Anda di halaman 1dari 15

Nama : Indah Arsinta

Nim : 1805 9050 300 20

Mk : Sistem Sosial dan Politik Indonesia

Pengertian Pemerintah Daerah dan Pusat


Menurut dasar-dasar hukum otonom dalam UUD 1945 dan diperkuat UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah adalah organisasi pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintah di daerah menurut asas otonomi seluas-luasnya dan asas perbantuan dalam sistem NKRI.
Penyelenggara Pemerintahan Daerah yang dimaksud adalah gubernur, bupati, walikota, dan perangkat
lainnya (kepala dinas, kepala badan, dan unit-unit kerja lain yang diatur oleh Sekretaris Daerah).
Lembaga legislatif yang berada di daerah, yaitu DPRD I untuk tingkat propinsi dan DPRD II untuk tingkat
kapubapaten dan walikota.

Pengertian Pemerintah Pusat yang turut dijelaskan dalam UU nomor 32 tahun 2004 adalah
penyelenggara pemerintah NKRI di pusat, yang dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden dan dibantu
oleh para menteri. Sebagai lembaga legislatif Pemerintah Pusat adalah DPR dan MPR. Pemerintahan ini
berkedudukan di Ibu Kota Negara Indonesia, yang saat ini adalah DKI Jakarta.

OTONOMI DAN PEMERINTAHAN ACEH *

A. Otonomi Daerah

Berdasarkan UUD 1945, negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sesuai
ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945, dalam penyelenggaraan pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan.

Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan kebijakan
desentralisasi dilaksanakan bersamaan dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

1
Sementara itu dalam pengaturan hubungan antara Pemerintah dengan daerah diatur dalam pasal 18 A
ayat (1) dan (2) sebagai berikut:

1. Hubungan wewenang antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota,
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.

2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya
antara Pemerintah dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.

Konsekuensi dari kandungan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut:

1. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Presiden selaku kepala pemerintahan dapat melaksanakan


dengan :

a. melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat pusat melalui asas dekonsentrasi;

b. menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah otonom melalui asas desentralisasi;

c. menugaskan sebagian kewenangan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa


meialui asas tugas pembantuan; dan

d. melaksanakan sendiri.

2. Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, dibentuk pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh
Kepala Daerah dan DPRD serta dibantu oleh perangkat daerah. Anggota DPRD dipilih melalui proses
pemilihan umum, dan kepala daerah dipilih melalui proses pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kedua
lembaga tersebut diberi mandat untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya.

3. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah memiliki hubungan


wewenang, keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
dengan pemerintah pusat.

4. Dalam melaksanakan hubungan tersebut Pemerintah melaksanakan fungsi pembinaan yang salah satu
wujudnya dengan menetapkan norma, standar, kriteria dan prosedur; fasilitasi; supervisi; serta
monitoring dan evaluasi agar otonomi daerah senantiasa dilaksanakan oleh pemerintahan daerah sesuai
dengan tujuannya. Sebaliknya pemerintah daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah serta melaksanakan otonomi daerah berdasarkan standar, norma, kriteria, dan
prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berdasarkan hal ini maka pemerintahan daerah provinsi dan
kabupaten/kota merupakan sub-ordinasi Pemerintah.

2
5. Kesimpulannya, walaupun Pemerintah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah,
pemerintahan daerah tetap merupakan sub-ordinasi Pemerintah dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sesuai amanat konstitusi Rl.

seluas-luasnya kepada daerah, pemerintahan daerah tetap merupakan sub-ordinasi Pemerintah dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai amanat konstitusi Rl.

Secara filosofis, ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan kebijakan desentralisasi yaitu
tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memposisikan pemerintah daerah
sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang terhadap
pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan
bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat madani atau civil society. Tujuan
kesejahteraan mengisyaratkan pemerintahan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
lokal melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis.

Pemberian otonomi dari Pemerintah kepada daerah otonom pada dasarnya terdapat dua pola yang
lazim diterapkan secara universal yaitu:

1. Pola otonomi terbatas; yakni kewenangan daerah hanya terbatas pada urusan-urusan pemerintahan
yang ditetapkan secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan yang ada.

