Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hasil pemeriksaan mikrobiologi sesuatu bahan pemeriksan klinik,

bukanlah mutlak merupakan karya dari mikrobiologi, tetapi ia adalah merupakan

hasil karya gabungan, mikrobiolog, klinikus dan paramedis yang mendamping

klinikus. Klinikus berperan dalam menentukan jenis serta cara pengambilan bahan

pemeriksaan yang disesaikan dengan dugaan sakit yang diderita penderita.

Paramedis berperan pada perawatan bahan tersebut sebelum dan sewaktu

pengiriman bahan, agar bahan yang dikirim tersebut tetap dalam keadaan prima.

Mikroorganisme merupakan makhluk hidup yang sangat kecil dan tidak

dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi dapat dilihat dengan bantuan

mikroskop. Dalam penyebarannya, mikroorganisme dapat ditemukan hampir di

setiap tempat. Mikroorganisme terdiri atas bakteri, fungi, protozoa dan virus.

Pemeriksaan mikroorganisme sangat penting dalam memantau kesehatan

dan mendiagnosa suatu penyakit. Makalah ini akan menjelaskan mengenai

pemeriksaan laboratorium mikroorganisme meliputi metode, prinsip pemeriksaan,

dan juga mengenai penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme.

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi dari mikroorganisme (bakteri, jamur,

virus, dan parasit)

2. Untuk mengetahui metode pemeriksaan mikrobiologis

3. Untuk mengetahup prinsip dari setiap metode pemeriksaan mikrobiologis

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Sejarah Mikroorganisme

2.1.1 Pengertian

Mikroorganisme atau mikroba adalah mikrooganisme hidup yang berukuran

sangat kecil dan hanya dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. (Pratiwi,

2008). Organisme yang termasuk ke dalam golongan mikroorganisme adalah

bakteri, archaea, fungi (kapang dan khamir), protozoa, alga mikroskopis, dan

virus. Vitus, bakteri, dan archaea termasuk ke dalam golongan prokatiot,

sedangkan fungi, protozoa, alga mikroskopis termauk golongan eukariot (Pratiwi,

2008).

Mikroorganisme cenderung diasosiasikan dengan penyakit-penyakit infeksi

ataupun pembusukan makanan. Akan tetapi, mayoritas mikroorganisme justru

memberikan kontribusi bagi keseimbangan ekosistem lingkungan hidup,

khususnya bagi kesejahteraan umat manusia (Pratiwi, 2008).

2.1.2 Sejarah Mikroorgnisme

Mikrobiologi ialah ilmu pengetahuan tentang peri kehidupan mahluk-mahluk

kecil yang hanya kelihatan dengan mikroskop ( bahasa Yunani: mikros = kecil, bios=

hidup, logos= kata atau ilmu). Mahluk-mahluk kecil itu disebut mikroba atau jasad renik.

(Waluyo, 2016).

Sejarah mikrobiologi dimulai dari penemuan mikroskop oleh Robert Hoke

pada tahun 1664. Melalui mikroskopisnya yang terdiri atas dua lensa sederhana.

Hooke mampu melihat ruang-ruang yang ia sebut sebagai sel, yang mengarah

2
pada munculnya teori sel yang menyatakan bahwa seluruh makhluk hidup

tersusun atas sel-sel (Pratiwi, 2008).

Meskipun Robert Hooke dapat melihat sel dengan bantuan mikroskopnya,

namun tidak adanya metode pewarnaan yang menyebabkan Hooke tidap dapat

melihat mikrooranisme dengan jelas. Ilmuawan asal Belanda Antonie ven

Leeuwenhooek mungkin adalah yang pertama kali mengamati benda hidup

dengan menggunakan mikroskop lensa tunggal yang lebih menyerupai kaca

pembesar. Leeuwonhoek menyebut benda yang diamatinya sebagai

animalcules(hewan kecil). Animalcules itu ia peroleh dari sisa makanan yang

menempel di giginya serta dari air hujan, dan pada masa selanjutnya kita kenal

sebagai bakteri dan protozoa (Pratiwi, 2008).

Hingga pertegahan abad ke-19 banyak ilmuwan dan filsuf percaya bahwa

makluk hidup muncul secara spontan dari benda tak hidup. Teori ini dikena

sebagai teori generatio spontanea yang meyakini bahwa belatung dapat muncul

dari materian busuk, ular dan tikus dapat lahir dari tanah lembap, dan lalat dapat

timbul dari rabuk. Teori ini dipercaya sampai pada tahun 1668, saat seorang

ilmuwan italia bernama Francesco Redi mendemonstrasikan penemuannya yang

menunjukkan bahwa belatung busn berasal dari daging yang busuk (Pratiwi,

2008).

Redi melakukan percobaan dengan menggunakan tiga buah tabung yang

ditutup rapat berisi daging busuk serta tiga buah tabung terbuka yang juga berisi

daging busuk. Hasil percobaan Redi menunjukkan adanya belatung diatas daging

3
busuk pada tabung yang tidak tertutup, sedangkan pada tabung yang tertutup tidak

ditemukan adanya belatung (Pratiwi, 2008).

Penganut generatio spontanea belum sepenuhnya yakin dengan penemuan

Redi. Mereka mengemukakan pendapat bahwa udara segar sangat diperlukan

untuk terjadinya teori generatio spontanea . Tidak adanya belatung pada tabung

berisi daging busuk yang tertutup rapat disebabkan oleh tidak timbulnya generatio

spontanea akibat tidak adanya udara segar pada tabung (Pratiwi, 2008).

Redi melakukan percobaan serupa untuk kedua kalinya dengan mengganti

tutup tabung menggunakan kain tipis yang berlubang halus untuk memungkinkan

masuknya udara segar kedalam tabung dan mencegah masuknya lalat. Pada

percobaan ini Redi berhasil membuktikan bahwa belatung tidak terjadi secara

mendadak dari daging yang busuk. Lalat yang tertarik pada daging busuk bertelur

di atas daging dan menyebabkan munculnya belatung pada daging, sedangkan

pada tabung yang ditutup kain, lalat hanya dapat bertelur diatas kain tipis penutup

tabung sehingga tidak ditemukan adanya belatung pada daging meskipun terdapat

udara segar pada tabung (Pratiwi, 2008).

Teori generatio spontanea pada mikroorganisme menguat pada tahun

1745 ketika seorang berkebangsaan Inggris John Needham menemukan bahwa

setelah ia memanaskan kaldu dan kemudian menempatkannya dalam botol

tertutup, larutan kaldu yang telah dingin tersebut dikerumuni oleh

mikroorganisme. Needham berpendapat bahwa mikroorganisme timbul secara

spontan dari kaldu (Pratiwi, 2008).

4
Dua puluh tahun kemudia, seorang ilmuwan italia bernama Lazzaro

Spallanzani menduga bahwa adanya kemunginan mikroorganisme dari udara

telah masuk kedalam kaldu milik Needham setelah kaldu tersebut didihkan.

Spallanzani menunjukkan bahwa larutan kaldu yang diletakkan pada botol

tertutup kemudian dipanaskan tidak menunjukkan adanya pertumbuhan

mikroorganisme. Atas percobaan Spallamzani, Needham membantahnya denga

menyatakan bahwa daya vital yang ada untuk terjadinya proses generatio

spontanea generatio spontanea telah dirusak oeh pemanasan, dan tidak dapat

masuk kedalam kaldu karena adanya sumbat dalam botol. Pendapat Needham

didukung oleh pendapat Laurent Lavoisier yang menunjukkan pentingya

peranan oksigen bagi kehidupan (Pratiwi, 2008).

Pada tahun 1858, ilmuwan Jerman bernama Rudolf Virchow

mengemukakan teori biogenesis, yang menyatakan bahwa semua sel hidup hanya

dapat timbul dari sel yang ada sebelumnya. Pada tahun 1861, seorang iomuwan

Prancis bernama Louis Pasteur melakukan percobaan yang mendukung teori

biogenesis. Pasteur mendemonstrasikan bahwa mikroorganisme terdapat di udara

dan dapat menciptakan mikroorganisme (Pratiwi, 2008).

