Pembimbing :
Disusun oleh :
Diagnosis
Didahului dengan faringitis akut sekitar 20 hari sebelumnya, yang merupakan periode laten
(asimtomatik), rata-rata onset sekitar 3 minggu sebelum timbul gejala.
Diagnosis berdasarkan Kriteria Jones (Revisi 1992). Ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor,
atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti infeksi streptokokus Grup A
tenggorok positif + peningkatan titer antibodi streptokokus.
Karditis Artralgia
Poliartritis Demam
Korea Lab:
Eritema marginatum o ASTO >
Nodul subkutan (EKG: o LED >, CRP +
PR interval memanjang)
Definisi Hand, foot and mouth diseases, adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang
sering terjadi pada anak-anak. Gejala yang khas untuk penyakit ini adalah demam dan
timbulnya rash atau bercak kemerahan dan berair pada telapak tangan, telapak kaki, dan mukosa
mulut.
Etiologi Hand-foot-and-mouth disease disebabkan oleh sekelompok virus RNA yang disebut
enterovirus. Enterovirus yang paling sering terlibat adalah coxsackievirus A16. Namun, CVA4-7,
CVA9, CVA10, CVA24, CVB2 dan CVB25 dan Enterovirus (EV) 71 serta herpes virus simpleks
(HSV) dapat menyebabkan penyakit ini. HEV71 adalah yang berbahaya karena HEV71 baru-baru
ini terlibat dalam beberapa wabah besar dengan komplikasi parah dan kematian.
Patogenesis Kasus biasanya menyebar melalui rute fecal-oral atau oral-oral. Transmisi droplet
pernapasan juga dapat terjadi tetapi jarang terjadi. Virus menyebar ke kelenjar getah bening
regional dalam waktu 24 jam yang kemudian menjadi skin rash (makula vesikel ulcer).
Masa inkubasi 4 sampai 7 hari dan periode prodromal dari 3 sampai 4 hari kemudian lesi pada
mulut sembuh dalam waktu 1 minggu namun lesi pada tangan dan kaki dapat berlangsung hingga
10 hari.
Tanda dan Gejala Klinis HFM biasanya mengenai anak-anak usia dibawah 10 tahun pada musim
panas. 75-100 % pasien memiliki skin rash terutama pada tangan dan kaki (telapak) dan 30%
terdapat pada pantat. Penyakit ini diawali dengan demam tinggi di atas 38oC, lemas, tidak ada
nafsu makan, aktifitas menurun, kemudian dalam 1 atau 2 hari akan timbul bintik-bintik merah
kecil (2-3 mm) yang akan cepat berubah menjadi bintik merah berair (vesikel), yang tampak pada
telapak tangan, telapak kaki, dan rongga mulut. Telah dilaporkan kasus yang berat dan melibatkan
sistem saraf pusat, myocarditis, dan oedem paru-paru secara epidemik yang disebabkan oleh
enterovirus.
Oral Manifestation :
Pasien mengalami demam dan keluhan nyeri pada rongga mulut dan tenggorokan. Lesi dimulai
dari makula eritema yang kemudian menjadi vesikel lalu menjadi ulcer, biasanya ditemukan pada
lidah, palatum keras, palatum lunak dan mukosa bukal dan mukosa oral lainnya. Lesi pada mulut
lebih meluas daripada yang digambarkan pada Herpangina.
Hand-Foot and Mouth Disease pada mukosa bukal Hand-Foot and Mouth Disease pada tangan
Hand-Foot and Mouth Disease pada kaki
Diagnosis diketahui dari manifestasi klinis yang khas. Pada pasien dengan presentasi atipikal,
konfirmasi laboratorium muncul. Isolasi virus dari kultur dapat dilakukan dan analisis spesimen
feses adalah teknik terbaik pada pasien dengan lesi mukosa saja. Temuan kultur pada tenggorokan
cenderung positif terutama selama akut tahap awal. Kultur lesi kulit adalah cara terbaik untuk
mendiagnosis HFMD. Demonstrasi serologi juga dibutuhkan dalam diagnosis kasus ini.
Rencana Terapi Tidak terdapat pengobatan spesifik terhadap HFMD. Penyakit ini merupakan
“self limited diseases”, artinya dapat sembuh dengan sendirinya. Pengobatan HFMD adalah
simtomatik dan suportif. Simtomatik artinya ditujukan pada gejala saja yaitu demam dan nyeri
tenggorokan. Demam dan nyeri dapat diberikan golongan paracetamol ataupun ibuprofen. Terapi
suportif adalah penderita HFMD harus minum air dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya
dehidrasi akibat intake yang berkurang karena nyeri menelan. Pasien juga harus cukup beristirahat.
