterima.

Pembalikan keberuntungan yang tiba-tiba ini—disebabkan oleh kegagalan untuk mengatur


risiko etika—mengubah kalkulus manajemen risiko secara mendalam. Probabilitias kegagalan krisis yang
disebabkan oleh risiko etika yang gagal dalam pengaturannya tidak bisa disangkal secara nyata, jauh
lebih tinggi dari diharapkan oleh siapa pun.

Reformasi tata kelola dianggap perlu untuk melindungi kepentingan umum. Dimana direktur
diharapkan untuk menilai dan memastikan bahwa risiko yang di hadapi oleh perusahaan mereka telah
dikelola dengan baik, risiko etika sekarang terlihat menjadi aspek kunci dari proses. Reformasi tata
kelola memastikan bahwa tidak akan terjadi keterlambatan pada hal tersebut.

Peningkatan Akuntanbilitas yang Diinginkan

Kurangnya kepercayaan dalam proses kegiatan perusahaan juga melahirkan keinginan untuk
meningkatakan akuntabilitas pada pihak investor dan terutama oleh para pemangku kepentingan
lainnya. Perusahaan di seluruh dunia telah merespons dengan menerbitkan informasi lebih lanjut dalam
situs Web mereka dan melaporkan bebas tentang kinerja dari Corporate Social Responsibility (CSR)
mereka, termasuk subjek/topik, seperti lingkungan, kesehatan dan keselamatan, filantropi,serta dampak
sosial lainnya. Meskipun beberapa informasi dalam laporan-laporan ini condong ke arah sasaran
manajemen, verifikasi eksternal dan reaksi terhadap informasi yang salah secara berangsur-angsur
memperbaiki isi informasi yang terkandung. Tren ini jelas ke arah peningkatan laporan nonfinansial,
yang sesuai dengan harapan masyarakat yang terus tumbuh.

Sinergi Di Antara Faktor-faktor dan Penguatan Kelembagaan

Hubungan di antara faktor-faktor yang memengaruhi ekspektasi masyarakat atas etika kinerja
telah diidentifikasi, tetapi tidak di ketahui sejauh mana hubungan tersebut saling memperkuat satu
sama lain dan menambah keinginan masyarakat untuk bertindak. Beberapa hari yang lalu, koran, radio,
dan televisi tidak menampilkan krisis keuangan, masalah keamanan produk, masalah lingkunga, atau
artikel tentang kesetaraan jenis kelamin atau diskriminasi. Secara keseluruhan, hasilnya merupakan
kumulatif peningkatan dari kesadaran masyarakat tentang perlunya kontrol terhadap perilaku
perusahaan yang tidak etis. Selain itu, terdapat banyak contoh yang bermunculan, di mana eksekutif
bisnis tidak membuat keputusan yang tepat, serta etika konsumen atau investor bertindak dan berhasil
membuat perusahaan mengubah praktik mereka atau meningkatkan struktur tata kelolanya untuk
memastikan bahwa proses pengambilan keputusan di masa depan lebih sehat. Keseluruhan etika
konsumen dan gerakan SRI telah diperkuat oleh pengetahuan bahwa bertindak atas keprihatinan
mereka dapat menjadikan perusahaan dan masyarakat lebih baik, sehingga tidak miskin.

Selanjutnya, kesarana masyarakat berdampak pada politisi yang bereaksi dengan menyiapkan
undang-undang yang baru atau mengetatkan peraturan. Akibatnya, banyak masalah membawa
kesadaran masyarakat dalam penguatan kelembagaan dan kodifikasi pada hukum yang berlaku.
Banyaknya permasalahan etika yang disoroti memfokuskan pemikiran tentang perlunya tindakan yang
lebih etis, “ibarat bola salju yang mengumpulkan kecepatan ketika bergerak turun dari puncak
gunung/bukit”.

Keinginan untuk standar global pengungkapan perusahaan, praktik audit, dan keseragaman
etika perilaku, para akuntan profesional telah menghasilkan standar akuntansi dan audit internasional di
bawah naungan Internasional Accounting Standards Board (IASB) dan International Federation of
Accountants (IFAC). Kreasi mereka—International Financial Reporting Standards (IFRS) dan Kode Etik
untuk Akuntan profesional—merupakan titik fokus untuk harmonisasi di seluruh dunia.