Pasteur mengisi beberapa botol berleher pendek dengan kaldu sapi dan

kemudian mendidihkannya. Beberapa botol dibiarkan terbuka dan kaldu dibiarkan

mendingin. Beberapa botol lainnya segera ditutup setelah kaldu mendidih. Setelah

beberapa hari, pada botol yang terbuka ditemukan banyak kontaminan

mikroorganisme, sedangkan pada botol yang tertutup, tidak ditemukan

kontaminan mikroorganisme (Pratiwi, 2008).

5
Dari hasil ini, Pasteur berpendapat bahwa mikrororganisme di udara

meruakan agen yang bertanggung jawab atas terjadinya kontaminasi pada kaldu

milik Needham. Selanjutnya Pasteur meletakkan kaldu pada botol berleher

panjang yang dibengkokkan menyerupai huruf S dengan ujung yang terbuka.

Kaldu didihkan dan didinginkan. Pada pengamatan selama beberapa minggu.

Tidak ditemukan adanya kontaminasi mikroorganisme pada kaldu (Pratiwi, 2008).

Desain botol yang unik pada percobaan Pasteur memungkinkan udara

masuk kedalam botol, namun leher botol yang melengkung menyebabkan

mikroorganisme di udara yang dapat mengontaminasi kaldu terperangkap. Pasteur

menunjukkan bahwa mikroorganisme terdapat pada benda tak hidup, benda padat,

benda cair, maupun udara. Lebih lanjut Pasteur juga mendemostrasikan bahwa

kehidupan mikroorganisme dapat dimusnahkan dengan pemanasan dan metode

pemanasan tersebut dapat dirancang untuk mengeblok akses mikrobiologi di

udara terhadap lingkungan yang mengandung nutrisi. Penemuan ini merupakan

dasar teknik aseptik, yaitu teknik pencegahan kontaminasi mikroorganisme yang

tidak dikehendaki, yang saat ini menjadi standar kerja di laboratorium serta

standar bagi tindakan medis (Pratiwi, 2008).

2.2 Anatomi Fisiologi Mikroorganisme

2.2.1 Anatomi Fisiologi Bakteri

Spesies bakteri dapat dibedakan berdasarkan morfologi (bentuk), komposisi

kimia (umumnya dideteksi dengan reaksi biokimia), kebutuhan nutrisi, aktivitas

biokimia, dan sumber energi (sinar matahari atau bahan kimia) (Pratiwi, 2008).

6
Beberapa bentuk dasar bakteri yaitu bulat (tunggal: coccus, jamak:cocci),

batang atau silinder (tunggal: bacillus, jamak: bacilli). dan spiral yaitu berbentuk

batang melengkung atau melingkar-lingkar (Pratiwi, 2008). Bentuk cocci

umumnya bulat atau oval.cocci yang berpasangan setelah membelah disebut

diplococci. cocci yang membelah namun tetap melekat membentuk struktur

menyerupai rantai disebut stretococci. cocci yang membelah dalam 2 bidang dan

tetap melekat membentuk 4 kelompok coccus disebut tetrad. Cocci yang

membelah dalam 3 bidang dan tetap melekat membentuk kubus dengan 8 coccus

disebut sarcina, sedangkan cocci yang membelah pada banyak bidang dan

membentuk kumpulan menyerupai buah anggur disebut staphylococci (Pratiwi,

2008).

Bacilli membelah hanya melalui sumbu pendeknya (dalam satu

bidang).Sebagian besar bacilli tampak sebagai batang tunggal.Diplobacilli muncul

dari pasangan bacilli setelah pembelahan dan streptobacilli muncul dalam bentuk

rantai.Beberapa bacilli tampak menyerupai cocci disebut cocccobacilli (Pratiwi,

2008). Bentuk spiral bakteri memiliki satu atau lebih lekukkan dan tidak dalam

bentuk lurus. Bakteri berbentuk spiral ini dibedakan menjadi beberapa

jenis.Bakteri yang berbentuk batang melengkung menyerupai koma disebut

vibrio.Bakteri yang berpilin kaku disebut spirilla, sedangkan bakteri yang berpilin

fleksibel disebut spirochaeta (Pratiwi, 2008).

Anatomi dari bakteri tersusun atas:

1. Dinding sel

Pada bakteri adanya dinding sel yang trepisah dari protoplasmanya. Hal

7
ini dibuktikan dengan proses plasmolysa. Dinding sel yang kaku dan kuat

menyebabkan bakteri mempunyai bentuk yang tetap dan terlindung dari

pengaruh buruk dari luar. Karena dinding sel bersifat lebih kaku, maka

dengan menempatkan bakteri dalam larutan hypertonis, protoplasma akan

mengerut dan terlepas dari dinding sel, sehingga dinding sel akan jelas

terlihat (Entjang, 2003).

2. Protoplasma (cytoplasma)

Ptoplasma merupakan zat hidup dari sel. Terdapat dalam lingkungan

dindings el. Terutama terdiri atas protein (Entjang, 2003).

3. Membran cytoplasma (Ectoplasma)

Membram cytoplasma merupakan bagian terluar dari cytoplasma yang

melekat pada dinding sel. Membran ini merupakan bagian yang sangat

penting untuk kehidupan bakteri karena hal-hal berikut:

a. Bersifat semipermeable dan aktif mengambil zat-zat yang diperlukan dan

menolak zat-zat yang tidak dibutuhkan ataupun bersifat racun bagi bakteri.

b. Membentuk enzim-enzim hydrolitis yang berguna untuk mengahancurkan

zat-zat makanan yang ada disekitarnya sehingga dapat diserapnya.

c. Bertugas dalam mempertahankan keseimbangan elektrolit, kadar air dan

keasaman dari cytoplasma.

d. Bersifat antigen, jad dapat merangsang terbentuknya antibodi

e. Sangat aktif dalam pembentukkan kapsul, lendir, perubahan kebentuk spora

ataupu pada pembelahan sel.

4. Nukleus (inti)

8
Bakteri mempunyai sifat yang tetap, yaitu suatu hal yang mungkin bila

sifat-sifat tetap itu dipegang oleh inti, karena didalam inti terdapat pembawa

sifat (kromosom). Setelah ditemukan pewarnaan khusus untuk mewarnai

inti dan ditemukan mikroskop elektron, telah dapat dibuktikan adanya inti di

dalam cytoplasma walaupun masih primitif. Inti bakteri bisa 1 atau lebih

dari 1 juga bisa tersebar secara difusi didalam cytoplasma (Entjang, 2003).

5. Kapsul

Banyak sekali jenis bakteri yang mampu membentuk lendir secara tebal

dan merupakan selaput yang membungkus sel. Selaput lendir yang

membungkus seluruh permukaan bakteri dan merupakan bagian dari sel

bakteri disebut kapsul. Kapsul ini bersifat antigen dan diduga merupakan

pelindung bakteri terhadap zat-zat anti yang berada di dalam cairan badan.

Kapsul juga dapat melihat akan keganasan suatu bakteri. Bakteri yang

memiliki kapsul misalnya, Diplococcus pneumoni, Klebsiella pneumoni,

Bacillus antracis,dan Clostridium perfringens (Entjang, 2003).

6. Flagel

Salah satu sifat bakteri adalah sifat dapat bergerak. Alat gerak bakteri

adalah flagel (bulu cambuk). Flagel mempunyai ukuran panjang 1-70

mikron, tebal 12-15 milimikron. Umumnya bakteri-bakteri terbentuk batang

mempunyai flagel (dapat bergerak) sesuai dengan jumlah dan cara

penempatan flagel pada bakteri maka dibedakan:

a. Bakteri monotrich

b. Bakteri amphitrich

9
c. Bakteri kpitrich

d. Bakteri peritrich

e. Bakteri atrich

f. Bakteri lopotrich

2.2.2 Anatomi Virus

Virus mempunyai ukuran antara 10 milikron sampai 400 milimikron

bentuknya bermacam-macam, seperti batang oval atau seperti benang. Virus

bersifat obligate parasit, yaitu hanya dapat tumbuh dan berkembang biak di

dalams el yang masih hidup (sel host). Diluar sel host virus berupa partikel yang

disebut virion, dimana di dalamnya terdapat bahan genetik (pembawa sifat) yang

terdiri atas DNA dan RNA. Virion tidak melakukan metabolisme ataupun

reproduksi dan hanya dapat menyebabkan infeksi pada sel host yang cocok

dengannya (Entjang, 2003).