Prognosis HFMD adalah baik. Biasanya dalam waktu 7-10 hari gejala akan membaik. Komplikasi
yang mungkin terjadi adalah radang selaput otak (meningitis aseptik), radang otak (encephalitis),
tetapi hal ini sangat jarang terjadi.
3. Hepatitis
Definisi Istilah Hepatitis berasal dari bahasa Yunani kuno “hepar”, dengan akar kata “hepat”
yang berarti hati (liver), dan akhiran –itis yang berarti peradangan. Hepatitis adalah Suatu
peradangan pada hati yang terjadi karena toksin seperti; kimia atau obat atau agen penyakit
infeksi. Hepatitis adalah keadaan radang/cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus, obat
atau alcohol.
Etiologi Secara umum agen penyebab hepatitis virus dapat diklasifikasikan kedalam dua grup
yaitu hepatitis dengan transmisi secara enterik dan transmisi melalui darah.
PATOGENESIS
STADIUM PENYAKIT
1. Stadium Inkubasi
Periode antara infeksi HAV dan munculnya gejala berkisar 15 – 49 hari, rata-rata 25-
30 hari. Inkubasi tergantung jumlah virus dan kekebalan tubuh.
2. Stadium Prodromal
Ditandai dengan gejala seperti : mual, muntah, nafsu makn menurun, merasa penuh
diperut, diare (sembelit), yang diikuti oleh kelemahan, kelelahan, demam, sakit
kepala, gatal-gatal, nyeri tenggorokan, nyeri sendi, gangguan penciuman dan
pengecapan, sensitif terhadap cahaya, kadang-kadang batuk. Gejala ini seperti
“febrile influenza infection”. Pada anak-anak dan remaja gejala gangguan
pencernaan lebih dominan, sedangkan pada orang dewasa lebih sering menunjukkan
gejala ikterik disertai mialgia.
3. Stadium Klinis
90% dari semua pasien HAV akut adalah subklinis, sering tidak terdeteksi. Akhir
dari prodromal dan awal dari fase klinis di tandai dengan urin yang berwarna coklat,
urobilinogenuria persisten, proteinuria ringan dan microhaematuria dapat
berkembang. Feses biasanya acholic, dengan terjadinya ikteric (60-70% pada anak-
anak, 80-90% pada dewasa). Sebagian gejala mereda, namun demam bisa tetap
terjadi. Hepatomegali, nyeri tekan hepar splenomegali, dapat ditemukan. Akhir masa
inkubasi LDL dapat meningkat sebagai espresi duplikasi virocyte, peningkatan
SGOP, SGPT, GDH. Niali Transaminase biasanya tidak terlalu diperlukan untuk
menentukan derajat keparahan. Peningkatan serum iron selalu merupakan ekspresi
dari kerusakan sel hati. AP dan LAP meningkat sedikit. HAV RNA terdeteksi sekitar
17 hari sebelum SHPT meningkat dan beberapa hari sbelum HAV IgM muncul.
Viremia bertahan selama rata-rata 79 hari setelah peningkatan GPT , durasinya
sekitar 95 hari.4
4. Penyembuhan
fase ikterik berlangsung sekitar 2-6 minggu. Parameter laboratorium benar-benar
normal setelah 4-6 bulan. Normalisasi dari serum asam empedu juga dianggap
sebagai perameter dari penyembuhan.4
Terdiri atas virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis D (HDV), dan virus hepatitis C (HCV).
1. Virus Hepatitis B
Virus hepatitis B adalah virus DNA hepatotropik, hepadnaviridae terdiri atas 6 genotip
(A sampai H), terkait dengan derajat beratnya dan respon terhadap terapi. Terdiri dari 42
nm partikel sferis dengan inti nukleokapsid, densitas elektron, diameter 27 nm, selubung
luar lipoprotein dengan ketebalan 7 nm. Inti HBV mengandung ds DNA partial (3,2 kb)
dan :
Protein polimerase DNA dengan aktivasi reserve transkriptase
Antigen hepatitis B core (HbcAg) merupakan protein struktural
Anti hepatitis B e (HbeAg) merupakan protein non-struktural yang berkorelasi
secara tidak sempurna dengan replikasi anti HBV
Satu serotipe utama dengan banyak subtipe berdasarkan keanekaragaman protein HbsAg. Virus
HBV mutan merupakan konsekuensi proof reading yang terbatas dari reverse transkriptase atau
munculnya resistensi, hal tersebut meliputi :
PATOGENESIS
Virus Docking : virus docking dengan sel hati terjadi secara langsung melalui reseptor
spesifik. Protein kapsid yang berisi HBV DNA diangkut ke inti sel denganbantuan nuklear, sinyal
lokalisasi. Dan pengembangan partikel dane yang lengkap dimulai dan virus baru dieksresikan
dari hepatosit oleh aparatus golgi. Sekitar 5x1013 virus diperoduksi per hari. Uptake virus
dipengaruhi oleh endositosis.dan DNA virus mencapai inti sel.4
Hepatocytolisis disebabkan oleh respon sel imun untuk viruscoded atau virus induced
antigens dari membran sel hati. 4
2. Virus Hepatitis D
Virus akut Hepatitis D merupakan virus RNA tidak lengkap, memerlukan bantuan dari
HBV untuk ekspresinya, patogenitas tapi tidak untuk replikasi. Hanya dikenal satu
serotipe dengan tiga genotip. Partikel sferis 35-27 nm, diselubungi oleh lapisan
lipoprotein HBV (HbsAg) 19 nm struktur mirip inti. Mengandung suatu antigen nuclear
phosphoprotein (HDV antigen) :
Mengikat RNAterdiri dari 2 isomorf : yang lebih kecil mengandung 195 asam
amino dan yang lebih besar mengandung 214 asam amino.