2. Pola otonomi luas (general competence); yakni daerah diberikan kewenangan yang iuas untuk
mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang terkait dengan kepentingan masyarakat
daerah tersebut kecuali urusan pemerintahan yang ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah.
Pengecualian yang lazim diberlakukan adalah urusan-urusan pemerintahan yang memiliki dampak
nasional ataupun internasional seperti, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional, yustisi, dan agama.

Kedua pola ini sudah pernah diterapkan di Indonesia dengan berbagai implikasi yang melingkupinya.

Pada saat ini, sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945, pola yang dianut adalah otonomi seluas-
luasnya. Ini berarti bahwa daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus
urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kepentingan masyarakat daerah, kecuali yang ditentukan
menjadi kewenangan Pemerintah. Namun, secara empirik Pemerintah selain memiliki kewenangan pada
enam urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas, juga memiliki kewenangan lain yakni urusan
pemerintahan yang bersifat lintas provinsi, nasional, bahkan lintas negara. Ini berarti bahwa selain

3
keenam urusan yang mutlak menjadi kewenangan Pemerintah, terdapat juga bagian dari urusan yang
bersifat “concurrent” atau urusan bersama.

Perjalanan Terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, atau bersifat istimewa.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat
Aceh yang memiiiki ketahanan yang tinggi. Ketahanan dan daya juang yang tinggi itu bersumber dari
pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pandangan Hidup yang berlandaskan syariat Islam itulah yang kemudian dijadikan dan diberlakukan
sebagai tatanan hidup dalam bermasyarakat saat ini. Hal demikian kemudian menjadi pertimbangan
penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999.

Namun, dalam implementasinya, UU tersebut dipandang kurang memberikan kehidupan di dalam


keadilan atau keadilan di dalam kehidupan. Bagi masyarakat Aceh kondisi demikian belum dapat
mengakhiri pergolakan masyarakat di Provinsi DI Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk
reaksi. Respons Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI melahirkan salah satu solusi politik bagi
penyelenggaraan persoalan Aceh, berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengatur
penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussaiam.

Dalam pelaksanaannya, undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung
aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya
undang-undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Bencana alam,
gempa bumi, dan tsunami yang terjadi di Aceh pada akhir Desember 2004, telah menumbuhkan
solidaritas seluruh potensi bangsa untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula
telah tumbuh kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat yang permanen
dalam kerangka NKRI.

Dari uraian di atas, tampaklah bahwa penataan otonomi khusus di Aceh merupakan salah satu upaya
meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi daerah dalam kerangka NKRI, yaitu

4
mencapai kesejahteraan secara demokratis di Nanggroe Aceh Darussaiam. Penandatanganan Nota
Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, menjadi pintu
pembuka bagi kedamaian di Aceh. Walaupun pada awalnya, penandatangan MoU sempat mendapat
reaksi pro dan kontra dari berbagai macam elemen masyarakat, namun pada akhirnya dengan segala
kelapangan dada semua sepakat, bahwa perdamaian abadi harus diwujudkan di Aceh.

Ada enam butir utama isi Nota Kesepahaman yang telah dicapai yaitu: penyelenggaraan pemerintahan di
Aceh; hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat; pengaturan keamanan;
pembentukan Misi Monitoring Aceh (AMM) dan penyelesaian perselesihan. Setelah hampir semua butir-
butir nota kepahaman dilaksanakan, maka penyusunan RUU Pemerintahan Aceh mendapat perhatian
dari seluruh komponen masyarakat. Bagi masyarakat Aceh, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
butir-butir yang terdapat dalam Nota Kesepahaman segera dapat ditindaklanjuti dengan undang-
undang, sedang bagi masyarakat di luar Aceh akan melihat sejauh mana keistimewaan atau kekhususan
yang diberikan kepada masyarakat Aceh.