Didalam sel host (keadaan infektif), bahan genetiknya akan dilepaskan

kedalam cytoplasma yang akan mempengaruhi jalan hidup sel selanjutnya,

bergantung kepada jenis virusnya. Kebanyakan virus ketika berada di dalam host,

bahan gentiknya akan mendorong terjadinya virus baru (repliakasi) yang akan

menyebabkan kematian sel host. Dalam keadaan lain infeksi virus meungkin tidak

menyebabkan kematian sel host. Bahkan tidak menunjukkan kelainan yang jelas

pada sel host (Entjang, 2003).

Kapsid(coat protein) adalah susunan protein yang mngelilingi asam nukleat

virus. Struktur kapsid sangat ditentukan oleh asam nukleat virus. Kapsid tersusun

10
atas subunit-subunit proten yang disebut kapsomer (Pratiwi, 2008).

Gambar. Morfologi virus. Virus polihedral tanda envelope (a), virus


dengan envelope (b), virus heliks (c)

2.2.3 Fungi

Fungi adalah organisme kemoheterotrof yang memerlukan senyawa organik

untuk nutrisinya (sumber karbon dan energi). Bila sumber nutrisi tersebut

diperoleh dari bahan organik mati, maka fungi tersebut bersifat saprofit. Fungi

saprofit mendekomposisi sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang kompleks dan

menguraikannya menjadi zat yang lebih sederhana. Dalam hal ini, fungi bersifat

menguntungkan sebagai elemen daur ulang yang vital. Beberapa fungi yang

bersifat menguntungkan karena merupakan bahan makanan, misalnya cendawan

(mushroom), dan beberapa fungi dapat bersimbiosis dengan akar tanaman tertentu

yang membantu penyerapan air dan mineral tanah oleh akar. Simbiosis ini dikenal

dengan nama mikoriza. Beberapa fungi dapat bersifat parasit dengan memperoleh

senyawa organik dari organisme hidup. Dalam hal ini, fungi bersifat merugikan

11
karena menimbulkan penyakit pada manusia, hewan, maupun tanaman (Pratiwi,

2008).

Khamir (yeast) merupakan fungi bersel satu (uniseluler), tidak berfilamen,

berbentuk oval atau bulat, tidak berflagela, dan berukuran lebih besar

dibandingkan sel bakteri, dengan lebar berkisar 1-5 mm dan panjang berkisar 5-30

mm. Pada kapang, tubuh kapang (thallus) dibedakan menjadi dua bagian yaitu

miselium dan spora. Miselium merupakan kumpulan beberapa filamen yang

disebut hifa. Bagian dari hifa yang berfungsi untuk mendapatkan nutrisi disebut

hifa vegetatif. Sedangkan bagian hifa yang berfungsi sebagai alat reproduksi

disebut hifa reproduktif atau hifa udara (aerial hypha), karena pemanjangannya

mencapai bagian atas permukaan media tempat fungi dditumbuhkan (Pratiwi,

2008). Terdapat tiga maacam morfologi hifa, yaitu :

1. Aseptat (coenocytic hypha), yaitu hifa yang tidak memiliki dinding

sekat (septa).

2. Septat hifa (hifa bersekat) dengan sel sel uninukleat. Septa membagi

hifa menjadi ruang-ruang yang berisi 1 inti, dan pada tiap sekat

terdapat pori-pori yang memungkinkan perpindahan inti dan

sitoplasma dari satu ruang ke ruang lainnya.

3. Septa dengan ruang-ruang yang berisi lebih dari 1 inti (multinukleat).

Fungi tumbuh baik pada pH ± 5 yang terlalu asam bagi bakteri; lebih tahan

terhadap tekanan osmotik sehingga dapat tumbuh baik pada kadar garam atau

kadar gula yang tinggu; dapat hidup pada substansi dengan kondisi kelembaban

sangat rendah; memerlukan lebih sedikit nitrogen dibandingkan bakteri; dan dapat

12
memetabolisme karbohidrat kompleks seperti lignin sehingga dapat tumbuh pada

substrat-substrat seperti dindng kamar mandi, sepatu kulit, dan sampah kertas

(Pratiwi, 2008).

2.2.4 Parasit

Parasit merupakan organisme yang hidup menumpang (bergantung) pada

makhluk hidup yang lain. Organisme yang ditumpangi biasanya lebih besar

daripada parasit itu sendiri, disebut host atau hospes arau tuan rumah yang

memberikan makanan dan pelindung fisik kepada parasit (Entjang, 2003).

2.3. Metode Pemeriksaan Mikrobiologis

2.3.1 Pemeriksaan Langsung

Meliputi pemeriksaan secara mikroskopis langsung dari sampel dengan atau tanpa

pewarnaan dengan cara dibuat sediaan/preparal pada obyek glass. Termasuk pemeriksaan

mikroskopis yaitu: (Harti,2015)

1. Sediaan/Preparat lekapan basah

Digunakan untuk pemeriksaan protozoa, cacing dan jamur Contoh pemeriksaan

Trichomonas vaginalis dari sekret vagina dan pemeriksaan motilitas Treponema

pallidum dari sekret ulcus durum penderita sifilis, menggunakan mikroskop medan

gelap dan pemeriksaan jamur penyebab panu dari kerokan kulit dengan penambahan

KOH 10 %.

Bahan pemeriksaan diletakkan pada obyek glass dan diberi larutan garam fisiologis

atau pewarna tunggal seperti eosin, yodium, metilen blue, lactofenol cotton blue

13
(untuk px jamur) KOH 10% (kerokan kulit), KOH 20% ( kuku) lalu ditutup gelas

penutup lalu diamati dengan mikroskop

2. Sediaan yang diwarnai/pewarnaan preparat

Digunakan berbagai metode atau teknik pembuatan preparat (hapus, smear) dan

metode pewarnaan yang sesuai dengan jenis dan sifat cat biologis dan materi vang

diwarnai. Selain pewarnaan umum, terdapat metode pewarnaan khusus yang herfungsi

untuk mengamati struktur/bagian morfologi dari mikroorganisme, misal pewarnaan

kapsul, spora, flagel, granula, inti, dan lain-lain.

 Teknik perwarnaan terbaru

Pemeriksaan dengan menggunakan metode Ziehl-Neelsesen dan meotde


Fluorokrom (Auroamine- rhodamine)

Pemeriksaan dengan tehnik pewarnaan Ziehl-Neelseen

merupakan tehnik yang awal. Mudah, dan murah dan mempunyai

spesifitas yang tinggi untuk mendeteksi bakteri tahan asam (BTA)

pada sputum. Selain teknik pewarnaan Ziehl-Neelseesn juga ada

tehnik pewarnaan fluorokrom (Auroamine- rhodamine) sudah

digunakan dibeberapa negara. Dibeberapa penelitian mengatakan

bahwa teknik pewarnaan fluorokrom sensitivitas yang lebih tinggi

dibandingkan teknik pewarnaa Ziehl-Neelseen (Suryawati, et

al.,2018).

Dimana prinsip dari teknik pewarnaan Ziehl-Neelseen

diamana bakteri yang tahan asam (BTA) akan memberikan warna

14
merah, dan pemeriksaan ini untuk mendeteksi mycobacterium

tubercolosis

2.3.2 Pemeriksaan Tidak Langsung

2.3.2.1. Kultur/Biakan

Untuk kultur diperlukan metode/teknik isolasi dan identifikasi yang

berfungsi untuk menumbuhkan dan mengidentifikasi jenls mikroorganisme

penyebab/etiologi secara in vitro maupun in VIVO. Selain itu diperlukan pula

jenis media atau bahan yang digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan

mikrcorganisme penyebab (bakteri, jamur, protozoa, cacing), sedangkan virus

dibutuhkan biakan sel/jaringan. (Harti,2015)

Pengamatan hasil berdasarkan morfologi antara lain warna, tipe ciri

khusus, tepi, bentuk koloni atau fisiologis (reaksi biokimia) uji kepekaan,

toksisitas.