Antigen HDV yang lebih kecil mengangkut RNA ke dalam inti, merupakan sel
esensial untuk replikasi
Antigen HDV yang lebih besar : menghambat replikasi HDV RNA dan berperan
pada perakitan HDV
RNA HDV merupakan untai tunggal, covalenty close dan sirkular, mengandung kurang
dari 1680 nukleotida, merupakan genom RNA terkecil diantara virus biantang.
Replikasi hanya di hepatosit.1
Virus Hepatitis D
Epidemiologi dan faktor resiko
Masa inkubasi HDV diperkirakan 4-7 minggu, insiden berkurang dengan adanya
penignkatan pemakaian vaksin, bisa terjadi viremia singkat (infeksi akut) atau
memanjang (infeksi kronik). Infeksi HDV hanya terjadi pada individu dengan resiko
infeksi HBV (koinfeksi atau superinfeksi)
IVDU
Resipien donor darah
Pasangan seksual
3. Virus Hepatitis C
Virus Hepatitis C mempunyai selubung glikoprotein dan merupakan virus RNA untai
tunggal, dengan partikel sferis dan inti nukleokapsid 33 nm. Virus ini termasuk
klasifikasi flaviviridae, genus hepacivirus. Genom HCV terdiri atas 9400 nukleutida,
mengkode protein besar sekitar seridu 3000 asam amino.
1/3 bagian dari poliprotein terdiri ats protein struktural
Protein selubung dapat menimbulkan antibodi netralisasi
Regiovipervariabel terletak di E2
Sisa 2/3 dari poliprotein terdiri ats protein nonstruktural yang terlibat dalam
replikasi HCV
Hanya ada satu serotipe yang dapat diidentifikasi, terdapat banyak genotip dengan distribusi
yang berfariasi diseluruh dunia.
Epidemiologi dan faktor resiko
Masa inkubasi HCV diperkirakan 15 – 160 hari (puncak pada sekitar 50 hari). Viremia yang
berkepanjangan dan infeksi yang persisten umum dijumpai (55-855). Distribusi geografik luas.
Infeksi yang menetap dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis dan kanker hati.
Cara transmisi:
HBV DNA di serum merupakan petanda yang pertama muncul, akan tetapi tidak
rutin diperiksa
HbeAg biasanya terdeteksi setelah kemunculan HbsAg
Kedua petanda tersebut menghilang dalam beberapa minggu atau bulan pada
infeksi yang sembuh sendiri selanjutnya akan muncul anti HBs dan anti Hbe
menetap
Tidak diperlukan lagi untuk diagnosis rutin
5. HCV
Diagnosis serologi
Deteksi anti HCV
Anti HCV dapat dideteksi pada 60% pasien selama masa akut dari penyakit, 35%
sisanya akan terdeteksi pada beberapa minggu atau bulan kemudian
Anti HCV tidak mungkin pada <5% paisen yang terinfeksi (pada pasien HIV, anti
HCV tidak muncul dalam presentase yang lebih besar)
Pemeriksaan IgM anti HCV dalam pengembangan belum disetujui FDA)
Secara umum anti HCV akan tetap terdeteksi untuk periode yang panjang, baik pada
pasien yang mengalami kesembuhan spontan maupun yang berlanjut menjadi
kronik
HCV RNA
Merupakan petanda yang paling awal muncul pada infeksi akut hepatitis C
Muncul setelah beberapa minggu terinfeksi
Pemeriksaan yang mahal, untuk mendiagnosis penyakit tidak rutin dilakukan,
kecuali pada keadaan dimana disurigai adanya infeksi pada pasien dengan anti
HVC negatif
Diemukan pada infeksi kronis HCV.1
(d) acute hepatitis C (e) Cronic hepatitis C
Outcome Infeksi dengan transmisi secara enterik (HAV&HEV) :
1. Perbaikan komplit dari klinis, histologis, biokimia, akan terjadi dalam 3-6 bulan
2. Pada gagal hati akut akan terjadi
a. Fatalitas pada HAV tergantung umur (menungkat pada usia > 40 tahun)
b. Resiko meningkat pada wanita hamil dengan infeksi HEV
c. Resiko meningkat pada pasien yang telah mempunyai penyakit hati
sebelumnya
3. Tidak pernah menjadi kronis atau karier virus yang berkepanjangan
1. HBV
a. Resiko untuk kronisitas tergantung umur, menurun secara progresif dengan
meningkatnya umur
i. 90% infeksi pada neonatus akan berkembang menjadi karier
ii. 1-5% pasien dewasa akan berkembang menjadi kronik
b. Gagal hati akut pada < 1% infeksi akut