Kalau kita kembali mencermati proses perjalanan penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-
Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) dengan jelas terlihat segala upaya telah dilaksanakan secara serius
dengan memperhatikan seluruh aspirasi masyarakat, khususnya yang berada di wilayah Aceh. Terlepas
masih adanya kekurangan, namun semangat yang mendasari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-
PA) iniiah yang patut menjadi acuan bersama, yakni membangun Aceh yang lebih berkeadilan, sejahtera,
demokratis dan bermartabat.

UU Pemerintahan Aceh adaiah undang-undang yang unik dalam proses penyusunannya, karena
melibatkan berbagai elemen masyarakat Aceh secara luas, bahkan menarik perhatian dunia. Pihak-pihak
yang turut berpartisipasi meliputi masyarakat Aceh yang berasal dari pemerintah daerah, kalangan LSM,
akademisi, wanita, ulama, dan anggota GAM. Sebagai sebuah produk hukum baru yang lahir dari
konsekuensi adanya perubahan kebijakan politik antara Pemerintah RI dan GAM, maka RUU ini harus
dapat mengakomodasi tuntutan kedua belah pihak secara adil.

Pada awalnya, tak kurang dari enam versi naskah RUU PA didiskusikan di Aceh, yaitu dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (DPRD NAD), Pemerintah Daerah (Pemda NAD),
Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Negeri (IAIN) Arraniry, Acehnese Civil Society Task Force
(ACSTF), dan dari GAM. DPRD NAD pun berinisiatif mengadakan serangkaian diskusi dan dialog dengan
berbagai pihak untuk bersama-sama membicarakan RUU ini. Seluruh pihak yang mempunyai naskah RUU
dan berkepentingan dengan RUU ini diundang untuk berdiskusi. Mulai dari kelompok ulama, sampai
dengan organisasi perempuan di Aceh.

5
Melihat proses yang begitu dinamis dari berbagai pihak ini, timbul dorongan dari komponen masyarakat
sipil untuk membentuk Tim Perumus Bersama yang terdiri dari berbagai komponen pemangku
kepentingan dan bertugas menyepakati satu naskah bersama yang dapat mewakili berbagai elemen di
Aceh untuk disampaikan ke Jakarta. Tanggal 22-30 November 2005 pun menjadi suatu fase penting
dalam pembicaraan ini. Dalam kurun waktu seminggu tersebut terjadi perdebatan, tekanan, dan tarik
menarik untuk mendorong adanya satu draf bersama dari Aceh. DPRD NAD dianggap sebagai pihak yang
mempunyai kapasitas politik yang strategis untuk menjembatani proses partisipasi seperti ini, sehingga
rapat paripurna DPRD NAD pun dijadikan momentum penting untuk menandai munculnya satu draf
bersama ini. Pada malam 29 November 2005 terjadilah pembahasan yang intensif antara DPRD NAD,
Pemda, berbagai komponen masyarakat sipil, dan GAM. Maka lahirlah draf keenam dari DPRD NAD yang
secara maksimal berupaya mengakomodasi seluruh kepentingan peserta pembahas pada saat itu. Draf
yang terdiri atas 38 Bab dan 209 pasal inilah yang diserahkan kepada Departemen Dalam Negeri
(Depdagri) pada 30 November 2005. Setelah penyerahan secara resmi, diadakan pula berbagai diskusi
formal dan informal antara berbagai lembaga dan komponen masyarakat di Aceh yang menyepakati RUU
itu dengan berbagai lembaga politik di Jakarta untuk mendorong substansi yang telah disepakati
bersama tersebut.

Sementara itu, ada tekanan yang tinggi mengenai batas waktu pembahasan. Pemerintah pada awalnya
meminta agar ada naskah yang masuk pada Oktober 2005 agar tenggat waktu 31 Maret 2006 dapat
dipenuhi. Namun, semua pihak tentu menyadari bahwa membuat suatu undang-undang tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi karena undang-undang tersebut diharapkan mendorong
terjadinya perubahan besar di Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah dilakukan pembahasan di Depdagri
dan pembahasan antar departemen, RUU PA menjadi 40 Bab dan 206 Pasal yang terdiri dari 1446 Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM).

