Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju,dan
telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif serta
makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi
menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun, persentase orang
dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap
pertambahan umur lima tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai, jumlah pasien
dengan penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi
13,2 juta orang pada tahun 2050.
Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena
awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain itu
pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada
awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal
yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya,penurunan fungsi kognitif terus akan
berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh
pada ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya. Saat ini telah disadari bahwa diperlukan
deteksi dini terhadap munculnya demensia, karena ternyata berbagai penelitian telah
menunjukkan bila gejala-gejala peurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat
dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar
tidak jatuh pada keadaan demensia.
Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala penurunan fungsi kognitif
dan demensia awal, dokter dan tenaga kesehatan lain juga mempunyai peran yang besar dalam
deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif ringan.
Dengan diketahuinya berbagai faktor risiko (seperti hipertensi, diabetes melitus, stroke, riwayat
keluarga,dan lain-lain) berhubungan dnegan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat pada
sebagian orang usia lanjut, maka diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat melakukan
upaya-upaya pencegahan timbulnya demensia pada pasien-pasiennya. Selain itu, bila ditemukan
gejala awal penurunan fungsi kognitif pasien yang disertai beberapa faktor yang mungkin dapat
memperburuk fungsi kognitif pasien maka seprah dokter dapat merencanakan berbagai upaya
untuk memodifikasinya,baik secara farmakologis maupun non-farmakologis.
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50-60%) dan kedua oleh
cerebrovaskuler (20%). Diperkirakan penderita demensia terutama penderita alzheimer pada
abad terakhir ini semakin meningkat jumlah kasusnya sehingga akan mungkin menjadi epidemi
seperti di Amerika dengan insidensi demensia 187 populasi/100.000/tahun dan penderita
Alzheimer 123/100.000/tahun serta penyebab kematian keempat atau kelima.
Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli Psikiatri dan
neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51
tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali
ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak, koordinasi
dan reflek. Pada autopsi tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri, dan secara
mikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi
neurofibrillary.
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada berbagai
populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain pihak akan
menimbulkan masalah serius dalam bidang sosial ekonomi dan kesehatan, sehingga aka semakin
banyak yang berkonsultasi dengan seorang neurolog karena orang tua tersebut yang tadinya
sehat, akan mulai kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota
keluarga.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Alzheimer disease (AD) merupakan bentuk demensia yang tersering. AD merupakan
penyakit degeneratif dan progresif pada otak yang menyebabkan defect spesifik pada neuron.
Adanya defect ini dapat mengakibatkan gangguan memori, berpikir, dan tingkah laku (Price &
Willson, 2010).

2.2 Epidemiologi
Alzheimer’s disease (AD) merupakan penyebab demensia tersering pada penduduk western.
AD mengenai sekitar 5 juta orang di US dan 17 juta orang di Dunia. Insiden AD meningkat 1%
diantara populasi yang berusia 60-70 tahun, dan meningkat 6-8% pada populasi yang berusia >85
tahun. Adapun proporsi pasien dengan AD pada populasi adalah 30% dan diperkirakan proporsi ini
akan terus meningkat (Mayeux, 2010).

Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2010 terdapat 35,6 juta orang di
dunia yang menderita demensia, diperkirakan meningkat menjadi 65,7 juta pada tahun 2030 dan
115,4 juta pada tahun 2050.3 Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50-60% diantaranya
menderita Alzheimer’s diseases. Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring
bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6% pada pria dan
0,8% pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21%. Pasien dengan demensia
Alzheimer membutuhkan lebih dari 50% perawatan.