Gerakan menuju tingkat akuntanbilitas perusahaan dan etika kinerja tidak lagi hanya ditandai
oleh para pemimpin yang mau pergi mengambil risiko: gerakan yang lebih tinggi ini telah menjadi suatu
tendensi dan bersifat internasional.

Hasil

Secara jelas, harapan masyarakat telah berubah untuk menunjukkan menurunnya toleransi,
meningkatkan moral, kesadaran, dan harapan yang lebih tinggi dari perilaku bisnis. Dalam merespons
meningkatnya harapan-harapan ini, sejumlah pengawas dan penasehat telah muncul untuk membantu
atau mendesak masyarakat umum dan bisnis. Organisasi-organisasi, seperti Greenpeace, Pollution
Probe, dan Coaliation for Environmentally Responsible Economies (CERES, sebelumnya bernama Sierra
Club) sekarang mengawasi hubungan bisnis dengan lingkungan. Konsultan tersedia untuk member
nasehat perusahaan dan mereka yang dikenal sebagai investor etika tentang bagaimana menyaring
aktifitas-aktifitas dan investasi-investasi demi profitabilitas dan integritas etika.

Harapan Baru Untuk BisnisMandat Baru Untuk Bisnis

Perubahan-perubahan dalam harapan masyarakat telat memicu sebuah evolusi dalam mandate untuk
bisnis:laba hanya dari Milton Friedman telah diganti dengan pandangan bahwa bisnis ada untuk
melayani masyarakat,bukan sebaliknya.
Hal tersebut dapat menyatakan bahwa derajat perubahan terlalu kuat,tetapi bahkan mereka akan
mengakui bahwa hubungan bisnis untuk masyarakat merupakan aspek yg saling bergantung satu sama
lain,dimana “kesehatan jangka panjang” yang salah satu aspek akan menentukan “kesehatan jangka
panjang” yang lain.

Meskipun terdapat banyak argument pro maupun kontra terhadap posisi dalam Mulligan (1986),ada tiga
masalah penting yang patut di sebutkan antara lain 1).Deviasi dari laba hanya fokus tidak berarti bahwa
keuntungan akan jatuh pada kenyataannya,laba akan naik.2).Keuntungan sekarang diakui sebagai
sebuah ukuran kinerja perusahaan yang tidak lengkap dan oleh karena itu tidak akurat untuk mengukur
alokasi sumber daya.3).Friedman diharapkan secara eksplisit bahwa kinerja akan berada dalam hukum
dan etika kebiasaan .

Pertama,ada mitos bahwa bisnis tidak dapat bersikap etis karena terlalu banyak kesempatan yang
diberikan untuk memaksimalkan keuntungan.

Kedua,dari argument Friedman yang terkikis sejak pertama kali diusulkan yaitu akurasi , dimana laba
membimbing alokasi-alokasi sumber daya untuk penggunaannya yang terbaik bagi masyarakat.

Akhirnya,Milton Friedman sendiri mengungkapkan pandangan-pandangan bahwa keuntungan harus


diperoleh atau dicari berdasarkan undang-undang dan etika kebiasaan masyarakat.Hal ini tidak dihargai
oleh banyak orang yang berdebat mengenai keuntungan murni dalam bentuk nyata laissez
faire(ekonomi pasar bebas) terkuatnya.Jelas,kekacauan akan terjadi jika bisnis dilakukan dalam
lingkungan yang benar-benar ytidak dikendalikan secara baik.

Mereka yang berfokus dalam prinsip keuntungan murni sering membuat keputusan oportunisi jangka
pendek yang membahayakan keuntungan jangka panjang yang berkelanjutan .Mereka sering melupakan
fakta bahwa keuntungan berkelanjutan merupakan hasil usaha dari penyediaan barang dan jasa yang
berkualitas tinggi,berdasarkan hukum dan norma etika dengan cara yang efisien dan efektif.Jauh lebih
efektif untuk berfokus pada penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat secara
efisien,efektif,legal,dan etis dari pada mengadopsi sasaran beresiko tinggi untuk menghasilkan
keuntungan dengan cara apapun.