c. Infeksi persisten (HbsAg positif dengan atau tanpa replikasi aktif HBV)
i. Karier asimptomatik dengan gambaran histologi normal atau non-
spesifik
ii. Hepatitis kronis, sirosis, karsinoma hepatoseluller
iii. Dihubungkan dengan glomerulonefritis membranosa, poliarteritis
nodosa, dan yang lebih jarang krioglobulinemia campuran
2. HDV
a. Ko infeksi HDV dan HBV biasanya sembuh spontan dan sembuh tanpa gejala
sisa
b. Gagal hati akut lebih sering pada superinveksi HDV dibanding dengan
koinfeksi HDV
c. Superinfeksi HDV dapat berlanjut menjadi HDV kronik superimposed dengan
HBV kronik dan berkembang menjadi hepatitis kronik berat dan sirosis
3. HCV
a. 15-45% akan sembuh spontan
b. Kejadian akut sangat jarang dijumpai
c. Umumnya akan terjadi infeksi menetap dengan viremia yang memanjang dan
konsentrasi serum aminotransferase yang meningkat atau berfluktuasi
d. Histologi pada infeksi HCV persisten
i. Hepatitis kronik – inflamasi ringan, sedang dan berat
ii. Porta, periporta, bridging fibrosis atau sirosis
e. Resiko untuk terjadinya karsinoma hepatoseluller pada pasien yang telah
mengalami sirosis.
Terdiri dari istirahat, diet dan pengobatan medikamentosa
1. Istirahat. Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat. Istirahat
mutlak tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan. Kekecualian diberikan
kepada mereka dengan umur tua dan keadaan umum yang buruk
2. Diet. Jika pasien mual, tidak nafsu makan atau muntah-munta, sebaikmya diberikan
infus. Jika sudah tidak mual lagi, diberikan makanan yang cukup kalori (30 – 35
kalori/kgBB) dengan protein cukup (1 g/kgBB). Pemberian lemak sebenanrnya tidak
perlu dibatasi. Dulu ada kecendrungan untuk membatasi lemak, karena disamakan
dengan penyakit kandung empedu. Dapat diberikan diet hati II-III.
3. Medikamentosa
a. Kortikosteroid diberikan bila untuk mempercepat penurunan bilirubin darah.
Kortikosteroid dapat digunakan pada kolestasis yang berkepanjangan, dimana
transaminase serum sudah kembali normal tetapi bilirubin masih tinggi. Pada
keadaan ini dapat diberikan prednison 3x10 mg selama 7 hari kemudian
dilakukan tapering off.
b. Berikan obat-obat yang bersifat melindungi hati
c. Antibiotik tidak perlu diberikan jika tidak ada indikasi.
d. Jangan diberikan antiemetik. Jika perlu sekali dapat diberikan golongan
fenotiazin.
e. Vitamin K diberikan pada kasus dengan kecendrungan perdarahan. Bila pasien
dalam keadaan prekoma atau koma, penanganan seperti pada koma hepatik.
4. Morbili
Definisi Campak adalah penyakit infeksi virus akut, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam,
inflamasi mukosa dan saluran napas, yang diikuti erupsi makulopapular berwarna merah dan
diakhiri dengan deskuamasi kulit. Campak adalah penyakit menular yang ditandai dengan 3
stadium, yaitu stadium inkubasi, stadium prodormal (kataral), dan stadium erupsi yang
bermanifestasi dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik. Umur terbanyak penderita
campak adalah < 12 bulan, diikuti kelompok umur 1-4 dan 5-14 tahun. Nama lain penyakit ini
adalah morbili, measles, dan rubeola.
Etiologi Virus campak berada di sekret nasofaring dan di dalam darah, minimal selama masa tunas
dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya ruam. Virus tetap aktif minimal 34 jam pada
temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu disimpan dalam
temperature 35°C, dan beberapa hari pada suhu 0°C. Virus tidak aktif pada pH rendah.
Virus campak termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang kasar dan
bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein. Di
dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong, terdiri dari bagian protein yang
mengelilingi asam nukleat (RNA) – yang merupakan struktur helix nucleoprotein dari myxovirus.