2.3 Etiologi
Adanya faktor genetic atau riwayat keluarga dengan demensia merupakan salah satu faktor
risiko dari kejadian AD. Pada beberapa kasus yang jarang pada keluarga dengan autosomal dominan
untuk gen AD, perkembangan penyakit terjadi pada usia 30 dan 50 tahun, setengah dari kasus ini
dilaporkan terjadi mutasi pada gen yang mengkode protein precursor amiloid, presenilin 1, atau
presinilin 2. Beberapa penelitian tentang genetic menyebutkan bahwa AD disebabkan oleh generasi
dan agregasi dari peptide β amiloid, yang berbentuk plak neuritic (Mayeux, 2010).
Adapun faktor risiko dari kejadian AD adalah (Rowland, 2010):

Mekanisme presumtif Cedera kepala


Risiko meningkat A beta dan APP pada otak
Usia
Risiko meningkat Fisiologi aging yang meluas
Depresi
Risiko meningkat Alterasi neurotransmitter
Cardio-Serebrovaskular disease
Risiko meningkat Smoking
Estrogen
Aktivasi komplemen

Adapun penyebab dari demensia secara umum (Price & Willson, 2010) adalah:

Penyebab Contoh
Infeksi Neurosifilis
Tuberculosis
Virus
Gangguan metabolic Hipotiroidisme
Gangguan keseimbangan elektrolit
Defisiensi zat gizi Defisiensi vitamin B12
Defisiensi Niasin
Defisiensi Tiamin
Lesi desak ruang Hematoma subdural
Tumor otak
Abses otak
Infark otak Iskemik
Hemoragik
Zat-zat toksik Obat-obatan
Alcohol
Arsen
Gangguan vascular Embolus serebral
Vaskulitis serebral
Penyakit lain Alzheimer’s disease
Parkinson’s disease
Wilson’s disease
Hungtinton’s disease
Depresi
Cedera kepala

2.4 Patofisiologi
Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan kerusakan berat neuron
korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah intracranial. Secara
mikroskopik, terdapat perubahan structural dan biokimia pada neuron – neuron. (Price & Willson,
2010).

Pada saat otopsi, gambaran patologis yang paing sering terlihat adalah adanya protein β
amiloid ekstraseluler pada diffuse plaques dan pada plak yang mengandung elemnt dari neuron yang
berdegenerasi. Perubahan intraseluler yang diamati adalah adanya deposit dari tangle neurofibril.
Lesi patologis ini awalnya terletak pada region entorhinal dari hipokampus dan kemudian akan
menyebar ke daerah lainnya. Semakin lama dari onset awal penyakit, akan terjadi kehilangan dari
neuron dan sinaps yang luas (Mayeux, 2010).

Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi
degenarasi soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan
neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari
protein “tau”. Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat pembentuk structural yang
terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron.
Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan
pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama – sama. Tau yang abnormal
terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing-masing terluka. Dengan
kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi
dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron
yang rusak menyebabkan Alzheimer (Price & Willson, 2010).

Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk
dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen protein
prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan
dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron.APP terbagi menjadi fragmen – fragmen oleh protease,
salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut.
Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel – sel glia yang akhirnya membentuk fibril – fibril
plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh.
Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu hubungan
intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin rentannya
neuron terhadap stressor. Selain karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada
AD.Secara neurokimia kelainan pada otak (Price & Willson, 2010).
2.5 Manifestasi Klinis
Onset penyakit Ad adalah insidious, dan manifestasinya semakin memburuk seiring
pertambahan tahun. Awalnya akan terjadi kelemahan memori yang sifatnya masih mild kemudan
akan terjadi kehilangan fungsi kognitif yang parah (Mayeux, 2010).

Selama stadium dini, pasien AD tidak bergejala namun mengalami pengurangan kemampuan
dalam memecahkan masalah, berpikir abstrak, emosi yang labil, pelupa, apatis, dan kurangnya daya
ingat. Seiring dengan perkembangan penyakit, perilaku pasien menjadi tidak menentudan memiliki
emosi yang meledak-ledak. Kemunduran fungsi yang disebabkan oleh kerusakan korteks serebri
terjadi setelah 3-10 tahun onset penyakit. Selama stadium akhir penyakit, kemampuan pasien
menjadi sangat terbatas dan tidak mampu mengurus kebutuhan dasar mereka. Kematian biasanya
disebabkan oleh malnutrisi dan infeksi (Ropper, 2005).