Untuk alasan ini,mandate keuntungan murni bagi perusahaan kemudian berkembang pada pengakuan
ketergantungan bisnis dan masyarakat.Keberhasilan masa depan akan bergantung pada sejauh mana
bisnis dapat menyeimbangkan keuntungan dan interest pemangku kepentaingan lainnya.

Penilaian keberhasilan masa depan perusahaan akan dilakukan berdasarkan kerangka kerja berorientasi
pemangku kepentingan yang luas,termasuk apa yang telah di capai dan bagaimana mencapainya.

Tata Kelola dan Kerangka Kerja Akuntabilitas yang Baru


Berdasarkan analisis ini,perusahaan sukses akan dilayani dengan sangat baik oleh mekanisme tata kelola
dan akuntabilitas yang berfokus pada sebuah kumpulan hubungan fidusia yang berbeda dan lebih luas
dibandingkan dengan masa lalu.

Kesetiaan direktur dan eksekutif harus mencerminkan interest pemangku kepentingan,terkait dengan
sasaran,proses dan hasil.Tujuan dan proses tata kelola harus mengarahkan perhatian kepada perspektif-
perspektif baru ini.Demikian juga,kerangka akuntabilitas modern harus mencakup laporan yang berfokus
pada perspektif itu.Jika tidak,harapan masyarakat tidak akan dipenuhi dan peraturan tersebut dibuat
untuk memastikan perhatian dan fokus tersebut.

Peranan Fidusia yang Dperkuat bagi Akuntan Profesional

Harapan masyarakat untuk laporan kinerja perusahaan yang dapat dipercaya tidak dapat
dipenuhi,kecuali para akuntan professional yang mempersiapkan atau mengaudit laporan tersebut
memfokuskan loyalitas utama mereka pada kepentingan umum dan mengadopsi prinsip-prinsip,seperti
kebebasan penilaian,objektifitas,dan integritasyang melindungi kepentingan umum.Loyalitas kepada
manajemen dan/atau direktur dapat menyesatkan karena mereka telah sering terbukti sangat
mementingkan diri sendiri dan tidak dapat dipercaya.Direktur yang seharusnya mengatur manajemen
sering mengandalkan akuntan professional untuk memenuhi tanggung jawab fidusia
mereka.Konsekuensinya,tanggung jawab fidusia utama dari akuntan seharusnya kepada masyarakat
atau untuk kepentingan umum.

Tanggapan dan Perkembangan

Kemunculan Model-Model Tata Kelola dan

Akuntabilitas Pemangku Kepentingan

Beberapa tren penting lainnya yang dikembangkan sebagai hasil dari tekanan ekonomi dan kompetitif
yang telah dan terus memiliki efek pada etika bisnis dan kepada akuntan professional.Tren ini
mencakup:

· Memperluas kewajiban hukum untuk direktur perusahaan

· Pernyataan manajemen kepada pemegang saham atas kecukupan pengendalian internal, dan

· Ketetapan niat untuk mengelola dan melindungi reputasi,meskipun perubahan yang signifikan juga
terjadi dalam cara organisasi beroperasi,mencakup:

· Reorganisasi,pemberdayaan karyawan,dan penggunaan data elektronik yang berhubungan, dan


· Meningkatnya ketergantungan manajemen pada indicator kinerja nonkeunangan yang digunakan
secara nyata.

Reaksi awal perusahaan terhadap etika lingkungan yang lebih menuntut adalah keinginan untuk
mengetahui bagaimana aktivitas etisnya mereka,kemudian mencoba untuk mengelola tindakan mereka
dengan mengembangkan kode etik.Setelah menerapkan kode etik (tersebut),keinginan selanjutnya
adalah untuk memantau kegiatan sehubungan dengan hal itu dan untuk melaporkan prilaku itu,awalnya
secara internal kemudian eksternal.

Jelaslah bahwa pendekatan “inventarisasi dan perbaiki” menuju system “diperbaiki” untuk mengatur
prilaku karyawan:yaitu,yang tidak dilengkap dan tidak memberikan panduan etika pada semua atau
bahkan sebagian besar masalah yang dihadapi.Karyawan penyimpangan baik secara suka rela atau tidak
masih bisa mengatakn bahwa tidak ada yang mengatak kepada saya untuk tidak melakukannya.