Jenis media kultur Jenis etiologi

Loeffler agar Corynebacterium diphtheriae

Lowenstein-jensen agar Mycobacterium sp, nocardia sp

Mac conkey agar Bakteri batang gram negatif

Thayer –martin agar Neisseria gonorrhoeae

Salmonella shigella agar Salmonella dan shigella

Baird parker agar Stapylococus sp

TCBS agar Vibrio cholerae

Sabouraud glukosa agar Jamur

15
EMB (eosin metilen blue) agar Bakteri batang gram negatif

Brucella selective agar Brucella sp

Clostridium selective agar Clostridium sp

Agar darah Mikrob hemolitik dan non

hemolitik

Pengukuran sensitivitas bakteri menggunakan alat :

BIOMÉRIEUX VITEK® 2 SYSTEM

Prinsip : VITEK 2 adalah sistem mikrobiologi otomatis yang

memanfaatkan teknologi berbasis pertumbuhan. Sistem ini tersedia

dalam tiga format (VITEK 2 kompak, VITEK 2, dan VITEK 2 XL)

yang berbeda dalam meningkatkan mutu atau kadar kapasitas dan

otomasi. Gambar 1 menunjukkan VITEK 2 compact system.

Ketiga sistem tersebut mengakomodasi kartu reagen kolorimetri

yang diinkubasi dan diinterpretasikan secara otomatis.

Fungsi :Fungsi alat yaitu bisa mengecek jenis kuman, alat ini juga

bisa mendeteksi kepekaan kuman terhadap antibiotik. Banyak

kuman yang memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap

antibiotik.

16
Gambar 2. BIOMÉRIEUX VITEK® 2 SYSTEM

2.3.2.2. Test imunologis

Digunakan berdasarkan prinsip reaksi antigen-antibodi yang bersifat

spesifik. Ada berbagai macam reaksi antigen antibodi yaitu aglutinas

presipitasi, ELISA, imunokromatografi, hambatan aglutinasi,fisas

komplemen, RIA (Radio Immuno Assay), imunoelektroforesis dan lain-lain.

A. Imunoflueresensi

Dalam laboratorium mikrobiologi terdapat dua ketegori

pemeriksaan deteksi antigen yang di dasarkan pada

imunofluoresensi. Pemeriksaan imunofluresensi langsung (DFA)

yang antigen dan antibodi nya yang telah di konjungasikan dengan

zat warna fluoresen bereaksi, di gunakan secara ekslusif untuk

mendeteksi antigen. Pemeriksaan imunofluiresensi tidak langsung

(IFA). Pada pemeriksaan ini antigen dan antibodi bereaksi, diikuti

reaksi dengan konjugat antibodi yang di tujukan terhadap antibodi

pertama, digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi.

(Sacher, 2012)

17
Keunggulan utama DFA adalah kecepatan hasil

pemeriksaan dan kemampuan melakukan pemeriksaan apusan

untuk mencari antigen sekaligus menilai keadekuatan spesimen

yang di kirim untuk pemeriksaan. (Sacher, 2012)

Prosedur pemeriksaan Imunoflueresensi Langsung:

1. Persiapkan apusan spesimen pada kaca objek

2. Fiksasi apusan dengan metanol atau aseton selama 1 menit

3. Aliri apusan dengan konjugat antibodi.bilas bersih dengan

penyangga FA.

4. Periksa apusan secara mikroskopis di bawah pencahayaan

ultraviolet untuk mencari fluoresensi spesifik-antigen

B. Aglutinasi partikel

Metode populer lain untuk deteksi cepat antigen bakteri dan

jamur dalam spesimen adalah aglutinasi partikel (PA) . Partikel

mikroskopik (misal lateks, arang, eritrosit, sel Staphylococus

aureus) di lapisi (disensitisasi) dengan antibodi terhadap antigen

yang akan di periksa. Apabila ada antigen yang dimaksud, partikel

menggumpal (mengalami aglutinasi) untuk membentuk gumpalan

yang dapat dilihat. (Sacher, 2012)

Spesimen yang dapat digunakan untuk pemeriksaan PA

meliputi urine, cairan tubuh yang tidak kental, dan ekstrak

spesimen cair (misal ekstrak asam nitrosa terhadap usap faring

untuk deteksi antigen Streptococus grup A). Pemeriksaan spesimen

18
yang kental tidak mungkin di lakukan karena terjadi aglutinasi non

spesifik suspensi lateks. Keunggulan pemeriksaan PA adalah cepat

nya hasil di peroleh, peningkatan sensitifitas di bandingkan dengan

imunofluoresensi, dan biaya yang relatif rendah.

Prosedur Aglutinasi Partikel.

1. Campur 50 ul spesimen dengan 10 sampai 25 ul partikel uji

yang telah dilapisi oleh antibodi dan partikel kontrol yang telah

di lapisi oleh antibodi pada kaca objek atau karton

2. Putar kaca objek secara mekanis atau manual

Periksa masing-masing campuran untuk melihat ada tidaknya

aglutinasi (penggumpalan) partikel. Hasil positif ditandai dengan

aglutinasi partikel uji dan tidak ada aglutinasi pada partikel

kontrol.

C. Immunoassay Optis

Format pemeriksaan deteksi antigen yang paling baru disebut

optical immunoassay (OIA). Teknik pemeriksaan ini menggunakan

keping silicon berlapis optis; pada keping ini melekat antibodi

penangkap yang ditujukan kepada antigen-antigen mikroba yang

akan diperiksa. Spesimen di aplikasikan ke permukaan keping

silicon, di cuci, dan keping sillikon diperiksa dibawah cahaya

terang. Adanya zona reaksi ungu diatas latar belakang emas

merupakan bukti reaksi positif. OIA untuk mendeteksi antigen

19
streptokokus grup A, streptokokus grup B, dan Chlamydia

trachomatis sudah tersedia di pasaran. (Sacher, 2012)

Seperti imunokromatografi, keunggulan utama OIA adalah

kesederhanaan pemeriksaan. Selain itu, metode OIA tampaknya

mampu mendeteksi antigen dalam jumlah lebih sedikit daripada

yang dapat di deteksi oleh pemeriksaan-pemeriksaan cepat lainnya.

(Sacher, 2012)

D. Enzyme immunoassay (EIA)

Enzime immunoassay (EIA) dapat di buat untuk

mendeteksi antigen atau antibodi. Prosedur EIA untuk mendeteksi

antigen mikroba di mulai dari perlekatan antibodi spesifik ke suatu

fase padat, seperti membran nitroselulosa, suatu dipstick plastik,

buter plastik, atau dinding bagian dalam tabung plastik atau sumur

baki mikrotiler. Spesimen yang mengandung antigen (yang

mungkin memerlukan tahapan pretreament untuk membebaskan

atau memanjankan antigen) di tambahkan ke fase padat yang sudah

disensitisasi oleh antibodi kemudian di inkubasi. Selanjutnya

adalah tahapan pencucian yang di lakukan dengan cermat untuk

menghilangkan zat yang tidak terikat, dan di tambah kan antibodi

spesifik-antigen keduanya telah di konjugasikan dengan suatu

enzim (misal, peroksidase horseradish, fosfalase alkali) ke komples

fase solid –antibodi –antigen. Setelah kembali di inkubasikan, fase

solid kembali di cuci dengan cermat untuk menghilangkan

20
konjugat enzim-antibodi yang tidak terikat. Langkah terakhir

adalah penambahan substrat enzim ke fase padat di ikuti oleh

inkubasi. Titik akhir pemeriksaan yang positif biasanya adalah

perubahan substrat yang tidak berwarna menjadi produk-akhir

berwarna yang terdeteksi dengan mata telanjang atau dengan

bantuan spektrofotometer. (Sacher, 2012)

Prosedur Immunoassay Enzim.

1. Campur spesimen dengan fase padat yang mengandung

antibodi penangkap antigen. Bilas dengan bersih.

2. Aliri fase padat dengan konjugat enzim-antibodi. Bilas dengan

bersih.

3. Aliri fase padat dengan substrat enzim. Bilas dengan bersih.

4. Periksa fase padat untuk melihat adanya pembentukan warna.

Untuk lebih meningkatakan sensitifitas dan spesifisitas

pemeriksaan, maka para produsen melakukan modifikasi-

modifikasi terhadap prosedur IEA yang di jelaskan di atas.