Inisial gejala pada AD adalah adanya ketidakmampuan untuk mengingat informasi yang baru
terjadi. Seiring dengan progresifitas penyakit, terjadi gangguan padda beberapa area kognitif, seperti
area bahasa, berfikir abstrak, dan fungsi kognitif atau pengambilan keputusan dengan berbagai
derajat keparahan. Penyakit ini juga membuat seseorang menjadi sulit untuk bekerja atau kesulitan
dalam sosial atau ketidakmampuan dalam melakukan kebutuhan sehari-hari. Pada dapat pula
didapatkan adanya perubahan emosional. Pada beberapa pasien diteukan delusi atau gangguan
psikotik, namun merupakan kasus yang jarang. Adanya psikosis yang mengawali demensia
merupakan panduan untuk mengarah ke diagnosis lain, yaitu demensia dengan Lewy bodies
(Mayeux, 2010).

Pasien dengan gejala demensia sebaiknya melakukann serangkaian pemeriksaan penunjang,


seperti deteksi gangguan gizi, endokrin, dan infeksi. Pemeriksaan yang sering dianjurkan adalah
darah lengkap, pemeriksaan untuk sifilis, kadar elektrolit serum, vitamin B 12, serta uji fungsi tiroid.
Selain itu dapat pula dilakukan CT scan untuk menilai apakah terdapat tumor atau abses otak
maupun hematom subdural (Price & Willson, 2010).

Manifestasi klinis penyakit Alzhetmer terdiri atas manifestasi gangguan kognitif dan
gangguan psikiatrik serta perilaku. Gangguan kognitif awal yang terjadi adalah gangguan memori
jangka pendek atau memori kerja. Gangguan ini akan diikuti dengan kesulitan berbahasa,
disorientasi visuospasial dan waktu, serta inatensi. Penderita mengalami ketergantungan dalam
melakukan aktivitas sehari-harinya seiring perjalanan penyakit, akan muncul gangguan psikiatrik
dan perilaku seperti depresi, kecemasan, halusinasi, waham, dan perilaku agitasi (Rowland, 2010).

Adapun perjalanan penyakit dari AD adalah (Ropper, 2005):

1. Korsakoff amnesic state


Pada tahap ini, pasien lupa beberapa memori yang baru terjadi, gangguan pada
kemampuan integritas dan kognitif, serta kemudianpasien dapat lupa dengan mediate
memory. Cara pemeriksaan pada tahap ini adalah dengan tes rentetan huruf. Pada beberapa
kasus, pasien dapat melupakan short dan long term memory. Tahap ini juga ditandai dengan
ketidakmampuan recall memory.

2. Dysnomia
Pada tahap ini, pasien melupakan kata-kata, beberapa nama dan biasanya pasien baru
akan dibawa ke neurologist saat dalam tahap ini. Semakin lama pasien akan melupakan kata
kerja dan kesulitan dalam berkomunikasi. Sindrom pada tahap ini dinamakan dengan
“primary progressive aphasia” karena pasien juga dapat mengalami gangguan pada
kemampuan membaca, menulis dan menggabungkan antara intelegensi dan perilaku. Pada
pemeriksaan EEG masih dalam batas normal atau sedikit mengarah ke derajat kerusakan di
frontotemporal. Namun pada MRI dapat ditemukan adanya atrofi fokal pada area bahasa.
3. Visuospasial disorientation
Pada tahap ini kemungkinan telah terjadi atrofi pada region parieto-oksipital, serig
juga disebut “posterior cortical dementia”. Pasien ditandai dengan prosopagnosia
(ketidakmampuan mengenali wajah), tidak dapat mengingat jalan, dan lain-lain.

4. Paranoia dan gangguan perubahan kepribadian


Pada kasus AD sering terjadi psikosis, paranoid, depresi dan iritabilitas.