Kode etik menawarkan kerangka kerja penting untuk pengambilan keputusan dan kendali
karyawan,posisi perusahaan sangan rentan karena produk atau proses produktif yang ditemukan sejalan
dengan kepentingan mereka sehubungan dengan mengembangkan system informasi peringatan dini
untuk memfasilitasi tindakan perbaikan yang cepat ketika terjadi masalah sebgai contoh,occidental
petroleum mengakui kepatiannya merusak lingkungan dan mencipatakan tiga tingkatan,syarat
pemberitahuan ke kantor pusat untuk memrikan informasi secara tepat waktu kepada manajemen
senior dan para ahli di bidang prosedur pembersihan.

Awal tahun 1994,Lynn Sharp Paine menerbitkan sebuah artikel didalam majalah Harvard Business
Review yang berjudul “Managing for Integrity”,dimana ia membuat kasus untuk mengintegrasikan etika
dan manajemen.Selain itu,pada periode 1990-an,dapat dipahami bahwa pendekatan-pendekatan
manajemen harus mencerminkan akuntabilitas pemangku kepentingan,tidak hanya pemegang
saham.Perusahaan memiliki berbagai pemangku kepentingan yang luas-karyawan,pelanggan,pemegang
saham,pemasok,kreditur,ahli lingkungan,pemerintah dan seterusnya yang memiliki kepentingan dalam
kegiatan atau dampak perusahaan.Meskipun pemangku kepentingan ini mungkin tidak memiliki klaim
hukum pada perusahaan,mereka dapat memengaruhi keuntungan jangka pendek dan jangka
panjang.Akibatnya,jika sebuah perusahaan ingin mencapai tujuan strategis secara optimal,interes para
pemangku kepentingan harus diperhitungkan saat manajemen membuat keputusan.Cara terbaik untuk
melakukan hal ini adalah untuk membangun pengenalan interes pemangku kepentingan dalam
pelaksanaan perencanaan strategis .

Peta Akuntabilitas Pemangku Kepentingan Perusahaan

Manajemen Berdasarkan Nilai,Reputasi dan Risiko

Para direktur eksekutif,manajer,dan karyawan lainnya harus memahami sifat dari interes pemangku
kepentingan dan nilai-nilai yang mendukungnya untuk menggabungkan interes pemangku kepentingan
kedalam kebijakan,strategi dan operasional perusahaan,
Berbagai pendekatan telah dikembangan untuk memeriksa interes pemangku kepentinga,seperti
survey,kelompok-kelompok,fokus dan pemetaan menurut stereotip.

Relevansi dari hypernorms sangat signifikan bagi keberhasilan masa depan


perusahaan.Akibatnya,mereka harus dibangun menjadi sebuah kode etik,kebijakan,strategi,dan
kegiatan sebuah perusahaan dalam upaya untuk memastikan bahwa interes banyak kelompok
pemangku kepentingan di hormati,dan bahwa reputasi perusahaan akan menghasilkan dukungan
maksimal.

Penentu Reputasi

Akuntabilitas

Perbaikan yang diperlukan dalam integritas ,transparansi,dan akurasi telah memotivasi diskusi di antara
akuntan (professional) untuk mengenali sifat pedoman yang seharusnya mereka gunakan untuk
menyusun laporan keuangan,aturan-aturan atau prinsip-prinsip.Kekurangan integritas,transparasi,dan
akurasi jelas terdapat pada laporan keuangan.

Keinginan untuk relevansi telah melahirkan gelombang dalam laporan,terutama yang bersifat
nonfinansial,dan telah disesuaikan dengan kebutuhan pemangku kepentingan tertentu.