Pada selubung luar seringkali terdapat tonjolan pendek. Salah satu protein yang berada di selubung
luar berfungsi sebagai hemaglutinin.
Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi. Apabila berada di luar
tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperatur kamar ia akan kehilangan 60% sifat
infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37°C waktu paruh usianya 2 jam, sedangkan pada suhu
56°C hanya satu jam. Sebaliknya virus ini mampu berahan dalam keadaan dingin, pada suhu -70°C
dengan media protein ia dapat hidup selama 5,5 tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan
suhu 4-6°C, dapat hidup selama 5 bulan. Tetapi bila tanpa media protein, virus ini hanya mampu
bertahan selama 2 minggu, dan dapat dengan mudah dihancurkan oleh sinar ultraviolet.
Patofisiologi Campak ditularkan melalui penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret
hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Masa penularan berlangsung mulai dari hari
pertama sebelum munculnya gejala prodormal biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam,
minimal hari kedua setelah timbulnya ruam. Virus campak menempel dan berkembang biak pada
epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe
regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial
dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses
peradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronkial paru. Juga terdapat udema,
bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan
kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam
yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari
ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam
makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berbiak juga pada susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala klinik ensefalitis. Setelah masa konvelesen, hipervaskularisasi mereda dan
menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi deskuamasi dan hiperpigmentasi.
Proses ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.
Hari Manifestasi
0 Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring
atau kemungkinan konjungtiva
Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus
1-2 Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi
pertama, dan pada RES regional maupun daerah yang jauh
5-7 Viremia sekunder
7-11 Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk saluran
nafas
11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang
Penatalaksanaan penderita campak tanpa komplikasi dapat berobat jalan. Anak harus diberikan
cukup cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian antipiretik,
antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan, diperlukan perbaikan keadaan umum
dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang memadai.
Pemberian vitamin A pada pasien campak untuk usia <6 bulan sebanyak 50.000 IU, usia 6
bulan – 1 tahun sebanyak 100.000 IU, anak >1 tahun sebanyak 200.000 IU sebanyak satu kali.12
Apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.6
Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5˚C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit atau
adanya penyulit. Di rumah sakit pasien campak dirawat di bangsal isolasi system pernapasan.
Pengobatan dengan penyulit disesuaikan dengan penyulit yang timbul.
Imunisasi campak
Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi
penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan aktif dan
kekebalan pasif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan oleh
individu itu sendiri. Sedangkan kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri
akibat terpajan oleh antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif
biasanya berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologik.11
Kekebalan aktif terhadap campak didapatkan melalui program imunisasi. Kekebalan pasif
terhadap campak didapat dari transfer antibodi IgG maternal melalui plasenta pada masa-masa
akhir kehamilan. Setelah dilahirkan, konsentrasi antibodi terhadap campak ini menurun sehingga
lamanya durasi imunitas pasif ini bergantung pada jumlah konsentrasi awal antibodi saat
dilahirkan.14
Vaksin monovalen diberikan pada bayi usia 9 bulan, sedangkan vaksin polivalen diberikan
pada anak usia 15 bulan. Penting diperhatikan penyimpanan dan transportasi vaksin harus pada
temperature antara 2ºC - 8ºC atau ± 4ºC serta vaksin tersebut harus dihindarkan dari sinar matahari.
a. Vaksin campak monovalen
Telah dikeluarkan Permenkes no 42 tahun 2013 mengenai pemberian imunisasi untuk
campak diberikan 2 kali, yaitu pada umur 9 bulan sebagai imunisasi dasar dan pada umur 2 tahun
sebagai imunisasi lanjutan. Kemudian pada anak usia sekolah dasar, diberikan imunisasi campak
yang ketiga pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer, pasien TB
yang tidak diobati, pasien keganasan atau transplantasi organ, mereka yang mendapat pengobatan
imunosupresif jangka panjang atau anak imunokompromais yang terinfeksi HIV. Anak yang
terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa
mendapat imunisasi campak.15
Reaksi KIPI
Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada
seorang yang telah memiliki imunitas. Kejadian KIPI imunisasi campak telah menurun
dengan digunakannya vaksin campak hidup yang dilemahkan.
Gejala KIPI yang berupa demam yang lebih dari 39,5°C yang terjadi pada 5-15 % kasus,
demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 5 hari.
Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian peningkatan suhu
tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.
Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat imunisasi jika
seseorang memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi penyakit alami.
Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti ensefalopati
pasca imunisasi. Diperkirakan risiko terjadinya efek samping tersebut 30 hari sesudah
imunisasi 1 di antara 1 milyar dosis vaksin.15
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja
napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi
hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis
respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan otot napas
dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena
itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal,
harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal napas. Selain itu dapat terjadi pula
asidosis metabolic akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot napas.
Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal, namun jarang terjadi
komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi dapat merusak sel alveoli sehingga
produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan resiko terjadinya atelektasis.