Antibodi kedua tidak di jonjugasikan ke suatu enzim Tapi

mengalami biotinilasi (perlekatan biotin secara kimiawi ke

antibodi). Pengikatan antibodi yang telah terbiotinilasi ke

kompleks antigen-antibodi yang sudah ada di deteksi oleh reasi

dengan konjugat avidin–enzim (misal, piroksidase horseradish) di

ikuti dengan penambahan enzim dan pembentukan warna. (Sacher,

2012)

21
EIA memiliki beberapa keunggulan. Pemeriksaan ini

mungkin lebih sensitif di bandingkan dengan aglutinasi partikel

dua kali lipat atau lebih karena enzim yang terkonjugasi antibodi

memungkinkan terjadinya amplisikasi sinyal. Sebuah kompleks

antigen-konjugat antibodi memiliki potensi untuk menghasilkan

perubahan substrat tidak berwarna menjadi produk–akhir berwarna

secara terus menerus. Apabila substrat enzim terdapat dalam

jumlah berlebihan, waktu yang tersediah untuk pembentukan

warna menjadi faktor pembatas pembentukan sinyal. Keunggulan

lain dari EIA kemudahan pembacaan. Sebagian pemeriksaan yang

berpengalaman merasa kan bahwa produk deteksi akhir berwarna

dapat di lakukan secara lebih meyakinkan dan lebih akurat serta

tidak memerlukan banyak latihan dibandungkan dengan deteksi

hasil akhir pada aglutinasi partikel atau imunofluoresensi,

akhirnya, kecepatan EIA (kurang dari 10 menit). Menyebabkan

metode ini dapat dilakukan di luar lingkungan laboratorium.

Reagen bersifat stabil, tidak banyak di perlukan pelatihan untuk

melakukan pemeriksaan yang tidak di perlukan peralatan yang

mahal dan rumit untuk membaca hasil akhir. (Sacher, 2012)

E. Imunokromatografi

Salah satu format pemeriksaan antigen yang lebih baru

dikenal sebagai imunokromatografi. Prinsip metode ini mencakup

reaksi antigen mikroba dengan antibodi yang dikonjugasikan ke

22
partikel berwarna. Kompleks imun yang terbentuk kemudian

mengalir (kromatografi) melalui suatu region reaksi membrane

yang dilapisi oleh antibodi penangkap terhadap antigen mikroba

yang sama. Sinyal positif di tunjukkan oleh retensi partikel

berwarna yang terlihat di region reaksi pada alat tes. Kromatografi

terus berlanjut sampai “bagian depan” yang maju menemui sel

antibody penangkap kedua yang ditujukan kepada komponen

antigenic non mikroba pada partikel yang bermigrasi. Selesainya

pemeriksaan ditunjukkan oleh tertahannya partikel kompleks

nonimun di region kontrol kualitas pada alat tes. (Sacher, 2012)

Tes terbaru imunokromatografi:

1. CareStart ™ Malaria RDTs (rapid diagnostic test)

• CareStart ™ Malaria RDTs adalah tes diagnostik yang cepat untuk

mendiagnosa infeksi malaria dari seluruh darah pasien dalam 20

menit.

• Berperan terhadap parasit Plasmodium yang berbeda yang

menyebabkan malaria pada manusia, yaitu P. falciparum, P. vivax,

P. malariae, P. ovale, serta HRP2 menghapus malaria mutan P.

falciparum.

• Sensitivitas dan spesifisitas tinggi

• Prinsip : Pada beberapa titik di kertas nitroselulosa diletakkan

antibodi monoklonal spesifik terhadap antigen lactate

dehydrogenase (pLDH) yang diproduksi oleh P. falciparum dan

23
pan LDH yang diproduksi oleh P. vivax, P. falciparum, P. ovale,

dan P. malariae.

Gambar 7. CareStart ™ Malaria RDTs

Prosedur :

1. Ambil sampel darah (5𝜇𝑙) denganmenggunakan pipet yang

disediakan atau mikropipet.

2. Tambahkan 5 𝜇𝑙 darah utuh ke dalam sumur 'S'.

3. Tambahkan 60 𝜇𝑙 larutan pelarut assay ke dalam sumur

"A".Mulai timer

4. Baca hasilnya dalam 20 menit

2.3.2.3. Teknik biomolekuler/ genetik

Digunakan berdasarkan sifat molekuler dari gen (DNA, RNA) protein

atau asam amino dari substansi penyusun dari antigen antibodi, komponen

sel, enzim, toksin, dan lain-lain. Selain itu dapat digunakan teknik

biomolekuler seperti PCR (Polymerase Chain Reaction), sekuensing DNA,

elektroforesis protein, imunoblotting, hibridisasi DNA, DNA microarray,

DNA finger printing dan lain-lain. (Harti, 2015)

24
a. PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR adalah suatu teknik ilmiah pada biologi molekuler

untuk menganalisa suatu DNA maupun beberapa salisannya

melalui beberapa proses, menghasilkan ribuan maupun jutaan

urutan DNA tertentu. PCR saat ini sangat umum dan sering

digunakan dan penting pada laboratorium penelitian medis dan

biologi. Untuk bebragai macam applikasi. Ada 3 langkah dalam

penggunaan teknik PCR yaitu denaturasi, proses penguatan dan

ekstensi. PCR dapat digunakan untuk laboratorium forensic dan

hanya membutuhkan bagian yang kecil dari DNA. PCR juga dapat

mendeteksi gen yang memicu terjadinya kanker. (Sacher, 2012)

Adapun tahapan PCR sebagai berikut.

 Denaturasi

Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka

menjadi dua untai tunggal. Hal ini disebabkan karena suhu

denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen

diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh

reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada

siklus yang sebelumnya. Denaturasi biasanya dilakukan antara

suhu 90 oC – 97 oC.

 Penempelan primer

Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan

menuju daerah yang spesifik yang komplemen dengan urutan

25
primer. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan

terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada

template. Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 50 oC – 60


o
C. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga

ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak

akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi

selanjutnya, misalnya pada 72 oC.

 Reaksi polimerisasi (extension)

Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini,

terjadi pada suhu 72oC. Primer yang telah menempel tadi akan

mengalami perpanjangan pada sisi 3’nya dengan penambahan

dNTP yang komplemen dengan templat oleh DNA polimerase.

Metode Deteksi PCR

Pada biologi molekuler, rantai polymerase real time adalah

teknik laboratorium berdasarkan PCR, dimana digunakan untuk

perbanyakan dan menganalisa target molekul DNA.Secara

tradisional PCR dilakukan pada tube dan ketika reaksi selesai

(Perbanyakan fragmen DNA) dan dianalisa dan visualisasi

menggunakan gel elektroforesis. (Sacher, 2012)

26
Gambar 3. Alat PCR

2.3.2.4. Uji Biokimia

Uji biokimia dapat digunakan untuk identifikasi mikroorganisme

secara fisiologis, berdasarkan reaksi biokimia. Macam atau jenis

biokimia dapat dipenagruhi oleh faktor atau sifat mikroorganisme,

jenis media, dan faktor lingkungan (Harti,2015).

Macam-macam uji biokimia yang umum digunakan untuk

identifikasi bakteri:

1. Uji MR (Metil Red)

a. Tujuan: mengetahui terbentuk nya asam hasil fermentasi

karbohidrat.

b. Cara pengujian

Media MR cair di inokulasi dengan bakteri uji lalu di inkubasi

.media di tambah 5 tetes indikator merah metil (Metil Red).

c. Hasil

27
Uji positif terbentuk warna merah uji negatif terbentuk warna

kuning

d. Reaksi biokimia:Bakteri tertentu dapat menfermentasi karbohidrad

(glukosa) menghasilkan asam ( Pada familia enterobacteriacea

melalui jalur asam campur). Ada nya asam akan menyebabkan pH

media 7.0 menjadi 4.4 sehingga terbentuknya asam dapat diketahui

dari warna indikator merah metil (trayek pH 4.2 -6.3) yaitu

terbentuk nya warna merah.

2. Uji VP(Voge Proskauer)

a. Tujuan: Untuk mengetahui terbentuknya acetoin (asetil metil

karbinol).

b. Cara Pengujian

Media VP (voge proskauer) cair diinokulasi dengan bakteri uji

lalu diinkubasi. Media ditambah 5 tetes KOH 40% lalu dikocok

kuat dan tambah 5 tetes reagen Barrit atau reagen O’meara.

c. Hasil

Apabila hasilnya positif terebentuk warna merah, dan apabila

negatif terbentuk warna kuning.

d. Reaksi Biokimia

Bakteri tertentu dapat menfermantasi glukosa menjadi acetoin

melalui jalur fermentasi Butanadiol. Dalam suasana basa serta

penggojogan yang kuat maka acetoin dan butanadiol akan

dioksidasi menjadi diasetil. Diasetil akan beraksi dengan alfa naftol

28
( dalam reagen barrit) atau kreatin ( dalam reagen o’meara) yang

memberi warna merah.