Awitan dari perubahan mental penderita Alzheimer sangat perlahan-lahan, sehingga pasien
dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa
stadium perkembangan penyakit Alzheimer yaitu:

a. Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)

Memory : new learning defective, remote rec. all mildly impaired

Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions

Language : poor woordlist generation, anomiax

Personality : indifference,occasional irritability

Psychiatry feature : sadness, or delution in some

Motor system : normal

EGG : normal

CT/MRI : normal

PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion

b. Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)

Memory : recent and remote recall more severely impaired

Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions

Language : fluent aphasia


Calculation : acalculation

Personality : indifference, irritability

Psychiatry feature : delution in some

Motor system : restlessness, pacing

EGG : slow background rhythm

CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargement

PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

c. Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)

Intellectual function : severely deteriorated

Motor system : limb rigidity and flexion poeture

Sphincter control : urinary and fecal

EGG : diffusely slow

CT/MRI : ventricular and sulcal enlargement

PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

2.6 Diagnosis

Telah dijelaskan bahwa penyakit Alzheimer merupakan salah satu jenis demensia yang
terbanyak pada orang dewasa. Demensia sudah sering dikenal dengan menggunakan kritera
DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth edition). Menegakkan
penyakit Alzheimer dengan menggunakan kriteria oleh the National Institute of Neurological
and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer’s Disease and Related
Disorders Association (ADRDA) dengan menggunakan klasifikasi definite (diagnosis klinis
dengan gambaran histologic), probable (sindrom klinik tipikal tanpa gambaran histologic) dan
possible (gambaran klinis atipikal tetapi tidak ada diagnosis alternative dan tidak ada gambaran
histologi)
Tabel 2.1 Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer(7)

Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:


- Demensia yang tidtegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the
mini-mental test, Blessed Dementia Scale, atau pemeriksaan sejenis, dan dikonfirmasi
oleh tes neuropsikologis
- Defisit pada dua atau lebih area kognitif
- Tidak ada gangguan kesadaran
- Awitan antara umur 40 dan 90 umunya setelah umur 65 tahun
- Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit
progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
- Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia
- Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
- Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara
neuropatologi
- Hasil laboratorium yang menunjukkan
- Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan atktivitas
slow-wave
- Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh
pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah
mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:
- Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
- Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi,
halusinasi, verbal katastrofik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan
- Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut,
seperti peningkatan tonus otot, mioklunus, dan gangguan melangkah
- Kejang pada penyakit yang lanjut
- Pemeriksaan CT normal untuk usianya
Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok
adalah:
- Onset yang mendadak dan apolectic
- Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit lapang
pandang, dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit; dan kehang atau gangguan
melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit
Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
- Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis
psikiatrik, atau sistemik alin yang dapat menyebabkan demensia, dan adandya variasi
pada awitan, gejala klinis,atau perjalanan penyakit
- Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk
menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyabab
demensia
Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
- Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
- Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran
khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer, seperti:
- Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
- Awitan sebelum usia 65 tahun
- Adanya trisomi-21
- Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson

Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan adalah (Rowland, 2010):

1. Antibodi : Kadarnya cukup tinggi (abnormal).


2. JDL, RPR, elektrolit, pemeriksaan tiroid : Dapat menentukan dan/atau menghilangkan
disfungsi yang dapat diobati/kambuh kembali, seperti proses penyakit metabolic,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, neurosifilis.
3. B12 : Dapat menentukan secara nyata adanya kekurangan nutrisi.
4. Tes deksametason depresan (DST) : Untuk menangani depresi.
5. EKG : Mungkin tampak normal, perlu untuk menemukan adanya insufisiensi jantung.
6. EEG : Mungkin normal atau memperlihatkan beberapa perlambatan gelombang (membantu
dalam menciptakan kelainan otak yang masih dapat diatasi).
7. Sinar x tengkorak : biasanya normal.
8. Tes penglihatan/pendengaran : Untuk menemukan adanya penurunan (kehilangan) yang
mungkin disebabkan oleh/kontribusi pada disorientasi, alam perasaan yang melayang,
perubahan persepsi sensori (salah satu gangguan koknitif).
9. Scan otak, seperti PET, BEAM, MRI : Dapat memperlihatkan daerah otak yang mengalami
penurunan metabolism yang merupakan karakteristik dari DAT.
10. Scan CT : Dapat memperlihatkan adanya ventrikel otak yang melebar, adanya atrofi kortikal.
11. CSS : Munculnya protein abnormal dari sel otak sekitar 90% merupakan indikasi adanya
DAT.
12. Penyakit Alzheimer yang dihubungkan dengan protein (ADAP) : Pemeriksaan postmortem
terlihat positif lebih dari 80% dari pasien DAT.