Klasifikasi
KNAA ( Konsensus Nasional Asma Anak) membagi derajat serangan asma atas :
1. Serangan ringan
2. Serangan sedang
3. Serangan berat
Dalam hal ini perlu dibedakan antara derajat penyakit asma dengan derajat serangan asma.
Setiap derajat penyakit asma dapat mengalami derajat serangan yang mana saja. Sebagai
contoh : seorang penderita asma persisten dapat mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya
bisa saja seorang pasien yang tergolong asma episodic jarang mengalami serangan asma berat.
Dengan kata lain derajat serangan asma tidak tergantung pada derajat penyakit asma.
Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Global Initiative for
Asthma ( GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda
klinis, uji fungsi paru dan pemeriksaan laboratorium. Butir penilaian di bagian awal merupakan
penilaian klinis yang sifatnya cenderung subyektif. Penilaian yang obyektif adalah
pemeriksaan FEV-1 dengan spirometer, serta pemeriksaan saturasi oksigen. Kendalanya
adalah kesulitan jurus ( Manuver ) pemeriksaan, terlebih pada anak dengan serangan asma
berat.
- Kesulitan
makan
Bicara Kalimat Penggal Kata- kata
kalimat
FEV-1
Respon < 2
jam
Sa O2 % > 95 % 91 -95 % ≤ 90 %
Variabilitas faal Var > 15% Var > 30% Var > 50 %
paru (saat serangan)
Asma intermiten :
- gejala intermiten kurang dari 1 kali perminggu
- serangan singkat (jam-hari)
- gejala malam hari kurang dari 2 kali sebulan
- diluar serangan tanpa gejala dan uji fungsi paru normal
- PEFR ( Peak Expiratory Flow Rate ) atau PEV > 80% predicted, variasi
< 20 %
Asma persisten ringan :
- gejala > 1 kali seminggu tetapi kurang dari 1 kali sehari
- serangan mungkin mengganggu aktivitas dan tidur
- gejala malam hari lebih dari 2 kali sebulan
- PEFR atau PEV > 80 % predicted, variasi 20 – 30 %
Asma persisten sedang
- gejala setiap hari
- serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- gejala malam hari > 1 kali seminggu
- penggunaan harian inhalasi β 2 agonis kerja pendek
- PEFR atau PEV > 60 % – < 80 % predicted, variasi > 30 %
Asma persisten berat
- gejala berkesinambungan
- serangan sering terjadi
- gejala malam hari sering terjadi
- aktivitas fisik terbatas akibat gejala asma
- PEFR atau PEV < 60 % predicted, variasi > 30
Tatalaksana
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi
tubuh kembang anak secara optimal.
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan tidak ada
serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul : terutama yang
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
7.
Tatalaksana medikamentosa dibagi menjadi 2 yaitu :
- Tata laksana jangka panjang bertujuan untuk mencegah memburuknya proses inflamasi
yang ada menggunakan obat-obat pengendali
- Tata laksana jangka pendek bertujuan untuk mengatasi serangan asma yang terjadi
Asma ringan
obat dosis/minggu
Asma Moderat
- alergen; pada bayi dan anak kecil sering karena debu, tungau, serpih bulu binatang, spora
jamur, dll
- infeksi: biasanya infeksi virus, paling umum disebabkan oleh respirartory syncitial virus
(RSV)
- iritan: Hairspray, minyak wangi, asap rokok, bau tajam, dll
- cuaca : perubahan tekanan udara, angin dan kelembaban.
- Kegiatan jasmani: lari, naik sepeda.
- Psikik: tidak ada perhatian, tidak mau mengakui persoalan
2. Obat-obatan dan terapi imunologik
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar :
- Obat pereda (relievers) digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang
timbul, membuka jalan nafas secepatnya(mendilatasi bronkus) dikenal dengan
bronkodilator.
-
Obat pengendali ( controller) atau obat profilaksis untuk mengatasi masalah asma yaitu
inflamasi kronik saluran nafas. Yang biasa dipakai glutikokortikosteroid seperti budesonide,
beclometason dan fluticasone
Penanggulangan bronkospasme :
1. Beta-2 agonis
- Beta-2 agonis selektif : yang sering dipakai:
Salbutamol , terbutalin, fenoterol
2. Teofolin
3. Anti kolinergik
Definisi: episode peningkatan yang progresif dari gejala-gejala batuk, sesak napas, wheezing,
rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi gejala tersebut.
Tatalaksana di rumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan β2-agonis atau teofilin. Bila
tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek samping
sistemiknya minimal. Obat golongan β2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI
dengan atau tanpa spacer atau nebulizer.
Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi
perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya.
Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi ditambahklan Garam
fisiologis . Nebulisasi dapat diulang 2 kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga
dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai
penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak
selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal penderita datang dengan serangan berat yang jelas, langsung
berikan nebulisasi beta agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Penderita serangan
berat dengan disertai dehidrasi dan asodosis metabolik dapat mengalami takifilaksis atau
respons yang kurang terhadap nebulisasi beta agonis. Penderita seperti ini cukup sekali
dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain diatasi
masalah dehidrasi dan asidosisnya.
- tidak ada respon terhadap tatalaksana awal dan perburukan dengan cepat.
- Kebingungan, disorientasi, ancaman henti napas, atau hilang kesadaran
- Tidak ada perbaikan dalam tatalaksana diruang rawat inap
-
Ancaman henti napas, walaupun sudah diberi oksigen.
6. Terapi DSS
Menurut WHO 2009, berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi lainnya, pasien dapat
dibagi tiga kategori: rawat jalan (kelompok A), membutuhkan penanganan di rumah sakit/rawat
inap (kelompok B), dan membutuhkan penanganan emergensi atau urgensi (kelompok C).
Pembagian mengenai tatalaksana diberikan sebagai berikut:
Kelompok-A
Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat dimotivasi untuk minum
secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya sekali tiap enam jam, dan tidak mempunyai
warning signs, khususnya saat demam mereda.
Kelompok-B
Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase kritis. Kriteria rawat
pasien DBD adalah:
Kelompok-C
Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila mengalami DBD berat
untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah. Resusitasi cairan dengan kristaloid isotonik
secepatnya sangat penting untuk menjaga volume ekstravaskular saat periode kebocoran plasma
atau larutan koloid pada keadaan syok hipotensi. Pantau nilai Ht sebelum dan sesudah resusitasi.
Tujuan akhir resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer (takikardia
berkurang, tekanan darah dan nadi meningkat, ekstremitas tidak pucat dan hangat, dan CRT <2
detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran membaik, urin output >0,5 ml/kg/jam,
asidosis metabolik menurun). Kelompok C membutuhkan tatalaksana emergensi, dimana pada
kelompok ini pasien memiliki kriteria:
Kebocoran plasma massif dengan syok dan/atau akumulasi cairan dengan distress
pernafasan
Perdarahan massif
Kerusakan organ massif
Pada keadaan syok yang dekompensata, dimana pasien sudah menunjukan tanda-tanda
hipotensi, pemberian resusitasi cairan menggunakan kristaloid atau koloid sebanyak 20ml/kgBB
secara bolus dalam 15 menit. Bila terlihat adanya perbaikan, beri cairan kristaloid atau koloid
10ml/kgBB dalam 1 jam, dan diturunkan pemberiannya sesuai dengan keadaan hemodinamik. Jika
pasien tidak stabil setelah pemberian resusitasi cairan awal, cak ulang kembali hasil hematocrit
sebelum diberikan bolus kristaloid. Bila hematocrit rendah dibawah 40%, ini mengindikasikan
adanya perdarahan dan dibutuhkan transfuse darah. Bila hematocrit tinggi di atas batas normal,
ganti cairan dengan koloid dalam 10-20ml/kgBB sebagai bolus kedua dalam 1 jam dan lihat
kondisi klinis setelah diberika bolus kedua. Bila ada perbaikan, turunkan pemberian cairan menjadi
7-10ml/kgBB dalam 1-2 jam, dan kembali dengan pemberian cairan kristaloid sesuai dengan
keadaan hemodinamik. Pada pasien syok, selain syok kompensata dan syok dengan hipotensi,
dapat dicurigai juga adanya syok hemoragik. Beri pasien 5-10ml/kgBB packed red cells atau 10-
20 fresh whole blood.
II.11. Penanganan kelebihan cairan
Kelebihan cairan merupakan komplikasi penting dalam penanganan syok. Hal ini dapat terjadi
karena :
Pemberian cairan intravena yang jumlahnya terlalu banyak dengan kebocoran yang hebat.
Nafas cepat
Asites
Edema paru
Sianosis
Syok ireversibel
Tatalaksana penanganan kelebihan cairan berbeda tergantung pada keadaan apakah klinis
masih menunjukkan syok atau tidak :
Anak yang masih syok dan menunjukkan tanda kelebihan cairan yang berat sangat sulit
untuk ditangani dan berada pada risiko kematian yang tinggi. Rujuk segera.
Jika syok sudah pulih namun anak masih sukar bernafas atau bernafas cepat dan mengalami
efusi luas, berikan obat minum atau furosemid intravena 1 mg/kgBB/ dosis sekali atau dua
kali sehari selama 24 jam dan terapi oksigen.
Jika syok sudah pulih dan anak stabil, hentikan pemberian cairan intravena dan jaga anak
tetap istirahat di tempat tidur selama 24-48 jam. Kelebihan cairan akan diserap kembali
dan hilang melalui diuresis.