3. Uji PAD (Phenilalanine deaminase)

a. Tujuan: Mengetahui adanya deaminasi fenilalanin

b. Cara uji

Media PAD cair di inokulasi dengan bakteri uji lalu di inkubasi

media di tambah HCl 0,1 N Sampai tepat warna kuning lalu di

tambah reagen Fecl3 10%.

c. Hasil

Uji positif terbentuk warna hijau, dan negatif terbentuk warna

kuning

d. Reaksi biokimia:

Bakteri tertentu (contoh proteus mirabilis ) dapat melakukan

deaminasi fenilalanin menjadi fenil piruvat yang akan bereaksi

dengan Fecl3 sehingga terbentuk warna hujau semi permanen.

4. Uji Citrat

a. Tujua: Mengetahui apakah bakteri dapat menggunakan citrat

sebagai carbon tunggal.

b. Cara uji

Media citrat (slan agar) di inokulasi secara gorek dan tusukan

lalu inkubasi.

c. Hasil

29
Uji positif media berwarna biru, dan negatif tetap berwarna

hijau

d. Reaksi biokimia:

Jika bakteri dapat menggunakan natrium citrat sebagai sumber

carbon tunggal maka akan di bebaskan ion hidroksida yang bersifat

basah. Dalam media citrat mengandung indikator BTB (Bromo

Thymol Blue) dengan trayek pH (6.0-7.6) sehingga dalam suasana

basah maka media berubah yang semula warna hijau menjadi

warna biru.

5. Uji Urea

a. Tujuan: Mengetahui adanya enzim uraease yang di hasilkan mikrob

b. Cara uji

Media urea agar (agar tegak) diinokulasi secara tusukan dengan

bakteri uji lalu di inkubasi.

c. Hasil

Uji positif media berwarna merah dan uji negatif media

berwarna kuning.

d. Reaksi biokimia

Bakteri tertentu dapat menghasilkan enzim urease yang akan

menghidrolisis urea menjadi CO2 dan NH3. Akumulasi NH3

menyebabkan suasana basah, sihingga media yang mengandung

indikator phenol red akan berubah yang semulah kuning menjadi

merah.

30
6. Uji Sulfida, Asam, dan Gas

a. Tujuan: Mengetahui tebentuk nya sulfida , asam dan gas .

b. Cara uji

Media KIA (Kliger’s Iron Agar) slant agar diinokulasi secara

gores dan tusukan lalu inkubasi.

c. Hasil

Sulfida :uji positif, terbentuk warna /endapan hitam. Uji negatif,

tidak terbentuk warna hitam

I. Sulfida : uji positif terbentuknya warna atau endapan

hitam, sedangkan uji negatif tidak terbentuk warna hitam.

II. Asam : uji positif, media akan berwarna kuning (A=asam)

pada lereng atau dasar media, sedangkan uji negatif, media

akan berwarna merah (K= alkali) pada lereng atau dasar

media. jika lereng dan dasar media kuning, di tulis A/A

,bila lereng kuning dan dasar merah maka di tulis K/A, bila

lereng dan dasar merah maka di tulis K/K.

d. Reaksi biokimia:

I. Sulfida (H2S) atau terjadi reaksi antara ion S2- dan ion Fe3+

maka akan terbentuk Fe2S3 (endapan hitam )

II. Asam, bakteri dapat yang dapat memfermentasi glukosa dan

laktosa dalam media menjadi asam. Dalam media KIA

mengandung indikator phenol red (merah phenol) dengan

31
trayek ph (6.8-8.4) sehingga suasana asam maka media akan

berubah yang semula warna orange menjadi kuning.

7. Uji Sulfida. Indol, dan Motilitas

a. Tujuan: Mengetahui terbentuk nya sulfida, indol dan motilitas.

b. Cara uji: Media SIM (sulfida indol motilitas) agar tegak diinokulasi

secara tusukan lalu inkubasi.

c. Hasil

I. Sulfida, uji positif, terbentuk warna/endapan hitam. Uji

negatif tidak terbentuk warna hitam

II. Indol :di tambah 5 tetes reagen erlich A dan 5 tetes erlich B.

Uji positif terbentuk warna merah, uji negatif tidak terbentuk

warna merah

III. Motilitas : uji positif terjadi pertumbuhan koloni merata

pada media, uji negatif hanya ada pertumbuhan koloni di

bekas tusukan.

d. Reaksi biokimia

Sulfida (H5S) atau terjadi reaksi antara ion S2- dan ion Fe3+ maka

akan terbentuk Fe2S3 (endapan hitam ). Indol, triptophan dalam

media dengan H2S dan ensim triptophanase akan terbentuk indol +

piruvat + NH3 reagen kovacs (erlich) membentuk para dimetil

aminobenzaldehide yang berwarna merah.

8. Uji Deaminasi dan Dekarboksilasi Lisin

32
a. Tujuan: Mengetahui terbentuk nya sulfida, deaminasi atau

dekarbok-silasi lisin.

b. Cara uji

Media LIA (lysin indol aar ) slant agar diinokulasi secara

tusukan lalu inkubasi.

c. Hasil

I. Sulfida, uji positif terbentuk warna/endapan hitam. Uji

negatif tidak terbentuk warna hitam.

II. Deaminasi lisin, uji positif, media berwarna merah

coklat(R). Uji negatif media berwarna ungu (K=alkali).

III. Dekarboksilasi lisin, uji positif media berwarna ungu. Uji

negatif media tetap.

d. Reaksi biokimia:

Jika mikrob mereduksi natrium tiosulfat dalam media maka

akan terbentuk H2S yang akan bereaksi dengan ion Fe2+ maka akan

terbentuk FeS (Endapan hitam ).

Deaminasi lisin, terjadi karena bakteri tertentu dapat

melakukan deaminasi lisin menghasilkan asam amino kaproat

sebagai asam karboksilat yang akan bereaksi dengan ion Fe dan

adanya pengaruh oksigen akan terbentuk warna merah coklat.

Dekaboksilasi lisin, terjadi karena bakteri tertentu dapat

melakukan dekarboksilasi lisin menghasilkan cadaverine

(pentametilene deamine) yang bersifat basa sehingga adanya

33
indikator BCP ( bromo creasol purple) trayek pH 5.2 -6.8 akan

berwarna ungu. Bakteri yang tidak melakukan dekarboksilasi lisin,

maka tidak dapat meningkatkan pH media sehingga medium

berwarna kuning. Pada pH rendah, pertumbuhan bakteri akan

terhambat dan jenis yang dapat membentuk H2S biasanya tidak

mampu menunjukan adanya H2S posit

2.4 Penyakit yang Disebabkan oleh Mikroorganisme

2.4.1 Demam Tifoid

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit

ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6

tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit

yang mudah menular dan menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan

wabah (Irianto, 2013).

Diagnosis definif penyakit tifus adalah isolasi Salmonella typhi dengan

kultur dalam media gal (empedu) dari bahan pemeriksaan darah, yang sebaiknya

dilakukan dalam minggu pertama hingga 10 hari pertama demam. Kultur darah

yang dilakukan pada 10 hari pertama demam dan saat terjadinya relaps, akan

menunjukkan hasil positif pada 90% penderita tifoid (Irianto, 2013).

Kultur Salmonella dari bahan pemeriksaan feses akan menunjukkan hasil

positif setelah hari ke-10 sakit. Hasil positif kultur feses akan meningkat hingga

kurang dari 50% penderita setelah minggu ke-3, yaitu antara minggu ke 4-5. Hasil

34
kultur feses yang menunjukkan Salmonella typhi tetap positif setelah bulan ke-4,

ini menunjukkan penderita tersebut adalah seorang karier (3%) (Irianto, 2013).

Kultur Salmonella dari bahan pemeriksaan urine hanya dilakukan bila hasil

kultur darah negatif, dilakukan pada minggu ke 2-3 sakit, menunjukkan hasil

positif pada 25% penderita. Kultur Salmonella typhi yang menjadi positif kembali

setelah 1-2 minggu penderita dinyatakan sembuh, ini menunjukkan adanya relaps

tifoid. Pada relaps, titer hasil pemeriksaan widal tetap tinggi. yang menjadi positif

kembali setelah 1-2 minggu penderita dinyatakan sembuh, ini menunjukkan

adanya relaps tifoid. Pada relaps, titer hasil pemeriksaan widal tetap tinggi

(Irianto, 2013).