Secara substantif RUU PA dapat dikatakan sebagai kekhususan yang menyangkut Pemerintahan Daerah
Aceh, yakni:

• Kekhususan yang pertama, RUU PA akan menanggung beban sebagai turunan dari sebuah Nota
Kesepahaman. Karena itu, hampir dapat dipastikan pembahasan substansi RUU ini akan berjalan alot
apabila tidak ada langkah-langkah khusus yang menyertainya.

• Kekhususan yang kedua, sebagai bagian dari sebuah upaya perdamaian yang sekian lama dinantikan,
proses yang inklusif menjadi prasyarat yang tak dapat ditolak lagi. Proses penyusunan dan pembahasan
yang partisipatif dan transparan akan menjadi bagian dari proses perdamaian itu sendiri. Sebab, dalam
proses itulah akan terkumpul masukan dan terjadi ‘internalisasi’ dan proses pemahaman substansi RUU,
sehingga akan membantu masyarakat untuk memantau implementasi undang-undang itu nantinya. RUU
PA juga menanggung beban sebagai bagian dari upaya membangun kembali Aceh, bukan hanya dalam

6
arti fisik tetapi lebih jauh lagi, RUU ini juga akan menjadi sarana dalam membangun masyarakat (society)
Aceh. Dan membangun Aceh di sini bukan hanya pasca-tsunami, tetapi membangun kembali masyarakat
Aceh yang sudah sekian lama hidup dalam suasana represif.

• Kekhususan yang ketiga, RUU PA mempunyai jangka waktu penyusunan yang tidak dapat ditawar lagi,
yaitu hanya kurang lebih 6 (enam) bulan. Suatu jangka waktu yang singkat untuk sebuah RUU yang
substansinya bahkan belum pernah dibicarakan sebelum Nota Kesepahaman ditandatangani pada 15
Agustus 2005.

Kekhawatiran banyak pihak akan terjadinya debat berkepanjangan dalam pembahasan RUU-PA tidak
terbukti. Meski berjalan cukup alot, namun draft UU-PA telah dapat diselesaikan pada tanggal 7 Juli 2006
di tingkat Pansus.Yang membanggakan, bahwa sepanjang pembahasan di tingkat Pansus, kehadiran
anggota DPR sekitar 82% dan di tingkat Panja sekitar 90%. Bahkan tidak ada satu masalah pun yang
diambil secara voting. Ini menunjukkan pemahaman yang demikian tinggi setiap anggota DPR dalam
pengambilan keputusan yang diambil.

Tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi rakyat Indonesia khususnya bagi masyarakat
Aceh, ketika secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI. Tentunya ada beberapa
masalah krusial yang menjadi pembahasan intensif, seperti masalah judul; kewenangan; bagi hasil;
parpol lokal; pilkada; peradilan HAM dan lain-lain yang memerlukan penjelasan, sehingga tidak
menimbulkan tafsir yang berbeda dari semangat yang mendasarinya.

Undang-Undang ini memiliki 2 (dua) sifat pokok, yaitu:

1. Komprehensif, dalam arti mengatur hal ihwal penyelenggaraan pemerintahan di Aceh secara
menyeluruh sehingga muatannya mencakup 40 Bab dan 273 Pasal.

2. Tuntas, dalam arti memuat pengaturan secara rinci dan detail sehingga hanya diperlukan 2 (dua)
Peraturan Pemerintah dan 3 (tiga) Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan Undang-Undang, sedangkan
daerah harus menyelesaikan 68 qanun.