Etika Perilaku dan Perkembangan dalam Etika bisnis

Dalam menanggapi perubahan yang dijelaskan sebelumnya,ada sebuah minat terbaru mengenai
bagaimana filsuf mendefinisikan etika perilaku,dan pelajaran-pelajaran yang telah dipelajari selama
berabad-abad.Selain itu,pada tingkat aplikasi yang lebih tinggi,beberapa konsep dan istilah telah
dikembangkan yang memfasilitasi pemahaman akan evolusi yang terjadi dalam akuntabilitas bisnis
dalam pembuatan keputusan etika

Pendekatan Filosofis untuk Etika Perilaku

Filsuf Yunani,Aritoteles,berpendapat bahwa tujuan hidup adalah kebahagiaan dan kebahagiaan dicapai
dengan menjalani hidup secara bijak sesuai dengan alasan

Filsuf Jerman,Immanuel Kant,berpendapat bahwa orang-orang beretika ketika mereka tidak


memanfaatkan orang lain demi kesejahteraannya,dan ketika mereka tidak bertindak dengan cara yang
munafik dalam menuntut perilaku tingkat tinggi dari orang laim,sementara membuat pengecualian bagi
diri mereka sendiri.

Filsuf Inggris,John Stuart Mill,menyatakan bahwa tujuan hidup adalah untuk memaksimalkan
kebahagiaan dan atau untuk mengurangi keidakbahagiaan atau sakit,dan tujuan masyarakat adalah
untuk memaksimalkan manfaat social bersih bagi semua orang.

Filsuf Amerika,John Rawis,berpendapat bahwa masyarakat harus diatur sehingga ada distribusi yang adil
atas hak dan manf\aat,dan bahwa setiap ketimpangan harus menguntungkan semua orang.
Konsep dan Persyaratan etika bisnis

Secara khusus,ada dua perkembangan yang sangat berguba dalam memahami etika bisnis,serta
bagaimana bisnis dan profesi bisa mendapatkan keuntungan dari penerapannya.Dua perkembangan itu
adalah konsep pemangku kepentingan dan suatu konsep dari kontrak social perusahaan.

Pendekatan untuk pengambilan keputusan etis

Semua pendekatan dimulai dengan identifikasi pemangku kepentingan yang signifikan,suatu investigasi
terhadap interes mereka,dan peringkat interes-interes tersebut untuk memastikan bahwa hal paling
penting adalah memberikan perhatian yang memadai selama analisis dilakukan dan pertimbangan lebih
pada tahap pengambilan keputusan.

Etika prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh para filsuf memberikan wawasan ke dalam dimensi kunci
dari etika penalaran.Para pembuat keputusan harus memahami tiga mendekatan filosofis
dasar:konsekuensialisme,deontology, dan etika kebajikan.

Etika Lingkungan untuk Akuntan-akuntan Profesional

Peran dan perilaku

Kebutuhan perubahan tambahan pada peran dan perilaku akuntan professional mendahului krisis yang
baru-baru ini terjadi.Apakah mereka terlibat dalam audit atau jaminan fungsi layanan dalam
manajemen,dalam konsultasi,ataupun sebagai direktur.Akuntan professional tampak secara historis
sebagai arbiter dari akuntabilitas organisasi dan ahli dalam ilmu pengambilan keputusan.Oleh karena itu
kita menyaksikan “perubahan arus” dalam akuntabilitas perusahaan dengan memperluas dari hanya
melampaui para pemegang saham ke pemangku kepentingan,perupakan tanggung jawab akuntan untuk
memahami evolusi ini dan bagaimana evolusi tersebut dapat mempengaruhi fungsi nya.

Tata Kelola

Dalam profesi akuntansi ,gerakan menuju harmonisasi secara global sekumpulan prinsip-prinsip
akuntansi dan audit yang berlaku secara umum (GAAP dan GAAS) untuk memberikan efisiensi analisis
bagi penyedia modal pasar-pasar dunia serta efisiensi komputasi dan audit diseluruh
dunia.Akibatnya,ada rencana untuk menyelaraskan secara bertahap sejumpulan GAAP yang
dikembangkan JASB di London,Inggris,serta yang dikembangkan oleh Financial Accounting Standards
Boards (FASB) di AS menjadi suatu rangkaian umum yang akan berlaku di semua Negara.