 Tes Widal (Felix Widal)

Diagnosis demam tifoid tergantung pada isolasi Salmonella

typhi dari darah, sumsum tulang, daerah terinfeksi lainnya, atau

lesi. Deteksi antibodi dari kultur darah masih menjadi pilihan

utama dari diagnosis (Anonim, 2011).

Deskripsi

Tes ini mengukur tingkat antibodi aglutinasi terhadap

antigen O dan H. Tingkat antibodi diukur menggunakan

pengenceran serum ganda. Biasanya antibodi O akan muncul pada

hari ke 6-10 dan antibodi H pada hari ke 10-12 setelah onset

penyakit. Tes ini dilakukan pada serum akut (kontak pertama

dengan pasien) (Anonim, 2011).

35
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini tidak tinggi (sedang).

Tes ini memberikan hasil negatif pada 30% kasus yang mungkin

disebabkan oleh penggunaan antibiotik sebelumnya. Hasil positif

palsu dapat terjadi akibat reaksi silang epitop dengan

enterobakteriase. Hasil positif palsu juga dapat terjadi pada

penyakit seperti malaria, tifus, bakteremia yang disebabkan oleh

mikroba lain dan sirosis (Anonim, 2011).

Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan tingkat

antibodi pada populasi normal untuk menentukan ambang titer

antibodi yang dianggap bermakna. Demam tifoid terdiagnosa bila

hasil titer antibodi antara serum kovalesen empat kali lipat

dibandingkan serum akut, misalnya: titer antibodi 1/80 pada fase

akut menjadi 1/320 pada fase kovalesen (recovery). Walaupun ada

keterbatasan tes ini berguna, karena murah dibandingkan dengan

tes diagnosis baru. Tes ini tidak perlu dilakukan bila telah

dilakukan pemeriksaan kultur bakteri S. Typhi (Anonim, 2011).

 Tes diagnostik terbaru

Tes diagnostik terbaru adalah IDL Tubex dari Swedia,

Typidot dari Malaysia, dan dipstik tes yang dikembangkan di

Belanda.

Prinsip pemeriksaan Tubex®TF untuk deteksi igM spesifik

Salmonella typhi

36
Reaksi yang terjadi pada pemeriksaan Tubex®TF yaitu

antibody igM spesifik Salmonella typhi yang terdapat dalam serum

penderita akan menghambat reaksi antara antigen berlabel partikel

lateks magnetic dengan antibody monoclonal berlabel lateks yang

berwarna biru, selanjutnya ikatan inhibisi yang terjadi disparasikan

dalam suatu medan magnet dan tingkat inhibisi yang terjadi adalah

setara dengan konsentrasi igM Salmonella typhi yang terdapat

dalam serum penderita (Irianto, 2013).

Tabel 2. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Tubex®TF

Hasil Interpretasi Arti Klinis

<2 Negative Tidak menunjukkan adanya infeksi Demam Tifoid

Akut

3 Borderline Hasil pemeriksaan masih meragukan dan belum

dapat disimpulkan. Perlu pemeriksaan ulang

beberapa hari kemudian.

4-5 Positive Menunjukkan adanya infeksi Demam Tifoid Akut

>6 Positive Indikasi kuat adanya infeksi Demam Tifoid Akut

2.4.2 Malaria

Malaria merupakan penyebab anemia hemolitik yang berhubungan

denganinfeksi sel darah merah oleh protozoa spesies Plasmodium yang ditularkan

kemanusia melalui air liur nyamuk. Ada 4 jenis Plasmodium penyebab

37
malaria,yaitu: P. vivax, P. falciparum, P. ovale, P. tertiana. Malaria bersifat

endemik didaerah tropis dan sub tropis (papua, NTB). Penyakit ini bersifat akut

yang dapatmenjadi kronis disertai serangan berulang yang menyebabkan

kelemahan(malaise) (Irianto, 2013).

Mikroorganisme Plasmodium pertama kali menginfeksi sel hati, dan

kemudianberpindah ke eritrosit. Infeksi menyebabkan hemolisis masif sel darah

merah.Pada titik ini, semakin banyak parasit yang dilepaskan ke dalam sirkulasi

danterjadi siklus infeksi berikutnya. Siklus infeksi biasanya berlangsung setiap72

jam. Respon hospes terhadap infeksi antara lain pengaktifan sistem

imun,termasuk produksi berbagai sitokinin yang didesain untuk

meningkatkanrespon imun. Sitokinin ini, termasuk faktor nekrosis tumor dan

interleukin 1dan 6, merupakan faktor kunci melawan parasit, tetapi bertanggung

jawab jugauntuk kebanyakan manifestasi klinis penyakit, terutama demam dan

mialgia(nyeri otot). Individu biasanya pulih tetapi dapat mengalami kekambuhan

(Irianto, 2013).

Implikasi klinik :

Analisis darah akan memperlihatkan anemia dan adanya parasit

(Plasmodium).Bentuk sel masing-masing parasit berbeda sehingga

pemeriksaan hapusandarah dapat digunakan untuk mengidentifi kasi

jenis Plasmodium penyebabinfeksi (Irianto, 2013).

2.4.3 Hepatitis

Terdapat minimal empat jenis virus hepatitis. Bentuknya secara klinis sama,

tetapi berbeda dalam imunologi, epidemiologi, prognosis dan profilaksis. Jenis

38
virus hepatitis: (1) hepatitis A; infeksius hepatitis, (2) hepatitis B; hepatitis serum

/transfusi, (3) hepatitis D; selalu berhubungan dengan hepatitis B, (4) Hepatitis C;

dahulu non A atau non B. Orang yang berisiko hepatitis: pasien dialisis, pasien

onkologi/hematologi, pasien hemofi li, penyalahguna obat suntik, homoseksual

(Anonim, 2011).

Nilai normal : Negatif

a) Hepatitis A

 HAV-ab/IgM; dideteksi 4 – 6 minggu setelah terinfeksi dan

menunjukka tahap hepatitis A akut

 HAV-ab/IgG; dideteksi setelah 8 -12 minggu setelah terinfeksi dan

menunjukkan pasien sebelumnya pernah terpapar hepatitis A (Anonim,

2011).

b) Hepatitis B

 HBs-Ag merupakan antigen permukaan hepatitis B yang ditemukan

pada 4-12 minggu setelah infeksi. Hasil positif menunjukkan hepatitis

B akut (infeksi akut dan kronik)

 Hbe-Ag ditemukan setelah 4-12 minggu setelah terinfeksi. Hasil yang

positif menunjukkan tahapan aktif akut (sangat infeksius)

 Hbc-Ag (antibodi inti hepatitis B) ditemukan setelah 6 – 14 minggu

terinfeksi. Hasil yang positif menujukkan infeksi yang sudah lampau.

Merupakan penanda jangka panjang.

39
 HbeAb antibodi ditemukan 8-16 minggu sesudah terinfeksi,

menunjukkan perbaikan infeksi akut.

 Hasil positif antibodi HBs-Ab terhadap antigen permukaan hepatitis B,

terjadi setelah 2-10 bulan infeksi. Menunjukkan pasien sebelumnya

telah terinfeksi /terpapar hepatitis B tetapi tidak ditemukan pada tipe

hepatitis yang lain. Merupakan indikator perbaikan klinik, juga dapat

ditemui pada individu yang telah berhasil diimunisasi dengan vaksin

hepatitis B.

 Pengukuran DNA virus dengan PCR dapat digunakan untuk memonitor

terapi HBV dengan obat anti virus (Anonim, 2011).

2.4.4 Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA yang termasuk

dalam family Retroviridae genus Lentivirus penyebab Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang terdiri dari 2 spesies yaitu HIV-1 dan

HIV-2 . HIV adalah Retrovirus yang mempunyai sepasang materi genetic asam

ribonukleat rantai tunggal (Single Stranded Ribonucleic Acid = ss-RNA) yang

identic dan enzim reverse transcriptase. HIV dapat merusak sistem kekebalan

tubuh sehingga daya tahan tubuh penderita menurun atau hilang, akibatnya

individu yang bersangkutan mudah terkena infeksi (Irianto, 2013).