UU Pemerintahan Aceh yang merupakan upaya maksimal dari proses politik, tentunya tidak adil kalau
hanya dikritisi dari satu sisi yang tidak seluruhnya bisa diakomodasikan, tetapi akan adil bila melihat
secara menyeluruh niat baik semua pihak yang ingin melihat Aceh menjadi lebih sejahtera. Perlu dicatat,
bahwa beberapa kewenangan yang tidak ada dalam MoU maupun draf RUU PA usul DPRD, dimasukkan
dalam UU ini. Oleh karena itu hendaknya kita melihat UU-PA ini dengan pandangan yang jernih demi
masa depan Aceh yang lebih baik. Sejarah perjalanan hidup masyarakat Aceh yang ditandai dengan

7
munculnya gerakan perjuangan menuntut kemerdekaan telah membawa dampak negatif berupa
jatuhnya korban yang tidak berdosa. Masyarakat Aceh hidup dalam suasana yang mencekam di bawah
ancaman keamanan. Kehidupan perekonomian menjadi tidak berkembang, menyebabkan semakin
terpuruknya masyarakat Aceh dalam kesengsaraan.

Dalam hal ini terlihat bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh dapat memberikan diskresi
kewenangan yang cukup besar, baik di tingkatan pemerintahan provinsi maupun kabupaten/kota,
terlebih jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Yang menjadi tantangan ke depan
sesungguhnya adalah bagaimana Pemerintah, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota
secara sinergis mampu mengoptimalkan segala peluang yang tergambar melalui diskresi kewenangan
tersebut untuk dapat memakmurkan rakyat Aceh secara demokratis. Kita berharap dengan disahkannya
UU-PA ini dapat mempercepat terwujudnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Aceh dalam
perdamaian yang abadi. Masih diperlukan sebuah proses panjang untuk melaksanakan undang-undang
ini, oleh sebab itu dibutuhkan partisipasi aktif dari seluruh komponen bangsa, khususnya rakyat Aceh.

Mengakhiri ulasan, ada suatu hal yang menarik dalam ‘penciptaan’ UU-PA ini karena rupanya angka “11”
menjadi “angka keramat” bagi masyarakat Aceh. Dilihat dari bagaimana tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari
yang bersejarah bagi masyarakat Aceh, di mana secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang
Paripurna DPR RI. Pun ketika proses penomoran UU-PA, Sekretariat Negara “dibisiki” elemen masyarakat
Aceh agar bila memungkinkan UU-PA diberi nomor “11” karena suatu alasan yang berkaitan dengan
keyakinan masyarakat Aceh. Dan secara kebetulan pula, hal itu dapat terwujud karena sesuai kondisi
yang ada pada saat itu UU-PA memang sebagai undang-undang urutan yang ke-11 yang lahir pada tahun
2006. Hal lain yang kemudian menggunakan angka “11” adalah pelaksanaan Pilkada Aceh yang baru saja
diselenggarakan pada tanggal 11 Desember 2006 lalu.

Pemerintahan Aceh
adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.[1] Pemerintahan Aceh setingkat dengan
pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia dan merupakan kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Aceh. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh
Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh sebagai lembaga legislatif.

8
Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah
yang bersifat istimewa dan memiliki kewenangan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah
perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.

Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at
Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Kehidupan demikian, menghendaki adanya implementasi formal
penegakan syari’at Islam. Penegakan syari’at Islam dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman
terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan
status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.

Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU
Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara
Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan
merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta
politik di Aceh secara berkelanjutan.

UU 11/2006, yang berisi 273 pasal, merupakan Undang-undang Pemerintahan Daerah bagi Aceh secara
khusus. Materi UU ini, selain itu materi kekhususan dan keistimewaan Aceh yang menjadi kerangka
utama dari UU 11/2006, sebagian besar hampir sama dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Oleh karena itu Aceh tidak tergantung lagi pada UU Pemerintahan Daerah (sepanjang hal-hal
yang telah diatur menurut UU Pemerintahan Aceh). Karena begitu banyak materi mengenai
pemerintahan Aceh maka artikel ini hanya memuat sebagiannya saja. Untuk materi lengkap bisa dilihat
di dalam UU 11/2006.

Qanun dan peraturan Sunting

Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan Kabupaten/Kota,


dan penyelenggaraan tugas pembantuan. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat
persetujuan bersama dengan DPRA. Qanun Kabupaten/Kota disahkan oleh Bupati/Wali kota setelah

9
mendapat persetujuan bersama dengan DPRK. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan Qanun. Setiap tahapan penyiapan dan
pembahasan Qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik. Dalam hal diperlukan untuk
pelaksanaan Qanun, Gubernur dan Bupati/Wali kota dapat menetapkan Peraturan/Keputusan Gubernur
atau peraturan/keputusan Bupati/Wali kota.