Layanan yang di Tawarkan

Kemunculan dan pertumbuhan perusahaan multidisiplin di akhir periode 1990-an yang melibatkan para
professional,seperti pengacara dan insinyur untuk menyediakan jaminan yang lebih luas dan layanan
lain untuk klien audit mereka,telah dibatasi SEC yang telah di revisi dan standar-standar lainnya.
Etika Perilaku Kontribusi Para Filsuf

Pengertian Etika dan Kode Etik Etika adalah cabang dari filsafat yang menyelidiki penilaian normative
tentang apakah perilaku ini benar atau apa yang seharusnya dilakukan. Etika merupakan pembelajaran
tentang norma-norma dan nilai-nilai yang berkaitan dengan salah dan benar, baik dan buruk, seperti apa
yang harus dilakukan dan tindakan apa yang harus dihindari. Dilema etika muncul ketika norma-norma
dan nilai-nilai mengalami konflik dan terdapat tindakan alternatif yang dapat dilakukan karena dilema
etika tidak mempunyai standar objektif dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu diperlukan kode
etik yang bersifat subjektif.

Encyclopedia of philosophy

mendefinisikan etika dalam tiga cara:

1. pola umum atau cara hidup

2.seperangkat aturan perilaku atau kode etik

3. penyelidikan tentang cara hidup dan aturan perilaku Sedangkan moralitas dan kode etik didefinisikan
dalam Encyclopedia of philosophy sebagai istilah yang mengandung empat karakteristik:

1.keyakinan tentang sifat manusia

2.keyakinan tentang cita-cita, tentang apa yang baik atau diinginkan atau kelayakan untuk mengejar
kepentingan diri sendiri

3.aturan yang menjelaskan apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan

4. motif yang cenderung membuat kita memilih jalan yang benar atau salah Masing-masing karakteristik
dijelaskan dengan empat teori etika utama yang diterapkan oleh orang-orang dalam pengambilan
keputusan etis dalam lingkungan bisnis. Teori tersebut antara lain: utilitarianisme, deontology,
kesetaraan dan keadilan kewajaran, serta etika kebajikan. Sebagai contoh, utilitarianisme menekankan
pentingnya aturan dalam mengejar apa yang baik atau yang diinginkan, sedangkan deontology
memeriksa motif dari pengambilan keputusan etis. Etika kebajikan cenderung untuk mempelajari
manusia dengan cara yang lebih holistik yang mengacu pada sifat kemanusiaan. Meskipun penekanan
masing-masing teori berbeda, semua teori tersebut memiliki banyak fitur-fitur yang umum terutama
kepedulian terhadap apa yang yang seharusnya dan yang tidak seharusnya dilakukan. Pada gambar di
bawah dijelaskan bahwa teori-teori etika memberikan panduan dalam membuat keputusan etis. Seperti
dalam bisnis, ada banyak kendala yang mempengaruhi apakah seseorang pembuat keputusan benar-
benar melakukan hal yang benar. Faktor yang meringankan dapat dikelompokkan menjadi kendala
organisasi dan karakteristik pribadi yang termasuk sistem imbalan, budaya organisasi dan sifat
kepemimpinan. Karakteristik pribadi yang mempengaruhi individu untuk benar-benar melakukan apa
yang diketahuinya sebenarnya meliputi kesalahan pemahaman tentang bisnis, komitmen berlebihan
untuk
1.1. Sniff Tests dan Aturan Praktis Umum – Tes Awal Etikalitas Sebuah Keputusan
Pendekatan filosofi memberikan dasar bagi pendekatan keputusan praktis dan bantuan yang
berguna, meskipun sebagian besar eksekutif dan akuntan professional tidak menyadari
bagaimana dan mengapa demikian.

 Sniff Test Untuk Pengambilan Keputusan Etis

Akankah sya merasa nyaman jika tindakan atau keputusan ini muncul dihalaman depan
surat kabar nasional besok pagi?

Akankah saya bangga dengan keputusan ini?

Akankah ibu saya bangga dengan keputusan ini?

Apakah tindakan atau keputusan ini sesuai dengan misi dank ode etik perusahaan?

Apakah hal ini terasa benar bagi saya?

 Aturan Praktis Untuk Pengambilan Keputusan Etis

Golden Rule: Perlakuan orang lain seperti anda ingin diperlakukan

Peraturan pengungkapan: jika anda merasa nyaman dengan tindakan atau keputusan
setelah bertanya pada diri sendiri apakah anda akan keberatan jika semua rekan, teman,
dan keluarga anda meyadari hal itu, maka anda harus bertindak atau memutuskan.