Pada pemeriksaaan tersebut, kemungkinan yang dapat ditemukan adalah (Rowland, 2010):

1. Neuropatologi. Diagnosis definitif ditegakkan dengan konfirmasi pemeriksaan neuropatologi


melalui autopsi. Secara umum, terdapat atrofi yang bilateral, simetris, dengan berat otak yang
sering mencapai sekitar 1000 gram (850-1250 gram).
2. Pemeriksaan neuropsikologis. Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia.
Fungsi pemeriksaan neuropsikologis ini adalah menentukan ada tidaknya gangguan fungsi
kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi.
3. CT-Scan dan MRI. Kedua pemeriksaan ini merupakan metode non-invasif beresolusi-tinggi
untuk melihat kuantifikasi perubahan volume jaringan otak pada pasien Alzheimer hidup.
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan penyebab demensia lainnya,
seperti multiinfark dan tumor serebri. Atrofi kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel
kedua hemisfer merupakan gambaran penanda dominan yang sangat spesifik pada penyakit
ini.
4. EEG. Pemeriksaan ini berguna untuk mengidentifikasi aktivitas bangkitan yang bersifat
subklinis, sedangkan pada penyakit Alzheimer, terdapat perubahan gelombang lambat di
lobus frontalis yang nonspesifik.
5. Laboratorium. Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk penyakit
Alzheimer. Pemeriksaan laboratorium dilakukan hanya untuk menyingkirkan penyebab
penyakit demensia lain seperti pemeriksaan darah rutin, kadar vitamin B12, kalsium, fosfor,
fungsi ginjal dan hati, hormon tiroid, asam folat, serologi sifilis, dan skrining antibody yang
dilakukan secara selektif.

2.7 Tata Laksana


Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas. Pengobatan simptomatik dan suportif
yang dapat diberikan adalah (Rowland, 2010; Rapper, 2005; Price & Wilson, 2010):

 Inhibitor kolinesterase
 Tujuan: Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral.
 Contoh: fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine), donepezil (Aricept),
galantamin (Razadyne), & rivastigmin.
 Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama
pemberian berlangsung
 Thiamin
Pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase
dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan
kerusakan neuronal pada nukleus basalis.

 Contoh: thiamin hydrochloride dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral


 Tujuan: perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama
periode yang sama.

 Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik.
 Tujuan: memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar. Tetapi pemberian 4000 mg
pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.
 Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan
noradrenergik kortikal.
 Contoh : klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor
agonis.
 Dosis : maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu
 Tujuan: kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif
 Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi:
 Gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku: Pemberian oral
Haloperiodol 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut
 Bila penderita Alzheimer menderita depresi berikan tricyclic anti depresant
(amitryptiline 25-100 mg/hari)
 Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu substrat endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan bantuan
enzyme ALC transferase.
 Tujuan : meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.
 Dosis:1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan
 Efek: memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif
(Yulfran, 2000)
2.8 Komplikasi
Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien AD adalah:

1. Pneumonia aspirasi dan masalah lainnya. Kesulitan menelan makanan dan cairan
menyebabkan penderita alzheimer menghirup (menghisap) apa yang mereka makan atau
minum ke dalam saluran pernapasan dan paru, yang dapat menyebabkan pneumonia.
Pengidap alzheimer mudah gamang sehingga bisa sering terjatuh. Akibat jatuh bisa terjadi
luka di kepala, seperti pendarahan otak. Operasi untuk memeperbaiki luka akibat jatuh juga
berisiko. Sebagai contoh, berbaring dalam waktu lama untuk pemulihan luka akibat terjatuh
meningkatkan risiko pembekuan darah di paru-paru (pulmonary embolism), yang dapat
menimbulkan kematian.
2. Inkontinensia adalah gejala umum dari tengah dan penyakit tahap akhir Alzheimer. Pada saat
seseorang menderita kerugian total dari fungsi kandung kemih, kateter urin kadang-kadang
digunakan. Kateter dapat memperkenalkan bakteri ke dalam tubuh menyebabkan infeksi
saluran kemih (ISK). Pasien dengan penyakit Alzheimer juga tidak bisa ke toilet sendiri
sebagai sering atau dengan penggunaan yang tepat dari kebersihan, yang menghasilkan
pembentukan ISK.
3. Dekubitus terjadi karena adanya penurunan aliran darah kedaerah yang mengalami
penekanan dan menyebabkan kerusakan pada daerah tersebut. Hal ini dapat terjadi jika
penekanan terjadi dalam waktu yang lama tanpa pergeseran berat badan (misalnya setelah
operasi/cedera).

2.9 Prognosis
Progresivitas dari penyakit sangat bervariasi. Harapan hidup dari awitan gejala hingga
kematian berkisar dari 3-20 tahun, dengan rata-rata 8 tahun. Walaupun demensia dapat timbul pada
awal decade ke empat puluh, namun AD primer dapat menyerang seseorang yang berusia lebih dari
65 tahun. Perkiraan terbaru adalah dari 10 orang, 1 orang akan menderita AD. Rentan usia penderita
AD adalah 65-85 tahun (Price & Willson, 2010).
BAB 3

RINGKASAN

Alzheimer disease (AD) merupakan bentuk demensia yang tersering. AD merupakan


penyakit degeneratif dan progresif pada otak yang menyebabkan defect spesifik pada neuron.
Adanya defect ini dapat mengakibatkan gangguan memori, berpikir, dan tingkah laku.

Manifestasi klinis penyakit Alzhetmer terdiri atas manifestasi gangguan kognitif dan
gangguan psikiatrik serta perilaku. Alzheimer memiliki perjalanan pernyakit yang terdiri dari
empat tahap yaitu Korsakoff amnesic state, dysnomia, Visuospasial disorientation, serta paranoia
dan gangguan perubahan kepribadian.

Untuk menegakkann diagnosis alzheimer dapat menggunakan kriteria oleh the National
Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the
Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association (ADRDA).

Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas. Pengobatan simptomatik dan


suportif yang dapat diberikan adalah Inhibitor kolinesterase, thiamin, nootropik, klonidin,
haloperidol, dan ALC.

Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit ini adalah pneumonia aspirasi, inkontinensia,
dan dekubitus. Prognosis alzheimer sangat bervariasi, dengan rentan usia penderita adalah 65-85
tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Landgrave-Gomez, Jorge, Octavio MG & Rosalinda GG., 2015. Epigenetic Mechanism in


Neurological and Neurodegenerative Disease. Frontiers in Cellular Neuroscience. Vol 27
(2);1-11

Machfoed, MH, M. Hamdan, Abdullah M, et al. ed, 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair: Surabaya.

Mayeux, Richard., 2010. Early Alzheimer’s Disease. The New England of Journal Medicine. Vol
362;2194-2201

Price & Willson., 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC: Jakarta. Pp
1139-1144

Ropper, AH & Robert HB, ed., 2005. Adam’s & Victor Principles of Neurology. McGraw-Hill. Pp
910

Rowland & Pedley, Ed., 2010. Merrit’s Neurology 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkin.

Querfurth, HW & Frank, ML., 2010. Mechanisms of Disease Alzheimer’s Disease. The New
Englang Journal of medicine. Vol 362 (4); 392-335

Anda mungkin juga menyukai