Qanun, kecuali Qanun mengenai Jinayah (hukum pidana), dapat memuat ketentuan pembebanan biaya
paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Qanun dapat diuji oleh
Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Qanun yang mengatur tentang
pelaksanaan syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung.

Gubernur, Bupati/Wali kota dalam menegakkan Qanun dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat dapat membentuk Satuan Polisi Pamong Praja. Gubernur, Bupati/Wali kota
dalam menegakkan Qanun Syar’iyah dalam pelaksanaan syari’at Islam dapat membentuk unit Polisi
Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja.

TNI, Polri, dan Kejaksaan


Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di
Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas
di Aceh tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya
serta adat istiadat Aceh.

Kepolisian di Aceh merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian di Aceh
bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Kebijakan ketenteraman dan ketertiban masyarakat di Aceh dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Aceh
kepada Gubernur.

Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan persetujuan Gubernur. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan keamanan, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat mengangkat pejabat sementara Kepala Kepolisian di Aceh
sambil menunggu persetujuan Gubernur. Seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara

10
Republik Indonesia di Aceh dilaksanakan oleh Kepolisian Aceh dengan memperhatikan ketentuan hukum,
syari’at Islam dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur Aceh. Pendidikan dasar bagi calon
bintara dan pelatihan umum bagi bintara Kepolisian Aceh diberi kurikulum muatan lokal dan dengan
penekanan terhadap hak asasi manusia. Penempatan bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik
Indonesia dari luar Aceh ke Kepolisian Aceh dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam, budaya, dan adat istiadat.

Kejaksaan di Aceh merupakan bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Kejaksaan di Aceh
melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukum termasuk pelaksanaan syari’at
Islam. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dilakukan oleh Jaksa Agung dengan persetujuan
Gubernur. Seleksi dan penempatan jaksa di Aceh dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan
memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam, budaya, dan adat istiadat Aceh.

Ekonomi dan keuangan

Perekonomian Sunting

Perekonomian di Aceh merupakan perekonomian yang terbuka dan tanpa hambatan dalam investasi
sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional. Perekonomian di Aceh diarahkan untuk
meningkatkan produktivitas dan daya saing demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat dan efisiensi dalam
pola pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat
maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya yang meliputi bidang pertambangan yang
terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan
kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.

Dana otsus
Dana Otonomi Khusus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai
pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,
pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dana Otonomi Khusus
berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan
tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional

11
dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu
persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Dana Otonomi Khusus berlaku untuk daerah Aceh sesuai
dengan batas wilayah Aceh. Penggunaan Dana Otonomi Khusus dilakukan untuk setiap tahun anggaran
yang diatur dalam Qanun Aceh. Dana otonomi khusus untuk tahun pertama mulai berlaku sejak tahun
anggaran 2008.

Kewenangan eksklusif
Pemerintah Aceh berwenang menetapkan persyaratan untuk lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan bukan bank dalam penyaluran kredit di Aceh sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Pemerintah Aceh dapat menetapkan tingkat suku bunga tertentu setelah
mendapatkan kesepakatan dengan lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank terkait.
Pemerintah Aceh dapat menanggung beban bunga akibat tingkat suku bunga untuk program
pembangunan tertentu yang telah disepakati dengan DPRA. Bank asing dapat membuka cabang atau
perwakilan di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

HAM dan Rekonsiliasi Sunting

Setiap penduduk berhak: antara lain atas kebebasan untuk melakukan penelitian akademik, kreasi seni,
sastra, dan aktivitas budaya lain yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam; Untuk memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah
UU 11/2006 diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh yang putusannya memuat
antara lain pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi
manusia. Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta penduduk Aceh
berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya
pemberdayaan yang bermartabat.

Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Dalam
menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Aceh dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan tata cara
pelaksanaan pemilihan, penetapan anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya
penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh diatur dengan Qanun Aceh.

12
Hubungan Pemerintah Aceh-Jakarta

20 Juli 2014 09:37 | Diperbarui: 18 Juni 2015 05:50

Sebuh hubungan antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Jakarta terus mengalami pasang surut,
menyita waktu dan energi kedua belah pihak. Kali ini, persoalannya adalah Qanun Bendera serta
beberapa peraturan turunan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Sejak awal
sampai akhir ini termasuk tugas paling penting dan problematik karena banyaknya kepentingan yang
bermain di dalamnya, terutama berkaitan dengan perundang-undangan nasional.

Pertarungan kepentingan antara Pusat dan Aceh sangat sengit. Logika yang berputar adalah persoalan
legalitas apakah bertentangan dengan MoU Helsinki dan UU yang ada atau tidak.Banyak aturan turunan
UUPA yang harus dituntaskan. Berdasarkan ketentuan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat sudah
harus menuntaskan 10 Peraturan Pemerintah (PP), 3 Peraturan Presiden (Perpres), 59 Qanun Aceh serta
10 Qanun Kabupaten/Kota. Saat ini tiga regulasi turunan UUPA yang mendesak diselesaikan yaitu
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh,
RPP Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi di Wilayah kewenangan Aceh dan Rancangan Peraturan
Presiden tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Aceh dan Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi Perangkat Daerah. Bagi Pemerintah Aceh, pembahasan turunan
UUPA sangat penting karena menyangkut hajat hidup masyarakat dan kesejahteraan warga
Aceh.Sangking pentingnya, Aceh bahkan telah melakukan pembahasan qanun bendera sebelum
dilakukan pembahasan terhadap turunan UUPA tersebut.

Pembahasan terkait qanun bendera sendiri tidak kalah sengitnya hingga memerlukan lima kali cooling
down. Masa cooling down terakhir ini dapat disebut masa pembahasan, agar aturan turunan UUPA
dapat dibahas. Pemerintah Jakarta menolak lambang dan bendera Aceh karena dianggap mirip dengan
lambang dan bendera GAM sehingga bertentangan dengan MoU. Sementara Aceh berpendapat lambang
dan bendera adalah tidaklah bertentangan bahkan dijamin MoU “Aceh memiliki hak menggunakan
simbol wilayah, termasuk bendera, lambang dan himne”.

Inilah masa senja hubungan Aceh dan Jakarta. Semoga tidak menjadi malam pekat penuh badai.
Idealnya, persoalan regulasi ini bisa tuntas sebelum masa jabatan SBY berakhir. Bukan karena SBY
presiden yang mengakhiri konflik di Aceh berkepanjangan, tetapi karena UUPA mengamanatkan bahwa
seluruh aturan turunan UUPA harus tuntas dalam waktu dua tahun setelah UUPA diundangkan. Ini
berarti sudah delapan tahun hal-hal substansi terkait materi tiga turunan UUPA tidak dapat dilaksanakan
karena kekosongan aturan.

Dalam ranah legislasi Indonesia, atau keterlambatan pembentukan turunan undang-undang adalah hal
lumrah. Namun harus dipahami Aceh daerahistimewa. Gejolak apapun yang terjadi di luar Aceh tidak
akan pernah berani melangkah jauh dari garis kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),

13
tetapi tidak bagi Aceh. Generasi yang terlibat konflik, saat ini masih eksis sehingga nilai-nilai ideologi dan
semangat pertempuran masih kuat yang akan dengan mudah memantik konflik politik (separatisme).

Karenanya, membiarkan persoalan mengambang sama dengan menunggu persoalan baru muncul.
Idealnya, semua turunan UUPA itu bisa diselesaikan sebelum Presiden SBY berakhir. Sehingga tidak
menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru.Ada kesan, Pemerintah pusat sengaja mengulur
waktu untuk menuntaskan semua RPP tersebut. Dalam kasus RPP Migas misalnya, Pemerintah Aceh
menghendaki 70% bagi hasil migas diberikan kepada Aceh, sisanya untuk pemerintah pusat. Sebaliknya,
pemerintah pusat menginginkan agar bagi hasil bisa berimbang antara daerah dan pusat.