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala

penyakit akibat infeksi HIV, minimal ditemukan dua gejala mayor dan satu gejala

minor. Gejala-gejala yang timbul sebenarnya tidak spesifik untuk infeksi HIV

40
tetapi merupakan gejala-gejala penyakit lain yang merupakan penyakit penyerta

(Irianto, 2013).Infeksi primer HIV akut menunjukkan spectrum gejala mulai dari

asimptomatik sampai dengan berat. Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV di mulai

saat virus masuk ke dalam tubuh, tetapi umurnya baru terdeteksi sebagai penderita

HIV bila jumlah virus dalam darah penderita sudah cukup banyak jumlahnya,

sehingga pada pemeriksaan akan menunjukkan hasil uji anti-HIV positif (Irianto,

2013).

HIV adalah retrovirus (virus RNA), yang menyerang sel sistem imun

terutama CD4+ limfosit T, yang melemahkan pertahanan host, menyebabkan

infeksi oportunistik dan Acquired Immune Defi ciency Syndrome (AIDS) pada

hampir semua kasus. Beberapa tes digunakan untuk menentukan pasien yang

kemungkinan terinfeksi HIV, yaitu: antibodi HIV, tes Western Blot, tes antigen

HIV, HIV RNA, CD4+, beban virus (Anonim, 2011).

a) Tes Antibodi HIV (penapisan HIV), dengan metoda: Enzyme Linked

Immunosorbent Assay (Elisa) atau Enzyme Immunoassay (EIA)

Deskripsi :

Tes penapisan antibodi terhadap virus penyebab AIDS, HIV1.

Sebagian besar tes penapisan juga meliputi HIV2. Antibodi (Ab)

muncul setelah seseorang terinfeksi selama 4-8 minggu. Jika

seseorang mempunyai antibodi dalam darahnya maka akan bereaksi

dan mengikat antigen (Ag) HIV pada permukaan. Ikatan Ag-Ab

menimbulkan reaksi warna yang dapat dievaluasi sebagai negatif,

41
positif, atau tidak dapat ditetapkan. Hasil tes positif dan tidak dapat

ditetapkan harus diulang dan kemudian dikonfi rmasi dengan tes

Western Blot.

Hasil ELISA positif palsu dapat terjadi apabila pasien menerima

imunoglobulin hepatitis B dalam 6 minggu, wanita multigravida, dan

adanya faktor-faktor reumatoid. Hasil ELISA negatif palsu terjadi

pada stadium lanjut HIV atau awal infeksi (sebelum terbentuk

antibodi) (Anonim, 2011).

Implikasi klinis :

Tes positif menunjukan orang tersebut terinfeksi atau berpotensi

terinfeksi dan memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi

menderita penyakit simptomatik dalam beberapa tahun. Apabila tes

dilakukan segera setelah terinfeksi dapat terjadi hasil negatif palsu

karena belum terbentuk antibodi. Jika dilakukan pengujian ulang

setelah 6-12 minggu akan menunjukkan hasil positif. ELISA juga

dapat menunjukkan hasil positif palsu, sehingga orang yang tidak

terinfeksi dapat dinyatakan terinfeksi. Oleh karena itu hasil tes

positif dengan ELISA atau EIA harus dikonfirmasi dengan Western

Blot.

b) Tes Western Blot

Pemeriksaa WB paling sering dipakai sebagai pemeriksaan

konfirmasi.

Prinsip:

42
1. Memisahkan antigen (lisat virus) dengan menggunakan sodium

Dodecyl Sulfat (SDS) Polyacrylamide Gel Elektoforesis (PAGE)

2. Memindahkan (Blotting) antigen yang sedah dipisahkan ke suatu

membrane nitroselulose

3. Pemeriksaan sampel menggunakan membrane nittoselulose

dengan metode ELISA

Implikasi klinik:

Western blot positif memastikan bahwa seseorang terinfeksi HIV.

Gambar 4. Alat tes Western Blot

43
2.4.5. Kandidiasis

Kandidiasis merupakan infeksi jamur sistemik yang paling sering dijumpai

yang terjadi bila C. albicans masuk ke dalam aliran darah terutama ketika

ketahanan fagositik host menurun. Respons imun cell-mediated terutama sel CD4

penting dalam mengendalikan kandidiasis (seperti pada kandidiasis), seringkali

muncul beberapa bulan sebelum munculnya infeksi oportunistik yang lebih berat.

Kandidiasis mukokutan pada orang dengan HIV-AIDS/ODHA merupakan salah

satu indikator progresivitas HIV dapat muncul dalam tiga bentuk, yaitu

kandidiasis vulvovagina, orofaring, dan esophagus (belum digolongkan infeksi

oportunistik kecuali jika sudah mengenai esofagus). Strain kandida yang

menginfeksi ODHA tidak berbeda dengan pasien imunokompromais lainnya

(tersering adalah C. albicans). Strain lain yang pernah dilaporkan adalah C.

glabrata, C. parapsilosis, C. tropicalis, C. kruseii, dan C. dubliniensis. Kandida

rekurens dapat disebabkan oleh strain yang sama atau strain yang berbeda

(Mutiawati, 1989).

Diagnosis kandidiasis ditentukan berdasarkan gejala klinis yang menyebar dan

tidak mudah dibedakan dari infectious agent yang telah ada. Diagnosis

laboratorium dapat dilakukan melalui pemeriksaan spesimen mikroskopis, biakan,

dan serologi. Tujuan pemeriksaan laboratorium adalah untuk menemukan C.

albicans di dalam bahan klinis baik dengan pemeriksaan langsung maupun

dengan biakan. Bahan pemeriksaan bergantung pada kelainan yang terjadi, dapat

berupa kerokan kulit atau kuku, dahak atau sputum, sekret bronkus, urin, tinja,

usap mulut, telinga, vagina, darah, atau jaringan (Mutiawati, 1989).

44
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

1. Mikroorganisme atau mikroba adalah mikrooganisme hidup yang berukuran

sangat kecil dan hanya dapat diamati dengan menggunakan mikroskop

2. Pemeriksaan laboratorium untuk mikroorganisme ini ada 2 yaitu

 Secara langsung

 Tidak langsung.

3. Pemeriksaan langsung yaitu pemeriksaan dari segi morfologinya secara

mikroskopis.

4. Pemeriksaan secara tidak langsung yaitu pemeriksaan dari segi fisiologis baik

secara biokimia, reaksi imunologis atau molekuler.

5. Pemeriksaan langsung meliputi pemeriksaan secara mikroskopis langsung dari

sampel dengan atau tanpa penawaran dengan cara dibuat sediaan/preparat

pada obyek glass.

6. Pemeriksaan tidak langsung diantaranya Kultur / Biakan, Tes imunologis,

Teknik biomolekuler/genetik dan Uji biokimia.

45
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta : Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

Anonim.CareStart™Malaria*,
http://www.accessbio.net/eng/products/products01_02.asp, diakses pada
15 November 2019

Entjang, I., 2003, Mikrobiologi dan Parasitologi, Citra Aditya Bakti, Bandung
FKUI, 1994. Buku Ajar Kedokteran

Harti, A.S. 2015. Mikrobiologi Kesehata, Ed I, Yogyakarta : ANDI.

Irianto, K. 2013. Mikrobiologi Medis. Bandung : Penerbit Alfabeta.

Mutiawati, V. K. (1989). PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI PADA CANDIDA


ALBICANS. The Annals of Probability, 17(3), 840–865.
https://doi.org/10.1214/aop/1176991250

Pincus, D.H. MICROBIAL IDENTIFICATION USING THE BIOMÉRIEUX


®
VITEK 2 SYSTEM,www.pda.org/bookstore, diakses pada 15 November
2019.
Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta : Erlangga.

Sacher, R.A & McPherson, R.A. 2012. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Suryawati, B., Saptawati, L., Feabyane, A., dan Aphridasari, J., 2018, Sensitivitas
Metode Pemeriksaan Mikroskopis Fluorokrom dan Ziehl-Neelseen untuk
Deteksi Mycobacterium Tubercolosis pada Sputum, Smart Medical Journal,
1(1).

Waluyo, L. 2016. Mikrobiologi Umum. Malang : Penerbitan Universitas


Muhammadiyah Malang.

46

Anda mungkin juga menyukai