Tanda klinis, apakah syok telah teratasi dengan baik, adakah pembesaran hati, tanda
perdarahan saluran cerna, tanda ensefalopati, harus dimonitor dan dievaluasi untuk menilai hasil
pengobatan. Kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit dipantau tiap 6 jam, minimal tiap 12
jam, balans cairan, catat jumlah cairan yang masuk, dieresis ditampung, dan jumlah perdarahan.
Pada DBD syok, lakukan cross match darah untuk persiapan transfuse darah apabila diperlukan.
Kriteria memulangkan pasien :
Hematokrit stabil
7. Meningoensefalitis
Definisi Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu
cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis. Meningitis adalah radang umum pada
araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang dapat
terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat
disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Meningitis dan ensefalitis
dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga
disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin
dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan respon
radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan
menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan
ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya
enterovirus. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang
selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih. Penyebab yang paling sering
dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa, Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus. Meningitis
purulenta adalah radang bernanah Universitas Sumatera utara araknoid dan piameter yang meliputi
otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok),
Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeuruginosa.
Etiologi
Patofisiologi Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah,
penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan kardiopulmonal. Penyebaran melalui
peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak.
Penyebaran langsung dapat melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah,
dan sinus paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses
peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah, dan
agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema,
perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian
melunak dan membentuk dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses
terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke
dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus yang melalui parotitis,
morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Virus polio dan
enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus
yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi
dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus. Di
dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang
menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain Universitas
Sumatera utara ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh
virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar
secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan
meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan
glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil,
trombosis, dan mikroglia. Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh
karena parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam. Kemungkinan besar
infeksi terjadi melalui saluran pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang
bertemperatur hangat. Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari
penularan ibu-fetus. Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan daging yang
tidak matang. Dalam tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot
dan jaringan susunan saraf pusat. Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-
fetus dapat timbul berbagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan
bagian tubuh lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus
meninggal dalam kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya
mikrosefalus, dll.
Gejala Klinis Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis dan
ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran,
konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tandatanda peningkatan tekanan intrakranial
atau gejala-gejala psikiatrik.
Tanda Kernig positif: Ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah
abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna. Tanda Brudzinski: tanda ini didapat apabila
leher pasien difleksikan, maka hasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi pasif pada
ekstremitas yang berlawanan. Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak saja,
juga sering mengenai jaringan selaput otak. Pada umumnya terdapat 4 jenis atau bentuk
manifestasi klinik, yaitu:
- Bentuk asimtomatik
Umumnya gejalanya ringan, vertigo, diplopia. Diagnosis hanya ditegakkan atas pemeriksaan CSS.
- Bentuk abortif
Gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat
gejala-gejala seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas atau gastrointestinal
- Bentuk fulminan
Bentuk ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir dengan kematian. Pada
stadium akut terdapat demam tinggi, nyeri kepala difus yang hebat, apatis, kaku kuduk, sangat
gelisah dan dalam waktu singkat masuk ke dalam koma yang dalam
- Bentuk khas ensefalitis
Bentuk ini mulai secara bertahap dengan gejala awal nyeri kepala ringan, demam, gejala infeksi
saluran nafas bagian atas. Kemudian muncul tanda radang Sistem Saraf Pusat (SSP) seperti kaku
kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah, sukar tidur. Selanjutnya kesadaran mulai menurun
sampai koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, gangguan
bicara, gangguan mental.
Terapi Pengobatan suportif dalam kebanyakan kasus meningitis virus dan ensefalitis. Satu-
satunya pengobatan spesifik adalah asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam selama 10-14 hari untuk
infeksi herpes simpleks. Asiklovir juga efektif terhadap virus Varicella zoster. Tidak ada manfaat
yang terbukti untuk kortikosteroid, interferon, atau terapi ajuvan lain pada ensefalitis virus dan
yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan klorampinikol 50-75 mg/kg bb/hari maksimum 4
gr/hari. Meningitis pada neonatus (organisme yang mungkin adalah E.Coli, Steptococcus grup B,
dan Listeria) diobati dengan sefotaksim dan aminoglikosida, dengan menambahkan ampisilin jika
Listeria dicurigai. Akibat Haemophilus memerlukan pengobatan sefotaksim. Meningitis
tuberkulosis diobati dengan rifampisin, pirazinamid, isoniazid, dan etambutol. Herpetik
meningoensefalitis diobati dengan asiklovir intravenous, cytarabin atau antimetabolit lainnya.
Pengobatan amuba meningoensefalitis dilakukan dengan memberikan amfoterisin B secara
intravena, intrateka atau intraventrikula. Pemberian obat ini dapat mengurangi angka kematian
akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak berhasil mengobati meningoensefalitis yang
disebabkan oleh amuba lainnya