Jika Pemerintah Jakarta mengakui kekhususan Pemerintah Aceh yang telah porak karena perang dan
poranda karena tsunami, seharusnya tidak ada lagi perdebatan soal angka bagi hasil Migas. Dana bagi
hasil itu bisa digunakan oleh Pemerintah Aceh untuk mengejar ketertinggalannya dari propinsi
lainnya.Keengganan Pemerintah Pusat membahas turunan UUPA dalam bentuk RPP itu bisa dimaknai
sebagai ketakutan berlebihan.

Seakan-akan, jika kewenangan itu diberikan, maka niat Pemerintah Aceh memisahkan diri dari NKRI
segera terealiasi. Patut diingat, tidak ada satu klausul pun dalam MoU Helsinki yang membolehkan Aceh
merdeka. Aceh mandiri dalam dekapan NKRI.Kegagalan penuntasan turunan UUPA bukan mutlak faktor
pemerintah pusat saja tetapi juga ada andil dari Pemerintah Aceh, khususnya kegagalan membangun
sebuah komunikasi. Pemerintah Aceh secara kinerja juga lemah karena RPP tidak menjadi prioritas
utama pemerintah ketika UUPA berhasil ditetapkan sehingga melampuai target waktu yang ditentukan.
Komunikasi materi RPP ini seharusnya sudah dilakukan ketika terjadi proses pembuatan draft.

Dapat juga dengan cara mendorong pressure groups untuk mengambil peran menyuarakan kepentingan
rakyat Aceh kepada Pemerintah Pusat. Kelompok penekan ini bisa berasal dari tokoh Aceh yang ada di
Jakarta, kelompok informal, bussinessman, LSM, akademisi serta para aktivis yang kredibel.

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakkir Manaf harus menargetkan seluruh
turunan UUPA itu bisa diselesaikan ketika kedua mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu
berkuasa di Aceh. Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk dan berdampak pada merosotnya
kepercayaan publik pada pemerintahan yang dipegang oleh mantan gerilyawan ini.Jika regulasi turunan
UUPA ini telah ditandatangani Presiden SBY sebelum mengakhiri masa jabatannya, maka pemerintahan
baru penerusnya hanya akan mengamini kebijakan tersebut.

Pengesahan RPP dan perpres ini sangat penting karena dapat membantu dan bekerja sama dengan
Pemerintah Aceh untuk meningkatkan kesejahteraan 5 juta penduduk di provinsi Aceh ini. Karena itu
perlu juga partisipasi warga masyarakat Aceh untuk turut menekan Pemerintah Pusat agar bersedia
menyelesaikannya, bukan hanya menunggu. Seluruh masyarakat Aceh harus menyadari ketika regulasi
itu disahkan, akan membawa dampak positif untuk pembangunan Aceh. Aceh akan memiliki dana
berlimpah untuk menggenjot pembangunan baik itu sektor pendidikan, kesehatan maupun infrastruktur.
Aceh bisa mengurangi pengangguran dengan menciptakan lapangan kerja.

14
Dan yang lebih penting, kekhususan ini merupakan kompensasi dari perjuangan panjang yang dilakukan
dengan tetesan darah dan air mata. Saatnya memberikan bukti, Aceh masih bisa bernegosiasi meski
tanpa lalakan senjata. Pemerintah Zikir harus lebih lihai menyusun strategi ketika jalan politik menjadi
pilihan akhir dari perjuangan. Inilah masa kritis penentuan nasib Aceh dalam masa damai: apakah ada
perubahan signifikan atau tidak. Senjakala ini pasti akan berganti malam. Persoalanya, apakah malam ini
akan menjadi purnama bagi rakyat Aceh atau malam jahanam yang terjadi?Mari kita sama-sama
memperjuangkan.. Banda Aceh, 20 Juli 2014

15

Anda mungkin juga menyukai