Etika intuisi: lakukan apa yang “firasat anda” katakana untuk anda lakukan.

Imperatif Kategoris: jangan mengadopsi prinsip-prinsip tindakan, kecuali prinsip-prinsip


tersebut dapat, tanpa adanya inkonsistensi, diadopsi oleh orang lain.

Etika profesi: lakukan hanya apa yang bisa anda jelaskan didepan komite dari rekan-
rekan professional anda.

Prinsip Utilitarian: lakukan “yang terbaik untuk jumlah terbesar”

Prinsip kebajikan: lakukan apa yang menujukkan kebajikan yang diharapkan.


1.2. Analisis Dampak Pemangku Kepentingan – Perangkat Komprehensif untuk
Menilai Keputusan dan Tindakan
1.2.1. Gambaran Umum
Sejak john stuart mill mengembangkan konsep utilitarianisme pada tahun 1861, suatu
pendekatan yang diterima untuk penilaian keputusan dan tindakan yang dihasilkan telah dipakai
untuk mengevaluasi atau konsekuensi dari tindakan. Bagi kebanyakan pengusaha, evaluasi ini
sebelumnya didasarkan pada dampak keputusan itu terhadap kepentingan pemilik perusahaan
atau pemegang saham. Biasanya dampak tersebut telah diukur dalam bentuk keuntungan atau
kerugian yang timbul, karena laba telah menjadi ukuran tingkat kebaikan yang ingin di
maksimalkan oleh para pemegang saham.
Padangan tradisional megenai akuntabilitas perusahaan baru-baru ini telah dimodifikasi
menjadi dua cara. Pertama, asumsi bahwa semua pemegang saham hanya ingin dimaksimalkan
keuntungan jangka pendek tampaknya merupakan fokus yang terlalu sempit. Kedua, hak-hak dan
klaim dari mayoritas kelompok bukan pemegang saham, seperti karyawan, konsumen, pemasok,
kreditor, pemerhati lingkungan, masyarakat lokal, dan pemerintah yang memiliki kepentingan
atau interes dalam hasil keputusan atau pada perusahaan itu sendiri, telah diselaraskan dengan
status dalam pengambilan keputusan perusahaan.
Asumsi dari kelompok pemegang saham monolitis yang hanya tertarik pada keuntungan
jangka pendek sedang mengalami perubahan karena perusahaan modern menyatakan pemegang
saham mereka juga terdiri atas orang-orang dan investor institusi awal yang tertarik pada horizon
waktu jangka panjanag dan bagaimana bisnis dilakukan secara etis.
Investor etis dan investor lainnya, serta kelompok pemangku kepentingan, cenderung
tidak mau memaksa mengeluarkan laba tahun berjalan jik itu berarti merugikan lingkungan atau
hak-hak pemangkun kepentingan lainnya. Mereka percaya pada pengelolaan perusahaan secara
lebih luas dari pada keuntungan jangka pendek. Biasanya, memaksimalkan keuntungan dalam
jangka wakyu lebih dari satu tahun membjutuhkan hubungan yang harmonis dengan sebagian
besar kelompok pemangku kepentingan dan kepentingan mereka. Eksekutif dan direktur yang
melihat jauh kedepan menginginkan kekhawatiran ini diperhitungkan sebelum pemangku
kepentingan yang tersinggung harus mengingatkan mereka. Perusahaan menemukan bahwa di
masa lalu mereka telah secara sah dan pragmatis bdertanggung jawab kepada pemegang saham,
tetapi mereka juga makin bertanggung jawab kepada para pemangku kepentingan.
1.2.2. Kepentingan Dasar Para Pemangku Kepentingan
Untuk memfokuskan analisis dan pengambilan keputusan pada dimensi etika:
1. Kepentingan mereka harus menjadi lebih baik sebagai akibat dari keputusan tersebut.
2. Keputusan akan menghasilkan distribusi yang adil antara manfaat dan beban.
3. Keputusan seharusnya tidak menyinggung salah satu hak setiap pemangku kepentingan,
termasuk hak pengambilan keputusan.
4. Perilaku yang dihasilkan harus menunjukkan tugas yang diterima sebaik-baiknya.

Anda mungkin juga menyukai